Makalah Difteri [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PENYAKIT SIFILIS DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT PRODI S1 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT



DI SUSUN OLEH: INAYATUL ILLA RIF’AH



(2130015024)



TANSA SINTA



(21300150)



ZULVA NUR AYDA



(2130015030)



DOSEN PENGAMPU: NURUL JANNATUL FIRDAUSI, S.KM., M.PH



FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA 2016



HALAMAN JUDUL



PENYAKIT SIFILIS DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT PRODI S1 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT



DI SUSUN OLEH: INAYATUL ILLA RIF’AH



(2130015024)



TANSA SINTA



(21300150)



ZULVA NUR AYDA



(2130015030)



DOSEN PENGAMPU: NURUL JANNATUL FIRDAUSI, S.KM., M.PH



FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA 2016



KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil alamin, Segala puji bagi Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya, penyusunan makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah epidemiologi penyakit. Dalam penyusunan makalah , kami selaku penulis banyak mendapat bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada: Dosen pendamping kami Nurul Jannatul Firdausi, S.KM., M.PH yang telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada kami dalam rangka penulisan karya tulis ilmiah ini kedua orang tua kami yang memberikan semangat dan motivasi kepada kami. Semoga semua amal kebaikannya diterima dan dapat imbalan pahala dari Allah SWT. Dalam penyusunan makalah ini kami mengharap kritik dan saran untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat untuk masyarakat pada umumnya.



Surabaya, 1 Maret 2017 Penulis



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................i KATA PENGANTAR .....................................................................................ii DAFTAR ISI ..................................................................................................iii BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.............................................................................1 1.2 Rumusan Masalah........................................................................2 1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................2 1.4 Manfaat Penulisan........................................................................2 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi penyakit sifilis ................................................................3 2.2 Penyebab penyakit sifilis.............................................................7 2.2 Cara penularan penyakit sifilis .....................................................7 2.3 .......................................................................................................7 2.4 Patofisiologis................................................................................... 2.5 Epidemiologi................................................................................... 2.6 Diagnosis......................................................................................... 2.7 Patogenesis...................................................................................... 2.8 Komplikasi ..................................................................................... 2.9 Pencegahan dan pengobatan .......................................................... BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Gambaran Tingkat Kesakitan, Kejadian Penyakit......................10 3.2 Pelaksanaan Surveilans...............................................................13 BAB 4. PENUTUP 3.1 Kesimpulan.................................................................................15 3.2 Saran...........................................................................................16



DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang



konjungtiva



atau



vagina.



Penyebab



penyakit



ini



adalah Corynebacterium diphteria. Penyakit ini muncul terutama pada bulanbulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak – anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri



digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis. Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah. Lingkungan



buruk



merupakan



sumber



dan



penularan



penyakit.



Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini. Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita Difteri pada tahun 2010 sebanyak 3 orang penderita yang tersebar di tiga kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak ditemukan adanya kematian akibat Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan kasus dimana terdapat 2 kasus difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak ditemukan adanya kematian dan mengalami peningkatan kasus di tahun 2012 sebanyak 7 kasus diantaranya terdapat 1 kematian. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bakteri apa yang menyebabkan penyakit dipteri? 1.2.2 Bagaimana tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri? 1.2.3 Berapa lama masa inkubasi penyakit dipteri? 1.2.4 Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit dipteri? 1.3 Tujuan 1.3.1 Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah : 1.3.2 Mengetahui penyebab penyakit Dipteri 1.3.3 Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri 1.3.4 Mengetahui masa inkubasi penyakit difteri 1.3.5 Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Sifilis adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri spiroset Treponema pallidum sub-spesies pallidum. Rute utama penularannya melalui kontak seksual; infeksi ini juga dapat ditularkan dari ibu ke janin selama kehamilan atau saat kelahiran, yang menyebabkan terjadinya sifilis kongenital. Penyakit lain yang diderita manusia yang disebabkan oleh Treponema pallidum termasuk yaws (subspesies pertenue), pinta(sub-spesies carateum), dan bejel (sub-spesies endemicum). 2.2 Penyebab Penyebab sifilis adalah bakteri dari famili Spirochaetaceae, ordo Spirochaetales dan Genus Treponema spesiesTreponema pallidum. Pada Tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman yaitu Treponema pallidum. Treponema berupa spiral halus, panjang 5-15 mikron dan diameter 0,009-0,5 mikron, setiap lekukan gelombang berjarak 1 mikron dan rata-rata setiap bakteriterdiri dari 8- 14 gelombang dan bergerak secara aktif, karena spiralnya sangat halus maka hanya dapat dilihat pada mikroskop lapangan gelap dengan menggunakan teknik immunofluoresensi. Kuman ini bersifat anaerob dan diantaranya bersifat patogen pada manusia (CDC, 2010) Ada tiga macam antigen Treponema pallidum yaitu protein tidak tahan panas, polisakarida, dan antigen lipoid. Dalam keadaan anaerob pada suhu 25°C, Treponema pallidum dapat bergerak secara aktif dan tetap hidup selama 4-7 hari dalam perbenihan cair yang mengandung albumin, natrium karbonat, piruvat, sistein, ultrafiltrat serum sapi. Kuman ini sukar diwarnaidengan zat warna lilin tetapi dapat mereduksi perak nitrat menjadi logam perak yang tinggal melekat pada permukaan sel kuman. Kuman berkembang biak dengan cara pembelahan melintang. Waktu pembelahan kuman ini kira-kira 30 jam (J Todd et.al, 2001). 2.3 Cara Penularan



Secara umum periode masa inkubasi dari 10 hari sampai 3 (tiga) minggu dari biasanya. WHO menyatakan ada perbedaan waktu antara sifilis dini dan sifilis laten yakni selama 2-4 tahun. Sifilis primer terjadi antara 9 sampai 10 hari setelah terinfeksi dan gejalanya timbul berupa luka nyeri pada alat kelamin. Penularan Sifilis diketahui dapat terjadi melalui (WHO, 1999) : a. Penularan secara langsung yaitu melalui kontak seksual, kebanyakan 95%- 98% infeksi terjadi melalui jalur ini, penularan terjadi melalui lesi penderita sifilis. b. Penularan tidak langsung kebanyakan terjadi pada orang yang tinggal bersama penderita sifilis. Kontak terjadi melalui penggunaan barang pribadi secara bersama-sama seperti handuk, selimut, pisau cukur, bak mandi, toilet yang terkontaminasi oleh kuman Treponema pallidum. c. Melalui Kongenital yaitu penularan pada wanita hamil penderita sifilis yang tidak diobati dimana kuman treponema dalam tubuh ibu hamil akan masuk ke dalam janin melalui sirkulasi darah. Melalui darah yaitu penularan terjadi melalui transfusi darah dari penderita sifilis laten pada donor darah pasien, namun demikian penularan melalui darah ini sangat jarang terjadi. 2.4 Patofisiologi 1.



Tahap Inkubasi Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf. Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu



atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan. 2.



Tahap Penyakit Dini Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.



3.



Tahap Penyakit lanjut Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaputyang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas. Corynebacterium diphtheriae adalah organisme yang minimal melakukan invasive, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal pada membrana mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang paten, yang tersebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limpatik. Dengan sejumlah kecil toxin, yaitu 0,06 ug, biasanya telah bisa menimbulkan kematian pada guinea pig. Pada saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal, yang menyebabkan timbulnya kematian dan kerusakan jaringan, lekosit masuk kedaerah tersebut bersamaan dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang lain, disertai dengan jaringan yang rusak membentuk membrane. Akibat dari



kerusakan jaringan, oedem dan pembengkakan pada daerah sekitar membran sering terjadi, dan ini bertanggung jawab terhadap terjadinya penyumbatan jalan nafas pada tracheo-bronchial atau laryngeal difteri. Warna dari membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau abu-abu, dan ini sering meragukan dengan "simple tonsillar exudate". Karena membran terdiri dari jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membran rapuh, dan mudah berdarah bila membran yang lengket diangkat. Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan efeknya pada metabolisme seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel melalui porsi toxin yang disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi porsi toxin lainnya,"A" fragment kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah terexpose dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati. Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada miokardium, toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria, dengan fatty degeneration, oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan perivascular dibalut dengan lekosit. Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada keduanya, yaitu sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering terlibat dan lebih berat. 2.5 Epidemiologi 1. Person (Orang) Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit campak, 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk



rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari setiap 200.000 anak, 1 akan menderita penyakit polio. 2.



Place (Tempat) Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.



3.



Time (Waktu) Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak mempunyai system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri. 2.6 Diagnosis Diagnosis terhadap penyakit sifilis sangat penting untuk dilakukan karena penyakit ini merupakan penyakit yang menular.Studi menyebutkan bahwa diagnosis dini dapat membantu pencegahan dan pengobatan suatu penyakit. Pada umumnya dilakukan dengan 3 cara yaitu: Anamnesis Anamnesis dilakukan dengan mewawancarai pasien dengan menanyakan



keluhan



dan



gejala



pasien.



b. Pemeriksaan secara Klinis Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat gejala klinis yang muncul pada penderita yang dikenal dengan pemeriksaan sindromik. Penggunaan manajemen sindromik ini terutama dirancang untuk keterbatasan sumber daya dan telah terbukti layak diterima di beberapa negara (Lambert et al, 2005, Brown et al, 2010). STI skrining antara MSM juga layak dan dapat diterima dan dapat menjangkau kelompok yang sering memiliki akses terbatas dalam mendapatkan pemeriksaan IMS yang teratur dan konseling di pelayanan kesehatan formal.Namun demikian pemeriksaan ini tetap harus dikonfirmasi dengan



pemeriksaan



laboratorium



untuk



hasil



yang



lebih



akurat.



c. Pemeriksaan Laboratorium Diagnosis laboratorium penyakit sifilis pada umumnya dilakukan melalui pemeriksaan mikroskopik langsung maupun pemeriksaan



serologik.



d. Pemeriksaan Mikroskopik Dalam sediaan segar tanpa pewarnaan, gerak kuman Treponema dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap. Pemeriksaan



Treponema



secara



mikroskopik



dilihat



dengan



teknik



imunnofluoresensi dengan membuat usapan cairan jaringan atau eksudat pada kaca objek kemudian difiksasi dan diwarnai dengan serum anti treponema yang dilabel fluoresein sehingga pada lapangan pandang gelap akan terlihat fluoresensi yang



khas



dari



kuman



Treponema



(CDC,



2010).



e. Pemeriksaan Serologis Pemeriksaan Serologis Tes darah adalah cara lain untuk menentukan apakah seseorang memiliki sifilis. Tak lama setelah infeksi terjadi, tubuh memproduksi antibodi sifilis yang dapat dideteksi oleh tes darah. Pemeriksaan Serologis Sifilis penting untuk diagnosis dan pengamatan hasil pengobatan. Pemeriksaan ini dapat diklasifikasikan : 1. Tes Non Treponema : kardiolipin, lesitin dan kolesterol 2. Tes Treponema : Treponema pallidum hidup / mati Ketepatan hasil STS dinilai berdasarkan : 1. Sensitivitas : % individu yang terinfeksi yangmemberi hasil positif 2. Spesifivitas : % individu yang tidak infeksi yang memberikan hasilnegatif Menurut Irwin, et. al., (2003) Pemeriksaan kuantitatif Serologi Sifilis memungkinkan dokter untuk : 1. Mengevaluasi efektivitas pengobatan 2. Menemukan potensi kambuh (relaps) sebelum menjadi menular 3. Membedakan antara kambuh dan infeksi ulang 4. Melihat adanya reaksi sebagai jenis seroresistant 5. Membedakan antara benar dan biologis positif palsu reaksi serologis. Gejala Penyakit Gejala klinis penyakit difteri ini adalah : 1.



Panas lebih dari 38 °C



2.



Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil



3.



Sakit waktu menelan



4.



Leher



membengkak



seperti



karena pembengkakan kelenjar leher.



leher



sapi



(bullneck),



disebabkan



Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria, virulensi



serta



toksinogenesitas



(kemampuan



membentuk



toksin)



Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria. a.



Diphtheria Hidung Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.



b.



Diphtheria Tonsil-Faring Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.



c.



Diphtheria Laring Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas.



d.



Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan



(spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium. Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakankelenjar getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL Depkes,2003). 2.7 Patogenesis Treponema dapat masuk (porte d’entrée) ke tubuh calon penderita melalui selaput lendir yang utuh atau kulit dengan lesi. Kemudian masuk ke peredaran darah dari semua organ dalam tubuh.Penularan terjadi setelah kontak langsung dengan lesi yang mengandung treponema.3–4 minggu terjadi infeksi, pada tempat masuk Treponema pallidum timbul lesi primer (chancre primer) yang bertahan 1–5 minggu dan sembuh sendiri. Tes serologik klasik positif setelah 1–4 minggu. Kurang lebih 6 minggu (2– 6 minggu) setelah lesi primer terdapat kelainan selaput lendir dan kulit yang pada awalnya menyeluruh kemudian mengadakan konfluensi dan berbentuk khas. Penyembuhan sendiri biasanya terjadi dalam 2–6 minggu. Keadaan tidak timbul kelainan kulit dan selaput dengan tes serologik sifilis positif disebut Sifilis Laten. Pada seperempat kasus sifilis akan relaps. Penderita tanpa pengobatan akan mengalami sifilis lanjut (Sifilis III 17%, kordiovaskular 10%, Neurosifilis 8%). Banyak orang terinfeksi sifilis tidak memiliki gejala selama bertahun- tahun, namun tetap berisiko untuk terjadinya komplikasi akhir jika tidak dirawat. Gejalagejala yang timbul jika terkena penyakit ini adalah benjolan-benjolan di sekitar alat kelamin. Timbulnya benjolan sering pula disertai pusing-pusing dan rasa nyeri pada tulang, mirip seperti gejala flu. Anehnya, gejala-gejala yang timbul ini dapat menghilang dengan sendirinya tanpa



pengobatan.



Sifilis dapat dikatakan sebagai musuh dalam selimut karena selama jangka waktu 2-3 tahun pertama tidak akan menampakkan gejala mengkhawatirkan. memperlihatkan



Namun,



setelah



keganasannya



5-10



dengan



tahun



sifilis



menyerang



baru



sistem



akan saraf,



pembuluh darah, dan jantung. Gejala klinis penyakit sifilis menurut



klasifikasi



WHO



sebagai



berikut



(CDC,



2010)



:



a. Sifilis Dini 1. Sifilis Primer Sifilis stadium I (Sifilis primer), timbul 10-90 hari setelah terjadi infeksi. Lesi pertama berupa makula atau papula merah yang kemudian menjadi ulkus (chancre), dengan pinggir keras, dasar ulkus biasanya merah dan tidak sakit bila dipalpasi. Sering disertai dengan pembengkakan kelenjar getah bening regional. Lokalisasi chancre sering pada genitalia tetapi bisa juga ditempat lain seperti bibir, ujung lidah, tonsil, jari tangan dan puting susu. Diagnosis ditegakkan berdasarkan



gambaran



klinis



yang



khas



berupa



chancre



serta



ditemuiTreponema pallidum pada pemeriksaan stadium langsung dengan mikroskop lapangan gelap. Apabila pada hari pertama hasil pemeriksaan sediaan langsung negatif, pemeriksaan harus diulangi lagi selama tiga hari



berturut-turut



dan



bila



tetap



negatif,



diagnosis



ditegakkan



berdasarkan gejala klinis dan serologis. Selamadalam pemeriksaan sebaiknya ulkus dibersihkan atau dikompres dengan larutan garam faal fisiologis. 2. Sifilis Sekunder (S II) Timbul setelah 6-8 minggu sejak S I. Pada beberapa kasus keadaan S II ini sering masih disertai S I. Pada S II dimulai dengan gejala konsistensi seperti anoreksia, demam, athralgia, angina. Pada stasium ini kelainan pada kulit, rambut, selaput lendir mulut dan genitalia, kelenjar getah bening dan alat dalam. Kelainan pada kulit yang kita jumpai pada S II ini hampir menyerupai penyakit kulit yang lain, bisa berupa roseola, papel-papel, papulo skuamosa, papulokrustosa dan pustula. Pada SII yang dini biasanya kelainan kulit yang khas pada telapak tangan dan kaki. Kelainan selaput lendir berupa plakula atau plak merah (mucous patch) yang disertai perasaan sakit pada tenggorokan (angina sifilitica eritematosa). Pada genitalia sering kita jumpai adanya papul atau plak yang datar dan basah yang disebut kondilomata lata. Kelainan rambut berupa kerontokan rambut setempat disebut alopesia areata. Kelainan kuku berupa onikia sifilitaka, kuku rapuh berwarna putih, suram ataupun terjadi peradangan (paronikia sifilitaka). Kelainanmata berupa uveitis anterior.Kelainan pada hati bisa terjadi



hepatitis dengan pembesaran hati dan ikterus ringan. Kelainan selaput otak berupa meningitis dengan keluhan sakit kepala, muntah dan pada pemeriksaan cairan serebro spinalis didapati peninggian jumlah sel dan protein. Untuk menegakkan diagnosis, disamping kelainan fisik juga diperlukan pemeriksaan serologis. 3. Sifilis Laten Dini Gejala klinis tidak tampak, tetapi hasil pemeriksaan tes serologi untuk sifilis positif.Tes yang dilanjutkan



adalah



VDRL



dan



TPHA.



b. Sifilis Lanjut (CDC, 2010) Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sikatrik bekas S I pada genitalia atau makula atrofi bekas papul-papul S II. Pemeriksaan tes serologi sifilis positif. 1. Sifilis Tersier (S III) Lesi pertama timbul 3-10 tahun setelah S I berupa gumma yang sirkumskrip. Gumma sering perlunakan dan mengeluarkan cairan seropurulen dan kadangkadang disertai jaringan nekrotik sehingga terbentuk ulkus. Gumma ditemukan pada kulit, mukosa mulut, dan organ dalam terutama hati. Dapat pula dijumpai kelainan pada tulang dengan keluhan, nyeri pada malam hari. Pada pemeriksaan radiologi terlihat kelainan pada tibia, fibula,



humerus,



dan



tengkorak



berupa



periostitis



atau



osteitis



gummatosa. Pemeriksaan TSS positif. 2. Sifilis Kardiovaskuler Timbul 1040 tahun setelah infeksi primer dan terdapat pada sekitar 10% kasus lanjut dan 40% dapat bersama neurosifilis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan berdasar gejala klinis, foto sinar X dan pemerikasaan pembantu lainnya. Sifilis kardiovaskuler dapat dibagi dalam 3 tipe: Sifilis pada jantung, pada pembuluh darah, pada pembuluh darah sedang. Sifilis pada jantung jarang ditemukan dan dapat menimbulkan miokarditis difus atau guma pada jantung. Pada pembuluh darah besar, lesi dapat timbul di aorta, arteri pulmonalis dan pembuluh darah besar yang berasal dari aorta. Aneurisma umumnya terdapat pada aorta asendens, selain itu juga pada aorta torakalis dan abdominalis. Pembuluh darah sedang, misalnya aorta serebralis dan aorta medulla spinalis paling sering terkena. Selain itu



aorta



hepatitis



dan



aorta



femoralis juga dapat diserang (J Todd, 2001). 3. Sifilis Kongenital Dini



Gambaran klinis sifilis kongenital dini sangat bervarasi, dan menyerupai sifilis stadium II.Karena infeksi pada janin melalui aliran darah maka tidak dijumpai kelainan sifilis primer. Pada saat lahir bayi dapat tampak sehat dan kelainan timbul setelah beberapa minggu, tetapi dapat pulakelainan sejak lahir. Pada bayi dapat dijumpai kelainan berupa (Saravanamurthy, 2010): a. Pertumbuhan intrauterine yang terlambat b. Kelainan membra mukosa: mucous patch dapat ditemukan di bibir, mulut, farings, larings dan mukosa genital. Rinitis sifilitika (snuffles) dengan gambaran yang khas berupa cairan hidung yang mula-mula encer kemudian menjadi bertambah pekat, purulen dan hemoragik. c. Kelainan kulit: makula, papuloskuamosa dan bula. Bula dapat sudah ada sejak lahir, tersebar secara simetris, terutama pada telapak tangan dan kaki, makula, papula atau papuloskuamosa tersebar secara generalisata dan simetris. d. Kelainan tulang: osteokondritis, periostitis dan osteitis pada tulang- tulang panjang merupakan gambaran yang khas. e. Kelenjar getah bening: limfadenitis generalisata. f. Alat-alat dalam. g. Mata : koreoretinitis, galukoma dan uveitis. h. Susunan saraf pusat: meningitis sifilitika akuta. Universitas Sumatera Utara



4.Sifilis Kongenital Lanjut Kelainan umumnya



timbul setelah 7–20 tahun. Kelainan yang timbul : a. Keratitis interstisial b. Gumma c. Neurosifilis d. Kelainan sendi: yaitu artralgia difusa dan hidatrosis bilateral (clutton’s joint). 5. Stigmata Lesi sifilis kongenital dapat meninggalkan



sisa,



berupa



jaringan



parut



dan



deformitas



yang



karakteristik yaitu (Saravanamurthy, 2009) : 1. Muka: saddle nose terjadi akibat gangguan pertumbuhan septum nasi dan tulangtulang hidung. Buldog jawakibat maksila tidak berkembang secara normal sedangkan mandibula tidak terkena. 2. Gigi: pada gigi seri bagian tengah lebih pendek dari pada bagian tepi dan jarak antara gigi lebih besar (Hutchinson’s teeth). 3. Regade: terdapat disekitar mulut 4. Tulang: osteoperiostitis yang menyembuh akan menimbulkan kelainan klinis dan radiologis, pada tibia berupa sabre tibia dan pada daerah frontal berupa frontal bossing. 5. Tuli: kerusakan N.VIII akibat labirintitis progresif 6. Mata: keratitis interstisialis



2.9 Pencegahan dan Pengobatan Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah penularan sifilis melalui pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Adapun bentuk pencegahan yang dapa dilakukan sebagai berikut : a. Pencegahan Primer Sasaran pencegahan terutama ditujukan kepada kelompok orang yang memiliki resiko tinggi tertular sifilis. Bentuk pencegahan primer yang dilakukan adalah dengan prinsip ABC yaitu : 1. A (Abstinensia), tidak melakukan Pengaruh seks secara bebas dan bergantiganti pasangan. 2. B (Be Faithful), bersikap saling setia dengan pasangan dalam Pengaruh perkawinan atau Pengaruh perkawinan atau Pengaruh jangka panjang tetap. 3. C (Condom), cegah dengan memakai kondom yang benar dan konsisten untuk orang yang tidak mampu melaksanakan A dan B. 4. D (Drug), tidak menggunakan narkoba/napza. 5. E (Education), pemberian informasi kepada kelompok yang memiliki resiko tinggi untuk tertular sifilis dengan memberikan leaflet,brosur, dan stiker. Pencegahan Sekunder Sasaran pencegahan terutama ditujukan pada mereka yang menderita (dianggap suspect) atau terancam akan menderita. Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat dilakukan dengan cara mencari penderita sifilis, meningkatkan usaha surveilans, dan melakukan pemeriksaan berkala kepada kelompok orang yang memilik resiko untuk terinfeksi sifilis. Bentuk pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara : Melakukan cek darah untuk mengetahui infeksi sifilis. 2. Pengobatan injeksi antibiotik benzatin benzil penicilin untuk menyembuhkan infeksi sifilis. c. Pencegahan Tersier Sasaran tingkat ketiga ditujukan kepada penderita tertentu dengan tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat/kelainan permanen, mencegah agar jangan bertambah parah/ mencegah kematian karena penyakit tersebut. Bentuk pencegahan tersier yang dapat dilakukan adalah : 1. Melakukan pengobatan (injeksi antibiotik) yang bertujuan untuk menurunkan kadar titer sifilis dalam darah. 2. Melakukan tes HIVuntuk mengetahui status kemungkinan terkena HIV. Cara paling pasti untuk menghindari penularan penyakit menular seksual, termasuk sifilis, adalah untuk menjauhkan diri dari kontak seksual atau berada dalam Pengaruh jangka panjang yang saling monogami dengan pasangan yang telah diuji dan diketahui tidak terinfeksi.



Menghindari penggunaan alkohol dan obat juga dapat membantu mencegah penularan sifilis karena kegiatan ini dapat menyebabkan perilaku seksual berisiko. Adalah penting bahwa pasangan seks berbicara satu sama lain tentang status HIV mereka dan sejarah PMS lainnya sehingga tindakan pencegahan dapat diambil. Dalam Guidelines pengobatan CDC (2010) salah satu cara yang dilakukan untuk upaya pencegahan dan pengobatan adalah melalui suatu program yang disebut “Management of Sex Partners” atau dikenal dengan istilah “Manajemen Mitra Seks”. Penularan Treponema pallidum diperkirakan terjadi hanya ketika lesi sifilis mukokutan yang hadir. Meskipun manifestasi tersebut jarang terjadi setelah tahun pertama infeksi, orang yang terkena seksual kepada pasien yang memiliki sifilis pada setiap tahap harus dievaluasi klinis dan serologis dan diobati dengan rejimen yang disarankan, sesuai dengan rekomendasi berikut: a. Orang yang terpapar dalam waktu 90 hari sebelumdiagnosis primer, sifilis laten sekunder, atau awal pasanganseks



mungkin



terinfeksi



bahkan



jika



seronegatif,



karena



itu,



orangtersebut harus dianggap sebagai suspect. b. Orang yang terkena lebih dari 90 hari sebelum diagnosis primer, sekunder sifilis laten, atau pagi-pasangan seks harus diperlakukan sebagai suspect apabila hasil tes serologis tidak tersedia segera dan kesempatan untuk tindak lanjut c. Sebagai informasi bagi mitra dan pengobatan terhadap suspect atau dugaan dari pasangan seks yang diduga memiliki risiko, pasien dengan sifilis yang tidak diketahui statusnya dan dengan disertai uji serologi nontreponemal dengan titer yang tinggi (yaitu diatas titer 1:32) dapat diasumsikan memiliki sifilis awal. Namun demikian untuk tujuan menentukan rejimen pengobatan, titer serologi hendaknya tidak boleh digunakan untuk membedakan sifilis awal dari sifilis laten melainkan membutuhkan uji serologis lain yaitu pemeriksaan antibodi treponemal. d. Pasangan seks jangka panjang dari pasien dengan sifilis latenharus dievaluasi secara klinis dan serologis segera untuk diobati berdasarkan temuan evaluasi. e. Pasangan seksual dari pasien yang terinfeksi harus dipertimbangkan telah memiliki risiko dan segera diberikan pengobatan jika mereka memiliki kontak seksual dengan pasien dalam waktu 3 bulan plus durasi gejala untuk pasien yang didiagnosis dengan sifilis primer, durasi 6 bulan plus gejala bagi mereka dengan sifilis sekunder dan 1 tahun untuk pasien dengan sifilis laten dini



serta dalam waktu 3 bulan plus durasi gejala untuk pasien yang didiagnosis dengan sifilis primer. Penyakit ulkus kelamin, seperti sifilis, dapat terjadi di kedua daerah kelamin laki-laki dan perempuan yang ditutupi atau dilindungi oleh kondom lateks. Penggunaan kondom lateks dapat mengurangi risiko sifilis, serta herpes genital dan chancroid, hanya bila daerah yang terinfeksi atau situs paparan potensi dilindungi. WHO (2011) juga menyebutkan bahwa konsistensi penggunaan kondom dapat mengurangi transmisi HIV sebesar 64% dan IMS sebesar 42%. Penyakit Sifilis hampir seperempatnya akan kambuh bila tidak di obati, pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kegagalan terapi sebanyak 5% pada SI dan SII. Kambuh klinis umumnya terjadi setahun sesudah terapi, berupa lesi menular pada mulut , tenggorok, dan regio perianal. Menurut CDC STD Treatment Guidelines (2011) disebutkan bahwa Benzatin penisilin G, Bicillin adalah obat pilihan terbaik untuk pengobatan semua tahap sifilis dan merupakan satu-satunya pengobatan dengan keberhasilan yang digunakan untuk sifilis pada masa kehamilan.Penisilin memang tetap merupakan obat pilihan utama karena murah dan efektif. Berbeda dengan gonokokus, belum ditemukan resistensi treponema terhadap penisilin. Konsentrasi dalam serum sejumlah 0,03 UI/ml sudah bersifat treponemasidal namun menetap dalam darah selama 10-14 hari pada sifilis menular, 21 hari pada semua sifilis lanjut dan laten. Pada penderita sifilis yang alergis terhadap penisilin dapat diberikan pada sifilis S.I dan S.II: Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 15 hari atau Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 15 hari. Pada Late sifilis (> 1 tahun) sama seperti dosis diatas selama 4 minggu: Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari atau Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari USAHA PD3I DIFTERI Upaya pencegahan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang salah satunya adalah Difteri. Tujuan Umum dari upaya PD3I difteri yaitu untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit difteri yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I). Strategi-strategi yang dilakukan dalam upaya PD3I difteri yaitu antara lain :



1.



Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarakat dan swasta



2.



Membangun kemitraan dan jejaring kerja



3.



Menjamin ketersediaaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin dan alat suntik



4.



Menerapkan sistem pemantauan wilayah setempat (PWS) untuk menentukan prioritas kegiatan serta tindakan perbaikan



5.



Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih



6.



Pelaksanaan sesuai dengan standard



7.



Memanfaatkan perkembangan methoda dan tekhnologi yang lebih efektif berkualitas dan efisien



8.



Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan Seiring dengan ditetapkannya KLB Difteri di berbagai daerah, maka pemerintah melakukan serangkaian kegiatan penanggulangan. Salah satu konsentrasi kegiatan difokuskan pada imunisasi tambahan dan imunisasi dalam penanggulangan KLB. Terjadinya suatu KLB Difteri dapat mengindikasikan bahwa Imunisasi yang telah diperoleh pada waktu bayi belum cukup untuk melindungi terhadap penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal ini disebabkan karena sejak anak mulai memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap tingkat kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika bayi. Sehingga perlu diberikan imunisasi tambahan untuk menangani KLB Difteri yaitu dengan program BLF (Backlog Fighting) dan ORI (Outbreak Response Imunization).



1.



BLF (Back Log Fighting) BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang berumur 1 – 3 tahun. Sasaran prioritas adalah desa/kelurahan yang selama 2 tahun berturut turut tidak mencapai desa UCI (Universal Child Immunization). BLF tergolong dalam imunisasi tambahan diamana definisinya adalah kegiatan imunisasi yang dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi. Kegiatan ini sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus dan kegiatannya dilaksanakan pada suatu periode tertentu.



2.



ORI (Outbreak Response Imunization)



ORI adalah Imunisasi yang dilakukan dalam penanganan KLB. Dilaksanakan pada daerah yang terdapat kasus penyakit PD3I, dalam hal ini adalah Difteri. Sasarannya adalah anak usia 12 bulan s/d 15 tahun, melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar KLB, sesaat setalah KLB terjadi. Mengingat Penyakit Difteri ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang belum diimunisasi. Maka tindakan preventif untuk mencegah penyakit melalui pemberian kekebalan tubuh (Imunisasi) harus dilaksanakan secara terus menerus, menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memberikan perlindungan kesehatan dan memutus mata rantai penularan. Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri, tetapi kerentanan terhadap infeksi tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada kekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan pasif, tetapi taka akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun kekebalannya habis sama sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang didapat secara aktif dengan imunisasi. Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu, imunisasi aktif juga perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan pada saat anak akan bersekolah. Imunisasi pasif dilakukan dengan menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus dibatasai pada keadaan yang memang sangat gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap penyakit difteri juga dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick. Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi DPTdan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar



dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap. Keberadaan sumber penularan beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih besar daripada tidak ada sumber penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah tentang imunisasi dan difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi dan difteri. Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi terjadinya difteri (Kartono, 2008). Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu-dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikankekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas. Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaandengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali. Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan system kekebalan mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin difteria dengan jadwal yang sama. Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber



penularan



bagi



yang



lain.



Pengobatan



difteri



difokuskan



untuk menetralkan



toksin



(racun)



difteri



dan



untuk



membunuh



kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri satu kali, biasanya penderita tidak akan terserang lagi seumur hidup. Perawatan bagi penyakit ini termasuk antitoksin difteri, yang melemahkan toksin dan antibiotik. Eritromisin dan penisilin membantu menghilangkan bakteri difteri dan menghentikan pengeluaran toksin. Selama sakit, penderita harus tiduran di tempat tidur. Umumnya difteri dapat dicegah melalui vaksinasi dengan vaksin DPT (vaksin Difteri, Pertusis, dan Tetanus) sejak bayi berumur 3 bulan. Untuk pemberian kekebalan dasar perlu diberi 3 kali berturut-turut dengan jarak 1 – 1,5 bulan, lalu 2 tahun kemudian diulang kembali. Umumnya diberi Penisilin atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau Eritromisin yang bermaksud untuk mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan pengobatan bagi carrier penyakit ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40 mg / kg / hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G harian, intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan 600.000 U / sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari. Melihat bahayanya, penyakit ini maka bila ada anak yang sakit dan ditemukan gejala diatas maka harus segera dibawa ke dokter atau rumah sakit untuk segera mendapatkan penanganan. Pasien biasanya akan masuk rumah sakit untuk diopname dan diisolasi dari orang lain guna mencegah penularan. Di rumah sakit akan dilakukan pengawasan yang ketat terhadap fungsi fungsi vital penderit auntuk mencegah terjadinya komplikasi. Mengenai obat, penderita umumnya akan diberikan antibiotika, steroid, dan ADS (Anti Diphteria Serum). Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest : 2-3 minggu, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah dicerna, protein dan kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir. Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat dihindari, namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan penyakit yang lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang terlambat.



Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bias dicegah dengan cara menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya masih positif dan imunisasi. Pengobatan khusus penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin dan membunuh basil dengan antibiotika (Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin, Rifampicin, Klindamisin, Tetrasiklin). Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria Serum (ADS) 20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil saja, tetapi jika membrannya sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit. Sebelum pemberian serum dilakukan sensitif test. Antibiotik pilihan adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan samapi 3 hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif lainnya adalah erythromicyn 3040mg/KgBB/hari selama 14 hari. Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis Tetanus) dimana vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi DPT diberikan untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus, diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnya diberikan dengan interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT pada bayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu DT (Dipteri Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan pada anak Sekolah Dasar kelas 1 (Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, 2005). Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat menularkan difteri, karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakanulang pada apus tenggorokannya. Kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah mendapatkan imunisasi, karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster setiap 10 tahun. Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran sekaligus komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak. Diperkirakan hampir satu dari lima penderita difteri balita dan berusia di atas 40 tahun yang meninggal dunia diakibatkan oleh komplikasi.



Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di antaranya meliputi: a.



Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan. Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu inflamasi pada paru-paru sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan menyebabkan gagal napas.



b.



Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung dan menyebabkan inflamasi otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur,gagal jantung dan kematian mendadak.



c.



Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit menelan, masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta pembengkakan saraf tangan dan kaki. Masalah saluran kemih dapat menjadi indikasi awal dari kelumpuhan saraf yang akan memengaruhi diagfragma. Paralisis ini akan membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tibatiba pada awal muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu, penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi apa pun umumnya dianjurkan untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan.



d.



Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan yang parah dan gagal ginjal. Sebagian besar komplikasi ini disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. 2.8 Determinan Beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan kejadian Difteria diantaranya :



1.



Cakupan imunisasi, artinya dimana ada bayi yang kurang b a h k a n tidak



mendapatkan



imunisasi



DPT



secara



lengkap. Berdasarkan



penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan statusimunisasi DPT dan DT yang



tidak lengkap beresiko menderita difteri46.403 kali lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT danDT lengkap. 2.



Kualitas vaksin, artin ya pada saat proses pemberian vaksinasi k u r a n g menjaga Coldcainsecara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.



3.



Faktor Lingkungan, artin ya lingkungan yang buruk dengan s a n i t a s i yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit Difteri.Letak rumah yang berdekatan sangat mudah sekali menyebarkan penyakit difteria bila ada sumber penularan.



4.



Rendahnya



tingkat



pengetahuan



ibu,



dimana



p e n g e t a h u a n a k a n pentingnya imunisasi sangat rendah dan kurang bisa mengenali secaradini gejala-gejala penyakit difteria. 5.



Akses pelayanan kesehatan yang rendah, dimana hal ini dapat d i l i h a t dari rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu. Misalnya di Kabupaten Sidoarjo, berdasarkan data yang ada ada empatdesa yang belum tercapai program imunisasinya, yakni Sekardangan,Porong, Tanggulangin dan Kedungsolo Jabon.



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 1.



Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.



2.



Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat.



3.



Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring, difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginal.



4.



Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :



a.



Panas lebih dari 38 °C



b.



Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsilc .



c.



Sakit waktu menelan



d.



Leher



membengkak



seperti



leher



sapi



(bullneck),



disebabkan



karena pembengkakan kelenjar leher 5.



Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan dan difteri kulit yang mencemari tanah sekitarnya.



6.



Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.



7.



Pencegahan penyakit



difteri



ini



dilakukan



dengan pemberian



imunisasi DPT 1, DPT2 dan DPT 3 pada bayi mulai umur 2 bulan dan dilanjutkan dengan imunisasi DPT berikutnya dengan jarak waktu 4 paling sedikit 4 minggu (1 bulan ). Kemudian diulang lagi pada saat usia sekolah dasar yaitu kelas 1 dengan imunisasi DT. Selain itu juga dilakukan dengan cara menjaga kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari kuman difteri ini. 8.



Pengobatan pada difteri terbagi



menjadi



dua



yaitu



Perawatan



umumyaitu dengan isolasi , bed rest 2-3 hari, intake makan : makanan lunak, mudah dicerna, protein dan kalori cukup, dan pengobatan khusus yang bertujuan menentralisir toksin dan membunuh basil dengan antibiotika ( Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin, Rifampicin,Klindamisin, Tetrasiklin). 9.



Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya KLB difteri adalah :







Cakupan imunisasi 



Kualitas vaksin 



Lingkungan







Rendahnya tingkat pengetahuan ibu dan keluarga 



Akses pelayanan kesehatan yang rendah



DAFTAR PUSTAKA



Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit) , 2007, Jakarta. Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit, 2003, Jakarta, Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, 2005,Jakarta



Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV. Infomedika, Jakarta Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.2 No.5 Profil,2004, Profil Kesehatan ,http://www.Bank Data/Depkes.go.id/ Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun 2012.



Anonim,



2003,



The



Complete



Genome



Sequence



and



Analysis



of Corynebacterium diphtheria NCTC 13129, www.google.com, diakses tanggal 7 Mei 2008.



Anonim, 2007, Difteri. www.balita-anda.indoglobal.com/pdf. diakses tanggal 5 Januari 2008. Anonim,



2007.



Penyakit



yang



Dapat



Dicegah



dengan



www. dinkes.denpasarkota.go.id diakses tanggal 7 Mei 2008.



Imunisasi.