Makalah Pcos [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 1 PENDAHULUAN



1.1. LATAR BELAKANG Sindrom ovarium polikistik merupakan salah satu masalah endokrinologi pada wanita masa reproduksi yang berhubungan dengan kelainan hormonal dan dapat



mempengaruhi



kesehatan



wanita



tersebut



secara



umum.



Pada



kenyataannya, baik gejala klinik, pemeriksaan biokimiawi maupun pemeriksaan penunjangnya dapat memberikan hasil yang bervariasi. Alasan yang paling sering menjadi penyebab pasien dengan sindrom ini datang ke dokter ialah adanya gangguan pada siklus menstruasi dan infertilitas, masalah obesitas dan pertumbuhan rambut yang berlebihan serta kelainan lainnya seperti hipertensi, kadar lemak darah dan gula darah yang meningkat. Saat ini sudah terbukti bahwa sindrom ovarium polikistik tidak hanya menyebabkan kelainan pada bidang ginekologi saja tetapi juga berkaitan dengan kelainan metabolisme lain, yaitu adanya resistensi insulin yang berimplikasi pada kesehatan jangka panjang pasien. Wanita dengan kelainan ini mempunyai risiko lebih besar untuk mendapat penyakit diabetes melitus, penyakit jantung koroner dan karsinoma endometrium. Adanya terapi berupa senyawa sensitisasi insulin diharapkan dapat membantu pasien memperbaiki kelainan hormonal yang mendasari kelainan pada sindrom ini. 1.2. RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah dalam makalah ini adalah apakah mahasiswa mampu memahami kasus Policystic Ovarian Syndrome? 1.3. TUJUAN 1.3.1. Tujuan Umum Mahasiswa mampu memahami kasus Policystic Ovarian Syndrome 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mendeskripsi pengertian dari Policystic Ovarian Syndrome 2. Mendeskripsi etiologi dari Policystic Ovarian Syndrome



3. Mendeskripsi patofisologi dari Policystic Ovarian Syndrome 4. Mendeskripsi gambaran klinis dari Policystic Ovarian Syndrome 5. Mendeskripsi penatalaksanaan dari Policystic Ovarian Syndrome



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2. 1 Policystic Ovarian Syndrome 2.1.1 Pengertian Polycystic ovarian syndrome (PCOS) atau Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) adalah kelainan endokrin yang sangat umum terjadi pada wanita dalam masa reproduksi. Walaupun begitu, sindrom ini paling banyak diperdebatkan dan menimbulkan pendapat-pendapat yang kontroversial dalam bidang Ginekologi Endokrinologi dan Reproduksi. Belum ada definisi PCOS yang dapat diterima secara internasional, dan kriteria untuk mendiagnosanya harus dibakukan terlebih dahulu. Kesulitan ini menggambarkan adanya karakteristik interna tertentu pada sindrom ini. Dalam kenyataan, gejala-gejala sindrom ini juga beragam dan sangat bervariasi. Lagi pula, penemuan laboratorium dan radiologi sering dijumpai dalam batas normal sehingga menimbulkan kesulitan dalam menentukan suatu batasan yang dapat diterima secara umum untuk pemakaian dalam praktek klinik. Dalam bentuk klasiknya, PCOS digambarkan dengan adanya anovulasi kronik (80%), menses yang irregular (80%) dan hiperandrogen yang dapat disertai dengan hirsutism (60%), acne (30%), seborrhea dan obesiti (40%). Definisi yang paling dapat diterima secara internasional pada saat ini seperti yang diadopsi pada tahun 2003 oleh European Society for Human Reproduction dan Embryology and the American Society for Reproductive Medicine, yang dikenal dengan ESHRE/ASRM Rotterdam consensus. Dalam konsensus ini diperlukan adanya dua dari tiga kriteria diagnosa yaitu : a) Oligo/anovulation : ovulasi yang terjadi kurang dari satu kali dalam 35



hari. b) Gejala hiperandrogen baik secara klinik maupun biokimia : tanda-tanda



klinik yang meliputi hirsutism, acne, alopecia (male- pattern balding) dan virilisasi



yang



nyata.



Indikator



biokimia



meliputi



meningkatnya



konsentrasi total testosterone dan androstendione dan meningkatnya free androgen index yang diukur dengan membandingkan total testosterone dan sex hormone binding globulin (SHBG). Akan tetapi, pengukuran petanda biokimia untuk hiperandrogenism sering memberikan hasil yang tidak konsisten, hal ini disebabkan oleh pemakaian berbagai metode yang berbeda. c) Adanya gambaran morfologi ovarium yang polikistik dengan USG (12



atau lebih folikel-folikel dengan ukuran diameter antara 2-9 mm dan/atau peningkatan volume ovarium (>10 ml). Menurut kriteria Rotterdam diagnostic ini, kebanyakan wanita dengan PCOS dapat didiagnosa tanpa memerlukan pemeriksaan laboratorium. 2.1.2 Patofisiologi Terdapat 4 kelainan utama yang terlibat dalam patofisiologi dari PCOS, yaitu : 1. Morfologi ovarium yang abnormal Lebih kurang enam sampai delapan kali lebih banyak folikel preantral dan small antral pada ovarium polikistik dibandingkan dengan ovarium normal. Folikel ini tertahan pertumbuhannya pada ukuran 2-9 mm, mempunyai rerata atresia yang lambat dan sensitive terhadap FSH eksogen. Hampir selalu terdapat pembesaran volume stroma yang menyebabkan volume total dari ovarium > 10 cc. Penyebab kelainan dari morfologi ini diduga disebabkan oleh adanya androgen yang berlebihan. Androgen merangsang pertumbuhan folikel primer sampai dengan stadium folikel preantral dan small antral, dan proses ini dipercepat dengan adanya androgen yang berlebihan dibandingkan dengan ovarium yang normal. Faktor lain yang ditemukan pada PCOS yang ikut berpengaruh pada morfologi ovarium adalah kelebihan beberapa faktor yang menghambat kerja dari FSH endogen (seperti follistatin, epidermal growth factor dll), kelebihan factor anti-apoptotic (BCL-2) yang dapat memperlambat turnover dari folikel



yang



terhambat



ini.



Kombinasi



dari



faktor-faktor



tersebut



yang



menyebabkan morfologi ovarium yang karakteristik pada ovarium polikistik.



Gambar 2. Kunci utama dari produksi androgen yang berlebihan pada polycystic ovary (Dikutip dari Homburg R)



2. Produksi androgen ovarium yang berlebihan Produksi androgen ovarium yang berlebihan adalah penyebab utama dari PCOS. Hampir semua mekanisme enzymatic pada PCOS yang merangsang produksi androgen meningkat. Peningkatan insulin dan LH, baik secara sendirian ataupun kombinasi akan meningkatkan produksi androgen. Adanya single gene dengan kode cytochrome P450c17a, enzym ini memediasi aktifitas 17a-hydroxylase dan 17-20desmolase pada tingkat ovarium.



Gambar 3. Mekanisme dari produksi androgen yang berlebihan pada polycystic ovary (Dikutip dari Homburg R)



3. Hiperinsulinemia Hiperinsulinemia yang disebabkan oleh resistensi insulin terjadi pada lebih kurang 80% wanita dengan PCOS dan obesitas sentral, dan juga pada lebih kurang 30-40% wanita dengan PCOS yang berbadan kurus. Hal ini disebabkan oleh kelainan pada post-receptor yang berefek pada transport glukosa, dan ini adalah kelainan yang unik pada wanita dengan PCOS. Resistensi insulin secara bermakna di eksaserbasi oleh obesitas, dan merupakan faktor utama dalam patogenesa anovulasi dan hyperandrogenism. Kelainan fungsi dari sel beta pancreas juga ditemukan pada PCOS.



Gambar 4. Peranan hperinsulinemia dalam patogenesa anovulasi dan hperandrogenisme (Dikutip dari Homburg R)



4. Kadar serum LH yang berlebihan Kadar serum LH yang berlebihan dapat diditeksi pada sample darah pada satu kali pemeriksaan dalam lebih kurang 40-50% wanita dengan PCOS. Tingginya kadar LH lebih banyak terdapat pada wanita dengan berat badan yang kurus dibandingkan dengan yang obesitas. Walaupun kadar serum FSH dalam batas normal, tetapi didapatkan penghambatan intrinsic pada kerja FSH. Kadar prolactin pun mungkin sedikit meningkat.



2.1.3 Gambaran Klinik PCOS adalah sindroma yang sangat beragam dalam hal gejala klinik maupun manifestasi laboratorium. Sementara dasar dari kelainan ini terletak pada ovarium, ekspresi klinik dan beratnya gejala tergantung pada faktor diluar ovarium seperti obesitas, resisten terhadap insulin dan konsentrasi luteinizing hormone (LH). Kombinasi dari berbagai gejala dapat dijumpai, dari hirsutism yang ringan dengan ovulasi yang regular dan ovarium polikistik sampai dengan gejala yang lengkap dari sindroma Stein-Leventhal yaitu amenorrhoea, hirsutism, acne, infertility dan obesitas. Demikian juga dengan terjadi pada hasil laboratorium biokimia. Hampir 50% dari kasus akan didapatkan peningkatan konsentrasi LH (terutama pada yang berat badan normal), dan hanya lebih kurang 30% yang didapatkan peningkatan total testosterone pada pemeriksaan sesaat. 2.1.4 Penatalaksanaan Pada sindrom ovarium polikistik, perkembangan folikel dan ovulasi terganggu sehingga terjadi infertilitas. Antiestrogen - dalam hal ini klomifen sitrat paling banyak dipakai - merupakan pilihan pertama untuk mengindukasi ovulasi. Strukturnya yang mirip dengan estrogen menyebabkan klomifen sitrat mampu berikatan dengan reseptor estrogen dan mempengaruhi aktivitas hipotalamus, sehingga meskipun kadar estrogen dalam darah meningkat, tetapi karena kapasitas reseptor estrogen menurun maka sekresi GnRH meningkat. Rangsangan GnRH dalam lingkungan estrogen yang tinggi menyebabkan kelenjar hipofise lebih peka terutama dalam mensekresi FSH. Kebanyakan wanita infertil dengan sindrom ini (63%-95%) mengalami ovulasi dengan klomifen sitrat. Persentase yang tinggi ini tergantung pada penggunaan



dosis



progresif



sampai



terjadinya



ovulasi.



Jangka



waktu



pemberiannya tidak boleh lebih dari 6 bulan karena berpotensi meningkatkan risiko



kanker



ovarium.



Walaupun



pemberian



klomifen



sitrat



dapat



menyebabkan ovulasi tetapi tidak memperbesar kemungkinan terjadinya konsepsi. Sehingga apabila pasien gagal hamil dengan terapi ini maka dicoba



terapi dengan menggunakan human



menopausal gonadotropine (hMG)



atau human follicle stimulating hormone (hFSH) yang telah dimurnikan. Hormon-hormon ini merangsang ovarium untuk menghasilkan ovum. Tetapi pemberiannya membutuhkan monitoring yang intensif untuk mengurangi angka kejadian kehamilan multipel dan sindrom hiperstimulasi ovarium. Kecenderungan tersebut menyebabkan preparat ini diberikan dalam dosis rendah dengan akibat pencapaian angka kehamilan juga lebih rendah yaitu hanya 36% setiap siklus. Penatalaksanaan



infertilitas



untuk



dapat



mengembalikan fungsi



reproduksi pada wanita ini juga dapat dilakukan secara operatif. Prosedur reseksi baji pada ovarium efektif menurunkan produksi LH dan androgen. Menstruasi yang teratur didapatkan pada 75% pasien dengan angka kehamilan mencapai 60%. Tetapi prosedur ini menyebabkan komplikasi berupa perlekatan di sekitar daerah pelvis pada sekitar 30% pasien, sehingga sekarang dilakukan dengan teknik elektrokauter secara laparoskopik yang tidak terlalu invasif. Meskipun dapat membantu regulasi menstruasi dan terjadinya ovulasi, komplikasi perlekatan harus dipertimbangkan karena kemungkinan untuk menjadi hamil berkurang di samping efek dari prosedur ini hanya jangka pendek. Untuk pasien yang tidak ingin hamil dapat menggunakan pil kontrasepsi kombinasi untuk mengatur siklus menstruasi. Keuntungan dari terapi ini adalah adanya komponen progesteron yang dapat menyebabkan supresi sekresi LH sehingga berkurangnya produksi androgen dari ovarium dan komponen estrogen yang meningkatkan produksi SHBG sehingga konsentrasi testosteron bebas dapat menurun dan akhirnya dapat juga memperbaiki hirsutisme dan masalah kulit yang disebabkan oleh hiperandrogenisme. Selain itu dapat mengurangi keluhan dismenorea, perdarahan uterus disfungsional dan angka kejadian penyakit radang panggul serta menurunkan kemungkinan terkena kanker endometrium dan kanker ovarium. Meskipun demikian pil kontrasepsi kombinasi dapat



menyebabkan eksaserbasi resistensi insulin dan meningkatkan kadar trigliserida sehingga dapat memperbesar risiko penyakit kardiovaskuler dan diabetes. Pada keadaan hiperandrogenisme, hirsutisme merupakan masalah yang sering dikeluhkan oleh pasien. Jika tidak terlalu banyak dan terlokalisasi, maka dapat lebih mudah dihilangkan secara mekanik. Tetapi jika cara tersebut tidak efektif, dapat diberikan terapi antiandrogen. Yang banyak dipakai adalah siprosteron asetat, yang merupakan progestin sintetik. Jika dikombinasikan dengan etinilestradiol dapat dipakai sebagai kontrasepsi dan memperbaiki siklus mestruasi. Alternatif lain adalah spironolakton dengan mekanisme kerja meningkatkan katabolisme androgen di mana testosteron diubah menjadi estradiol. Tetapi spironolakton sering menyebabkan siklus menstruasi yang tidak teratur sehingga harus dikombinasi dengan kontrasepsi oral dosis rendah. Semua terapi untuk hirsutisme membutuhkan waktu 8-18 bulan sebelum responnya dapat terlihat, yaitu pertumbuhan rambut menjadi labih lambat. Saat ini dengan elektrolisis, rambut yang tumbuh berlebihan dapat dihilangkan secara permanen. Untuk kelainan kulit seperti dermatitis seboroik, hidradenitis supuratif dan peradangan kulit lain dapat diobati dengan antibiotika spektrum luas atau dengan kombinasi antiandrogen dan derivat asam retinoid. Penurunan berat badan juga perlu dilakukan oleh pasien sindrom ovarium polikistik yang sebagian besar memang mengalami obesitas. Faktor obesitas ini menjadi penyebab kegagalan pemicuan ovulasi dengan klomifen sitrat. Makin tinggi berat badan penderita maka diperlukan dosis klomifen sitrat yang lebih tinggi. Dengan penurunan berat badan maka siklus menstruasi menjadi teratur, ovulasi dapat terjadi secara spontan dan dapat mengurangi kejadian resistensi insulin. Cara yang dipakai biasanya kombinasi diet, olahraga dan pemberian obat-obat yang memperbaiki sensitifitas jaringan terhadap insulin seperti metformin dan troglitazon. Jadi sebaiknya usaha ini dilakukan bersamaan dengan terapi yang lain karena dapat memperbaiki kelainan metabolik pada sindrom ini.



Pada saat ini terapi alternatif yang lebih sering digunakan untuk sindrom ovarium polikistik adalah dengan senyawa sensitisasi insulin yaitu metformin dan troglitazon. Dengan terapi ini diharapkan sensitifitas tubuh terhadap insulin meningkat, sehingga dapat memperbaiki kelainan hormonal yang berhubungan dengan sindrom ini. Selain itu juga dapat menurunkan berat badan dengan cara memperbaiki metabolisme gula di perifer, meningkatkan penggunaan glukosa oleh usus dan menekan oksidasi asam lemak. Pada percobaan, diberikan metformin dan plasebo selama 4 sampai 8 minggu pada pasien sindrom ovarium polikistik dengan obesitas dan hiperinsulinemia. Pada 2 bulan pertama pemakaian metformin, pemulihan sudah terlihat jelas. Didapatkan penurunan sekresi insulin pada pasien yang menggunakan metformin. Konsentrasi testosteron bebas menurun sebagai akibat berkurangnya produksi testosteron



dan



meningkatnya SHBG.



Metformin paling sering digunakan pada pasien non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) karena tidak menyebabkan hipoglikemi. Beberapa pasien dapat menurunkan berat badan dan perbaikan tekanan darah serta kadar lemak darahnya. Selain itu pasien dapat menstruasi dan menjadi hamil pada saat menggunakannya. Efek samping yang paling sering adalah keluhan gastrointestinal. Obat lain yang dapat dipakai adalah troglitazon, tetapi pemakaiannya harus diikuti dengan tes fungsi hati secara berkala karena berpotensi menyebabkan kerusakan hati. Keunggulan dari terapi ini adalah dapat mencegah perkembangan penyakit yang dapat menyerang penderita seperti diabetes melitus, hipertensi dan penyakit jantung koroner.



http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/30232/Chapter%20I.pdf?seq uence=5&isAllowed=y Maharani, Laksmi. dkk. 2002. Sindrom ovarium polikistik: permasalahan dan penatalaksanaannya. Jurnal. Fakultas Kedokteran Trisakti, Jakarta. 21(3): 98103.