Makalah Manajemen Bencana [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH MANAJEMEN BENCANA “KONSEP DASAR MANAJEMEN BENCANA”



Disusun oleh : Kelompok HANA MULFAIZA



181040500130



HASNA ADIBA RAMBE



181040500096



ULAN



181040500101



NARGIS HAYDAR



181040500106



PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT STIKes KHARISMA PERSADA TANGERANG SELATAN 2019



1



KATA PENGANTAR



Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, taufik, dan hidayah – Nya Saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik baiknya meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan nabi besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi rahmat dan anugrah bagi seluruh alam semesta. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada dosen yang sudah memberi tugas ini, sehingga saya menjadi bertambah luas pengetahuannya, dan lebih kreatif dalam proses belajar. Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas Manajemen Bencana yang berjudul “Konsep Dasar Manajemen Bencana”. Disamping itu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terealisasikan makalah ini.



2



DAFTAR ISI



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR). Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi. Dan menduduki peringkat tiga untuk ancaman gempa serta enam untuk banjir. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama Januari 2013 mencatat ada 119 kejadian bencana yang terjadi di Indonesia. BNPB juga mencatat akibatnya ada sekitar 126 orang meninggal akibat kejadian tersebut. kejadian bencana belum semua dilaporkan ke BNPB. Dari 119 kejadian bencana menyebabkan 126 orang meninggal, 113.747 orang menderita dan mengungsi, 940 rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak sedang, 10.945 rumah rusak ringan. Untuk mengatasi bencana tersebut, BNPB telah melakukan penanggulangan bencana baik kesiapsiagaan maupun penanganan tanggap darurat. Untuk siaga darurat dan tanggap darurat banjir dan longsor sejak akhir Desember 2012 hingga sekarang, BNPB telah mendistribusikan dana siap pakai sekitar Rp 180 milyar ke berbagai daerah di Indonesia yang terkena bencana. Namun, penerapan manajemen bencana di Indonesia masih terkendala berbagai masalah, antara lain kurangnya data dan informasi kebencanaan, baik di tingkat masyarakat umum maupun di tingkat pengambil kebijakan. Keterbatasan data dan informasi spasial kebencanaan merupakan salah satu permasalahan yang menyebabkan manajemen bencana di Indonesia berjalan kurang optimal. Pengambilan keputusan ketika terjadi bencana sulit



3



dilakukankarena data yang beredar memiliki banyak versi dan sulit divalidasi kebenarannya. 1.2 Rumusan Masalah 1. Konsep dasar manajemen bencana 2. Kebijakan manajemen bencana 1.3 Tujuan



4



BAB II PEMBAHASAN



2.1 Bencana 2.1.1 Definisi Bencana Bencana adalah suatu peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan manusia yang disebabkan karena faktor alam, faktor non alam, dan faktor manusia. Kejadian tersebut menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana). Bencana adalah sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; bahaya; dalam bahaya; dalam kecelakaan; gangguan; godaan (Hasan, 2007). Bencana adalah gangguan serius yang berdampak langsung terhadap hidup suatu komunitas atau masyarakat seperti kerugian secara material, kerusakan lingkungan dan kejadian bencana tersebut mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk mengatasi hal tersebut sesuai dengan sumber daya sendiri(Asian Disaster Reduction, 2009).Fenomena bencana muncul karena adanya komponen pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability) yang saling berkaitan sehingga menyebabkan munculnya risiko terhadap komunitas dalam suatu wilayah (United Nations Development Programme and Government of Indonesia , 2012). 2.1.2 Tahapan Bencana Disaster atau bencana dibagi beberapa tahap yaitu : tahap pradisaster,tahap serangan atau saat terjadi bencana (impact), tahap emergensi dan tahaprekonstruksi. Dari ke-empat tahap ini, tahap pra disaster memegang peranyang sangat strategis.



5



a. Tahap Pra-Disaster Tahap ini dikenal juga sebagai tahap pra bencana, durasi waktunya mulai saat sebelum terjadi bencana sampai tahap serangan atau impact. Tahap ini dipandang oleh para ahli sebagai tahap yang sangat strategis karena pada tahap pra bencana ini masyarakat perlu dilatih tanggap terhadap bencana yang akan dijumpainya kelak. Latihan yang diberikan kepada petugas dan masyarakat akan sangat berdampak kepada jumlah besarnya korban saat bencana menyerang (impact), peringatan dini dikenalkan kepada masyarakat pada tahap pra bencana. b. Tahap Serangan atau Terjadinya Bencana (Impact phase) Pada tahap serangan atau terjadinya bencana (Impact phase) merupakan fase terjadinya klimaks bencana. Inilah saat-saat dimana, manusia sekuat tenaga mencoba ntuk bertahan hidup. Waktunya bisa terjadi beberapa detik sampai beberapa minggu atau bahkan bulan. Tahap serangan dimulai saat bencana menyerang sampai serang berhenti. c. Tahap Emergensi Tahap emergensi dimulai sejak berakhirnya serangan bencana yang pertama.Tahap emergensi bisa terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan. Pada tahap emergensi, hari-hari minggu pertama yang menolong korban bencana adalah masyarakat awam atau awam khusus yaitu masyarakat dari lokasi dan sekitar tempat bencana. Karakteristik korban pada tahap emergensi minggu pertama adalah : korban dengan masalah Airway dan Breathing (jalan nafas dan pernafasan), yang sudah ditolong dan berlanjut ke masalah lain, korban dengan luka sayat, tusuk, terhantam benda tumpul, patah tulang ekstremitas dan tulang belakang, trauma kepala, luka bakar bila ledakan bom atau gunung api atau ledakan pabrik kimia atau nuklir atau gas. Pada minggu ke dua dan selanjutnya, karakteristik korban mulai berbeda karena terkait dengan kekurangan makan, sanitasi lingkungan dan air bersih, atau personal higiene. Masalah kesehatan dapat berupa sakit lambung (maag), diare, kulit, malaria atau penyakit akibat gigitan serangga.



6



d. Tahap Rekonstruksi Pada tahap ini mulai dibangun tempat tinggal, sarana umum seperti sekolah, sarana ibadah, jalan, pasar atau tempat pertemuan warga. Pada tahap rekonstruksi ini yang dibangun tidak saja kebutuhan fisik tetapi yang lebih utama yang perlu kita bangun kembali adalah budaya. Kita perlu melakukan rekonstruksi budaya, melakukan re-orientasi nilai-nilai dan norma-norma hidup yang lebih baik yang lebih beradab. 2.2.2 Tahapan dan Kegiatan dalam Manajemen Bencana



Dalam manajemen bencana dikenal 4 tahapan kerja penanggulangan bencana yaitu; 1. Fase Pencegahan dan Mitigasi; dilakukan pada situasi tidak terjadi bencana 7



tujuannya untuk memperkecil dampak negatif bencana. Dalam



manajemen



bencana



dikenal



4



tahapan



kerja



penanggulangan bencana yaitu; 1) Fase Pencegahan dan Mitigasi : Dilakukan pada situasi tidak terjadi



bencana tujuannya untuk memperkecil dampak negatif



bencana. 2) Fase Kesiapsiagaan (Preparadness) : Dilakukan pada situasi terdapat potensi bencana dengan merencanakan bagaimana menanggapi bencana. 3) Fase Tanggap Darurat (Emergency Response) : Dilakukan pada saat terjadi bencana tujuannya untuk mengurangi dampak negatif pada saat bencana. 4) Fase Pemulihan (Recovery) : Dilakukan setelah terjadi bencana tujuannya untuk mengembalikan masyarakat pada kondisi normal.



Gambar 1.1



8



Tahapan penanggulangan bencana Meskipun



dari



gambar



1.1



terdapat kuadran-kuadran yang merupakan tahapan-tahapan dalam penanggulan bencana bukan berarti bahwa dalam praktek tiap-tiap kuadran dilakukan secara berurutan. Tanggap darurat misalnya dapat dilakukan pada saat sebelum terjadi bencana atau dikenal dengan istilah ‘’siaga darurat’’, ketika diprediksi bencana akan segera terjadi. Meskipun saat kejadiaan bencana belum tiba, namun pada tahap siaga darurat (evakuasi



dapat



dilaksanakan



penduduk,



penampungan



kegiatan



tanggap



darurat



dasar



berupa



pemenuhan kebutuhan



sementara,



pemberian



layanan kesehatan dll). Perlu



pangan



dan



non-pangan,



dipahami bahwa meskipun telah



dilakukan berbagai kegiatan pada tahapan siaga darurat, terdapat dua kemungkinan situasi yaitu bencana benar-benar terjadi atau bencana tidak terjadi. Berdasarkan pasal 33 UU 24/2007 hanya disebutkan 3 tahapan manajemen bencana yaitu; Pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana. Kuadran ‘’pencegahan dan mitigasi’’ serta ‘’kesiapsiagaan’’ adalah sama dengan ‘’pra bencana’’. 2.2.3 Pembagian Peran pada Penanggulangan Bencana Penanggulangan bencana dibagi menjadi 3 fase yaitu; Pra Bencana,



Tanggap Darurat



dan Pasca Bencana. Contoh-contoh



penanggulangan bencana pada tiap fase sebagai berikut: a) Fase Pra Bencana; pada fase ini meliputi pencegahan (prevention) dan



mitigasi dan kesiapsiagaan



(preparedness).



Pencegahan



(upaya yang dilakukan untuk mencegah bencana jika mungkin dengan meniadakan bahaya). Misalnya; melarang pembakaran hutan, melarang menambang batu di daerah yang curam, dll. Mitigasi (upaya yang dilakukan untuk meminimalkan dampak yang



ditimbulkan



bendungan,



dam,



oleh



ben cana).



tanggul



sungai,



Misalnya membuat peraturan,



tataruang,



pelatihan dll. Kesiapsiagaan (upaya yang dilakukan untuk



9



mengantisipasi



bencana



langkah



tepat,



yang



melalui pengorganisasian



efektif



dan



siap



siaga).



langkahMisalnya;



penyiapan sarkom, posko, lokasi pengungsian, peringatan dini yang cepat, tidak membingungkan dan resmi. b) Fase Tanggap Darurat; upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian



bencana , untuk



menanggulangi



dampak



yang



ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi, pengungsian dan bantuan darurat berupa pangan, sandang, tempat tinggal, sanitasi, kesehatan dan air bersih. c) Fase Pasca Bencana; meliputi pemulihan baik sarana maupun prasarana masyarakat, merehabilitasi dan merekontruksi kembali pemukiman, tempat ibadah, jalan, listrik dll. 2.2.4 Pentingnya Pemetaan Bahaya dan Sumber daya Sifat



bencana



yang



cepat



dan



merusak



memerlukan



penanganan berbagai pemangku kebijakan (stake holder). Bukan hanya pemerintah (pusat, propinsi, kota/kabupaten) tapi juga LSM, Swasta, ketua adat dan masyarakat itu sendiri. Jika suatu bencana telah dipetakan maka akan mempermudah koordinasi dalam penanggulangan setiap fasenya. Tapi jika belum maka perlu ada upaya dari pemerintah daerah masing-masing untuk memetakan potensi bencananya. Selain adanya peta bahaya perlu juga dibuat peta sumberdaya. Pemetaan sumberdaya ini meliputi segala sumberdaya baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat pada daerah tersebut. Informasinya bisa berupa jumlah personil yang siap dikerahkan jika terjadi bencana, jumlah obat-obatan, pangan dan sebagainya. Sehingga pada saat terjadi bencana maka



kepala



memobilisasi



daerah semua



(walikota/bupati



atau



gubernur)



dapat



potensi sumberdaya itu untuk penanggulangan



bencana.



10



2.2.5 Prinsip-prinsip penanggulangan bencana Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 tahun 2007, yaitu: 1) Cepat dan tepat. Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan. 2)



prioritas. Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.



3) koordinasi dan keterpaduan. Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi” adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah



bahwa penanggulangan bencana



dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung. 4) berdaya guna dan berhasil guna. Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya guna” adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. 5) transparansi dan akuntabilitas. Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum. 6) Kemitraan 7) Pemberdayaan



11



8) Nondiskriminatif. Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah



bahwa



negara



dalam



penanggulangan



bencana



tidak



memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun. 9) Nonproletisi. Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana. 2.2.6



Asas-asas dalam penanggulangan bencana



Penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 Tahun 2007 berasaskan: 1. kemanusiaan.



Yang



dimaksud



dengan



“asas



kemanusiaan”



termanifestasi dalam penanggulangan bencana sehingga undangundang ini memberikan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. 2. Keadilan. Yang dimaksud dengan”asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. 3. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana tidak boleh berisi hal-hal yang membedakan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. 4.



keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial dan lingkungan. Yang dimaksud dengan “asas keselarasan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan



12



bencana mencerminkan keselarasan tata kehidupan dan lingkungan. Yang dimaksud dengan ”asas keserasian” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keserasian lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat. 5.



ketertiban dan kepastian hukum; Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.



6. Kebersamaan. Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah bahwa penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara gotong royong. 7. Kelestarian lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan “asas kelestarian lingkungan hidup” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan kelestarian lingkungan untuk generasi sekarang dan untuk generasi yang akan datang demi kepentingan bangsa dan negara. 8. ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang dimaksud dengan “asas ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal



sehingga



mempermudah



dan



mempercepat



proses



penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi bencana, maupun pada tahap pascabencana



2.2.6



Pertolongan Pertama Pada Korban Bencana



Peran penting bidang kesehatan juga sangat dibutuhkan dalam penanggulangan dampak  bencana, terutama dalam penanganan korban trauma baik fisik maupun psikis. Keberadaan tenaga kesehatan tentunya akan sangat



13



membantu untuk memberi pertolongan pertama sebelum proses perujukan ke rumah sakit yang memadai.11 Pengelolaan penderita yang mengalami cidera parah



memerlukan



penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat agar sedapat mungkin bisa menghindari kematian. Pada penderita trauma, waktu sangatlah penting, karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai Initial assessment (penilaian awal) dan Triase. Prinsip-prinsip ini diterapkan dalam pelaksanaan pemberian bantuan hidup dasar pada penderita trauma (Basic Trauma Life Support) maupun Advanced Trauma Life Support.11 Triage adalah tindakan mengkategorikan pasien menurut kebutuhan perawatan dengan memprioritaskan mereka yang paling perlu didahulukan. Paling sering terjadi di ruang gawat darurat, namun triage juga dapat terjadi dalam pengaturan perawatan kesehatan di tempat lain di mana pasien diklasifikasikan menurut keparahan kondisinya. Tindakan ini dirancang untuk memaksimalkan dan mengefisienkan penggunaan sumber daya tenaga medis dan fasilitas yang terbatas.10 Triage dapat dilakukan di lapangan maupun didalam rumah sakit. Proses triage meliputi tahap pra-hospital/lapangan dan hospital atau pusat pelayana kesehatan lainnya. Triage lapangan harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba ditempat kejadian dan tindakan ini harus dinilai lang terus menerus karena status triage pasien dapat berubah. Metode yang digunakan bisa secara Mettag (triage Tagging System) atau sistem triage penuntun lapangan Star (Simple Triage and Rapid Transportasi) Penuntun Lapangan START berupa penilaian pasien 60 detik yang mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental untuk memastikan kelompok korban seperti yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan, atau mati. Ini memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport segera. Star merupakan salah satu



14



metode yang paling sederhana dan umum. Metode ini membagi penderita menjadi 4 kategori : 1. Prioritas 1 – Merah Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para penderita yang kritis



keadaannya



seperti



gangguan



jalan



napas,



gangguan



pernapasan, perdarahan berat atau perdarahan tidak terkontrol, penurunan status mental 2. Prioritas 2 – Kuning Merupakan prioritas berikutnya diberikan kepada para penderita yang mengalami keadaan seperti luka bakar tanpa gangguan saluran napas atau kerusakan alat gerak, patah tulang tertutup yang tidak dapat berjalan, cedera punggung. 3. Prioritas 3 – Hijau Merupakan kelompok yang paling akhir prioritasnya, dikenal juga sebagai ‘Walking Wounded” atau orang cedera yang dapat berjalan sendiri. 4. Prioritas 0 – Hitam Diberikan kepada mereka yang meninggal atau mengalami cedera yang mematikan. Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritisasikan tindakan atas korban adalah yang dijumpai pada sistim METTAG. Prioritas tindakan dijelaskan sebagai : 1. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin diresusitasi. 2. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan tindakan dan transport segera (gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat). 3. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien dengan cedera yang dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat (cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura



15



mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher, serta luka bakar ringan). 4. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi segera (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas serta gawat darurat psikologis).



BAB III PENUTUP



1.1 Kesimpulan



Indonesia merupakan salah satu yang rawan bencana sehingga diperlukan manajemen atau penanggulangan bencana yang tepat dan terencana. Manajemen bencana merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Manajemen bencana di mulai dari tahap prabecana, tahap tanggap darurat, dan tahap pascabencana. Pertolongan



pertama



dalam



bencana



sangat



diperlukan



untuk



meminimalkan kerugian dan korban jiwa. Pertolongan pertama pada keadaan bencana menggunakan prinsip triage.



16



DAFTAR PUSTAKA 1. http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/15608/f.



%20BAB%20II.pdf?sequence=7&isAllowed=y 2. https://www.academia.edu/36574695/MAKALAH_KONSEP_DASAR_MANAJ EMEN_BENCANA 3. https://www.researchgate.net/publication/328230942_PENGETAHUAN_DA N_MANAJEMEN_BENCANA



17