Mahdalena - Teknik Periwayatan Hadis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TEKNIK PERIWAYATAN HADITS: PENGERTIAN, BENTUK PERIWAYATAN, SYARAT DAN METODE PERIWAYATAN



Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Studi Hadits Prodi Sejarah Peradaban Islam Pada Pascasarjana UIN Alauddin Makassar Oleh: Mahdalena NIM: 80100222057 Dosen Pemandu: Dr. Muh. Sabir Maidin, M.Ag.



PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR TAHUN 2022



i



DAFTAR ISI



HALAMAN DEPAN DAFTAR ISI ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH .......................................................1 B. RUMUSAN MASALAH .......................................................................2 BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN PERIWAYATAN HADITS .........................................3 B. BENTUK-BENTUK PERIWAYATAN HADITS ................................4 C. SYARAT-SYARAT PERIWAYATAN HADITS ...............................8 D. METODE PERIWAYATAN HADITS ..............................................10 BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN ....................................................................................15 B. SARAN ...............................................................................................16 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................17



i



KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Segala puji bagi Allah swt. Tuhan semesta alam yang Maha memberi kenikmatan berupa kesempatan, kesehatan, dan nikmat lainnya yang bisa dirasakan hingga saat ini. Shalawat dan salam kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad saw. Nabi yang menjadi tauladan untuk kita semua didunia maupun di akhirat. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini ada banyak hambatan dan tantangan. Namun berkat ridha dari Allah swt sehingga penulisan makalah ini bisa selesai. Terima kasih kepada seluruh pihak yang teah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Tentunya makalah ini, masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin Yaa Rabbal’Aalamiin.



Makassar, 16 Oktober 2022



Penulis



ii



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah Selain Al-Quran, hadits juga menjadi sumber primer dalam rujukan hukum Islam baik untuk masalah muamalah maupun ibadah. Keduanya antara Al-Quran dan hadits saling melengkapi dan tak terpisahkan. Salah satu fungsi hadits terhadap Al-Quran ialah menetapkan dan memperkuat apa-apa yang telah dijelaskan dan ditetapkan oleh Al-Quran, sehingga hadits dapat dikatakan sebagai tambahan terhadap apa-apa yang termuat dalam Al-Quran1. Oleh karenanya penting untuk mengetahui metode pengkajian hadits terhadap Al-Quran. Dilihat dari segi periwayatannya, periwayatan Al-Quran berlangsung secara mutawatir seluruhnya. Berbeda dengan hadits Nabi SAW., yang periwayatannya ada yang secara mutawatir dan sebagian ada yang berlangsung secara ahad. Oleh karenanya hadits masih diperlukan penelitian. Dengan penelitian itu, akan diketahui apakah hadits yang bersangkutan dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya ataukah tidak.2 Urgensi penelitian melalui periwayatan sebuah hadits ini sangatlah penting. Fenomena maraknya hadits palsu di media sosial maupun lainnya, ataukah terdapat segelintir kelompok yang berusaha mencari legitimasi perilaku mereka melalui hadits palsu. Hal ini dapat juga disebut perilaku berdusta. Para ulama menyebutkan bawa seburuk-buruk pemalsu hadits adalah orang-orang shalih yang mereka bodoh lalu membuat hadits-hadits palsu dengan tujuan berbuat kebaikan. Untuk itu, penting bagi kita memahami makna periwayatan hadits, bagaimana bentuk periwayatannya, syarat-syarat yang harus dipenuhi, serta metode periwayatannya. Mengenal dan mengetahui hal tersebut merupakan sebuah usaha untuk menjauhkan diri dari segala hal yang palsu, khusunya dalam hal ini hadits. Hal inilah yang akan dibahas pada makalah sederhana yang 1



Muhammad Mashum. 2008. Ulumul Hadits @ Musthalah Hadits. Jombang: Darul Hikmah, hal. 16. 2 Muhammad Syuhudi Ismail. 1992. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, hal. 3.



1



berjudul Teknik Periwayatan Hadits: Pengertian, Bentuk Periwayatan, Syarat dan Metode Periwayatan.



B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis mencoba mengemukakan beberapa permasalahan pokok berkaitan dengan materi makalah ini, yaitu: 1. Apa pengertian periwayatan hadits? 2. Sebutkan bentuk-bentuk periwayatan hadits? 3. Apa saja syarat-syarat periwayatan hadits? 4. Bagaimana metode periwayatan hadits?



2



BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Periwayatan Hadits Hadits yang kita jumpai dalam berbagai kitab hadits saat ini, didapatkan melalui sebuah proses kegiatan yang dinamai dengan riwayah al-hadits atau alriwayah.3 Hadits dapat dikatakan sebagai sebuah kesaksian yang merekam segala yang berkenaan dengan diri Nabi saw, oleh karenanya hadits harus melalui proses periwayatan. Al-riwayah merupakan mashdar dari kata rawa yang berarti penukilan, penyebutan, pintalan dan pemberian minum sampai puas. Secara istilah al-riwayah berarti memindahkan hadits dan menyandarkannya kepada seseorang dengan metode tertentu atau dikatakan sebuah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits serta penyandarannya kepada rangkaian para perawi dengan bentuk-bentuk tertentu. Menurut istilah ilmu hadits, yang dimaksud periwayatan hadits adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits tersebut kepada rangkaian periwayatnya dengan menggunakan istilah atau lambang tertentu.4 Dalam melakukan periwayatan hadits, kita harus memperhatikan beberapa unsur, antara lain:5 1. Kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits (at-tahammul) 2. Kegiatan menyampaikan hadits itu kepada orang lain (al-ada) 3. Penyebutan susunan rangkaian periwayatannya ketika menyampaikan hadits (al-isnad) Dari unsur-unsur diatas dapat disimpulkan bahwa periwayatan hadits merupakan kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits (al-tahammul),



3



Wely Dozan dan Arif Sugitanata. 2021. El-Hikam: Jurnal Pendidikan dan Kajian KeIslaman: Konsep dan Praktik Metode Periwayatan Hadits dan Takhrij Al-Hadits (Studi Terhadap Teks Hadits), Vol. 14. No. 2 hal: 208. 4 Hendhri Nadhiran. 2013. Jurnal Ilmu Agama: Periwayatan Hadits Bil Makna: Implikasi dan Penerapannya sebagai Uji Kritik Matan di Era Modern, Vol. 2 hal: 189 5 M. Syuhudi Ismail. 1988. Kaedah Sanad Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, hal. 21



3



kegiatan menyampaikan hadits itu kepada orang lain (al-ada), dan penyebutan susunan rangkaian periwayatannya ketika menyampaikan hadits (al-isnad).



B. Bentuk-bentuk Periwayatan Hadits Sahabat nabi adalah generasi pertama yang langsung menerima sabdasabda Nabi saw. Seiring tersebarnya hadits mulai dari sahabat nabi sampai pada perawi lainnya, menjadikan sebuah hadits memiliki rantai periwayatan yang panjang. Namun sebelum itu, ada bentuk-bentuk redaksi periwayatan hadits yang perlu diketahui. 1. Periwayatan Hadits secara Lafal (bi al-lafdzi) Periwayatan hadits secara lafal (bi al-lafdzi) adalah meriwayatkan hadits sesuai dengan redaksi yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. tanpa ada perubahan sedikitpun.6 Metode periwayatan ini sangat mungkin berhubungan dengan periwayatan hadits yang berupa sabda Nabi (hadits qauli), terutama yang berisi lafal-lafal ibadah, seperti bacaan zikir, doa, azan, syahadat, dan lain sebagainya. Namun tidak semua sabda Nabi mampu diriwayatkan sesuai dengan sabda Nabi karena tingkat kemampuan hafalan dan daya ingat para sahabat Nabi sebagai saksi pertama tidak selalu sama. Melihat perbedaan kekuatan hafalan para sahabat nabi dalam meriwayatkan hadits, ada beberapa faktor yang memudahkan periwayatan hadits bi al-lafzi dilakukan, antara lain: a. Nabi Muhammad saw adalah seorang yang fasih dalam berbicara. Dalam menyampaikan sabda menggunakan metode penyampaian yang efektif, sesuai dengan dialek, menyesuaikan dengan kemampuan intelektual, dan latar belakang pendengarnya. Sehingga sabda Nabi Muhammad saw. memiliki kesan yang dalam bagi pendengarnya. b. Adakalanya Nabi Muhammad saw. mengulang beberapa sabda beliau dua atau tiga kali. Hal tersebut dimaksudkan agar para sahabat yang menyimaknya mampu memahami dan mengingat dengan baik.



6



Ahmad ‘Umar Hashim. Tanpa tahun. Qawa‘idu Usul al-Hadith, Beirut: Darul Fikr, hal: 230.



4



c. Sabda Nabi Muhammad saw. seringkali merupakan ungkapan pendek yang sarat makna (jawami‘ al-kalim). Ungkapan demikian tentu menarik perhatian dan mudah untuk diingat oleh para sahabat. d. Sabda Nabi Muhammad saw. berupa doa, zikir, dan bacaan dalam ibadah. Tentu hadits yang berisi redaksi demikian tidak boleh dirubah. Karena itu Nabi Muhammad saw. mengulanginya dan mempraktekkannya hingga sahabat mampu menghafal dan mempraktekkannya pula. e. Pada umumnya masyarakat Arab memiliki daya hafalan yang kuat. Selain itu, ajaran Islam yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. merupakan sesuatu yang berharga bagi peradaban masyarakat Arab. Maka tidak heran jika kekuatan daya menghafal masyarakat Arab dengan sangat mudah merekam sesuatu yang berharga bagi mereka. f. Terdapat sejumlah sahabat yang sengaja menghafal sabda Nabi Muhammad saw. bi al-lafzi, seperti ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khattab.7 Dari beberapa hal yang memudahkan periwayatan tersebut diatas, maka apakah periwayatan hadits bi al-lafzi saja yang diterima?. Ada beberapa ahli hadits yang hanya membenarkan periwayatan hadits bi al-lafzi saja, dengan kata lain tidak memperbolehkan periwayatan hadits dengan makna. Di antara sahabat Nabi yang menekankan periwayatan hadits bi al-lafzi tersebut antara lain adalah ‘Abdullah ibn ‘Umar, Zayd ibn al-Arqam, dan ‘Umar ibn alKhattab, Nafi‘ mawla ibn ‘Umar. Sedangkan dari kalangan ulama yang mengharuskan periwayatan hadits bi al-lafzi antara lain adalah al-Qasim ibn Muhammad, Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al-Razi dan Raja’ ibn Haywah, abu Ma‘mar al-Azdi, ‘Abdullah ibn Tawus, Malik ibn Anas dan lainnya. Ulama ahli hadits sepakat bahwa menjaga lafadz hadits dengan sepenuh hati, menyampaikan sesuai dengan lafadz yang diterima dan didengarnya, tanpa merubah, mengganti huruf atau kata, adalah lebih utama daripada periwayatannya secara makna, sebab periwayatan secara makna otomatis akan menimbulkan perbedaan redaksi. Selain itu, meriwayatkan hadits sesuai dengan redaksi yang diterima sejak dari Nabi Muhammad saw. 7



M. Syuhudi Ismail.Op.Cit.,hal: 77-79.



5



tentu lebih baik validitasnya, lebih bermanfaat bagi ummat, serta terhindar dari distorsi. 2. Periwayatan Hadits secara Makna (bi al-Ma’na) Hadits Nabi Muhammad saw. yang mungkin diriwayatkan secara lafal (riwayat bi al-lafz) oleh sahabat sebagai saksi pertama, hanyalah hadits yang dalam bentuk sabda (aqwal). Sedangkan hadits yang tidak berbentuk sabda, seperti halnya hadits-hadits yang berupa perilaku (af’al), sifat atau persetujuan (taqriran) dari Nabi Muhammad saw., hanya dapat diriwayatkan secara makna (riwayat bi al-ma’na).8 Hadits-hadits yang menerangkan perbuatan dan taqrir beliau, jelas redaksinya disusun oleh para sahabat yang menyaksikan perbuatan Nabi dan kemudian menyampaikan atau meriwayatkannya kepada sesama mereka ataupun generasi di bawahnya (tabi’in). Periwayatan secara maknawi (bil ma’na) lazim didefinisikan sebagai seorang rawi menyampaikan hadits dengan lafal dari dirinya sendiri disertai keterangan arti hadits dengan tanpa melakukan penambahan maupun pengurangan.9 Terdapat dua golongan berbeda yang menyikapi masalah riwayat bil ma’na. Golongan pertama merupakan golongan yang melarang riwayat bi alma’na secara mutlak. Tidak diperkenankan melakukan perubahan lafal serta mendahulukan suatu lafal dari lafal lain meskipun memiliki arti yang sama. Begitu juga menambahkan maupun menguranginya. Pelarangan ini berlaku, baik mereka yang mengerti mengenai materi dan tema hadits maupun tidak. Kelompok ini dipelopori oleh Sayyidina Umar Ibn al-Khattab, Zaid ibn Arqam, Abu Umamah al-Bahily, Abdullah ibn Umar. Dari golongan Tabi’in terdapat Ibn Sirin, al-Qasim ibn Muhammad, Raja ibn Hiwah, Ismail ibn Ulayyah, Abd al-Warith, Yazid ibn Zari dan Wahib. Para sahabat Nabi saw. umumnya membolehkan periwayatan hadits dengan makna. Golongan kedua ini ialah Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Darda’, Abu Hurairah dan 8



Kusroni. 2016. Riwayah: Jurnal Studi Hadits: Mengenal Tuntas Seluk-beluk Periwayatan Hadits, Vol. 2 No. 2 hal: 280. 9 Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah. t.t. Al-Wasit fi Ulum al-Hadith, t.k.: t.p., hal: 40.



6



Aisyah. Serta sekelompok Tabi’in seperti Hasan al-Bashri, al-Sya’bi, Umar ibn Dinar dan Ibrahim al-Nakha’i. Golongan ini memperbolehkan periwayatan hadits secara makna dengan syarat mengetahui konteksnya serta arti setiap lafal dan mengetahui terhadap perubahan yang terjadi. Inilah yang dipilih oleh jumhur ulama’ meskipun mereka berbeda pendapat dalam menyikapi syaratsyaratnya. Ketika seorang yang menukil hadits merasa yakin akan kebenaran arti, menyampaikan secara makna diperbolehkan. Adapun terkait periwayatan hadits secara makna yang dilakukan oleh nonsahabat, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Abu Bakr ibn alArabi (w:1148 M.) berpendapat, selain sahabat Nabi tidak diperkenankan meriwayatkan hadits secara makna. Sahabat Nabi saw. merupakan orangorang yang memiliki pengetahuan bahasa arab yang tinggi dan menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi, kedua hal ini tidak mungkin dimiliki oleh orang yang bukan sahabat. Inilah yang dijadikan alasan oleh Ibnu alArabi. Ulama lain yang sependapat dengan Ibnu al-Arabi adalah Muhamad ibn Sirin, Raja’ ibn Haiwah, Qasim ibn Muhammad, Sa’lab ibn Nahwi, dan Abu Bakar al-Razi. Namun



demikian,



mayoritas



ulama



hadits



memperbolehkan



periwayatan hadits secara makna dengan beberapa ketentuan. Menurut Syuhudi Ismail10 beberapa ketentuan yang telah disepakati yakni: a. Yang meriwayatkan hadits secara makna hanyalah mereka yang memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam. Hal ini penting untuk menghindarkan dari kekeliruan dalam menyusun redaksi hadits. b. Periwayatan dengan makna dilakukan karena sangat terpaksa, misalnya dikarenakan lupa susunan secara harfiahnya. c. Yang diriwayatkan secara makna bukanlah sabda Nabi saw. dalam bentuk bacaan yang sifatnya ta’abbudi. Misalnya zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan sabda Nabi saw. yang dalam bentuk jawami’ alkalim.



10



M. Syuhudi Ismail.Op.Cit.,hal: 82



7



d. Bila mengalami keraguan akan susunan matan hadits yang diriwayatkan, agar menambahkan kata-kata au kama qal atau au nahwa haza atau yang semakna dengannya, setelah menyatakan matan hadits yang bersangkutan. e. Kebolehan periwayatan hadits secara makna hanya terbatas pada masa sebelum hadits dikodifikasikan secara resmi. Sesudah masa kodifikasi, periwayatan hadits harus secara lafal.



C. Syarat-syarat Periwayatan Hadits Demi menjaga kualitas dan otentitas hadits Nabi saw. Ulama hadits telah menyusun kriteria dan persyaratan-persyaratan yang sangat ketat dalam proses periwayatan hadits, karena proses periwayatan atau penyampaian Hadis ini juga menjadi tolok ukur serta pertimbangan terhadap kualitas hadits yang diriwayatkan. Adapun kegiatan atau proses yang berisi seluk-beluk penerimaan dan penyampaian hadits lazim dikenal dengan istilah tahammul wa ada’ al hadith. Dengan demikian, seseorang baru dapat dinyatakan sebagai periwayat hadits, apabila dia telah melakukan pada apa yang disebut dengan tahammul wa ada’ al-hadith dan hadits yang disampaikannya tersebut lengkap berisi sanad dan matan. Menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits dengan istilah attahammul. Mahmud al-Tahhan dalam Taisir Mustalah al-Hadith menjelaskan: menurut pendapat yang sahih tidak ada persyaratan Islam dan baligh dalam penerimaan al-tahammul hadits, namun dalam penyampaian (al-ada’) disyaratkan islam dan baligh. Namun setidak-tidaknya harus sudah tamyiz. Jadi orang kafir dan anak-anak dinyatakan sah menerima riwayat hadits, tetapi untuk kegiatan penyampaiannya tidak sah sebelum masuk Islam dan baligh. Sebagian ulama ada yang mensyaratkan baligh dalam penerimaan hadits, namun persyaratan ini tidaklah tepat, karena pada masa sahabat telah terjadi penerimaan riwayat dari para sahabat yang masih junior al-sighar, seperti Hasan, Ibnu ‘Abbas, Abdullah bin Zubeir, Nu’man bin Basyir, Salib bin



8



Yazid, dan lainnya tanpa membedakan apakah riwayat yang mereka terima tersebut diterima oleh para junior ketika ia sudah baligh atau belum. Al ada’ ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu mempunyai pertanggung jawaban yang cukup berat sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga sangat bergantung padanya.11 Mengingat halhal seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits, sebagaimana berikut ini 1. Islam Pada waktu meriwayatkan hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma’ periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh bertawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini dapat kita bandingkan dengan firman Allah Quran Surah Al-hujuraat ayat 6 sebagai berikut:



ٌۢ ِ َ‫ٓاٰيَيُّها الَّ ِذين آمنُ اوا اِ ْن ج ۤاء ُكم ف‬ ِ ُ‫اس ٌۢق بِنَ باٍ فَتَ ب يَّنُ اوا اَ ْن ت‬ ‫صْي بُ ْوا قَ ْوًما‬ ْ َ َ ْ َ َ ْ َ َْ َ ِِ ٍ ِ ‫ي‬ َ ْ ‫صبِ ُح ْوا َع ٓلى َما فَ َع ْلتُ ْم نٓدم‬ ْ ُ‫ِبَ َهالَة فَت‬ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. 2. Baligh Baligh yang dimaksud adalah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadits, walaupun penerimaannya sebelum baligh.12 Usia baligh



merupakan



usia



dugaan



adanya



kemampuan



menangkap



pembicaraan dan memahami hukum-hukum syariat, karena pada 11 12



Tihammi M. A.2010. Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia, hal. 183 Ibid.



9



umumnya tidak dijumpai kemampuan menangkap pembicaraan dan berakal sebelum usia baligh. Ulama mengecualikan penerimaan riwayat dari anak di bawah usia baligh, karena khawatir akan kedustaannya. Kemudian syara’ juga tidak memberikan kekuasaan bagi anak kecil dalam masalah keduniaannya, apalagi masalah agama. 3. ‘Adalah (adil) Yang dimaksud dengan adil (‘adalah) adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah. 4. Dhabit Dhabit yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika mendengarkan serta menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya kepada orang lain.13 Dhabit mencakup hafalan dan tulisan. Adapun cara mengetahui kedhabitan seorang perawi adalah dengan membandingkan haditsnya dengan hadits perawi-perawi yang lain yang tsiqat, dhabit, dan teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal riwayat pada umumnya meski hanya dari segi makna, maka ia dinilai dhabit.



D. Metode Periwayatan Hadits Dalam proses periwayatan hadits terdapat beberapa metode. Metode periwayatan disini mencakup pada al-tahammul (pengambilan riwayat) dan al-ada’ (penyampaian riwayat). 1. Mendengar (al-sima’) Metode periwayatan al-sima‘ adalah menerima riwayat hadits dengan cara mendengar langsung dari sumber riwayat atau guru hadits. Baik guru tersebut membaca hadits dari hafalannya, maupun guru tersebut membaca dari kitab catatan haditsnya. Begitu pula murid mendengar 13



Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib. 2007. Ushul Al-Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, hal: 203



10



kemudian mencatat riwayat hadits yang didengarnya, atau hanya mendengar saja dan tidak mencatatnya. Cara al-sima’ oleh mayoritas ulama cara paling tinggi derajatnya, karena pada masa Nabi Muhammad saw metode al-sima’ ini sering digunakan. Cara ini lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayah. 2. Membaca (al-qira’ah) Metode al-qira’ah adalah kegiatan membaca seorang murid di hadapan gurunya, baik secara hapalan maupun dengan melihat sebuah kitab. Apabila bacaannya bukan hapalan atau tidak pula dengan membaca dari kitab melainkan dengan mendengar orang lain membaca di depan gurunya, maka untuk orang tersebut disyaratkan harus hapal bacaannya.14 Sedangkan guru menyimak dan mengoreksi bacaan hadits muridnya dengan hafalan atau dengan kitab catatan hadits yang thiqqat miliknya. Terkait derajat kualitas bentuk al-qira’ah atau membaca ini, Mahmud alTahhan membaginya dalam tiga kelompok pendapat, pertama: membaca sama derajatnya dengan mendengar (al-sima’), pendapat ini diriwayatkan dari Malik, al-Bukhari, dan mayoritas ulama hijaz dan kufah., kedua: lebih rendah dari pada al-sima’, pendapat ini diriwayatkan dari mayoritas ahl almashriq dan ini adalah pendapat yang sahih., ketiga: lebih tinggi dari alsima’, pendapat ini diriwayatkan dari abu Hanifah, ibn Abi Za’b dan satu pendapat dari Malik. 3. Ijazah (al-Ijazah) Yang dimaksud ijazah di sini adalah memberikan izin periwayatan baik secara ucapan maupun tulisan atau pemberian izin dari guru hadits kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits darinya. Namun demikian, periwayatan hadits dengan cara al-ijazah menumbuhkan asumsi bahwa periwayatan hadits tidak membutuhkan adanya perlawatan dalam mencari hadits. Karena seorang murid yang mendapatkan ijazah dari seorang guru tidak perlu bersusah payah mencari hadits dari para guru hadits lainnya.



14



Subhi Salih. 2009. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, hal: 97.



11



Oleh karena itu beberapa pakar hadits menolak penggunaan metode ini dalam meriwayatkan hadits.15 4. Memberi (al-Munawalah) Yang dimaksud dengan istilah memberi atau al-Munawalah ini adalah tindakan pemberian sebuah kitab atau sebuah hadits tertulis oleh seseorang supaya disampaikan dan diriwayatkan. al-Munawalah terdiri dari beberapa bentuk yang tidak sama tingkatan lemah dan kuatnya.16 Bentuk yang paling kuat dan paling tinggi adalah al-Munawalah Ma’a alIjazah Au bi al-Ijazah, yakni pemberian sebuah kitab atau sebuah Hadits tertulis dari seorang guru seraya berkata: “aku berikan ini kepadamu dan aku ijazahkan kamu untuk meriwayatkannya, ambillah dan riwayatkanlah ia dariku”.17 Ada juga bentuk lain, seperti ucapan guru kepada muridnya: “ ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, lalu kembalikan kepada saya.” Selain kedua bentuk di atas, ada bentuk lain yaitu; seorang murid datang kepada gurunya untuk meminta kitab yang isinya pernah ia dengar dari gurunya. Lalu sang guru mengambil kitab seraya berkata: “riwayatkanlah dari saya”. 5. Menulis (al-Kitabah) Periwayatan hadits dengan cara al-Kitabah ialah seorang guru menulis sendiri hadits atau menyuruh orang lain (yang adil dan dabit) untuk menuliskan hadits untuk diberikan kepada muridnya. Baik murid tersebut berada di hadapan guru ketika hadits itu ditulis, ataupun ia berada di tempat lain, atau seseorang yang lain yang berkirim surat padanya. Metode periwayatan ini terbagi menjadi dua, yaitu: al-Kitabah yang disertai dengan ijazah, dan al-Kitabah tanpa ijazah. al-Kitabah yang disertai dengan ijazah lebih kuat dari pada al-Kitabah tanpa ijazah. Bahkan al-Mawardi, al-A, dan al-Qattan menolak periwayatan hadits dengan al-Kitabah tanpa ijazah. Namun mayoritas ulama mutaqaddimin 15



Beberapa pakar hadits yang menolah metode ini dalam periwayatan hadits antara lain adalah Shu’bah bin Hajjaj dan abu Zur’ah al-Razi. Lihat M. Syuhudi Ismail.Op.Cit.,hal: 63. 16 Subhi Salih.Op.Cit., hal: 100. 17 Ibid., hal: 101.



12



dan muta’akhkhirin dari kalangan fuqaha’ dan usul membolehkan kedua macam al-Kitabah tersebut. Adapun al-Kitabah yang disertai ijazah, ia memiliki kualitas yang sama dengan al-munawalah yang disertai ijazah. 6. Memberitahukan (al-I’lam) Yang dimaksudkan dengan memberitahukan ialah tindakan seorang yang mengabari muridnya bahwa kitab atau hadits ini termasuk riwayat darinya atau dari yang didengarnya dari sesesorang (fulan) tanpa memberi ijazah untuk menyampaikannya. Mayoritas ulama memperbolehkan bentuk seperti ini, dan dijadikan sebagai salah satu bentuk penanggungan hadits (al-Tahammul).18 Dalam kitab Taisir Mustalah al-Hadith, Mahmud al-Tahhan menjelaskan: terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum periwayatan dengan I’lam, setidaknya ada dua pendapat, pertama: Boleh, pendapat ini diriwayatkan dari sebagian ulama Hadits, fikih dan usul., kedua: tidak boleh, pendapat ini diriwayatkan dari sebagian ulama Hadits, dan ini adalah pendapat yang sahih. 7. Wasiat (al-Wasiyyah) Metode periwayatan hadits al-wasiyyah adalah periwayatan hadits berdasarkan kepada kitab hadits yang diwasiatkan guru ketika hendak melakukan perjalanan atau wafat. Terkait hukum periwayatan dengan bentuk ini, sebagian ulama salaf memperbolehkan orang yang mendapat wasiat untuk meriwayatkan kitab dari orang yang mewasiatkannya. Menurut mereka, wasiat itu sama dengan cara pemberitahuan dan termasuk jenis pemberian. Dengan wasiat, sang guru seolah-olah telah memberi sesuatu kepada muridnya, dan memberitahukan bahwa sesuatu itu termasuk riwayatnya, hanya saja lafaz-lafaznya saja yang tidak jelas. Ulama yang memperbolehkannya mengakui bahwa riwayat dengan wasiat adalah bentuk yang paling lemah di antara sekian banyak bentuk periwayatan yang lain. Orang yang mendapat wasiat ketika menyampaikan riwayat wajib terikat pada susunan kata-kata (redaksi) si pemberi riwayat, 18



Ibid., hal: 103.



13



dalam arti dia tidak boleh menambahi maupun menguranginya. Sebab, wasiat ilmu pada dasarnya sama dengan wasiat harta. Jadi, yang diwasiatkanpun harus jelas jumlahnya atau keadaannya. Yaitu apakah berupa sebuah kitab atau beberapa kitab, berua sebuah hadits atau beberapa hadits, dan apakah sesuatu itu berupa apa yang ia dengar atau yang ia riwayatkan. Semuanya harus sama dengan pernyataan yang diberikan oleh sang guru yang mewasiatkan.19 8. Penemuan (al-Wijadah) Metode periwayatan bentuk ini yakni ketika seseorang mendapati hadis sebab menemukan naskah hadis orang lain. Baik penulis naskah tersebut semasa ataupun tidak, pernah bertemu ataupun tidak pernah, dan pernah meriwayatkan hadis dari penulis ataupun tidak. Begitu pula halnya bila dia menemukan beberapa hadits dalam kitab-kitab terkenal, seseorang yang memperoleh hadits dengan cara demikian harus meriwayatkannya dari gurunya dengan cara hikayat atau cerita. Disamping itu, ia wajib memberlakukan isnad hadits seperti keadaan aslinya dan menceritakan jujur tentang penemuannya itu.



19



Ibid., hal: 105.



14



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Definisi al-riwayat menurut istilah ilmu hadits adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu dalam rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. 2. Bentuk periwayatan hadis terbagi menjadi 2, yakni secara lafal dan makna. Periwayatan hadits secara makna menjadi perdebatan di kalangan ulama, ulama yang melarang dan membatasi periwayatan lebih dikarenakan demi menjaga keutuhan dan keaslian al-sunnah alnabawiyyah, ulama yang memperbolehkan memiliki pertimbangan bahwa adanya mashaqqah (kesulitan) ketika meriwayatkan hadits secara lafal, maka periwayatan secara makna diperbolehkan dengan beberapa ketentuan dan syarat. 3. Sebagian ulama ada yang mensyaratkan baligh dalam penerimaan hadits, namun persyaratan ini tidaklah tepat, karena pada masa sahabat telah terjadi penerimaan riwayat dari para sahabat yang masih junior (alsighar), seperti Hasan, Ibnu ‘Abbas dan lainnya tanpa membedakan apakah riwayat yang mereka terima tersebut diterima oleh para junior ketika ia sudah baligh maupun sebelumnya. 4. Dalam proses periwayatan Hadis terdapat beberapa metode periwayatan mencakup



pada



al-tahammul



(pengambilan



riwayat)



dan



al



ada’(penyampaian riwayat). Adapun bentuk-bentuk tersebut adalah: Mendengar (al sima’), Membaca (al-qira’ah), Ijazah (al-Ijazah), Memberi (al-Munawalah), Menulis (al-Kitabah), Memberitahukan (al‘I’lam), Wasiat (al-Wasiyah), Penemuan (al-Wijadah).



15



B. Saran Dari tugas makalah tersebut, banyak hal yang dapat kita pelajari. Semoga dengan terselesaikannya makalah ini dapat menambah wawasan kita dan pemahaman kita mengenai periwayatan hadits dalam kehidupan keseharian kita. Demikian makalah yang dapat penulis buat. Apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati atau belum sesuai dengan apa yang pembaca harapkan, penulis memohon maaf. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangatlah penulis harapkan demi pengembangan makalah-makalah dalam tugas-tugas selanjutnya.



16



DAFTAR PUSTAKA



Ahmad, Abu Umar Hasyim. t.t. Qawaidu Ushul Al-Hadits. Beirut: Darul Fikr. Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. 2007. Ushul Al-Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama. Dozan, Wely dan Arif Sugitanata. 2021. El-Hikam: Jurnal Pendidikan dan Kajian KeIslaman: Konsep dan Praktik Metode Periwayatan Hadits dan Takhrij Al-Hadits (Studi Terhadap Teks Hadits), Vol. 14. No. 2. Ismail, Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan Bintang. Kusroni. 2016. Riwayah: Jurnal Studi Hadits:



Mengenal Tuntas Seluk-beluk



Periwayatan Hadits, Vol. 2 No. 2. Mashum, Muhammad. 2008. Ulumul Hadits & Musthalah Hadits. Jombang: Darul Hikmah. Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah. t.t. Al-Wasit fi Ulum al-Hadith, t.k.: t.p. Nadhiran, Hendhri. 2013. Jurnal Ilmu Agama: Periwayatan Hadits Bil Makna: implikasi dan Penerapannya sebagai ‘Uji’ Kritik Matan di Era Modern, Vol. 2. No. 2 Salih, Subhi. 2009. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus Syuhudi Ismail, M. 1988. Kaedah Sanad Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. Tihammi M.A. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.



17