Makalah Filsafat Islam Tokoh Ibn 'Arabi-1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

IBN ‘ARABI Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Filsafat Islam” Dosen Pengampu: Akhmad Hasan Saleh, S.Pd.,MPI.



Disusun Oleh: Dewi Laila Wati



(933415019)



Anita Kholifah Al Amin



(933415519)



Fabi Annisa Farikha



(933416319)



Siti Nihayatun Nikmah



(933416619)



PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI 2021



KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Sholawat serta salam semog aselalu terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya di akhirat kelak. Selain itu, kami juga ingin mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yanng lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf. Kediri, 14 Maret 2021



Penulis



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesatnya perkembangan pemikiran dalam Islam menyebabkan dikenalnya para tokoh sufi dengan pemikiran-pemikirannya yang luar biasa. Berbagai ajaran mereka memberikan peranan yang sangat penting dalam sejarah umat Islam serta berpengaruh kuat dikalangan umat Islam sampai saat ini. Dengan keluasan pengetahuan agama mereka, keahalihan dan sikap hidup mereka yang diliputi kezuhudan, membuat para pengagum mereka tertarik untuk mengikuti dan meneladaninya. Ajaran yang mereka sampaikan menjadi pelita hati dan penerang jiwa bagi pengikutnya dalam rangka mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Salah satu seorang tokoh sufi yang pemikirannya sangat mengagumkan yaitu Ibn ‘Arabi. Doktrin Wahdatul Wujud dari Ibn'Arabi memberi para sufi berbagai ide. Dan juga merupakan tokoh tasawuf yang fenomena dalam peradaban islam. Pemikirannya juga spiritualis yang berkelahiran Spanyol kali ini menghentak-hentak kesadaran da kemapanan. Terutama topik tentang hakikat dan makna hidup yang tidak ada habisnya. Karena terpinggirkannya pemikiran dan ajaran Ibn ‘Arabi adalah terbatasnya para pengikutnya dan literatur yang tersebar dan karakteristik dengan bahasa agama yang berbenturan dengan bahasa budaya perpaduan dan tradisi tasawuf dengan mengekspresikan pengalaman penghayatan komitmen dan konsep keragaman dimensi metafisis transendental. Ibnu 'Araby dikenal luas sebagai ulama besar yang banyak pengaruhnya dalam percaturan intelektualisme Islam. Ia memiliki sisi kehidupan unik, filsuf besar,ahli tafsir paling teosofik, dan imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali. Lahir pada 17 Ramadhan 560 H/29 Juli 1165 M, di Kota Marsia, ibukota Andalusia Timur (kini Spanyol), Ibnu 'Araby bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim. Tumbuh besar di tengah-tengah keluarga sufi, ayahnya tergolong seorang ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan materialisme, menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan. Sementara ibunya bernama Nurul Anshariyah. Pada 568 H keluarganya pindah dari Marsia ke Isybilia. Perpindahan inilah menjadi awal sejarah yang mengubah kehidupan intelektualisme 'Araby, terjadi transformasi pengetahuan dan kepribadian Ibnu'Araby. Kepribadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih dan sastra. Karena itu, tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli dan pakar ilmu-ilmu Islam, tetapi juga ahli dalam bidang astrologi dan kosmologi. B. Rumusan Masalah 1. Jelaskan definisi epistemologi ajaran Ibn ‘Arabi? 2. Jelaskan psikologi menurut Ibn ‘Arabi? 3. Jelaskan definisi mistisisme dalam islam? 4. Jelaskan mistisisme menurut Ibn ‘Arabi?



C. Tujuan 1. Memahami definisi epistemologi ajaran Ibn ‘Arabi. 2. Memahami psikologi menurut Ibn ‘Arabi. 3. Memahami definisi mistisisme dalam islam. 4. Memahami mistisisme menurut Ibn’Arabi.



BAB II PEMBAHASAN A. Epistemologi Ajaran Ibn ‘Arabi Epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. “Episteme” artinya pengetahuan, sedangkan “logos” biasa dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Blackburn Indonesia menjelaskan bahwa Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Dengan demikian epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik. Karena juga membahas tentang kebenaran, maka epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran atau ilmu tentang metode (cara) berpikir. Dan logika dibagi ada dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya. Seperti silogisme. Sedangkan logika mayor mempelajari tentang pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi. Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan. Dalam kajian Islam, dikenal tiga epistemologi yakni bayani, burhani, dan irfani. Epistemologi bayani ialah metode khas pemikiran Arab yang menyandarkan kebenaranya pada teks (nas) baik secara langsung maupun tak langsung dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal). Epistemologi burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks atau nas, namun mendasarkan diri pada observasi empiris dan inferensi rasional, karena sumber pengetahuannya adalah rasio, bukanlah teks atau intuisi (ilham). Adapun epistemologi irfani (gnosis), irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung, melalui penyinaran langsung atau kasf dari Allah kepada hamba-Nya. Instrumen yang digunakan dalam epistemologi ini ialah intuisi yang bersumber dari hati. Untuk mencapai kasyf atau penyingkapan langsung dari Allah ini, hati sebagai sumber pengetahuan harus dilatih terlebih dahulu dengan cara mujahadah dan menjalankan laku asketik melalui tahapantahapan tertentu. Ibnu Arabi banyak membahas mengenai penyucian diri yang berdampak pada kesucian hati dan ruhani. Menurutnya hati dapat menangkap realitas ketuhanan yang diperoleh melalui musyahadah atau tajalli-Nya. Akan tetapi sebelum hati dapat menerima realitas tersebut hati mesti terlebih dahulu disucikan dari kekotorannya. Ibnu Arabi menegaskan bahwa hati yang dimaksud disini ialah hati dalam arti ruhani bukan dalam bentuk fisikknya. Karena mustahil Tuhan dapat bersanding dengan sifat fisik atau materi.



Ibnu Arabi tetap berpedoman pada kaidah agama yakni dengan mendahulukan syari’at, karena bagaimanapun syari’at merupakan identitas agama Islam. Ia mengatakan bahwa setiap syariat tanpa hakikat adalah kosong, dan hakikat tanpa syariat adalah batal. Baik dalam menjalankan ber-Islam, iman apalagi ihsan, ketiganya harus dilandasi terlebih dahulu dengan taubat, lalu berikutnya berusaha dengan sungguh-sungguh baik dengan amalan sunnah, wajib, dan amalan lahir dan batin lainnya. Untuk sampai pada maqam qurubat (kedekatan) ialah dengan melalui enam titian, yaitu: 1. Memutuskan anggota badan dari melanggar syariat-syariat, 2. Memutuskan nafsu dari adat kebiasaan, 3. Memutuskan nafsu dari pergerakan manusiawi, 4. Memutuskan rasa dari kekotoran adati, 5. Memutuskan ruh dari kerusakan yang datang dari indera, 6. Memutuskan akal dari khayalan semu. B. Psikologi Menurut Ibn ‘Arabi Psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, Psyche berarti jiwa dan logia berarti ilmu. Secara etimologis, psikologi dapat diartikan dengan ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Psikologi memiliki akar dari bidang ilmu filsafat yang diprakarsai sejak zaman Aristoteles sebagai ilmu jiwa, yaitu ilmu untuk kekuatan hidup (levens beginsel). Ibn ‘Arabi dalam teorinya terkenal dengan pembahasan tentang manusia. Salah satunya mengenai tentang pembahasan manusia yang di dalamnya terdapat jiwa. Jiwa merupakan sesuatu yang mutlak sebagai pemberian dari sang pencipta. Ibn’Arabi mengaplikasinya teorinya ke dalam buku-bukunya, bahwa manusia dengan segala rahasianya telah banyak dikaji dan diteliti kembali tentang hakikat manusia yang memiliki unsur jiwa. Dalam diri manusia setidaknya terdapat 3 unsur utama antara lain jiwa, tubuh, akal dan badan. Jiwa merupakan komponen yang paling utama dalam menjalankan kehidupan yang lebih baik. Pemahaman tentang berbagai ajaran Ibn Arabi selalu didasarkan pada al Quran dan Hadist. Al Quran merupakan kitab Allah yang menjadi petunjuk dan bimbingan bagi umat manusia seluruhnya. Al Quran dengan berbagai ayat mengajak manusia agar menggunakan kemampuannya untuk mengamati dan merenungkan segala peristiwa yang memang telah terjadi dialam ini, bahkan tentang hal ihwal yang ada pada dirinya sendiri. Karena didalamnya terdapat bukti - bukti tentang adanya Allah SWT. Pembicaraan Ibn ‘Arabi tentang ruh dan jiwa tidak dapat dipisahkan dari pembahasannya tentang Ruh Ilahi dalam kisah penciptaan Adam yang termuat di dalam al-Qur’an karena asal setiap ruh adalah Ruh Ilahi yang kadangkala disebut ruh bersambung, karena Allah menyambungkannya dengan diri-Nya. Ibn ‘Arabi memahami bahwa peniupan ruh-Nya kepada manusia adalah suatu pemberian yang mulia dan istimewa, serta tidak diberikan oleh Allah kepada makhluk-makhluk lain. Dalam pandangan Ibn ‘Arabi kata hati hanyalah lambang untuk aspek rasional dari ruh atau jiwa manusia. Ibn ‘Arabi menurut thesis platonius mengarahkan bahwa jiwajiwa partikular itu adalah suatu ragam dari semua jiwa. Ibn ‘Arabi menggunakan analogi sebagai kekuatan jiwa universal. Ibn ‘Arabi mengartikan bahwa hati pada



hakekatnya sama dengan jiwa universal. Meskipun secara konsepsional itu memang berbeda, bahwa jiwa universal berfungsi melalui tubuh namun tidak menggunakan eksistensinya sebagai jiwa,sedangkan jiwa rasional sebagai ragam dan cara bertindak sesuai keinginan hawa hafsunya. Buah pemikiran Ibn ‘Arabi seperti A.E afifi memahami tentang adanya bagian 3 jiwa yakni jiwa vegetative, jiwa hewan dan jiwa rasional yang tidak mengidentifikasikan sebagai intelek (yang mampu memahami kesadaran diri atas jiwanya tersebut). Pemahaman tentang jiwa vegetatif yaitu untuk mencari makanan dan mengaplikasikanya menjadi organisme, jiwa ini merupakan salah satu yang memiliki empat kekuatan yang mendorong fisik untuk bergerak. Jiwa rasional merupakan ruh murni yang pada dasarnya bersifat cerdas. Hubungan ketiga jiwa tersebut ada dalam satu fisik manusia. Adanya perbuatan dosa diakibatkan oleh konflik yang timbul dari jiwa rasional dan tubuh manusia. Ibn ‘Arabi memandang realitas sebagai salah satu wujud trandensinya kepada Allah. Ia percaya bahwa pada hakikatnya realitas adalah satu. Yang disebut sebagai cahaya (Al-Nur). Di dalam diri manusia cahaya ini mengambil bentuk jiwa rasional (al ruh). Dalam jiwanya ia memahami, mendengar, merasakan, mengecap, dapat berfikir tentang realitas dunia, membayangkan dan menerima dengan semua alat indera .Dengan kata lain Tuhan adalah semua yang memahami dan dipahami, apabila sesuatu itu tidak dapat dipahami oleh akal (mind) dari sesuatu (tidak harus akal manusia), Maka hal itu bukan suatu realita sama sekali. Jiwa itu mempunyai empat kekuatan antara lain : penarik, penahan retensi, pencernaan dan pengusiran. Hal tersebut di lakukan manusia untuk membantu kelangsungan hidup terlepas dari kebutuhan fisiologisnya maupun kehdiupan untuk berinteraksi dengan lingkunganya. Tanpa empat kekuatan tersebut, manusia tidak mampu untuk memanifestasikan kehidupanya kepada alam karena manusia membutuhkan empat kekuatan tersebut untuk melanjutkan kehidupanya. Mengenai Jiwa hewan oleh Ibn ‘Arabi dipandang sebagai uap yang sangat halus yang berada dalam hati (hati fisik). Jiwa hewani ini bertugas dalam fisik tubuh, seperti dukungan panca indra, penglihatan, pendengaran, penciuman, bergerak dan dorongan seksual. Serta jiwa ini berbentuk materi yang dijumpai didalam semua binatang termasuk manusia. Sedangkan jiwa rasional, menurut Ibn ‘Arabi adalah ruh murni. Yang pada dasarnya merupakan kognisi dan dilahirkan murni yang terlepas dari dosa (dosa diakibatkan oleh konflik yang timbul di antara jiwa rasional dengan tubuh manusia). Jiwa rasional tidak dapat hancur dan akan tetap abadi. Menurut pemikiran Ibn ‘Arabi manusia dengan kebutuhan jiwanya mampu untuk memahami kebutuhanya sendiri, atas jiwa hewani, jiwa vegetative dan jiwa rasional. Dengan demikian, manusia mampu berusaha mendekatkan diri kepada-Nya dan meningkatkan spiritualitas akan kebutuhan jiwanya, karena bagaimana pun juga manusia masih membutuhkan jiwa yang sehat agar dapat mencapai keinginan puncak nya dalam hidup individualitas. Dan dari ketiga jiwa itu jika manusia mampu memenuhi secara sempurna dimungkinkan manusia tersebut dapat dikatakan sebagai manusia sempurna, dengan jiwa yang sudah terpenuhi secara baik dan benar.



Manusia di katatakan sebagai manusia sempurna sudah pasti jiwanya yang bersih dan terlepas dari jiwa-jiwa yang negatif. Jiwa yang sempurna yaitu mereka yang telah mampu meningkatkan spiritualitas yang tinggi dan mencapai kebahagiaan yang tentram. Manusia sempurna yaitu seorang yang menyatu dan melebur dengan jalan spiritual dan mencapai tahap puncak pencerahan yang di dalamnya tidak tersisa lagi egonya serta tidak ada pertentangan antara jalan dan dirinya. Ibn ‘Arabi dalam corak pemikiran nya telah membahas tentang jiwa yang mendasarkan pandangannya pada sebuah hadis yang berbunyi: “Orang yang mengenal dirinya mengenal Tuhannya”. Menurut Ibn ‘Arabi, manusia harus meninggalkan upaya sia-sia untuk mengetahui Sang Mutlak dan bahwa manusia harus kembali kepada kedalaman diri kita sendiri, dan mencapai Sang Mutlak sebagaimana Ia memanifestasikan diri Nya. Dalam pandangan dunia Ibn ‘Arabi, segala sesuatu bukan hanya diri manusia melainkan semua yang mengitari manusia nya, merupakan suatu bentuk aneka ragam manifestasi diri ilahi. Bagaimanapun tidak semua pengetahuan-diri manusia berujung kepada batas terakhir pengetahuan Sang Mutlak. C. Mistisisme Dalam Islam Menurut asal katanya, kata mistik berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen), gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld). Mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Mistisisme atau tasawuf mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Term mistisisme dalam dari kata mistic tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan mistis, yakni hal-hal tidak nampak dan tidak terjangkau dengan akal manusia biasa. Term mistic dan mistis inilah, selanjutnya menjadi mistisisme dan bergandengan dengan Islam dengan sebutan “mistisisme Islam”, yang merupakan istilah khusus ditujukan kepada orang-orang Islam yang mendalami tasawuf, di mana dalam literatur Barat disebut dengan istilah sufisme. Jadi, istilah sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Dalam literatur Islam, mistisisme disebut dengan al-tasawwuf, yang dalam bahasa Indonesia disebut tasawuf (tanpa alīf-lām). Untuk merumuskan pengertian tasawuf, atau mistisisme Islam terdapat kesulitan. Alasannya, ia berpangkal pada pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan, karena masing-masing orang yang mengalaminya mempunyai penghayatan yang berbeda dari orang lain sehingga pengungkapannya juga melalui cara yang berbeda. Maka muncullah definisi tasawuf sebanyak orang yang mencoba menginformasikan menurut pengalaman rohaniahnya itu. Kesulitan mendefinisikan tasawuf di samping faktor yang disebutkan di atas, juga karena ciri tasawuf yang intuitif subjektif, dipersulit lagi karena pertumbuhan dan kesejarahan tasawuf yang melalui berbegai segmen dan dalam kawasan kultur yang bervariasi. Dalam setiap



fase dan dalam setiap kawasan kultur, kemunculan tasawuf terlihat hanya sebagian dari unsur-unsurnya saja sehingga penampilannya tidak utuh dalam satu ruang dan waktu yang sama. Dari unsur-unsur yang berserak itulah kemudian disistematisir satu disiplin ilmu yang disebut tasawuf. Tepatlah kiranya bila Harun Nasution menyatakan bahwa tasawuf atau sufisme, merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah. Masih dalam masalah pengertian tasawuf, Ibrāhim Basyūni menurut koleksinya terdapat kurang lebih 40-an definisi tasawuf. Namun, dari sekian banyaknya definisi tersebut lebih lanjut ia menyadur batasan tasawuf ke dalam tiga definisi, yakni albidāyat, al-mujāhadāt dan al-mażāqāt. Yang dimaksudkan al-bidāyat adalah bahwa tasawuf merupakan prinsip awal sebagai manifestasi dari keseluruhan spritual manusia tentang dirinya. Jadi, tasawuf di sini adalah sebagai upaya memahami hakikat Tuhan seraya melupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kesenangan hidup duniawi. D. Mistisisme Menurut Ibn ‘Arabi Muhyiddin Ibn Arabi lahir di Murcia, Andalusia pada tahun 1165 M, konon sejak ia masih muda ia telah menunjukkan bakat-bakat intelektual dan spiritual yang mengagumkan. pada catatan William Chittick (2001) diungkapkan bahwa pada tahun 1200 Ibn Arabi mengungkapkan mimpinnya untuk pergi ke Timur, dan dua tahun kemudian ia menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Dari Mekkah kemudian melakukan serangkaian lawatan ke berbagai kota di pusat-pusat wilayah Islam, setelah tinggal beberapa saat di Damaskus, Ibn Arabi wafat pada tahun 1240 pada usia 75. Sementara itu, kajian tentang Ibn Arabi, dari dulu hingga sekarang, selalu sarat dengan perdebatan panjang dan kontroversial, terutama mengenai aspek keislamannya. Banyak anggapan dari sebagian kalangan bahwa Ibn Arabi adalah kafir, bahkan menjadi atheis, namun ada juga sebagian yang lain menganggap bahwa Ibn Arabi adalah maha guru di dunia sufi. Hal ini dapat dikatakan wajar karena luasnya gagasan pemikiran yang dimiliki oleh beliau, beliau telah menulis tak kurang lebih 500 buku yang hingga sampai saat ini masih eksis dikaji oleh akademisi dan peminat mistisisme Islam di seluruh dunia . Sejarah perjalanan Ibn Arabi dapat dilihat dari dua fase, Yakni saat berada di Andalusia dan saat ia mematangkan pengetahuan sufistiknya di Timur. Dalam dua fase ini, Ibn Arabi menyaksikan kondisi umat Islam yang sangat memprihatinkan. Baik Islam bagian Barat maupun bagian Timur yang banyak mengalami kehancuran yang serupa. Kondisi ini disebabkan oleh adanya disintegrasi umat Islam dalam aspek pemikiran maupun politik. Hal ini tentu saja menjadikan konstruksi pemikiran Ibn Arabi yang mampu membawa persatuan umat Islam melalui gagasan-gagasannya yang sangat luas dan universal, karena harus disadari bahwa Ibn Arabi adalah anak zaman yang tidak bisa lepas dari konteks sosio-historis dari kehidupannya. Tuhan selalu menarik diperbincangkan. Hampir tak ada wacana yang begitu intens dibicarakan dari waktu ke waktu selain wacana tentang Tuhan. Mengapa persoalan Tuhan menduduki porsi yang sedemikian istimewa dalam perbincangan manusia? Hal ini menjadi pertanyaan besar. Sebagian orang menyebut bahwa pada



kodratnya manusia adalah homo relegious, makhluk yang memiliki naluri religius (alFayyadl, 2012). Secara esensial, pemikiran islam dimulai dengan apa yang diketahui dengan pasti. Pertanyataan ini hanya dapat dijawab dengan Hakikat Tuhan, sebagaimana diekspresikan dalam penggalan syahadah yang pertama, “ Tidak ada Than selain Allah”. Secara umum, kepastian ini dipandang sebagai lebih berat kecenderungannya kepada setip bentuk pertimbangan lain, tidak semata-mata pada klaim-klaim ego terhadap pengetahuan obyektif. Hanya al-Haqq yang jelas dan pasti. Segala hal yang selain-Nya tidak jelas, kaur dan tidak jelas. Namun demikian, segala realitas kosmos selalu memiliki hubungan dengan tuhan. Tuhan sebenarnya adalah wujud objektif yang kongkrit. Sebagaimana persepsi, intuisi memberikan data bagi pengetahuan. Kehadiran Tuhan secara langsung singgah dalam hati dan Dia dapat dipahami dengan cepat. Jadi sebagaimana diungkapkan Ibn ‘Arabi, Tuhan adalah suatu “persepsi” dan bukan suatu konsepsi. Konsep ketuhanan Ibn ‘Arabi ada dua tema yaitu: Perama, konsep Wujud. “wujud” dan “Tuhan adalah wujud mutlak” mempunyai dua pengertian yang berbeda, yang mendasar dalam memahami wujud sebagai suatu konsep yakni ide tentang wujud atau eksistensi. Bisa berarti yang mempunyai wujud, yalni apa yang ada atau yang hidup. Istilah wujud secara tipikal diterjemahkan ke dalam bahasa inggris degan being atau existence. Namun, engertian dasar istilah itu adalah menemukan atau ditemukan. Sekalipun Ibn ‘Arabi menggunakan kaa wujud dalam pengertian yang beragam, dia memahami istilah tersebut dengan satu pengeria fundamental, kemudian menyajikan fakta bahwa wujud adalah satu. Pada tingkatan tertinggi, wujud adalah realitas Tuhan yang absolut dan tak terbatas, yakni wujud niscaya (Wajib al-Wujud). Dalam pengertian ini, wujud menandakan Esensi Tuhan atau Hakikat. Satu-satunya realitas yang nyata di setiap sisi. Kedua, konsep Kesatuan Wujud. Di dalam sumber-sumber kepustakaan Islam klasik, Ibn ‘Arabi sangat sering dikenali sebagai pencetus pertama doktrin wahdatul wujud, kesatuan wujud atau kesatuan eksistensi. Ekspresi ini tidak ditemukan dalam karya yang khusus menampilkan sudut pandangnya kebanyakan bukn karena isi dari tulisan-tulisannya, karena perhatian para pengikutnyaah dan arah pemikiran islam yang berkembang setelah dirinya. Teori kesatuan wujud ini menggambarkan penciptaan alam semesta sebagai hasil dari kecintaan Tuhan untuk berkarya. Melalui karyanya, Tuhan akan mengetahui penampakannya dalam wujud yang mampu menyandang semua sifat-Nya. Wujud tersebut bukanlah wujud baru dalam pengetahuan Tuhan, melainkan telah bersatu dengan-Nya semenjak zaman azali dalam nafas-Nya. Penciptaan bukanlah mengadakan sesuatu yang sebelumya tidak pernah ada. Ia hanya sekedar menampakkan apayang telah ada dalam diri Tuhan. Alam adalah dahulu yang tidak diciptakan dari ketiadaan. Doktrin wahdatul wujud Ibn ‘Arabi ini menegaskan bahwa wujud dalam pengertian yang sebenarnya adalah realitas tunggal dan tidak dapat menjdi dua wujud. Di sini Ibn ‘Arabi mengikuti jejak-jejak sejumlah pemikir yang lebih awal, seperti alGhazali, yang mengomentari ungkapan tentang keesaan Tuhan, seperti “Tiada Tuhan selain allah” ini berarti bahwa “Tiada ada wujud selain Tuhan”. Ibn ‘Arabi merupakan



pioner dalam meletakan dasar ahdatul wujud secara matang dan utuh. Teori ini tidak dikenal dalam sejarah pemikiran islam sebelum kedatangan Ibn ‘Arabi. Selain itu, perkataan-perkataan al-Hallaj dan Abu Yazid al-Busthami yang kelihatannya menterupai teori wahdatul wujud, tidak bisa dikatakan sebagai ekspresi akan kebenaran teori ini. Keduanya hanyalah satrawan yang sedang mengungkapkan kecintaannya secara berlebihan kepada Sang Maha Kuasa hingga tidak ada yang tampak oleh keduanya selain Tuhan, dengan merasakan dirinya seolah-olah telah sirna dan menyatu dengan Tuhan.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Epistemologi dalam kajian Islam, dikenal tiga epistemologi yakni bayani, burhani, dan irfani. Epistemologi bayani ialah metode khas pemikiran Arab yang menyandarkan kebenaranya pada teks (nas) baik secara langsung maupun tak langsung dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal). Epistemologi burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks atau nas, namun mendasarkan diri pada observasi empiris dan inferensi rasional, karena sumber pengetahuannya adalah rasio, bukanlah teks atau intuisi (ilham). Adapun epistemologi irfani (gnosis), irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung, melalui penyinaran langsung atau kasf dari Allah kepada hambaNya. Psikologi memiliki akar dari bidang ilmu filsafat yang diprakarsai sejak zaman Aristoteles sebagai ilmu jiwa, yaitu ilmu untuk kekuatan hidup (levens beginsel). Ibn ‘Arabi dalam teorinya terkenal dengan pembahasan tentang manusia. Salah satunya mengenai tentang pembahasan manusia yang di dalamnya terdapat jiwa. Jiwa merupakan sesuatu yang mutlak sebagai pemberian dari sang pencipta. Ibn’Arabi mengaplikasinya teorinya ke dalam buku-bukunya, bahwa manusia dengan segala rahasianya telah banyak dikaji dan diteliti kembali tentang hakikat manusia yang memiliki unsur jiwa. Dalam diri manusia setidaknya terdapat 3 unsur utama antara lain jiwa, tubuh, akal dan badan. Mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Mistisisme atau tasawuf mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.



DAFTAR PUSTAKA HarunNasution. (1973). Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Husain, M. S. (1977). Ibn al Arabi. Lahore: SHM Ashraf. Maulana, M. P. (2018). Filsafat Ketuhanan Ibn Arabi. Jakarta: Yaqzhan. Meldayati, R. (2016). Psiko-Ekologi Perspektif Ibn Arabi. Tangerang: Young Progressive Muslim. Putri, W. A. (2019). Jiwa Manusia Dalam Pemikiran bn Arabi Perspektif Psikologi Transpersonal. Surabaya: UIN Sunan Ampel.