Makalah Pegadaian Syariah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH Fiqh Kontemporer “Pegadaian Syari’ah”



DISUSUN OLEH:



 M.Khariska  Nurul Khotimah Dosen pengampu Prof. Dr. Rohimin, MA.



JURUSAN EKONOMI SYARI’AH FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU 2014/2015



ABSTRAK



Syari’at Islam memerintahkan umatnya supaya tolong-menolong yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk tolong menolong ini bisa berbentuk pemberian dan bisa berbentuk pinjaman. Dalam bentuk pinjaman islam menjaga kepentingan kreditur, jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya. Sehingga, apabila debitur itu tidak mampu melunasi pinjamannya, barang jaminan dapat dijual oleh kreditur. Maka konsep inilah yang dalam islam disebut dengan istilah Rahn. Dalam pegadaian penerima gadai hanya bertanggung jawab untuk menjaga, memelihara dan berusaha memaksimal mungkin agar barang itu tidak rusak. Barang jaminan yang rusak diluar kemampuan pihak yang menahan tidak harus diganti. Barang jaminan adalah sebagai amanat yang tidak boleh diganggu oleh pihak yang menahan. Sedang biaya pemeliharaannya boleh diambil dari manfaat barang itu sejumlah biaya yang diperlukan. Demikianlah sekilas pengertian pegadaian serta konsep dasar gadai syari’at islam. Semua itu tergambar bahwa gadai dalam islam mengandung nilai sosial yang sanrat tinggi, yaitu untuk tolong-menolong, tidak bertujuan komersial. Namun demikian, hak pihak yang menahan tidak diabaikan.



KATA PENGANTAR 2



Segala puji bagi Allah atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah Fiqh Kontemporer ini dengan baik. Sholawat serta salam Allah semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi basar Muhammad SAW. Yang telah mengajarkan kita pada kebaikan sehingga membawa kita pada dunia yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah fiqh kontemporer, yang telah mengajarkan saya khususnya dan kami umumnya mengenai sistematika pembuatan makalah dengan baik dan benar. Sehingga dari ajaran beliau membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini. Dengan tidak mengurangi rasa syukur dan rasa terima kasih, kami selaku penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya atas masih banyaknya kesalahan dalam penulisan makalah ini. Walau dalam penulisan makalah ini belum sebaik sistemtika yang mungkin seharusnya ada namun penulis berharap hasil penulisan makalah ini memiliki manfaat untuk kita semua baik untuk bahan pengajaran bagi kami sebagai penulis yang masih berlatih ataupun sebagai bahan bacaan kita untuk menambah ilmu pengetahuan kita. Penulis memahami bahwa hasil penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis meminta kritik dan saran yang dapat membangun sehingga dapat meninggkatkan kesempurnaan dalam penulisan makalah di kemudian hari. Akhir kata semoga kita semua selalu diberikan keridhoan oleh Allah dalam menuntut ilmu.



Bengkulu, 23 Agustus 2014 Penulis



PEMBAHASAN 3



A. Pengertian pegadaian (gadai/rahn) Fiqh islam mengenal perjanjian gadai yang disebut al-rahn yaitu perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Gadai atau ar-rahn dalam bahasa arabi (arti lughat) berarti al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal). Pengertian tetap dan kekal dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan.1 Kata ini merupakan makna yang bersifat materil. Karna itu, secara bahasa kata ar-rahn berarti menjadikan suatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang. Pengertian rahn secara bahasa seperti diungkapkan diatas adalah tetap, kekal dan jaminan; sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Adapun ta’rif (definisi) al’rahn menurut istlah syara’ ialah:2 Menjadikan sesuatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian utang dari benda itu. Ta’rif yang lain terdapat dalam kitab al-Mughny yang dikarang oleh Imam Ibnu Quddamah sebagai berikut: ‫اللم ا هل اللّذ ى هييجلعهل لو ِهشيلقلة ِهب ا لد يِهن لهييسلتيو لف ى ِهمين لشلمِهنِهه إِهين لتلع ذّذذ إِهيسِهتلف ا هوه ِهملمين ههلو لعليِهه‬ Suatu benda yang dujadikan kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang. Sedangkan Al-Imam Abu Zakaria al-Anshori menetapkan ta’rif ar-rahn didalam kitabnya Fathul Wahab sebagai berikut: ‫لجيعهل لعيِهن لم انل لوِهشيلقةة ِهبلد ينن هييسلتيو لف ى ِهمينله ا ِهعينلد لتلعذّذِهذ لولف ا ِهبِهه‬ Menjadikan benda yang bersifat harta (harta benda)sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harta) benda itu bila utang tidak dibayar. Setelah penulis mengemukakan ketiga ta’rif diatas, yang ditulis oleh tiga orang ulama, terdapat kesamaan pendapat, yaitu: 1. Gadai menggadai itu adalah salah satu kategori dari utang piutang. 1



Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer III, ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 79 2



Ibid, Hal. 79-80



4



2. Untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutangmenggadaikan barangnya (ain maliyah) sebagai jaminan terhadap utangnya itu, yang disebut dalam ta’rif dengan kata watsiqatin (kepercayaan). 3. Barang jaminan itu dapat dijual untuk mebayar utang orang yang berutang, baik sebagian maupun seluruhnya, sebanyak utang yang diperolehnya. Dan bila terdapat kelebihan dari penjualan benda itu, maka harus dikembalikan kepada orang yang puny harta benda itu, sedangkan bagi orang yang menerima jaminan (yang berpiutang) ia mengambil sebagiannya yaitu sebesar uang yang dipinjamkannya. 4. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang)’ tetapi dikuasai oleh si penggadai (orang yang berpiutang). 5. Gadai menurut syari’at islam berarti penahanan atau pengekangan, sehingga dalam akad gadai menggadai kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama, yang punya utang bertanggung jawab melunasi utangnya dan orang yang berpiutang dan bertanggung jawab menjamin keutuhan barang jaminannya. 6. Didalam ketiga ta’rif tersebut ada kata yajalu dan ja’ala yang berarti menjadikan dan dijadikan, yang mempunyai makna bahwa pelaksana adalah orang yang memiliki harta benda itu, karna harta benda yang bukan miliknya tidak dapat digadaikan. Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ulama, penulis berpendapat bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan (murtahin)memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai yang dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan. Karena itu, tampak bahwa gadai syari’ah merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas/perhiasan/kendaraan atau harta benda lainnya sebagai jaminan atau agunan kepada seseorang atau lembaga pegadaian syari’ah berdasarkan hukum gadai syari’ah. B. Sejarah Pegadaian Secara Umum Dan Khusus 1. Sejarah pegadaian secara umum Berdasrkan catatan sejarah yang ada, lembaga pegadaian dikenal diindonesia sejak tahun 1746 yang ditandai dengan Gubernur Jendral VOC Van Imhoff mendirikan Bank Van Leening. Perum pegadaian merupakan sarana alternatif pertama dan sudah sejak lama serta sudah banyak dikenal oleh masyarakat indonesia. Namun ketika VOC bubar di indonesia pada tahun 1800 maka usaha pegadaian diambil alih oleh pemerintah Hindia-Belanda dibawah pimpinan 5



Daendels. Pada tanggal 1 April 1901 di Sukabumi, Jawa Barat, berdiri lembaga gadai pertama milik pemerintah Belanda pada wakt itu dengan nama pegadaian, tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai hari berdiri kantor pegadaian di Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan situasi, sehingga pegadaian telah beberapa kali mengalami pergantian status, mulai sebagai Jawatan (1901), IBW ditahun 1928, Perusahaan Negara (1960), kembali kestatus Perjan ditahun 1969, dan Perusahaan Umum (PERUM) mulai tahun 1990 hingga saat ini. Lembaga pegadaian dimaksudkan sebagai suatu lembaga yang memberi fasilitas bagi warga masyarakat untuk dapat memperoleh pinjaman uang secara praktis. Apabila pegadaian konvensional lebih memposisikanperusahaan sebagai pihak yang pasif, tidak terlibat dengan aktivitas bisnis nasabah, maka lain halnya dengan sistem gadai syari’ah, untuk produk-produk tertentu mengharuskan perusahaan terlibat dalam menelaah usaha produktif yang ditekuni oleh pihak nasabah. Apabila memperhatikan sejarah Pegadaian maka ditemukan bahwa peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tentang perum pegadaian mengubah status pegadaian dari perusahaan Jawatan menjadi perusahaan umum (PERUM). Hal itu berarti pegadaian ditetapkan sebagai badan usaha tunggal dilingkungan Departemen Keuangan Republik Indonesia yang diberi wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai yang bertujuan: 1) Menunjang program pemerintah dibidang ekonomi atas dasar hukum gadai. 2) Mencegah praktek ijon, pegadaian gelap, riba dan pinjaman tidak wajar. Peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1990 dimaksud, diubah menjadi peraturan pemerintah No. 103 Tahun 2000 tentang pegadaian. Aturan dimaksud, yang menandai kedinamisan ruang gerak pegadaian dalam menjalankan usaha dalam status masih sebagai perusahaan umum dengan mengemban misi, yaitu a) Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah kebawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai dan bidang keuangan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b) Menghindarkan masyarakat dari gadai galap, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya. 2. Sejarah pegadaian secara khusus (syari’ah) Sejarah pegadaian syari’ah di Indonesia tidak dapat dicerai-pisahkan dari kemauan warga masyarakat islam untuk melaksanakan transaksi akad gadai berdaarkan prinsip syari’ah dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan praktek ekonomi dan lembaga keuangan yang sesuai dengan nilai dan prinsip hukum islam. Dengan semakin populernya praktik bisnis ekonomi syari’ah, sehingga memiliki peluang yang cerah untuk dikembangkan. 6



Berdasarkan hal diatas, pihak pemerintah mengeluarkan peraturan perundangundangan untuk melegitimasi secara hukum positif pelaksanaan praktek bisnis sesuai dengan syari’at yang termasuk gadai syari’ah. Karena itu, pihak pemerintah bersama DPR merumuskan rancangan perundang-undangan yang kemudian disahkan pada bulan Mei menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan. Undang-undang dimaksud, memberi peluang untuk diterapkan praktek perekonomian sesuaisyari’ah di bawah perlindungan hukum posotif. Melihat adanya peluang dalam mengimplementasikan praktek gadai berdasarkan prinsip syari’ah, perum pegadaian yang telah bergelut dengan bisnis pegadaian konvensional selama beratus-ratus tahun lebih, berinisiatif untuk mengadakan kerja sama dengan PT Bank Muamalat Indonesia (BMI)dalam mengusahakan praktek gadai syari’ah sebagai diversifikasi usaha gadai yang sudah dilakukannya sehingga pada bulan Mei tahun 2002, ditandatangani sebuah kerja sama antara keduanya untuk meluncurkan gadai syari’ah, yaitu BMI sebagai penyandang dana.3 Landasan hukum pegadaian syari’ah adalah kisah di masa Rasulullah, ketika seseorang menggadaikan kambingnya. Saat itu Muhammad saw. Mengizinkan, sekedar untuk menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rasulullah mengizinkan bagi penerima gadai untuk mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya pemeliharaan. Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan objek ijtihad dari para pengkaji keuangan syari’ah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi produk keuangan syari’ah yang cukup menjanjikan. Dewan syariah nasional telah menetapkan bahwa lembaga gadai diperkenankan mengambil biaya yang memang diperlukan, tanpa ada unsur mengambil keuntungan berlebihan. C. Hak Dan Kewajiban Penerima Dan Pemberi Gadai 1. Hak dan kewajiban penerima gadai a. Penerima gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan harta benda gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman dan sisanya dikembalikan kepada rahin. b. Penerima gadai berhak mendapat penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan harta benda gadai (marhun). c. Selama pinjaman belum dilunasi maka pihak pemegang gadai berhak menahan harta benda gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin). Berdasarkan hak penerima gadai dimaksud, muncul kewajiban yang harus dilaksanakannya, yaitu sebagai berikut. a. Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya harta benda gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya. 3



Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syari’ah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), Hal : 9-18



7



b. Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan pribadinya. c. Penerima gadai berkewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan harta benda gadai. 2. Hak dan kewajiban pemberi gadai (rahn) a. Pemberi gadai (rahin)berhak mendapat pengembalian harta benda yang digadaikan sesudah ia melunasi pinjaman utangnya. b. Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi atau kerusakan atau hilangnya harta benda yang digunakan, bila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai. c. Pemberi gadai berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai sesudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya. d. Pemberi gadai berhak meminta kembali harta benda gadai bila penerima gadai diketahui menyalah gunakan harta benda gadaiannya. Berdasarkan hak-hak pemberi gadai diatas maka muncul kewajiban yang harus berkewajiban dipenuhinya, yaitu a. Pemberi gadai berkewajiban melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima gadai. b. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan harta benda gadaiannya, bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi pinjamannya. D. Pendapat Para Ulama Tentang Kedudukan Manfa’at Barang Gadaian 1. Pendapat Imam Syafi’i Dalam judul bab “Yang Merusak Gadai”, Imam Syafi’i mengatakan, “...manfaat dari barang jaminan adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada sesuatupun dari barang jaminan itu bagi yang menerima gadai”. Ulama-ualama Syafi’iyah mengemukakan alasan-alasan mereka adalah hadis Rasulullah saw. Yang berbunyi “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw. Ia bersabda: gadaikan itu tidak menutup akan yang punyanya dari manfa’at barang itu, faidahnya kepunyaan dia dan dia wajib mempertanggungjawabkan segala resikonya (kerusakan dan biaya)”. HR. AsySyafi’i dan Daruquthny dan ia berkata bhwa sanadnya Hasan dan bersambung. 4 Pendapat Imam Syafi’i ialah bahwa manfaat dari barang jaminan secara mutlak adalah hak bagi yang menggadaikan. Demikian pula biaya pengurusan terhadap barang jaminan adalah kewajiban bagi yang menggadaikan. 4



Chuzaimah T. Yanggo, Op.cit. hlm. 84



8



2. Pendapat Imam Malik (Malikiyah) Imam Maliki berpendapat bahwa manfaat dari barang jaminan itu adalah hak yang menggadaikan dan bukan bagi penerima gadai. Akan teapi walaupun deikian penerima gadaipun bisa mengambil manfaat dengan syarat-syarat yaitu: a. Utang terjadi disebakan karena jual beli yang bukan karena menguntungkan. b. Pihak penerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat dari barang gadai adalah untuknya. c. Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan itu waktunya harus ditentukan, apabila tiak ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka menjadi tidak sah. Jadi pendapat Imam Maliki dan Imam Syafi’i pada pokoknya sama,yaitu bahwa manfaat barang jaminan gadai adalah bagi yang menggadaikan. Tetapi ada perbedaan sedikit mengenai syarat yang dibuat oleh pihak penerima gadai untuk memberikan manfaat dari barang jaminan gadai bagi dirinya. Imam Maliki membolehkan dengan syarat, sedangkan Imam Syafi’i tidak. 3. Pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal (Hanbaliyah) Pendapat Imam Ahmad mengenai pengambilan manfaat dari barang gadaian yang pada pokoknya membagi kepada dua bagian yaitu pertama bagi barang yang bisa diperah susunya atau ditunggangi, maka si penerima gadai dapat mengambil manfaat daripadanya sesuai dengan nafkah yang dikeluarkan. Kedua bagi barang yang tidak bisa diperah dan tidak bisa ditunggangi, maka penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut. 4. Pendapat Abu Hanifah Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa yang berhak mengambil manfaat dari barang gadaian adalah bagi penerima gadai. Nafkah bagi barang yang digadaikan itu adalah kewajiban yang menerima gadai, karena barang tersebut ditangan dan kekuasaan penerima gadai. Oleh karena yang mengambil nafkah adalah penerima gadai, maka dia pulalah yang berhak mengambil manfaat dari barang tersebut. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw. yang dijadikan alasan, yang artinya “dari Abu Shalih dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda: barang jaminan utang bisa ditunggangi dan diperah dan atas menunggangi dan memeras susunya wajib nafkah”.(HR. Bukhari). Demikianlah pendapat serta alasan ulama hanafiyah yang pada dasarnya menyatakan bahwa yang berhak untuk mengambil manfaat dari barang jaminan adalah penerima gadai, karena barang tersebut ada dibawah kekuasaan tangannya.



9



Demikian pulalah pendapat para ulama madzhab tentang pengambilan manfaat dari barang jaminan yang diikuti dengan alasan-alasan serta dalilnya masing-masing. Dari pendapat-pendapat tersebut dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Manfaat dari barang yang dugadaikan adalah hak yang menggadaikan. Pendapat ini dipegang oleh Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad serta merupakan pendapat jumhur ulama. 2. Manfaat dari barang gadaian adalah hak yang menerima gadai, pendapat ini dipegang oleh Imam Hanafi. E. Fatwa DSN-MUI Yang Berkenaan Gadai Syari’ah 



Fatwa no:25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No;25/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn.5 Dewan Syariah Nasional



Menimbang: a.



Bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan



masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang. b.



Bahwa lembaga keuangan syariah (LKS) perlu merespon kebutuhan masyarakat



tersebut dalam berbagai produknya. c.



Bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah, Dewan



Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa untuk dijadikan pedoman tentang rahn, yaitu menahan barang sebagai jaminan atas utang. Mengingat: 1.



Firman Allah, QS. Al-Baqarah (2) ayat 283           



5



x.html.



http://anggistlicious.blogspot.com/2013/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-



10



283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang 2.



Hadis Nabi riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah, ia berkata: ‫صذل ى الل لعليِهه لوسذلا م ايشلتلرىلطلع اةم ا ِهمين ليهيوِهدلى ِهالل ى اللجِهل‬ ‫العين لع اِهئلشلة لذ ِه‬ ‫ضلي اله لعينهلم ا الذن الذنِهبذي ل‬ ‫لولذلهلنهه ِهديذةع اِهمين لحِهديند‬



“dari aisyah berkata : Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi dan menggadaikannya dengan baju besi”HR Bukhari dan Muslim 3.



Hadis nabi riwayat Asy-Syafi’i, Ad-Daraquthni, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Nabi saw. Bersabda: ‫ل‬ ‫ص ا ِهحيبِهه اللّذ يي ذ لهلنهه له هغينهمهه لو لعليِهه هغير همه‬ ‫ل لييعلهق الذر يههن ِهمين ل‬



Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda : “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya.” HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah 4.



Hadis Nabi riwayat jamaah, Kecuali Muslim dan An-Nasa’i, Nabi saw. Bersabda: ‫الذظيههر هيير لكهب ِهبلنيفلقِهتِهه إِهلذاكل ا لن لمير ههيو نل ا لو لعلل الذِهّذ ي ليير لكهب لو لييشلر هب الذنلفلقله‬ Nabi Bersabda : “Tunggangan ( kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.” HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai.



5.



Ijma’: Para ulama sepakat membolehkan akad rahn (Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 1985, V:181).



6.



Kaidah fikih: ‫صهل ِهفي ايلهمعل ا لملل ِهت يال لب ا لحهة إ ذ‬ ‫ل آل ين ليهد ذل لدِهليهل لعلل لتيحِهر يِهمله ا‬ ‫ياأل ي‬ ‫ِه‬



7.



Pendapat peserta rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada hari kamis tanggal 14 Muharam H/28 Maret 2002 dan hari rabu, 15 Rabi’ul akhir 1423H/26 juni 2002 11



Memutuskan, Menetapkan: Fatwa tentang rahn Pertama: Hukum Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut: Kedua: ketentuan umum 1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. 2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. 3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat juga dilakukan oleh murtahin; sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin. 4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. 5. Penjualan marhun: a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi hutangnya, b. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. c. Hasil



penjualan



marhun



digunakan



untuk



melunasi



hutang,



biaya



pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan. d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin. 12



Ketiga: ketentuan penutup 1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan dirubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di: jakarta tanggal: 5 rabiul akhir 1423H/26 juni 2002 M 



Fatwa no: 26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas Fatwa dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 26/DSN-MUI/III/2002, tentang rahn emas.6



Menimbang : a.



Bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah rahn, yaitu menahan barang sebagai jaminan atas utang.



b.



Bahwa bank syariah perlu merespon kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya.



c.



Bahwa masyarakat pada umumnya telah lazim menjadikannya emas sebagai barang berharga yang disimpan dan menjadikannya objek rahn sebagai jaminan utang untuk mendapatkan pinjaman uang.



d.



Bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-;rinsip syariah, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang hal itu untuk menjadikan pedoman.



Mengingat: 1.



Firman Allah, QS. Al-baqarah (2) ayat 283.           



283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang 2.



6



Hadis Nabi riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah, ia berkata:



Lihat, ibid., hlm. 160



13



“‫صذل ى الل لعليِهه لوسذلا م ايشلتلرىلطلع اةم ا ِهمين ليهيوِهدلى ِهالل ى لالجِهل لولذلهلنهه ِهديذةع اِهمين‬ ‫العين لع اِهئلشلة لذ ِه‬ ‫ضلي اله لعينهلم ا لاذن الذنِهبذي ل‬ ‫لحِهديند‬ “dari aisyah berkata : Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi dan menggadaikannya dengan baju besi”HR Bukhari dan Muslim 3.



Hadis nabi riwayat Asy-Syafi’i, Ad-Daraquthni, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Nabi saw. Bersabda: ‫ل‬ ‫ص ا ِهحيبِهه اللّذ يي ذ لهلنهه له هغينهمهه لو لعليِهه هغير همه‬ ‫ل لييعلهق الذر يههن ِهمين ل‬



Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda : “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya.” HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah 4.



Hadis Nabi riwayat jamaah, Kecuali Muslim dan An-Nasa’i, Nabi saw. Bersabda: ‫الذظيههر هيير لكهب ِهبلنيفلقِهتِهه إِهلذاكل ا لن لمير ههيو نل ا لو لعلل الذِهّذ ي ليير لكهب لو لييشلر هب الذنلفلقله‬ Nabi Bersabda : “Tunggangan ( kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.” HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai.



5.



Ijma’: Para ulama sepakat membolehkan akad rahn (Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 1985, V:181).



6.



Kaidah fikih: ‫صهل ِهفي ايلهمعل ا لملل ِهت يال لب ا لحهة إ ذ‬ ‫ل آل ين ليهد ذل لدِهليهل لعلل لتيحِهر يِهمله ا‬ ‫ياأل ي‬ ‫ِه‬ Pada dasarnya segala bentuk muamlah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.



Memperhatikan: 1.



Surat dari bank syariah Mandiri no. 3/305/DPM tanggal 23 oktober 2001 tentang permohonan fatwa atas produk gadai emas. 14



2.



Hasil Rapat Pleno Dewan Syariah nasional pada hari kamis, 14 muharam 1423H/28 Maret 2002 M. MEMUTUSKAN



Dewan Syariah Nasional Menetapkan: Fatwa tentang Rahn Emas. Pertama: 1.



Rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn (lihat fatwa DSN nomlr



25/DSN_MUI/III/2002 tentang rahn). 2.



Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).



3.



Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang



nyata-nyata diperlukan. 4.



Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.



Kedua: Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan dirubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di: Jakarta Tanggal: 14 Muharam 1423H/28 Maret 2002 M KESIMPULAN Berdasarkan fatwa DSN MUI bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:  Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.  Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. 15



 Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat juga dilakukan oleh murtahin; sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.  Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.  Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi hutangnya,  Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.  Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.  Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.



DAFTAR PUSTAKA Chuzaimah T. Yanggo. 2004. Problematika Hukum islam Kontemporer III cet.3. Jakarta: Pustaka Firdaus. Zainuddin, Ali. 2008. Hukum Gadai Syariah, , cet.1. Jakarta: Sinar Gafika http://pegadaianislam.blogspot.com/2012/05/pegadaian-dalam-islam.html http://anggistlicious.blogspot.com/2013/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html



16



17