Makalah Kel. 9 Etika Dalam Bisnis Internasional [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ETIKA BISNIS DAN PROFESI ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL Dosen Pengampu : Drs. Didit Herlianto, M.Si



Disusun Oleh : Dewi Rosanita



141200113



Adinda Shelomitha Aulia Putri



141200145



Cicillia Lola Wahyu Setyaningrum 141200217



KELAS A



PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA YOGYAKARTA 2022



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan kasih-Nya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah Etika Bisnis dan Profesi tepat pada waktunya tanpa halangan suatu apapun. Makalah ini disusun sebagai pemenuhan tugas Etika Bisnis dan Profesi yang akan membahas mengenai Etika dalam Bisnis Internasional Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Drs. Didit Herlianto, M.Si. selaku dosen mata kuliah Etika Bisnis dan Profesi yang telah membimbing kami dan memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni serta semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah. Kami harap makalah ini dapat berguna kelak di kemudian hari. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan makalah ini sangat kami harapkan. Jika ada sesuatu yang kurang berkenan kami mohon maaf.



Yogyakarta, 24 April 2022



Penyusun



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ii DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2 1.3 Tujuan ......................................................................................................................... 2 BAB II KAJIAN TEORITIS ................................................................................................ 3 2.1 Norma-Norma Moral yang Umum pada Taraf Internasional ........................................ 3 2.2 Masalah Dumping dalam Bisnis Internasional ............................................................. 6 2.3 Aspek-Aspek Etis dari Korporasi Multinasional .......................................................... 7 2.4 Masalah Korupsi pada Taraf Internasional ................................................................. 12 BAB III PEMBAHASAN .................................................................................................. 14 3.1 Kasus ........................................................................................................................ 14 3.2 Analisis Kasus ........................................................................................................... 17 BAB IV PENUTUP ........................................................................................................... 20 4.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 20 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 22



iii



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Dalam bisnis etika berperan sangat penting ketika keuntungan bukan lagi satu-satunya tujuan organisasi. Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang melakukan kebaikan etika bertindak sebagai acuan yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota kelompok. Bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai acuan dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya pada tindakan yang terpuji yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika dalam bisnis internasional tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Hubungan perdagangan dengan pengertian asing masih membekas dalam bahasa Indonesia, karena salah satu arti dagang adalah orang dari negeri asing. Dengan sarana transportasi dan komunikasi yang ada sekarang ini, bisnis internasional bertambah penting lagi. Di era globalisasi ekonomi sekarang ini, kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara tercantum dalam pasar internasional, sebagaimana yang dipahami sekarang dan dirasakan akibat pasang surut pasar ekonomi. Gejala globalisasi ekonomi berdampak positif dan negatif. Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok juga akan menampilkan aspek etis baru. Tidak mengherankan jika beberapa tahun belakangan ini aspek-aspek etis menjadi perhatian khusus dalam bisnis internasional. Dalam bab ini akan dibahas beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis internasional. Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan yang tidak mengikat karena bukan hukum, tetapi harus diingat dalam praktik bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting mengingat dunia bisnis tidak terlepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan bisnis hakikatnya adalah memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, penyalur, pemakai, dan lain-lain 1



1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana norma-norma yang umum pada bisnis taraf internasional? 2. Bagaimana masalah dumping dalam bisnis internasional ? 3. Apa saja aspek etis dari korporasi multinasional? 4. Bagaimana masalah korupsi pada taraf internasional? 1.3 Tujuan 1. Memahami norma-norma moral yang umum pada taraf internasional. 2. Memahami masalah dumping dalam bisnis internasional. 3. Mengetahui aspek-aspek etis dari korporasi multinasional. 4. Menganalisis masalah korupsi yang terjadi di taraf internasional dari aspek etika bisnis



2



BAB II KAJIAN TEORITIS



2.1 Norma-Norma Moral yang Umum pada Taraf Internasional Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Apakah norma-norma moral bersifat relatif atau, sebaliknya, harus dianggap absolut? Kami berpendapat bahwa pandangan yang menganggap norma-norma moral relatif saja tidak bisa dipertahankan. Namun demikian, itu tidak berarti bahwa norma-norma moral bersifat absolut atau mutlak begitu saja. Jadi, pertanyaan yang tidak mudah itu harus dijawab bernuansa. Masalah teoritis yang serba kompleks ini kembali lagi pada taraf praktis dalam etika bisnis internasional. Apa yang harus kita lakukan, jika di bidang bisnis norma-norma moral di negara lain berbeda dengan norma- norma yang kita anut sendiri? Richard De George membicarakan tiga jawaban atas pertanyaan tersebut yang pasti tidak memuaskan. Tiga-tiganya ada benarnya dan ada salahnya, tapi secara menyeluruh tidak bisa diterima. Jawaban pertama mengatakan bahwa bisnis internasional kita harus menyesuaikan diri begitu saja dengan norma-norma etis yang berlaku di negara lain di mana kita mempraktekkan bisnis. Sebaliknya, jawaban kedua menekankan bahwa selalu kita harus berpegang pada norma-norma etis yang berlaku di negara kita sendiri, juga kalau di negara lain ada norma-norma yang berbeda. Jawaban ketiga menandaskan bahwa bisnis di negara lain tidak perlu berpegang pada norma-norma etis karena hal itu akan merugikan posisinya dalam kompetisi dengan pihak bisnis lain. Mari kita menyelidiki lebih lanjut ketiga pandangan ini, dengan menyimak secara khusus unsur kebenaran yang terkandung didalamnya. 1. Menyesuaikan diri Untuk menunjukkan sikap yang tampak dalam pandangan pertama, sama seperti peribahasa Indonesia: "Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung" Maksudnya adalah: kalau sedang mengadakan kegiatan di tempat lain, bisnis harus menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di tempat itu. Diterapkan di bidang moral,



3



pandangan ini mengandung relativisme ekstrem. Tetapi kalau secara kritis, relativisme norma moral itu tidak bisa diterima. Mustahillah bahwa pembunuhan atau pencurian dilarang di satu tempat, sedangkan di tempat lain diperbolehkan. Norma-norma moral yang penting berlaku di seluruh dunia. Sedangkan norma-norma non-moral untuk perilaku manusia bisa berbeda di pelbagai tempat. Itulah kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini. Misalnya, norma-norma sopan santun dan bahkan norma-norma hukum di semua tempat tidak sama. Yang di satu tempat dituntut karena kesopanan, bisa saja di tempat lain dianggap sangat tidak sopan. Tradisi dan adat kebiasaan bisa berbeda di tempat-tempat yang berbeda. Kenyataan itu justru membuat pelbagai kebudayaan menjadi menarik bagi kita. Dunia akan dirasakan monoton dan membosankan sekali, seandainya adat-istiadat di semua kawasan sama. Bahwa norma-norma hukum berbeda, seringkali lebih merepotkan karena akibatnya lebih besar, namun merupakan kenyataan juga. Tidak mustahil bahwa dua negara mempunyai hukum yang berbeda-beda. Lain halnya dengan norma-norma moral. Di sini tidak mungkin berpegang pada prinsip 'When in Rome, do as the Romans do": Tidak mungkin bahwa menipu teman bisnis di satu tempat dilarang, sedangkan di tempat lain diizinkan. Memang bisa terjadi bahwa penipuan di satu tempat lebih banyak dipraktekkan daripada di tempat lain. Statistik bisa menunjukkan hal itu. Namun demikian, hal seperti itu hanya mengatakan sesuatu tentang kenyataan, bukan tentang norma. Ternyata di satu tempat itu penipuan lebih banyak berlangsung (fakta), tapi itu tidak berarti bahwa di situ penipuan boleh dilakukan juga (norma). 2. Rigorisme Moral Pandangan kedua memilih arah terbalik. Pandangan ini dapat disebut "rigorisme moral", karena mau mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negerinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak mungkin menjadi kurang baik di tempat lain. Pandangan ini juga sulit dipertahankan. Mau tidak mau, perlu kita akui bahwa situasi setempat bisa saja berbeda dan hal itu 4



pasti mempengaruhi keputusan- keputusan moral kita. Di negara maju sering ada instansi-instansi yang mengawasi pelaksanaan bisnis dengan lebih ketat dan efisien daripada di negara berkembang, seperti misalnya tentang masalah keselamatan kerja, perburuhan, keamanan produk, periklanan, dan sebagainya. Suatu perusahaan dari negara maju dirugikan kalau di luar negeri harus menerapkan semua peraturan yang berlaku di negerinya sendiri. Bukan saja di negara-negara berkembang, di negaranegara maju pun kadang-kadang bisa ditemukan perbedaan persepsi tentang apa yang dianggap etis atau tidak. 3. Imoralisme Naif Pandangan ketiga oleh De George sendiri disebut "imoralisme naif". Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada norma-norma etika. Memang - mereka berpendapat - kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum (dan itupun hanya sejauh ketentuan-ketentuan itu ditegakkan di negara bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat oleh norma- norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang merugikan, karena daya saingnya akan terganggu. Perusahaan- perusahaan lain yang tidak begitu scrupulous dengan etika akan menduduki posisi yang lebih menguntungkan. Sebagai argumen untuk mendukung sikap itu sering dikemukakan: "semua perusahaan melakukan hal itu". Dalam negara di mana korupsi merajalela, mengapa kita tidak akan ikut dalam memberi uang suap atau komisi kepada pegawai pemerintah atau karyawan perusahaan, sebab praktek praktek seperti itu sudah menjadi kebiasaan umum? Selain itu, mengatakan "tapi semua orang melakukan hal itu" di bidang moral tidak merupakan argumen yang meyakinkan, karena dalam etika yang menentukan bukannya kebiasaan yang lazim dalam masyarakat melainkan boleh tidaknya dipandang dari sudut norma. Apalagi, tidak benar pula bahwa dalam negara-negara yang ditandai suasana korupsi semua perusahaan dalam praktek-praktek tidak terpuji itu. Ada juga yang mempunyai keberanian moral untuk menolak. Malah ada yang memilih tidak melakukan bisnis sama kali, jika hal itu hanya mungkin dengan jalan komisi, uang semir, pembayaran di luar prosedur resmi, dan lain sebagainya.



5



2.2 Masalah Dumping dalam Bisnis Internasional Praktik dumping menjadi topik dalam etika bisnis internasional, praktik kurang etis ini secara khusus berlangsung dalam hubungan dengan negara lain. Dumping ini adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di negara lain dengan harga di bawah harga pasar dan kadang dibawah biaya produksi. Para produsen dari produk yang sama di negara di mana dumping dilakukan merasa keberatan akibat praktik dumping ini. Para konsumen tidak merasakannya, justru merasa beruntung karena dapat membeli produk dengan harga murah, sedangkan produsen menderita kerugian, karena tidak sanggup menawarkan produk dengan harga yang murah. Dumping produk dapat dilakukan dengan banyak motif berbeda, salah satunya penjual mempunyai persediaan yang terlalu besar, sehingga memutuskan untuk menjual produk bersangkutan dibawah harga. Daripada produknya tidak terjual, lebih baik sebagian biaya dikembalikan, walaupun tetap merugi. Motif yang lebih buruk adalah berusaha merebut monopoli dengan membanting harga. Produk ditawarkan dengan harga murah, sehingga produsen negara lain merasa tidak mampu bersaing dan terpaksa menutup usaha. Setelah monopoli diperoleh, pelaku dapat menentukan harga seenaknya. Jadi pelaku menderita rugi sementara, agar dalam jangka panjang dapat meraup keuntungan sebesar mungkin. Di negara maju, khususnya Amerika Serikat praktik ini dilarang karena adanya perundangundangan antitrust dan anti-monopoli, tetapi pada taraf internasional dumping ini lebih sulit dikendalikan dan dibuktikan pada tahun 1980-an terjadi konflik bisnis antara Amerika Serikat dan Jepang mengenai semikonduktor. Amerika menuduh Jepang ingin menyingkirkan produk Amerika dari pasaran internasional dengan cara dumping, agar memperoleh monopoli bisnis ini. Praktik dumping produk ini tidak etis karena melanggar etika pasar bebas. Kelompok bisnis yang ingin terjun ke bisnis internasional dengan sendiri akan melibatkan diri untuk menghormati keutuhan sistem pasar bebas. Sebelumnya kita mengetahui bahwa kompetisi yang fair merupakan prinsip dasar dari etika pasar bebas. Prinsip ini jelas dilanggar dengan praktik dumping produk, yang menghancurkan kemungkinan bagi orang bisnis untuk bersaing pada taraf yang sama. Jika dumping dilakukan untuk merebut monopoli, menjadi kurang etis karena merugikan konsumen, walaupun konsumen untuk sementara dapat membeli produk dengan harga murah, dalam jangka panjang akan dipaksa membayar



6



dengan harga yang lebih, apabila tidak ada pesaing lagi. Jadi dumping ini menjadi tidak etis karena akibat buruk bagi konsumen. Akan tetapi tidak etis juga jika suatu negara menuduh negara lain melakukan dumping, yang nyatanya hanya melindungi pasar dalam negerinya. Tuduhan dumping menjadi dalih untuk memperbaiki posisi di pasaran. Jika negara lain dapat memproduksi sesuatu dengan harga lebih murah, karena efisiensi produksi atau dapat menekan biaya produksi, sebuah kenyataan yang harus diterima semua negara. Beberapa dekade terakhir negara maju menuduh negara berkembang melakukan dumping dengan produk seperti pakaian jadi. Jika negara berkembang mampu memproduksi pakaian jadi dengan harga lebih murah karena biaya produksinya kurang, misalnya karena upah karyawan relatif kecil, hal ini tidak dapat dinilai sebagai dumping. Tidak etis bila menuduh dumping semata-mata menjadi kedok untuk menyingkirkan pesaing di pasar. 2.3 Aspek-Aspek Etis dari Korporasi Multinasional Fenomena agak baru di bisnis dunia adalah korporasi multinasional atau disebut juga korporasi transnasional, yaitu perusahaan yang mempunyai investasi langsung pada dua negara atau lebih. Jadi perusahaan mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri belum mencapai status korporasi multinasional (KMN), tetapi perusahan yang mempunyai pabrik di beberapa negara termasuk didalamnya. Pengorganisasioan KMN dapat berbeda-beda, biasanya perusahaan di negara lain setidaknya sebagian dimiliki orang setempat, sedangkan manajemen dan kebijakan bisnis umum ditanggung oleh pimpinan perusahaan di negara asalnya. KMN pertama kali muncul sekitar tahun 1950-an dan berkembang pesat. KMN yang banyak dikenal adalah Coca-Cola, Johnson & Johnson, AT & T, Generals Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony, Philips, dan Unilever yang mempunyai kegiatan diseluruh dunia dan menguasai nasib jutaan orang Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat besar dan karena beroperasi di berbagai tempat yang berbeda dan sebab itu mempunyai mobilitas tinggi, KMN menimbulkan masalah-masalah etis sendiri. Disini akan dibatasi pada masalh yang berkaitan dengan negara berkembang. Tentu negara berkembang sudah mengambil berbagai tindakan untuk melindungi diri. Misalnya, tidak mengizinkan masuk KMN yang dapat merusak atau melemahkan suatu industri dalam negeri. Beberapa negara



7



berkembang hanya mengizinkan KMN membuka suatu usaha di wilayahnya, jika mayoritas saham sekurang-kurangnya 50,1% berada dalam tangan negara setempat. Karena kekosongan hukum pada taraf internasional, kesadaran etis bagi KMN lebih mendesak lagi. De George merumuskan sepuluh aturan etis bagi KMN dalam konteks ini, Tujuh norma pertama berlaku untuk semua KMN, sedangkan tiga aturan terakhir terutama dirumuskan untuk industri berisiko khusus seperti pabrik kimia atau instalasi nuklir. Sepuluh aturan itu adalah : 1. Korporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung. Tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung merupakan norma moral umum dan tidak berlaku untuk KMN saja. Sengaja mengakibatkan kerugian bagi orang lain merupakan tindakan tidak etis, kecuali dalam beberapa kasus eksepsional seperti bela diri, bila ada alasan khusus untuk merugikan (malah membunuh) orang lain. Namun, demikian norma ini perlu disebut disini pada tempat pertama, justru karena di negara berkembang seperti yang disebutkan kerangka hukum sering tidak cukup dan membiarkan tindakan yang tidak diizinkan di negara asalnya. Norma pertama ini mengatakan bahwa suatu tindakan tidak etis, bila KMN dengan tahu dan mau mengakibatkan kerugian bagi negara dimana ia beroperasi atau para penduduknya. Jika KMN merugikan suatu negara walaupun tidak sengaja atau langsung, menurut keadilan kompensatoris ia wajib memberi ganti rugi. 2. Korporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi negara di mana mereka beroperasi. Norma kedua melanjutkan dan merinci norma pertama, tidak cukup apabila KMN tidak melakukan hal-hal buruk di negara lain, perlu juga melakukan sesuatu yang baik dan yang baik itu harus melebihi yang buruk. KMN belum memenuhi kewajibannya, jika hanya tercapai keseimbnagn antara akibat baik dan akibat buruk. Hampir setiap kegiatan manusia mempunyai akibat buruk, tidak terkecuali bisnis. Hal ini tidak dapat dihindarkan. Norma kedua ini menuntut agar secara menyeluruh akibat baik melebihi akibat buruk. Norma ini tidak membatasi diri pada segi negatif (tidak boleh merugikan), tetapi memerintahkan sesuatu yang positif (harus menghasilkan sesuatu yang baik) dan ditegaskan bahwa yang positif harus melebihi yang negatif. 8



3. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi kepada pembangunan negara dimana ia beroperasi. Norma ketiga ini lebih konkret, bukan saja KMN harus menghasilkan lebih banyak hal baik daripada hal yang buruk bagi negara berkembang, tetapi ia harus menyumbang juga pada pembangunan. Hal ini berarti antara lain KMN harus bersedia melakukan alih teknologi dan alih keahlian. Dalam konteks ini ditekankan bahwa pembangunan harus dimengerti menurut negara berkembang itu sendiri, bukan menurut interpretasi KMN atau negara asalnya, negara berkemabng sendirilah yang menentutkan tujuan dan priortitasnya. 4. Korporasi multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua karyawannya. Norma keempat ini berlaku umum dan tidak khusus KMN saja, namun norma ini perlu disebutkan secara eksplisit. Terutama tentang upah dan kondisi kerja, di banyak negara berkembang HAM para pekerja dilanggar dengan membayar upah di bawah upah minimum, mempekerjakan anak, atau praktik diskriminasi karena agama, ras, gender, atau sebagainya. Bagi KMN sering kali sebenarnya menguntungkan bila mereka menyesuaikan diri dengan keadaan itu, namun cara bertindak itu tidak etis. Misalnya, dalam hal upah si pekerja memperoleh upah yang cukup untuk bisa hidup secara layak bersama dengan keluarganya. 5. Sejauh kebudayaan tidak melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan menantangnya. Norma ini diturunkan dari norma pertama, KMN akan merugikan negara dimana ia beroperasi, jika ia tidak menghormati kebudayaan setempat. Sebagai tamu yang baik, KMN harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai budaya setempat dan tidak memaksakan nilai-nilainya sendiri. Sering terdengar keluhan utamanya perusahaan Amerika yang kurang peka terhadap norma ini, karena membanjiri negara lain dengan the American way of life, dalam hal ini didahului oleh industri film dan media massa internasional. 6. Korporasi multinasional harus membayar pajak yang fair.



9



Setiap perusahaan harus membayar pajak menurut tarif yang telah ditentukan dalam suatu negara. Di negara maju, hal ini diawasi dengan ketat dan efisien pada taraf internasional, tetapi kontrol ini tidak ada pada taraf internasional. Apa lagi, KMN beroperasi di negara berkembang dimana sistem pemungutan pajak masih lemah dan peraturan hukum yang menunjang belum cukup. Karena status perusahaan internasional, KMN mempunyai banyak kemungkinan yang sering kali tidak legal untuk menghindari membayar pajak atau membayar pajak sepenuhnya, seperti mentransfer pembayaran, mencari tax haven yang lebih menguntungkan dan sebagainya. Padahal, negara berkembang sangat membutuhkan uang pajak dari perusahaan yang beroperasi di wilayahnya. Karena alasan ini, lebih mendesak kesadaran moral KMN tentang kewajiban membayar pajak, tetapi karena kemauan baik saja dalam hal ini pun tidak cukup. KMN akan mendukung dibuat dan dilaksanakan peraturan internasional untuk menentukan pembayaran pajak oleh perusahaan internasional. 7. Korporasi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkan dan menegakkan background institutions yang tepat. Dalam seluruh bukunya De George menekankan pentingnya background institutions yang menurutnya di negara berkembang masih lemah. Yang dimaksudkan istilah ini adalah lembaga yang mengatur serta memperkuat kegiatan ekonomi dan industri suatu negara, seperti dinas perpajakan, dinas bea cukai, instansi pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, serikat buruh, perlindungan hak asasi, peraturan pemerintah yang tepat, dan sebagainya. 8. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut. Sebuah KMN sering kali dimiliki oleh orang-orang dari beberapa negara, terutama negara asal dan negara di mana sebuah pabrik atau perusahaan berdiri. Keadaan ini membuat tanggung jawab menjadi lebih kompleks daripada dalam kasus suatu perusahaan nasional. Jika terjadi kecelakaan di pabrik milik sebuah perusahaan nasional, tidak akan timbul masalah tentang siapa yang harus bertanggung jawab. Tetapi, jika terjadi kecelakaan di pabrik milik sebuah KMN, tanggung jawab itu sering kali kurang jelas. Norma ini mengatakan bahwa dalam kasus seperti ini tanggung jawab 10



moral harus dipikul oleh pemilik utama saham. Norma seperti ini masuk akal, karena perlu adanya satu pihak yang bisa ditunjuk sebagai penanggung jawab. Terkadang situasi KMN seperti itu mengakibatkan tanggung jawab menjadi kabur dan para korban tidak menerima ganti rugi. Prinsip ini bisa diterapkan pada kasus kecelakaan pabrik pestisida Union Carbide di Bhopal, India, bulan Desember 1984. 9. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman Norma ini dapat diturunkan dari kewajiban agar tidak merugikan. Membangun sebuah pabrik dan setelah itu lepas tangan akan merugikan pihak lain, sama seperti produsen yang membuat produk yang berbahaya, lalu tidak bertanggung jawab atas konsekuensinya. Juga jika mayoritas saham berada di tangan negara kedua, tanggung jawab akan tetap berlaku. Yang membangun pabrik berisiko tinggi harus merundingkan prosedur-prosedur keamanan bagi mereka yang menjalankan pabrik tersebut. KMN bertanggung jawab untuk membangun pabrik yang aman dan melatih serta membina sebaik mungkin mereka yang akan mengoperasikan pabrik tersebut. Hal ini berlaku secara khusus, jika yang dibangun adalah instalasi nuklir, karena kecelakaan akan memiliki dampak luas yang jauh melampaui lokasi instalasi tersebut. Penerapan norma ini mudah menghasilkan teknisi atau manajer di negara kedua merasa tersinggung karena para ahli asing itu menimbulkan kesan bahwa mereka tidak menjamin keselamatan. Namun demikian, kepekaan antar budaya tidak pernah mungkin menjadi alasan bahwa keamanan dan keselamatan tidak terjamin secara optimal. 10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, korporasi multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan mana dalam negara baru yang belum berpengalaman. Kerap kali teknologi memungkinkan beberapa alternatif dalam membangun suatu sistem teknologis. Terdorong oleh pertimbangan ekonomis, biasanya orang cenderung memilih alternatif yang paling murah. Menurut norma ini prioritas harus diberikan kepada keamanan. Jika mungkin, teknologi harus dirancang sesuai dengan budaya dan kondisi sekitar, sehingga keamanan terjamin optimal. Sepuluh norma di atas bermanfaat untuk menciptakan suatu kerangka moral bagi kegiatan-kegiatan KMN, yang melihat status internasionalnya sering kali tidak begitu 11



bergantung pada peraturan-peraturan hukum. Itulah sebabnya kerangka moral seperti itu sangat dibutuhkan. Namun, hal itu tidak berarti bahwa kerangka moral ini sudah lengkap. Pasti ada norma moral lain yang perlu dipatuhi oleh KMN, seperti juga oleh pelaku- pelaku moral yang lain. Akan lebih berguna lagi jika KMN-KMN mengikat diri dengan kode etik yang relevan untuk bidang tertentu dengan berpegang pada normanorma ini. 2.4 Masalah Korupsi pada Taraf Internasional Korupsi dalam bisnis tidak hanya terjadi di taraf internasional, tetapi perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam etika bisnis terutama mengarah pada konteks internasional. Masalah korupsi dapat menimbulkan kesulitan moral yang besar bagi bisnis internasional, karena di negara satu bisa saja dipraktekkan apa yang tidak mungkin diterima di negara lain. Terutama karena timbul pertanyaan seperti: tidakkah orang harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan di negara lain, supaya bisnisnya lancar dan sukses? Hal ini sesuai dengan peribahasa: “When in Rome, do as the Romans do"?. Contoh kasusnya yang sering kita dengar yaitu kasus-kasus yang menyangkut perusahaan pesawat terbang Lockheed berkaitan dengan skandal suap Lochkeed. Mengapa pemakaian uang suap bertentangan dengan etika? Empat alasan mengapa praktik suap harus dianggap tidak bermoral: 1. Bahwa praktik suap melanggar etika pasar. Ketika seseorang terjun dalam bisnis yang didasarkan pada prinsip ekonomi pasar, dengan sendirinya akan mengikat diri untuk berpegang pada aturan-aturan main pasar. Orang yang menyimpang dari aturan-aturan itu akan curang. Hal itu tidak adil terhadap orang-orang lain yang tetap berpegang pada aturan, sedangkan sistem ekonomi pasar sebagai seluruhnya memungkinkan karena semua orang mematuhi aturan-aturannya. Pasar ekonomi merupakan kancah kompetisi yang terbuka. Hal itu mengakibatkan antara lain bahwa harga produk merupakan hasil pertarungan daya-daya pasar. Dengan praktek suap daya-daya pasar dilumpuhkan dan para pesaing yang memiliki produk yang sama baik dengan harga yang menguntungkan, tidak sedikit pun dapat mempengaruhi proses penjualan. Karena itu baik yang memberi uang suap maupun yang menerimanya berlaku kurang adil terhadap bisnis lain.



12



Masalahnya adalah bahwa semua pesaing yang mungkin memiliki produk yang tidak kalah mutunya, begitu saja dari proses penjualan. Praktek suap itu sangat tidak adil terhadap mereka. Segera bisa ditambah lagi, di sini kita menemui sebuah contoh yang menunjukkan bahwa praktek bisnis yang tidak baik secara moral secara serentak juga tidak baik dari segi ekonomi. Pasar yang didistorsi oleh praktik suap adalah pasar yang tidak efisien. Karena praktek suap itu pasar tidak bekerja seperti seharusnya. 2. Bahwa orang yang tidak berhak, mendapat keuntungan juga. Dalam sistem ekonomi kita, mereka yang bekerja atau berjasa mendapat keuntungan. Di sini tidak terjadi balas jasa. Seandainya transaksi itu berlangsung secara normal, mereka tidak akan menerima apa-apa. Mereka hanya mendapat uang itu karena menyalahgunakan kekuasaan, dan dengan demikian merugikan rakyat dan negara. 3. Di mana uang suap diberikan dalam keadaan kelangkaan. Misalnya, dalam keadaan kekurangan kertas seorang penerbit mendapat persediaan kertas baru dengan memberi uang suap. Cara berbisnis itu melanggar alokasi yang adil. Penerbit itu tidak akan menerima persediaan baru sebanyak itu, seandainya diikuti prosedur biasa. Membagi barang langka dengan praktik suap mengakibatkan bahwa barang itu diterima oleh orang yang tidak berhak menerimanya, sedangkan orang lain yang berhak tidak kebagian. Hal itu jelas bertentangan dengan keadilan. 4. Bahwa praktik suap mengundang untuk melakukan perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya. Baik perusahaan yang memberi uang suap maupun orang atau instansi yang menerimanya tidak bisa membukukan uang suap itu seperti seharusnya. Dalam pembukuan perusahaan, uang itu dicantumkan sebagai pos lain (promosi, misalnya) dan itu tentu saja berbohong. Dan karena tidak dicatat, si penerima tidak akan membayar pajak tentang pendapatannya itu. Ia juga tidak bisa menggunakan uang itu secara legal untuk investasi baru atau sebagainya. Dapat dikatakan, orang yang terlibat dalam kasus suap, akan terlibat dalam tindakan kurang etis lainnya, karena harus terusmenerus harus menyembunyikan keterlibatannya.



13



BAB III PEMBAHASAN



3.1 Kasus 1. Kasus: bisnis dengan Afrika Selatan yang rasistis Bisnis internasional dengan Afrika Selatan sampai negara itu meninggalkan politiknya yang rasistis. Sampai pemilihan umum multi ras yang pertama berlangsung pada tahun 1994, Afrika Selatan mempunyai sistem politik yang didasarkan atas diskriminasi ras (apartheid), artinya dalam segala hal mayoritas kulit hitam (83 persen dari penduduk) dibedakan dan dipisahkan dari minoritas kulit putih. Perlu ditekankan lagi bahwa sistem apartheid ini didasarkan atas undang-undang Afrika Selatan sejak 1948. Misalnya, ada perumahan khusus untuk kelompok kulit putih. Jika ada orang kulit hitam yang mempunyai uang cukup untuk membeli rumah di daerah khusus untuk kulit putih, hal itu tetap dilarang. Fasilitas umum juga semua dipisahkan untuk kedua kelompok tersebut, seperti misalnya bioskop, restoran, bis kota, kereta api, dan lainlain. Di tempat kerja berlaku sistem yang sama. Semua perusahaan diwajibkan untuk menyediakan fasilitas sendiri-sendiri untuk kedua kelompok itu, misalnya ruang kerja, kantin, lift, kamar kecil, dan sebagainya. Sistem ini tentu saja mengakibatkan juga karyawan kulit putih dibayar dengan gaji lebih tinggi dari karyawan kulit hitam untuk pekerjaan yang sama. Yang dipraktekkan di Afrika Selatan pada waktu itu adalah diskriminasi ras terang-terangan. Dan setiap diskriminasi tentu merupakan hal yang tidak etis. Leon Sullivan adalah pendeta Baptis (kulit hitam) dan anggota dewan direksi General Motors di Amerika Serikat. Ketika perusahaannya menghadapi dilema: meneruskan kegiatan ekonomisnya di Afrika Selatan atau menghentikannya, Sullivan mengusulkan untuk meneruskannya dengan ditambah dua syarat yang bertujuan memperbaiki nasib golongan hitam di sana. Syarat-syarat itu kemudian dikenal sebagai "Prinsip-prinsip Sullivan". Yang pertama adalah bahwa General Motors dalam pabrikpabriknya di Afrika Selatan tidak akan menerapkan undang-undang apartheid, karena dinilai tidak adil. Jadi, mereka mempraktekkan ketidakpatuhan pasif. Pemerintah Afrika Selatan yang rasistis itu terpaksa membiarkan perilaku nakal icu, karena - kalau 14



tidak - perusahaan itu akan pergi, dengan akibat negara akan mengalami kerugian ekonomis yang besar. Syarat kedua adalah bahwa General Motors akan berusaha terus pada kesempatan apa saja, di Afrika Selatan sendiri maupun dalam forum internasional, agar undang-undang apartheid itu dihapus. Dengan demikian, biarpun karena kehadirannya di Afrika Selatan dan pembayaran pajak pada kenyataannya mereka membantu pemerintah kulit putih untuk mempertahankan kedudukannya, namun mereka sekaligus memperjuangkan juga perubahan dalam politik rasistis itu. 2. Kasus Suap Lockheed Sekitar 1970-an produsen pesawat terbang Amerika Serikat, Lockheed, terlibat dalam beberapa kasus suap, ketika memasarkan pesawatnya. Pada kesempatan menjual 138 pesawat tempur F-104 Starfighter, Lockheed mengalirkan "hadiah" sebesar 1,1 juta dolar Amerika kepada Pangeran Bernard, suami ratu Yuliana. Dan ada beberapa kasus lain lagi. Di kemudian hari Lockheed mengakui bahwa sejak tahun 1970 ia telah membuat "pembayaran khusus" yang bernilai 202 juta dolar Amerika di lima belas negara. Tetapi skandal Lockheed yang paling menarik perhatian terjadi di Jepang. Bulan Agustus 1972 Carl Kotchian, president Lockheed dari 1967 sampai 1975, terbang ke Tokyo untuk merundingkan penjualan pesawat penumpang yang baru, L-1011 TriStar, kepada maskapai penerbangan domestik All Nippon Airways (ANA). Pada saat itu Lockheed berada dalam kesulitan finansial yang besar. Setelah mengalami beberapa kegagalan dengan produksi pesawat-pesawat lain, Lockheed mendekati tubir kebangkrutan. Ia hanya bisa menghargai dengan pemerintah Jepang sebesar $ 250 juta dari federal pada tahun 1971. Jadi, keberhasilan misi Kotchian di sangat penting untuk masa depan Lockhe. Dalam negosiasi dengan pejabat-pejabat Jepang, Kotchian memakai jasa seorang "perantara" Jepang. Dari orang ini ia mendengar bahwa ia harus menjanjikan pembayaran $ 1,6 juta kepada kantor Perdana Menteri Tanaka. Kemudian beberapa kali ia harus melakukan pembayaran lagi kepada presiden ANA dan pejabatpejabat Jepang lain juta sebagai uang suap dalam menjual 21 pesawat TriStar. Seluruhnya Lockheed membayar $12,5. Setelah kasus ini dilaporkan dalam pers internasional. Tanaka ditahan dan diperiksa, semua pejabat yang terlibat kehilangan jabatannya. Di Amerika Serikat kasus 15



suap Lockheed ini menjadi salah satu skandal bisnis paling menggemparkan yang dikenal dalam sejarah Amerika dan diperiksa oleh instansi kehakiman Amerika sampai detail-detailnya. Carl Kotchian tidak ada pilihan lain daripada diri sebagai presiden perusahaan Lockheed. Sebagai tanggapan atas kasus-kasus suap serupa itu DPR Amerika Serikat merancang undang-undang yang disebut "Foreign Corrupt Practices Act" dan ditandatangani oleh Presiden Jimmy Carter pada tahun 1977. Dalam undang-undang ini perusahaan Amerika dilarang untuk membayar suap sebagai pemasaran produk luar negeri. Perusahaan yang melanggar dapat melakukan pembelaan denda sampai 1 juta dolar dan pejabat perusahaan yang terlibat dalam kurungan sampai 5 tahun dan/atau melakukan itu sampai 10.000 dolar. 3. Kasus Panama Papers Panama Paper merupakan bocoran dokumen mengenai informasi dunia offshore dari tahun 1977 hingga 2015. Dokumen berukuran 2,6 terabyte berisi 11,5 juta dokumen rahasia dari 214.000 perusahaan luar negeri. Jumlah perusahaan aktif yang dikelola mencapai puncaknya pada tahun 2009, yaitu sebanyak 80.000 perusahaan. Lebih dari separuhnya didirikan di Kepulauan Virgin Britania Raya dan sisanya di Panama, Bahama, Seychelles, Niue, dan Samoa. Tercatat, ada 4,8 juta e-mail; 3 juta database; 2,1 juta dokumen PDF; 1,1 juta foto; 320.000 dokumen teks; dan 2.000-an file lainnya. Dokumen ini diberikan oleh seorang sumber anonim kepada sebuah koran dari Jerman Süddeutsche Zeitung pada bulan Agustus 2015 yang kemudian diteruskan ke International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ).



Lebih dari 100



organisasi pers dari seluruh dunia menyelidiki jutaan data dokumen elektronik tersebut. Dari dokumen-dokumen yang bocor mengindikasikan adanya usaha penghindaran pajak dengan menggunakan jasa perusahaan Mossack Fonseca. Mossack Fonseca adalah firma hukum dan penyedia jasa pengelolaan aset perusahaan yang berlokasi di Panama yang didirikan pada tahun 1977 oleh Jürgen Mossack dan Ramón Fonseca. Terungkap dalam Dokumen The Panama Papers, setidaknya 128 politikus dan pejabat publik dari seluruh dunia yang namanya tercantum dalam jutaan dokumen yang bocor. ICIJ secara bersama-sama membongkar dokumen Panama Papers dan menemukan bahwa lebih dari 14.000 perusahaan yang terdaftar di Seychelles, sebuah 16



kepulauan di Samudra Hindia yang sering digambarkan sebagai surga pajak. Surga pajak artinya di dalam jurisdiksi bernama “surga” tersebut, para penanam modal yang menanamkan modalnya, begitu pula jika ada hasil yang timbul karena investasi dimaksud, tidak dikenakan pajak. Tokoh-tokoh dunia yang terlibat salah satunya adalah para rekan Presiden Vladimir Putin, pelanggaran kode etik bisnis para petinggi FIFA, hingga penyelewengan pajak beberapa pebisnis besar dunia bahkan mencakup pemain sepak bola sekalipun. Lalu juga ada Perdana Menteri Islandia Sigmundur David Gunnlaugsson, Presiden Tiongkok Xi Jinping, Perdana Menteri Inggris David Cameron, juga beberapa nama pengusaha Indonesia, seperti Rini Soewarno, Ketua BPK, Harry Azhar Aziz, dan Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Keamanan Luhut B. Panjaitan. 3.2 Analisis Kasus 1. Analisis Kasus bisnis dengan Afrika Selatan yang rasistis Solusi dari General Motors itu bisa dilihat sebagai usaha untuk mencari jalan tengah antara pandangan "menyesuaikan diri" dan rigorisme moral. Di satu pihak mereka tetap tinggal di Afrika Selatan dan dengan itu mendukung pemerintah yang rasistis itu, tetapi di lain pihak mereka menolak untuk mempraktekkan diskriminasi ras di dalam pabrik dan kantor mereka sendiri. Dalam pandangan "menyesuaikan diri" dapat kita hargai perhatian untuk peranan situasi. Situasi yang berbeda-beda memang mempengaruhi kualitas etis suatu perbuatan, tetapi tidak sampai menyingkirkan sifat umum dari norma-norma moral, seperti dipikirkan pandangan pertama ini. Pandangan kedua, rigorisme moral, terlalu ekstrem dalam menolak pengaruh situasi, sedangkan mereka benar dengan pendapat bahwa kita tidak meninggalkan norma-norma moral di rumah, bila kita berangkat berbisnis ke luar negeri. Norma- norma moral mempunyai sifat universal. Dalam etika jarang saja prinsip-prinsip moral bisa diterapkan dengan mutlak, karena situasi konkret seringkali sangat kompleks. 2. Analisis Kasus Suap Lockheed



17



Skandal suap Lockheed menjadi masalah korupsi pada taraf internasional. Perbuatan seperti yang dilakukan pimpinan Lockheed menjadi sesuatu yang ilegal dengan adanya undang-undang yang disebut “Foreign Corrupt Practices Act”. Tidak ada negara yang menerima “uang suap” sebagai cara normal untuk menjalankan bisnis. Hal itu tampak paling jelas dengan reaksi keras masyarakat Jepang terhadap kasus Lockheed. Mereka patut mendapatkannya, karena praktek suap bertentangan dengan hakikat bisnis itu sendiri. Menurut pemikiran De George disebutkan alasan-alasan mengapa praktik suap harus dianggap tidak bermoral atau tidak etis. Alasan yang berkaitan dengan kasus Lockheed diantaranya: karena kasus suap Lockheed melanggar etika pasar, dimana bisnis tersebut bermain curang. Sedangkan dalam sistem ekonomi pasar dimungkinkan seluruh orang bersedia mematuhi aturan-aturannya. Kasus Lockheed juga tidak etis karena orang yang tidak berhak, mendapat imbalan. Para pejabat Jepang yang menerima uang suap, tidak pantas diberi imbalan. Mereka mendapat uang suap karena menyalahgunakan kekuasaan, dengan demikian mereka merugikan rakyat dan negara Jepang. 3. Analisis Kasus Panama Paper Panama paper menunjukkan bagaimana pelanggaran keuangan orang-orang kaya dan berkuasa di seluruh dunia dilakukan. Kasus Panama Paper ini berkaitan dengan usulan De George mengenai “Korporasi multinasional harus membayar pajak yang fair”. Mossack Fonseca sebagai pendiri sebuah firma hukum, seharusnya dapat memberi jaminan kepada masyarakat mengenai pembentukan perusahaan dan pembayaran pajak yang benar. Akan tetapi Mossack Foncesa malah membantu para pemilik kekuasaan untuk menyelewengkan pajak dengan membentuk perusahaan bodong. Kasus ini juga juga berkaitan dengan penyadaran etika yang seharusnya dilakukan oleh penemu, karyawan, maupun pemakai firma hukum ini. Karena mereka mampu untuk bekerja beberapa tahun lamanya untuk mempermudah proses korupsi dan penggelapan dana. Terkuaknya kasus Panama Paper yang melibatkan lebih dari 76 negara di dunia tentu saja mencoreng etika pelaksanaan politik dan bisnis yang ada di dunia ini. Kasus ini menjadi pelanggaran etika berat, karena menyangkut kepercayaan 18



publik. Ketika publik sudah tidak percaya terhadap sistem dan penguasa, maka yang terjadi hanyalah chaos di semua tempat. Bocornya Panama Papers ini kemudian dijadikan upaya sistematis untuk mempersiapkan global transparency system. Dimana kebijakan setiap otoritas keuangan di berbagai negara untuk saling bertukar informasi, sehingga informasi penimbun dana di suatu negara dapat dengan cepat diketahui oleh negara lain.



19



BAB IV PENUTUP



4.1 Kesimpulan Salah satu masalah besar yang menjadi sorotan dan didiskusikan dalam etika filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Pandangan yang menganggap norma-norma moral relatif saja tidak bisa dipertahankan. Namun tidak berarti bahwa norma-norma moral bersifat absolut. Pandangan-pandangan itu dibagi menjadi beberapa yaitu menyesuaikan diri, rigorisme moral, dan imoralisme naif. Masalah dumping dalam bisnis internasional, dumping produk menjadi topik dalam etika bisnis internasional, karena praktik kurang etis ini secara khusu berlangsung dalam hubunganya dengan negara lain. Dumping produk bisa diadakan dengan banyak motif yang berbeda salah satunya, penjual yang mempunyai persedian barang yang terlalu besar, sehingga memutuskan untuk menjual produk bersangkutan dibawah harga saja daripada sama sekali tidak terjual setidaknya sebagian biaya produksi kembali walaupun tetap merugi. Aspek-aspek etis dari korporasi multinasional. Fenomena agak baru di bisnis dunia adalah korporasi multinasional atau disebut juga, yaitu perusahaan yang mempunyai investasi langsung pada dua negara atau lebih. Sepuluh aturan etis yang dianggap mendesak adalah korporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian, korporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat, korporasi multinasional



harus



memberikan



kontribusi



kepada



pembangunan,



korporasi



multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia, korporasi multinasional harus membayar pajak dengan fair, korporasi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah mengembangkan dan menegakkan background institutions, jika korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko ia wajib menjaga agar pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman, dan dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang korporasi multinasional wajib merancang sebuah teknologi sedemikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman oleh negara baru yang belum berpengalaman.



20



Masalah korupsi dalam taraf internasional, korupsi dalam bisnis tidak hanya terjadi di taraf internasional, tetapi perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam etika bisnis terutama mengarah pada konteks internasional. Masalah korupsi dapat menimbulkan kesulitan moral yang besar bagi bisnis internasional, karena di negara satu bisa saja dipraktekkan apa yang tidak mungkin diterima di negara lain. Menurut De George terdapat empat alasan mengapa praktik suap harus dianggap tidak bermoral, bahwa praktik suap itu melanggar etika pasar, bahwa orang yang tidak berhak mendapat keuntungan juga, di mana uang suap diberikan dalam keadaan kelangkaan, dan bahwa praktik suap mengundang untuk melakukan perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya.



21



DAFTAR PUSTAKA



Bertens, 2013, Pengantar Etika Bisnis, Kanisius-Yogyakarta. Bisma, Alfa. 2016. Indikasi Penghindaran Pajak dalam Panama Papers. https://www.academia.edu/download/45763104/Indikasi_Penghindaran_Pajak_dalam _Panama_Papers_-_Bisma_Alfa.pdf (diakses pada 24/04/2022 pukul 12.03) Kameo, J. (2016). PANAMA PAPERS DAN DISKURSUS TENTANG PERLINDUNGAN DATA DI INDONESIA: SUATU PERSPEKTIF TEORI KEADILAN BERMARTABAT. Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 10(1), 84-98. https://doi.org/10.24246/jrh.2016.v10.i1.p84-98 (diakses pada 24/04/2022 pukul 11.51). Purwanti, Asri. 2016. Analisis Kasus Panama Paper dari Segi Etika. https://www.academia.edu/25734699/ANALISIS_KASUS_PANAMA_PAPER_DAR I_SEGI_ETIKA (diakses pada 23/04/2022 pukul 22.30)



22