Makalah Muatan Lokal Budaya-Budaya Bima [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH MUATAN LOKAL BUDAYA-BUDAYA BIMA DIBIMBING OLEH : ARFAH, S.Pd



DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2 ANGGOTA KELOMPOK : 1. MAWARNI 2. AISYAH 3. NOVE JUNI 4. ANASRULLAH 5. ROSIDAH 6. FEBRIANTI



SMA KAE WOHA TAHUN 2021



KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya sehingga makalah Budaya Lokal, tentang “Budaya-Budaya Bima” bisa terselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta seluruh pengikutnya. Disusunnya makalah ini dengan maksud agar kita bisa memahami  dan mengetahui bagaimana adat, tradisi-tradisi dan budaya-budaya masyarakat Bima. Tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada guru pembibing yang telah memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan penulisan makalah ini. Akan tetapi kami harap agar pembaca bisa memaklumi kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah kami, atas dasar itu kritik dan saran kami harapkan dari pembaca demi kesempurnaan makalah yang kami buat ini dan lebih bermanfaat bagi kita semua. Amin…… Bima Oktober 2021 Hormat kami,



Kelompok 2



PENDAHULUAN Istilah “mbojo” yang dipergunakan disini mencakup kota bima, kabupaten bima, dan kabupaten dompu. Dalam penerjemahan Indonesia, “mbojo” lazim diterjemahkan dengan kata “bima”. Dasar itulah kemudian, penyebutan mbojo selalu identik dengan bima, padahal kata mbojo adalah entitas etnis yang sekarang mencakup kota bima, kabupaten bima, dan kabupaten dompu. Pada umumnya, dana mbojo (tanah bima) berbukit-bukit dan terdapat beberapa gunung yang tinggi, sedangkan dataran rendah hanya terdapat di beberapa tempat. Desa-desa dalam wilayah bima pada umumnya terdiri dari beberapa kampung kecil yang disebut rasa (dusun) yang merupakan kesatuan wilayah semata-mata. Sebuah desa biasanya dibatasi oleh bukit kecil, tegalan, kebun, atau sawah. Untuk melindungi kampung dari gangguan hewan-hewan yang berkeliaran biasanya di pinggir rasa (dusun) ditanami pohon bambu atau kedondong. Adapun tanah-tanah yang menjadi tempat mendirikan rumah panggung (uma panggu) oleh penduduk pada zaman dahulu merupakan milik bersama yang dahulu di bawah kekuasaan sultan dan tidak diberikan dasar hak kepemilikan secara perorangan. Tentunya suatu daerah memiliki cirri khas tentang budaya yang menonjol atau unik untuk diketahui. Berikut ini adalah pembahasan beberapa budaya dana mbojo (tanah/daerah bima) yang kami sajikan secara singkat.



PEMBAHASAN Kebudayaan sebagai sesuatu yang khusus dan sesuatu berbudi luhur dalam menempatkan di lingkungan alam, kebudayaan merupakan suatu simbol bukti kepercayaan dalam setiap adat, tradisi, bahasa dan lain sebagainya. Masyarakat mampu mewujudkan kebudayaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang melalui tradisi kebudayaan yang ada dengan menyelenggarakan berbagai macam acara tradisi yang masih di anutnya dengan berbagai simbol dan makna dalam setiap tradisi. Setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, perbedaan tersebut menjadi ciri khas yang dimiliki setiap daerah. Begitu juga dengan salah satu daerah di Nusa Tenggara Barat yakni Bima yang mempunyai budaya yang unik yang berkaitan dengan pakaian sebagai hasil suatu kebudayaan, Bima merupakan salah satu wilayah paling timur dari pulau Sumbawa yang terdiri dari pemerintah tingkat kota dan kabupaten. Berikut ini beberapa budaya daerah bima yang bias kami tuliskan : 1. Rimpu Rimpu dalam kamus tertua yang di tulis oleh Jonker tahun 1896, tidak menjelaskan apa arti kata Rimpu itu. Memang, selama ini masyarakat luas mengenalnya hanya sebatas sebuah hijab tradisional masyarakat Bima Dompu (Mbojo). Penjelasan-penjelasan mengenai Rimpu banyak selama ini masih berpatokan pada hal Religiositas lokal. Namun bila kita lebih dalam membedah Rimpu ini, kita kan banyak menemukan hal-hal yang menyangkut Islamisasi, History dan Culture. Karena Rimpu adalah media bagaimana wanita Bima mempresentasikan adat mereka.



Wanita Bima di Pasar tahun 1956 (Sumber : UWM Library)



Dalam pandangan masyarakat Bima sendiri, Rimpu itu berarti Islam, sebuah symbol wanita muslim yang kini masih tetap bertahan, namun sayangnya, kini Rimpu hanya bisa di temui pada acara seremonial sesaat atau festival lokal, dijadikan sebuah simbol pergelaran dan pertunjukan pariwasata yang sangat jauh dengan kaidahnya. Padahal jika kita melihat penggunaan Rimpu di masa sekarang, itu adalah sebuah perlawanan, upaya kebangkitan ekonomi lokal dan bagaimana wanita Bima memperlihatkan jati diri keyakinan mereka terhadap kepercayaan leluhurnya (Islam). Dalam gempuran era modern saat ini, kita hanya bisa jumpai Rimpu pada masyarakat pesisir dan pedalaman, wanitawanita angkatan 50 hingga 60-an masih mengenakan Rimpu bilamana dia keluar rumah dengan spirit dan tata cara pemakaian yang sama seperti leluhur mereka. Untuk itu dalam tulisan yang sederhana ini, penulis mencoba menguraikan bagaimana penerapan dan spirit wanita Bima pada praktik tradisi mereka tersebut (Rimpu). Nama Rimpu sendiri dilihat dari naskah abad 18 dan 19 yang sudah di translit oleh dua orang filolog yaitu Dr. Sri Wulan Rujiati dan Dr. Siti Maryam, menerjemahkan bahwa terminologi nama Rimpu adalah tata cara pemakaian sarung, dimana nama sebenarnya adalah Kudung Sarung oleh masyarakat Bima hingga kini menyebutnya Rimpu. Datangnya kudung sarung sendiri di tanah Bima, dimulai saat datangnya kaum melayu yang menyebarkan Islam. Kemudian berasimilasi kedalam kebudayaan Bima. Kudung Sarung menjadi hijab wanita Bima ketika mereka akan keluar rumah 2. Mbolo weki Masyarakat Mbojo memiliki berbagai macam tradisi yang masih dilestarikan sampai sekarang, salah satunya ialah Mbolo Weki. Dari bahasa Bima, mbolo berarti lingkar atau melingkar, sedangkan weki dapat berarti masa, kumpulan, kerumunan, atau sekelompok. Mbolo Weki adalah acara musyawarah mufakat yang biasanya diselenggarakan untuk mempersiapkan suatu acara juga pesta dari sebuah keluarga, seperti pernikahan, khitanan, ataupun tahlil/doa pasca meninggalnya anggota keluarga.



Mbolo Weki biasanya dihadiri oleh perwakilan dari seluruh keluarga besar, kerabat, juga tetangga sekitar. Hal-hal yang biasanya dimusyawarahkan dalam Mbolo Weki antara lain penentuan hari baik, pembagian tugas (kepanitiaan acara), mendata segala kebutuhan dan keperluan acara, serta menyepakati apaapa yang akan dilaksanakan selama berlangsungnya acara tersebut. Orang-orang yang datang (weki) biasanya langsung memosisikan diri untuk duduk membentuk lingkaran (mbolo). Kaum laki-laki duduk melingkar di ruang tamu atau ruang utama yang lebih luas. Mereka akan bermusyawarah perihal keperluan yang berbentuk fisik, seperti tempat penyelenggaraan acara, panggung hiburan, seragam, dan sebagainya. Sementara kaum perempuan/ibu-ibu berada di dapur atau ruangan yang terpisah dari kaum laki-laki. Para ibu akan membicarakan beberapa hal, seperti anggaran, konsumsi, peralatan masak, tata rias, dan apa-apa saja yang harus dibelanjakan. Salah satu hal unik dalam Mbolo Weki adalah keluarga yang menyelenggarakan acara tidak akan menanggung sendiri beban material penyelenggaraan acara tersebut. Orang-orang yang hadir akan turut memberi sumbangsih sesuai kapasitas dan kemampuan. Apa yang diberikan bisa bermacam-macam, bisa berupa uang tunai, hewan ternak, padi/beras, hasil kebun, dan lain sebagainya. Tradisi musyawarah yang sudah turun-temurun ini dapat mempererat tali silaturahmi dan rasa kebersamaan karena dalam menyelenggarakan sebuah acara keluarga tertentu, beban juga dipikul secara bersama-sama oleh kerabat dan para tetangga. 3. Peta Kapanca Peta Kapanca” merupakan salah satu tradisi yang melekat pada masyarakat Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tradisi tersebut biasa dilakukan khusus oleh para kaum wanita sebagai salah satu rangkaian prosesi dalam acara pernikahan. Biasanya Tradisi Peta Kapanca ini dilakukan pada malam hari atau yang dilaksanakan satu hari sebelum prosesi akad nikah atau resepsi pernikahan. Pegiat Budaya Bima Nurlailah mengatakan bahwa dalam bahasa Daerah Bima, “Peta” berarti melumat dan “Kapanca” berarti Daun Pacar. Sehingga makna dari tradisi Peta Kapanca ini, yakni melumatkan daun pacar pada kedua telapak tangan calon pengantin wanita, sebagai simbol bahwa calon pengantin wanita



tersebut akan menjadi seorang istri dari calon pengantin lelaki yang telah meminangnya. “Dalam pelaksanaan tradisi Peta Kapanca ini, calon pengantin wanita sebelumnya melakukan beberapa rangkaian kegiatan, diantaranya prosesi “ Sangongo” atau mandi uap, kemudian dilanjutkan dengan “Boho Oi Mbaru” atau siraman dengan menggunakan air kembang tujuh rupa, yang selanjutnya melakukan prosesi “Cafi ra Hambu kai” atau menata serta merias kamar bagi calon pengantin wanita tersebut,” kata, Pegiat Budaya Bima Nurlailah, Kamis (27/8/2020). Dijelaskan, saat pelaksanaan acara atau tradisi Peta Kapanca berlangsung ada juga rangkaian dengan lantunan syair dan zikir bernuansa Islami yang serentak dibacakan oleh para wanita yang hadir. Hal itu dilakukan sebagai simbol pengharapan agar calon pengantin wanita selalu mendapatkan berkah dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang telah mulai dibina. Menurutnya, para kaum ibu yang memiliki anak gadis yang belum menikah, biasanya saling berebutan telur yang telah dihias yang berbentuk rangkaian bunga sebanyak 99 butir. Telur rias itu sebagai simbol dari Asma’ul Husna atau 99 Nama kebesaran Sang Maha Pencipta dalam kepercayaan Umat Islam. “Itu dilakukan agar anak gadis dari ibu-ibu yang mendapatkan telur tersebut akan secepatnya mendapatkan pasangan dan segera menikah,” tandasnya. Hingga saat ini, tradisi Peta Kapanca masih erat melekat dalam kehidupan masyarakat Bima pada umumnya, Peta Kapanca akan dipertahankan sebagai warisan Budaya yang terus dilestarikan. 4. Kiri loko Salah satu siklus hidup yang dilalui oleh masyarakat Suku Mbojo, adalah kehamilan (bagi perempuan). Sejak anak dalam kandungan, prosesi adat mulai menyertai hingga si anak tersebut (jika perempuan) mengandung kembali nantinya. Seperti halnya pada Suku Sasak dan Samawa, masyarakat Mbojo juga, memiliki tradisi tujuh bulanan, yang disebut Kiri Loko. Tidak kalah uniknya dengan kedua suku tersebut, Kiri Loko juga disertai dengan simbol-simbol kehidupan manusia, seperti kain, benang, api atau cahaya, buah-buahan hingga mandi air kelapa. Seluruh simbol kehidupan itu merupakan pelengkap dalam upacara adat Kiri Loko.



Tradisi tujuh bulanan bisa ditemui di berbagai daerah di Indonesia dengan beragam cara dan kebiasaan, termasuk pula masih dilestarikan oleh Suku Mbojo, di Bima dan Dompu. Tradisi tujuh bulanan khas Suku Mbojo yang dikenal dengan nama Kiri Loko masih tetap dilaksanakan hingga saat ini. Tradisi Kiri Loko dilakukan saat usia kandungan memasuki bulan ketujuh. Di usia itu, bayi dalam kandungan calon ibu telah utuh menjadi seorang manusia yang tengah berkembang semakin matang dan siap untuk dilahirkan pada saatnya tiba. Dipercaya, tradisi Kiri Loko bertujuan memberikan kekuatan dan semangat kepada calon ibu yang baru pertama kali akan mengalami proses luar biasa dalam hidupnya, yaitu melahirkan . Dalam prosesi Kiri Loko, terdapat sekali simbol dan makna kehidupan pada setiap tahapan prosesnya. Mulai dari kain tujuh lapis yang diatasnya daun pisang termuda dan kain putih yang dipakai sebagai alasa tidur oleh ibu hamil selama proses berlangsung. Tujuh lapis kain ini melambangkan bahwa kehidupan manusia itu betapa tinggi nilainya serupa tujuh lapis langit dan bumi yang kerap diumpamakan terhadap alam semesta ini. Kain putih sebagai pelapis atas tujuh kain tersebut, sebagai simbol bahwa manusia lahir dalam keadaan putih dan bersih dari segala dosa. Aksesoris berupa kain berlapis juga dipergunakan oleh Suku Mbojo yang ada di Dompu, yang disebut dengan Tembe Kanefe (kain atau sarung tradisional). Calon ibu harus menyiapkan beberapa helai sarung yang simbolnya nanti akan dipakai untuk menggendong dan mengasuh bayinya. Simbol ini merupakan bentuk tanggung jawab, yang melahirka anak ke dunia ini untuk mengasuh, merawat, melindungi dan membimbing dengan benar agar ia menjadi anak yang berguna bagi semua. 5. Mpa’a Gantao Mpa’a Gantao pada awalnya berasal dari orang cina yang di bawa ke Gowa Sulawesi Selatan yang namanya Kuntao. Gantao merupakan seni bela diri atau sejenis silat yang bisa menahan atau menyereng ketika ada musuh. Kuntao atau Gantao yang dikenal di masyarakat Bima masuk atau pertama kali dimainkan di tanah Bima oleh seorang perempuan. Mpa’a Gantao merupakan salah satu cara untuk menyebarkan ajaran islam ditanah Bima. Menikahnya perempuan yang memainkan Kuntao atau Gantao tadi maka islam mudah masuk ke Bima. Karena



perempuan itu merupakan salah satu dari beberapa orang yang ingin menyebarkan ajaran islam di tanah Bima. Seiring dengan berjalannya waktu muncullah beberapa bunyi-bunyian yang terdengar sekitar pesisir pantai ule, bunyi-bunyian tersebut di dengar oleh masyarakat



Bima yang ada disekitar



pantai Ule setiap siang, malam maupun di subuh hari. Setelah mendekati asal bunyi-bunyian itu ternyata bunyi Genda (Gendang), Silu, No (Gong) yang dimainkan oleh orang-orang dari Sulawesi yang ingin berdagang sambil menyebarkan ajaran islam di tanah Bima. Masyarakat Bimapun senang dengan melihat beberapa permainan yang dimainkan sambil diiringi oleh beberapa alat musik tadi dan perlahan-lahan mulai mengikuti dan memainkannya. Mpa’a Gantao merupakan permainan rakyat yang sering dipertunjukan pada beberapa Rawi rasa. Mpa’a Gantao tumbuh dan berkembang pada masa sultan Abil Khair Sirajuddin. Dalam gerakan Mpa’a Gantao itu sendiri memiliki makna masing-masing yang tentunya adalah bersumber dari huruf-huruf Al-Quran untuk membuat diri kita menjadi kuat. Mpa’a Gantao dalam prosesi perkawinan juga memiliki arti tersendiri yaitu dari gerakan Gantao artinya laki-laki akan selalu menjaga perempuan dari serangan apapun.



DAFTAR PUSTAKA http://www.mbojoklopedia.com/2020/05/rimpu-mbojo-simbol-dan-kultur-wanita.html https://1001indonesia.net/mbolo-weki-tradisi-bermusyawarah-suku-mbojo/ https://rri.co.id/humaniora/wisata/889299/mengenal-peta-kapanca-ritual-calonpengantin-bima http://humasntb.blogspot.com/2015/06/budaya-mbojo-kiri-loko.html http://samaratainstituteid.blogspot.com/2019/05/latar-belakang-mpaagantao-dimasyarakat.html