MAKALAH Hukum & Kebijakan Publik 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH



ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK “LAIN LUBUK LAIN IKANNYA LAIN PADANG LAIN BELALANGNYA



DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG” Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum dan Kebijakan Publik



Dosen Pengampu : Dr. Alwi Jaya, S.H., M.H.



Oleh : NAMA



: AHMAD JUMADIL, S.H.



STAMBUK : 05. MH. 20. 0003 PROGRAM PASCA SARJANA ( S2 ) ILMU HUKUM SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM ( STIH ) PENGAYOMAN WATAMPONE 2020/2021



KATA PENGANTAR Puji dan syukur dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T. karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, makalah ini dapat hadir dihadapan pembaca. Adalah hanya dari pertolongan dan izin Allah, Disamping itu Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W. beserta keluarganya dan para shahabatnya yang dengan penuh kesetiaan telah mengobarkan syi’ar Islam yang manfaatnya masih terasa hingga saat ini. Makalah yang berada dihadapan pembaca ini membahas tentang ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK “LAIN LUBUK LAIN IKANNYA LAIN PADANG LAIN BELALANGNYA, DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG” ” Dan kami berharap, semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi para pembacanya dan bernilai ibadah bagi penulisnya. Adalah sebagai konsekwensi logis bahwa bila nantinya disana-sini akan didapati beberapa cacat, kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini, kami selaku penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Akhirnya, dengan segala kerendahan segala bentuk saran maupun kritik dari pihak manapun. Juga tak lupa penulis sampaikan beribu-ribu terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini. Paling terakhir, hanya kepada Allah penulis panjatkan rasa syukur dan hanya kepadaNya pula urusan penulis kembalikan. Mudah-mudahan makalah ini dapat memenuhi keperluan pembaca dan semoga berguna sesuai tujuan untuk kepentingan Agama, Bangsa, dan Umat Islam pada umumnya. Dan sekali lagi kami berharap supaya mak



alah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya dan



amal ibadah bagi penulisnya.Amin…..Ya Rabbal ‘Alamiin.



Watampone , 22 April 2021



Penulis



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii DAFTAR ISI ....................................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 A. Latar Belakang



............................................................................................ 1



B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN



............................................................................................ 3



A. Penerapan Falsafah Budaya Minang .................................................................. 3 B. Contoh Tauladan Sikap dan Perilaku .................................................................. 3 C. Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung ................................................. 4 D. Lain Padang Lain Belalang, Lain Lubuk Lain Ikannya ...................................... 4 BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 9 A. Kesimpulan ......................................................................................................... 9 B. Saran .................................................................................................................. 9 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 10



ii



BAB  I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang



Setiap masyarakat di kebudayaan mana pun memiliki falsafah hidup sebagai kearifan lokal yang menjadi acuan dalam berpikir, bertindak dan berperilaku dalam kehidupan sosialnya. Pada umumnya falsafah hidup ini berupa ungkapan-ungkapan simbolik yang memiliki makna sesuai dengan konteksnya. Falsafah hidup merupakan bagian dari kebudayaan secara keseluruhan. Oleh karena itu, falsafah hidup tidak terlepas dari konsep kebudayaan yang pada hakekatnya merupakan konsep semiotik sekaligus merupakan jaringan-jaringan makna, dimana manusia yang membuat jaringan-jaringan itu tergantung (Geertz, 1973:5). Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat telah dikenal menganut system kekerabatan menurut garis keturnuan ibu (matrilenial kinship system). Salah satu konsekuensi kulturalnya adalah mewajibkan para kaum laki-laki untuk merantau biasanya dimualai sejak setelah lulus pendidikan tingkat SLTP atau SLTA mereka sudah mulai berangkat ke kota lain. Bagi laki-laki Minangkabau merantau merupakan cara paling ideal untuk meraih kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya untuk memperoleh kekayaan dan pengetahuan melainkan juga untuk meraih prestise serta kebanggaan pribadi (Hastuti, 2015:3). Merantau juga memiliki makna sebagai ajang pembuktian diri seseorang. Dengan berhasil merantau, maka seseorang berharap dapat dianggap mandiri oleh orang-orang di kampungnya dan menjadi prestise tersendiri bagi dirinya (Marta, 2014:34). Sebagai perantau, mereka harus memegang teguh dan mewujudkan makna nilai-nilai budaya yang berlaku pada semua orang Minangkabau, yaitu “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjuang” (di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung). Ungkapan ini merupakan mengangndung nilai-nilai sebagai etika sosial, khususnya bagi perantau Minangkabau dalam hal berpikir, berperilaku, dan bertindak yang harus ditaati. Kemana dan di mana pun orang Minangkabau merantau mereka harus menjalin interaksi dengan orang atau komunitas lain. Dalam proses interaksi ini mereka harus bisa dan mampu beradaptasi dalam arti menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan sosial setempat, yang mencakup ii



adat-istiadat, tradisi-tradisi, kebiasaankebiasaan,serta etika-etika dalam pergaulan sosial lainnya. Menyesuaikan diri dalam arti harus pandai-pandai membawakan diri agar dalam proses interaksi itu dapat terbangun suatu kehidupan harmonis dan damai tanpa konflik. Konsekuensi kultural lain dari system kekerabatan matrilineal (matrilineal kinship system), setiap kamanakan (anak-anak dari garis keturunan ibu) harus dibimbing oleh mamak (saudara laki-laki dari pihak ibu) terutama dalam hal pengasuhan, pendidikan, dan semua aspek kehidupan yang lain. Dengan demikian, pihak ayah hanya berfungsi dan berperan mengawasi anak-anak mereka. Demikian, seterusnya hal ini berlaku dan berlangsung secara tutun-temurun. Dalam budaya Minangkabau disebut: anak dipangku, kamanakan dibimbing (Amir: 2014; Amri: 2000; Thaher: 2006; Kato: 2005). Berdasarkan uraian tersebut dua hal penting yang dihadapi oleh perantau Minangkabau di kota Surabaya yaitu proses adaptasi, dan peran mamak – yang digantikan oleh pihak ayah – dalam hal pengasuhan, bimbingan, serta pendidikan anak-anak mereka.



B. Rumusan Masalah Dalam kehidupan ini satu hal yang pasti yang akan terjadi adalah perubahan dan akan selalu berganti dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman baik itu ilmu pengetahuan bahkan teknologi yang dialami oleh masyarakat, perkembangan tersebut mangakibatkan perubahan pada kehidupan mereka. Termasuk kebudayaan dan tradisi yang hidup di tengahtengah masyarakat juga ikut mengalami perubahan akibat perkembangan zaman. Tradisi Alek Bakajang ini adalah sebuah tradisi manjalang mamak pada masyarakat Gunung Malintang yang sampai saat ini masih bertahan, yang menjadi pokok dari permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana masyarakat Gunung Malintang menjadikan tradisi manjalang mamak mamak ini begitu megah dan banyak menghabiskan biaya, dengan menggunakan perahu sampan yang di hiasi menyerupai kapal pesiar, sebelum lebih lanjut lagi, penulis ingin menjelaskan bahwa sampan yang dihias bukan untuk manjalang mamak dengan menggunakan perahu tapi hanya sebagi simbol kebesaran nenek moyang pada zaman dahulu, karna sampan adalah satu-satunya alat transportasi yang di gunakan pada zaman itu dan sampan yang di hiasi menyerupai kapal pesiar itu hanya sebagai acara hiburan bagi masyarakat Gunung Malintang setelah manjalang mamak selesai. Maka dari itu, penelitian ini mencoba mempelajari bagaimana tradisi manjalang mamak yang menghabiskan banyak biaya ini bisa terjadi. Sehingga memunculkan rumusan permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimanakah prosesi tradisi Alek Bakajang dilakukan oleh masyarakat Gunung Malintang?



ii



2. Mengapa tradisi Alek Bakajang masih dipertahankan masyarakat Gunung Malintang?



BAB II PEMBAHASAN



A. Penerapan Falsafah Budaya Minang Falsafah budaya Minang “dima bumi dipijak, disitu langik dijunjuang” inilah yang harus dipegang teguh sebagai dasar para perantau Minang bersosialisasi dan beradaptasi dengan semua orang di lingkungan kehidupan perantauan. Falsafah ini selalu diikuti dengan pepatah” elok-elok manyubarang, jan sampai titian patah; elok di rantau urang, jan sampai babuek salah” (berbuat baiklah di negeri orang jangan sampai berbuat salah). Pepatah lain adalah: “baso-basi, malu jo sopan” dan “tenggang raso” (Demina, 2016:8). Dengan beretika yang baik, orang Minang sangat yakin akan tetap dikenang selamanya walaupun orang tersebut sudah meninggal dunia. Selanjutnya, Tidak hanya itu, masih banyak lagi pepatah yang mengandung nilai budaya Minang lainnya yang semuanya bermakna sebagai etika sosial dan harus dipegang teguh dan dipatuhi dalam setiap kehidupan dan pergaulan sosial. Semua informan mengaku mewujudkan makna falsafah budaya “dima bumi dipijak, disitu langik dijunjuang” selama hidup di kota Surabaya. Konsistensi menerapkan falsafah budaya ini antara lain menimbulkan sikap dan perilaku saling menghormati (toleransi), saling menghargai, dan inklusif. B. Contoh Tauladan Sikap dan Perilaku Dalam hal pendidikan serta penanaman nilai-nilai budaya Minang untuk membentuk karakter dan budi pekerti luhur anak-anak mereka di rantau, diakui oleh semua informan bahwa peranan mereka sangat dominan. Meskipun pembelajaran selalu dilakukan secara verbal (lisan), memberikan contoh perilaku dan tindakan dirasakan sangat penting. Secara verbal, penanaman nilai-nilai budaya Minang biasanya dilakukan tidak secara formal, lebih banyak dengan cara menasehati pada saat anak-anak mereka mengalami masalah kesopanan. Misalnya, ketika anak-anak memperilahatkan kurang sopan kepada orang yang usianya lebih tua, para orangtua langsung menasehatinya. Tidak cukup dengan cara itu, para orangtua memperlihatkan sikap, tindakan, dan perilaku sopan santun dihadapan anak-anak mereka.



ii



Sebagai contoh, Bakirafdi mengatakan bahwa pepatah dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang tidak cukup hanya dihafal oleh anak-anak mereka melainkan harus bisa dimengerti dan dipahami maknanya sehingga bisa diwujudkan menjadi sikap dan tindakan (perilaku) dalam hidup keseharian. Bukti bahwa nilai-nilai budaya ini telah dimengerti dan dipahami oleh anak-anak mereka, Alfian, salah seorang anak dari Azrial, yang masih bersekolah di salah satu SMP di kota Surabaya, ketika diwawancarai ternyata mampu menjelaskan dengan baik makna falsafah budaya dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang. Katanya, “ambo di sakolah jo di tampek disiko haruih pandai-pandai bakawan jo mangharagoi kawan supayo indak dapek masalah nantinyo” (saya di sekolah dan di tempat ini harus pandai-pandai bergaul dengan teman agar tidak timbul masalah nantinya). Dengan sikap dan perilaku tersebut, Alfian, mengakui bahwa selama ini dia memiliki banyak teman di sekolahnya dan tidak pernah berkonflik dengan mereka. Hal ini dibenarkan oleh ayah dan ibunya.



C. Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung Nilai kearifan lokal yang terkandung dalam falsafah budaya ini adalah: sikap dan perilaku saling menghormati (toleransi), saling menghargai, tenggang rasa, dan inklusif. Untuk lebih mempertegas makna falsafah budaya ini, selalu diikuti oleh pepatah: elok-elok manyubarang, jan sampai titian patah, elok di rantau urang, jan sampai babuek salah. Pada parinsipnya semua orang Minang harus berhati-hati, menjaga etika sopan santun, jangan sekali-kali menyakiti hati orang ketika di rantau atau dimana saja berada. Nilai keraifan lokal ini sangat penting diperhatikan oleh karena seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin modern maka egoisme semakin menguat. Hidup berdampingan dengan semangat gotong-royong sudah mulai sirna. Masing-masing individu tidak peduli dengan individu yang lain. Sikap dan perilaku hidup egoisme ini tidaklah cocok dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang prulalis yang menempatkan nilai persatuan pada posisi terpenting. D. Lain Padang Lain Belalang, Lain Lubuk Lain Ikannya Dalam masyarakat Minangkabau memiliki adat istiadat yang berbeda pada tiap-tiap daerahnya. Sebagaimana yang tergambar dalam sebuah pepatah adat Minangkabau, “lain padang lain belalang lain lubuk lain ikannya” yang berarti tiap daerah memiliki adat istiadat ii



tersendiri. Begitu juga dengan masyarakat Minangkabau yang ada di Nagari Gunung Malintang yang juga memiliki sebuah tradisi yang masih dijalankan oleh masyarakatnya, salah satunya yaitu tradisi Alek Bakajangyang terdapat pada masyarakat Minangkabau di Nagari Gunung Malintang, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten 50 Kota. Tradisi Alek Bakajang adalah tradisi yang sudah ada semenjak ratusan tahun silam, “samanjak ambo lahia tradisi kojang lah ado jadi datuak nan kini indak lo tau pasti bilo tradisi ko adonyo nan joleh lah ndak taituang tahunnyo lai coitu pulo lah lamonyo tradisi ko ado lah jadi darah dogiang dek masyarakat Nagari ko” semenjak saya lahir tradisi kajang sudah ada, datuak yang sekarang pun juga tidak tahu pasti kapan tradisi ini ada, yang jelas sudah tidak terhitung lamanya tradisi ini ada sehingga sudah menjadi darah daging bagi masyarakat (ucapan dari salah seorang perangkat nagari yang yaitu bapak WD), dan sampai saat kini tradisi Alek Bakajang ini masih di jalankan dan masih dipertahankan oleh masyarakat Nagari Gunung



Malintang,Alek



Bakajangini



juga



banyak



mengandung



nilai-nilai



positif



didalamnya,seperti terjalinnya kerja sama dan kejujuran, selain itu juga tersalurnya kreatifitas masyarakat dalam bidang kesenian, tradisi Alek Bakajang ini melibatkan para pemangku adat seperti niniak mamak, alim ulama,bundo kanduang bahkanpemerintah Nagari serta pemuda anak kemanakan Nagari Gunung Malintang. Tradisi Alek Bakajang merupakan sebuah tradisi yang memiliki arti yang sangat luas bagi masyarakatNagari Gunung Malintang yang juga bertujuan untuk mengenang atau mengingat asal usul nenek moyang masyarakat Nagari Gunung Malintang, yang mana nenek moyang masyarakat Gunung Malintang telah berjasa membangunNagari tersebut. TradisiAlek Bakajang juga bertujuan sebagai pemersatu atau pengikat untuk menjalin silahturahmi dan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat diNagari Gunung Malintang, karna dalam tradisi ini nantinya akan melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk bergotong royong agar terlaksananyaAlek Bakajang tersebut. Pada zaman dahulu tradisiAlekBakajang hanya sebagai hiburan yang memiliki nilai estetika dan seni sebagai pelepas lelah masyarakat setelah musim panen. TradisiAlek Bakajang dilaksanakan masyarakat Nagari Gunuang Malintang setelah hari raya Idul Fitri tepatnya tanggal 4 Syawal dalam kalender DzulhijahAlekBakajang adalah salah satu tradisi Nagari Gunuang Malintang yang sudah turun-temurun dari nenek moyang. Kajang merupakan alat transportasi di masa lalu yang digunakan oleh ninik mamak 4 suku dari Candi Muara Takus menuju Nagari Gunuang Malintang yang melintasi perairan sungai Batang Mahat.Kajang merupakan anyaman daun sejenis pandan yang biasanya digunakan sebagai atap, sedangkanBakajang adalah ungkapan dari masyarakat yang berarti berlayar ii



menggunakan sebuah perahu yang beratapkan Kajang. Seiring berjalan waktu istilah Kajang lebih dikenal sebagai perahu bukan lagi atap, karena kelangkaan benda tersebut sehingga orang tidak tahu lagi apa itu kajang, orang mengetahui Kajang adalah sebuah perahu, melalui tradisi Bakajang yang tiap tahun dilakukan. Kajang ini di gunakan sabagai alat jalangmanjalangmamak di Nagari Gunung malintang mengarungi dan melintasi sungai Batang Mahat untuk silahturahmi yang di laksanakan setelah hari raya Idul Fitri yang dimulai pada hari ke 4 (empat) di bulan Syawal (hari raya ke 4) selama 5 (lima) hari secara berturut- turut dengan tujuan untuk meningkatkan silahturrahmi antara anak kemenakan, 4 (empat) suku yang ada diNagari Gunung Malintang, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten 50 Kota. Kapan tradisi Bakajang di Nagari Gunung Malintang pertama kali dimulai tidak diketahui pastinya, namun menurut penuturan salah satu ninik mamak di Nagari Gunung Malintang yaitu bapak WD menceritakan.“ tradisi bakajang adalahkebiasaan atau budaya yang sejak dahulu di titipkan oleh jajaran pemangku adat tanah luhur Muara Takus sana”. Dari penuturan informan berdasarkan survei awal yang peneliti lakukan bisa disimpulkan bahwa tradisi bakajang merupakan tradisi yang mereka warisi dari nenek moyang masyarakat Nagari Gunung Malintang yang berasal dari Candi Muara Takus.Tradisi AlekBakajang di Nagari Gunung Malintangn adalah tradisi jalang-manjalangmamak atau open house niniak mamak. Namun di Gunung Malintang, jalang-manjalang mamak berubah sebutan menjadi Alek Bakajang karena para niniak mamak menggunakan perahu kajang sebagai alat transportasi untuk mengunjungi niniak mamak yang lain atau di datangi anak kemenakan di surau Mengingat perahu kajang adalah satu-satunya alat transportasi pada masa itu yang menjadi status simbol, lambang kekayaan dan kebesaran niniak mamak,maka pada saat tradisi jalang-manjalang, mamak anak kemenakan berlomba-lomba untuk mempecantik dan menghias perahu kajang tersebut sehingga terkesan sebagai ajang lombaperahu kajang. Bahkan belakangan ini perahu yang dianggap paling bagus dan cantik akan diberi hadiah. Dalam masyarakat Minangkabau mamak adalah seseorang yang dituakan dan mamak bertugas menyelesaikan permasalahn yang terjadi dalam Nagaridan luang lingkup anak, cucu, dan kemenakannya. Dalam sisitem pelapisan sosialnya mamak menempati kedudukan yang tinggi dan dihormati. Adanya kekuasaan mamak ini merupakan salah satu ciri-ciri masyarakat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal (radjab, 1969: 17) sebagai seorang pemimpin mamak dikenal secara umum dengan peranan yang menonjol dalam sebuah kaum, suku dan keluarga. Dalam sistem kepemimpinan Minangkabau peranan mamak tidak hanya terbatas dalam ruang lingkup kaum dan suku saja, akan tetapi lebih luas lagi



ii



dalam lingkup nagari, yang berarti mamak berperan penting dalam kemajuan Nagari“elok nagari dek penghulu” Bagi penulis, hal yang menarik dan pantas untuk diperhatikan pada masyarakat Gunung Malintang ini adalah, masih begitu sangat kuat hubungan antara kemenakan dan mamak sehingga sehingga tradisi bakajang yang pada intinya adalah sebuah tradis manjalang mamak di Nagari Gunung Malintang ini di jadikan sebuah agenda rutin yang menghabiskan banyak biaya hanya untuk manjalang mamak. Pada zaman dahulu Bakajang hanya menggunakan sampan yang dihiasi oleh kain, namun dengan seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, maka Bakajang sekarang sudah mengalami perubahan, baik dari segi bentuk, ukuran, dan bahan yang digunakan. Perubahan tersebut disebabkan oleh semakin tingginya kreatifitas pemuda Nagari Gunung Malintang yang mereka dapat dari perantauan,lalu mereka tuangkan dalam bentuk hiasan-hiasan yang dilakukan pada sampankajang, yang dahulunya hanya sampan yang dihiasi oleh kain, kini tidak lagi berbentuk sebuah sampan, melainkan seperti kapal pesiar yang megah, dengan hiasan bahan-bahan yang dulu tidak digunakan, seperti triplek, cat dan lain sebagainya. perubahan dari bentuk kajang juga mempengaruhi dalam fungsi Bakajang sendiri, yang mana tujuan awal dari kajang dahulu sebenarnya hanya ajang hiburan melepas lelah setelah panen, kemudian dijadikan sebagai suatu tradisi untuk menjalin silahturahmi yang memiliki tujuan Manjalang Mamak oleh kamanakan di tiap-tiap jorong, hingga kini menjadi suatu perlombaan tahunan bagi pemuda tiap jorong dan juga sebagi event tahunan yang menjadi perhatian masyarakat dan juga pemerintah, yang mana 2(dua) tahun belakangan ini pemerintah menyediakan dana bantuan untuk pelaksanaan tradisi bakajang. Termasuk tahun ini, pemerintah juga memberikan bantuan dana dan bahkan ada wacana acara Bakajang tahun ini akan dihadiri oleh Gubernur Sumatera Barat ucap pak WD selaku wali Nagari Gunung Malintang pada peneliti (7 juni 2017). Alek Bakajang ini merupakan sebuah tradisi dalam menyambung tali silahturahmi. Para pelaku Alek Bakajang ini adalah para pemuda, ninik mamak, alim ulama, pemerintah nagari, tokoh masyarakat, bundo kanduang, para perantau, dan seluruh aspek masyarakatdari 4 (empat) suku yang berbeda di Gunuang Malintang. Dalam perbedaan mereka masih bisa hidup saling bahu-membahu, mulai dari yang tua sampai yang muda, para petinggi rakyatnya, kaum laki-laki dan perempuannya, tentunya dalam keadaan rukun dan damai. Ditengah perkembangan zaman yang mulai mengiringi masyarakat Minangkabau lainnya menjadi manusia yang individualis, masyarakat Minangkabau yang ada di Nagari Gunuang Malintang Kecamatan Pangkalan Koto Baru ini justru masih sanggup menjaga nilai-nilai ii



luhur nenek moyang Minangkabau dulunya dan bahkan mewarisinya kepada calon generasi penerusnya. Alek rakyat ini di hadiri oleh ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kandung hingga pemuda Nagari. Hari pertama pembukaan Alek Bakajang, dimulai dengan tradisi manjalang mamak, manjalang mamak disini adalah datangnya para anak kemenakan 4 (empat) suku yang ada di Nagari Gunung Malintang, mereka datang kerumah mamak suku masing-masing untuk menjalin tali silahturahmi yang bertempat dirumah mamak pucuk suku masing-masing. Sebelum Alek Bakajangdimulai para pemuda dan warga setempat akan bekerja sama, gotong royong, saling bahu-membahu untuk menghiasi perahu atau sampan yang akan digunakan pada prosesi Alek Bakajang. Masyarakat setempat menggunakan 4-5 perahu atau sampan. Dimana perahu tersebut akan di perbarui, baik ukuran dan hiasan yang menyertai perahu tersebut. Maka Meneurut peneliti, penelitian tentang tradisi Alek Bakajang ini sangat penting dan menarik untuk dilakukan, karena Alek Bakajang merupakan salah satu tradisi yang unik yang dimiliki oleh masyarakat Nagari Gunuang Malintang yang merupakan warisan dari nenek moyang dari zaman dahulu dan masih dipertahankan hingga saat ini di tengah perkembangan zaman. Selain itu didalam tradisi Alek Bakajang juga terdapat nilainilai positif yang dapat mempersatukan dan menjalin tali-tali silaturahmi antar masyarakat Nagari Gunung Malintang.



ii



BAB III PENUTUP



A.



Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat lima nilai budaya



Minang penting diperhatikan dalam prinsip-prinsip etnopedagogi, yaitu nilai-nilai yang mencerminkan: Sikap dan perilaku saling menghormati (toleransi), saling menghargai, tenggang rasa, dan inklusif (“Dima bumi dipijak, disitu langik dijunjuang”). Hidup mandiri, (“Karatau madang di hulu, Babuah babungo balun; Marantau Bujang dahulu, Di rumah baguno balun”). Sikap dan perilaku pantang menyerah (“Baraja ka na manang, mancontoh ka nan sudah”. Dan “Takuruang nak dilua, taimpik nak diateh”). Mengutamakan nilai-nilai agama (“Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”). Mempertahankan bahasa lokal.



B. Saran Oleh karena pendidikan berbasis kearifan lokal (etnopedagogi) adalah suatu proses enkulturasi nilai-nilai budaya yang menjadi landasan dalam cara berkarakter yang harus dilakukan dalam suatu proses yang berkelanjutan, yang realisasinya dilakukan melalui pendidikan di lingkungan rumah tangga, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di persekolahan (Sunaria, 2016:53), maka sangat penting merekomendasikan kelima nilai-nilai budaya Minangkabau tersebut dimasukkan sebagai bagian dari materi etnopedagogi dengan cara disesuaikan dengan nilai-nilai budaya setempat.



ii



DAFTAR PUSTAKA



Adler, Patricia A. & Adler, Peter (1994). “Observational Techniques” dalam Handbook of Qualitative Research. Edited by Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln. 377-392. California: Sage Publications, Inc.



Alwasilah, A. C., Suryadi, K., Tri Karyono, (2009). Etnopedagogi: Landasan Praktek Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku Utama.



Ayatrohaedi. (1986). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.



Creswell, John W. (2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.



DT Kependidikan, JPD Mutu, Depdiknas. (2008). Pendekatan, Jenis, dan Metode Penelitian Pendidikan.



         



ii



   



ii