Makalah Penyakit Difteri [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PENYAKIT DIFTERI



Dosen Pengampuh : Ns. Nurseha Djafaar S.Pd, S.Kep, M.Kes



Disusun Oleh :



Nama : Tasya M. Mirah Nim : 711440120014



POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MANADO JURUSAN KEPERAWATAN 2022



KATA PENGANTAR



Puji syukur pada Tuhan yang Maha Esa atas berkat tuntunan dan kasih sayangnya sehingga makalah dengan judul penyakit “ Difteri “ ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga saya mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi nilai tugas dalam mata kuliah KMB 1. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan agar menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman maka kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempuraan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.



Manado, 20 Januari 2022



Tasya M. Mirah



DAFTAR ISI



Kata Pengantar …………………………………………………………………………. Daftar Isi ………………………………………………………………………………… BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………… 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………… 1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………….. 1.3 Tujuan Makalah …………………………………………………………………….. BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………. 2.1 Pengertian penyakit difteri …………………………………………………………. 2.2 Patofisiologi penyakit difteri ………………………………………………………. 2.3 Tanda dan gejalah penyakit difteri ………………………………………………… 2.4 Pencegahan penyakit difteri …………………………………………………….. 2.5 Penatalaksanaan …………………………………………………………………… 2.6 Program Pemerintah ………………………………………………………………. BAB III PENUTUP …………………………………………………………………… Daftar Pustaka ………………………………………………………………………….



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Difteri adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae yang menyebabkan radang tenggorokan yang sangat berbahaya karena menimbulkan tenggorokan tersumbat dan dampak terberat adalah kerusakan jantung yang menyebabkan kematian dalam beberapa hari saja. Difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Corinebacterium diphtheriae merangsang saluran pernafasan terutama terjadi pada balita yang mencakup jaringan kerongkongan, kotak suara, dan sebagian saluran udara yang ke paru-paru. Penatalaksanaan difteri harus dimulai secepatnya, isolasi pasien minimal 48 jam setelah pemberian antibiotik yang adekuat dan pada pasien yang dicurigai akan mengalami gangguan saluran napas harus mendapatkan pengamanan jalur napas dan aktivitas jantung harus dipantau dengan ketat. Pertusis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Bordetella pertussis yang menginfeksi paru paru dan menyebabkan radang paru yang disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari atau 3 bulan lebih dan dampak terberat penderita dapat meninggal karena kesulitan bernafas. Pertusis adalah penyakit radang paru yang disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari karena lama sakitnya bisa mencapai 3 bulan lebih atau 100 hari. Penatalaksanaan pertusis umumnya hanya suportif dan beberapa diberikan antibiotik untuk membantu meringankan penyakit dan menurunkan penularan. Tetanus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Clostridium tetani yang bersifat kaku otot atau kejang otot seluruh tubuh dengan mulut terkunci sehingga mulut tidak bisa dibuka dan dampak terberat adalah kaku pada otot pernafasan sehingga menyebabkan henti nafas. Tetanus adalah suatu penyakit dengan gangguan neuromuskular akut berupa kekakuan. Penatalaksanaan tetanus adalah merawat luka dan dibersihkan lalu berikan Anti Tetanus Serum (ATS) dan antitoksin disuntikkan di sekitar luka. Ketiga penyakit tersebut bisa dicegah dengan melakukan imunisasi DPT pada saat bayi. Imunisasi adalah suatu cara untuk memberikan kekebalan kepada seseorang secara aktif alami terhadap penyakit menular dan pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu misalnya Difteri, Pertusis, Tetanus , sedangkan yang dimaksud dengan vaksin adalah suatu obat yang diberikan untuk mencegah suatu penyakit. Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan tetanus. Ketiga penyakit tersebut bisa dicegah dengan imunisasi DPT. DPT sering menyebabkan efek samping yang ringan, seperti demam ringan atau nyeri di tempat penyuntikan selama beberapa hari. Untuk mengatasi nyeri dan menurunkan demam, bisa diberikan asetaminofen (atau ibuprofen). (Gavi, 2018) Vaksin DPT adalah pemberian virus yang sudah dilemahkan atau dimatikan. Virus yang dilemahkan diberikan untuk bayi yang sehat dan memiliki sistem kekebalan tubuh yang kuat



sedangkan virus yang sudah dimatikan diberikan pada bayi yang sedang sakit dan memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Hasil penelitian Izza yang meneliti tentang pengaruh imunisasi DPT terhadap pencegahan penyakit Difteri, Pertusis dan Tetanus menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap jumlah penderita yaitu dengan dilakukannya imunisasi DPT bisa mencegah terjadinya penyakit Difteri, Pertusis dan Tetanus. Peneliti utama Wahyuni dan Martini juga menyebutkan bahwa penyakit Difteri, Pertusis dan Tetanus bisa dicegah dengan imunisasi DPT Agar pengetahuan ibu bertambah maka petugas kesehatan dapat memberikan pendidikan kesehatan pada ibu. Pendididikan kesehatan adalah pengalaman-pengalaman yang bermanfaat dalam mempengaruhi kebiasaan, sikap, dan pengetahuan seseorang atau masyarakat. Pentingnya dilakukan pendidikan kesehatan adalah tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat dalam membina dan memelihara perilaku sehat dan lingkungan sehat, serta peran aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. 1.2 Rumusan Masalah a) b) c) d)



Bagaimana memahami penyakit Difteri serta tanda dan gejala penyakit ? Bagaimana patofisiologi penyakit Difteri? Bagaimana cara mencegah serta penatalaksana penyakit Difteri? Apa program pemerintah dalam penanggulangan penyakit dan endemis?



1.3 Tujuan Umum Makalah Dapat mengetahui dan memahami penyakit Difteri serta mengetahui patofisiologi,tes diagnostik, penatalaksana. Mengetahui program pemerintah dalam penanggulangan penyakit dan endemis.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengartian Difteri Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut yang menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva dan atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin specific yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, pada diphtheria faucial atau pada diphtheria faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan edema di leher dengan pembentukan membran pada trakea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas . Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae, berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Ada 3 type variant dari Corynebacterium diphtheriae yaitu type gravis, intermedius dan mitis Corynebacterium diphtheriae dapat diklasifikasikan dengan cara Bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1 sampai 3 termasuk type mitis, tipe 4-6 termasuk type intermedius, tipe 7 termasuk type gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk type gravis yang virulen . Sedangkan Menurut Fredlund difteri disebabkan oleh beberapa jenis spesies yaitu Corinebacterium diphtheriae, CorinebacteriumDifteri adalah suatu penyakit bakteri akut yang menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva dan atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin specific yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, pada diphtheria faucial atau pada diphtheria faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan edema di leher dengan pembentukan membran pada trakea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas. Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae, berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Ada 3 type varia dari Corynebacterium diphtheriae yaitu type gravis, intermedius dan mitis . Corynebacterium diphtheriae dapat diklasifikasikan dengan cara Bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1 sampai 3 termasuk type mitis, tipe 4-6 termasuk type intermedius, tipe 7 termasuk type gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk type gravis yang virulen. Sedangkan Menurut Fredlund difteri disebabkan oleh beberapa jenis spesies yaitu Corinebacterium diphtheriae, Corinebacterium ulcerans, dan Corinebacterium pseudotuberculosis. Spesies yang paling terkenal dan paling umum penyebab agen penyakit difteri adalah Corinebacterium diphtheriae. Menurut Wagner, Corinebacterium ulcerans secara historis terkait dengan sapi atau produk susu mentah, sedangkan Corinebacterium pseudotuberculosis jarang menginfeksi manusia dan biasanya terkait dengan hewan ternak.



2.2 Patofisiologi Penyakit Difteri Bakteri Corynebacterium Diphtheriae akan tumbuh dimembran mukosa atau kulit yang mengalami abrasi dan kemudian bakteri akan mulai menghasilkan toksin. Toksin akan diserap ke dalam membrane mukosa yang akan mengakibatkan kerusakan epitelium dan juga respon inflamasi superficial. Epitel yang cedera akan menempel pada fibrin, sel darah merah dan putih sehingga membentuk “ pseudomembran “ berwarna kelabu yang seringnya akan menutupi tonsil, faring,atau laring. Jika ingin mencoba mengambil pseudomembran ini, malah akan membuka dan merusak kapiler sehingga akan terjadi perdarahan. Diikuti dengan kelenjar getah baning regional di leher membesar lalu kemungkinan akan muncul dengan edema pada bagian leher yang mengakibatkan gangguan saluran napas yang dikenal dengan “bull neck”. Bakteri ini akan terus aktif menghasilkan toksin dan akan terus diabsorbsi lalu dapat mengakibatkan kerusakan toksik ditempat yang jauh salah satunya degenerasi perenkim, inflitrasi lemak, nekrosis pada jantung, hati, ginjal, dan kelenjar adrenal. Terkadang akan disertai dengan perdarahan hebat. Toksin ini juga mampu menyebabkan kerusakan saraf yang berujung pada paralisis palatum mole, otot-otot mata, dan ekstrimitas.



2.3 Tanda Dan Gejalah Difteri Difteri adalah penyakit yang menular. Penyakit ini biasanya menyebar melalui udara ketika penderita batuk atau bersin, atau melalui kontak secara langsung dengan penderita tersebut. Penyebaran bakteri juga dapat terjadi akibat berbagi penggunaan peralatan dengan orang yang terinfeksi, seperti gelas, baju atau tempat tidur. Gejala atau tanda dari difteri berikut ini biasanya muncul 2-5 hari setelah terinfeksi:  Lapisan kental berwarna abu-abu di pangkal tenggorokan  Demam dengan suhu 38°C  Badan terasa tidak enak  Tenggorokan serak atau suara serak  Sakit kepala  Pembengkakan kelenjar pada leher  Kesulitan bernapas dan pembengkakan kelenjar getah bening  Sengau Jika memengaruhi kulit, penderita akan mengalami:  



Bintik yang berisi nanah pada kaki, telapak kaki, dan tangan Bisul besar yang berwarna merah dan kulit terasa sakit



2.4 Pencegahan Difteri Setelah mengetahui gejala-gejala difteri yang dapat terjadi, kamu juga harus mengetahui cara mencegahnya. Dengan begitu, tubuh kamu benar-benar kuat saat terserang bakteri



berbahaya tersebut. Hanya dengan menjaga kebersihan, serta mengonsumsi makanan yang sehat saja tidak cukup untuk mencegah penyakit difteri. Pencegahan difteri yang paling efektif adalah dengan melakukan imunisasi. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyarankan untuk imunisasi difteri lengkap sebagai pencegahan sesuai dengan usia. Berikut adalah pembagian waktu vaksin yang dapat dilakukan : 1. Usia kurang dari 1 tahun wajib mendapatkan 3 kali imunisasi difteri (DPT). 2. Anak usia 1 sampai 5 tahun wajib mendapatkan imunisasi ulangan untuk difteri sebanyak 2 kali. 3. Anak usia sekolah wajib mendapatkan imunisasi difteri melalui program BIAS untuk siswa sekolah dasar (SD) kelas 1, kelas 2, dan kelas 3 atau kelas 5. Setelah itu, imunisasi harus dilakukan setiap 10 tahun, termasuk untuk orang dewasa. Apabila kamu belum melakukan imunisasi lengkap, segera lakukan hal tersebut di fasilitas kesehatan terdekat. ORI (Outbreak Response Immunization) Selain itu, untuk pencegahan wabah difteri yang terjadi di Indonesia, pemerintah mengadakan program ORI atau imunisasi untuk penanganan kejadian luar biasa pada daerah yang ramai terkena kasus difteri. Program ini diadakan pada tiga provinsi yang tercatat paling banyak mengalami kasus difteri, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten dari tahun 2017 hingga 2018 silam. Dengan imunisasi dan ORI, pemerintah berusaha keras agar penyakit ini tidak menimbulkan kasus yang baru. Walau begitu, peran masyarakat sangat penting untuk kesuksesan hal ini. Maka dari itu, pastikan diri kamu dan orang-orang yang kamu sayangi sudah mendapatkan imunisasi untuk pencegahan difteri.



2.5 Penatalaksanaan Tatalaksana difteri bertujuan untuk menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphteriae menggunakan antibiotik. Setelah diagnosis klinis, harus diambil spesimen untuk kultur dan pasien diisolasi ketat. Pasien yang dicurigai difteri harus diberi antitoksin dan antibiotik dengan dosis adekuat. Tatalaksana suportif pernapasan dan jalan napas harus diberikan jika dibutuhkan. 1. Serum Antitoksin Difteri (ADS) Pemberian antitoksin sebaiknya didasarkan pada lokasi dan ukuran membran, derajat



toksisitas, dan durasi penyakit . Tatalaksana segera penting untuk membatasikerusakan jaringan. Dosis antitoksin adekuat harus diberikan secara intravena sesegera mungkin untuk menetralisir toksin bebas. Uji sensitivitas serum kuda (antitoksin difteri) harus dilakukan sebelum pemberian; secara intradermal 0,02-0,1 mL serum antitoksin diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:100. Hasil positif bila dalam 10-30 menit terjadi pembengkakan. Apabila tidak terjadi reaksi, serum antitoksin dapat diberikan sekaligus secara intravena. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 mL glukosa 5% dalam 1-2 jam. Kemungkinan efek samping obat/reaksi diamati selama pemberian antitoksin dan 2 jam berikutnya. Juga perlu dipantau terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness). Bila ada riwayat alergi, harus diputuskan apakah harus tetap diberikan, dapat digunakan cara desensitisasi; sediakan epinefrin 1:1000 siap pakai di dalam semprit untuk antisipasi reaksi anafilaksis. 2. Antibiotik Penisilin G prokain diberikan secara IM sekali sehari (300.000 Unit/hari untuk berat badan Ɋ10 kg dan 600.000 Unit/hari untuk berat badan >10 kg) selama 14 hari atau eritromisin oral atau injeksi (40 mg/kg/hari dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram/hari) selama 14 hari. Penyakit ini biasanya tidak menular 48 jam setelah pemberian antibiotik. Eliminasi kuman dibuktikan dengan dua kali kultur dengan hasil negatif 24 jam setelah terapi antibiotik selesai dan keadaan memungkinkan. 3. Tatalaksana Suportif Pasien harus tirah baring total dan makanan disesuaikan keadaan pasien. Evaluasi terutama status respiratorik sedikitnya setiap 3 jam oleh perawat dan 2 kali/hari oleh dokter. Pasien harus ditempatkan dekat perawat, agar obstruksi jalan napas dapat dideteksi sesegera mungkin. Intubasi atau trakeostomi dilakukan jika terjadi tanda obstruksi jalan napas disertai gelisah. Alternatif lain adalah intubasi orotrakeal, tetapi bisa menyebabkan terlepasnya membran, sehingga gagal mengurangi obstruksi. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) serial sebaiknya 2 atau 3 kali seminggu selama 4-6 minggu untuk deteksi miokarditis sedini mungkin. Pada penyakit berat, dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kg/hari selama 2 minggu untuk mencegah miokarditis.Status hidrasi harus dijaga dan berikan diet lunak atau cair tinggi kalori. Sekret harus dibersihkan dengan cara pengisapan untuk mencegah aspirasi. Pemeriksaan kualitas suara dan refleks batuk harus dilakukan berkala untuk mengetahui progresivitas penyakit. Difteri laring mungkin membutuhkan trakeostomi untuk mengatasi obstruksi.



2.6 Program Pemerintah Dalam menyikapi terjadinya peningkatan kasus Difteri, masyarakat dianjurkan untuk memeriksa status imunisasi putra-putrinya untuk mengetahui apakah status imunisasinya sudah lengkap sesuai jadwal.



Masyarakat juga dihimbau untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, menggunakan masker bila sedang batuk dan segera berobat ke pelayanan kesehatan terdekat jika anggota keluarganya ada yang mengalami demam disertai nyeri menelan, terutama jika didapatkan selaput putih keabuan di tenggorokan. “Masyarakat perlu mendukung dan bersikap kooperatif jika di tempat tinggalnya diadakan ORI (Outbreak Response Immunization) oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota setempat,” .



BAB III PENUTUP



A. KESIMPULAN Difteri adalah suatu infeksi akut yang mudah menular, sangat berbahaya pada anakanak terutama menyerang saluran pernapasan bagian atas, penularannya melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat. 3.Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring, difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginal.



DAFTAR PUSTAKA https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/wp-content/uploads/2018/01/ buku-pedoman-pencegahan-dan-penanggulangan-difteri.pdf http://perpustakaan.poltekkes-malang.ac.id/assets/file/kti/1601100035/6. _BAB_I_1.pdf http://p2p.kemkes.go.id/ imunisasi-efektif-cegah-difteri/