Makalah Farmakoterapi Lanjutan Ppok (Autorecovered) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH FARMAKOTERAPI LANJUTAN “PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK”



OLEH : KELOMPOK V



LA ODE MUH. HIDAYAT HAOFU



O1A1 14 020



ASWAN SUDIMAN



O1A1 14 007



FARAHAN SEPTIAN AREMA



O1A1 14 073



RIA AGUS IKO



F1F1 13 047



WA ODE HASNIAR



O1A1 14 112



SIWI MASIGI



O1A1 14 051



SUTRIANI



O1A1 14 169



JURUSAN FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017



KATA PENGANTAR Bismillahirrohmannirrohiym... Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah swt, karena atas limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis masih diberikan kesehatan



dan



kekuatan



untuk



membuat



dan



menyelesaikan



makalah



farmakoterapi lanjut yang berjudul “PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK”. Tidak lupa pula penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung penulis, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat pada waktunya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini olehnya itu saran dan kritik yang membangun tetap penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.



Kendari, 22 Februari 2017



Penyusun



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.......................................................................................... DAFRAR ISI........................................................................................................ BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... A. LATAR BELAKANG.................................................................................... B. RUMUSAN MASALAH.............................................................................. C. TUJUAN......................................................................................................... BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... A. B. C. D. E. F. G.



DEFENISI...................................................................................................... EPIDEMIOLOGI.......................................................................................... FAKTOR RESIKO........................................................................................ PATOGENESIS............................................................................................. TANDA DAN GEJALA................................................................................. DIAGNOSIS PENYAKIT............................................................................. KLASIFIKASI PPOK...................................................................................



BAB III PENETALAKSANAAN TERAPI A. GUIDE LINE TERAPI................................................................................ B. TUJUAN TERAPI........................................................................................ C. STRATEGI TERAPI.................................................................................... 1) TERAPI NONFARMAKOLOGI........................................................... 2) TERAPI FARMAKOLOGI.................................................................... D. OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN........................................................... BAB IV MONITORING DAN EVALUASI HASIL TERAPI….................... DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tingkat kesejahteraan di Indonesia berubah, sehingga pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable disease). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja Data WHO tahun 2001 menunjukkan angka mortalitas PPOK adalah 4,8% dan menduduki urutan keempat penyebab kematian di dunia. Di Indonesia, PPOK adalah salah satu dari 10 penyebab kematian utama. Estimasi prevalensi PPOK di 28 negara adalah 7,6%.3 Estimasi prevalensi PPOK di Indonesia pada laki-laki umur > 30 tahun sebesar 1,6% dan perempuan 0,9%.Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) juga termasuk urutan ke sepuluh sebagai penyakit yang menjadi beban dunia. Prevalensi Ppok meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi ini juga lebih tinggi pada pria dari pada wanita. Kemudian prevalensi ppok lebih tinggi pada negara-negara dimana merokok merupakan gaya hidup, yang menunjukan bahwa rokok merupakan faktor resiko yang utama. Dua gangguan yang terjadi pada ppok adalah bronkitis kronis dan emfisema. Bronkitis kronis kronis adalah kondisi dimana terjadi sekresi mukus berlebihan kedalam cabang bronkus yang bersifat kronis dan kambuhan, disertai batuk yang terjadi pada hampir setiap harinya yang terjadi dalam 3 bulan setiap tahunnya.



B. RUMUSAN MASLAH a. Apa yang dimksud denga PPOK ? b. Bagaimanakah cara pengobatan pada penyakit PPOK ? c. Obat-obat apa sajakah yang digunakan pada penyakit PPOK ? C. TUJUAN a. Untuk mengetahui apa itu PPOK. b. Untuk mengetahui cara pengobatan asama. c. Untuk mengetahui obat-obata apa sajakah yang digunakan pada penyakit PPOK.



BAB II PEMBAHASAN A. DEFENISI



The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) guidelines mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan gangguan pernafasan yang irreversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon inflamasi yang abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas yang berbahaya (Prodyanatasari, 2015). PPOK adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible dan dapat dicegah. Keterbatasan saluran napas tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi dikarenakan bahan yang merugikan atau gas. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) bukan penyakit tunggal tetapi merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan penyakit paru kronisyang menyebabkan keterbatasan dalam aliran udara paru. Istilah lebih umum bronkitis kronis dan emfisema tidak lagi digunakan, tetapi sekarang termasuk dalam diagnosis PPOK (Naser dkk, 2016) Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal pada jaringan paru terhadap paparan partikel atau gas berbahaya. Hal ini berkaitan dengan variasi kombinasi dari kelainan saluran napas dan parenkim.Adanya gejala sesak napas, berkurangnya kapasitas kerja dan kekambuhan yang sering berulang menyebabkan menurunnya kualitas hidup penderit (Taringan, 2015). B. EPIDEMIOLOGI Di Amerika, kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5 juta. 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun 2000.Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakti serebro



vascular.



Dimana



angka



kesakitannya



meningkat



dengan



bertambahnya usia dan lebih besar terjadi pada pria daripada wanita, kematian akibat PPOK sangat rendah pada pasien dibawah usia 45 tahun dan meningkat dengan bertambahnya usia (Ikawati, 2009)



Penderita penyakit ini semakin banyak dan menjadi salah satu penyebab utama kematian Kejadian kesakitan dan kematian yang disebabkan PPOK berbeda pada setiap kelompok atau negara, hal ini tergantung banyaknya jumlah perokok, polusi dari industri dan asap kenderaan yang menjadi faktor resiko dari PPOK. WHO memperkirakan pada tahun 2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari peringkat ke-6 menjadi peringkat ke-3 di dunia dan dari peringkat ke-6 menjadi peringkat ke-3 penyebab kematian tersering. Di seluruh dunia terdapat 3 juta kematian akibat PPOK setiap tahunnya (Ikawati, 2011) Data The Asia Pacific COPD Roundtable Group pada 2006 menunjukkan jumlah penderita PPOK mencapai 56,6 juta dengan prevalensi 6 persen. Indonesia berada diurutan ketiga penderita PPOK terbesar di dunia dengan 4,8 persen penderita, setelah Cina (38 juta) dan Jepang (5 juta). Jumlahnya diperkirakan meningkat akibat banyaknya jumlah perokok.Sebab, 90 persen penderita PPOK adalah perokok atau mantan perokok.PPOK adalah salah satu penyakit yang makin meningkat dari tahun ke tahun, serta tengah bersaing dengan hipertensi, jantung, stroke, diabetes melitus, asma, penyakit sendi, dan kanker (lippokarawaci, 2011). Di Indonesia berdasarkan pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, PPOK menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama.SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena PPOK menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia Di Indonesia tidak ditemukan data akurat tentang kekerapan PPOK. Pada tahun 1997 penderita PPOKyang rawat inap di Rumah Sakit Persahabatan sebanyak 124 orang, sedangkan rawat jalan 1.837 orang. Di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta tahun 2003 ditemukan penderita PPOK rawat inap sebanyak 444 orang dan rawat jalan 2.368 orang, dan data yang di dapat di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2006 berjumlah 284 orang, tahun 2007 berjumlah 287 orang 2008 berjumlah 289 orang dengan adanya peningkatan setiap tahunnya (Darsana, 2010).



Di Sumatera Utara khususnya Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam di dapatkan data berdasarkan hasil rekam medik di dapat penderita PPOK. Pada tahun 2009 terdapat penderita PPOK sebanyak 56 orang, 5 diantaranya meninggal dunia, sedangkan pada tahun 2010 terdapat 43 orang, 6 di antaranya meninggal dunia, dan pada tahun 2011 ditemukan 49 oramg, 3 diantaranya meninggal dunia (Tarigan, 2015). Di Sulawesi Tenggara Khususnya di Rumah Sakit Bahteramas Kendari pada tahun 2014-2016 di peroleh data prevalensi pasie penderita PPOK yang masukyaitu, pada tahun 2014 penderita rawat inap 120 orang, rawat jalam 74 orang, pada tahun 2015 penderita rawat inap 95 orang, rawat jalan 81 orang, dan pada tahun 2016 pasien rawat inap berjumlah 107, dan rawat jaln 190 orang. C. FAKTOR RESIKO Ada bebebrapa resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. a) Faktor lingkkungan 1. Rokok Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan resiko 30 kali lebih besar pada perokok dibandingan yang bukan perokok dan merupakan penyebab dari 85 sampai 90% kasus PPOK. Kemudian kurang lebih 15 sampai 20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mula merokok, dan status merokok yang treakhir saat PPOK berkembang. Namun tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10% orang yang tidak merokok mungkin menderita PPOK. PPOK pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga berisisiko menderita PPOK. 2. Pekerjaan Para pekerja tambang emas atau batubara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu dan silika atau pekerja yang terpapar debu katun dan gandum, tolueane diisiosianat mempunya resiko yang lebih besar daripada yang bekerja daripada ditempat lain yang diatas



3. Polusi udara Polusi udara mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk karna adanya gejala polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah maupun dari dalam rumah. Dari luar yaitu asap kendaraan bermotor dll, kemudian yang dari dalam rumah yaitu asap dapur. 4. Infeksi Kolonisasi bakteri pada saluran pernapasan secara kronis merupakan suatu pemicu inflamsi neutrofilik pada saluran napas, terlepas dari paparan rokok adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan inflamasi yang dapa diukur dari peningkatan sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan fungsi paru sehingga ini akan meningkatan resiko kejadian PPOK. b) Faktor host atau pasien 1. Usia. Semakin bertambah usia maka semakin besar menderita PPOK. Pada pasien yang didiagnosa pada PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan genetik berupa defisiensi al-antitripsin, namun kejadian ini hanya dialami kurang lebih 1% PPOK. 2. Jenis Kelamin Laki-laki berisiko menderita PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecenderungan prefelensi PPOK pada wanita karna meningkatnya jumlah wanita yang merokok. 3. Adanya Gangguan Fungsi Paru Yang Terjadi Adanya gangguan fungsi paru_paru merupakan faktor resiko terjadinya PPOK misalnya defisiensi imunoglobin A (IgA/hypogammaglobulin) atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan brokioktasis. Individu fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi paru lebih besar seiring berjalannya waktu daripada yang fungsi parunya normal sehingga lebih berisiko berkembangnya PPOK. Termasuk didalamnya orang yang pertumbuhannya parunya tidak normal karna lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki resiko mengalami PPOK. 4. Predisposisigenetik, Defisiensi Alpa 1 Antitripsin (AAT) Defisiensi AAT terutama berkaitan dengan kejadian enfisema, yang berkaitan dengan hilangnya elastisitas jaringan didalam paru-paru secara



progresif karna adanya ketidakseimbangan enzim proteolitik dan faktor protektif. Makrofag dan neutrofil melepaskan enzim lisosomal yaitu elastase yang dapat merusak jaringan diparu. Pada keaadan normal faktor protektif AAT menghambat enzim protalitik sehingga mencegah kerusakan. Karena itu, kekurangan AAT menyebabkan berkurangnya faktor proteksi pada kerusakan paru. AAT diproduksi oleh gen inhibitor protease (N). Satu dari 500 orang adalah homozigot untuk gen resesif (Z). Yang menyebabakan kadar AAT dalam darah rendah dan berakibat enfisema yang timbul lebih cepat. Orang yang hetero zigot mempunyai gen (MZ) juga beresiko menderita emfisema yang makin meningkat kemungkinanya dengan merokok karena asap rokok juga dapat menginaktivasi AAT. Wanita kemungkunanmemperoleh perlindungan dari estogen yang akan menstimulasi sintesis inhibitor protease seperti AAT. Karenanya, faktor risiko pada wanita lebih rendah dari pada pria. D. PATOGENESIS Saluran penghantar udara yang membawa udara ke dalam paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus2. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika masuk rongga hidung, udara disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Permukaan epitel diliputi oleh lapisan akan menyuplai panas ke udara inspirasi2. Jadi udara inspirasi telah disesuaikan sedemikan rupa sehingga udara yang mencapai faring sudah bebas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembabnya mencapai 100%. Patofisiologi dari PPOK adalah bahwa hambatan aliran udara napas kronik dihasilkan oleh suatu respon inflamasi abnormal dari partikel dan gas yang terhirup masuk ke saluran napas, dimana reaksi inflamasi yang abnormal ini dapat juga dideteksi pada sirkulasi sistemik1. Banyak penelitian menemukan bahwa respon inflamasi paru terhadap pajanan gas atau asap rokok ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit T yang didominasi oleh CD8+, peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti leukotrien B4,



IL-8 dan TNF-α dan bukti bahwa stress oksidatif disebabkan oleh inhalasi asap rokok atau yang diaktifkan oleh sel inflamasi. Peningkatan jumlah limfosit T yang didomisasi oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru tetapi juga pada kelenjar. Makrofag yang diaktifkan asap rokok dan zat iritan lainnya akan melepaskan netrofil, IL8 dan TNFα yang kembali menstimulasi makrofag dan netrofil mengeluarkan zat-zat protease seperti netrofil elastase, capthesin dan Matriks Metalo Protease (MMP) yang merusak dinding alveoli, jaringan penunjang pada parenkhim paru dan juga menstimuli terjadinya hipersekresi mucus. Asap rokok ini juga mengaktifkan sel epitel di saluran pernapasan untuk mengaktifkan T limfosit khususnya CD8 yang dapat langsung membuat kerusakan pada dinding alveoli dan juga dengan mengeluarkan berbagai macam mediator inflamasi, salah satunya TNFα. Sel epitel yang terpapar asap rokok akan menyebabkan pembentukan fibroblas meningkat sehingga menyebabkan terjadinya fibrosis. Fibroblas akan diaktifasi oleh Growth Factor yang dilepaskan oleh makrofag dan sel epitel. Enzim-enzim ini pada kondisi normal akan diatasi oleh protease inhibitor, termasuk alpha 1 antitripsin, SLPI dan Tissue Inhibitor Metalo



Protease (TIMP)2,10.



Karakteristik PPOK adalah peradangan kronik mulai dari saluran napas, parenkim paru sampai struktur vaskular pulmoner. Diberbagai bagian paru dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan netrofil. Sel-sel radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti leukotrien B4, IL8, TNF dan lain-lain yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi netrofilik. Selain proses inflamasi terdapat 2 proses lain yang diduga berperan dalam



patogenesis PPOK yaitu



keseimbangan proteinase–antiproteinase dan keseimbangan beban oksidan dan antioksidan. Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai di saluran napas besar, saluran napas kecil, parenkim paru dan vaskular pulmoner. Sel inflamasi menginfiltrasi permukaan epitel saluran napas sentral, mengakibatkan perubahan epitel menjadi squamous metaplasia. Terjadi pembesaran kelenjar mucus dan peningkatan sel goblet. Perubahan tersebut mengakibatkan terjadi



hipersekresi mucus. Perubahan pada saluran napas kecil akibat inflamasi menyebabkan airway remodelling sehingga menyempitkan lumen saluran napas yang nonreversibel. KONSEP PATOGENESIS PPOK



Gambar.1. Konsep patogenesis PPOK. E. TANDA DAN GEJALA Diagnosa PPOK ditegaskan berdasarkan adanya gejala-gejala meliputi batuk, produksi sputum, dispnea, dan riwayat paparan suatu faktor resiko. Selain itu adanya obstruksi saluran pernapasa juga harus dikonfirmasi dengan spirometri. Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis PPOK adalah sebagai berikut : 1. Batuk kronis : terjadi berselang setiap hari, dan sering terjadi sepanjang hari (tidak seperti asama yang terdapat gejala batuk malam ahri). 2. Produksi sputum secara kronis : semua pola produksi sputum dapat mengindikasikan adanya PPOK. 3. Bronkitis akut : terjadi secara berulang 4. Sesak napas : bersifat progresif sepanjang waktu, setiap hari, memburuk jika berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi pernapasan. 5. Riwayat paparan terhadap faktor resiko : merokok, partikel dan senawa kimia, asap dapur. Gejala ini mungkin terjadi beberapa ahun sebelum kemudia sesak napas menjadi semakin nyata yang membuat pasien mencari bantuan medik. Sedangkan gejala pada eksaserbasi akut adalah : 1. Peningkatan volume sputum 2. Perburukan pernapasan secara akut 3. Dada terasa berat



4. 5. 6. 7.



Peningkatan purulensi sputum. Peningkatan kebutuhan bronkodilator Lelah, lesu Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik (cepat lelah, terengah-engah).



Pada gejala berat, dapat terjadi : 1. Cyanosis, terjadi kegagalan respirasi 2. Gagal jantung dan oedema perifer 3. Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukan gejala wajah yang memerah



yag



disebabkan



polycythemia



(erytrocytosis,



jumlah



eryhtrosityang meningkat), hal ini merupakan respon fisiologis normal karena kapasitas pengankutan O2 yang berlebih.



F. DIAGNOSIS Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan : 1. Gejala Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak napas. Sesak napas juga biasanya menjadi keluhan utama pada pasien PPOK karena terganggunya aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas biasanya menjadi komplain ketika FEV1 80% dan umumnya, Ringan tapi tidak selalu, ada gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini, pasien biasanya bahkan belum merasa bahwa paruparunya bermasalah. II FEV1 /FVC < 70 %, 50% < FEV1 < 80%, gejala Sedang biasanya mulai progresif/memburuk, dengan nafas pendek-pendek. III FEV1/FVC < 70%, 30% < FEV1 < 50%. Terjadi Berat eksasorbasi berulang yang mulai mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada tahap ini pasien mulai mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas atau serangan penaykit. IV FEV1/FVC < 70%, FEV1 < 30% atau < 50% Sangat berat plus kegagalan respirasi kronis. Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika walaupun FEV1 > 30%, tapi pasien mengalami kegagalan pernafasan atau gagal jantung kanan atau cor pulmunale. Pada tahap ini, kualitas hidup sangat terganggu dan serangan mungkin mengancam jiwa.



BAB III PENATALAKSANAAN TERAPI A. GUIDELINE TERAPI Menurut GOLD 2010, penatalaksanaan PPOK terdiri dari 4 komponen utama yaitu : (1) pemantauan dan assesmant penyakit, (2) pengurangan faktor resiko, (3) penatalaksanaan PPOK stabil, dan (4) penatalaksanaan eksaserbasi akut PPOK. Komponen 1 dan 2 dalam buku ini dikelompokkan pada terapi non-farmakologi, sedangkan komponen 3 dan 4 digolongkan dalam terapi farmakologi. B. TUJUAN TERAPI Terapi PPOK dapat dibedakan menjadi terapi untuk pemeliharaan pada PPOK yang stabil dan pada eksaserbasi akut. Tujuan terapi PPOK pada PPOK stabil adalah memperbaiki keadaan obstruksi kronik, mencegah dan mengatasi eksaserbasi



akut,



menurunkan



percepatan



perkembangan



penyakit,



meningkatkan keadaan fisik dan psikologis pasien, sehingga pasien dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari, menurunkan jumlah hari tinggal di rumah sakit, dan menurunkan jmlah kematian. Terapai pada eksaserbasi akut adalah untuk memelihara fungsi pernapasan dan memperpanjang survival. C. STRATEGI TERAPI 1. Terapi non-farmakologi Penatalaksanaan terapi PPOK secara non farmakologi diawali dengan assesment dan pemantauan penyakit pasien . Assesment yang perlu dilakukan antara lain : a. Bagaimana paparan terhadap faktor resiko, termasuk intensitas dan durasinya. b. Seperti apa riwayat kesehatannya, meliputi penyakit asma, alergi, sinusitis, polip hidung, infeksi saluran napas, atau penyakit paru lainnya.



c. d.



Apakah ada riwayat keluarga PPOK dan penyakit paru kronis lainnya Seperti apa pola perkembangan gejalanya. e. Seperti apa penyakit penyerta seperti penyakit jantung atau reumatik, yang mungkin mempengaruhi aktivitasnya f. Seperti apa riwayat eksaserbasi atauperawatan RS sebelumnya g. Dan lain-lain. Diagnosa klinis terhadap PPOK perlu dipertimbangkan jika pasien mengalami sesak napas, batuk kronis atau terjadi produksi sputum dengan riwayat paparan terhadap faktor resiko. Dignosa sebaiknya ditegakan dengan pengukuran spirometri untuk mengukur fungsi pernapasan. Nilai FEV1 /FVC < 70% dan pasca bronkodilator FEV1 60 mmHg Dahak jernih tidak berwarna Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri) Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan



Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan  Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :



  



Mempertahankan fungsi paru Meningkatkan kualiti hidup Mencegah eksaserbasi



Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi  Penatalaksanaan di rumah Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil. Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri maupun oleh keluarganya. Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi penderita PPOK berat yang harus menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik. Tujuan penatalaksanaan di rumah :      



Menjaga PPOK tetap stabil Melaksanakan pengobatan pemeliharaan Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan Menjaga penggunaan ventilasi mekanik Meningkatkan kualiti hidup



Penatalaksanaan di rumah meliputi :



1) Penggunakan



obat-obatan dengan tepat. Obat-obatan sesuai klasifikasi



(tabel 2). Pemilihan obat dalam bentuk dishaler, nebuhaler atau tubuhaler karena penderita PPOK biasanya berusia lanjut, koordinasi neurologis dan kekuatan otot sudah berkurang. Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang efektif. Nebuliser sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus. Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya bila timbul



2)



eksaserbasi, penggunaan terus menerus, hanya jika timbul eksaserbasi. Terapi oksigen. Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang terapi oksigen di rumah pada waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter



3) Penggunaan



mesin bantu napas dan pemeliharaannya. Beberapa



penderita PPOK dapat menggunakan mesin bantu napas di rumah (lihat



4)



hal 25) Rehabilitasi



-



Penyesuaian aktiviti Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough) "Pursed-lipsbreathing" Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas



5) Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada : - Tanda eksaserbasi - Efek samping obat - Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen b. Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.  Gejala eksaserbasi :  Sesak bertambah  Produksi sputum meningkat  Perubahan warna sputum Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga : 1. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas 2. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas 3. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline Penyebab eksaserbasi akut 1. Primer :  Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus) 2. Sekunder :  Pnemonia  Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia



        



Emboli paru Pneumotoraks spontan Penggunaan oksigen yang tidak tepat Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit) Nutrisi buruk Lingkunagn memburuk/polusi udara Aspirasi berulang Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi) Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk



eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat) Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang telah diedukasi dengan cara : 



Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator yang digunakan dari bentuk inhaler, oral



  



dengan bentuk nebuliser Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur Menambahkan mukolitik Menambahkan ekspektoran



Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter. Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di :    



Poliklinik rawat jalan. Unit gawat darurat Ruang rawat Ruang ICU



Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi :



1. Diagnosis beratnya eksaerbas  Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal  Kesadaran  Tanda vital  Analisis gas darah  Pneomonia 2. Terapi oksigen adekuat Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa. dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan Pao2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia. gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury masks) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing, tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam penggunaan ventilasi mekanik usahakan



dengan



Noninvasive



Positive



Pressure Ventilation



(NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi. 3. Pemberian obat-obatan yang maksimal Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut a. Antibiotik - Peningkatan jumlah sputum - Sputum berubah menjadi purulen - Peningkatan sesak. Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat diberikan tunggal. b. Bronkodilator Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila



digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser yang memakai oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan



retensi



CO2.



Golongan



xantin



diberikan



bersamasama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator. c. Kortikosteroid Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping. Penatalaksanaan Menurut Derajat PPOK DERAJAT Semua



KARAKTERISTIK



derajat Derajat I



VEP1 / KVP < 70 %



(PPOK



VEP1  80% Prediksi



Ringan)







REKOMENDASI PENGOBATAN Hindari faktor pencetus



 a.



Vaksinasi influenza Bronkodilator kerja singkat (SABA, antikolinergik kerja pendek) bila perlu



b.



sebagai terapi pemeliharaan Pengobatan reguler Kortikosteroid



Derajat II



VEP1 / KVP < 70 %



(PPOK



50%  VEP1  80% dengan bronkodilator:



sedang)



Prediksi



dengan



1.



Pemberian antikolinergik kerja lama



a. atau



Antikolinergik kerja steroid positif lama



tanpa gejala



inhalasi bila uji



sebagai



pemeliharaan b.



LABA



c.



Simptomatik



2.



Rehabilitasi



terapi



Derajat III



VEP1 / KVP < 70%; 30% 1.



(PPOK Berat)  VEP1  50% prediksi



Pengobatan reguler Kortikosteroid dengan



1



atau



lebih inhalasi bila uji



steroid positif Dengan atau tanpa gejala bronkodilator: a. Antikolinergik kerja atau eksaserbasi lama



sebagai



terapi berulang



pemeliharaan b.



LABA



c.



Simptomatik



2. / KVP < 70%; 1.



Rehabilitasi Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih



Derajat IV



VEP1



(PPOK



VEP1 < 30% prediksi atau bronkodilator:



sangat berat)



gagal nafas atau gagal a. jantung kanan



Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan



b.



LABA



c.



Pengobatan komplikasi



d.



Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respons klinis atau eksaserbasi berulang



2.



Rehabilitasi



3. Terapi oksigen jangka panjang bila gagal nafas pertimbangkan terapi bedah



D. OBAT-OBAT YANG DIGUNAKA Tabel 1. Obat-Obat yang Biasa Digunakan untuk Terapi PPOK (GOLD, 2009) Obat



Inhaler (µg)



Larutan Nebulizer (mg/ml)



Oral



100-200 (MDI)



1



0,5% (sirup)



Salbutamol



100, 200 MDI&DPI



5



5mg (pil), 0,24% (sirup)



0,1 ; 0,5



4-6



Terbutaline



400,500 (DPI)



2,5 ; 5 (pil)



0,2; 0,25



4-6



Vial injeksi (mg)



Durasi (jam)



Adrenergik (β2-agonis) Fenoterol



Formoterol Salmeterol Antikolinergik



4-6



4,5-12 MDI&DPI 25-50 MDI&DPI



12+ 12+



Ipatropium bromide



20,40(MDI)



0,25-0,5



6-8



Oxitropium bromide



100 (MDI)



1,5



7-9



Tiotropium Methylxanthines Aminophylline



18(DPI)



24+ 200-600mg (pil) 100-600mg (pil)



Theophylline



240mg



24 24



Kombinasi adrenergik & antikolinergik Fenoterol/Ipatropium Salbutamol/Ipatropium Inhalasi Glukortikosteroid Beclomethasone Budenosid



200/80 (MDI) 75/15 (MDI)



50-400(MDI&DPI) 100,200,400(DPI)



1,25/0,5 0,75/4,5 0,2-0,4 0,20, 0,25, 0,5



6-8 6-8



Futicason 50-500(MDI &DPI) Triamcinolone 100(MDI) 40 Kombinasi β2 kerja panjang plus glukortikosteroid dalam satu inhaler 4,5/160; 9/320 (DPI) 50/100,250,500(DPI) Salmoterol/Fluticasone 25/50,125,250(MDI) Sistemik Glukortikosteroid Prednisone



40



Formoterol/Budenoside



Methy-Prednisone



5-60 mg(Pil) 4, 8 , 16 mg (Pil)



Keterangan: MDI = Metered Dose Inhaler; DPI = Dose Per Inhaler Terapi farmakologi berdasarkan keparahan penyakit Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu disesuaikan dengan keparahan penyakitnya. Pada gambar, disajikan panduan umum terapi PPOK berdasarkan keparahan penyakitnya menurut GOLD 2010. Obat-obat yang digunakan 1.



Bronkodilator Bronkodilator merupakan pengobatan simtomatik utama pada PPOK. Obat ini bisa digunakan sesuai kebutuhan untuk melonggarkan jalan nafas ketika terjadi serangan, atau secara reguler untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala. Efek samping obat bronkodilator umumnya dapat diprediksi dan tergantung dosis. Jarang menimbulkan efek obat yang tidak dikehendaki (adverse drug reaction), dan kalaupun terjadi umumnya segera hilang jika obat dihentikan. Beberapa contoh bronkodilator untuk PPOK adalah sbb:



a. Antikolinergik Digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil. Hal ini karena persyarafan utama yang memediasi aksi bronkokonstriksi adalah saraf kolinergik, di mana pada usia lanjut saraf adrenergik sudah mengalamai down regulasi dan berkurangnya sensitivitas. Mekanisme utama obat golongan antikolinergik adalah blokade pada reseptor muskarinik M3. Termasuk golongan ini adalah ipratropium dan oksitropium (beraksi pendek), dan tiotropium bromida (beraksi panjang). Penghambatan terhadap reseptor M3 menyebabkan



penghambatan terhadap aktivasi enzim fosfolipase yang menguraikan senyawa fosfatidil



inositol



difosfat



menjadi



inositol



trifosfat



dan



diasilgliserol.



Berkurangnya senyawa inositol trifosfat yang beraksi memobilisasi kalsium dari tempat penyimpanannya menyebabkan relaksasi otot polos bronkus. b. Simpatomimetik Obat golongan simpatomimetik yang selektif terhadap reseptor adrenergik β-2 bersifat bronkodilator dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk meningkatkan pembentukan adenosine 3’,5’ monophosphate (3’,5’-cAMP). cAMP akan menghambat aksi myosin light chain kinase, sehingga pada gilirannya akan mencegah terjadinya kontraksi otot polos bronkus. Golongan ini juga mungkin meningkatkan pembersihan mukosiliar. Efek bronkodilatasi β-agonis aksi cepat umumnya berakhir setelah 4-6 jam, sedangkan β-agonis aksi panjang seperti salmeterol dan formoterol menunjukkan durasi aksi sampai 12 jam atau lebih, tanpa berkurangnya efektivitas pada malam hari atau dengan penggunaan teratur pada pasien PPOK. c.



Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik Penggunaan kedua obat ini secara kombinasi terutama sering digunakan jika perkembangan penyakitnya meningkat atau gejalanya memburuk. Kombinasi dua golongan bronkodilator ini mungkin akan lebih efektif dibandingkan digunakan sendiri-sendiri, selain itu juga dapat menurunkan dosis efektifnya sehingga menurunkan potensi efek sampingnya. Kombinasi antara suatu β-agonis aksi pendek maupun panjang dengan antikolinergik terbukti dapat meningkatkan efek perbaikan gejala dan fungsi paru. Sebuah studi melaporkan bahwa kombinasi tiotropium bromida dengan formoterol memberikan perbaikan fungsi paru yang lebih baik daripada kombinasi salmeterol dengan flutikason.



d. Metilxantin Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan menghambat phosphodiesterase monofosfat (sehingga meningkatkan cAMP), menghambat masuknya ion kalsium ke dalam otot polos, antagonis prostaglandin, stimulasi katekolamin endogen,antagonis reseptor adenosin, dan penghambatan pelepasan mediator dari sel mast dan leukosit. Penggunaan kronis teofilin pada



PPOK menunjukkan perbaikan dalam fungsi paru termasuk kapasitas vital dan FEV1. Secara subyektif,teofilin telah terbukti mengurangi dyspnea, meningkatkan toleransi latihan, dan memperbaiki kendali respirasi. Efek nonpulmonary yang mungkin menyebabkan kapasitas fungsional yang lebih baik termasuk peningktatan fungsi jantung dan penurunan tekanan arteri pulmonalis. 2.



Kortikosteroid Secara



teori,



kortikosteroid



mempunyai



mekanisme



kerja



sebagai



antiinflamasi dan mempunyai keuntungan pada penanganan PPOK yaitu: mereduksi permeabilitas kapiler untuk mengurangi mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan menghambat prostaglandin. 3.



Terapi Oksigen jangka panjang (long term) Penggunaan



oksigen



berkesinambungan



(>



15



jam



sehari)



dapat



meningkatkan harapan hidup bagi pasien-pasien yang mengalami kegagalan respirasi kronis, dan memperbaiki tekanan arteri pulmonar, polisitemia (hematokrit > 55%), mekanik paru, dan status mental. Terapi oksigen sebaiknya diberikan pada pasien PPOK dengan tingkat keparahan IV (sangat berat) jika: a)



PaO2 ≤ 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia,



atau b) PaO2 antara 55 mmHg – 60 mmHg, atau SaO 2 89%, tetapi ada tanda hipertensi pulmonar, edema perifer yang menunjukkan adanya gagal jantung kongestif, atau 4.



polisitemia. Antibiotik Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik infeksi virus atau bakteri. GOLD pada tahun 2010 merekomendasikan penggunaan antibiotika pada pasien-pasien yang:



a)



Dengan eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama yaitu: peningkatan dyspnea (sesak nafas), peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi sputum,



atau b) Dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama, jika peningkatan purulensi sputum merupakan salah satunya, atau



c)



Dengan eksaserbasi parah yang membutuhkan ventilasi mekanik, baik invasif maupun non-invasif Beberapa bakteri yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus parainfluenzae, dan Moraxella catarrhalis.



Tabel 2. Terapi antibiotika yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut PPOK Karakteristik pasien        



Eksaserbasi tanpa komplikasi < 4 eksaserbasi setahun Tidak ada penyakit penyerta FEV1 > 50% Eksaserbasi kompleks Umur > 65 th, 4 eksaserbasi pertahun FEV1 < 50% tapi > 35%



Eksaserbasi kompleks dengan risiko P. aeruginosa 5.



Patogen penyebab yang mungkin S pneumoniae, H. Influensa, H. Paraenfluenzae, dan M. catarrhalis umumnya tidak resisten



Terapi yang direkomendasikan Makrolid (azitromisin, klaritromisin), sefalosporin generasi 2 atau 3, doksisiklin



H. Influensa, M. Catarrhalis, S pneumoniae penghasil betalaktamase, Enterobacteraceae (K. Pneumoniae, E. coli, Proteus, Enterobacter, dll) Seperti di atas, ditambah P. aeruginosa



Amoksisilin/klavulanat, Fluorokuinolon (levofroksasin, gatiflokasin, moksifloksasin), Sefalosporin generasi 2 dan 3



Fluorokuinolo (levofroksasin, gatiflokasin, moksifloksasin), terapi IV jika perlu : sefalosporin generasi 3 atau 4



Imunisasi Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat PPOK sampai 50%. Vaksin influenza direkomendasikan bagi pasien PPOK usia lanjut karena cukup efektif dalam mencegah eksaserbasi akut PPOK. Pasien



PPOK sebaiknya menerima satu atau dua kali vaksin pneumococcal dan vaksinasi influenza per tahun untuk mengurangi insiden pneumonia. Bila pasien terpapar pada influenza sebelum divaksinasi, maka dapat digunakan obat antivirus amantadin dan rimantadin. 6.



Mukolitik Penggunaan mukolitik seperti ambroksol, karbosistein, dan gliserol teriodinasi telah diteliti pada sejumlah studi dan menunjukkan hasil yang kontroversial. Meskipun mungkin penggunaannya memberikan manfaat bagi sebagian pasien, tetapi secara keseluruhan manfaatnya sangat kecil. Karena itu, menurut GOLD 2010, penggunaannya tidak direkomendasikan berdasarkan buktibukti klinis yang ada.



7.



Terapi Pengganti AAT (alpha anti trypsine) Pada pasien dengan defisiensi AAT secara herediter, selain dengan mengurangi faktor risiko dan terapi simptomatik menggunakan bronkodilator, dapat ditambahkan terapi penggantian AAT (AAT replacement therapy). Terapi ini terdiri dari infus AAT secara rutin (mingguan) untuk memelihara kadar AAT plasma di atas 10 mikromolar. Regimen dosis yang direkomendasikan adalah 60 mg/kg yang diberikan secara intravena sekali seminggu dengan kecepatan 0.08 mL/kg per menit, disesuaikan dengan toleransi pasien. Saat ini, contoh produk yang tersedia adalah Prolastin, Aralast, dan Zemaira. Terapi Pada Komplikasi PPOK : Cor Pulmonale Pada keadaaan PPOK berat (tahap IV), pasien seringkali mengalami komplikasi



akibat



hipoksemia



yang



berkepanjangan,



yaitu



terjadinya



vasokonstriksi kronis pada arteri pulmonary yang menyebabkan terjadinya gagal jantung kanan atau cor pulmonale. Selain PPOK-nya harus ditangani secara tersendiri, cor pulmonale juga perlu mendapat penanganan agar tidak membawa akibat fatal berupa kematian. Di bawah ini dipaparkan beberapa obat yang dapat dipakai dalam pengatasan cor pulmonale. a. Terapi Oksigen Terapi oksigen sangat penting pada pasien PPOK terutama bila diberikan secara terus-menerus. Pada komplikasi cor pulmonale, tekanan parsial oksigen (PaO2)



cenderung berada di bawah 55 mmHg dan bisa makin menurun dengan kegiatan fisik atau selama istirahat. Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi paru akibat hipoksemia, sehingga kemudian meningkatkan curah jantung, dan mengurangi vasokonstriksi simpatis serta mengurangi hipoksemia jaringan, dan meningkatkan perfusi ginjal. b. Diuretik Diuretik digunakan dalam terapi cor pulmonale, terutama jika volume pengisian ventrikel kanan meningkat tajam, dan juga pada pengelolaan edema yang terjadi. Obat diuretik dapat memperbaiki fungsi kedua belah ventrikel, kiri dan kanan, tetapi diuretik dapat menghasilkan efek samping hemodinamik jika tidak digunakan secara hati-hati. c. Vasodilator Obat vasodilator telah disarankan pada penatalaksanaan jangka panjang pada cor pulmonale kronis dengan hasil sedang. Golongan penghambat kanal kalsium, terutama nifedipin oral bentuk sustained-release dan diltiazem, dapat mengurangu tekanan pulmonar, walaupun obat-obat ini nampaknya lebih efektif pada hipertensi pulmonar primer daripada sekunder. d. Glikosida jantung Penggunaan glikosida jantung seperti digoksin pada pasien cor pulmonale masih kontroversial, dan manfaatnya tidak sebesar seperti pada penatalaksanaan gagal jantung kiri. Namun demikian, penelitian telah membuktikan bahwa digitalis memiliki efek sedang pada cor pulmonale. Obat ini harus dipakai dengan hatihati, dan tidak boleh digunakan selama fase akut karena dapat meningkatkan risiko terjadinya aritmia jantung. e. Teofilin Selain memiliki efek bronkodilatasi, teofilin dilaporkan dapat mengurangi vasokonstriksi paru dan tekanan arteri pulmonary secara akut pada pasien PPOK dengan cor pulmonale. Teofilin memiliki efek inotropik yang lemah, sehingga dapat meningkatkan ejeksi ventrikel kiri dan kanan. Teofilin dosis rendah juga dilaporkan dapat memberikan efek antiinflamasi sehingga dapat mengontrol penyakit paru seperti PPOK.



BAB IV MONITORING DAN EVALUASI HASIL TERAPI Follow up rutin penting pada penatalaksanaan semua pasien termasuk PPOK. Fungsi paru bisa



diperkirakan memburuk, bahkan dengan



pengobatan terbaik. Gejala dan pengukuran objektif dari keterbatasan aliran udara harus dimonitor untuk menentukan kapan dilakukan modifikasi terapi dan untuk identifikasi beberapa komplikasi yang bisa timbul. Pemantauan progresifitas penyakit dan komplikasi •Spirometri Penurunan fungsi paru terbaik diukur dengan spirometri, dilakukan sekurangkurangnya setiap 1 tahun sekali. Kuesioner seperti CAT bisa dilakukan setiap 2 atau 3 bulan. •Gejala Pada setiap kunjungan, tanyakan perubahan gejala dari saat kunjungan terakhir termasuk batuk dan dahak, sesak napas, fatiq, keterbatassan aktivitas dan gangguan tidur. •Merokok Pada setiap kunjungan, tanyakan status merokok terbaru dan paparan terhadap rokok. Pemantauan farmakoterapi dan terapi medis lain Agar penyesuaian terapi sesuai sejalan dengan berjalannya penyakit, setiap follow up harus termasuk diskusi mengenai regimen terapi terbaru. Dosis setiap obat, kepatuhan terhadap



regimen, teknik penggunaan terapi inhalasi, efektivitas regimen terbaru dalam mengontrol gejala dan efek samping terapi harus selalu dalam pengawasan. Modifikasi terapi harus dianjurkan untuk menghindari polifarmasi yang tidak diperlukan. Pemantauan Riwayat Eksaserbasi Evaluasi frekuensi, beratnya dan penyebab terjadinya eksaserbasi. Peningkatan jumlah sputum, perburukan akut sesak napas dan adanya sputum purulen harus dicatat. Penyelidikan spesifik terhadap kunjungan yang tidak terjadwal, panggilan telepon terhadap petugas kesehatan dan penggunaan fasilitas emergensi adalah penting. Tingkat beratnya eksaserbasi bisa diperkirakan dari peningkatan penggunaan obat bronkhodilator atau kortikosteroid dan kebutuhan terhadap terapi antibiotik. Perawatan di rumah sakit harus terdokumentasi, termasuk fasilitas, lamanya perawatan, dan penggunaan ventilasi mekanik. Pada PPOK stabil kronis, perlu dilakukan tes fungsi paru secara periodik untuk mengetahui pengaruh perubahan terapi atau penghentian suatu terapi. Selain itu juga perlu dipantau skor dispnea, kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi, termasuk jumlah masuk RS karena PPOK. Sedangkan untuk eksaserbasi akut, perlu dilakukan evaluasi terhadap hitung leukosit, tanda vital, rontgen dada, dan perubahan dalam frekuensi dispnea, volume sputum, dan purulensi sputum selama terapi eksaserbasi berlangsung. Pada eksaserbasi yang lebih berat, analisa saturasi dan gas darah harus dilakukan.



KASUS 1. DATA PASIEN Nama



: LA HMP



Umur



: 79 tahun



Kerja



: Wiraswasta



2. RIWAYAT SINGKAT Sesak Batuk berlendir (warna kuning) Cepat lelah 3. KONDISI TIBA Suhu



: 39 oc



Tensi



: 140/90



Pernapasan`



: 28 x per menit



Nadi



: 88



4. PEMERIKSAAN KIMIA GLUKOSA DARAH - Sewaktu : 344 mg/dl rujukan - Puasa :rujukan - 2 JAM PP :rujukan 5. DIAGNOSA



: 70-180 mg/dl : 70-110 mg/dl : < 140 mg/dl



PPOK DM tipe 2 Ht. St.1 6. CATATAN DOKTER a. Anamnesis Sesak napas dipengaruhi oleh akifitas dan posisi Batuk-batuk Nyeri dada b. Kondisi Fisik Bp. Br. Vesiculus c. Obat Yang Diberikan J. Aminofilin



1g



J. Ceftriaksone



1g



Captopril



2x1 12,5 mg



Ambrokxol



3x1



J. Novomix



3x4 unit



7. ANALISIS PENGGUNAAN OBAT a. Fungsi Dan Keterangan Tiap Obat Yang Digukan 1). Aminofilin Indikasi



: obstrksi saluran napas reversibel



Peringatan



: penyakit jantung, hipertensi, hipertiroidisme, tukak lambung, gangguan fungsi hati (kurangi dosis, lihat



lampiran 2), epilepsi, kehamilan (lihat lampiran 4), menyusui (lihat lampiran 5), lansia, demam, hindari pada porfiria Interaksi



: menimbulkan efek aditif bila digunakan bersama agonis beta-2 dosis kecil, kombinasi kedua obat tersebut dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping, termasuk hipokalemia.



Efek samping



: takikardia, palpitasi, mual dan gangguan saluran cerna yang lain, sakit kepala, stimulasi sistem saraf pusat, insomnia, aritmia, dan konvulsi terutama bila diberikan melalui injeksi intravena cepat



Dosis



: oral 100-300 mg, 3-4 kali sehari sdsudah makan; injeksi 24 mg/ml



2). Ceftriakson Indikasi



: infeksi bakteri gram (+), dan gram (-)



Peringatan



: sensitivitas terhadap antibakteri beta-laktam (hindari jika ada riwayat hipersensitivitas), gangguan ginjal (lampiran 3), kehamilan dan menyusui (tetapi boleh digunakan), positif palsu untuk glukosa urin (jika diuji untuk penurunan glukosa), positif palsu pada uji coombs.



Kontra indikasi



:



alergi



terhadap



antibiotik



golongan



sefalosporin.



Kontraindikasi untuk bayi di bawah 6 bulan. Efek sampig



: diare dan kolitis yang disebabkan oleh antibiotik (keduany a karena penggunaan dosis tinggi), mual dan muntah, rasa tidak enak pada saluran cerna, sakit kepala, reaksi alergi berupa ruam, pruritus, urtikaria, serum sickness-like reactions dengan ruam, demam dan artralgia, anafilaksis,



sindroma stevens-johnson, nekrolisis epidermal toksis, gangguan fungsi hati, hepatitis transien dan kolestatik jaundice; eosinofil, gangguan darah (trombositopenia, leukopenia,



agranulositosis,



anemia



aplastik,



anemia



hemolitik); nefritis interstisial reversibel, gangguan tidur, hiperaktivitas, bingung, hipertonia dan pusing, nervous. Dosis



: pemberian secara injeksi intramuskular dalam, bolus intravena atau infus. 1 g/hari dalam dosis tunggal. Pada infeksi berat: 2-4 g/hari dosis tunggal. Dosis lebih dari 1 g diberikan pada dua tempat atau lebih. Anak di atas 6 minggu: 20-50 mg/kg bb/ hari, dapat naik sampai 80 mg/kg bb/hari. Diberikan dalam dosis tunggal. Bila lebih dari 50 mg/kg bb, hanya diberikan secara infus intravena. Gonore tanpa komplikasi: 250 mg dosis tunggal. Profilaksis bedah: 1 g dosis tunggal. Profilaksis bedah kolorektal: 2 g.



3). Kaptopril Indikasi



: hipertensi ringan sampai sedang (sendiri atau dengan terapi tiazid) dan hipertensi berat yang resisten terhadap pengobatan lain; gagal jantung kongestif (tambahan); setelah infark miokard; nefropati diabetik (mikroalbuminuri



Kontra indikasi



lebih dari 30 mg/hari) pada diabetes tergantung insulin. : hipersensitif terhadap penghambat ace (termasuk angiodema); penyakit renovaskuler (pasti atau dugaan); stenosis aortik atau obstruksi keluarnya darah dari jantung;



Efek samping



kehamilan : hipotensi; pusing, sakit kepala, letih, astenia, mual (terkadang muntah), diare, (terkadang konstipasi), kram otot, batuk kering yang persisten, gangguan kerongkongan, perubahan suara, perubahan pencecap (mungkin disertai dengan turunnya berat badan), stomatitis, dispepsia, nyeri perut; gangguan ginjal; hiperkalemia; angiodema, urtikaria,



ruam kulit (termasuk eritema multiforme dan nekrolisis epidermal toksik), dan reaksi hipersensitivitas (lihat keterangan di bawah untuk kompleks gejala), gangguan darah



(termasuk



trombositopenia,



neutropenia,



agranulositosis, dan anemia aplastik); gejala-gejala saluran nafas atas, hiponatremia, takikardia, palpitasi, aritmia, infark miokard, dan strok (mungkin akibat hipotensi yang berat), nyeri punggung, muka merah, sakit kuning (hepatoseluler atau kolestatik), pankreatitis, gangguan tidur, gelisah, perubahan suasana hati, parestesia, impotensi, Dosis



onikolisis, alopesia. : hipertensi, digunakan sendiri, awalnya 12,5 mg 2 kali sehari; jika digunakan bersama diuretika (lihat keterangan), atau pada usia lanjut; awalnya 6,25 mg 2 kali sehari (dosis pertama sebelum tidur); dosis penunjang lazim 25 mg 2 kali sehari; maksimal 50 mg 2 kali sehari (jarang 3 kali sehari pada hipertensi berat).



4). Ambroksol Indikasi



: sebagai sekretolitik pada gangguan saluran nafas akut dan kronis khususnya pada eksaserbasi bronkitis kronis dan



Interaksi



bronkitis asmatik dan asma bronkia : pemberian bersamaan dengan antibiotik (amoksisilin sefuroksim,



eritromisin,



doksisiklin)



menyebabkan



peningkatan penerimaan antibiotik kedalam jaringan paruKontra indikasi Efek saming



paru : hipersensitif terhadap ambroksol. : reaksi intoleran setelah pemberian ambroksol pernah dilaporkan tetapi jarang; efek samping yang ringan pada saluran saluran cerna pernah dilaporkan pada beberapa pasien; reaksi alergi (jarang); reaksi alergi yang ditemukan: reaksi pada kulit, pembengkakan wajah, dispnea, demam;



tidak diketahui efeknya terhadap kemampuan mengendarai Dosis



atau menjalankan mesin : dewasa: kapsul lepas lambat 1 kali sehari 75 mg, sesudah makan. Dewasa dan anak di atas 12 tahun:1 tablet (30 mg) 2-3 kali sehari; anak 6-12 tahun: 1/2 tablet 2-3 kali sehari. Sirup tetes (drops): 15 mg/ml drops (1 ml= 20 tetes): anak s/d 2 tahun: 0,5 ml (10 tetes) 2 kali sehari; ambroksol drops dapat dicampur bersama dengan sari buah, susu atau air.sirup 15 mg/5 ml (1 sendok takar = 5 ml): anak usia 612 tahun: 2-3 kali sehari 1 sendok takar; 2-6 tahun: 3 kali sehari 1/2 sendok takar; di bawah 2 tahun: 2 kali sehari 1



/2 sendok takar.



5). Novomix Indikasi Peringatan Efek samping



: diabetes militus. : penggunaan anak jika manfaat mrip insulin soluble : udema sementara, reaksi lokal dan hipertrofi lemak pada daerah injkesi, jarang terjadi reaksi hipersensitifitas termasuk urtikaria, rua, kelebihan dosis menyebabkan



Dosis



hioglikemia. : - dengan injeksi subkutan, segera sebelum makan atau jika diperlukan secepatnya setelah makan, sesuai kebutuhan. - dengan infus subkutan, injeksi intravena atau infus intravena, sesuai kebutuhan.



b. PEMBAHASAN Penyelesaian Kasus dengan Metode SOAP 1). Subyek Nama : TN. LA HMP Umur : 79 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Gejala : Sesak napas yang dipengaruhi oleh aktifitas, batuk berlendir (warna kuning), cepat lelah, dan nyeri dada. Riwayat Pengobata : -



2). Obyektif Hasil pemeriksaan terhadap data-data klinik pasien tersaji pada tabel di bawah ini : Jenis



Data Pasien



Data Normal



Keterangan



Pemeriksaan Tekanan Darah Suhu Tubuh Pernapasan Nadi



140/90 mmHg 39oC 28 kali / menit 88 kali



120/80 mmHg 37oC 12-20 (kali/menit) 60-100 (kali/menit)



Meningkat Meningkat Meningkat Normal



Glukosa darah



344 mg/dl



70-180 mg/dl



Meningkat



sewaktu 3). Assessment Berdasarkan gejala dan pemeriksaan terhadap data klinik pasien maka pasien di diagnosa menderita Ht. Satge 1, DM tipe 2, dan PPOK tingkat III. 4). Planing a. Tujuan terapi 1). Tujuan Terapi Jangka Pendek   



Menghilangkan gejala penyakit dengan cepat Menurunkan kadar glukosa darah tinggi Menurunkan tekanan darah tinggi



2). Tujuan Terapi Jangka Panjang   



Mempertahankan fungsi paru Meningkatkan kualitas hidup Mencegah eksaserbasi



b. Sasaran Terapi 1) Gejala penyakit dari PPOK



2) Menurunkan kadar glukosa darah 3) Menurunkan tekanan darah ringgi c. Strategi Terapi 1) Terapi Farmakologi :  Tiotropium bromida 1 kali sehari kapsul untuk inhalasi 22,5 



mcg Kortikosteroid inhalasi dosis rendah Beklometason



   



Dipropionat aerosol inhalasi 200 mcg 2 kali sehari. Ambroksol kapsul lepas lambat 75 mg 1 kali sehari Ceftriakson injeksi intramuskular atau infus 1 g/hari Captopril 12,5 mg 2 kali sehari Novomix insulin aspart injeksi subkutan, intravena atau infus



intravena. 2) Terapi Non Farmakologi :  Rehabilitasi  Konseling nutrisi  Eduksi c. Monitoring 1). Pemantauan progresifitas penyakit dan komplikasi  Spirometri, Penurunan fungsi paru terbaik 



diukur



dengan



spirometri. Gejala, Pada setiap kunjungan, tanyakan perubahan gejala dari saat kunjungan terakhir termasuk batuk dan dahak, sesak napas, fatiq,







keterbatasan aktivitas dan gangguan tidur. Merokok, Pada setiap kunjungan, tanyakan status merokok terbaru dan paparan terhadap rokok.



2). Pemantauan farmakoterapi dan terapi medis lain Agar penyesuaian terapi sesuai sejalan dengan berjalannya penyakit, setiap follow up harus termasuk diskusi mengenai regimen terapi terbaru. Dosis setiap obat, kepatuhan terhadap regimen, teknik penggunaan



terapi



inhalasi,



efektivitas



regimen



terbaru



dalammengontrol gejala dan efek samping terapi harus selalu dalam



pengawasan. Modifikasi terapi harus dianjurkan untuk menghindari polifarmasi yang tidak diperlukan. 3). Pemantaua riwayat eksaserbasi Evaluasi



frekuensi,



beratnya



dan



penyebab



terjadinya



eksaserbasi. Peningkatan jumlah sputum, perburukan akut sesak napas dan adanya sputum purulen harus dicatat. Penyelidikan spesifik terhadap kunjungan yang tidak terjadwal, panggilan telepon terhadap petugas kesehatan dan penggunaan fasilitas emergensi adalah penting. Tingkat beratnya eksaserbasi bisa diperkirakan dari peningkatan penggunaan obat bronkhodilator atau kortikosteroid dan kebutuhan terhadap



terapi



terdokumentasi,



antibiotik. termasuk



Perawatan fasilitas,



di



rumah



lamanya



sakit



harus



perawatan,



dan



penggunaan ventilasi mekanik 4). Pemantauan kormobid Komorbid biasa ditemukan pada pasien dengan PPOK, memperbesar ketidakmampuan yang berhubungan dengan PPOK dan potensial menimbulkan penatalaksanaan menjadi lebih kompleks.



DAFTAR PUSTAKA Khotimah, Siti. 2013. Latihan Endurance Meningkatkan Kualitas Hidup Lebih Baik Dari Pada Latihan Pernafasan Pada Pasien PPOK Di Bp4 Yogyakarta. Sport and Fitness Journal Volume 1, No. 1 : 20 – 32



Soeroto, A.Y., Suryadinata, H. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. JURNAL Ina J Chest Crit and Emerg Med. VOL.1 (2). Prodyanatasari, A. 2015. Optimalisasi Energi Gelombang Elektromagnetik Melalui Terapi Infrared Pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Jurnal Wiyata, Vol. 2 (1). Naser, F.E., Medison, I., Erly. 2016 Gambaran Derajat Merokok Pada Penderita PPOK Di Bagian Paru RSUP Dr. M. Djamil. Jurnal Kesehatan Andalas VOL. 5(2) Tarigan, H.N. 2015. Pengaruh Posisi Ortopnea Terhadap Penurunan Sesak Napas



Pada



Pasien



Asma



Di



Rsud



Deli



Serdang



Lubuk Pakam. Jurnal Ilmiah Rogram Studi Ilmu Keperawatan. VOL.4(3) Perhimpunan Dokter Paru Indonesi. 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia.