Makalah Bells Palsy [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH FISIOTERAPI BELL’S PALSY



Disusun oleh: Abid Nur Rohman 202010641011049



PROFESI FISIOTERAPI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2020



MAKALAH FISIOTERAPI BELL’S PALSY



Disusun oleh: Abid Nur Rohman 202010641011049



PROFESI FISIOTERAPI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2020 i



DAFTAR ISI Halaman Judul Luar.......................................................................................... Halaman Judul Dalam....................................................................................... Daftar Isi........................................................................................................... Daftar Gambar.................................................................................................. Prakata Praktik..................................................................................................



i ii iii iv



BAB I



PENDAHULUAN............................................................................ A. Latar Belakang.......................................................................... B. Rumusan Masalah..................................................................... C. Tujuan.......................................................................................



1 1 3 3



BAB II



TINJAUAN PUSTAKA................................................................... A. Definisi Bell’s Palsy................................................................. B. Anatomi dan Fisiologi Bell’s Palsy.......................................... C. Etiologi Bell’s Palsy................................................................. D. Tanda dan Gejala Bell’s Palsy.................................................. E. Patofisiologi Bell’s Palsy.......................................................... F. Komplikasi Bell’s Palsy........................................................... G. Prognosis................................................................................... H. Intervensi Fisioterapi................................................................



4 4 4 10 13 16 17 18 19



BAB III PENUTUP........................................................................................ Kesimpulan...................................................................................... Saran.................................................................................................



24 24 25



Daftar Pustaka...................................................................................................



26



ii



DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Tempat Akar Saraf Fasialis Keluar............................................... Gambar 2.2 N.VII (Fasialis) Membentuk Ganglion Genikulatum................... Gambar 2.3 Natomi Fungsional Dari Nervus Fasialis Secara Skematis.......... Gambar 2.4 Otot – Otot Wajah......................................................................... Gambar 2.5 Parese Nervus VII Perifer Kanan.................................................. Gambar 2.6 Gejala Dan Tanda Klinik..............................................................



iii



5 5 6 8 13 14



PRAKATA PRAKTIK Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Bell’s Palsy” guna memenuhi tugas praktik klinik yang dilakukan di RS Universitas Muhammadiyah Malang. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita,



Nabi Muhammad



SAW, keluarga,



sahabat



serta para pengikutnya.



Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan makalah ini, meskipun masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik yang membangun guna keberhasilan penulis yang akan datang. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan berbagai pihak, sulit bagi penulis untuk dapat menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesai makalah ini, semoga segala upaya yang telah dicurahkan mendapat berkah dari Allah SWT. Aamiin. Malang, Desember 2020



Penulis



iv



BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Gangguan yang terjadi pada saraf dan otot merupakan sebuah permasalahan yang sering ditemui di masyarakat. Salah satunya disfungsi saraf wajah yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Sedangkan wajah manusia merupakan titik fokus untuk komunikasi dan ekspresi. Disfungsi pada saraf wajah mengakibatkan ketidaksempurnaan bentuk wajah, menurunnya fungsi otot pada wajah, mengganggu keseharian penderita saat makan



dan



minum



menggunakan



gelas,



gangguan



saat



berbicara,



ketidakmampuan penderita dalam menutup rapat mata saat tidur, hingga timbulnya rasa nyeri disekitar telinga dan leher. Permasalahan tersebut merupakan salah satu gangguan saraf yang terjadi pada saraf wajah. Kondisi ini biasa disebut sebagai Bell’s Palsy. Bell’s Palsy merupakan suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nevus fasialis (N. VII) perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell’s palsy (Sukardi, 2004). Juga dikatakan Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe Lower Motor Neuron (LMN) akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya



2



tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya (Aminof, 1993). Beberapa hasil penelitian mengenai kondisi Bell’s palsy yang merupakan kasus terbanyak dari kelumpuhan akut perifer wajah unilateral di dunia. Insidensinya sebesar 20-30 kasus dari 100.000 orang. Bell’s palsy berada pada porsi sebesar 60-70% dari seluruh kasus kelumpuhan perifer wajah unilateral. Terdapat 4 buah Rumah Sakit di Indonesia menunjukkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati (Mujaddidah, 2017). Masalah kecacatan yang ditimbulkan oleh Bell’s palsy cukup kompleks, yaitu meliputi impairment (kelainan di tingkat organ) berupa ketidaksimetrisnya wajah, kelemahan otot wajah, kaku dan bahkan bisa berakibat terjadi kontraktur; disability atau ketidakmampuan (ditingkat individu) berupa keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari berupa gangguan makan dan minum, menutup mata, serta gangguan berbicara dan ekspresi wajah; participant restriction (di tingkat lingkungan) berupa keterkaitan dalam profesi terutama dibidang entertainment; dan masalah selanjutnya dari segi kejiwaan penderita. Untuk mengurangi dan membantu penanganan masalah tersebut dibutuhkan



peran



fisioterapi



sebagai



tenaga



medis.



Berdasarkan



PERMENKES RI No. 80 Tahun 2013 definisi fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan pada individu atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak dan atau fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dan menggunakan penanganan secara manual,



3



peningkatan gerak, peralatan (fisik, electroterapeutis dan mekanis), pelatihan fungsi dan komunikasi. Fisioterapi memiliki peran penting dalam kasus Bell’s Palsy, proses penyembuhan serta perbaikan bentuk wajah yang mengalami kelemahan, antara lain membantu mengatasi permasalahan kapasitas fisik pada pasien, mengembalikan kemampuan fungsional pasien serta memberi motivasi dan edukasi pada pasien untuk menunjang keberhasilan terapi pasien. Intervensi fisioterapi yang diberikan berupan electrical stimulation (ES), short wave dhiatermy (SWD), LASER dan massage (Y, 2008). B. Rumusan Masalah Apa intervensi fisioterapi yang dapat diberikan pada kasus Bell’s Palsy? C. Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui intervensi fisioterapi pada kasus Bell’s Palsy



4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Bell’s Palsy Bell’s Palsy pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lowis & Gaharu 2012). Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf perifer wajah secara akut (acute onset) pada sisi sebelah wajah (Djamil, 2003). Lima kemungkinan (hipotesis) penyebab Bell’s palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Hipotesis virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Sebuah penelitian mengidentifikasi genom Virus Herpes Simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s palsy (Lowis & Gaharu 2012). B. Anatomi Dan Fisiologi Bell’s Palsy 1. Saraf Fasialis dan Perjalanannya Saraf fasialis memiliki nukleus yang terletak di dalam medulla oblongata. Saraf fasialis memiliki akar saraf motorik yang melayani otototot mimik dan akar sensorik khusus (nervus intermedius).



6



Gambar 2.1 Tempat Akar Saraf Fasialis Keluar Bersama Saraf Vestibulocochlearis (N.VIII) di Angulus Pontocerebelaris (Sumber: Netter, 2014)



Saraf ini muncul di permukaan anterior antara pons dan medulla oblongata (angulus pontocerebelaris). Akar sarafnya berjalan bersama nervus vestibulo-cochlearis dan masuk ke meatus akustikus internus pada pars petrosa dari tulang temporal (Snell, 2012).



Gambar 2.2 N.VII (fasialis) Membentuk Ganglion Genikulatum (Netter,2014).



7



Saraf terletak di antara alat keseimbangan dan pendengaran yaitu cochlea dan vestibulum saat berjalan dari meakus akustikus internus menuju ventrolateral. Saraf memasuki kanalis fasialis di dasar dari meatus dan berbelok ke arah dorsolateral. Saraf menuju dinding medial dari kavum timpani dan membentuk sudut di atas promontorium yang disebut ganglion genikulatum. Saraf kemudian berjalan turun pada dinding dorsal kavum timpani dan ke luar dari os temporal melalui foramen stylomastoideus. Saraf tetap berjalan menembus glandula parotis untuk memberi persarafan pada otot-otot mimik (Snell, 2012).



Gambar 2.3 Natomi Fungsional Dari Nervus Fasialis (N.VII) Secara Skematis (Gilden, 2004)



Saraf fasialis memiliki lima percabangan penting sebagai berikut: a. Nervus petrosus superfisialis mayor keluar dari ganglion geniculi. Saraf ini memiliki cabang preganglionic parasimpatetik yang



8



memberi sinaps pada ganglion pterygopalatina. Serat-serat saraf ini memberi percabangan sekromotorik pada kelenjar lakrimalis dan kelenjar pada hidung dan palatum. Saraf ini juga mengandung serat afferen yang didapat dari taste bud dari mukosa palatum. b. Saraf stapedius, memberi persarafan pada muskulus stapedius di telinga tengah. c. Korda timpani muncul di kanalis fasialis di dinding posterior kavum timpani. Bagian saraf ini langsung menuju permukaan medial dari bagian atas membran timpani dan meninggalkan telinga tengah melalui fisura petrotimpanikus dan memasuki fossa infratemporal dan bergabung dengan nervus lingualis. Korda timpani memiliki serat preganglionik parasimpatetik berupa serat sekremotorik yang memberi persarafan pada kelenjar liur submandibular dan sublingual. Korda timpani juga memiliki serat saraf taste bud dari 2/3 anterior lidah dan dasar mulut. d. Nervus aurikularis posterior memberi persarafan otot aurikel dan muskulus temporalis. Terdapat juga cabang muskularis yang keluar setelah saraf keluar dari foramen stylomastoideus. Cabang ini memberi persarafan pada muskulus stylohyoid dan muskulus digastricus posterior. e. Lima cabang terminal untuk otot - otot mimik. Cabang-cabang itu adalah cabang temporal, cabang zigomatik, cabang buccal, cabang mandibular dan cabang cervical (Snell, 2012).



9



Nervus fasialis berada di dalam kelenjar liur parotis setelah meninggalkan foramen stylomastoideus. Saraf memberikan cabang terminal di batas anterior kelenjar parotis. Cabang-cabang ini menuju otot-otot mimik di wajah dan regio scalp. Cabang buccal untuk muskulus buccinator. Cabang cervicalis untuk muskulus platysma dan muskulus depressor anguli oris. 2. Otot-otot Mimik (Facial Expression Muscles)



Gambar 2.4 Otot – Otot Wajah (Sumber: Snell, 2012)



Otot-otot mimik terdapat di dalam fascia superfisialis wajah dan muncul dari tulang pada wajah dan masuk pada kulit wajah. Lubanglubang pada wajah yaitu orbita, hidung dan mulut dilindungi oleh kelopak mata, cuping hidung dan bibir. Fungsi otot - otot mimik adalah untuk menutup (sphincter) dan membuka (dilatator) struktur-struktur ini. Fungsi kedua otot-otot mimik adalah membuat ekspresi wajah. Semua otot ini mendapat suplai darah dari arteri fasialis (Snell, 2012).



10



Otot sphincter dari kelopak mata adalah muskulus orbikularis okuli dan otot dilatatornya adalah muskulus levator palpebra superioris dan muskulus occipitofrontalis. Muskulus occipitofrontalis membentuk bagian dari scalp. Muskulus corrugator supercilii adalah untuk mengkerutkan dahi (Snell, 2012). Otot sphincter dari cuping hidung adalah muskulus kompresor naris dan otot dilatatornya adalah muskulus dilatator naris. Muskulus procerus digunakan untuk mengerutkan hidung (Snell, 2012). Otot sphincter dari mulut adalah muskulus orbicularis oculi. Seratseratnya mengelilingi lubang mulut dalam bagian dari bibir. Seratseratnya Sebagian muncul dari garis tengah maxilla di atas dan mandibula di bawah. Serat lain muncul dari bagian dalam kulit dan menyilang pada membran mukosa membentuk garis dalam bibir. Banyak dari serat berasal muskulus buccinator. Otot dilatator dari mulut terdiri dari banyak serat otot yang bergabung dan fungsinya adalah memisahkan bibir. Gerakan ini lalu diikuti pemisahan rahang bawah. Serat-serat otot dilatator mulut ini muncul dari tulang dan fascia di sekitar mulut dan bersatu untuk membentuk bibir. Nama kelompok otot itu adalah sebagai berikut: a. Muskulus levator labii superioris alaqua nasi b. Muskulus levator labii superioris c. Muskulus zygomaticus minor d. Muskulus zygomaticus major



11



e. Muskulus levator anguli oris f. Muskulus risorius g. Muskulus depressor anguli oris h. Muskulus depressor labii inferioris i. Muskulus mentalis Muskulus buccinator berorigo di batas alveolar dari maxilla dan mandibula pada gigi molar oposisinya dan juga dari ligament pterygomandibula. Otot berjalan ke depan dan membentuk lapisan otototot pipi. Otot dikaitkan dengan kelenjar parotis. Otot buccinator menyilang pada serat utamanya di sudut mulut. Otot buccinator berfungsi untuk kompresi pipi dan bibir untuk mencegah pipi tergigit saat mengunyah (Snell, 2012). C. Etiologi Bell’s Palsy Karena proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau “exstrem cold”, n. Fasialis bisa sembab sehingga terjepit didalam foramen stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron (LMN). Walaupun etiologinya belum diketahui pasti, ada 4 teori yang diajukan sebagai penyebab bell’s palsy, yaitu : a. Teori Iskemik Vaskuler Teori ini sangat popular dan banyak yang menerimanya sebagai penyebab dari bell’s palsy. Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke n. VII. Terjadi vasokonstriksi arteriole yang melayani n. VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan



12



permeabilitas kapiler yang meningkat, dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudate yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler dan venule dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik. Dengan demikian akan terjadi keadaan/ circulus vitiosus. Pada kasus-kasus berat hal ini dapat menyebabkan saraf mengalami nekrosis dan kontinuitas yang terputus. b. Teori Infeksi Virus Menurut teori ini bell’s palsy disebabkan oleh virus, dengan bukti secara tidak langsung adanya riwayat penyakit virus yang terjadi sebelum bell’s palsy. Juga dikatakan perjalanan klinis bell’s palsy sangat menyerupai “viral neuropathy” pada saraf perifer lainnya. Walaupun etiologi dari bell’s palsy tidak diketahui, penyakit ini dipercaya disebabkan oleh infeksi virus yang melibatkan ganglion genikulatum. Teori virus ini didukung oleh Adour dkk, dikatakan bahwa bell’s palsy terjadi karena proses reaktivitas dari virus herpes (khususnya simpleks tipe I. Sesudah suatu infeksi akut primer, virus herpes dalam jangka waktu cukup lama dapat berdiam didalam ganglion sensoris. Reaktifitas ini dapat terjadi jika daya tahan tubuh menurun, sehingga terjadi neuritis/ neuropati dengan proses peradangan/ edema. Menurut adour, lokasi nyeri dapat disepanjang kanalis fasialis. Sebaliknya sebagian disekitar foramen stilomastoideum. Walaupun penyebab virus dicurigai, ternyata beberapa studi prospektif untuk membuktikan peranan



13



infeksi virus sebagai etiologi bell’s palsy adalah negatif, berarti tidak dapat mendukung teori virus. c. Teori Herediter Willbrand 1974 mendapat 6% penderita bell’s palsy yang kausanya herediter, yaitu autosomal dominan. Ini mungkin karena kanalis fasialis falopii yang sempit pada keturunannya atau keluarga tersebut sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis. d. Teori Imunologi Dikatakan bahwa bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau setelah pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita bell’s palsy diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema dialam kanalis fasialis falopii dan juga sebagai imunosupresor. Harsono pada tahun (2009) mengemukakan bahwa umumnya Bell’s palsy dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Idiopatik Sampai sekarang yang disebut Bell’s Palsy, belum diketahui secara pasti penyebabnya. Faktor yang diduga berperan menyebabkan bell’s palsy antara lain: sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur ditempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetik. b. Konginetal



14



1. Anomali kongenital (sindroma moebius) 2. Pasca lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial)



c. Didapat 1. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis) 2. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan) 3. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus 4. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster) 5. Sindroma paralisis n. fasialis familial D. Tanda dan Gejala Bell’s Palsy Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin (Djamil, 2003). Mulut tampak moncong terlebih pada saat tersenyum, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas (Bell phenomen). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh (Djamil & Afzar, 2003).



15



Gambar 2.5 Parese Nervus VII Perifer Kanan (Mir, 2003)



Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.



Gambar 2.6 Gejala Dan Tanda Klinik BP Berhubungan Dengan Lokasi Lesi (Sumber: Mir, 2003)



1. Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.



16



2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik seperti pada (1) ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.



3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius) Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), (2) ditambah dengan adanya hiperakusis. 4. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3) disertai dengan nyeri di belakang dan didalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina. 5. Lesi di daerah meatus akustikus interna Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3), (4), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus. 6. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.



17



Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadangkadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus (Djamil, 2003). Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis (Djamil, 2003). E. Patofisiologi Bell’s Palsy Patofisiologi pasti Bell’s palsy masih diperdebatkan. Perjalanan saraf fasialis melalui bagian os temporalis disebut sebagai facial canal. Suatu teori menduga edema dan ischemia berasal dari kompresi saraf fasialis di dalam kanal tulang tersebut. Kompresi ini telah nampak dalam MRI dengan fokus saraf fasialis (Seok, 2008). Bagian pertama dari canalis facialis segmen labyrinthine adalah yang paling sempit, foramen meatus dalam segmen ini hanya mempunyai diameter 0,66 mm. Yang bertempat dan diduga paling sering terjadi kompresi saraf fasialis pada bell’s palsy. Karena sempitnya canalis facialis, keadaan ini nampaknya wajar apabila inflamasi, demyelinasi, iskemia, atau proses



18



kompresi mungkin mengganggu konduksi neural pada tempat ini (NINDS, 2014). Lokasi kerusakan saraf fasialis diduga dekat atau di ganglion geniculatum. Jika lesi proksimal dari ganglion geniculatum, kelemahan motorik diikuti dengan abnormalitas pengecapan dan autonom. Lesi antara ganglion geniculatum dan chorda tympani menyebabkan efek sama, namun tanpa gangguan lakrimasi. Jika lesi berada pada foramen stylomastoideus, ini mungkin hanya menyebabkan paralisis wajah (NINDS, 2014).



F. Komplikasi Bell’s Palsy Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang tidak dapat diterima. Beberapakomplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy, adalah sebagai berikut: 1. Regenerasi



motor



inkomplit



yaitu



regenerasi



suboptimal



yang



menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis. 2. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal). 3. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis (Lowis & Gaharu, 2012). Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan beberapa kondisi sebagai berikut:



19



1. Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikutigerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata. 2. Crocodile tearphenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnyaair mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, 3. Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tibatiba (shock-like) pada wajah yang dapatterjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudianmengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan) (Lowis & Gaharu, 2012).



G. Prognosis Bell’s Palsy Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian (Ropper, 2003). Pada literatur lain penderita BP bisa sembuh sempurna dalam waktu 2 bulan dan sembuh sempurna antara 1-3 bulan 80% (Davis,2005). Sepertiga dari penderita bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. Penderita bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis bell’s palsy adalah (Ropper, 2003):



20



1. Usia di atas 60 tahun 2. Paralisis komplit 3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh, 4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan berkurangnya air mata. Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita Diabetes Melitus (DM) lebih sering kambuh dibanding yang non-DM hanya 23 % kasus bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis (Ropper, 2003).



H. Intervensi Fisioterapi 1. Short Wave Diathermy (SWD) a. Mekanisme SWD merupakan suatu alat terapi yang menggunakan pemanasan yang dalam pada jaringan dengan merubah energi elektromagnet menjadi energi panas. SWD adalah salah satu modalitas pemanasan dalam (deep heating) karena mampu menembus jaringan dengan kedalaman sampai 4 – 5 cm. Penggunaan SWD mempunyai tujuan yaitu, mengurangi rasa nyeri, relaksasi otot dan meningkatkan peredaran darah superfisial. pada kasus bell’s palsy elektroda



21



ditempatkan di foramen stylomastoideus, frekuensi 50 – 70 Hz dan waktu 15 menit. b. Pelaksanaan Terapi 1) Persiapan Alat dan Bahan a) Pemeriksaan kabel b) Pemeriksaan voltage c) Pad elektrode d) Tabung reaksi untuk tes sensasi e) Lampu detektor f) Pasang elektrode pada mesin g) Hubungkan kabel mesin dengan arus listrik h) Hidupkan mesin dari intensitas rendah, lalu pelan-pelan dinaikkan pelan pelan sampai tuning yang diinginkan i) Atur waktu ±2 menit j) Cara mengetahui tuning, dapat dilihat langsung pada lampu detektor yang didekatkan pada kabel. Jika menyala, berarti siap digunakan 2) Pelaksanaan Terapi a) Posisi pasien dalam keadaan rileks b) Beri penjelasan pada pasien, tidak boleh merubah posisi elektrode, merubah tombol-tombol yang tertera di mesin SWD c) Lalu, bersihkan daerah yang akan terapi, serta harus kering



22



d) Lakukan test sensasibilitas e) Letakkan eletroda pada bagian yang akan diterapu dengan susunan koplanar//planar. f) Atur jarak eletroda 10-15 cm dari kulit pasien dengan durasi 10-15 menit dengsn intenistas 50 – 70 Hz. 3) evaluasi: tanyakan apa yang dirasakan klien selama dan setelah menjalani terapi. 2. Electrical Stimulation (ES) a. Mekanisme Electrical Stimulation (ES) adalah masuknya arus listrik kedalam kulit untuk mengeksitasi saraf dan jaringan otot untuk memperbaiki kemampuan motoric melalui sistem saraf tepi. Mekanisme electrical stimulation (faradic) dalam meningkatkan kekuatan otot, dengan adanya rangsangan pada saraf maka terjadi potensial aksi pada serabut saraf sehingga dapat menimbulkan kontraksi otot volunter dan berulang-ulang pada individual otot wajah yang bertujuan untuk melatih kembali kerja dan fungsi otot serta memicu terjadinya pumping action dengan tujuan untuk melancarkan sirkulasi darah sehingga dapat meningkatkan kekuatan otot. Dengan adanya stimulasi dapat memberikan fasilitasi lewat mekanisme muscle spindle, stimulasi faradic dapat diberikan untuk mendapatkan kontraksi dan memperbaiki perasaan gerak. Otak hanya mengenal gerak



bukan



kerja



otot



sehingga



stimulasi



diberikan



untuk



23



menimbulkan gerak yang normal dan untuk meningkatkan kekuatan otot (Sujatno dkk, 2002). b. Pelaksanaan Terapi 1) Persiapan Alat dan Bahan a) Pemeriksaan kabel, pastikan sudah tercolok listrik b) mempersiapkan pad electrode dan motor point yang sudah dibasahi oleh air 2) Pelaksanaan Terapi a) Posisi pasien dalam keadaan berbaring b) Beri penjelasan pada pasien efek yang timbul selama terapi, arus listrik yang dirasakan harus minimal c) Letakkan ped 1 di area cervical d) Atur motor point pada area otot wajah yang mengalami kelemahan. atur waktu 15 menit, dengan intensitas arus listrik yang timbul minimal e) Di berikan kontraksi maksimal 15 kali di setiap otot wajah 3. Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation (LASER) a. Mekanisme Laser adalah fototerapi non-invasif, non-termal, di mana sinar laser ditransmisikan ke jaringan tubuh untuk mencegah kematian sel, mengurangi peradangan, dan meningkatkan regenerasi sel dengan mengaktifkan jalur pensinyalan intraseluler dari sintesis asam nukleat, sintesis protein, aktivasi enzim dan perkembangan siklus sel.



24



Sejumlah penelitian tentang terapi laser tingkat rendah telah menunjukkan



kemanjurannya



dalam



penyembuhan



luka



dan



regenerasi saraf. Pada penelitian yang dilakukan oleh (Ordahan, 2017), bawa laser menghasilkan peningkatan gerakan wajah fungsional pada pasien bell’s Palsy. b. Pelaksanaan Terapi 1) Persiapan Alat dan Bahan a) Pemeriksaan kabel, pastikan sudah tercolok listrik



2) Pelaksanaan a) Posisi pasien duduk/ berbaring dengan nyaman b) Beri penjelasan pada pasien efek yang timbul selama terapi c) bersihkan area yang akan diterapi, pastikan tidak ada keringat atau kotoran yang menempel d) nyalakan alat dan atur intensitas 1 MHz, lalu arahkan alat ke titik otot wajah selama 5 menit. e) Di berikan kontraksi maksimal 15 kali di setiap otot wajah 4. Mirror exercise a. Meknisme dan Pelaksanaan Terapi Pemberian mirror exercise dapat meningkatkan kekuatan otot dan kemampuan fungsional otot-otot wajah, hal ini disebabkan karena gerakan gerakan dilakukan secara aktif maupun pasif, serta pasien akan lebih mudah dalam mengontrol dan mengoreksi gerakan-



25



gerakan yang dilakukan. Sehingga dengan adanya gerakan volunter tersebut maka dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan fungsional otot-otot wajah. latihan seperti Gerakan mengangkat alis, menutup mata, tersenyum, mencium dan mengembang-kempiskan hidung. latihan dilakukan 8 hitungan dan diulangi 3 repetisi disetiaap gerakan (Raj, 2006).



BAB III PENTUP A. Kesimpulan Bell’s Palsy merupakan suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Karena proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau “exstrem cold”, n. Fasialis bisa sembab sehingga terjepit didalam foramen stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron (LMN). Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin. Gejala yang dialami yaitu mulut tampak moncong terlebih pada saat tersenyum, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas (Bell phenomen). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh. Intervensi fisioterapi yang dapat diberikan yaitu: Short Wave Diathermy (SWD), Electrical Stimulation (ES), Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation (LASER), Mirror exercise. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian



27



B. Saran Pada makalah ini semoga dapat menjadi referensi untuk tenaga kesehatan terutama fisioterapi dan tentunya masyarakat juga dapat menerima informasi dan ilmu yang terdapat di makalah ini, Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.



DAFTAR PUSTAKA



Aminof, M., Greenberg, D., & Simon, R. (1993). Mononeuropathy Simplex. USA: Appleton & Lange : A Lange Medical Book Clinical Neurology. 3th ed. Bahrudin, M. (2011). Bell's Palsy (BP). Universitas Muhammadiyah Malang, 7(15), 1-11. Baugh, R. (2013). Clinical Practice Guideline: Bell's Palsy, Otolaryngology-Head and Neck Surg. 149, S1-S27. D, G. (2004). Bell's Palsy. The New England Journal Massachutes Medical Society. Davis, E. L., Molly, K. K., & Jessica, L. S. (2005). Bells palsy in Fundamentals of Neurologic Disease. Demos Medical Publishing New York. De Almeida, J. e. (2014). Management Of Bell's Palsy: Clinical Practice Guideline. CMAJ: Canadian Med. Ass. J, 186(12), 917-922. Djamil, Y., & Basjiruddin, A. (2003). Paralisis Bell. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Gilden, D. (2004). Bell's Palsy. New England J of Med, 351(13), 1323-13. Harsono. (2009). Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Huang B et., a. (2012). Psychological Factors are closely Associated With The Bell's Palsy: a case control study. J Huazhong University of Sci. Tech. Med. Sci, 32(2), 272-9. Lowis, H., & Gaharu, M. (2012). Bell's Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer. J of Indonesia Med. Ass, 32(2), 32. Mir, M. A. (2003). Atlas of Clinical Diagnosis. Saunders, London. Mir, M. A. (2003). Atlas of ClinicalDiagnosis. Saunders, London. Mujaddidah, N. (2017). Tinjauan Anatomi Klinik dan Menejemen Bell;s Palsy. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surabaya, 1(2), 20-25. Murthy, J., & Saxena, A. (2011). Bell's Palsy: Treatment Guidelines. Annals of Ind. Acad. of Neurology, 14(1), 70-72.



29



Netter, F. (2014). Atlas of Human Anatomy Sixth Edition. Philadelphia: Saunders. NINDS. (2014). Bell's Palsy Fact Sheet. Retrieved http://www.ninds.nih.gov/disorders/bells/detail_bells.htm



from



Ordahan, B., & Karahan, A. Y. (2017). Role of Low Laser Therapy Added to Facial Expression Exercise in Patients with Idiopathic Facial (Bell's) Palsy. Departement of Physical Medicine and Rehabilitation, 931-396. Ropper , A., & Brown , R. (2003). Adams and Victor's Principles of Neurology (Vols. 1180-1182). New York: MacGraww-Hill. Seok, J., Lee, D., & Kim, K. (2008). The Usefulness of Clinical Findings In Localising Lesion in Bell's Palsy. J Neurol Neurosurg Psychiatry. Snell, R. (2012). Clinical Anatomy By Regions 9th Edition. Philadelphia. Sujatno. (2002). Sumber Fisis. Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Fisioterapi. Y, S. (2008). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Bell's Palsy Sinistra di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Jurnal Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.