Makalah Difteri [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN DIFTERI DAN JURNAL DIFTERI



KELOMPOK 3 1. DINDI ANGGARA 2. ENDANG AYU SUSANTI 3. ETIKA FEMALE 4. EKO WISMA APRIONO 5. YETI CAHYANI



PROGRAM STUDY S1 ILMU KEPERAWATAN STIKes MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG TAHUN AJARAN 2019/2020



KATA PENGANTAR



Alhamdulillah, penyusun haturkan ke-hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNyalah penyusun dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul ”Difteri” Penyusun sangat menyadari, bahwa didalam makalah ini masih banyak kekurangan maupun kesalahan, untuk itu kepada para pembaca harap memaklumi adanya mengingat keberadaan penyusunlah yang masih banyak kekurangannya. Dalam kesempatan ini pula penyusun mengharapkan kesediaan penbaca untuk memberikan saran yang bersifat perbaikan, yang dapat menyempurnakan isi makalah ini dan dapat bermanfaat dimasa yang akan datang. Akhir kata, semoga makalah ini dapat menambah wawasan, khususnya bagi penyusun dan umumnya pagi para pembaca. Pringsewu, 23 Februari 2019



Penyusun



DAFTAR ISI



JUDUL..............................................................................................................i KATA PENGANTAR......................................................................................ii DAFTAR ISI....................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang.......................................................................................1 B. Rumusan masalah.................................................................................1 C. Tujuan ..................................................................................................1 D. Manfaat .................................................................................................1



BAB II PEMBAHASAN BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN.....................................................................................28 B. SARAN.................................................................................................28



DAFTAR PUSTAKA



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faringa atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernapasan ini.



1.2  Rumusan Masalah 1. Apa pengertian difteri.? 2. Bagaimana etiologi difteri.? 3. Bagaimana patofisiologi difteri? 4. Apa manifestasi klinis dari difteri.?



5. Bagaimana klasifikasi difteri.? 6. Bagaimana komplikasi difteri.? 7. Apa pemeriksaan penunjang untuk difteri ? 8. Bagaimana penatalaksanaan untuk penyakit difteri? 9. Bagaimana tindakan pencegahan untuk terhadap difteri?



1.3  Tujuan Penulisan 1. Meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang penyakit Difteri 2. Memberikan pengetahuan kepada mahasiwa dalam menegakkan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami difteri



1.4  Manfaat Penulisan 1. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan yang tepat untuk membantu klien yang mengalami difteri 2. Mengetahui dan memahami hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membantu klien yang mengalami penyakit difteri



BAB II KONSEP TEORI



2.1 Definisi Difteri Difteri ialah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium difteria. Adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa. Difteri adalah suatu infeksi demam akut, biasanya ditenggorokan dan paling sering pada bulan-bulan dingin pada daerah beriklim sedang. Difteri adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang serig diserang adalah saluran pernafasan bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudomembran.



2.2 Etiologi Difteri Disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae, bakteri gram positif, yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarnaan sediaan langsung dapat dilakukan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Sifat basil polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60ºC selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es, air susu, dan lendir yang telah mengering. Basil ini dapat membentuk:   Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.   Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah bebrapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf



2.3 Patofisiologi Difteri Patofisiologis kuman berkembang biak pada saluran nafas atas dan dapat juga pada vulva kulit mata walaupun jarang terjadi. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul local dan menjalar dari laring, faring dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan syaraf. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trachea menyebabkan kondisi yang fatal.  



 



2.4 Manifestasi klinik   Gejala umum yang timbul berupa: o Demam tidak terlalu tinggi o Lesu dan lemah o Pucat o Anoreksia



 Gejala khas yang menyertai: o Nyeri menelan o Sesak nafas o Serak



2.5 Klasifikasi Difteri  Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu : 1.



Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.



2.



Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.



3.



Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).



 Menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien : 1.



Difteri hidung bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah. Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Gejala lain yang muncul belakangan antara lain neuropati yang mirip dengan Guillain Barre Syndrome. Tingkat kematian kasus mencapai 5-10% untuk difteri noncutaneus, angka ini tidak banyak berubah selama 50 tahun. Bentuk lesi pada difteria kulit bermacammacam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagiandariimpetigo.



2.



Difteri faring dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah,



nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring). 3.



Difteri laring dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.



4.



Difteri kutaneus dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.



2.6 Komplikasi Difteri Komplikasi yang bias muncul pada pasien difteria yaitu :  Miokarditis (minggu ke-2).  Neuritis.                            Nefritis.                 Bronkopneumonia  Paralisis



2.7 Pemeriksaan Penunjang a.  Schick test Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji



schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. b. Pemeriksaan laboratorium  Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albumin ringan. c. Pemeriksaan Diagnostik  Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin.  Pada urine terdapat albuminuria ringan.



2.8 Penatalaksanaan 1.



Penatalaksanaan medis Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG



yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik. Pengobatan spesifik untuk difteri :  ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.  Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.  Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4



minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. 2.



Penatalaksanaan keperawatan Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus



memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya penunggu pasien juga harus memakai celemek tersebut untuk mencegah penularan ke luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun, lap, atau handuk yang selallu kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran juuga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan. Risiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia. Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit karena potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan adanya pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri tersebut.  Sumbatan jalan napas. Kelainan ini terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta adanya pseudomembran. Gejala sumbatan adalah suara serak dan stridor inspiratoir. Bila makin berat terjadi sesak napas, sianosis, tampak retraksi otot, kedengaran stridor : a.       Berikan O2 b.      Postural drainase c.       Baringkan setengah duduk. d.      Hubungi dokter. e.       Pasang infus (bila belum dipasang). f.       Hubungi orang tua beritahu keadaan anak dan bahaya yang dapat terjadi.  Miokarditis. Eksotoksin yang dikeluarkan oleh basil difteri jika diserap oleh janutng akan menyebabkan terjadinya miokarditis yang biasanya kelainan ini timbul pada minggu kedua sampai ketiga. Untuk mencegah adanya miokarditis hanya dengan pemberian suntikan ADS sedini mungkin. Tetapi untuk mengetahui gejala miokarditis perlu observasi terus menerus dan pasien harus istirahat paling sedikit 3 minggu atau



sampai hasil EKG 2 kali berturut-turut normal. Selama dirawat, pengamatan nadi, pernapasan dan suhu dicatat dalam perawatan khusus. Bila tidak ada alat EKG : a. Pemantauan nadi sangat penting dan harus dilakukan setiap jam dan dicatat secara teratur. Bila terdapat perubahan kecepatan nadi makin menurun (bradikardi) harus segera menghubungi dokter. Perawatan lain selain tanda vital dan keadaan umum.  Pasien tidak boleh banyak bergerak, tetapi sikap berbaringnya harus sering diubah, misalnya setiap 3 jam untuk mencegah terjadinya komplikasi brokopneumonia (pneumonia hipostatik).  Jaga kulit pada bagian tubuh yang tertekan agar tidak terjadi dekubitus (ingat pasien tirah baring selama 3 minggu, tidak boleh bangun).  Komplikasi yang mengenai saraf. Komplikasi yang mengenai saraf dapat terjadi pada minggu pertama dan kedua. Jika mengenai saraf palatum mole (saraf telan) dengan gejala bila pasien minum air/susu akan keluar melalui hidungnya. Jika terjadi demikian : a.       Cara memberikan minum harus hati-hati, pasien sambil didudukkan. b.      Bila pasien makan cair agar dibuat agak kental dan diberikan sedikit demi sedikit.  Komplikasi pada ginjal. Selama pasien difteri dalam perawatan keadaan urine selain harus diperhatikan warnanya juga banyaknya apakah normal atau tidak.  Gangguan masukan nutrisi. Gangguan masukan nutrisi pada pasien difteri selain disebabkan karena sakit menelan juga karena anoreksia. Jika anak masih mau menelan bujuklah agar ia mau makan sedikit demi sedikit dan berikan makanan cair atau bubur encer dan berikan susu lebih banyak. Jika pasien tidak amau makan sama sekali atau hanya sedikit sekali, atau dalam keadaan sesak nafas perlu dipasang infus. Setelah 2-3 hari kemudian sesak nafas telah berkurang sebelum infus dihentikkan dicoba makan per oral dan apabila anak telah mau makan infus dihentikan. Berikan



minum yang sering untuk memelihara kebersihan mulut dan membantu kelancaran eliminasi



2.9 Tindakan pencegahan 1. Imunisasi a. Iminisasi Primer   Anak usia 6 minggu - 6 tahun Diberikan dosis Td secara IM/ SC dengan interval 4-6 minggu dimulai ketika anak usia 6 minggu - 2 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian ke-4 selama 1 tahun sesudah pemberian ke-3 preparat yang digunakan adalah Pediatric Taksoid Dipteria   Anak usia 7 tahun / lebih Diberikan Td dengan pemberian ke-2 berselang waktu 4-8 minggu diberikan dengan pemberian 1 dan pemberian 3 berselang 1 tahun dengan pemberian ke-2, preparat yang digunakan adalah Adult Taksoid Dipteria b. Imunisasi Boster   Anak usia 6 minggu- 6 bulan apabila pemberian dosis ke-4 imunisasi primer anak belum berumur 4 tahun maka diberikan boster ketika anak tersebut mulai masuk TK   Anak usia 7 tahun atau lebih diberikan boster setiap 10 tahun 2. Isolasi pasien Penderita



difteri



harus



diisolasi



dan



baru



dapat



dipulangkan



setelah



pemeriksaansediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae 2 kali berturut-turut. 3.



Pencarian orang carier difteria dengan uji shick dan kemudian diobati. Dengan tujuan untuk mengetahui apakah tubuh mengandung anti toksin terhadap kuman difteri.



Cara : Dengan menyuntikan IC 1/50 Minimal Lethal Dose (MLD) sebanyak 0,02 ml, jika positif akan terlihat merah kecoklatan selama 24 jam



BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN



3.1 Pengkajian a.



Identitas: dapat terjadi pada semua golongan umur, namun sering dijumpai pada anak (usia 1-10 tahun).



b.



Keluhan utama: Biasanya pasien datang dengan keluhan kesulitan bernapas pada waktu tidur, nyeri pada waktu makan, dan bengkak pada tenggorokan/leher.



c.



Riwayat kontak dengan keluarga perlu dikaji.



d.



Pemeriksaan fisik: Pernapasan, sulit bernapas, produksi sputum meningkat, dspneu, pada tenggorakan ada luka, edema mukosa, pembesaran kelenjar getah bening, pernapasan cepat dan dangkal, penggunaan otot bantu pernapasan, terdengar wheezing (auskultasi).



e.



Nutrisi Tidak nafsu makan, sulit menelan, turgor kulit menurun, berat badan menurun, edema, laring, faring.



f.



Aktivitas Tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, kurang tidur, penurunan kemampuan, beraktivitas, pusing, fatique, insomnia.



g.



Sirkulasi Nadi meningkat (takikardi), aritmia, interaksi sosial, merasa tergantung, pembatasan mobilitas fisik.



Pada difteritonsil-faring terdapat malaise, suhu tubuh lebih dari 38,9 oC,terdapat pseudomembran pada tonsil dan dinding faring, serta bullneck. Pada difteri laring terdapat stridor, suara parau, dan batuk kering, sementara pada obstruksi laring yang besar terdapat retraksi supra sternal, subkostal, dan supra klavikula.Pada difteri hidung terdapat pilek ringan, sekret hidung yang serosanguinus sampai mukopurulen, dan membran putih pada septum nasi. Selain itu, difteri hidung bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah.



Difteri faring dan tonsil, terlihat pembengkakan kelenjar leher. Juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring). Difteri kutaneus dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya tetapi tidak nyeri.



3.2 Diagnosa 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan Disfungsi Neuromuskular. 2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia 3. Resiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen. 4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme



meningkat, intake cairan menurun).



5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh.



3.3 Intervensi Keperawatan a.  Pola nafas tidak efektif b/d disfungsi neruromoskular Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pola napas pasien kembali normal. INTERVENSI RASIONAL Monitor pola napas yang meliputi Mengetahui apakah ada kelainan dalam irama pernapasan, penggunaan otot- pernapasan



untuk



menentukan



otot bantu napas, suara napas, dan intervensi selanjutnya. frekuensi napas. Berikan oksigen sesuai advis (2- Oksigen memaksimalkan pernapasan  4Lt/menit). Apabila anak masih bayi dan perubahan posisi dan ambulasi atur kepala dengan posisi ekstensi.



meningkatkan pengisian udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.



Atur posisis tidur pasien (kepala lebih Kepala lebih tinggi memungkinkan tinggi)



ekspansi



paru



dan



memudahkan



pernapasan . Auskultasi suara nafas, catat adanya Suara nafas yang tidak efektif bisa suara



nafas



tambahan.



menyebabkan



terjadinya



obstruksi



jalan nafas / kegagalan pernapasan



Lakukan fisioterapi dada jika perlu. Memudahkan upaya pernapasan dalam dan meningkatkan drainase secret



b.  Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d  anoreksia Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan BB stabil,pasien bebas dari tanda-tanda malnutrisi dan pasien dapat mengumpulkan energi untuk beraktivitas kembali. INTERVENSI RASIONAL Pastikan diet memenuhi kebutuhan Tinggi karbohidrat, protein dan kalori pernapasan sesuai indikasi



dibutuhkan



selama



ventilasi



untuk



memperbaiki fungsi otot pernapasan. Catat masukan oral saat makan dan Selera makan biasanya buruk dan tawarkan makanan yang disukai anak masukan



nutrisi



penting



mungkin 



menurun. Tawaran makanan kesukaan Timbanglah berat badan setiap hari.



dapat meningkatkan pemasukan oral Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujan berat badan dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi



Aturlah pemberian makanan dalam Meningkatkan porsi yang sedikit tapi sering.



atau



memaksimalkan



asupan nutrisi anak



Libatkan orang tua dalam pemberian Membantu dalam memenuhi asupan makanan.



nutrisi anak, karena biasanya orang tua tahu cara yang tepat agar anaknya mau



makan c.  Resiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan resiko infeksi tidak terjadi INTERVENSI Observasi TTV klien



RASIONAL Demam dapat terjadi karena infeksi



atau dehidrasi Turunkan faktor resiko nosokomial Faktor ini paling sederhana tetapi melalui cuci tangan yang tepat pada paling paling penting untuk mencegah semua perawat Anjurkan keluarga



klien



infeksi di rumah sakit untuk Menurunkan transmisi



menyiapkan



sekali



pakai melalui cairan



wadah



organisme



untuk sputum, contohnya tissue Pertahankan hidrasi adekuat dan Membantu memperbaiki tahanan umum nutrisi



untuk penyakit dan menurunkan resiko



infeksi Berikan antimikrobial sesuai indikasi Satu atau lebih agen dapat digunakan tergantung pada identifikasi patogen bila infeksi terjadi d.    Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun). Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan resiko kurangnya volume cairan tidak terjadi



INTERVENSI Observasi tanda vital



RASIONAL Peningkatan demam



suhu,



dan



memanjangnya



meningkatkan



metabolik



dan



melalui



evaporasi.



laju



kehilangan



cairan



Peningkatan



takikardia menunjukkan kekurangan Kaji



turgor



kulit,



cairan sistemik kelembaban Indikator langsung keadekuatan volume



membran mukosa ( bibir, lidah )



cairan meskipun membran mukosa mulut mungkin kering karena napas



mulut dan oksigen tambahan Pantau masukan dan keluaran cairan Memberikan informasi keadekuatan Tekankan



masukan



volume



tentang



cairan



dan



kebutuhan pengganti yang Memenuhi kebutuhan dasar cairan dan



cairan



optimal setiap harinya atau sesuai menurunkan resiko dehidrasi kondisi individual e.  Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan klien dapat beraktifitas sebagaimana mestinya Evaluasi



INTERVENSI respon klien



terhadap Menetapkan



aktifitas.



Catat



dispnea, kebutuhan pasien dan memudahkan



laporan



RASIONAL kemampuan



dan



peningkatan kelemahan perubahan pilihan intervensi tanda



vital



selama



dan



setelah



aktifitas Berikan lingkungan yang tenang dan Menurunkan



stress



dan



rangsanga



batasi pengujung berlebihan, meningkatkan istirahat Jelaskan pentingnya istirahat dalam Pembatasan aktifitas ditentukan dengan rencana pengobatan dan perlunya respon



individual



pasien



terhadap



keseimbangan aktifitas dan istirahat aktifitas dan kegagalan pernapasan Bantu aktifitas perawatan diri yang Meminimalkan kelelahan dan diperlukan



membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen



3.4 Evaluasi 1.



Pola napas anak kembali normal.



2.



BB stabil, pasien bebas dari tanda-tanda malnutrisi dan anak dapat mengumpulkan energi untuk beraktivitas kembali.



3.



Resiko infeksi tidak terjadi



4.



Resiko kurangnya volume cairan tidak terjadi



5.



Masalah intoleransi aktifitas teratasi, serta anak dapat beraktifitas sebagaimana mestinya



ANALISIS DATA SPASIAL PENYAKIT DIFTERI DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2010 DAN 2011 (Analysis of Spatial Data of Diphtheria Disease in East Java Province during the year 2010 and 2011) Nailul Izza 1 dan Soenarnatalina 2 Naskah masuk: 26 Januari 2015, Review 1: 28 Januari 2015, Review 2: 29 Januari 2015, Naskah layak terbit: 2 Maret 2015



ABSTRAK Latar belakang: Pemberantasan penyakit menular membutuhkan informasi yang berbasiskan pada lokasi, yang dikenal sebagai Sistem Informasi Geografis (SIG), untuk membantu pengambilan keputusan. Salah satu penyakit menular yang kembali mencuat adalah penyakit difteri. Penyakit difteri di Provinsi Jawa Timur selalu mengalami peningkatan dan pada tahun 2010 menyumbang kasus terbesar di Indonesia yakni 73%. Pada tahun 2011, penyakit difteri di Jawa Timur menduduki peringkat pertama di dunia sebanyak 664 kasus dengan CFR 2,6%. Tujuan: Penelitian ini bertujuan melakukan analisis penyakit difteri dengan menggunakan data spasial dihubungkan dengan faktor risikonya di Provinsi Jawa Timur tahun 2010 dan 2011. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari BPS Provinsi Jawa Timur dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Unit analisis adalah 38 Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur. Analisis spasial dilakukan dengaN melakukan overlay antara variabel difteri dengan variabel faktor risiko. Hasil:



Analisis spasial untuk distribusi penyakit cenderung meningkat pada tahun 2010 dan 2011, dan adanya dominasi jumlah kasus yang tinggi di Kota Surabaya, Kabupaten Malang, Kota Malang, dan kawasan tapal kuda meliputi Pulau Madura. Hasil overlay menunjukkan adanya hubungan antara penyakit difteri dengan cakupan imunisasi DPT3 dan cakupan imunisasi DT yang secara analisis statistik mempunyai kekuatan hubungan sedang (r = 0,424 dan r = 0,348). Kesimpulan: Faktor yang mendukung terjadinya penyakit difteri adalah imunisasi DPT3 dan DT.



Saran: perlu ada penelitian spasial dengan unit analisis kecamatan karena setiap wilayah memiliki karakteristik khusus. Kata kunci: Analisis spasial, difteri, overlay.



PENDAHULUAN Era informasi seperti sekarang adanya informasi yang cepat, tepat dan berbasiskan kondisi daerah sudah merupakan kebutuhan untuk pengambilan keputusan yang benar dan berkualitas. Pemberantasan penyakit menular membutuhkan informasi yang berbasiskan pada lokasi, di mana kejadian penyakit tersebut dapat dipetakan menurut lingkungan sekeliling dan infrastrukturnya yang dapat dijadikan sebagai alat yang amat berguna untuk memetakan risiko penyakit dan identifikasi pola distribusi penyakit. Sistem informasi yang mempunyai kemampuan untuk memproses data yang berhubungan dengan lokasi dikenal sebagai Sistem Informasi Geografis (SIG).



SIG mempunyai tiga kemampuan utama, yaitu sistem pengelolaan basis data/Database Management System (DBMS), pemetaan (mapping), dan analisis spasial (spatial analysis) (Wibowo dan Santoso, 2006). Aplikasi SIG tidak hanya menjadi domain sektor yang berhubungan dengan lahan saja, tetapi juga sudah secara luas digunakan untuk kesehatan, perdagangan, distribusi, jaringan dan bisnis. SIG adalah sistem yang digunakan untuk mengelola data dan informasi keruangan (Prahasta,2005). Kemampuan SIG diantaranya (i) mempermudah dalam mengetahui lokalisasi atau pemusatan adanya masalah kesehatan dalam waktu dan ruang, (ii) identifikasi dan monitoring masalah kesehatan dan faktor risiko kebiasaan dalam periode waktu, (iii) identifikasi pola distribusi waktu dan ruang dari faktor risiko dan outcome kesehatan, (iv) identifikasi wilayah geografis dan kelompok populasi dengan kebutuhan kesehatan dan pemecahan masalahnya dengan analisis multivariate juga evaluasi dari impact intervensi kesehatan (Indriasih, 2008). Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit menular, keracunan makanan,keracunan bahan berbahaya lainnya menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan jatuhnya korban kesakitan dan kematian yang besar, menyerap anggaran biaya



besar dalam upaya penanggulangan, berdampak pada



sektor ekonomi, pariwisata serta berpotensi menyebar luas lintas kabupaten/kota, provinsi bahkan internasional, sehingga membutuhkan koordinasi dalam penanggulangan penyakit (Depkes. RI, 2004). Salah satu penyakit KLB yang menduduki peringkat pertama di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 adalah penyakit difteri. Difteri merupakan kasus “Re Emerging Disease” karena kasus difteri sebenarnya sudah menurun pada tahun 1985, namun kembali meningkat pada tahun 2005 saat terjadi KLB di Bangkalan. Pada tahun 2010 Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang kasus difteri terbesar di Indonesia yaitu 73,7% dari 406 kasus di Indonesia, 304 diantaranya terjadi di Jawa Timur dengan 21 kematian.



Pada tahun 2011, Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat pertama di dunia untuk jumlah kasus penyakit difteri terbanyak yaitu 664 kasus dengan 20 kasus kematian. Case fatality Rate (CFR) pada tahun 2010 sebesar 6,91% yang cenderung menurun pada tahun 2011 yaitu sebesar 2,6%, dikarenakan jumlah kasusnya yang semakin meningkat (Dinkes Prov. Jatim, 2011). Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi. Dif



teri



adalah



suatu



corynebacteriumdiphtheriae



penyakit yang



yang



menyerang



disebabkan



tonsil,



faring,



oleh



bakteri



laring,



hidung,



adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta konjungtiva atau vagina. Populasi risiko tinggi biasanya terjadi pada anak-anak yang tidak diimunisasi atau daerah dengan cakupan imunisasi DPT3 dan DT rendah (di bawah target 90% UCI) (Dinkes Prov. Jatim, 2011). Berdasarkan permasalahan diatas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara spasial penyakit difteri yang dihubungkan dengan faktor risikonya di Provinsi Jawa Timur tahun 2010 dan 2011. METODE Penelitian ini menggunakan data sekunder. Penelitian non reaktif (disebut juga dengan pengukuran unobstructive), yaitu suatu pengukuran di mana individu yang diteliti tidak sadar bahwa mereka adalah bagian dari suatu studi, karena pengukuran tidak mengganggu individu dan individu tidak merasa terganggu (Kuntoro, 2009). Unit analisis dalam penelitian ini adalah wilayah administratif kabupaten/kota yaitu sebanyak 38 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Timur. Sebagian besar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur merupakan daerah yang terjangkiti penyakit difteri dengan jumlah 304 kasus yang tergolong tinggi pada tahun 2010 dan pada tahun 2011 jumlah kasus meningkat dua kali lipat dengan jumlah 664 kasus.213 Analisis Data Spasial Penyakit Difteri (Nailul Izza dan Soenarnatalina).



Data penelitian bersumber dari Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Variabel meliputi kepadatan penduduk, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pengeluaran penduduk perkapita, jumlah kasus penyakit difteri, cakupanimunisasi DPT3, cakupan imunisasi DT, cakupan rumah sehat. Data diolah dan dianalisis dengan melakukan pemetaan pada setiap variabel (dalam ilmu spasial disebut “theme”), di mana themeyang ada akan ditumpangsusunkan (overlay) dengan tek nik differentiation sehingga menghasilkan beberapa lapisan (layer) hasil tumpang susun tersendiri. Adapun program yang digunakan untuk menganalisis adalah ArcView 3.3. Guna memperkuat hasil analisis spasial dalam pengambilan keputusan terkait variabel yang mempunyai tingkat korelasi atau hubungan dilakukan uji statistik yaitu korelasi spearman’s dan korelasi Moment Pearson’s. HASIL DAN PEMBAHASAN Data tabel mengenai jumlah kasus penyakit difteri direpresentasikan dalam bentuk peta tematik. Data spasial penyakit difteri diklasifikasikan menurut kuartil menjadi empat klas yaitu 0 –12,5 kasus berarti rendah, 12,5–25 kasus berarti sedang, 25,1–32,5 kasus berarti tinggi, dan ≥ 32,51 kasus berarti sangat tinggi. Hasil pemetaan penyakit difteri menunjukkan adanya peningkatan kasus dari tahun 2010 ke tahun 2011 dan pola penyebaran kasus yang lebih dominan terjadi di wilayah jawa timur bagian tengah hingga ujung jawa timur (Kabupaten Banyuwangi), wilayah inilah yang dikenal dengan sebutan tapalkuda, dan kepulauan Madura.Hubungan Penyakit Difteri dengan Kepadatan Penduduk Data spasial kepadatan penduduk diklasifikasikan menjadi 4 klas yaitu < 1000 Jiwa/Km2 berarti rendah, 1001–2000 Jiwa/Km2 berarti sedang, 2001–3000 Jiwa/ Km2 berarti tinggi, dan ≥ 3001 Jiwa/Km2 berarti sangat



tinggi. Hasil peta pada gambar 2 merupakan overlay antara jumlah kasus penyakit difteri dengan kepadatan penduduk. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa beberapa wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi menunjukkan jumlah penyakit difteri sangat tinggi yaitu di Kota malang dan Kota Surabaya.Peta pada gambar 2 menunjukkan ada pula yang berlaku sebaliknya yaitu wilayah dengan kepadatan penduduk rendah memiliki jumlah penyakit difteri yang sangat tinggi, yang berarti terdapat beberapa wilayah yang tidak terpengaruh oleh tingkat kepadatan penduduk, diantaranya Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Malang, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Bondowoso. Hasil analisa spasial menunjukkan hanya di beberapa wilayah yang menunjukkan adanya kesesuaian antara wilayah berpenduduk padat memiliki jumlah penyakit difteri yang tinggi, untuk hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara penyakit difteri dengan kepadatan penduduk . Wilayah dengan kepadatan penduduk sangat tinggi terjadi penyakit difteri sangat tinggi, baik pada tahun 2010 dan 2011, adalah Kota Surabaya dan Kota Malang. Menurut BPS Provinsi Jawa Timur (2012) menyebutkan bahwa wilayah kabupaten/. Distribusi Penyakit Difteri di Kab/Kota Prov. Jatim tahun 2010 s/d 2011214Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 18 No. 2 April 2015: 211–219kota dengan kepadatan penduduk tinggi dan kasus difteri cenderung sangat tinggi juga disebabkan oleh adanya migrasi seumur hidup yang cukup besar antar kabupaten/kota, wilayah perkotaan yang mempunyai migrasi seumur hidup cukup besar diantaranya terjadi di Kota Surabaya sebesar 39,49%, Kota Mojokerto 30,65%, Kota Malang 29,46%, sedangkan wilayah kabupaten yang migrasi seumur hidupnya cukup besar berada di Kabupaten Sidoarjo sebesar 37,42%. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Notoatmojo (2007) yakni penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung pada umumnya terjadi pada masyarakat yang hidup di wilayah dengan tingkat kepadatannya tinggi, dan Achmadi (2005) .



Peta Hubungan Penyakit Difteri dengan Persentase Penduduk yang Tingkat Pendidikan Rendah di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur mengungpkan kepadatan penduduk perkotaan merupakan persemaian subur bagi virus sekaligus sarana eksperiman rekayasa genetik secara alamiah. Wilayah dengan kepadatan penduduk rendah namun kasus penyakit difteri sangat tinggi baik pada tahun 2010 –2011 terjadi di Kabupaten Bangkalan. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Kartono, dkk (2008) bahwa lingkungan rumah bukanlah faktor utama untuk terjadinya difteri. Jadi kepadatan penduduk tidak selalu mempengaruhi terjadinya penyakit.



BAB 4 PENUTUP



4.1 Kesimpulan Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak anak.Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas.Untuk menguji apakah tubuh mengandung antitoksin terhadap kuman difteria dilakukan uji kulit yang disebut Uji Shick. Masa inkubasi terjadi 2-7 hari.Gejala umum demam, lesu, pucat, nyeri kepala, anorexia. Gejala lokal neri telan, bengkak pada leher. Kelenjar regional sesak nafas, serak sampai stridor.Bila menyerang otot jantung dapat terjadi miokarditis dan bila mengenai syaraf dapat terjadi kelumpuhan.Difteri dapat dicegah dengan imunisasi DPT dan isolasi bagi penderita difteri.



4.2



Saran Penyakit difteri rentan menyerang anak-anak dan perlu penanganan yang cermat



dan tepat. Terutama asuhan keperawatan yang efektif dapat mempercepat proses penyembuhan penyakit difteri.



DAFTAR PUSTAKA Arif Manjoer, Suproharto. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. EGC : Jakarta Merdjani,A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Badan Penerbit IDAI: Jakarta Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Bagian II. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta Rusepno Hasan, dkk. 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jilid II. Hal 568-72. Cetakan Kesebelas. Jakarta