LTM-K11-Askep KETIDAKEFEKTIFAN MANAJEMEN KESEHATAN - 196070300111005-Nadya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LTM “ASUHAN KEPERAWATAN JIWA LANJUT PADA PASIEN KETIDAKEFEKTIFAN MANAJEMEN KESEHATAN” Oleh : Nadya Karlina Megananda (196070300111005)



PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2020 RINGKASAN



1.



Konsep Ketidakefektifan Manajemen Kesehatan 1)



Pengertian Ketidak efektifan management kesehatan, didefinisikan sebagai regulasi yang tidak memuaskan dan integrasi standar rejimen terapeutik ke kehidupan sehari-hari, untuk penyakit dan pengobatan sekuele, untuk mencapai tujuan spesifik kesehatan (NANDA, 2010). Ketidak efektifan management kesehatan adalah suatu pola pengaturan dan integrasi regimen terapeutik kedalam kehidupan sehari-hari untuk pengobatan penyakit atau gejala sisa dari penyakit yang tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan kesehatan yang spesifik (NANDA, 2015). Ketidak efektifan management kesehatan adalah ketidakmampuan pasien untuk mengontrol kebiasaan dan mencapai



target



terapi yang disepakati



dengan para profesional,



mengakibatkan komplikasi kesehatan (Silva, 2014). Diagnose ini (00078) ada di NANDA International untuk mendukung praktik klinis keperawatan. diagnosa ini mengacu pada pola pengaturan dan interkoneksi dengan kehidupan sehari-hari dalam rejimen terapi untuk pengobatan penyakit dan gejala sisa pada pasien, yang tidak memuaskan dalam mencapai tujuan kesehatan tertentu (faktor etiologi; Herdman & Kamitsuru, 2014). Ketidak efektifan management kesehatan adalah salah satu diagnosa keperawatan yang paling sering digunakan pada pasien sakit kronis di perawatan primer, di mana perawat menggunakan proses keperawatan dalam upaya untuk melatih pasien untuk mengelola sendiri rejimen terapi mereka (Pérez-Rivas et al., 2015). Analisis konsep perawatan diri dan manajemen kesehatan dan penyakit didasarkan pada Model Adaptasi Calista Roy yang berfokus pada adaptasi fisiologis dan psikososial untuk situasi sehari-hari dan teori-teori jangka panjang seperti Teori Imogene King's tentang Pencapaian Tujuan dan Teori self care oleh Dorothea Orem, berfokus pada hubungan antara orang dengan penyakit kronisnya di samping hubungan keperawatan yang mendukung yaitu ketika orang tersebut tidak mengikuti perawatan yang ditentukan,



perawat harus melakukan intervensi sehingga ia memperoleh hasil perawatan diri yang lebih baik (Riegel, Jaarsma, & Strombery, 2012). 2.



Predisposisi dan Presipitasi Ketidakefektifan Manajemen Kesehatan Menurut Menurut FK UI (2016), factor prediposisi pada pasien dengan Ketidakefektifan Manajemen Kesehatan adalah : 1)



Nature : a.



Biologi Riwayat masuk RS sebelumnya, berapa kali dirawat, riwayat pengobatan sebelumnya, riwayat minum obat, teratur atau tidak minum obat, kapan terakhir minum obat, riwayat kejang, jatuh/trauma, riwayat penggunaan NAPZA/ penggunaan obat halusinogen, riwayat anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Sebuah penelitian tentang diagnose ketidakefektifan manajemen kesehatan



pada



pasien



CKD



yang



melakukan



hemodialisa



mengidentifikasi serangkaian indikator klinis yang paling mewakili diagnose ini. Indikator klinis yang paling akurat adalah tidak patuh terhadap pengobatan. Hasil ini mencerminkan potensi kegagalan dalam proses adaptasi orang ini dengan status kesehatannya. Seorang pasien yang menjalani hemodialisis harus menerima status kesehatan barunya sebagai strategi untuk tindak lanjut yang memadai dari pengobatan yang ditentukan dan menghadapi kesulitan hidup dengan penyakit dan pengobatan (Branco & Lisboa, 2010; Gerasimoula et al., 2015; Patat et al., 2012). Ketidakpatuhan terhadap terapi pada individu-individu ini melibatkan absen pada sesi dialisis, asupan air dan makanan yang tidak memadai, penggunaan obat-obatan yang tidak tepat, dan perawatan fistula dan kateter yang terabaikan. Indikator ini terjadi karena kesulitan dalam mengakses obat-obatan, pemahaman yang buruk, dan kelupaan (Aspden et al., 2015). Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk dukungan profesional bagi pasien ini untuk meminimalkan kesulitan dari pengobatan farmakologis yang ditentukan.



Indikator pilihan hidup sehari-hari tidak efektif untuk mencapai tujuan kesehatan dan kurangnya ekspresi kemauan untuk mengendalikan penyakit adalah prediktor diagnose ini. Indikator klinis ini dapat diamati pada klien karena aspek negatif dari perawatan hemodialisis, seperti gangguan interaksi sosial, pekerjaan yang ditangguhkan, perubahan fisiologis dan psikososial, perasaan ketidakpastian tentang masa depan, dan ketergantungan pada keluarga dan profesional kesehatan (Cristovão, 2013). b.



Psikologi Perasaan klien setelah perawatan, komentar negatif orang-orang di sekitarnya, peran yang terganggu akibat dirawat, pengalaman tidak menyenangkan,



kepribadian



klien



misalnya



mudah



kecewa,



kecemasan tinggi, mudah putus asa dan menutup diri, konsep diri : adanya riwayat ideal diri yang tidak realistis, identitas diri tak jelas, harga diri rendah, krisis peran dan gambaran diri negative. Motivasi: riwayat kurangnya penghargaan dan riwayat kegagalan. Pertahanan psikologi: ambang toleransi terhadap stres rendah dan adanya riwayat gangguan perkembangan. Self control: adanya riwayat tidak bisa mengontrol



stimulus



yang



datang,



misalnya



suara,



rabaan,



penglihatan, penciuman, pengecapan. c.



Sosial dan Budaya Riwayat pendidikan, riwayat putus sekolah dan gagal sekolah, riwayat pekerjaan, kecukupan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan, siapa yang menanggung biaya hidup selama dirawat, tinggal dengan siapa, berapa saudara, siapa orang yang paling berarti, apakah pernah mengalami kehilangan orang yang dicintai, perceraian, kehilangan harta benda, penolakan dari masyarakat. Seorang individu dan sistem pendukung keluarganya sering memiliki kapasitas terbatas untuk menyediakan perawatan diri, ketika kapasitas ini dilampaui, manajemen penyakit seseorang dan perawatan diri mereka menjadi tidak efektif (Luque et all, 2016). Ketidakpatuhan terhadap pengobatan kronis adalah masalah utama bagi pasien usia lanjut dengan kondisi kronis, sistem perawatan kesehatan, dan keamanan



penggunaan obat yang tepat secara medis. Di bidang keperawatan, fenomena ini dianggap sebagai masalah kesehatan penting yang mempengaruhi sejumlah besar individu yang lebih tua (Henriques, Costa, & Cabrita, 2012). Ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa pasien membuat keputusan tentang perawatan medis mereka berdasarkan pada pengetahuan mengenai situasi pribadi mereka (proses kronis), persepsi tentang perlunya obat, dan kekhawatiran mengenai pengobatan tertentu, termasuk kemampuan mereka untuk mengatasi itu (Bosch-Capblanch, Abba, Prictor, & Garner, 2007). Namun, seorang individu dan sistem dukungan keluarganya sering memiliki kapasitas terbatas untuk menyediakan perawatan diri. Akibatnya, ketika kapasitas ini dilampaui, manajemen penyakit seseorang dan perawatan diri mereka menjadi tidak efisien. (Montiel, 2016). 2)



Origin a.



Internal : Persepsi individu tentang kondisi dirinya yang tidak baik, misalnya tidak menyadar atau merasakan biasa saja atas gangguan kesehatan yang dialami.



b.



Eksternal : Kurangnya dukungan keluarga, masyarakat, dan kurang dukungan kelompok/teman sebaya terutama yang berhubungan dengan kondisinyan yang sekarang



3)



Timing Stres terjadi dalam waktu dekat, stress terjadi secara berulang ulang/ terus menerus



4)



Number Sumber stres lebih dari satu dan stres dirasakan sebagai masalah yang sangat berat



3.



Penilaian Terhadap Stressor Ketidakefektifan Manajemen Kesehatan Menurut Menurut FK UI (2016), factor penilaian terhadap stressor pada pasien dengan Ketidakefektifan Manajemen Kesehatan adalah : 1)



Kognitif :



Tidak dapat memfokuskan pikiran, mudah lupa, tidak mampu mengambil keputusan, tidak mampu memecahkan masalah, tidak dapat berfikir logis, inkoheren, disorientasi, blocking, daya tilik diri jelek, mendengar suarasuara, melihat bayangan atau sinar, mendengar suara hati, menghidu baubauan, merasakan rasa pahit, asam, asin di lidah, merasakan sensasi tidak nyaman dikulit, ambivalen, sirkumstansial, flight of idea, tidak mampu mengontrol PK, punya pikiran negatif terhadap stressor, mendominasi pembicaraan. 2)



Afektif : Senang, sedih, merasa terganggu, marah, ketakutan, khawatir, merasa terbelenggu, afek datar/ tumpul, afek labil, marah, kecewa, kesal, curiga, mudah tersinggung



3)



Fisiologis : Sulit tidur, kewaspadaan meningkat, tekanan darah meningkat, denyut nadi meningkat, frekuensi pernafasan meningkat, muka tegang, keringat dingin, pusing, kelelahan/keletihan



4)



Perilaku : Berbicara dan tertawa sendiri, Berperilaku aneh sesuai dengan isi halusinasi, menggerakkan bibir/komat kamit, menyeringai, diam sambil menikmati halusinasinya,



perilaku



menyerang,



kurang



mampu



merawat



diri,



memalingkan muka ke arah suara, menarik diri 5)



Hubungan social : tidak tertarik dengan kegiatan sehari-hari, tidak mampu komunikasi secara spontan, acuh terhadap lingkungan, tidak dapat memulai pembicaraan, tidak dapat mempertahankan kontak mata, menarik diri.



4.



Sumber Koping Menurut Menurut FK UI (2016), sumber koping pada pasien dengan Ketidakefektifan Manajemen Kesehatan adalah : 1)



Personal ability : Ketidakmampuan memecahkan masalah, ada gangguan dari kesehatan fisiknya, ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain, pengetahuan tentang penyakit dan intelegensi yang rendah, identitas ego yang tidak adekuat.



2)



Social Support : Hubungan antara individu, keluarga, kelompok, masyarakat tidak adekuat, komitmen dengan jaringan sosial tidak adekuat. caregiver klien, kemampuan caregiver / keluarga dalam merawat, kelompok/peer group dengan penyakit yang sama, kader kesehatan jiwa di lingkungan tempat tinggal.



3)



Material asset : Ketidakmampuan mengelola kekayaan, misalnya boros atau sangat pelit, tidak mempunyai uang untuk berobat, tidak ada tabungan, tidak memiliki kekayaan dalam bentuk barang, tidak ada Jamkesmas, SKTM, ASKES, ansursnasi kesehatan lain. Tidak ada pelayanan kesehatan dekat tempat tinggal



4)



Positif belief :. Distress spiritual, tidak memiliki motivasi, penilaian negatif terhadap pelayanan kesehatan, tidak menganggap itu suatu gangguan



5.



Mekanisme Koping Cara individu menghadapi secara emosional respon kognitif yang maladaptif dipengaruhi oleh perjalanan masa lalunya. Seseorang yang telah mengembangkan mekanisme koping yang efektif pada masa lalu akan lebih mampu dalam mengatasi serangan masalah kognitif. Mekanisme pertahanan ego yang mungkin teramati pada pasien gangguan kognitif (perubahan proses pikir) :



6.



1)



regresi



2)



denial



3)



kompensasi



Diagnosis Ketidakefektifan Manajemen Kesehatan Diagnosis ketidakefektifan manajemen kesehatan merupakan domain 1, kelas 2 dengan kode diagnosis 00078. Karakteristik dari diagnose ini antara lain : 1)



Kesulitan dengan rejimen yang ditentukan



2)



Gagal memasukan rejimen pengobatan dalam kehidupan sehari-har



3)



Gagal mengambil tindakan untuk mengurangi factor resiko



4)



Pilihan yang tidak efektif dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kesehatan



Sedangkan factor yang terkait dengan diagnosis ketidakefektifan manajemen kesehatan antara lain :



7.



1)



Konflik keputusan



2)



Kesulitan mengelola rejimen pengobatan yang komplek



3)



Kesulitan menavigasi system perawatan kesehatan yang komplek



4)



Tuntutan yang berlebih



5)



Konflik keluarga



6)



Pola perawatan kesehatan keluarga



7)



Jumlah isyarat untuk bertindak tidak memadai



8)



Pengetahuan tentang rejimen terapi yang tidak memadai



9)



Dukungan social tidak memadai



10)



Hambatan yang dirasakan



11)



Manfaat yang dirasakan



12)



Persepsi keseriusan kondisi



13)



Kerentaranan yang dirasakan



14)



Ketidakberdayaan.



Intervensi Keperawatan dan Implementasi Keperawatan 1)



Psikoterapi Psikoterapi yang diberikan bagi penderita Skizofrenia yaitu terapi individu, terapi keluarga dan terapi kelompok (Kaplan & saddock, 2005). Menurut hasil wokshop Keperawatan Jiwa ke X (FK UI, 2016) terapi individu pada pasien dengan hambatan komunikasi verbal adalah Acceptance and Commitment Therapy (ACT), Behaviour Therapy (BT) dan Cognitive Behaviour Therapy (CBT). Terapi keluarga yaitu family psyhcoeducation (FPE) serta terapi kelompok berupa Suportive Therapy a.



Acceptance and Commitment Therapy (ACT) a)



Pengertian ACT merupakan salah satu terapi dimana klien diajarkan untuk menerima pikiran yang mengganggu dan tidak menyenangkan dengan menempatkan diri sesuai dengan nilai yang dianut sehingga ia akan menerima dengan kondisi yang ada. Diharapkan dengan itu semua klien dapat menentukan apa yang



terbaik untuk dirinya dan berkomitment untuk melakukan apa yang sudah dipilih olehnya. ACT dapat diberikan pada lingkup non klinis dan klinis. Pada penelitian-penelitian yang ada, terapi ACT baru diberikan secara individu yang mengalami gangguan psikososial dan gangguan jiwa. ACT merupakan terapi yang membantu menolong klien dengan menggunakan penerimaan psikologi sebagai strategi koping dalam situasi stres baik internal maupun eksternal yang tidak mudah untuk dapat diatasi. Klien dibantu untuk menerima kejadian yang tidak diinginkan, mengidentifikasi dan fokus pada aksi secara langsung sesuai dengan tujuan yang diinginkan. ACT dikembangkan oleh Steven Hayes yang merupakan seorang psikolog klinik dimana ia melihat bahwa faktor menerima (acceptance) dan berkomitmen memiliki dampak yang sangat besar dalam perkembangan kondisi klien menjadi lebih baik. Acceptance mengindikasikan bahwa seseorang mengerti dan setuju. Sehingga disini ditekankan bahwa seseorang harus terlebih dahulu mengerti mengenai keadaannya. Setelah itu barulah ia bisa menerima dengan kondisinya (Varcarolis, 2010). Supaya klien berkomitmen dengan apa yang sudah dipilih sesuai dengan nilai yang dimiliki maka perawat harus bisa membantu klien agar mengerti dan jelas dengan apa yang harus dilakukan melalui proses komunikasi yang terapeutik dan klien harus bisa bertahan dengan apa yang dipilih karena sudah melakukan komitmen (Stuart, 2009). Perawat berdiskusi dengan klien bagaimana cara untuk mencapai hal tersebut. Salah satunya adalah melakukan perubahan pada perilaku klien untuk merubah pola perilaku yang maladaptif.



b)



Tujuan Mengajarkan penerimaan terhadap pikiran dan perasaan yang tidak diinginkan yang tidak bisa dikontrol oleh klien membantu



klien dalam mencapai dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna tanpa harus menghilangkan pikiranpikiran kurang menyenangkan yang terjadi dan melatih klien untuk komitmen dan berperilaku dalam hidupnya berdasarkan nilai yang dipilih oleh klien sendiri. c)



Tahapan Mempunyai 4 sesi dan masing-masing sesi dilaksanakan selama 30-45 menit untuk setiap klien. Adapun uraian kegiatan tiap sesi adalah sebagai berikut: Sesi 1 Mengidentifikasi kejadian, pikiran dan perasaan yang muncul serta dampak perilaku yang muncul akibat pikiran dan perasaan. Sesi 2 Mengidentifikasi nilai berdasarkan pengalaman klien Sesi 3 Berlatih Menerima Kejadian dengan menggunakan nilai yang dipilih Sesi 4 Komitmen dan Mencegah kekambuhan



b.



Behaviour Therapy (BT) : Token Ekonomi a)



Pengertian Token ekonomi adalah bentuk dari reinforsement positif yang digunakan baik secara individu maupun kelompok pasien di ruang psikiatri atau pasien anak-anak (Stuart & Laraia ,2006). Token economy, yaitu sebuah teknik berdasarkan prinsipprinsip pengkondisian operan. Token ekonomi didesain bagi pasien penyakit mental agar menghasilkan perilaku yang diinginkan. Conditioned reinforcer dalam bentuk token diberikan pada pasien yang memunculkan respon yang diinginkan seperti memakai baju sendiri, makan tanpa bantuan, atau menyelesakan tugas secara baik. Token-token ini nantinya dapat ditukar untuk mendapatkan primary reinforcer, yaitu sesuatu yang diinginkan dan dinikmati orang lain seperti: baju baru, interaksi sosial, kosmetik, menonton film, dll.



b)



Tujuan



Meningkatkan pemahaman klien akan kemmapuan yang dimiliki, meningkatkan kemampuan klien terhadap perawatan diri, meningkatkan pemahaman akan manfaat dan hasil dari dilakukannya kemampuan dan meningkatkan kemandirian klien untuk melakukan kemmapuan. c)



Prosedur Intervensi dilakukan sebanyak 4 sesi selama 3 hari dan dilakukan observasi selama 3 minggu. Sesi 1 Mengadakan kontrak melatih kemampuan klien ke satu Sesi 2 Melatih kemampuan klien ke dua Sesi 3 Melatih kemampuan klienketiga Sesi 4 Mengungkapkan manfaat dan hasil dari latihan tiap sesi serta merencanakan tindak lanjut.



c.



Cognitive Behaviour Therapy (CBT) a)



Pengertian CBT merupakan kombinasi dari terapi cognitive dan behaviour, dan memiliki pengaruh untuk mengatasi gangguan mood dan ansietas (Chambless & Ollendick, 2001; DeRubeis & CristsChristoph, 1998 dalam Cully & Teten, 2008). CBT adalah salah satu bentuk terapi komunikasi (Kassel & Rais, 2010), Sehingga dapat



dikatakan



menggunakan



bahwa



pendekatan



CBT



merupakan



penyelesaian



terapi



masalah



yang dengan



mempelajari cara pengontrolan pikiran melalui perubahan persepsi terhadap orang dan situasi tertentu. b)



Tujuan Stallard (2002), menyebutkan bahwa CBT adalah intervensi terapeutik yang bertujuan untuk mengurangi tingkah laku mengganggu dan maladaptif dengan mengembangkan proses kognitif. CBT didasarkan pada asumsi bahwa afek dan tingkah laku adalah produk dari kognitif oleh karena itu intervensi kognitif dan tingkah laku dapat membawa perubahan dalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku. CBT pada dasarnya



bertujuan untuk mengubah keadaan atau status emosi individu, akan tetapi emosi tidak dapat diintervensi secara langsung. Emosi dihasilkan dari adanya stimulasi internal dan eksternal dan dipengaruhi oleh adanya perubahan pola pikir dan perilaku. Tujuan untuk menstabilkan emosi dicapai menggunakan CBT dengan merubah pikiran dan perilaku yang berkontribusi menyebabkan distress emosi. CBT bertujuan untuk menciptakan ketrampilan yang memungkinkan individu untuk meningkatkan kesadaran akan pikiran dan perasaannya, mengidentifikasi bagaimana situasi, pikiran dan perilaku mempengaruhi perasaan dan meningkatkan kemampuan untuk merubah pikiran dan perilaku maladaptif (Cully & Teten, 2008). c)



Prosedur Pada proses pelaksanaan terapi perilaku kognitif dibagi dalam 5 sesi, setiap sesi dilaksanakan selama 30-45 menit untuk setiap klien. Sesi 1 CBT: Pengkajian Pengalaman berupa ancaman yang terjadi pada diri seseorang dapat



menyebabkan



hilangnya



kemampuan



memproses



informasi secara efektif, oleh Aaron T. Beck dikenal dengan distorsi kognitif. Proses tersebut yang membuat seseorang sering mempunyai



pikiran



negatif



yang



selanjutnya



akan



mempengaruhi perilaku yang ditunjukannya. Sesi 2 CBT: Terapi Kognitif Terapi kognitif berusaha memfokuskan untuk menempatkan suatu pikiran, keyakinan, atau bentuk pembicaraan diri (self talk) terhadap orang lain yang lebih positif. Selain itu, terapi juga memfokuskan pada upaya membelajarkan klien agar dapat memiliki cara berpikir yang lebih positif dalam berbagai peristiwa kehidupan. Pada sesi ini klien akan mengevaluasi pikiran negatif yang masih ada dan melanjutkan dengan melatih



mengatasi pikiran negatif yang kedua menggunakan pikiran positif. Sesi 3 CBT: Terapi Perilaku Perilaku merupakan respon yang timbul secara eksternal, dipengaruhi oleh stimulus lingkungan & dapat dikontrol secara primer



oleh



konsekuensi-konsekuensinya.



Perilaku



dapat



diamati, diukur, & dicatat oleh diri sendiri maupun orang lain. Perilaku dapat ditingkatkan frekuensi terjadinya melalui reinforcement. Modifikasi perilaku seperti itu menurut Murray dan Wilson disebut operant conditioning. Dalam operant conditioning ini lingkungan sosial digunakan untuk membantu klien dalam meningkatkan kontrol terhadap perilaku yang berlebihan atau berkurang. Sesi 4 CBT: Evaluasi Terapi Kognitif Dan Terapi Perilaku Langkah berikut adalah untuk mengetahui lebih lanjut tentang pengalaman klien dengan masalah dengan menggunakan analisis perilaku. Analisis ini terdiri dari tiga bagian (ABC dari perilaku): Antecedent: stimulus atau isyarat yang terjadi sebelum perilaku dan mengarah ke manifestasinya. Behaviour/Perilaku: apa yang orang katakan atau tidak katakan atau lakukan. Consequence/Konsekuensi: apa efeknya (positif, negatif, atau netral) orang berpikir hasil dari perilaku. Sesi 5 CBT : Kemampuan Merubah Pikiran Negatif Dan Perilaku Maladaptif Untuk Mencegah Kekambuhan Pikiran akan mempengaruhi respon emosi dan perilaku. Pikiran yang positif akan menghasilkan perasaan dan perilaku yang positif dan dapat diterima oleh orang lain sehingga dapat menimbulkan



kenyamanan.



Ketrampilan



berpikir



dan



berperilaku positif harus dilatih secara terus menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan dalam hidup



d.



Family Psychoeducation; a)



Pengertian Salah satu terapi yang dapat diberikan pada keluarga adalah Family psycoeducation terapy (FPE) yang bertujuan untuk mengurangi tingkat kekambuhan dengan mengurangi stres yang timbul dari respons kritis dan perilaku yang terlalu terlibat melalui penyediaan pendidikan dan pelatihan keterampilan (Harvey, C., 2017)



b)



Prosedur Pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga terdiri dari 5 sesi. Setiap sesi dilakukan selama 45-60 menit. Adapun urutan dari terapi ini adalah sebagai berikut (Hasil workshop keperawatan jiwa ke x, 2016): Sesi 1: Pengkajian Masalah Keluarga Pada sesi pertama ini terapis dan keluarga bersama-sama mengidentifikasi masalah yang timbul di keluarga karena memiliki klien gangguan jiwa. Hal yang perlu diidentifikasi adalah makna gangguan jiwa bagi keluarga dan dampaknya pada orangtua, anak, saudara kandung, dan pasangan. Sesi 2 : Perawatan Klien Gangguan Jiwa Sesi 2 ini berfokus pada edukasi mengenai masalah yang dialami oleh klien. Edukasi yang diberikan kepada keluarga terkait dengan diagnosa medis dan diagnose keperawatan yang dialami klien. Sesi 3 : Manajemen Stress Keluarga Manajemen stress adalah berbagai metode yang digunakan oleh seseorang untuk mengurangi tekanan dan respon maladaptif lain terhadap stress dalam hidup; termasuk latihan relaksasi, latihan fisik, musik, mental imagery, atau teknik teknik lain yang berhasil pada individu tersebut. Sesi untuk membantu mengatasi masalah masing-masing individu keluarga yang muncul karena



merawat klien. Stress akan terjadi terutama pada caregiver yang setiap saat berinteraksi dengan klien. Sesi 4: Manajemen Beban Keluarga Pada sesi 4 ini terapis bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga, membicarakan mengenai masalah yang muncul karena klien sakit dan mencari pemecahan masalah bersama-sama. Beban objektif terkait dengan perilaku klien, penampilan peran, efek luas pada keluarga, kebutuhan akan dukungan, dan biaya yang dikeluarkan karena penyakit. Beban subjektif adalah perasaan terbebani yang dirasakan oleh seseorang; bersifat individual dan tidak selalu berhubungan dengan bagian dari beban objektif Sesi 5: Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga Komunitas memiliki pengaruh yang besar dalam rehabilitasi dan pemulihan klien dengan gangguan jiwa. Pemberi layanan kesehatan, termasuk perawat, harus menjalani peran pemimpin dalam mengkaji keadekuatan dan keefektifan sumber-sumber di komunitas dan dalam merekomendasikan perubahan untuk memperbaiki akses dan kualitas dari layanan kesehatan mental. e.



Terapi Suportif a)



Pengertian Terapi Suportif merupakan sekumpulan orang-orang yang berencana, mengatur dan berespon secara langsung terhadap issue-issue dan tekanan yang khusus maupun keadaan yang merugikan.



b)



Tujuan Terapi ini bertujuan untuk memberikan support terhadap keluarga



sehingga



mampu



menyelesaikan



krisis



yang



dihadapinya dengan cara membangun hubungan yang bersifat suportif antara klien-terapis, meningkatkan kekuatan keluarga, meningkatkan keterampilan koping keluarga, meningkatkan kemampuan



keluarga



menggunakan



sumber



kopingnya,



meningkatkan otonomi keluarga dalam keputusan tentang pengobatan, meningkatkan kemampuan keluarga mencapai kemandirian



seoptimal



mungkin,



serta



meningkatkan



kemampuan mengurangi distres subyektif dan respons koping yang maladaptif. c)



Prosedur Sesi 1 : Identifikasi Masalah Dan Sumber Pendukung Yang Ada -



Mengidentifikasi masalah kesehatan jiwa yang dialami klien / keluarga



-



Mengidentifikasi sumber pendukung internal (caregiver, anak, orang tua, dsb) dan kemampuannya



-



Mengidentifikasi sumber pendukung eksternal (peer, kader, PSM, puskesmas, RS, dsb) dan kemampuannya



Sesi 2 : Cara menggunakan sistem pendukung internal -



Mendiskusikan cara menggunakan sistem pendukung internal dan memvalidasinya



-



Mendiskusikan



hasil



setelah



menggunakan



sumber



pendukung internal Sesi 3 : Cara menggunakan sistem pendukung eksternal -



Mendiskusikan cara menggunakan sistem pendukung eksternal dan memvalidasinya



-



Mendiskusikan



hasil



setelah



menggunakan



sumber



pendukung eksternal Sesi 4 : Evaluasi -



Mengevaluasi hasil dan hambatan menggunakan sumber pendukung



f.



Interpersonal a)



Pengertian Interpersonal Psikoterapi adalah sebuat psikoterapu yang memiliki batasan waktu yang jelas, berfokus pada hubungan interpersonal dan memiliki tujuan untuk menghilangkan gejala



dan meningkatkan fungsi interpersonal individu (Robertson et al, 2008). b)



Tujuan Tujuan IPT adalah untuk membantu pasien meningkatkan keterampilan komunikasi interpersonal dan intrapersonal dalam hubungan dan untuk meningkatkan dukungan sosial dan harapan yang realistis terhadap peristiwa dalam kehidupan sehari-hari serta klien mampu menghadapi berbagai stressor interpersonal yang muncul (Cuijpers et al, 2016).



c)



Prosedur Sesi 1 : Initial assessment (tahap orientasi) Lebih



difokuskan



untuk



membantu



pasien



menyadari



ketersediaan bantuan dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara efektif dalam pemberian askep pada klien. Tahap ini ditandai dimana perawat melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi pengumpulan data. Pada tahap awal ini, dilakukan semacam pengukuran untuk melihat kesesuaian karakteristik klien dengan pendekatan IPT. Tahap ini kemudian ditutup dengan disepakatinya kontrak mengenai proses terapi dengan menggunakan teknik IPT yang akan dilaksanakan. Termasuk penjelasan mengenai IPT, tujuan IPT, jumlah sesi yang akan dilangsungkan, dan hasil yang diharapkan. Sesi 2 : Initial session (Identifikasi) Sesi-sesi pertama mencakup beberapa jenis tugas, antara lain adalah mengembangkan hipotesis detail mengenai penyebab klien mengalami kesulitan dalam hubungan interpersonalnya. Dalam tahap ini, klien juga diberikan ‘sick role’ terkait kondisinya dan diberikan penekanan bahwa gejala-gejala yang ia rasakan tidak berbeda halnya dengan penyakit fisik yang dapat ‘disembuhkan’ bila klien mau bekerja sama dengan



terapis. Dalam tahap ini terapis dan klien kemudian juga mengembangkan interpersonal inventory (IPI) yang merupakan catatan terstruktur mengenai konteks interpersonal klien terkait dengan permasalahan yang sedang dihadapi, Sesi 3 : Middle session Pada tahap ini, berdasarkan perumusan IPT dalam tahap sebelumnya, terapis kemudian dapat mengambil kesepakatan dengan klien mengenai area permasalahan yang akan disasar untuk ditangani. Terapis kemudian juga mengumpulkan lebih banyak informasi mengenai area permasalahan yang telah ditentukan tersebut dan mengklarifikasi temuan yang didapatkan dalam sesi. Terapis semakin menekankan keterkaitan antara konteks interpersonal dengan permasalahan yang dialami klien untuk kemudian bersama-sama merumuskan pilihan-pilihan solusi yang dapat dilakukan. Beberapa teknik IPT seperti analisis pola komunikasi, pengembangan kemampuan problem solving, memodifikasi ekspektasi klien mengenai hubungan sosial yang dimilikinya, dan pemberian edukasi serta melatih keterampilan sosial baru dengan role-play. Dalam sesi-sesi selanjutnya, solusi yang telah dipilih kemudian terus menerus dilatih dan dikaji bagaimana pengaruhnya terhadap hubungan sosial klien. Fase ini merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini perawat membantu klien dalam memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh aspek yang terlibat didalamnya Sesi 4 : Conclusion/termination sessions Tujuan utama dari tahap ini adalah untuk mengembangkan kemandirian klien setelah mengikuti proses terapi. Pada tahap ini



diharapkan



klien



merasa



telah



mengembangkan



kompetensinya untuk berinteraksi dalam hubungan sosial. Idealnya, klien telah memperoleh kemampuan komunikasi yang



baru, telah berhasil mengembangkan



insight mengenai pola



komunikasi mereka dan kaitannya dengan permasalahan yang timbul, dan telah mulai membangun jaringan dukungan sosialuntuk



membantu



mereka



jika



nantinya



menemui



permasalahan baru. Pada tahap ini, terapis akan melakukan review terhadap perkembangan yang telah dicapai oleh klien dan memberikan umpan



balik



positif



terhadap



perkembangan



tersebut.



Perkembangan yang dimaksud adalah penyelesaian masalah yang telah berhasil dilakukan, juga perkembangan kemampuan klien dalam membina hubungan sosial secara umum. Perlu ditekankan bahwa segala bentuk keberhasilan adalah hasil dari usaha klien, bukan karena terapis, meskipun terapis memang bertindak sebagai coach yang membantu. Terapis juga mendiskusikan dengan klien kemungkinan kemunculan permasalahan serupa dan perencanaan soal bagaimana



klien



mengantisipasi



akan



mengatasinya,



kemungkinan



munculnya



termasuk



juga



permasalahan-



permasalahan interpersonal baru. Terapis juga mendiskusikan dengan klien mengenai permasalahan yang belum terselesaikan melalui terapi dan mempertimbangkan proses maintenance terapi dengan melakukan pembaharuan kontrak kesepakatan terapi. g.



Psychodynamic therapy Menurut Wade dan Tavris (2015), terapi psikodinamika adalah suatu jenis psikoterapi dengan tujuan mirip dengan tujuan psikoanalisis, yaitu mempelajari dinamika ketidaksadaran pada kepribadian; meskipun dalam berbagai hal memiliki perbedaan dengan Freudian. Terapi psikodinamik efektif diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa, terjadi peningkatan psikologis yang signifikan dan bertahan lama, bahkan sampai pengobatan selesai, psikodinamik psikoterapi juga lebih hemat dalam segi biaya (Kennedy, 2018).



Terapi psikodinamik terdiri dari lima komponen yaitu aliansi terapeutik, masalah psikodinamik inti, formulasi psikodinamik, strategi untuk memfasilitasi perubahan dan terminasi (Summers, & Barber, 2015). a)



Aliansi teraupetik yang terdiri dari 3 yaitu tujuan, tugas dan hubungan. Tujuan yaitu penyamaan tujuan anatara terapis dan pasien.



Tugas



yaitu



pasien



dtang



pada



sesi



terapi



mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara jujur kepada terapis dan bersedia mendengarkan masukan dari terapis, sedangkan terapis yaitu mendengarkan, memahami dan fokus pada yang disampaikan pasien hingga membuat daftar masalah yang disampaikan pasien. Terapis membantu membangun persepsi yang baru terhadap gambaran diri dan konsep diri pasien kemudian juga berperan sebagai edukator bagi pasien. Hubungan yaitu berkaitan dengan membangun BHSP antara pasien dan perawat, pada pasien HDR terkadang sangat sensitif terhadap terhadap kritikan dan masukan sehingga terapis harus membangun empati dan memberikan perhatian kepada klien selama terapi. b)



Mendiagnosis masalah psikodinamik, terdapat enam masalah psikodinamik yaitu depresi, obsesifitas, rasa takut ditinggalkan, harga diri rendah, kecemasan panik, dan trauma. Pada pasien harga diri rendah yang ditunjukkan adalah perasaan tidak aman, kesepian dan merasa rendah diri.



c)



Formulasi psikodinamik adalah ringkasan singkat dari kondisi pasien berdasarkan riwayat hidup yang dialami pasien. Dalam formulasi ini akan terlihat identitas klien, peristiwa predisposisi dan presipitasi atau penyebab dan pencetus kondisi klien saat ini, kemampuan hubungan interpersonal klien, dan perilaku klien dalam hubungan sosial. Kemudian akan di rumuskan diagnosis klien, riwayat keluarga, psikopatologi masa kecil, riwayat



pengobatan,



riwayat



penyakit



medis



terdahulu,



gangguan mental dan riwayat trauma. Selnjutnya yaitu menjelaskan masalah inti yang sedang dihadapi klien kemudian upaya yang sudah dilakukan klien, strategi koping yang telah digunakan klien. Dan yang terakir melihat respon klien terhadap tindakan yang telah di lakukan terapis, apakah klien fokus pada terapis, atau klien bertahan dengan caranya sendiri untuk menyelesaikan masalah. d)



Memfasilitasi perubahan, ini merupakan langkah selanjutnya setelah



formulasi



mengungkapkan



yaitu



perasaannya



terapis dan



membimbing pikirannya



klien



(eksplorasi



emosional), klien didorong untuk membandingkan pengalaman yang membuatnya tidaknyaman di masa lalu dengan pandangan situasi saat ini seperti mengembangkan pandangan yang realistis dan perilaku yang sesuai. Terapis juga membantu klien mencoba keterampilan baru dalam hubungan interpersonal serta meningkatkan efektivitas hubungan sosial klien. e)



Tahap Terminasi, yaitu tahap dimana terapis dan pasien menyepakati bahwa tujuan dari terapi yang telah di sepakati di awal sudah tercapai dan masalah klien dapat diselesaikan.



Dengan menggunakan model dynamic interpersonal terapy yang terdiri dari 3 fase yaitu (Luyten, P., De Meulemeester, C., & Fonagy, P. 2019): Fase 1 (sesi 1-4) Melibatkan pasien dalam perawatan adalah fokus pertama dari fase awal. Pasien biasanya datang menolak penjelasan psikologis untuk kondisinya dan memiliki riwayat negative dengan para profesional kesehatan. Satu-satunya cara bagi terapis untuk melakukannya melawan perasaan ini adalah dengan validasi empati dan perasaan kuat dari pembatalan pasien, dalam kombinasi dengan mengakui realitas penderitaan mereka. sebagian dicapai oleh terapis dan pasien memutuskan bersama pada focus terapi yang akan dijalankan.



mengacu pada pola hubungan atau kelekatan afektif kognitif berulang yang berhubungan dengan timbulnya dan lamanya gejala pasien. Fase 2 (sesi 5-12) terdiri dari bekerja melalui rencana terapi yang telah disusun di sesi awal dan memperkuat kemajuan terapeutik. Tujuan ini dicapai dengan proses bersama dimana pasien dibantu untuk mengenali pola perlekatan interpersonal tipikal dalam kehidupan sehari-hari, dengan fokus pada kapasitas pasien untuk merenungkan dampak dari pola ini pada diri yang diwujudkan, orang lain, dan hubungan diri dengan orang lain. Di dinamyc interpersonal terapi, terapis secara aktif mendorong dan mendukung perubahan. Di fase tengah terapis menggunakan rangkuman penuh intervensi



psikodinamik: (1)



mendukung intervensi (jaminan, dukungan, dan empati); (2) intervensi yang menumbuhkan mentalisasi; (3) intervensi ekspresif seperti pandangan teoritis, yang termasuk terbatas fokus pada hubungan transferensi saat yang tepat, (4) teknik pengarahan (mis., mendorong pasien untuk mengubah cara dia berinteraksi dengan orang lain) Fase 3 (sesi 13-16) Berfokus pada pemberdayaan pasien untuk melanjutkan proses perubahan terapi sendiri. Ini dimulai dengan berbagi draft "selamat tinggal" surat yang ditulis oleh terapis. Surat ini memberikan gambaran umum tentang (1) masalah yang muncul, (2) focus terapi, (3) apa yang telah dicapai dalam hal berubah, dan (4) apa yang belum tercapai. Surat ini sering memancing reaksi emosional yang sangat kuat pada pasien.



Biologis



Riwayat masuk RS sebelumnya riwayat pengobatan sebelumnya, riwayat minum obat



Merasa tidak ada perubahan dalam pengobatan



Tidak mau melanjutkan pengobatan



Psikologis



Riwayat mengikuti suatu terapi (HD, kemoterapi dll)



Perasaan klien setelah perawatan (sedih, marah, kecewa)



Tidak menerima status kesehatan barunya



Motivasi



Kurangnya penghargaan di masalalu



punya pikiran negatif terhadap stressor



Tidak hadir pada saat terapi, perasaan



ketidakpastian tentang masa depan, dan ketergantungan pada keluarga dan profesional kesehatan



Sosial



INTERVENSI : ACT



INTERVENSI : Psikodinamik



Riwayat pendidikan



Tidak bekerja



Pendidikan rendah atau putus sekolah



Tidak mampu membiayai pengobatan



Kurang paham terhadap fungsi dan tatacara pengobatan



INTERVENSI : FPE



INTERVENSI : CBT INTERVENSI : BT



Ketidakefektifan managejemen kesehatan



Tidak ada dukungan masyarakat



kapasitas terbatas untuk menyediaka n perawatan diri



INTERVENS I : BT



INTERVENSI : ST



8.



Evaluasi Keperawatan Proses evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan dari tindakan keperawatan dan strategi rencana tindakan keperawatan selanjutnya. Evaluasi tindakan pada pasien untuk menilai adanya penurunan atau peningkatan tanda dan gejala harga diri rendah pasien serta kemampuan pasien dalam meningkatkan dan menyadari kemampuan positif yang pasien miliki (Wuryaningsih, Windarwati, Dewi, Deviantony & Hadi, 2018).



9.



Dokumentasi Keperawatan Dokumentasi keperawatan pada catatan perkembangan perawatan sangat penting dilakukan perawat. Dokumen ini merupakan bukti tertulis asuhan keperawatan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dokumen ini jga merupakan media komunikasi antara perawat maupun perawat- tenaga kesehatan lainnya sebagai pertimbangan perencanaan tindakan selanjutnya (Wuryaningsih, Windarwati, Dewi, Deviantony & Hadi, 2018).



DAFTAR PUSTAKA Aspden, T., Wolley, M., Tian, M. M., Rajah, E., Curd, S., Kumar, D., . . . Marshall, M. R. (2015). Understanding barriers to optimal medication management for those requiring long-term dialysis: Rationale and design for an observational study, and a quantitative description of study variables and data. BMC Nephrology,



16(102),



1-10.



Retrieved



from



https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26162369 Bosch-Capblanch, X., Abba, K., Prictor, M., & Garner, P. (2007). Contracts between patients and healthcare practitioners for improving patients’ adherence to treatment, prevention and health promotion activities [Review]. Cochrane Database Systematic Review, (2):CD004808 Branco, J. M. A., & Lisboa, M. T. L. (2010). Adherence to hemodialysis by chronic renal patients: Strategies for nursing. Revista Enfermagem UERJ, 18, 578-583. from http://www.facenf.uerj.br/v18n4/v18n4a13.pdf Cristovão, A. F. (2013). Difficulties and strategies to manage the therapeutic regimen in the patients with chronic renal in hemodialysis. Nefrol Enferm Madrid, 16, 247-255. Cuijpers, Pim; Geraedts, Anna S.; van Oppen, Patricia; Andersson, Gerhard; Markowitz, John C.; van Straten, Annemieke (2011). Interpersonal Psychotherapy for Depression: A Meta-Analysis. American Journal of Psychiatry. 168 (6): 581–92. doi:10.1176/appi.ajp.2010.10101411. Cully, J. A., Teten, A.L .(2008). A therapists guide to brief Cognitive Behavioural Therapy. Department of Veterans Affairs. Honston FIK-UI. (2016). Modul Keperawatan Jiwa. Jakarta: FIK UI. FIK-UI. (2016). Standar asuhan keperawatan. Jakarta: Universitas Indonesia. Harvey, C., (2017). Family psychoeducation for people living with schizophrenia and their families. BJPsych Advances. vol. 24: 9–19, doi: 10.1192/bja.2017.4



Henriques, M. A., Costa, M. A., & Cabrita, J. (2012). Adherence and medication management by the elderly. Journal of Clinical Nursing, 21, 3096–3105 Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2014). NANDA International nursing diagnoses: Definitions and classification 2015-2017. São Paulo, Brazil: Artmed. Kaplan & Saddock. 2015. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta: EGC Luyten, P., De Meulemeester, C., & Fonagy, P. (2019). Psychodynamic therapy in patients with somatic symptom disorder. Contemporary Psychodynamic Psychotherapy, 191–206. doi:10.1016/b978-0-12-813373-6.00013-1  Luque et all. (2016). Prevalence and Related Factors of Ineffective Self-Health Management in Polymedicated Patients Over the Age of 65 Years. International. Journal of Nursing Knowledge Pérez-Rivas, F. J., Martín-Iglesias, S., Pacheco Del Cerro, J. L., Minguet-Arenas, C., García-López, M., & Beamud-Lagos, M. (2015). Effectiveness of nursing process use in primary care. International Journal of Nursing Knowledge, 27, 43–48. doi:10.1111/2047-3095.12073 Riegel, B., Jaarsma, T., & Strombery, A. (2012). A middle-range theory of self-care of chronic iiiness. Advances in Nursing Science, 35(3), 94– 204 Silva FBBL. Análise de conceito do diagnóstico de enfermagem autocontrole ineficaz da saúde em pacientes submetidos à hemodiálise[Dissertação]. Universidade Federal do Rio Grande do Norte; 2014. Stallard, Paul. 2002. Think Good-Feel Good: A Cognitive Behaviour Therapy Workbook for Children.England: John Wiley & Sons Ltd. Stuart, G. W. (2013). Principles and practice of psychiatric nursing. China: Elsevier. Stuart, G. W., Budi, A.K., Jesika, P. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart. Edisi Indonesia: Elsevier. Wade, Carole., Tavris, Carol & Garry, Maryanne. 2014. “Psikologi: Edisi Kesebelas Jilid 1”. Jakarta: Erlangga. Varcarolis, E. M,. Dan Halter, M.J., (2010). Foundations Of Psychiatric Mental Health Nursing Clinical Approach. Sixth Edition. St Louse. New York.



Wuryaningsih, Windarwati, Dewi, Deviantony & Hadi. (2018). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa 1. Jember: UPT Percetakan dan Penerbitan Universitas Jember.