LP Trigger Finger Fix [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Prila
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

STIKES HUTAMA ABDI HUSADA TULUNGAGUNG PRODI NERS PRAKTEK KLINIK KEPERAWATAN LEMBAR PENGESAHAN



LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KASUS TRIGGER FINGER DI RUANG OK RUMAH SAKIT PUTRA WASPADA TULUNGAGUNG



Mahasiswa :



PRILA TINA RAHAYU NIM. A3R21038



PEMBIMBING AKADEMIK



(Anis Murniarti, S.Kep., Ns., M.Biomed) NIDN. 88-8442-0016



PEMBIMBING RUANGAN



(



)



LAPORAN PENDAHULUAN TRIGGER FINGER A. Definisi Trigger Finger Trigger Finger atau Tenosynovitis Stenosing adalah kelainan yang umum terjadi pada jari tangan, yang disebabkan oleh inflamasi sehingga terjadi penebalan selubung tendon fleksor dan penyempitan pada celah selubung retinakulum. Hal ini menyebabkan nyeri, bunyi klik (cklicking sound) saat jari fleksi dan ekstensi, serta kehilangan gerak atau terkunci (locking) pada jari yang terkena. Istilah Trigger Finger pertama kali dideskripsikan oleh Notta pada tahun 1850 (Green & Hotchkiss, 2005). Trigger Finger ditimbulkan dari penebalan sarung tendon fleksor (dimana dapat terjadi diikuti infeksi tenosynovitis) atau dari penebalan nodular tendon fleksor sendiri dimana dapat congenital (Ifeacho & Brar, 2007). Trigger Finger adalah kejadian yang umum terjebaknya tendon pada jari tangan yang disebabkan ketika nodule yang terbentuk pada tendon proksimal (Jester, Santy, & Rogers, 2011). Trigger Finger adalah suatu bentuk cedera akibat aktivitas berlebihan yang berulangulang dengan gejala mulai dari tanpa rasa sakit dengan sesekali bunyi gemeretak / menyentak jari, untuk disfungsi parah dan rasa sakit dengan jari terus terkunci dalam posisi menekuk ke bawah ke telapak tangan (Snell, 2006). B. Etiologi Trigger Finger Penyebab potensial Trigger Finger telah dapat dijelaskan, tetapi etiologi tetap idiopatik, artinya penyebabnya tidak diketahui. Kemungkinan disebabkan oleh trauma lokal dengan stres dan gaya degeneratif. Ada yang menghubungkan penyebab Trigger Finger karena penggunaan fleksi tangan yang terus-menerus dan pada tiap individu sering dengan penyebab multifaktor. Oleh karena itu sering disebut dengan tenosinovitis stenosing (stenosans tenovaginitis khusus pada jari). Stenosing berarti penyempitan terowongan atau tabung-seperti struktur (selubung tendon). Tenosynovitis berarti radang tendon (Akhtar et al, 2005; Makkouk, 2008). Pasien dengan riwayat penyakit Collagen Vascullar seperti Rheumatoid Artritis, Diabetes Mellitus, Arthitis Psoriatis, Amyloidosis, Hipotiroid, Sarkoidosis, dan Pigmented Vilonodular Synovitis memiliki faktor resiko lebih besar terkena Trigger Finger dibandingkan orang yang yang tidak memiliki riwayat tersebut (Rasjad, 2007). Mekanisme terjadinya keadaan ini adalah adanya aktifitas-aktifitas fisik yang berat dan berulang-ulang pada orang yang mempunyai kecenderungan pengumpulan cairan di sekitar tendon dan sendinya seperti pasien diabetes mellitus dan rheumatoid artritis. Pengumpulan cairan disekitar tendon ini menyebabkan terjadinya penebalan nodule tendon (biasanya pada tendon m.flexor digitorum profundus) sehingga tendon yang bengkak ini bisa mengganggu gerakan normal pada tendon. Adanya pembengkakan ini mudah sekali tendon terjepit sehingga jari susah untuk difleksikan (macet) atau terkunci pada posisinya dan mengakibatkan jari terasa sakit dan mengeluarkan suara “klik” apabila usaha lebih keras diberikan (Akhtar et al, 2005; Makkouk, 2008). Kejadian Trigger Finger kongenital umumnya disebabkan oleh adanya nodul pada tendon fleksor polisis longus. Sementara pada orang dewasa, beberapa kasus yang terjadi mungkin berhubungan dengan trauma berulang. Lebih dari satu penyebab potensial telah dijelaskan, tetapi etiologi tetap diopatik, artinya penyebabnya tidak diketahui (Snell, 2006). Keadaan ini sering disebut dengan tenosinovitis stenosing (stenosans tenovaginitis khusus pada jari), tapi hal ini mungkin keliru, karena radang bukan fitur dominan pada keadaan ini (Akhtar et al, 2005; Makkouk, 2008). C. Patofisiologi Trigger Finger Tendon adalah jaringan ikat yang menghubungkan otot ke tulang. Setiap otot memiliki dua tendon, yang masing-masing melekat pada tulang. Pertemuan tulang bersama dengan otot membentuk sendi. Ketika otot berkontraksi, tendon akan menarik tulang, sehingga terjadi gerakan sendi. Tendon pada jari-jari melewati ligamen, yang bertindak sebagai katrol (Snell, 2006). Pada Trigger Finger terjadi peradangan dan hipertrofi dari selubung tendon yang semakin membatasi gerak fleksi dari tendon. Selubung ini biasanya membentuk sistem katrol yang terdiri dari serangkaian sistem yang berfungsi untuk memaksimal kekuatan



fleksi dari tendon dan efisiensi gerak di metakarpal. Nodul mungkin saja dapat membesar pada tendon, yang menyebabkan tendon terjebak di tepi proksimal katrol ketika pasien mencoba untuk meluruskan jari, sehingga menyebabkan kesulitan untuk bergerak. Ketika upaya lebih kuat dibuat untuk meluruskan jari, dengan menggunakan kekuatan lebih dari ekstensor jari atau dengan menggunakan kekuatan eksternal (dengan mengerahkan kekuatan pada jari dengan tangan lain), jari macet yang terkunci tadi terbuka dengan menimbulkan rasa sakit yang signifikan pada telapak distal hingga ke dalam aspek proksimal digit. Hal yang kurang umum terjadi antara lain nodul tadi bergerak pada distal katrol, mengakibatkan kesulitan pasien meregangkan jari (Akhtar et al, 2005; Makkouk, 2008; Rasjad, 2007). Sebuah nodul dapat meradang dan membatasi tendon dari bagian bawah jalur yang melewati katrol. Jika nodul terdapat pada distal katrol, maka jari dapat macet dalam posisi yang lurus. Sebaliknya, jika benjolan terdapat pada proksimal dari katrol, maka jari pasien dapat macet dalam posisi tertekuk (Makkouk, 2008). Biasanya, tendon fleksor pada jari mampu bergerak bolak-balik di bawah katrol penahan. Penebalan selubung tendon fleksor membatasi mekanisme pergerakan normal. Nodul mungkin saja dapat membesar pada tendon, yang menyebabkan tendon terjebak di tepi proksimal katrol A1 ketika pasien mencoba untuk meluruskan jari, sehingga menyebabkan kesulitan untuk bergerak. Ketika upaya lebih kuat dibuat untuk meluruskan jari, dengan menggunakan kekuatan lebih dari ekstensor jari atau dengan menggunakan kekuatan eksternal (dengan mengerahkan kekuatan pada jari dengan tangan lain), jari macet yang terkunci tadi terbuka dengan rasa sakit yang signifikan pada telapak distal hingga ke dalam aspek proksimal digit (Akhtar et al, 2005; Makkouk, 2008; Snell, 2006). Sebuah nodul dapat meradang dan membatasi tendon dari bagian bawah jalur yang melewati katrol A-1. Jika nodul terdapat pada distal katrol A-1 (seperti yang ditunjukkan dalam gambar ini), maka jari dapat macet dalam posisi yang lurus. Sebaliknya, jika benjolan terdapat pada proksimal dari katrol A-1, maka jari pasien dapat macet dalam posisi tertekuk (Akhtar et al, 2005; Makkouk, 2008).



D. Phatway Trauma Berulang, Riwayat Collagen Vaskular Seperti Rheumatoid Artritis, Diabetes Melitus, Artritis Psoriatis, Amyloidosis, Hipotiroid, Sarkoidosis, Dan Pigmented Vilonodular Synovitis TRIGGER FINGER Tindakan Pembedahan



Penebalan Pada Tendon Fleksor Yang Membentuk Nodul Iritasi Yang Lama Mengakibatkan Pembengkakan Peradangan Dan Hipertrofi Pada Tendon Dan Selubung Tendon Agen Cidera Fisik HAMBATAN MOBILITAS FISIK



Menekan Syaraf Nyeri Pada Jaringan Sekitar Pelepasan Mediator Nyeri (Histamine, Prostaglandin, Bradikinin, Serotonin). Ditangkap Reseptor Nyeri Perifer Impuls Ke Otak Persepsi Nyeri NYERI AKUT



Pre Op



Kurang Pengetahuan Tentang Prosedur Operasi



Banyak Bertanya Cemas ANSIETAS



Post Op



E. Manifestasi Klinis Trigger Finger Trigger Finger dapat mengenai lebih dari satu jari pada satu waktu, meskipun biasanya lebih sering terjadi pada ibu jari, tengah, atau jari manis. Trigger Finger biasanya lebih menonjol di pagi hari, atau saat memegang obyek dengan kuat (Makkouk, 2008). Gejala ini muncul biasanya dimulai tanpa adanya cedera. Gejala-gejala ini termasuk adanya benjolan kecil, nyeri di telapak tangan, pembengkakan, rasa tidak nyaman di jari dan sendi. Kekakuan akan bertambah jika pasien tidak melakukan aktifitas, misalnya saat anda bangun pagi, kadang kekakuan akan berkurang saat melakukan aktifitas. Pada kasus-kasus yang berat jari tidak dapat diluruskan bahkan dengan bantuan. Pasien dengan diabetes biasanya akan terkena lebih parah. Pada tingkat sendi palmaris distal, nodul bisa teraba lembut, biasanya di atas sendi metakarpofalangealis (MCP). Jari yang terkena bisa macet dalam posisi menekuk (Akhtar et al, 2005). Trigger Finger dapat sangat menyakitkan bagi pasien. Dalam kasus yang parah, pasien tidak mampu untuk menggerakkan jari yang melampaui rentang gerak. Pada ibu jari yang macet, pada palpasi yang lembut dapat ditemukan nodul pada aspek palmar sendi MCP pertama dari sendi palmaris distal (Akhtar et al, 2005; Makkouk, 2008). F. Pemeriksaan Diagnostik Trigger Finger Secara umum penegakan diagnosis pada Trigger Finger cukup dengan pemeriksaan fisik saja, tidak ada tes laboratorium yang diperlukan dalam diagnosis jari macet. Jika ada kecurigaan tentang kondisi, adanya diagnosis yang terkait, seperti diabetes, Rheumatoid Arthritis, atau penyakit lain pada jaringan ikat, antara lain, hemoglobin glikosilasi (HgbA1c), gula darah puasa, atau faktor rheumatoid harus diperiksa. Secara umum, tidak ada pencitraan yang diperlukan dalam kasus jari macet. Tidak ada tes lebih lanjut yang biasanya diperlukan (Geso et al, 2012; Makkouk, 2008; Rasjad, 2007). ROM ( Range of Motion) adalah jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh, yaitu sagital, transversal, dan frontal. Potongan sagital adalah garis yang melewati tubuh dari depan ke belakang, membagi tubuh menjadi bagian kiri dan kanan. Potongan frontal melewati tubuh dari sisi ke sisi dan membagi tubuh menjadi bagian depan ke belakang. Potongan transversal adalah garis horizontal yang membagi tubuh menjadi bagian atas dan bawah. Berikut pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan menurut Manurung (2013): 1. Finkelstein Test Test dilakukan unutk mendeteksi adanya dequevein atau Hoffman disease atau dikenal juga dengan nama styloditis radial. Pada kondisi ini terjadi peradangan pada tendo EPB dan APL yang berada dalam satu selubung tendon. Finkelstein dengan cara pasien mengepalkan tangannya, dimana ibu jari diliputi oleh jari-jari lainnya selanjutnya pemeriksa menggerakkan wrist pasien kearah ulnar deviasi (Abduksi Ulnar). Positif jika timbul nyeri yang hebat pada kedua tendo otot tersebut tepatnya pada procesus styloideus radial. Yang memberikan indikasi adanya tenosynovitis pada ibu jari. 2. Test Phalen Apabila terdapat penyempiatan pada terowongan carpal dipergelangan tangan bagian volar yang dilintasi cabang nervus madinus, maka penekukan di wrist joint akan menimbulkan rasa nyeri atau parestisia dikawasan nervus medianus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara palmar fleksi kedua wrist, lalu saling tekankan kedua dorsum manus satu dengan lainnya sekuatkuatnya. Tangan yang merasakan nyeri atau kesemutan memberi indikasi bahwa terowongan karpal tersebut menyempit. Selain cara tersebut diatas tes phalen dapat pula dilakukan dengan cara pergelangan tangan dipertahankan selama kira-kira setengah menit dalam posisi palmar fleksi penuh, Jika posisi ini dierahankan cukup lama, pada setiap orang akan timbuk rasa kesemutan, akan tetapi pada sindrom terowongan carpal rasa kesemutan akan timbul dalam waktu yang sangat singkat, pasti dalam waktu 30 detik, terkadang parestesia baru timbul saat pergelangan tangan digerakkan kembali dari posisi palmar fleksi maksimal. 3. Tes Tinel Terowongan Carpal Tes ini dilkukan dengan cara melakukan pengetokan/penekanan pada ligamentum volare pergelangan tangan atau pada n. medianus akan menimbulkan nyeri kejut didalam tangan serta arestesia dikawasan n. medianus apabila terowongan karpal menyempit seperti



4.



5.



6.



7.



halnya dengan sindrom carpal tunnel , meskipun didalam praktek tes ini tidak selalu positif. Tes Elastisitas (Gangguan Pengerutan Kulit) Rendam area yang mengalami sensasi dengan air suam-suam kuku selama 30 menit lalu keluarkan dari dalam air, selanjutnya lipat kulitnya, jika kulit tidak dapat dilipat indikasi gangguan pengkerutan. Circle Formation Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa fungsi n. medians. Caranya posisi ibu jari kejari telunjuk sehingga membentuk huruf O, jika tidak dapat dilakukan gerakan tersebut indikasi kelemahan pada otot Interossei anterior, FDP dan FPL. Froment’s Sign Dalam hal ini pasien mencoba untuk memegang selembar kertas diantara ibu jari dan jari telunjuk, ketika pemeriksa mencoba untuk menarik kertas tersebut keluar phalangs terminal ibu jari fleksi, hal ini disebabkan karena paralysisi dari otot adductor pollicis yang memberi indikasi tes positif. Tes ini member indikasi paralysis nervus ulnaris. Allen Test Pasien diminta untuk membuka dan menutup tangan beberapa kali secepat mungkin. Ibu jari dan jari tangan pemeriksa diletakkan diatas arteri radial dan arteri ulnar, selanjutnya pasien diminta untuk membuka tangan sementara penekanan diatas arteri tetap dilakukan. Satu arteri yang ditest dibebaskan untuk melihat aliran darahnya. Demikian pula dengam aretri lainnya. Kedua tangan diperiksa dan bandingkan . test ini untuk mengetahuti paten dari arteri radial dan arteri ulnaris dan untuk mengetahui pembuluh darah arteri yang banyak mensuplai tangan. Pemeriksaan histologi pada pulley A-1 dan tendon superfisial pada trigger finger adalah metaplasia fibrocartilago. Sel-selnya memberikan hasil positif untuk S-100, suatu protein yang ditemukan dalam kartilago. Pulley A-1dapat menjadi 3 kali lebih tebal, dan lapisan dalam dari pulley A-1 berubah dari spindle shaped fibroblas dan sel-sel ovoid menjadi kondrosit.



G. Penatalaksanaan Trigger Finger a. Terapi Farmakologi 1. Pengobatan NSAIDs Berikan pengobatan non steroid seperti aspirin, ibuprofen, naprosyn, atau ketoprofen hingga inflamasi mereda (Fauzi, 2015). 2. Injeksi Kortikosteroid Injeksi kortikosteroid untuk pengobatan Trigger Finger telah dilakukan sejak 1953. Tindakan Ini harus dicoba sebelum intervensi bedah karena sangat efektif (hingga 93%), terutama pada pasien non-diabetes dengan onset baru-baru ini terkena gejala dan satu digit dengan nodul teraba. Injeksi kortikosteroid diberikan fase akut sampai 4 bulan pertama. Injeksi diberikan secara langsung ke dalam selubung tendon. Namun, laporan menunjukkan bahwa injeksi extra synovial mungkin efektif, sambil mengurangi risiko tendon rupture(pecah). Pecah Tendon adalah komplikasi yang sangat jarang, hanya satu kasus yang dilaporkan. Komplikasi lain termasuk atrofi kulit, nekrosis lemak, hipopigmentasi kulit sementara elevasi glukosa serum pada penderita diabetes, dan infeksi. Jika gejala tidak hilang setelah injeksi pertama, atau muncul kembali setelah itu, suntikan kedua biasanya lebih mungkin untuk berhasil sebagai tindakan awal (Fauzi, 2015). b. Terapi Non Farmakologi Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan menurut Manurung (2013): 1) Kompreskan es selama lima sampai lima belas menit pada daerah yang bengkak dan nyeri. 2) Hindari aktifitas yang mengakibatkan tendon mudah teriritasi, seperti latihan jari yang berulang-ulang. 3) Splinting



Tujuan splinting adalah untuk mencegah gesekan yang disebabkan oleh pergerakan tendon fleksor melalui katrol A1 yang sakit sampai hilangnya peradangan. Secara umum splinting merupakan pilihan pengobatan yang tepat pada pasien yang menolak atau ingin menghindari injeksi kortikosteroid. Sebuah studi pekerja manual dengan interfalangealis distal (DIP) di splint dalam ekstensi penuh selama 6 minggu menunjukkan pengurangan gejala pada lebih dari 50% pasien. Studi lain, splint sendi MCP di 15 derajat fleksi (meninggalkan sendi PIP dan DIP bebas) yang ditampilkan untuk memberikan resolusi gejala di 65% dari pasien pada 1tahun tindak lanjut. Untuk pasien yang paling terganggu oleh gejala mengunci di pagi hari, splinting sendi PIP pada malam hari dapat menjadi efektif. splinting menghasilkan tingkat keberhasilan yang lebih rendah pada pasien dengan gejala Trigger Finger yang berat atau lama (Geso et al, 2012; Makkouk, 2008; Rasjad, 2007). c. Pembedahan Tindakan pembedahan dinilai sangat efektif pada trigger finger. Indikasi untuk perawatan bedah umumnya karena kegagalan perawatan konservatif untuk mengatasi rasa sakit dan gejala. Waktu operasi agak kontroversial dengan data yang menunjukkan pertimbangan bedah setelah kegagalan baik tunggal maupun beberapa suntikan kortikosteroid. Tindakan pembedahan ini pertama kali diperkenalkan oleh Lorthioir pada tahun 1958. Fungsi operasi biasanya bertujuan melonggarkan jalan bagi tendon yaitu dengan cara membuka selubungnya. Dalam penyembuhannya, kedua ujung selubung yang digunting akan menyatu lagi, tetapi akan memberikan ruang yang lebih longgar, sehingga tendon akan bisa bebas keluar masuk. Dalam prosedur ini, sendi MCP adalah hyperextensi dengan telapak ke atas, sehingga membentang keluar katrol A-1 dan pergeseran struktur neurovaskular bagian punggung. Setelah klorida dan etil disemprotkan lidokain disuntikkan untuk manajemen nyeri, jarum dimasukkan melalui kulit dan ke katrol A-1. Tingkat keberhasilan telah dilaporkan lebih dari 90% dengan prosedur ini, namun penggunaan teknik ini berisiko cedera saraf atau arteri (Fauzi, 2015). H. Komplikasi Trigger Finger Komplikasi potensial utama jari memicu adalah nyeri dan penurunan penggunaan fungsional dari tangan yang terkena. Potensi komplikasi injeksi kortikosteroid menurut Akhtar et al, 2005 adalah sebagai berikut: a. Infeksi, penggunaan teknik steril dapat meminimalkan masalah ini. b. Pendarahan, ini dapat diminimalkan dengan menerapkan tekanan langsung segera setelah prosedur tersebut. Perhatian harus dilakukan sebelum suntik pasien dengan gangguan perdarahan. c. Melemahnya tendon, ini meningkatkan risiko ruptur tendon berikutnya, kemungkinan yang menjadi perhatian khusus jika suntikan dilakukan salah (khusus, jika injeksi ini dikelola ke tendon itu sendiri bukan hanya dalam selubung tendon). Risiko dapat meningkat dengan beberapa suntikan, namun setidaknya beberapa peneliti klinis



(misalnya, Anderson dan Kaye) tidak menemukan episode rupture tendon setelah injeksi kortikosteroid untuk kondisi ini, bahkan dengan suntikan ulang. d. Atrofi lemak yang terjadi secara lokal di tempat suntikan - atrofi semacam itu dapat terjadi jika kortikosteroid yang disuntikkan ke dalam jaringan subkutan. komplikasi ini dapat menyebabkan depresi kosmetik di kulit. e. Infiltrasi saraf dan cedera saraf berikutnya. Komplikasi ini jarang terjadi, bisa dipantau oleh sensasi menilai seluruh digit. I.



Prognosis Trigger Finger Prognosis pada Trigger Finger sangat baik, kebanyakan pasien merespon terhadap injeksi kortikosteroid dengan atau tanpa bebat terkait. Beberapa kasus jari macet mungkin dapat sembuh secara spontan dan kemudian terulang kembali tanpa korelasi yang jelas dengan pengobatan atau faktor memperburuk (Akhtas et al, 2005; Makkouk, 2008).



ASUHAN KEPERAWATAN TRIGGER FINGER I. Pengkajian Keperawatan 1. Identitas Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan nomor register. 2. Riwayat Kesehatan a. Keluhan utama: kaji keluhan yang paling dirasakan pasien b. Riwayat kesehatan sekarang : keluhan sampai saat klien pergi ke Rumah Sakit atau pada saat pengkajian seperti pada jari saat digerakkan. c. Riwayat kesehatan masa lalu: kaji adanya kecelakan pada masa lalu/fraktur, tumor, trauma jaringan lunak, penyakit Diabetes Mellitus. d. Riwayat kesehatan keluarga: yang dapat dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut dapat diidentifikasi mengenai penyakit turunan dan penyakit menular yang terdapat dalam keluarga. 3. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan Umum 2. B1 (Breating) Pada pemeriksaan sistem pernapasan, didapatkan bahwa klien Trigger Finger tidak mengalami kelainan pernapasan. 3. B2 (Blood) Inspeksi tidak ada iktus jantung, palpasi nadi meningkat, iktus teraba auskultasi suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur. 4. B3 (Brain) Kepala, leher, wajah, mata, telinga, hidung, mulut dan faring 5. B4 (Bladder) Kaji urine yang meliputi warna, jumah dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Tetapi bia sanya tidak mengalami gangguan. 6. B5 (Bowel) Inspeksi abdomen bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. Palpasi turgor kulit baik, tidak ada defans muskular dan hepar teraba. Perkusi suara timpani ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi peristaltik usus normal kurang lebih 20x/menit. 7) B6 (Bone). Adanya jari yang terkunci, dan bunyi clicking. a. Look Perhatikan adanya pembengkakan yang abnormal dan deformitas pada jari tangan. b. Feel Kaji adanya nyeri tekan dan krepitasi pada jari tangan. c. Move Karena timbul nyeri, gerak menjadi terbatas. aktivitas klien yang berhubungan denan menggerakkan jari tangan menjadi berkurang dan klien memerlukan bantuan orang lain. II. Diagnosa Keperawatan 1. Ansietas Berhubungan Dengan Kekhawatiran Mengalami Kegagalan 2. Nyeri Akut Berhubungan Dengan Prosedur Operasi 3. Hambatan Mobilitas Fisik Berhubungan Dengan Penurunan Kekuatan Otot III. Intervensi Keperawatan NO 1.



DIAGNOSA KEPERAWATAN



LUARAN (SLKI)



INTERVENSI (SIKI)



Ansietas Berhubungan Tujuan : Setelah dilakukan Reduksi Ansietas Dengan Kekhawatiran Tindakan keoerawatan Observasi : Mengalami Kegagalan selama 1 jam diharapkan 1. Identifikasi saat



tingkat



tingkat ansietas dengan



menurun



Kriteria Hasil :  Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi menurun.  Perilaku gelisah menurun.  Pucat menurun.  Tekanan darah menurun.  Frekuensi nadi menurun.



ansietas berubah (Mis. Kondisi, Waktu, Stressor). 2. Identifikasi kemampuan mengambil keputusan. 3. Monitor tanda-tanda Ansietas (Verbal Dan Nonverbal). Terapeutik : 4. Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan. 5. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan. 6. Pahami situasi yang membuat ansietas dengarkan dengan penuh perhatian. 7. Gunakan pendekatan yang tenang dan menyakinkan. 8. Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan. 9. Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan datang. Edukasi : 10.Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami. 11.Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan, dan prognosis. 12.Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu. 13.Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai kebutuhan. 14.Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi. 15.Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan. 16.Latih Teknik relaksasi. Kolaborasi : 17.Kolaborasi pemberian obat antlansietas.



2.



Nyeri Akut Berhubungan Tujuan : Setelah dilakukan Manajemen Nyeri Dengan Prosedur Operasi tindakan keperawatan Observasi : selama 1 jam diharapkan 1. Identifikasi lokasi, tingkat nyeri menurun karakteristik, durasi, dengan frekuensi, kualitas, intensitas Kriteria Hasil : nyeri.  Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri. menurun.



3. Identifikasi respon nyeri non  Meringis menurun.  Gelisah menurun. verbal.  Tekanan darah 4. Identifikasi faktor yang membaik. memperberat dan memperinhgan nyeri. 5. Identifikasi pengetahuan dan kenyakinan tentang nyeri. 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respons nyeri. 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup. 8. Monitor keberghasilan terapi komplementer yang sudah diberikan. 9. Monitor



efek



samping



penggunaan analgetik. Terapeutik : 10. Berikan



Teknik



non



farmakologi



untuk



mengurangi rasa nyeri 11. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri. 12. Fasilitasi istirahat dan tidur. 13. Pertimbangkan sumber



jenis



nyeri



pemilihan



dan dalam



strategi



meredakan nyeri. Edukasi : 14. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri. 15. Jelaskan strategi meredakan nyeri. 16. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri. 17. Anjurkan



menggunakan



analgetik secara tepat. 18. Ajarkan



teknik



farmakoolgis mengurangi nyeri.



non untuk



Kolaborasi : Kolaborasi



pemberian



analgetik, jika perlu 3.



Gangguan Mobilitas Fisik Tujuan : Setelah dilakukan Dukungan Ambulasi Berhubungan Dengan Tindakan keperawatan Observasi : Penurunan Kekuatan Otot selama 1 jam diharapkan 1. Identifikasi adanya nyeri mobilitas fisik meningkat atau keluhan fisik lainnya. dengan 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi. Kriteria Hasil : 3. Monitor kondisi umum selama melakukan  Pergerakan ekstermitas ambulasi. meningkat.  Kekuatan otot Terapeutik : meningkat.  Rentang Gerak (ROM) 4. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis. meningkat. tongkat, kruk).  Gerakan terbatas 5. Fasilitasi melakukan menurun. mobilisasi fisik, jika perlu.  Kaku sendi menurun.  Kelemahan fisik 6. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam menurun. meningkatkan ambulasi. Edukasi : 7. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi. 8. Anjurkan melakukan ambulasi dini. 9. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis. berjalan dan tempat tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai toleransi.



DAFTAR PUSTAKA Bulechek, G.M. Butcher, H.K. Dochterman, J.M. Wagner, C.M. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Singapore : Elsevier Global Rights. Herdman, T.H. 2015-2017. NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan: definisi & klasifikasi 2015-2017. Jakarta : EGC Lahita RG, Tsokos G, Buyon JP, and Koike T. Systemic Lupus Erythematosus. 4th edition. London: Academic Press; 2004. Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M.L. Swanson, E. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). Singapore: Elsevier Global Rights. Price, S.A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol. 2 Edisi 6. Jakarta: EGC Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia: Jakarta Tjokronegoro, A. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI