Makalah Metode Istinbat Hukum Islam Revisi [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Bahar
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

i



MAKALAH BISNIS INTERNASIONAL (ISU-ISU KEUANGAN DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL)



DOSEN PEMBIMBING SRI HARTATI, SE.,MM



DISUSUN OLEH : KELOMPOK 12



AMALIA HENDRA ROVA RIZKA WANTI ANUGRAH PANE SARAH AZHARI AYUN MONDIA



(01800061) (01800054) (01800063) (01800084)



SEKOLAH TINGGI ILMU MANAJEMEN INDONESIA (STIMI) MEULABOH ACEH BARAT 2020/2021



ii



KATA PENGANTAR



Bismillahirrahmanirrahim, Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT, sang maha pengasih, penyayang dan pemurah, karena dengan rahmat dan pertolonganNya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul : “Metode Istinbath Hukum Islam”. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw, yang telah membawa risalah Islam yang penuh dengan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu ke-Islaman, sehingga dapat menjadi bekal hidup kita, baik di dunia maupun di akhirat.             Penulis menyadari, tersusunnya makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Semoga amal dan kebaikan yang telah diberikan, mendapat balasan yang lebih dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan



kritik



dan



penyempurnaan makalah ini.



saran



yang



membangun



dari



semua



guna



iii



DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR.................................................................................. DAFTAR ISI.................................................................................................



i ii



BAB I PENDAHULUAN........................................................................ A. Latar Belakang.........................................................................................



1 1



BAB II PEMBAHASAN .......................................................................... A. Pengertian Istinbat Hukum ...................................................................... B. Metode Istinbat Hukum ........................................................................... C. Metodologi Tathbiq Hukum Islam ..........................................................



2 2 3 6



BAB III PENUTUP ................................................................................... 1. Kesimpulan ..............................................................................................



9 9



DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................



11



1



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber pokok ajaran islam adalah Al-qur,an dan Al-hadist pada masa rasul. Apabila muncul suatu persoalan yang mengenai hukum baik itu berhubungan denganAllah maupun dengan masyarakat, maka Allah menurunkan ayat untuk menjelaskannya. Rasulullah sebagai pemberi penejelasan kepada umatnya tentang bagaimana ayat yang diturunkan tersebut. Penjelasan tentang Alqur,an tidak selamanya tegas dan terperinci(tafsili), melainkan banyak juga yang bersifat garis besar(ijmali) dan terkadang rasulullah harus menggunakan akal yang disebut dengan ijtihad. Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakala sudah ditemuakan dalam nashnya yang jelas dalam Al-qur’an dan Al-hadist, tetapi yang ditemukan tersebut merupakan hanya prinsip-prinsip umum. Untuk pemecahan masalah yang baru timbul yang belum ada nash secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada didalam Al-qur’an dan Al-hadist. Dengan jalan istinbath itu maka hukum islam akan senantiasa berkembang seirama dengan terjadinya dinamika perkembangan masyarakat guna mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan dan juga menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta menjamin hak dan kewajiban masing-masing individu yang berkepintingan secara jelas. Bagi seseorang yang ingin melakukan ijtihad sebuah hukum, maka ilmu ushul fiqh mutlak diperlukan karena ia merupakan alat atau acuan dalam melakukan istinbanth hukum. Dalam makalah ini akan kami bahas tentang istinbath hukum dan beberapa poin saja yang menganai dengan istinbath hukum, sebab kalau kita bahas semua yang ada dalam metode istinbath hukum maka akan cukup banyak yang perlu dibahas dan memerlukan waktu yang lebih lama.



2



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Istinbath Hukum Istinbâth” berasal dari kata “nabth” yang berarti : “air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbâth ialah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”.  Setelah dipakai sebagai istilah dalam  studi hukum islam, arti istinbâth menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihâd. Fokus istinbâth adalah teks suci ayat-ayat al-Qurân dan hadishadis Nabi s.a.w.. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbâth. Upaya istinbâth  tidak akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa pendekatan yang tepat. Tentu saja pendekatan ini terkait dengan sumber hukum. Menurut ‘Ali Hasaballah, sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli,  melihat ada dua



cara



pendekatan



yang



dikembangkan



oleh



para



pakar



dalam



melakukan istinbâth, yakni melalui kaedah-kaedah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat. Adapun



syarat-syarat



yang



harus



dipenuhi



oleh



orang



yang



akan



melakukan istinbâth atau ijtihâd adalah sebagai berikut: 1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qurân yang berhubungan dengan masalah hukum. 2. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi s.a.w. yang berhubungan dengan masalah hukum. 3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijmâ’, agar dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijmâ’. 4. Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyâs, dan dapat mempergunakannya untuk istinbâth hukum. 5. Mengetahui ilmu logika, agar dapat mengahasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya. 6. Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qurân dan Sunnah tersusun dalam bahasa Arab, dan lain-lain .



3



Tujuan istinbath hukum adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau perkataan mukallaf dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan. Melalui kaidah-kaidah itu kita dapat memahami hukum-hukum syara’ yang ditunjuk oleh nash, mengetahui sumber hukum yang kuat apabila terjadi pertentangan antara dua buah sumber hukum dan mengetahui perbedaan pendapat para ahli fikih dalam menentukan hukum suatu kasus tertentu. Jika seorang ahli fikih menetapkan hukum syariah atas perbuatan seorang mukallaf, ia sebenarnya telah meng-istinbath-kan hukum dengan sumber hukum yang terdapat di dalam kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli ushul fikih. Sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam terutama al-Qur’an dan al-Sunnah. Sumber hukum Islam ada yang disepakati para ulama (muttafaq) dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah al-Qur’an,



al-sunnah



(al-Hadits),



dan



ijma’.



Sedangkan



yang



diperselisihkan ialah: al-Qiyas, al-Istihsan, Maslahat al-Mursalah, Istishhab, alUrf, Madzhab Sahaby, dan Syari’at sebelum Islam (syar’un man qablana)  Pada klasifikasi lain, hukum Islam ada yang berasal dari ilahi (wahyu) dan berasal dari potensi-potensi insani. oleh karena itu, pada dasarnya sumber hukum islam adalah sumber naqliyah dan ‘aqliyah. Sumber hukum naqliyah ada yang bersifat orsinil (ashliyy) dan ada yang bersifat “tambahan” (taba’iyy). sumber hukum naqliyah yang bersifat “tambahan” ini ialah ijma’. oleh  karena itu sering kali pakar hukum islam menyatakan bahwa sumber hukum islam ada tiga. pertama al-Qur’an, kedua al-Sunnah dan ketiga Ijtihad. Ijma’ sering kali tidak disebut sebagai sumber hukum islam yang ketiga karena ijma’ merupakan sumber hukum naqliyah “tambahan” Karena pada dasarnya bersumber kepada al-qur’an dan sunnah juga. Demikian pula sumber-sumber hukum Islam lainnya, seperti qiyas, istihsan, istislah dan sebagainya, tidak lagi disebut sumber hukum islam karena semuanya merupakan hasil ijtihad. B. Metode istinbat hukum a. Metode Istinbat Hukum Metode istinbat hukum ini secara operasional dibagi dalam dua bagian:



4



1.



Metodologi Istinbat Dari Sumber-Sumber Hukum Islam



2.



Metodologi Tathbiq Hukum Islam



b. Metodologi Istinbat Dari Sumber Hukum Islam Secara ringkas, metodologi penetapan hukum Islam harus melalui beberapa tahapan berikut: a) Verifikasi Teks (Tautsiq An Nash/‫)توثيق النص‬ Verifikasi teks diartikan sebagai sebuah upaya untuk menguji validitas dan keabsahan penukilan sebuah teks. Jikalau validitas al Qur’an sudah final dan tak membutuhkan sebuah pengkajian ulang, maka upaya untuk menguji keabsahan sebuah teks hadits menjadi PR seorang mujtahid yang ingin menetapkan sebuah hukum. Sikap ilmiah ini telah menjadi sebuah karakteristik pemikiran Islam yang telah menelorkan banyak disiplin ilmu mulai dari ilmu rijal, sanad, al jarh wat ta’dil, ilmu musthalah hadits yang dikembangkan untuk menetapkan kaedah dan kode etik verifikasi teks. b) Pembacaan Teks (Fahm An Nash/‫فهم النص‬ ) Dalam kerangka istinbat al ahkam, topik pembacaan teks mendapat porsi yang proporsional sesuai dengan urgensinya dalam disiplin ushul fiqh. Perhatian pakar ushul fiqh terhadap relasi petanda-penanda (‫ )الدال والمدلول‬sangat besar. Ibn Amir al Haj (879H-1422M) mencatat bahwa tema ini mencakup,”…beragam klasifikasi yang saling terkait, dengan sudut pandang yang sangat beragam” Ketika mengkaji dalalat al alfadh, para pakar ushul fiqh mengelaborasi teks dari satuan terkecil “lafaz” hingga pada tataran kesamaran-kejelasan makna yang diberikan.Lafadh dikaji dan diuraikan dalam beberapa kata kunci al-am-al khas, al amr-al nahy, al musytarak, al mutaradif. Dari segi pemakaian (alisti’mal), teks dicermati dalam tema pemakaian makna hakiki-majazi (metaforal) dan beberapa topik terkait. Di samping itu, para pakar ushul membahas hierarki kejelasan-kesamaran makna sebuah teks dalam pembahasan kata kunci al mufassar – al muhkam sebagai padanan al khafi’ – al musykil – al mujmal – al mutasyabih, sebagaimana



5



yang kita lihat dalam aliran (mazhab) Hanafi, atau al nash – al dhahir sebagai padanan al mujmal – al muawwal seperti dalam aliran Mutakallimin. Terlebih dari itu, ushul fiqh juga mengkaji teks sebagai petanda (‫دال‬MM‫)ال‬ terhadap serangkaian penanda (‫ )المدلول‬dalam kajian tentang dalalat al ‘ibarah – dalalat al isyarah – dalalat al nash – dalalat al iqtidha’, seperti dalam metodologi Mazhab Hanafi. Sementara pakar ushul mutakallimin mengkajinya dalam dalalat al mantuq – al mafhum. Dalalat al mantuq kemudian dibedakan dalam mantuq sharih – ghair sharih, untuk kemudian mantuq ghair sharih dibagi ke dalam dalalat al iqtidha’ – dalalat al iima – dalalat al isyarah.. Beberapa Kecenderungan Dalam Pembacaan Teks Ketika melihat teks dalam dua sisi; literal-substansi, maka sejarah pemikiran Islam mencatat beberapa kecenderungan. Al Syatibi membaginya ke dalam empat kecenderungan : 



Dhahiriyyah, sebuah kecenderungan yang berpegang pada makna literaleksplisit (‫واهر‬MMM‫)الظ‬ tanpa memberi perhatian kepada makna implisit dan substansi (‫)المعاني والعلل‬ dari sebuah teks.







Al Batiniyyah, sebuah kecenderungan yang menganulir makna literal-eksplisit dan hanya berpegang pada makna implisit dan substansi sebuah teks sekalipun kontradiksi dengan makna literal.







Al Muta’ammiqun Fil Qiyas, yang berpegang pada makna literal-eksplisit dan makna implisit namun bersikap berlebihan dalam makna implisit hingga menyalahi banyak nash.







Al Ulama Al Rasikhun, yang memadukan secara seimbang antara makna literal dan substansi sebuah teks.



c) Menghargai Ijma’ Ulama (At Taqayyud bil Ijma’/‫)التقيد باإلجماع‬ Yang dimaksud dengan Ijma’ di sini adalah hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama yang selanjutnya membentuk sebuah identitas muslim. Olehnya, ketika seorang mujtahid mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengambil sebuah kesimpulan hukum dalam sebuah persoalan spesifik, ia harus menghadirkan dan menghargai hal-hal yang telah disepakati oleh para ulama. Al Qarafi menyebutkan bahwa,”Ketika hasil ijtihad bertentangan dengan ijma’ maka



6



secara otomatis hasil ijtihad seperti itu menjadi batal tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama”  Dalam bukunya, Al Ijtihad al Muashir, Dr. Yusuf al Qaradhawi menyebutkan sebuah contoh pendapat yang keluar dari apa yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu pendapat Dr. Syauki Syahatah dan Dr. Syauki al Fanjari yang menyatakana bahwa harta kekayaan berupa minyak yang dimiliki oleh beberapa negara di kawasan Teluk harus dikeluarkan zakatnya yaitu seperlima karena dipandang sebagai “harta rikaz/terpendam”. Pendapat ini telah menyalahi kespakatan para ulama yang menyatakan bahwa harta kekayaan negara tidak wajib dikeluarkan zakatnya. d) Memperhatikan Nilai-Nilai Universal Islam (Mura’at Al Ma’ani Wal Qawaid Al Kulliyyah/‫مراعاة المعانى والقواعد الكلية‬ ) Seorang mujtahid ketika tidak menemukan nash syar’iy dalam kasus yang dikajinya dan tidak menemukan jalan untuk sebuah analogi terhadap hukum yang ada, maka ia harus memperhatikan nilai-nilai universal dan kaedah-kaedah umum yang menjadi paradigma pemikiran Islam. Selanjutnya ia dapat membangun sebuah hukum untuk kasus spesifik yang dikajinya berdasarkan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai universal yang dimaksud adalah dalil yang tidak didasari oleh nash-nash tertentu dari al Quran maupun Sunnah tapi ia diambil dari nilai-nilai yang digali dan dibangun lewat proses induksi (‫ )استقراء‬dari berbagai nash hingga membetuk dan melahirkan sebuah nilai universal. Disamping berfungsi sebagai sumber hukum, nilai-nilai universal ini juga berfungsi sebagai kode etik yang harus diperhatikan seorang mujtahid dalam ijtihadnya. C. Metodologi Tathbiq Hukum Islam Setelah melewati fase penggalian hukum dari sumber-sumbernya, fase ini berusaha mengaitkan hasil ijtihad tadi yang masih bersifat umum dengan sebuah fakta di depan mata. Dalam literatur disiplin ushul fiqh, penerapan hukum Islam lebih dikenal dengan istilah al ifta’ atau tanzil al ahkam dalam istilah Imam Al Syathibi.



7



Substansi dari ijtihad dalam fase ini tersimpul dalam fiqh al waqi’ (memahami fakta apa adanya) dan tanzil al hukm (menetapkan hukum untuk kasus tersebut). Kedua substansi itu dikembangkan oleh para ulama dalam tiga fase berikut: a) Tashwir Wa Ta’rif Al Waqi’ (‫)تصوير وتعريف الواقع‬ Tashwir al waqi’ adalah sebuah upaya untuk mendeskripsi fakta apa adanya, mendefenisikan serta menganalisa struktur sebuah kasus ke dalam anasiranasir yang lebih kecil. Ibn Shalah mengatakan bahwa,”mendeskripsi kasus-kasus dengan baik, kemudian menetapkan hukum untuknya setelah mengeksplorasi sisisisi yang nampak jelas dan terselubung dari kasus-kasus yang ada, tidak mungkin dilakukan kecuali oleh orang yang faqih” . Dalam menetapkan hukum dalam kasus bayi tabung atau kloning misalnya meniscayakan sebuah deskripsi yang sempurna tentang prosesi bayi tabung atau pun kloning. Tanpa melewati tashwir yang memadai, hukum yang ditetapkan juga tidak akan memadai. b) Takyif Al Waqi’ (‫)تكييف الواقع‬ Takyif al waqi’ adalah upaya untuk mengembalikan sebuah kasus ke dalam kategori hukum tertentu. Misalnya, setelah selesai mendeskripsi dan mendefinisikan



sebuah



jenis



transaksi,



seorang



mujtahid



berusaha



mengembalikannya ke dalam kategori transaksi yang sudah ada seperti; jual beli, sewa menyewa, gadaian dst… Ketika mendapati substansi sebuah kasus merujuk kepada kategori jual beli misalnya, maka hukum kasus tersebut merujuk kepada hukum jual beli dengan seluruh syarat dan konsekwensinya. Dan jika tidak dapat dikembalikan ke salah satu kategori hukum yang ada, kasus tersebut dianggap sebagai transaksi yang belum memiliki nama. Selanjutnya akan diberi nama sesuai dengan substansinya dengan tetap berusaha untuk menjelaskan hukumnya. Dalam kerangka ini, Imam al Syathibi menyebut prosesi tersebut sebagai tahqiq al manath fi al anwa’ yang dibedakannya dengan tahqiq al manath fi al asykhash. Jika substansi yang pertama adalah upaya verifikasi terhadap jenis-jenis kasus yang dapat dimasukkan dalam sebuah kategori hukum maka substansi yang



8



kedua adalah upaya pengkajian dan verifikasi terhadap hukum yang sesuai dengan setiap person dengan mempertimbangkan waktu dan kondisi kasusnya. Yang pertama misalnya terlihat dalam realitas kehidupan beberapa kasus yang memiliki kemiripan. Aksi copet, rampok bank dan aksi pemerasan seorang karyawan merupakan tiga kasus yang memiliki kemiripan hingga hampir-hampir dapat dikategorikan sebagai kasus pencurian. Sementara yang kedua dapat dilihat dalam hukum ta’zir dimana seorang hakim berhak untuk memutuskan sebuah hukum dengan mempertimbangkan person, kondisi dan waktu yang terkait dengan sebuah kasus.



9



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Istinbath hukum merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari sumbernya. Perkataan ini lebih populer disebut dengan metodologi penggalian hukum. Metodologi, menurut seorang ahli dapat diartikan sebagai pembahasan konsep teoritis berbagai metode yang terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Jika hukum Islam dipandang sebagai suatu sistem pengetahuan, maka yang dimaksudkan metodologi hukum Islam adalah pembahasan konsep dasar hukum Islam dan bagaimanakah hukum Islam tersebut dikaji dan diformulasikan. Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz. Sedangkan muqayyad adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih terbatas dan pasti. Menurut bahasa Arab al-amr adalah perintah, sedangkan menurut istilah adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Sedangkan nahi menurut bahasa adalah mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau  lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita.  ‘Am adalah suatu perkataan yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam pertkataan itu dengan tidak terbatas, misalnya: al insan yang berarti manusia . Perkataan ini memiliki pengertian umum , jadi semua manusia termasuk dalam perkataan ini. Sekali mengucapkan kata al insan sudah meliputi manusia seluruhnya. Sedangkan Pengertian khâsh adalah lawan dari pengertian ‘âmm (umum). Dengan demikian, jika telah memahami pengertian lafaz ‘âmm secara tidak langsung, juga dapat memahami pengertian lafaz khâsh. Karenannya tidak semua penulis yang menguraikan tentang lafaz khâsh dalam bukunya, memberikan pengertian lafaz khâsh itu secara definitif.



10



Lafal Musytarak menurut Abdul Wahab Khallaf ialah lafal yang mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan kepada artinya secara bergantian, maksudnya ialah bahwa lafal itu bisa menunjukkan arti ini atau arti itu. Secara bahasa Al muawwal adalah yang dirujuk dari kata AwwalaYuawwilu yang mempunyai arti At-tafsir, Al-marja, Al-mashir. Dari segi bahasa At-tafsir mempunyai arti penjelasan atau uraian, Al-marja berarti kembali atau tempat kembali. Menurut istilah Al muawaal yang dikemukakan oleh imam Al Ghazali adalah sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang  pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas  yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.



11



DAFTAR PUSTAKA Arifin, Miftahul dan Haq, A. Faisal, Ushul Fiqh: Kiaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, Cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997. Burhanuddin, Fiqih Ibadah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010. Ma’sum Zein Zudbah, Muhammad, UshulFiqh, Jawa Timur: Darul Hikmah. 2008. Mas’adi, Gufron, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Mu’in, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II,  Jakarta: Departemen Agama, 1986. Nazar Bakry, Sidi, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.