Makalah Beni Rule MB 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH Kelompok 3 Rule MB3 Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah KKPMTVII (Kematian) Dosen Mata Kuliah : Beni Hartadi, M.M.



Disusun oleh :



Annisa Nurhasanah



E71171024



Fairuzihra Zahira



E71171032



Helina Dismawati



E71171034



Ivan Raka Prasetya .I.



E71171035



Sri Suryani



E71171044



PROGRAM STUDI REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN POLITEKNIK TEDC BANDUNG 2019



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunianya yang telah memberikan kami kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Rule MB 3“ tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya yang setia sampai akhir jaman. Pembahasan di dalam makalah ini adalah tentang sistem informasi kesehatan. Makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi kepada para pembaca tentang sistem informasi kesehatan, sehingga kedepannya akan menjadi lebih baik lagi. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami mohon maaf atas segala kekurangan. Akhir kata, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun akan selalu diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhai segala urusan kita. Amin.



Cimahi, Oktober 2019



Penulis



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR .................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. B. C. D.



Latar Belakang ................................................................................... 1 Rumusan Masalah.............................................................................. 4 Tujuan Penulisan ............................................................................... 4 Sistematika Penulisan ........................................................................ 4



BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 6 A. Koding ................................................................................................. 6 1. Pengertian Koding ...................................................................... 6 2. Tujuan Koding ............................................................................ 7 3. Langkah – Langkah Untuk Mengkoding .................................... 7 4. Prosedur Coding ......................................................................... 8 5. Kompetensi Perekam Medis ....................................................... 9 6. Peranan Petugas Koding Dalam Program Ina-Drg ..................... 10 7. Subsistem Pengkodean ............................................................... 11



B. ICD-10 ................................................................................................. 12 1. Pengertian ICD-10 ...................................................................... 12 2. Fungsi ICD-10 ............................................................................ 13 3. Struktur ICD-10 .......................................................................... 13 4. Dasar menentukan kode berdasarkan ICD-10 ............................ 15 5. Aturan dalam menyeleksi kembali diagnosa utama ................... 16 6. Kekhususan dan detail ( Specificity and detail ) ......................... 17 7. Pengkodean Morbiditas .............................................................. 18



C. Aturan Koding Rule MB Morbiditas ............................................... 18



ii



iii



1. RULE MB1 ................................................................................. 18 2. RULE MB2 ................................................................................. 19 3. RULE MB3 ................................................................................. 19 4. RULE MB4 ................................................................................. 20 5. RULE MB5 ................................................................................. 20 D. Pembahasan Kasus Rule MB 3 ......................................................... 21 BAB III PENUTUP .................................................................................. 23 A. Kesimpulan .................................................................................... 23 B. Saran ............................................................................................... 23



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rekam medis memiliki peran dan fungsi yang sangat penting, yaitu sebagai dasar kesehatan dan pengobatan pasien, bahan pembuktian dalam perkara hukum, bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan, dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan dan terakhir sebagai bahan untuk membuat statistik kesehatan (Hatta, 2010). Rekam medis harus berisi informasi lengkap perihal proses pelayanan kesehatan dimasa lalu, masa kini, dan perkiraan dimasa mendatang. Kepemilikan rekam medis seringkali menjadi perdebatan dilingkungan kesehatan, dokter beranggapan bahwa mereka



berwenang penuh terhadap



pasien beserta pengisian rekam medis akan tetapi petugas rekam medis bersikeras untuk mempertahankan berkas rekam medis untuk tetap selalu berada



di



lingkungan kerjanya. Selain itu banyak pula pihak internal



maupun pihak eksternal yang ingin mengetahui isi dari rekam medis itu sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa rekam medis itu sangat penting dan besar kaitannya dengan aspek hukum (Hatta, 2010). Rekam medis erat kaitannya dengan aspek hukum yang berkaitan dengan menjaga keamanan, privacy, dan kerahasiaan. Rekam medis mempunyai kegunaan penting dibidang hukum karena isi dalam rekam medis itu sendiri menyangkut masalah adanya jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan dalam rangka usaha menegakkan hukum serta penyediaan bahan tanda bukti untuk menegakkan keadilan. Kegunaan rekam medis adalah sebagai alat bukti yang sah dan nyata tentang telah diberikannya pelayanan kesehatan dan pengobatan selama pasien tersebut dirawat di suatu sarana pelayanan kesehatan. Rekam medis yang teratur dan rapi dibuat secara kronologis dengan baik dan lengkap akan menjadi bukti yang kuat di pengadilan.



1



2



Beberapa hal yang berkaitan dengan aspek hukum rekam medis yaitu kerahasiaan, kepemilikan, dan keamanan dari berkas rekam medis itu sendiri. Oleh karena rekam medis adalah milik pelayanan kesehatan dan isi rekam medis adalah milik pasien maka pihak rumah sakit maupun praktisi kesehatan lainnya bertanggungjawab mengatur penyebaran, menjaga kerahasiaan, menjaga keamanan informasi kesehatan, dan juga melindungi isi daripada informasi yang ada di berkas rekam medis, terhadap kemungkinan hilangnya keterangan maupun manipulasi data yang ada di dalam rekam medis atau dipergunakan oleh pihak yang tidak seharusnya (Hatta, 2010). Pelepasan informasi kesehatan dari rekam medis atau yang biasa disebut surat keterangan medis adalah suatu surat keterangan yang dibuat dan ditandatanagni oleh staff



medis fungsional dan tim medis yang berisi



informasi medis sesui dengan isi berkas rekam medis pasien, ahli waris pasien, institusi pemerintah atau swasta. Surat keterangan medis secara umum dibagi menjadi dua yaitu surat keterangan medis non pengadilan dan untuk pengadilan. Jenis surat keterangan medis untuk pengadilan adalah visum et repertum. Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter forensik atas permintaan tertulis dari penyidik berdasarkan sumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada benda yang diperiksa berdasarkan pengetahuan yang sebaik baiknya untuk kepentingan pengadilan. Dalam pembuatan visum et repertum dibutuhkan kerjasama antara dokter forensik dan perekam medis. Untuk itu penerapan etika profesi harus diterapkan dalam kerjasama ini supaya menghasilkan hubungan yang baik antar profesi kesehatan di sarana pelayanan kesehatan (Waluyadi, 2005). Penyelenggaraan rekam medis yang baik bukan semata-mata untuk keperluan medis



dan



administrasi, tetapi juga karena isinya sangat



diperlukan oleh individu dan organisasi yang secara hukum berhak untuk mengetahuinya. Pengadilan sebagi salah satu badan resmi secara hukum



3



berhak untuk meminta pemaparan isi rekam medis jika kasus yang sedang ditanganinya membutuhkan rekam medis sebagai alat bukti penyelidikan. Petugas rekam medis harus memahami dan mengerti bagaimana prosedur pemaparan isi rekam medis untuk pengadilan. Peraturan ataupun prosedur tersebut disosialisasikan



untuk dilaksanakan oleh pihak-pihak yang



bersangkutan dengan pemaparan isi rekam medis, sehingga tidak terjadi kesalahan prosedur dan tidak menimbulkan adanya tuntutan dimasa yang akan datang. Coding adalah salah satu kegiatan pengolahan data rekam medis untuk memberikan kode dengan huruf atau dengan angka atau kombinasi huruf dan angka yang mewakili komponen data. Kegiatan dan tindakan serta diagnosis yang ada dalam rekam medis harus di beri kode dan selanjutnya di indeks agar memudahkan pelayanan pada penyajian informasi untuk menunjang fungsi perencanaan, managemen, dan riset bidang kesehatan. Pemberian kode ini merupakan kegiatan klasifikasi penyakit dan tindakan yang mengelompokan penyakit dan tindakan berdasarkan criteria tertentu yang telah disepakati. Pemberian kode atas diagnosis klasifikasi penyakit yang berlaku dengan menggunakan ICD-10 untuk mengkode penyakit, sedangkan ICOPIM dan ICD-9-CM digunakan untuk mengkode tindakan, serta komputer (on-line) untuk mengkode penyakit dan tindakan. ICD merupakan singkatan dari International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems dimana memuat klasifikasi diagnostik penyakit dengan standar internasional yang disusun berdasarkan sistem kategori dan dikelompokkan dalam satuan penyakit menurut kriteria yang telah disepakati pakar internasional (Hidayat, 2016). Sehingga ICD dapat dikatakan sistem penggolongan penyakit dan masalah kesehatan lainnya secara internasional yang ditetapkan menurut kriteria tertentu. Klasifikasi penyakit bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem kategori tempat jenis penyakit dimasukkan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan (WHO, 2005).



4



B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah yaitu : 1. Apa yang dimaksud dengan Koding? 2. Apa yang dimaksud dengan ICD-10 ? 3. Bagaimana Aturan Koding Rule MB Morbiditas? 4. Apa dan Bagaimana Pembahasan Kasus Rule MB 3? C. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan tugas yang dilakukan oleh para penulis adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Umum Untuk mempelajari tentang Aturan Koding Rule MB Morbiditas. 2. Tujuan Khusus a. Untuk Mengetahui Penjelasan Tentang Koding. b. Untuk Mengetahui Tentang ICD-10. c. Untuk Mengetahui Aturan Koding Rule MB Morbiditas. d. Untuk Mengetahui Pembahasan Kasus Rule MB 3. D. Sistematika Penulisan Sistematika makalah ini disajikan secara ringkas dan disusun dalam beberapa bab, dengan tujuan agar pembaca dapat lebih mudah dalam memahami isi dalam Makalah dalam pembuatan, dimana masing-masing bab akanmenjelaskan hal-hal sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini menjelaskan mengenai Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan serta Sistematika Penulisan.



5



BAB II PEMBAHASAN Dalam bab ini akan diuraikan teori–teori umum atau dasar dan khusus dari Koding, ICD-10, Aturan Koding Rule MB Morbiditas serta Pembahasan Kasus Rule MB 3. BAB III PENUTUP Pada bab ini berisikan kesimpulan yang disertai saran-saran dari penulis.



BAB II PEMBAHASAN A. Koding 1. Pengertian Koding Coding adalah salah satu kegiatan pengolahan data rekam medis untuk memberikan kode dengan huruf atau dengan angka atau kombinasi huruf dan angka yang mewakili komponen data. Kegiatan dan tindakan serta diagnosis yang ada dalam rekam medis harus di beri kode dan selanjutnya di indeks agar memudahkan pelayanan pada penyajian informasi untuk menunjang fungsi perencanaan, managemen, dan riset bidang kesehatan (Hidayat, 2016). Pemberian kode ini merupakan kegiatan klasifikasi penyakit dan tindakan yang mengelompokan penyakit dan tindakan berdasarkan criteria tertentu yang telah disepakati. Pemberian kode atas diagnosis klasifikasi penyakit yang berlaku dengan menggunakan ICD-10 untuk mengkode penyakit, sedangkan



ICOPIM dan ICD-9-CM



digunakan untuk mengkode tindakan, serta komputer (on-line) untuk mengkode penyakit dan tindakan. Buku pedoman yang



disebut



International Classification of



Diseases and Related Health Problems, Tenth Revision (ICD – 10) terbitan WHO. Di Indonesia penggunaannya telah ditetapkan oleh Dep. Kes. RI sejak tgl. 19 – 2 –1996. ICD –10 terdiri dari 3 volume : a. Volume 1 (Tabular List), berisi tentang hal-hal yang mendukung klasifikasi utama. b. Volume 2 (Instruction Manual), berisi tentang pedoman penggunaan. c. Volume 3 (Alphabetic Index), berisi tentang klasifikasi penyakit yang disusun berdasarkan indeks abjad atau secara alphabet,terdiri dari 3 seksi:



6



7



1) Seksi 1 merupakan klasifikasi diagnosis yang tertera dalam vol 1. 2) Seksi 2 untuk mencari penyebab luar morbiditas, mortalitas dan membuat istilah dari bab 20. 3) Seksi 3 merupakan table obat-obatan dan zat kimia sebagai sambungan dari bab 19,20 dan menjelaskan indikasi kejadiannya. 2. Tujuan Koding a. Memudahkan pencatatan, pengumpulan dan pengambilan kembali informasi sesuai diagnose ataupun tindakan medisoperasi yang diperlukan uniformitas sebutan istilah (medical terms) b. Memudahkan entry data ke database komputer yang tersedia (satu code bisa mewakili beberapa terminologi yang digunakan para dokter). c. Menyediakan



data



yang



diperlukan



oleh



sistem



pembayaran/penagihan biaya yang dijalankan/diaplikasi. d. Memaparkan indikasi alasan mengapa pasien memperoleh asuhan/perawatan/pelayanan (justifikasi runtunan kejadian). e. Menyediakan



informasi



diagnoses



dan



tindakan



(medis/operasi) bagi riset, edukasi dan kajian asesment kualitas keluaran/outcome (legal dan otentik) (Marjuani, 2016). 3. Langkah – langkah untuk mengkoding. a. Tentukan jenis pernyataan (Leadterm) yang akan dikode dan rujuk ke Section yang sesuai pada Indeks Alfabet b. Tentukan lokasi ‘lead term,’. Untuk penyakit dan cedera c. Baca dan pedomani semua catatan yang terdapat di bawah ‘lead term’



8



d. Baca semua term yang dikurung oleh parentheses setelah ‘lead term’ e. Ikuti dengan hati-hati setiap rujukan silang ‘see’ dan ‘see also’ di dalam Indeks f. Rujuk daftar tabulasi (Volume I) untuk memastikan nomor kode yang dipilih g. Pedomani setiap term inklusi dan eksklusi di bawah kode yang dipilih, atau di bawah judul bab, blok, atau kategori. h. Tentukan kode 4. Prosedur Coding a. Memberi kode penyakit pada diagnosa pasien yang terdapat pada berkas rekam medis sesuai dengan ICD 10. b. Menghubungi



dokter



yang



menangani



pasien



yang



bersangkutan apabila diagnosa pasien tersebut kurang bisa dimengerti atau tidak jelas. c. Melakukan pengolahan klasifikasi penyakit. d. Memberikan pelayanan kepada dokter atau peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang sesuai indek penyakit pasien, e. Hasil diagnosis dari dokter, merupakan diagnosis utama maupun sebagai diagnosa sekunder atau diagnosa lain yang dapat berupa penyakit komplikasi, maka harus menggunakan buku ICD-10 (International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems Tenth Revision). Untuk pasien yang dilakukan tindakan operasi, nama operasi tersebut dilengkapi dengan kode-kode operasi yang dapat ditentukan dengan bantuan buku ICOPIM dan ICD-9-CM (Internasional Classification of Procedure in Medicine). f. Dalam mencari kode penyakit dapat dicari berdasarkan abjad nama penyakit yang dapat dilihat di dalam buku ICD-10



9



(International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems Tenth Revision). g. Lalu untuk indexing dilakukan dengan cara komputer. Juga digunakan lembaran kode penyakit yang sering muncul untuk mempermudah proses pengkodean (Prakosa, 2014). 5. Kompetensi Perekam Medis a. Menentukan nomor kode diagnosis pasien sesuai petunjuk dan peraturan pada pedoman buku ICD yang berlaku (ICD10 Volume 2), b. Mengumpulkan kode diagnosis pasien untuk memenuhi sistem pengelolaan, penyimpanan data, pelaporan untuk kebutuhan



analisis



sebab



tunggal



penyakit



yang



dikembangkan, c. Mengklasifikasikan data kode diagnosis yang akurat bagi kepentingan informasi morbiditas dan sistem pelaporan morbiditas yang diharuskan, d. Menyajikan informasi morbiditas dengan akurat dan tepat waktu bagi kepentingan monitoring KLB epidemiologi dan lainnya, e. Mengelola indeks penyakit dan tindakan guna kepentingan laporan medis dan statistik serta permintaan informasi pasien secara cepat dan terperinci, f. Menjamin



validitas



Mengembangkan



data



dan



untuk



registrasi



penyakit,



mengimplementasikan



petunjuk



standar koding dan pendokumentasian. g. Permasalah Yang Sering Terjadi Dalam Pengkodefikasian Contoh Pengkodean berdasarkan ICD-10 : A00.0 kholera yang



disebabkan



oleh



kuman



vibro



kolerae



01.



Permasalahan yang sering ditemukan yaitu, Ketidak jelasan penulisan diagnosis dan Penegakan diagnosis belum tepat.



10



6. Peranan Petugas Coding Dalam Program INA-DRG



INA DRG adalah singkatan dari Indonesian Diagnostic Related Group. Program ini akan segera kita terapkan untuk mengganti program JAMKESMAS sebelumnya. DRG merupakan suatu sistem pemberian imbalan jasa pelayanan kesehatan pada penyedia pelayanan



kesehatan



(PPK)



yang



ditetapkan



berdasarkan



pengelompokkan diagnosa penyakit. Diagnosis dalam DRG sesuai dengan ICD-9-CM (International Classification Disease Ninth Edition Clinical Modification) dan ICD-10. Dengan adanya ICD memudahkan dalam pengelompokkan penyakit agar tidak terjadi tumpang tindih. Pengelompokkan diagnosis ditetapkan berdasarkan dua prinsip yaitu clinical homogenity (pasien yang memiliki kesamaan



klinis)



menggunakan



dan



resource



intensitas



homogenity



sumber-sumber



yang



(pasien



yang



sama



untuk



terapi/kesamaan konsumsi sumberdaya). Alasan perlu adanya klasifikasi penyakit adalah bahwa rumah sakit memiliki banyak produk pelayanan kesehatan sehingga dengan adanya klasifikasi tersebut dapat menerangkan dari berbagai produk tersebut.



Selain



itu,



dapat



juga



membantu



klinisi



dalam



meningkatkan pelayanan, membantu dalam memahami pemakaian sumberdaya dan menciptakan alokasi sumberdaya yang lebih adil, meningkatkan efisiensi dalam melayani pasien serta menyediakan informasi yang komparatif antar rumah sakit. Dasar hukumnya pun sudah diterbitkan berdasarkan Keputusan Dirjen Bina Pelayanan Medik No. HK. 00.06.1.1.214 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Centre For Case-Mix. Keputusan Menkes RI Nomor 125/MENKES/SK/II/2008 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Tahun 2008.



11



7. Subsistem Pengkodean Kegiatan pengkodeaan pemberian penetapan kode dengan menggunakan huruf dan angka atau kombinasi antara huruf dan angka yang mewakili komponen data. Kegiatan yang dilakukan dalam koding meliputi kegiatan pengkodean diaknosis penyakit dan pengkodean tindakan medis. Tenaga rekam medis sebagai pemberi kode bertanggung jawab atas keakuratan kode. Kode klasisikasi penyakit oleh WHO (World Health Organization) bertujuan untuk menyeragamkan nama dan gologan penyakit, cidera, gejala, dan factor yang mempengaruhi kesehatan. Sejak tahun 1993 WHO mengharuskan Negara anggotanya termasuk Indonesia menggunakan klasifikasi penyakit revisi 10 (ICD-10, International statistical classification of disease and realated health problem tenth revision). Namun, di Indonesia sendiri ICD-10 baru ditetapkan untuk menggantikan ICD-9 pada tahun 1998 melalui SK Menkes RI No.50/MENKES/KES/SK/I/1998. Sedangkan untuk pengkodean tindakan medis dilakukan menggunakan ICD-9CM. Kecepatan dan ketepatan coding dari suatu diagnosis dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya tulisan dokter yang sulit dibaca, diagnosis yang tidak spesifik, dan keterampilan petugas coding dalam pemilihan



kode. Pada proses



coding



ada beberapa



kemungkinan yang dapat mempengaruhi hasil pengkodean dari petugas coding, yaitu bahwa penetapan diagnosis pasien merupakan hak, kewajiban, dan tanggung jawab tenaga medis yang memberikan perawatan pada pasien, dan tenaga coding di bagian unit rekam medis tidak boleh mengubah ( menambah atau mengurang) diagnosis yang ada. Tenaga rekam medis bertanggungjawab atas keakuratan kode dari suatu diagnosis yang sudah ditetapkan oleh tenaga medis. Apabila ada hal yang kurang jelas, tenaga rekam medis



mempunyai



hak



dan



kewajiban



menanyakan



atau



12



berkomunikasi dengan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Dalam proses coding mungkin terjadi beberapa kemungkinan, yaitu: a. Penetapan diagnosis yang salah sehingga menyebabkan hasil pengkodean salah. b. Penetapan



diagnosis



pengkodeansalah



yang



menentukan



benar,



tetapi



petugas



kode,



sehingga



hasil



pengkodean salah. c. Penetapan diagnosis dokter kurang jelas, kemudian dibaca salah atau petugas pengkodean, sehingga hasil pengkodean salah. Oleh karena itu, kualitas hasil pengkodean bergantung pada kelengkapan



diagnosis,



kejelasan



tulisan



dokter,



serta



profesionalisme dokter dan petugas pengkodean. B. ICD-10 1. Pengertian ICD-10 ICD



merupakan



singkatan



dari



International



Statistical



Classification of Diseases and Related Health Problems dimana memuat klasifikasi diagnostik penyakit dengan standar internasional yang disusun berdasarkan sistem kategori dan dikelompokkan dalam satuan penyakit menurut kriteria yang telah disepakati pakar internasional. Sehingga ICD dapat dikatakan sistem penggolongan penyakit dan masalah kesehatan lainnya



secara internasional



yang ditetapkan



menurut kriteria tertentu. Klasifikasi penyakit bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem kategori tempat jenis penyakit dimasukkan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan (WHO, 2005).



13



2. Fungsi ICD-10 Sebagaimana dikemukakan oleh (Hatta G. R., 2008), fungsi ICD salah satunya adalah sebagai berikut: a. Mengindeks pencatatan penyakit dan tindakan di sarana pelayanan kesehatan. b. Masukan bagi sistem pelaporan diagnosis medis. c. Bahan dasar dalam pengelompokan DRG’s (DiagnosisRelated Groups) untuk sistem penagihan biaya pelayanan. d. Pelaporan



nasional



dan



internasional



morbiditas



dan



mortalitas. 3. Struktur ICD-10 Menurut (Hatta G. R., 2008) , dalam buku ICD-10 terdiri dari 3 volume, yaitu: a. Volume 1 1) Pusat-pusat kolaborasi WHO untuk klasifikasi penyakit. 2) Laporan konferensi Internasional yang menyetujui revisi ICD-10. 3) Daftar kategori 3 karakter. 4) Daftar tabulasi penyakit dan daftar kategori termasuk sub kategori empat karakter. 5) Daftar morfologi neoplasma. 6) Daftar tabulasi khusus morbiditas dan mortalitas. 7) Definisi-definisi. 8) Regulasi-regulasi nomenklatur. 9) Daftar tabulasi mortalitas terdiri atas : a) Daftar 1-kematian umum-daftar dengan 103 penyebab yang luas (General Mortality Condensed List-103 Causes).



14



b) Daftar 2-kematian umum-daftar terpilih dengan 80 penyebab



(General



Mortality



Selected



List-80



Causes). c) Daftar 3-kematian bayi dan anak-daftar dengan 67 penyebab yang luas (Infant and Child Mortality Condensed List-67 Causes). d) Daftar 4-kematian bayi dan anak-daftar terpilih dengan 51 penyebab (Infant and Child Mortality Selected List-51 Causes). 10) Daftar tabulasi morbiditas (terdiri dari 298 penyebab): a) Volume 1 (edisi ke-1) terdiri atas 21 bab dengan sistem kode alfanumerik. Pada volume 1 edisi ke-2 terdapat penambahan bab menjadi 22 bab. Bab disusun menurut grup sistem anatomi dan grup khusus. Grup khusus mencakup penyakit-penyakit yang sulit untuk diletakan secara anatomis. Pengkodean dimulai dengan huruf, 15 bab menggunakan satu huruf (Bab IV-VI, IX-XVIII, XXI dan XXII), tiga bab menggunakan huruf yang juga dipakai oleh bab lain (Bab III menggunakan alphabet D, yang sama dengan neoplasma, bab VII dan VIII menggunakan abjad H), dan empat bab memiliki lebih dari satu huruf (Bab I, II, XIX, dan XX). b.



Volume 2 Buku ICD-10 volume 2 adalah buku petunjuk penggunaan ICD-10 yang berisi : 1) Penjelasan tentang ICD (International Classification Of Diseases and Health Problems). 2) Cara penggunaan ICD-10. 3) Aturan dan petunjuk pengkodean morbiditas dan mortalitas. 4) Presentasi statistik.



15



5) Riwayat perkembangan ICD. c. Volume 3 Disebut Alphabetical Indeks (Indeks abjad). Yang terdiri dari : 1) Susunan indeks secara umum. 2) Seksi I : indeks abjad penyakit, bentuk cedera. 3) Seksi II : penyebab luar cedera. 4) Seksi III : Tabel obat dan zat kimia. 5) Perbaikan terhadap volume 1. 4. Dasar Menentukan Kode Berdasarkan ICD-10 Dasar dalam menentukan kode berdasarkan ICD-10 adalah sebagai berikut: a. Identifikasi tipe pernyataan yang akan dikode dan lihat di buku ICD volume 3 (Alphabetical Index). Jika pernyataannya adalah penyakit atau cedera atau lainnya diklasifikasikan dalam bab 1-19 dan 21 (Section I Volume 3). Jika pernyataannya



adalah



penyebab



luar



atau



cedera



diklasifikasikan pada bab 20 (Section II Volume 3) b. Tentukan Lead Term. Untuk penyakit dan cedera biasanya adalah kata benda untuk kondisi patologis. Namum, beberapa kondisi dijelaskan dalam kata sifat atau xxx dimasukkan dalam index sebagai Lead Term. c. Baca dan ikuti semua catatan atau petunjuk dibawah kata kunci. d. Baca setiap catatan dalam tanda kurung setelah kata kunci (penjelasan ini tidak mempengaruhi kode) dan penjelasan indentasi dibawah lead term (penjelasan ini mempengaruhi kode) sampai semua kata dalam diagnosis tercantum. e. Ikuti setiap petunjuk rujukan silang (“see” dan “see also”) yang ditemukan dalam index



16



f. Cek ketepatan kode yang telah dipilih pada volume 1. Untuk Kategori 3 karakter dengan.- (point dash) berarti ada karakter ke 4 yang harus ditentukan pada Volume 1 karena tidak terdapat dalam Index g. Baca setiap inclusion atau exclusion dibawah kode yang dipilih atau dibawah bab atau dibawah blok atau dibawah judul kategori. h. Tentukan Kode. 5. Aturan dalam Menyeleksi Kembali Diagnosa Utama Menurut Permenkes No. 27 thn 2014 tentang Juknis Sistem INA CBGs, sebagai koder yang baik dalam menentukan suatu diagnosa yaitu dengan menyeleksi kembali diagnosa yang telah di tegakkan. Untuk itu aturan dalam menyeleksi suatu diagnosa utama adalah sebagai berikut: a. Penulisan



diagnosis



harus



lengkap



dan



spesifik



(menunjukkan letak, topografi, dan etiologinya). Diagnosis harus mempunyai nilai informatif sesuai dengan kategori ICD yang spesifik. Contoh : -



Acute appendicitis with perforation



-



Diabetic cataract, insulin-dependent



-



Acute renal failure



b. Kode diagnosis Dagger (†) dan Asterisk (*) Jika memungkinkan, kode dagger dan asterisk harus digunakan sebagai kondisi utama, karena kode-kode tersebut menandakan dua pathways yang berbeda untuk satu kondisi. Contoh : Measles pneumonia = B05.2† J17.1* Pericarditis tuberculosis = A18.8† I32.0* NIDDM karatak = E11.3† H28.0* c. Symptoms (gejala), tanda dan temuan abnormal dan situasi yang bukan penyakit.



17



Hati-hati dalam mengkode diagnosis utama untuk BAB XVIII (kode “R”) dan XXI (kode “Z”) untuk kasus rawat inap. 1) Jika diagnosis yang lebih spesifik (penyakit atau cidera) tidak dibuat pada akhir rawat inap maka diizinkan memberi kode “R” atau kode “Z” sebagai kode kondisi utama. 2) Jika diagnosis utama masih disebut “suspect” dan tidak ada informasi lebih lanjut atau klarifikasi maka harus dikode seolah-olah telah ditegakkan. 3) Kategori Z03.- (Medical observation and evaluation for suspected diseases and conditions) diterapkan pada “Suspected” yang dapat dikesampingkan sesudah pemeriksaan. contoh : Kondisi utama : Suspected acute Cholecystitis Kondisi lain



:–



Diberi kode Acute Cholecystitis (K81.0) sebagai diagnosis utama 6. Kekhususan dan detail ( Specificity and detail ) Setiap pernyataan diagnostik harus sebagai informatif mungkin untuk mengklasifikasikan kondisi ICD kategori yang paling spesifik. Contoh pernyataan diagnostik tersebut meliputi: a. Karsinoma sel Transisional trigonum kandung kemih b. Akut usus buntu dengan perforasi c. Diabetes katarak, tergantung insulin d. Meningokokus pericarditis e. Perawatan kehamilan untuk diplopia f. Hipertensi kehamilan yang disebabkan karena reaksi alergi antihistamin yang diambil sebagai diresepkan



18



g. Osteoartritis pinggul karena patah tulang pinggul tua h. Fraktur leher tulang paha yang mengikuti jatuh di rumah i. Ketiga – derajat bakar dari telapak tangan. (ICD-10, 2005) 7. Pengkodean Morbiditas Dalam menentukan kode ICD digunakan analisis morbiditas selama pasien berada ditempat pelayanan kesehatan, dari analisis morbiditas ditemukan kondisi utama atau diagnosa yang relevan dengan treatment dan investigasi selama berada dalam pelayanan kesehatan tersebut. Kondisi utama adalah suatu diagnosis/ kondisi kesehatan yang menyebabkan pasien memperoleh perawatan atau pemeriksaan, yang ditegakan pada akhir episode pelayanan dan bertanggung jawab atas kebutuhan sumber daya pengobatanya. (Gemala Hatta, 2008:140) Selain memilih diagnosa utama, dalam berkas rekam medis terdapat diagnosa tambahan, maka pisahkanlah mana yang merupakan diagnosa utama dan mana yang merupakan diagnosa tambahan. Sedangkan yang dimaksud dengan kondisi sekunder sebagaimana dikemukakan oleh Gemala Hatta (2008:140). “kondisi sekunder adalah diagnosis yang menyertai diagnosis utama pada saat pasien masuk atau yang terjadi selama episode pelayanan”. C. Aturan Koding Rule MB Morbiditas 1. RULE MB1 : Kondisi minor direkam sebagai ”diagnosis utama” (main condition), kondisi yang lebih bermakna direkam sebagai ”diagnosis sekunder” (other condition). Diagnosis utama adalah kondisi yang relevan bagi perawatan yang terjadi, dan jenis specialis yang mengasuh à pilih kondisi yang relevan sebagai ”Diagnosis utama”.



19



Contoh : Diagnosis utama : Sinusitis akut Diagnosis sekunder : Carcinoma endoservik, Hypertensi Prosedur : Histerektomi Total Specialis : Ginekologi Reseleksi Carcinoma endoserviks sebagai kondisi utama. 2. RULE MB2. Beberapa kondisi yang direkam sebagai diagnosis utama : a. Jika beberapa kondisi yang tidak dapat dikode bersama dicatat sebagai diagnosis utama dan informasi dari rekam medis menunjukkan salah satu dari diagnosis tersebut sebagai diagnosis utama maka pilih diagnosis tersebut sebagai diagnosis utama. b. Jika tidak ada informasi lain, pilih kondisi yang disebutkan pertama Contoh : 1) Diagnosis Utama : Osteoporosis Bronchopnemonia Rheumatism Diagnosis Sekunder : Bidang specialisasi : Penyakit Paru Reseleksi Diagnosis utama Bronchopneumonia (J 18.9) 2) Diagnosis Utama : Ketuban pecah dini, presentasi bokong dan anemia Diagnosis Sekunder : Partus spontan Reseleksi Diagnosis Utama Ketuban pecah dini 3. RULE MB3 Kondisi yang direkam sebagai diagnosis utama menggambarkan suatu gejala yang timbul akibat suatu kondisi yang ditangani.Suatu



20



gejala yang diklasfikasikan dalam Bab XVIII (R.-), atau suatu masalah yang dapat diklasfikasikan dalam bab XXI (Z) dicatat sebagai kondisi utama, sedangkan informasi di rekam medis, terekam kondisi lain yang lebih menggambarkan diagnosis pasien dan kepada kondisi ini terapi diberikan maka reseleksi kondisi tersebut sebagai diagnosis utama. Contoh: Diagnosis Utama : Hematuria Diagnosis Sekunder : Varises pembuluh darah tungkai bawah, Papiloma dinding posterior kandung kemih Tindakan : Eksisi diatermi papilomata Specialis : Urologi Reseleksi Papiloma dinding posterior kandung kemih (D41.4) sebagai diagnosis utama. 4. RULE MB4 Spesifisitas Bila diagnosis yang terekam sebagai diagnosis utama adalah istilah yang umum, dan ada istilah lain yang memberi informasi lebih tepat tentang topografi atau sifat dasar suatu kondisi, maka reseleksi kondisi terakhir sebagai diagnosis utama : Contoh: Diagnosis Utama : Cerebrovascular accident Diagnosis Sekunder : Diabetes mellitus, Hypertensi, Cerebral haemorrhage Reseleksi cerebral haemorrhage sebagai diagnosis utama ( I61.9.) 5. RULE MB5 Alternatif diagnosis utama Apabila suatu gejala atau tanda dicatat sebagai kondisi utama yang karena satu dan lain hal gejala tersebut dipilih sebagai kondisi utama.



21



Bila ada 2 atau lebih dari 2 kondisi direkam sebagai pilihan diagnostik sebagai kondisi utama, pilih yang pertama disebut. Contoh : Diagnosis Utama : Sakit kepala karena stess dan tegang atau sinusitis akut Diagnosis Sekunder : Reseleksi sakit kepala headache (R51) sebagai Diagnosis utama Diagnosis Utama : akut kolesistitis atau akut pankreatitis Diagnosis Sekunder : Reseleksi akut kolesistitis K81.0 sebagai diagnosis utama D. Pembahasan Kasus Rule MB 3 1. Pengertian Rule MB 3 Kondisi yang direkam sebagai diagnosis utama menggambarkan suatu gejala yang timbul akibat suatu kondisi yang ditangani. Suatu gejala yang diklasfikasikan dalam Bab XVIII (R.-), atau suatu masalah yang dapat diklasfikasikan dalam bab XXI (Z) dicatat sebagai kondisi utama, sedangkan informasi di rekam medis, terekam kondisi lain yang lebih menggambarkan diagnosis pasien dan kepada kondisi ini terapi diberikan maka reseleksi kondisi tersebut sebagai diagnosis utama. 2. Pembahasan kasus Rule MB 3 Pasien masuk IGD dengan muntah muntah yang mengeluarkan darah, saat di observasi pasien mengatakan seperti ada benjolan di sekitar lehernya dan pasien suka mengonsumsi alkohol serta jarang berolahraga. Lalu dilakukan pemeriksaan Endoskopi eshophagus dan USG, hasilnya terdapat varises di esophagus serta cirosis pada hatinya. Selanjutnya pasien dirawat inap dan dilakukan eksisi pada varises. Pada saat dilakukan tindakan pasien tiba tiba tidak sadarkan diri dan dinyatakan meninggal ditempat.



22



Diagnosa dokter mengatakan bahwa : DU : Hematemesis



K92.0



DT : Varises Esophagus



I85.9



Cirrhosis hepatis



K70.3



Tindakan : Endoskopi eshophagus



44.24



USG



88.72



Eksisi esophagus



42.40



Ketika dokter mendiagnosa seperti diatas pada kasus ini maka berlaku Rule MB 3 karena dokter mencatumkan tanda atau gejala pada DU yang seharusnya adalah DT. Perekam Medis bisa membenarkannya seperti ini : DU : Hematemesis



I85.9



DT : Varises Esophagus



K70.3



Cirrhosis hepatis



K92.0



Tindakan : Endoskopi eshophagus



44.24



USG



88.72



Eksisi esophagus



42.40



Dengan demikian perekam medis membenarkan dengan mengganti kode tetapi tidak boleh mengganti diagnosa dokter yang telah tertulis.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Coding adalah salah satu kegiatan pengolahan data rekam medis untuk memberikan kode dengan huruf atau dengan angka atau kombinasi huruf dan angka yang mewakili komponen data. Kegiatan dan tindakan serta diagnosis yang ada dalam rekam medis harus di beri kode dan selanjutnya di indeks agar memudahkan pelayanan pada penyajian informasi untuk menunjang fungsi perencanaan, managemen, dan riset bidang kesehatan (Hidayat, 2016). ICD merupakan singkatan dari International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems dimana memuat klasifikasi diagnostik penyakit dengan standar internasional yang disusun berdasarkan sistem kategori dan dikelompokkan dalam satuan penyakit menurut kriteria yang telah disepakati pakar internasional. Rule MB3 : Kondisi yang direkam sebagai diagnosis utama menggambarkan suatu gejala yang timbul akibat suatu kondisi yang ditangani. Suatu gejala yang diklasfikasikan dalam Bab XVIII (R.-), atau suatu masalah yang dapat diklasfikasikan dalam bab XXI (Z) dicatat sebagai kondisi utama, sedangkan informasi di rekam medis, terekam kondisi lain yang lebih menggambarkan diagnosis pasien dan kepada kondisi ini terapi diberikan maka reseleksi kondisi tersebut sebagai diagnosis utama. B. Saran Sebaiknya petugas pengkodean (koder) harus teliti dalam mengkode setiap diagnosis penyakit pasien.



23



DAFTAR PUSTAKA



Hatta, G. (2010). Pedoman Pengelolaan Rekam Medis Rumah Sakit . Jakarta: Universitas Indonesia. Hatta, G. R. (2008). Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan Revisi Buku Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Rekam Medis Rumah Sakit (1991) dan Pedoman Pengelolaan Rekam Medis di Rumah Sakit di Indonesia (1994,1997). Jakarta: Universitas Indonesia. Hidayat, A. N. (2016, agustus 30). konsep kodifikasi coding penyakit. Dipetik 10 15, 2019, dari aepnurulhidayat.wordpress.com: https://www.google.com/amp/s/aepnurulhidayat.wordpress.com/2016/08/30/konse p-kodifikasi-coding-penyakit-by-aep-nurul-hidayah/amp/ Marjuani. (2016, juni). makalah tentang coding auditing. Dipetik oktober 15, 2019, dari apikesinfo.blogspot.com: https://apikesinfo.blogspot.com/2016/06/makalah-tentang-coding-auditingdan.html?m=1 Prakosa. (2014, juni). coding system sistem koding rekam medis. Dipetik oktober 15, 2019, dari ayotahu.blogspot.com: http://ayotahu.blogspot.com/2014/06/coding-system-sistem-koding-rekammedis.html?m=1 Waluyadi. (2005). perspektif peradilan dan aspek hukum praktik kedokteran. Jakarta: Djambatan. WHO. (2005). Petunjuk Pengisian,Pengolahan dan Penyajian Data RS. Jakarta: buku kedokteran.