Makalah Farmakokinetik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



Farmakologi berasal dari kata pharmacon (obat) dan logos (ilmu pengetahuan). Farmakologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari obat dan cara kerjanya pada sistem biologis, khususnya yang berkaitan dengan pengaruh sifat fisika kimiawinya terhadap tubuh, respon bagian-bagian tubuh terhadap sifat obat, nasib yang dialami obat dalam tubuh dan kegunaan obat bagi kesembuhan. Dalam arti luas, obat merupakan zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup,melalui reseptor yang termasuk dalam proses kimia, maka farmakologi adalah ilmu yang cakupannya sangat luas. Namun, bagi seorang dokter ilmu ini bertujuan agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis dan pengobatan penyakit. Serta, penting pula mengetahui efek samping obat agar seorang dokter mampu mengenali tanda dan gejala yang disebabkan obat.(Djamaludin, 2017) Farmakologi



terfokus



pada



2



sub-disiplin,



yaitu



farmakokinetik



dan



farmakodinamik. Untuk memahami nasib obat dalam tubuh sejak mulai dikonsumsi, diabsorbsi



hingga



diekskresikan



diperlukan



pemahaman



yang



baik



tentang



farmakokinetik obat. Farmakokinetik adalah nasib obat didalam tubuh dan efek tubuh terhadap obat serta mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh mulai dari absorbsi, distribusi, metabolisme dan eksresi. Prinsip ini sangat penting untuk memilih obat yang tepat untuk pasien. Pemahaman akan farmakokinetik suatu obat akan meningkatkan kemungkinan keberhasilan terapi dan mengurangi efek samping obat terhadap tubuh. Dalam makalah ini akan membahas tentang prinsip farmakokinetik yang sangat perlu dipahami oleh para klinisi.



1



BAB II PEMBAHASAN



2.1. Farmakokinetik Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh terhadap obat yang mencakup 4 proses (gambar 1), Empat proses mendasar yang mempengaruhi farmakokinetik in vivo suatu senyawa adalah absorbsi (penyerapan), distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME). Ini berbeda, meskipun dalam banyak hal, proses yang saling terkait yang terjadi antara administrasi dan menghilangkan senyawa dari tubuh. Proses metabolisme sering disebut juga dengan biotransformasi, sedangkan proses ekskresi dikenal juga dengan eliminasi.



Gambar 1. Empat proses farmakokinetik (ADME) (Harvey,2012) Terapi obat yang aman dan efektif bukan hanya dipengaruhi oleh sifat fisik maupun kimia dari obat, namun juga oleh respon dari tubuh manusia terhadap pemberian obat. Farmakokinetik merupakan ilmu yang mempelajari berbagai proses dalam tubuh manusia yang mempengaruhi pergerakan maupun modifikasi obat di dalam tubuh.



2



Gambar 2. Hubungan antara proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat serta konsentrasinya di lokasi tempat obat bekerja. (Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutic. 12th ed, p.18) Pertama-tama, obat akan diabsorbsi dari lokasi pemberian obat sehingga senyawa yang terkandung di dalamnya dapat masuk ke dalam sirkulasi darah. Saat sudah diabsorbsi, obat kemudian dapat meninggalkan sirkulasi darah dan didistribusikan ke berbagai macam jaringan dan cairan intraseluler, dimana obat akan membentuk ikatan yang bersifat reversibel dengan sejumlah reseptor. Meskipun molekul obat umumnya akan berikatan dengan reseptor, sebagian dapat dilepaskan dari reseptor dan kembali masuk ke dalam sirkulasi darah. Partikel obat yang berada di dalam sirkulasi darah dapat mengalami suatu proses biokimiawi yang dikenal sebagai metabolisme, baik di hepar maupun di berbagai jaringan lain. Terakhir, obat dan sejumlah metabolitnya akan diekskresikan ke luar tubuh melalui urin atau feses. Metabolisme dan ekskresi merupakan jalur untuk mengeliminasi obat dari dalam tubuh. Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat di ekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini di sebut farmakokinetik. Di tubuh manusia, obat harus menembus sawar (barrier) sel di berbagai jaringan. Pada umumnya obat melintasi lapisan 3



sel ini dengan menembusnya, bukan dengan melewati celah antar sel, kecuali pada endotel kapiler. Karena itu peristiwa terpenting dalam proses farmakokinetik ialah transport lintas membran. Membran sel terdiri dari dua lapis lemak yang membentuk fase hidrofilik di kedua sisi membran dan fase hidrofobik di antaranya. Molekul-molekul protein yang tertanam di kedua sisi membran atau menembus membran berupa mozaik pada membran. Molekul-molekul protein ini membentuk kanal hidrofilik untuk transport air dan molekul kecil lainnya yang larut dalam air. Cara-cara transport obat lintas membran yang terpenting ialah difusi pasif dan transport aktif; yang terakhir melibatkan komponenkomponen membran sel dan membutuhkan energi.



Sifat fisiko-kimia obat yang



menentukan cara transport ialah bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air. Proses ADME pada obat melibatkan membran sel. Mayoritas obat harus melewati plasma membran berbagai sel untuk mencapai site of action. Plasma membran menggambarkan umumnya sawar yang terdapat dalam distribusi obat. Plasma membran terdiri dari lapisan lipid bilayer, dengan rantai hidrokarbon mengarah ke dalam pusat dari lapisan bilayer untuk membentuk fase hidrofobik dan ujung hidrofilik mengarah keluar. Protein membran tertanam dalam lapisan bilayer, berperan sebagai struktur pemancang, reseptor, ion channel, atau transporter untuk transduksi listrik atau jalur sinyal kimia, yang menyediakan target bagi aksi selektif obat.(Buxton,2011) Transport obat secara aktif biasanya terjadi pada sel saraf, hati, dan tubuli ginjal. Proses ini membutuhkan energi yang di peroleh dari aktivitas membran sendiri, sehingga zat dapat bergerak melawan perbedaan kadar atau potensial listrik. Selain dapat dihambat secara konpetitif, transport aktif ini bersifat selektif dan memperlihatkan kapasitas maksimal (dapat mengalami kejenuhan). Beberapa obat bekerja mempengaruhi transport aktif zat-zat endogen, dan transport aktif suatu obat dapat pula di pengaruhi obat lain. Difusi terfasilitasi (facilitated diffucion) ialah suatu proses transport yang terjadi dengan bantuan suatu faktor pembawa ( carrier) yang merupakan komponen membran sel tanpa menggunakan energi sehingga tidak dapat melawan perbedaan kadar maupun potensial listrik. Proses ini, yang juga bersifat selektif, terjadi pada zat endogen yang transport nya secara difusi biasa terlalu lambat, misalnya untuk masuknya glukosa kedalam sel perifel. 4



2.2



Absorbsi



2.2.1 Definisi Absorbsi adalah proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat dapat melalui saluran cerna (enteral), parenteral, dan rute lainnya Absorbsi juga merupakan proses pemindahan obat dari lokasi pemberian obat menuju ke dalam sirkulasi darah.(Benedetti,2009) Absorbsi secara klasik didefinisikan sebagai suatu fenomena yang memungkinkan suatu zat aktif melalui jalur pemberian obat melalui sistem peredaran darah, dan penyerapan obat terjadi secara langsung dengan mekanisme perlintasan membran. Fenomena ini bukan satu-satunya faktor penentu masuknya zat aktif kedalam tubuh, pentingnya juga memperhatikan bentuk sediaan, perlunya zat aktif yang berada dalam bentuk yang sesuai agar dapat menembus membran dan pentingnya kelarutan atau keterlarutan zat aktif padat. Jadi kelarutan merupakan faktor yang dapat mengubah pH ditempat penyerapan serta konsentrasi zat aktif juga merupakan faktor penentu laju penyerapan ( Leon Sharger dan Andew B, 2005). 2.2.2 Rute Pemberian Obat Secara umum obat dapat diberikan melalui berbagai macam jalur yang berbeda. Secara umum, rute pemberian obat dapat dibedakan menjadi pemberian melalui saluran cerna (enteral), suntikan (parenteral), dan rute lainnya. Rute pemberian obat secara enteral meliputi pemberian secara oral dan sublingual. Sementara pemberian secara parenteral meliputi injeksi intravena, injeksi intramuskular, dan injeksi subkutan. Rute lain yang sering digunakan antara lain inhalasi (oral dan nasal), transdermal, topikal, rektal, dan intratekal atau intraventrikular. (Bennedetin,2009)



5



6



Gambar 3. Rute Pemberian Obat Salah satu yang paling sering digunakan adalah jalur pemberian obat oral, karena dianggap sebagai yang paling mudah, murah, dan aman. Jalur lain yang juga sering digunakan adalah pemberian obat parenteral. Obat yang diberikan secara intravena dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik dengan cepat, dan obat yang diberikan secara intraarterial umumnya dapat mencapai lokasi target dalam konsentrasi yang sangat tinggi. Jalur pemberian obat subkutan dan intramuskularis nampak bergantung pada proses difusi obat ke dalam sirkulasi darah, yang dapat dipengaruhi oleh proses penghangatan atau pendinginan area pemberian obat, atau oleh obat lain yang diberikan di waktu yang sama. Pemberian obat secara inhalasi dapat menghasilkan respon cepat terhadap obat karena luasnya permukaan paru dan banyaknya jumlah suplai darah pada organ tersebut. Selain beberapa jalur pemberian obat yang sering digunakan dan sudah dipaparkan di atas, beberapa jalur alternatif yang juga dapat digunakan antara lain adalah pemberian obat secara transdermal (untuk efek lokal), melalui



membrana mukosa (untuk efek



sistemik), insuflasi (paru), intraneural (saraf), melalui mata, melalui telinga, intraperitoneal, dan epidural. 2.2.3 Mekanisme Absorbsi Obat Mekanisme absorbsi obat dari saluran cerna dapat dibedakan menjadi 4 yaitu seperti yang dijelaskan pada gambar 4.(Harvey 2012)



7



1. Difusi pasif Pada difusi pasif, obat bergerak dari tempat dengan konsentrasi tinggi ke tempat dengan konsentrasi rendah. Difusi pasif tidak memerlukan protein pembawa, dapat bersifat jenuh tetapi tidak memerlukan energi. Obat yang larut dalam airdapat menembus membran sel melalui kanal atau pori, sementara obat yang larut lemak dapat langsung menembus membran sel lipid bilayer. Contoh dari difusi pasif antara lain adalah absorbsi dari asam dan basa lemah yang tidak terionisasi. 2. Difusi terfasilitasi Pada difusi terfasilitasi, obat dapat menembus membran sel dengan bantuan dari protein pembawa. Protein pembawa ini akan berubah bentuk sehingga memungkinkan berpindahnya obat dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Pada difusi terfasilitasi tidak diperlukan energi, dapat bersifat jenuh dan dihambat oleh substansi lain yang berikatan dengan protein pembawa. Contoh dari difusi terfasilitasi adalah absorbsi dari glukosa dan asam amino. 3. Transpor aktif Mirip seperti difusi terfasilitasi, transport aktif juga membutuhkan adanya protein pembawa, yang membedakan adalah pada transport aktif juga membutuhkan energy. Energi yang digunakan pada transpor aktif berasal dari hidrolisis ATP (adenosine triphosphate) menjadi ADP (adenosine diphosphate). Pada transpor aktif, obat berpindah dari tempat dengan konsentrasi rendah ke tempat dengan konsentrasi tinggi. Transpor aktif menunjukan kinetik saturasi (mirip dengan reaksi yang dikatalisasi enzim, dimana kecepatan maksimal didapat ketika semua tempat aktif terisi oleh substrat), bersifat selektif, dan dapat dihambat oleh substrat lain yang berikatan dengan protein pembawa. Contoh dari transpor aktif adalah transpor dari K + ke dalam sel dan Na+ ke luar sel melalui pompa Na+-K+. 4. Endositosis dan eksositosis Endositosis adalah proses memasukkan molekul obat ke dalam sel dengan cara membentuk vesikel baru dari membran plasma. Sementara eksositosis adalah 8



kebalikan dari endositosis. Contoh dari endositosis adalah absorbsi dari vitamin B12 di membran usus, sedangkan contoh dari eksositosis adalah pengeluaran norepinefrin dari sinaps. 2.2.4



Faktor Yang Mempengaruhi Absorbsi Ada sejumlah faktor spesifik-pasien yang dapat mempengaruhi absorbsi. Beberapa faktor yang mempengaruhi absorbsi dari obat antara lain (Harvey,2012)



a. Aliran darah Untuk dapat terjadi absorbsi, diperlukan adanya aliran darah. Pasien dalam kondisi syok atau henti kardiopulmonal umumnya memerlukan pemberian obat secara intravena untuk dapat memperoleh respon yang diinginkan karena berkurangnya sirkulasi darah pada kondisi semacam ini. Sebagian besar absorbsi obat yang diberikan secara oral akan terjadi di usus halus karena luas permukaannya yang lebih besar sehingga memiliki aliran darah yang lebih banyak. Pada individu yang pernah menjalani pemotongan segmen usus halus karena alasan medis, maka dapat terjadi gangguan absorbsi yang bermakna. Sebagai contoh, aliran darah ke usus lebih besar dibandingkan aliran darah ke lambung, maka absorbsi di usus juga lebih baik. b. pH Sebagian besar obat adalah asam lemah atau basa lemah. Asam lemah (HA) akan melepaskan proton (H+) dan membentuk anion (A-). Sementara basa lemah (BA+) akan melepaskan proton dan menghasilkan basa yang tidak bermuatan (B). Reaksi asam lemah dan basa lemah dapat dilihat pada gambar 2.3. Obat akan lebih mudah menembus membran sel apabila dalam keadaan tidak bermuatan. Sehingga untuk obat yang bersifat asam lemah, asam lemah (HA) dapat menembus membran sel sementara anion tidak dapat menembus membran sel. Pada obat yang bersifat basa lemah, basa yang tidak bermuatan (B) lebih dapat menembus membran sel dibandingkan basa lemah (BA). c. Luas permukaan Absorbsi di usus lebih baik dibandingkan di lambung oleh karena luas permukaan usus 1000 kali lebih luas dibandingkan lambung. 9



d. Waktu kontak Waktu kontak dengan lapisan epitel saluran gastrointestinal juga merupakan salah satu faktor penting yang berperan dalam absorbsi obat. Segala sesuatu yang menghambat perpindahan obat dari lambung ke usus (pengosongan usus) akan menghambat proses absorbs. Pada individu dengan waktu transit gastrointestinal yang sangat cepat, misalnya karena mengalami diare berat, maka obat-obatan umumnya tidak dapat diabsorbsi dengan efektif. Sebaliknya, kondisi yang memperlambat pengosongan lambung (misalnya makan dalam jumlah yang terlalu banyak) juga akan memperlambat dan dapat mengurangi absorbsi. Contoh hal yang dapat menghambat pengosongan usus adalah rangsangan parasimpatis. Sementara rangsangan simpatis (misalnya: olahraga dan stres emosional), obat antikolinergik (dicyclomine), dan makanan yang ada di lambung akan mempercepat pengosongan usus. Oleh karena itu, apabila obat diminum bersamaan dengan makan, maka absorbsinya akan lebih lambat. e. Interaksi dengan zat lain Beberapa obat dapat mengalami interaksi dengan makanan, jenis obat lain, atau dengan berbagai senyawa lain yang terdapat di dalam saluran gastrointestinal. Obat dapat berikatan dengan beberapa jenis makanan tertentu atau jenis obat lain sehingga akan mencegah terjadinya absorbsi. Salah satu contohnya adalah terjadinya interaksi antara tetrasiklin dan berbagai produk olahan susu atau antasida. f. Ekspresi dari glikoprotein-p Glikoprotein-p merupakan protein transporter dari berbagai obat yang bertanggung-jawab dalam transpor berbagai molekul. Berbagai fungsi glikoprotein-p antara lain: 



Hepar



: mentranspor obat ke empedu untuk dieliminasi







Ginjal



: memompa obat ke urin untuk diekskresi







Plasenta



: mentranspor obat kembali ke dalam sirkulasi ibu sehingga mengurangi



paparan obat ke janin 



Usus



: mentranspor obat ke lumen usus dan mengurangi absorbsi obat ke darah 10







Kapiler otak: memompa obat kembali ke darah sehingga membatasi akses obat ke otak Pada area dengan ekspresi glikoprotein-p yang tinggi, absorbsi obat akan



berkurang. Selain berperan dalam transpor berbagai obat keluar dari sel, glikoprotein-p juga berperan dalam terjadinya resistensi berbagai obat. 2.2.5



Bioavailabilitas Bioavabilitas adalah perbandingan antara dosis obat yang diberikan dan jumlah obat yang pada akhirnya akan masuk ke dalam sirkulasi darah disebut, dan umumnya disajikan dalam bentuk persentase. Bioavailabilitas diartikan sebagai sebagian dari obat yang masuk ke dalam tubuh yang dapat mencapai sirkulasi sistemik. Penghitungan bioavailabilitas penting untuk mengetahui dosis obat yang diberikan selain melalui injeksi intravena (apabila diberikan secara intravena, maka bioavailabilitasnya 100%). Penentuan bioavailabilitas dapat dilakukan dengan cara membandingkan konsentrasi dalam plasma dari obat yang diberikan selain secara intravena dengan konsentrasi dalam plasma dari obat yang diberikan secara intravena.(Harvey 2012) Bioavailabilitas merupakan hasil penghitungan dan bukan hasil pengukuran langsung. Luas area di bawah kurva (AUC = area under the curve) konsentrasi plasma dibandingkan waktu dapat menunjukkan jumlah total obat yang berhasil masuk ke dalam sistem sirkulasi. Kurva ini umumnya memiliki bentuk yang berbeda-beda tergantung pada jalur pemberian obat yang digunakan. Kurva yang diperoleh dari hasil pemberian obat secara intravena umumnya digunakan sebagai standar rujukan untuk bioavailabilitas total (100%). Bioavailabilitas dihitung dengan membandingkan luas area di bawah kurva untuk obat yang diberikan secara non-parenteral dan luas area di bawah kurva untuk obat yang diberikan secara parenteral. Sebagai contoh, bioavailabilitas sebesar 50% untuk obat oral menunjukkan bahwa dari seluruh obat yang diberikan melalui jalur oral, hanya separuh saja yang berhasil masuk ke dalam sirkulasi darah.



11



Gambar 5. Kurva konsentrasi serum dibandingkan waktu untuk jalur pemberian obat oral dan intravena. Waktu yang dibutuhkan bagi konsentrasi obat dalam serum untuk mengalami penurunan sampai separuh dari konsentrasi awal disebut sebagai waktu paruh eliminasi (t½). Bioavailabilitas obat dapat ditentukan dengan membandingkan area di bawah kurva (AUC) obat oral dan intravena. (Practical Pharmaco-logy for the Pharmacy Technician, p.29) Bioavailabilitas diartikan sebagai sebagian dari obat yang masuk ke dalam tubuh yang dapat mencapai sirkulasi sistemik. Penghitungan bioavailabilitas penting untuk mengetahui dosis obat yang diberikan selain melalui injeksi intravena (apabila diberikan secara intravena, maka bioavailabilitasnya 100%). Penentuan bioavailabilitas dapat dilakukan dengan cara membandingkan konsentrasi dalam plasma dari obat yang diberikan selain secara intravena dengan konsentrasi dalam plasma dari obat yang diberikan secara intravena(Harvey,2012). Bioavailabilitas yang ditentukan dengan rumus di atas adalah bioavalabilitas absolut. Apabila tidak didapatkan data konsentrasi plasma dari obat intravena, bioavailabilitas tetap dapat dihitung dengan membandingkan berbagai dosis, rute pemberian obat, maupun bentuk sediaan. Bioavailabilitas yang dihitung dengan cara tersebut disebut sebagai bioavailabilitas relatif.(Benedetti, 2009) 12



Biovailabilitas dari berbagai rute pemberian obat dapat dilihat pada tabel 2.1 Jalur pemberian Bioavailabilitas Karakteristik (%) Intravena (IV) 100 Onset paling cepat Intramuskuler (IM) 75 sampai ≤100 Kadang dapat diberikan dalam volume besar, dapat terasa nyeri Subkutan (SC) 75 sampai ≤100 Volume lebih sedikit dari IM, dapat terasa nyeri Oral (PO) 5 sampai