Makalah Pengolahan Termal (Blansing, Pasteurisasi, Dan Sterilisasi) Kelompok 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENGOLAHAN TERMAL “ BLANCHING, PASTEURISASI, DAN STERILISASI ”



DISUSUN OLEH : KELOMPOK II MUTIAWALIA PUTRI



09220190007



OLIVIA ALDISA WELLY



09220190006



RIZKA YANTI RAMLI



09220190005



RISKA



09220190009



DIAN MELIANI



09220190010



JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2021



KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan dan berkahnyalah sehingga dapat menyusun makalah yang berjudul “Pengolahan Termal (Blanching, Pasteurisasi, dan Sterilisasi” yang alhamdulillah selesai pada waktunya. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik isi maupun susunannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis juga bagi para pembaca.



Makassar, 27 Februari 2021



(Tim Penulis)



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang .............................................................................. 1



1.2



Rumusan Masalah ......................................................................... 2



1.3



Tujuan Penulisan .......................................................................... 2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Pengertian Blanching .................................................................... 3



2.2



Metode Blanching ......................................................................... 7



2.3



Pasteurisasi ................................................................................. 12



2.4



Sterilisasi .................................................................................... 18



BAB III PENUTUP 3.1



Kesimpulan ................................................................................. 32



3.2



Saran........................................................................................... 32



DAFTAR PUSTAKA



ii



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan berkembangnya zaman dan seiring kemajuan teknologi, manusia mulai melakukan perubahan-perubahan cara mengolah makanan menjadi lebih baik dari sebulmnya, Hal ini bisa dikarenakan semakin lama kehidupan manusia semakin sibuk sehingga tidak mempunyai waktu untuk melakukan pengolahan dan saat sekarang manusia lebih menyukai makanan yang instan. Salah satu cara pengolahan bahan pangan yaitu dengan penggunaan panas, tujuan dari penggunaan panas agar makanan enak dimakan dan mempunyai daya simpan yang lebih lama. Proses termal (thermal process) termasuk ke dalam proses pengawetan yang menggunakan energi panas. Tujuan utama proses termal adalah mematikan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit dan menimbulkan kebusukan pada produk yang dikemas dengan kemasan yang hermetis, seperti kaleng, retort pouch, atau gelas jar. Proses termal merupakan salah satu proses penting dalam pengawetan pangan untuk mendapatkan produk dengan umur simpan yang panjang. Dalam pemanasan ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu destruksi mikroorganisme dan Inaktivasi enzim yang tidak dikehendaki, cara pengolahan bahan pangan dengan panas ada beberapa macam yaitu Blanching, Pasteurisasi, dan Sterilisasi. Blanching merupakan suatu proses yang dilakukan pada bahan pangan sebelum dilakukan pengeringan pengalengan atau pembekuan. Blanching merupakan suatu proses pemanasan pada bahan pangan dengan menggunakan suhu dibawah 100oC. Blanching dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pemanasan secara langsung dengan air panas (Hot Water Blancing) atau dengan menggunakan uap (Steam Blanching). Kedua proses tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian tersendiri tergantung dari bahan yang akan dibalnching. Blanching bertujuan untuk menginaktifkan enzim yang



1



memungkinkan perubahan warna, tekstur, citta rasa bahan pangan. Namun tujuan blanching juga bermacam-macam tergantung dari bahan yang akan digunakan serta tujuan proses selanjutnya Pasteurisasi merupakan suatu proses pemanasan yang menggunakan suhu rendah dibawah 100oC. Tujuan pasteurisasi adalah untuk mengurangi populasi



mikroorganisme



pembusuk



sehingga



bahan



pangan



yang



dipasteurisasi tersebut akan mempunyai daya awet beberapa hari (seperti produk susu pasteurisasi) sampai beberapa bulan (seperti produk sari buah pasteurisasi). Sterilisasi merupakan proses atau kegiatan membebaskan suatu bahan atau benda dari semua bentuk kehidupan. Sterilisasi merupakan pembebasan semua organisme-organisme yang hidup, termasuk bakteri dan sporanya,secara kimia atau secara fisika. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana fungsi dari proses blanching, pasteurisasi, dan sterilisasi? 2. Bagaimana metode proses blanching, pasteurisasi, dan sterilisasi? 3. Bagaimana aplikasi dari proses blanching, pasteurisasi, dan sterilisasi? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui tujuan dan fungsi dari proses Blanching, pasteurisasi dan sterilisasi 2. Untuk mengetahui metode proses Blanching, pasteurisasi dan sterilisasi 3. Untuk mengetahui aplikasi dari proses Blanching, pasteurisasi dan sterilisasi



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Blanching Blanching merupakan suatu cara pemanasan pendahuluan atau perlakuan pemanasan tipe pasteurisasi yang dilakukan pada suhu kurang dari 100°C selama beberapa menit, dengan menggunakan air panas atau uap. Proses Blanching termasuk ke dalam porses termal dan umumnya membutuhkan suhu berkisar 75 - 95°C selama 10 menit. Tujuan utama Blanching ialah menginaktifan enzim diantaranya enzim peroksidase dan katalase, walaupun sebagian dari mikroba yang ada dalam bahan juga turut mati. Kedua jenis enzim ini paling tahan terhadap panas. Blanching merupakan rangkaian pretreatment yang diberikan dalam proses pengolahan manisan buah. Secara umum terdapat 2 metode blanching yang sering digunakan sebagai pretreatment dalam proses pengolahan produk pangan, yaitu metode steam blanching dan metode hot water blanching. Dalam pembuatan manisan kering, bahan mentah harus melewati proses blanching. Blanching biasanya dilakukan terhadap sayur-sayuran dan buah-buahan yang akan dikalengkan atau dikeringkan. Di dalam pengalengan sayur-sayuran dan buah-buahan, selain untuk menginaktifkan enzim, tujuan Blanching yaitu : a. Membersihkan bahan dari kotoran dan mengurangi jumlah mikroba dalam bahan b. Mengeluarkan atau menghilangkan gas-gas dari dalam jaringan tanaman, sehingga mrngurangi terjadinya pengkaratan kaleng dan memperoleh keadaan vakum yang baik dalam “headspace” kaleng. c. Melayukan atau melunakkan jaringan tanaman, agar memudahkan pengisian bahan ke dalam wadah d. Menghilangkan bau dan flavor yang tidak dikehendaki e. Menghilangkan lendir pada beberapa jenis sayur-sayuran f. Memperbaiki warna produk, memantapkan warna hijau sayur-sayuran.



3



Cara melakukan Blanching ialah dengan merendam dalam air panas (merebus) atau dengan uap air (mengukus atau dinamakan juga “steam blanching”). Merebus yaitu memasukkan bahan ke dalam panci yang berisi air mendidih. Sayur-sayuran atau buah-buahan yang akan di Blanching dimasukkan ke dalam keranjang kawat, kemudian dimasukkan ke dalam panci dengan suhu Blanching biasanya mncapai 82 – 83°C selama 3 – 5 menit. Setelah Blanching cukup waktunya, kemudian keranjang kawat diangkat dari panci dan cepat-cepat didinginkan dengan air. Pengukusan tidak dianjurkan untuk sayur-sayuran hijau, karena warna bahan akan menjadi kusam. Caranya ialah dengan mengisikan bahan ke dalam keranjang kawat, kemudian dimasukkan ke dalam dandang yang berisi air mendidih. Dandang ditutup dan langkah selanjutnya sama dengan cara perebusan. Secara umum tahap proses blanching bertujuan untuk menonaktifkan enzim polifenoloksidase, akan tetapi akhir- akhir ini banyak penelitian tentang perubahan komponen aktif selama blanching. Proses blanching dapat menurunkan aktivitas antioksidan, misalnya pada bunga turi merah (Wahyuningsih, 2008), kobis merah (Volden dkk., 2008) dan biji lentil (Xu dan Chang, 2007). Pada bahan tertentu proses blanching dapat meningkatkan aktivitas antioksidan misalnya pada jagung (Randhir dkk., 2008), tomat (Kwan dkk., 2007), kobis brussel (Vina dkk., 2007; Olivera dkk., 2008). Pening- katan aktivitas antioksidan selama blanching diduga terjadi perubahan senyawa kurang aktif menjadi aktif, hal ini sesuai hasil penelitian Kim dkk. (2010) bahwa pemanasan tanin menunjukkan peningkatan aktivitas antioksidan dibanding tanpa pemanasan (Pujimulyani et al., 2010). Kemampuan proses Blanching sebagai perlakuan pendahuluan untuk mendapatkan produk yang baik didasari oleh beberapa fungsi, yaitu : a. Menginaktivasi enzim yang dapat menyebabkan perubahan kualitas bahan pangan, terutama bahan pangan segar yang mudah mengalami kerusakan akibat aktivitas enzim yang tinggi. Bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan jenis ini adalah buah-buahan dan sayur-sayuran. Aktivitas enzim



4



ini terkait karakteristik biologi, fisiologi, dan hidratasi bahan pangan. Akibat buruk akibat aktivitas enzim lebih tampak jika pada proses pengolahan terjadi penundaan. Beberapa enzim oksidatif yang menjadi inaktif pada proses Blanching adalah peroksidase, katalase, polifenol oksidase, lipoksigenase, dan lain-lain. Sebagai contoh Blanching dilakukan sebagai perlakuan pendahuluan pada proses pembuatan sari buah apel dengan tujuan untuk menginaktifkan enzim polifenolase. Enzim polifenolase dapat mengkatalis reaksi oksidasi terhadap senyawa fenol yang mengakibatkan pembentukan warna coklat yang tidak dikehendaki karena merusak penampilan produk dan tidak disukai konsumen. b. Mengurangi gas antarsel untuk mengurangi perubahan oksidatif. Berkurangnya gas antarsel berakibat pada menurunya kadar oksigen dalam bahan, sehingga akan berakibat pada menurunya aktivitas enzim oksidatif yang aktifitasnya dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam bahan. c. Selain inaktifasi enzim, prinsip proses Blanching yang menggunakan pemanasan



juga



akan



menurunkan



aktifitas



bahkan



mematikan



mikroorganisme. Namun selain dari keuntungan yang diperoleh dari proses Blanching tersebut, ada juga kekurangan dari proses tersebut, yaitu efek negatif berupa kehilangan zat gizi yang sensitif terhadap pemanasan. Zat gizi yang sensitif terhadap pemanasan akan larut pada proses Blanching yang dilakukan dengan metode perebusan. Proses Blanching dibutuhkan jika terdapat waktu tunggu sebelum perlakuan panas pada proses pengeringan atau pengalengan dilakukan. Proses Blanching juga diperlukan jika tidak terdapat perlakuan panas pada produk selama pengolahan seperti pada pembekuan. Jika makanan tidak diblanching, perubahan yang tidak diinginkan terutama karakteristik sensorik dan nutrisi dapat terjadi. Blanching juga dapat menyebabkan kerusakan pangan dibandingkan yang tidak diblanching karena panas yang diberikan dapat merusak jaringan dan membebaskan enzim tetapi tidak menginaktifkannya, dan mempercepat kerusakan pencampuran enzim



5



dengan substrat. Terdapat beberapa jenis peralatan blanching yang biasa digunakan di industri , yaitu : 1. Water Blanching, pada metode ini, digunakan air panas (mendidih) untuk menaikkan temperatur bahan pangan, biasanya temperatur operasi berkisar antara 70-100oC . Metode ini merupakan metode blanching yang paling sederhana dan memerlukan biaya operasi yang murah. Peralatan yang digunakan biasanya blancher yang memiliki penutup, atau panci besar dengan penutup. Kekurangan dari penggunaan metode water blanching ini adalah menghilangkan mineral dan nutrien penting yang larut dalam air. 2. Steam Blanching, Metode ini disarankan untuk hanya beberapa jenis sayuran seperti brokoli, labu, kentang dan winter squash, namun sebenarnya bahan-bahan ini dapat menggunakan metode water blanching. Steam blanching biasanya digunkan untuk bahan pangan yang berukuran kecil, atau sudah dipotong dengan ukuran yang kecil.Waktu pemrosesan dengan steam blanching biasanya 1.5 kali lebih lama dibandingkan dengan metode water blanching. Pada steam blanching, produk diangkut oleh belt conveyor melalui ruang uap dengan temperatur sekitar 100oC yang diinjeksikan ke dalam peralatan. Keunggulan metode steam blanching ini adalah meminimasi kehilangan komponen pangan yang larut dalam air seperti vitamin, protein, mineral dll, memiliki efisiensi energi yang lebih tinggi serta meminimisasi tingkat BOD yang terlarut. 3. Hot gas Blanching, penggunaan gas cerobong dari pembakaran gas pada medium pemanas digunakan untuk memanaskan bahan pangan, sehingga terjadi proses blanching. Dengan menggunakan metode gas blanching akan mengurangi limbah yang dihasilkan, namun seringkali mengakibatkan berkurangnya berat produk. Penggunaan hot gas blanching tidak digunakan dalam industri dan kebutuhan dalam penelitian lebih lanjut. 4. Microwave Blanching, penelitian tentang penggunaan microwave untuk blanching



telah



dimulai



penggunaan microwave memiliki



pada potensi



yang



tahun cukup



1940-an, besar



untuk



dipergunakan pada skala industri, namun untuk menggunakannya secara



6



konvensional



perlu



peninjauan



lebih



lanjut.



Pada



umumnya,



penggunaan microwave blanching dalam skala industri terbatas, karena masih terbatasnya ketertarikan industri untuk menggunakan metode ini. Hal ini disebabkan mereka harus mengganti semua peralatan (umumnya dengan steam blanching atau water blanching) serta tidak lebih menghemat waktu dibandingkan dengan metode lainnya. 2.2 Metode Blanching Metode blanching yang digunakan adalah steam blanching, yang dilakukan dengan cara bahan pangan diberi uap panas yang dihasilkan dari air yang telah mendidih. Uap air akan masuk dan melewati seluruh jaringan dari bahan pangan tersebut (Sharma et al., 2000). Keunggulan dari metode ini adalah hilangnya komponen yang larut dalam air (seperti vitamin, mineral dan gula) dapat diminimalkan. Pretreatment blanching berpengaruh terhadap perubahan kualitas sensoris dan nutrisi pada bahan pangan, misalnya terjadinya perubahan struktur jaringan menjadi lebih lunak, kehilangan beberapa kandungan mineral, kandungan vitamin yang larut dalam air serta komponen larut dalam air lainnya. Blanching biasanya dilakukan pada suhu antara 70100°C selama 3-5 menit (Purwoko, 2014). Proses blanching dilakukan dengan memanaskan bahan pangan pada suhu kurang dari 100oC dengan menggunakan air panas atau uap air panas. Contoh proses blanching yaitu mencelupkan sayuran atau buah di dalam air mendidih selama 3 sampai 5 menit atau mengukusnya selama 3 sampai 5 menit. Setelah dilakukan proses pemanasan bahan pangan, biasanya dilanjutkan dengan proses pendinginan yang bertujuan untuk mencegah pelunakan jaringan yang berlebihan sekaligus dan sebagai proses pencucian setelah blanching.



Proses



pendinginan



dilakukan



segera



setelah



proses blanching selesai. Bahan dibenamkan ke dalam air es selama beberapa waktu, biasanya lamanya waktu untuk proses pendinginan sama dengan lama waktu yang digunakan untuk blanching. Waktu pendinginan ini tidak boleh terlalu lama, karena dapat menyebabkan meningkatnya kehilangan komponen larut air karena lisis kedalam air pendingin. Untuk meminimalkan kehilangan 7



komponen larut air karena lisis kedalam air pendingin, maka proses pendinginan dapat dilakukan dengan menggunakan udara dingin sebagai media pendinginnya. Setiap bahan pangan memiliki waktu proses blanching yang berbedabeda untuk inaktivasi enzim, tergantung pada jenis bahan tersebut, metode blanching yang digunakan, ukuran bahan dan suhu media pemanas yang digunakan. Pada Tabel dibawah ini dapat dilihat lama waktu blanching dari beberapa jenis bahan pangan : Sayuran (dalam air suhu 100 o



Waktu Blanching (menit)



C)



Brokoli



2-3



Jagung



2-3



Bayam



12



Beet Ukuran kecil, utuh



3-5



Beet dipotong dadu



3



Idealnya, lama waktu yang diperlukan untuk proses blanching adalah pas tidak terlalu lama atau terlalu sebentar. Proses blanching yang berlebihan akan menyebabkan produk menjadi matang, kehilangan flavor, warna, dan nutrisinutrisi penting yang terkandung didalamnya karena komponen-komponen tersebut



dapat



rusak dan terlarut



kedalam media pemanas (pada



proses blanching dengan air panas atau steam). Sebaliknya, waktu blanching yang terlalu sebentar akan mendorong meningkatnya aktivitas enzim perusak dan menyebabkan kerusakan mutu produk yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak mengalami proses blanching. Proses blanching salah satunya bertujuan untuk menjaga mutu produk, dengan cara menonaktifkan enzim alami yang terdapat pada bahan pangan. Enzim tersebut di nonaktifkan karena dapat mengganggu kualitas pangan saat dilakukan proses pengolahan selanjutnya. Contohnya ialah enzim polifenolase yang menimbulkan pencoklatan pada bahan pangan buah-buahan.



8



Dalam proses blanching buah dan sayuran, terdapat dua jenis enzim yang tahan panas, yaitu enzim katalase dan peroksidase. Kedua enzim ini memerlukan pemanasan yang lebih tinggi untuk menginaktifkannya dibandingkan enzim-enzim yang lain. Baik enzim katalase maupun peroksidase tidak menyebabkan kerusakan pada buah dan sayuran. Namun karena sifat ketahanan panasnya yang tinggi, enzim katalase dan peroksidase sering digunakan sebagai enzim indikator bagi kecukupan proses blanching. Artinya, apabila tidak ada lagi aktivitas enzim katalase atau peroksidase pada buah dan sayuran yang telah di blanching, maka enzim-enzim lain yang tidak diinginkan pun telah terinaktivasi dengan baik. Pada proses blanching prinsipnya adalah melewatkan bahan pangan menuju uap pemanas dan media pendingin (dapat berupa udara atau air). Proses blanching dalam skala industri dilakukan pada Rotary Drum Steam Blancher. Ini merupakan suatu alat dimana proses blanching berupa pemanasan dan pendinginannya dilangsungkan dalam suatu drum yang berputar. Proses pemanasan di dalam alat umumnya dilakukan pada suhu 7080oC bergantung pada jenis bahan pangan dan menggunakan uap jenuh. Sementara untuk proses pendinginan dipilih menggunakan media pendingin berupa air kondensat. Blanching dengan air panas tidak selalu diinginkan, terutama pada buah potong yang akan dimakan dalam bentuk segar dan buah beku yang akan dikonsumsi dalam bentuk segar (tanpa pemasakan) setelah proses thawing. Pada buah potong yang akan dikonsumsi dalam bentuk segar, proses blanching dapat menyebabkan perubahan karakteristik sensorik khas buah segarnya. Sementara pada buah beku, kerusakan panas yang terjadi selama blanching pada beberapa jenis buah menyebabkan perubahan flavor dan tekstur buah (tekstur menjadi porous seperti gabus) setelah dithawing. Kondisi ini menyebabkan buah menjadi tidak layak untuk dikonsumsi segar. Untuk kasus seperti ini, maka digunakan metode alternatif lain untuk menghambat perubahan enzimatis terutama reaksi pencoklatan.



9



Beberapa metode yang bisa digunakan sebagai pengganti blanching pada pembuatan



buah



beku



adalah



inaktivasi



enzimatis



secara



kimia,



menghindarkan kontak dengan oksigen (misalnya dengan mengemas buah dalam larutan gula) dan perendaman dalam larutan yang mengandung anti oksidan (misalnya asam askorbat). Contoh lain proses blanching diterapkan pada buah-buahan. Proses blanching ini bertujuan untuk mencegah terbentuknya warna coklat pada buahbuahan. Buah yang paling mudah mengalami pencoklatan adalah apel. Blanching yang dilakukan pada buah- buahan ini adalah dengan memberikan panas terhadap bahan pangan melalui perendaman bahan dalam air yang mendidih atau pemberian steam dalam waktu yang relatif singkat. Untuk apel, setelah dikupas dan dipotong- potong selanjutnya apel direndam di dalam air panas selama 3 menit dengan suhu mencapai 82-93°C. Setelah proses perendaman selesai, apel direndam dalam larutan vitamin C. Dengan takaran vitamin 200 miligram per liter. Sehingga akan diperoleh apel yang tetap segar dengan tambahan vitamin C. Selain itu, proses blanching untuk buah- buahan dapat dilakukan dalam larutan garam kalsium dengan tujuan untuk memperbaiki kekerasan buah dengan terbentuknya kalsium pektat. Kekerasan buah setelah diblanching juga dapat diperbaiki dengan bantuan pektin, karboksimetil dan alginat. Beberapa parameter yang dapat dilihat dalam suatu proses blanching diantaranya adalah : a) Rasa (flavor)



Secara langsung dan tidak langsung proses blanching memengaruhi rasa pada berbagai produk pangan dengan menginaktivasi enzim tertentu dalam produk tsb. Selain itu blanching juga meningkatkan retensi rasa dan seringkali menghilangkan rasa pahit yang tidak diinginkan dalam pangan. b) Tekstur



Blanching dapat menyebabkan softening dari produk pangan yang tidak diinginkan, namun hal ini dapat diatasi dengan penambahan kalsium pada pangan tsb. Selain itu, penggunaan kombinasi temperatur rendah pada



10



bahan mentah terbukti telah efektif dalam proses firming pada sayuran kaleng. Parameter untuk melihat struktur pada bahan pangan diantaranya adalah kerenyahan, kegaringan, serta pengukuran instrument seperti gaya geser maksimum. c) Warna



Perubahan warna pada proses blanching terjadi secara langsung maupun tidak



langsung.



dimana blanching akan



Contohnya mengurangi



dalam kadar



pengolahan gula,



kentang,



kemudian



akan



memengaruhi perubahan warna pada kentang, dimana biasanya terjadi reaksi Maillard. Dalam industri, makanan pada umumnya perbandingan warna secara visual dilakukan dengan metode instrument berdasarkan reflektansi. d) Nilai Gizi



Secara umum, blaching akan menurunkan nilai nutrisi dalam makanan, terutama ketika menggunakan air dalam prosesnya. Beberapa nutrisi yang kemungkinan akan hilang pada saat pemrosesan diantaranya adalah vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, karoten, dan beberapa mineral lainnya. Sayuran hijau yang diberi perlakuan blanching sebelum dibekukan atau dikeringkan mutu wama hijaunya lebih baik dibandingkan dengan sayuran yang tidak di blanching terlebih dahulu. Dalam pengalengan sayuran dan buah-buahan, blanching dapat menghilangkan gas dari dalam jaringan tanaman, melayukan jaringan tanaman agar dapat masuk dalam jumlah banyak dalam kaleng, menghilangkan lendir dan memperbaiki warna produk. Alat yang digunakan untuk proses blanching adalah blancher dimana proses yang terjadi bertujuan untuk: 1) Menonaktifkan enzim alami yang terdapat pada bahan pangan. 2) Membunuh sebagian jasad renik yang terdapat pada bahan pangan. 3) Mematikan jaringan-jaringan bahan. 4) Menghilangkan kotoran yang melekat pada sayuran. 5) Menghilangkan zat-zat penyebab lendir pada sayuran. 6) Mengeluarkan gas-gas, termasuk O2 dalam jaringan buah atau sayuran.



11



7) Mempertahankan mutu sensorik dan nutrisi dari buah dan sayur.



2.3 Pengertian Pasteurisasi Pasteurisasi merupakan proses pemanasan makanan dengan tujuan membunuh organisme merugikan seperti bakteri, virus, protozoa, kapang, dan khamir. Proses ini diberi nama atas penemunya, Louis Pasteur, seorang ilmuwan Perancis. Teknik ini digunakan untuk mengawetkan bahan pangan yang tidak tahan suhu tinggi, misalnya susu. Pasteurisasi tidak mematikan semua mikroorganisme, tetapi hanya yang bersifat patogen dan tidak membentuk spora. Pasteurisasi adalah proses thermal yang dilakukan pemanasan 65°C selama 30 menit. Makin tinggi suhu pasteurisasi, makin singkat proses pemanasannya. Pasteurisasi umumnya suatu proses thermal yang dikombinasikan dengan proses pengawetan lainnya seperti proses fermentasi atau penyimpanan pada suhu rendah (refrigasi). Pada suhu dan waktu proses ini sebagian besar mikroba pathogen dan mikroba penyebab kebusukan telah musnah, namun jenis mikroba lainnya tetap hidup. Pasteurisasi biasanya digunakan untuk susu, sari buah, anggur, makanan asam, serta makanan lain yang tidak tahan suhu tinggi. Proses ini tidak terlalu merusak gizi serta mengubah aroma dan cita rasa. Tetapi karena tidak semua jenis mikroba mati dengan proses ini, pengawetan dengan pasteurisasi biasanya tidak memiliki umur simpan yang lama. Alat yang digunakan yaitu ketel pasteurisasi, dandang atau kukusan, pressure cooker dan autoclave. Tujuan dari pasteurisasi adalah untuk menginaktifkan sel-sel vegetative dan mikroba pathogen. Selain itu pasteurisasi bertujuan untuk memperpanjang daya simpan bahan atau produk, dapat menimbulkan cita rasa yang lebih unik pada produk. Mikroba terutama mikroba nonpathogen dan pembusuk masih ada pada bahan yang dipasteurisasi dan bisa berkembang biak. Oleh karena itu daya simpannya tidak lama. Contohnya susu yang telah dipasteurisasi bila disimpan pada suhu kamar hanya akan tahan 1-2 hari sedangkan bila disimpan dalam lemari es kira-kira tahan seminggu. Karena itu untuk tujuan pengawetan,



12



pasteurisasi harus dikombinasikan dengan cara pengawetan lainnya misalnya dengan pendinginan. 2.3.1 Manfaat Pasteurisasi a. Memperpanjang daya simpan bahan atau produk. b. Menimbulkan cita rasa yang lebih baik pada produk. c. Menginaktifkan enzim fosfatase dan katalase ,yaitu enzim yang membuat susu cepat rusak. d. Untuk membunuh bakteri patogen, yaitu bakteri yang berbahaya karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Bakteri pada susu yang bersifat patogen misalnya Mycobacterium tuberculosis dan Coxiella bunetti dan mengurangi populasi bakteri. 2.3.2 Cara Kerja Pasteurisasi Proses pembuatan susu pasteurisasi terdiri dari beberapa tahap dan setiap tahap mempunyai tujuan tertentu yaitu mendapatkan produk berkualitas. 1. Tahap



Penerimaan.



Susu



dikirim



dari



peternakan



dengan



menggunakan milkcan kemudian disimpan di freezer untuk mendinginkan susu sampai dengan suhu 4oC. Pada tahap penerimaan dilakukan pemeriksaan fisik. 2. Tahap Pemanasan. Pada tahap pemanasan yaitu susu dituang ke alat utama proses pasteurisasi yaitu Plate Heat Exchanger (PHE) untuk memanaskan susu hingga mencapai suhu 65oC selama 30 menit. 3. Tahap Pendinginan. Setelah dipanaskan, susu kemudian dituang ke milkcan/panci yang dilanjutkan dengan tahap pendinginan dengan merendam milkcan/panci berisi susu tersebut ke dalam air es hingga suhu mencapai 10oC dan siap untuk dikemas. 4. Sanitasi. Peralatan dalam proses pengolahan susu harus dijaga dalam keadaan bersih. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas susu sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Adapun proses sanitasi yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Membilas peralatan dengan air hingga sisa-sisa susu hilang.



13



b. Mencuci dengan air sabun hangat atau menggunakan air panas dan larutan chloor/klorin , disikat kemudian dibilas. c. Merendam dengan air mendidih selama 2 – 3 menit atau diuapkan selama 30 detik.Menyimpan peralatan di ruangan yang tertutup dan bersih sebelum digunakan. 2.3.3 Prinsip Pasteurisasi Pasteurisasi adalah pemanasan susu dengan suhu dan waktu tertentu. Pemanasan pada suhu pasteurisasi dimaksudkan untuk membunuh sebagian kuman patogenik yang ada dalam susu, dengan seminimum mungkin kehilangan gizinya dan mempertahankan semaksimal mungkin sifat fisik dan cita rasa susu segar (Purnomo, 1987). Metode pasteurisasi yang umum dilakukan pada susu ada dua cara, yaitu: low temperature long time (LTLT) yakni pasteurisasi pada suhu rendah 62,80C selama 30 menit, sedangkan metode lain ialah high temperature short time (HTST), yakni pemanasan pada suhu tinggi 71,70C selama 15 detik (Singh et al., 1980). Prinsip kerja mesin pasteurisasi ini adalah mengaduk bahan secara merata disertai dengan pemanasan dengan suhu terkontrol. Metode Pasteurisasi yang umum digunakan adalah : a. LTLT (Low Temperature Long Time) Pasteurization. Low Temperature Long Time Pasteurization merupakan proses pasteurisasi paling tua dan pertama kali digunakan. Pemanasannya dilakukan di dalam tangki besar pada suhu 61-63°C selama 30 menit. Untuk menjaga agar panas tetap konstan dan merata maka dilakukan pengadukan terhadap susu selama proses berlangsung. b. High Temperature Short Time (HTST) Pasteurization Dilakukan pada temperature tinggi dan waktu singkat, yaitu pada temperature 71,7 - 75,0°C selama 15-16 detik. Prosesnya menggunakan metode kontinyu dengan pelat pemindah panas. Produknya tahan maksimal selama 2 minggu dalam lemari es.



14



c. UHT Pasteurization Perkembangan lebih lanjut dari teknik pasteurisasi adalah dengan teknik pemanasan suhu sangat tinggi (UHT). Ultra High Temperature (UHT) pasteurization merupakan proses pasteurisasi yang dilakukan pada temperatur sangat tinggi dan waktu sangat singkat, yaitu pada temperatur 131 – 150°C selama 0,5 – 1 detik. Pemanasan dilakukan dengan tekanan tinggi (High Pressure) untuk mencegah terjadinya pembakaran susu pada alat pemanas. Produk dapat tahan dalam suhu ruangan hingga beberapa bulan jika dikemas dengan baik. 2.3.4 Hubungan Pasteurisasi dengan kehidupan Pasteurisasi merupakan perlakuan pemanasan relative sedang walaupun dipadukan dengan unit operasi lain, tetapi sedikit mengubah nilai gizi dan sifat organoleptik pada kebanyakan makanan. Tetapi daya tahan makanan terpasteurisasi biasanya hanya bertahan beberapa hari atau minggu dibandingkan dengan proses sterilisasi yang dapat bertahan selama beberapa bulan. Pasteurisasi memiliki dampak yang dapat mempengaruhi keadaan lingkungan, seperti yang diketahui pasteurisasi dapat membunuh bakteri patogen pada makanan. Namun disamping itu pasteurisasi juga mengakibatkan degradasi enzim yang terkandung dalam makanan. Adakalanya dengan sedikit menaikkan suhu pada proses pasteurisasi dari keadaan optimal, jumlah enzim yang terdegradasi justru lebih banyak daripada jumlah bakteri patogen yang hilang dibandingkan dengan keadaan optimal. Dalam usaha pasteurisasi mencegah keasaman susu, susu yang asam justru sangat baik untuk kesehatan dan mudah untuk dicerna. Tapi justru dengan proses pasteurisasi, bakteri menguntungkan jadi hilang sehingga meningkatkan bakteri merugikan di dalam perut kita. Selain menghancurkan sebagian vitamin A, vitamin B Kompleks, vitamin C dan bakteri menguntungkan pada susu, pasteurisasi juga merubah komponen gula pada susu, yaitu laktosa, menjadi beta-laktosa.



15



Beta-laktosa ini lebih cepat larut dan dengan demikian cepat diserap ke dalam sistem yang membuat kita jadi lapar lagi. 2.3.5 Sistem Pasteurisasi yang baik Metode pasteurisasi yang paling banyak digunakan di dunia adalah proses pasteurisasi suhu tinggi waktu singkat dan suhu sangat tinggi waktu singkat. Enzim sensitif terhadap panas dan mulai terurai pada suhu 48°C. Pada suhu 115°C, enzim sudah hancur seluruhnya. Oleh karena itu, terlepas dari lama waktu yang digunakan dalam pemrosesan, pada saat suhu mencapai 130°C, enzim telah hampir seluruhnya rusak. Dengan demikian penggunaan sistem pasteurisasi UHT sangat mengurangi nilai gizi yang terkandung dalam susu. Di jaman sekarang, tidak ada makanan yang 100% sempurna. Semuanya memiliki kelebihan dan kelemahan. Tapi sebagai bahan pertimbangan, nilailah prosentase baik dan buruk dari apa yang kita konsumsi. Jika suatu makanan lebih banyak membawa kerugian dibandingkan



keuntungan,



adalah



bijaksana



jika



Anda



tidak



mengonsumsinya. Sistem pasteurisasi dapat dipandang dari dua sisi, sitem ini akan dinilai baik jika kita mengharapkan daya tahan yang lama dari suatu makanan, namun akan bernilai buruk jika kita mengharapkan kualitasnya membaik. Untuk mendapatkan gizi yang cukup maka sistem pasteurisasi yang digunakan adalah LTLT, karena pada suhu ± 62 celsius, belum semua enzim dapat dirusak oleh pemanasan tersebut, namun jika kita meninjau untuk mengurangi biaya produksi, maka sistem UHT merupakan pilihan terbaik, selain dapat dilakukan secara massal, juga menghemat waktu pemprosesannya. 2.3.6 Proses Pengolahan Susu Dengan Cara Pasteurisasi Pasteurisasi



adalah



proses



pengolahan



susu



dengan



cara



memanaskan susu dengan waktu minimal 30 menit dan panas suhu maksimal 80 derajat celcius. Proses ini bertujuan untuk mengurangi jumlah bakteri atau kuman yang bisa menjadi penyebab penyakit, serta



16



memperlambat pertumbuhan mikroba susu. Proses ini ditemukan ilmuwan Louis Pasteur dari Prancis pada 20 April 1862. Karena tidak melalui pemanasan dengan suhu tinggi, susu pasteurisasi masih terjamin kandungan zat gizinya. Namun, susu pasteurisasi harus segera diminum karena tidak akan bertahan lama dan diperlukan proses pendinginan agar dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama. Susu pasteurisasi hanya dapat bertahan selama 4-5 jam dalam suhu ruangan. Jika susu pasteurisasi disimpan lebih dari 6 jam dalam suhu ruangan, maka kandungan nutrisi di dalam susunya bisa rusak. Oleh karenanya, susu pasteurisasi perlu dimasukkan ke dalam lemari pendingin. Selain itu, dalam keadaan kemasan sudah terbuka, susu pasteurisasi hanya bisa bertahan selama 3 hari. Perlu diketahui pula, cara meminum susu pasteurisasi harus dituangkan ke dalam gelas dan tidak diminum langsung dari kemasan karena hal itu bisa memperpendek masa konsumsinya. Karena susu pasteurisasi tidak melalui proses pemanasan dengan suhu tinggi seperti susu UHT, kandungan gizi dalam susu pasteurisasi tidak banyak berubah. Hal ini membuat rasa susu pasteurisasi terasa lebih kental dan kuat dibandingkan rasa susu UHT. susu pasteurisasi akan kehilangan beberapa vitamin akibat proses pemanasan yang dilakukan. Oleh karenanya kedua susu tersebut memiliki fortifikasi. Fortifikasi merupakan proses penambahan mikronutrien atau vitamin dan unsur renik esensial pada makanan. Susu yang sudah melalui fortifikasi nantinya akan memiliki tambahan gizi lebih di dalam kandungannya. Tambahan kandungan baik, seperti vitamin D yang sangat dibutuhkan untuk membantu pertumbuhan tulang. Selain itu tujuan dilakukannya fortifikasi adalah untuk mempertahankan serta memperbaiki sebagian kecil gizi dan nutrisi yang mungkin hilang karena proses pemanasan sebelumnya.



17



Pada tingkat sterilisasi susu pasteurisasi masih ada beberapa bakteri yang tersisa, bakteri tersebut pada umumnya bukan jenis bakteri penyebab penyakit berbahaya. Untuk menghindari susu terkontaminasi lebih banyak, susu pasteurisasi akan melewati tahap tambahan dalam pengolahannya. Setelah selesai dipanaskan pada suhu sekitar 72 derajat celcius, susu akan langsung dimasukan kedalam lemari pendingin dengan suhu sekitar 4.4 derajat celcius. 2.4 Sterilisasi 2.4.1 Pengertian Sterilisasi Sterilisasi adalah proses membebaskan bahan pangan dari semua mikroorganisme termasuk bakteri, spora bakteri,kapang dan virus, menggunakan kombinasi suhu tinggi dan waktu tertentu. Sterilisasi adalah proses untuk menghilangkan semua jenis miroorganisme yang hidup dalam suatu benda yaitu protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, dan virus. Sterilisasi berfungsi menjaga kebersihan atau sterilitas suatu benda yang akan dipergunakan (Istini, 2020). Untuk membunuh semua mikroorganisme termasuk sporanya didalam bahan pangan, yang dapat tumbuh, pada kondisi normal. Sterilisasi yang tidak baik juga dapat menghasilkan penyebaran infeksi bakteri dan virus seperti hepatitis dan HIV. Proses Sterilisasi lebih intens dari proses pasteurisasi yang menggunakan suhu diatas 1000oC dengan waktu yang cukup lama sehingga dapat berpengaruh terhadap penampakan dan rasa dari produk. Untuk mencegah kontaminasi, dapat dilakukan teknik sterilisasi yang tepat baik terhadap alat maupun bahan serta lingkungan kerja. Kegiatan sterilisasi bertujuan untuk mengeliminasi patogen atau cendawan yang mungkin terbawa saat pengambilan eksplan, yang dapat menimbulkan kontaminasi sehingga menghambat pertumbuhan eksplan menjadi tanaman utuh, bahan desinfektan yang dapat digunakan menjadi tanaman untuk sterilisasi media dalam kultur jaringan, diantaranya yang umum dikenal adalah HgCl2 dan NaClO (Sulistiyo et al., 2018). 18



2.4.2 Macam-Macam Sterilisasi a. Sterilisasi Termal Proses termal merupakan serangkaiaan proses yang harus dilakukan secara akurat dan hati-hati untuk menjamin keamanan produk. Masalah utama yang berkaitan dengan produk kaleng untuk produk pangan berasam rendah adalah pembentukan toksin botulium. Toksin tersebut dihasilkan oleh mikroorganisme c. botulinum. penyakit yang disebabkan oleh toksin botulin disebut botulisme. Pencegahan pembentukan toksin botulin merupakan tujuan utama dari proses pengalengan. Sterilisasi termal merupakan unit pengolahan., yaitu produk pangan diberi perlakuan panas menggunakaan suhu tinggi dan waktu tertentu untuk mendestruksi mikroba dan aktivitas enzim. Akibatnya, produk pangan sterilisasi mempunyai umur simpan yang lama lebih dari enam bulan. Perlakuan panas yang ekstrem selama sterilisasi mengakibatkan perubahan nutrisi dan sifat sensori produk pangan. Oleh karena itu, teknik sterilisasi terus dikembangkan untuk mengurangi kerusakan nutrisi dan mutu sensori produk pangan, termasuk pengembangan teknologi sterilisasi nontermal. b. Sterilisasi Komersial Sterilisasi Komersial (Ditujukan untuk membunuh semua mikroorganisme yang hidup pada suhu penyimpanan normal atau suhu ruang, perlu kita ingat ada beberapa organisme yang juga dapat bertahan pada suhu tinggi.). Sterilisasi komersial ,merupakan proses sterilisasi dengan tujuan membunuh suatu mikroorganisme yang dapat tumbuh pada produk pangan pada kondisi suhu ruang. Produk yang diproses melalui sterilisasi komersial, aseptis, dan dikemas secara hermetis biasa dikategorikaan sebagai produk kaleng walaupun kemasan yang digunkan tidak terbatas pada kaleng saja melainkan dapaat berupa kemasan yang lain, sepertiretort pouch dan gelas jar. Berbeda dengan sreilisasi total yang biasa di terapkan dalam dunia medis atau kedokteran, Sterilisasi komersial tidak sepenuhnya



19



membunuh mikroba karena masih terdapat mikroba karena masih terdapat beberapa mikroba yang masih dapat hidup secara sterilisasi. Akan tetapi, kondisi dalam kaleng selama distribusi, pemasaran, dan penyimpanan yang aseptis dan vakum, maka mikroba tersebut tidak dapat hidup dan berkembang biak. Pemberian



panas



yang



tidak



mencukupi



menyebabkan



penyebaran penigkatan resiko kerusakan dan keamanan pangan akibat mikroba yang ada menjadi aktif kembali. Untuk menghindari hal tersebut, proses sterilisasi yang di terapkan di industry pangan di rancang secara khusus untuk mencapai kondisi sterilisasi komersial yang aman. Pemanasan Sterilisasi komersial umum dilakukan pada bahan pangan yang sifatnya tidak asam atau lebih dikenal dengan bahan pangan berasam rendah. Bahan pangan berasam rendah memiliki pH > 4,5, misalnya seluruh bahan pangan hewani seperti daging, susu, telur dan ikan serta sayuran seperti buncis dan jagung. Makanan berkadar asam tinggi memiliki pH < 3,5, dan Berkadar asam sedang pH 3,5 - 4,5. Apabila pada kondisi penyimpanan yang benar, spora yang tahan terhadap suhu tinggi tidak dapat berkembang dan sebaliknya apabila suhu penyimpanan salah maka spora tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada makanan kaleng, Clostridium botulinun menjadi target utama dari proses sterilisasi komersial. Untuk pangan yang PH diatas 6,4 Atau AWN diatas 85 % ketidak cukupan proses sterilisasi akan menyebabkan spora Clostridium botulinun tumbuh serta dapat meghasilkan toksin botulin yang sangat mematikan didalam makanan kaleng. Waktu dan suhu sterilisasi bahan pangan tergantung juga pada wadah apa yang digunakan, kondisi ( Jenis, Komposisi, Kekeantalan) bahan pangan, Resistensi mikroorganisme dan enzim terhadap panas, pH bahan makanan, ukuran wadah / kemasan yang disterilkan.



20



Dapat dicontohkan seperti, proses sterilisasi soup memerlukan waktu yang lebih pendek dari proses sterilisasi kornet. Cairan atau kuah soup akan membantu mempercepat proses pemindahan panas (Heat transfer)secara konvensi, sedangkan pada sterilisasi kornet proses perpindahan panas secara konduksi sehingga proses pemanasan berjalan lambat. Produk pangan sterilisasi mempunyai umur simpan yang panjang dan dapat disimpan pada suhu ruang. Dengan demikian, sterilisasi komersial ini hanya digunakan untuk mengolah bahan pangan berasam rendah di dalam kaleng, seperti kornet, sosis dan sayuran dalam kaleng. Susu steril dalam kotak adalah contoh produk lain yang diproses dengan sterilisasi komersial. Tetapi prosesnya berbeda dengan pengalengan. Susu steril dalam kotak diproses dengan pengemasan aseptik yaitu suatu proses sterilisasi kontinyu dimana produk susu yang sudah disterilkan dimasukkan ke dalam kotak yang sudah disterilkan dalam lingkungan yang juga aseptik. 2.4.3 Metode Sterilisasi a. Sterilisasi secara Fisik Sterilisasi secara fisik dipakai bila selama sterilisasi dengan bahan kimia tidak akan berubah akibat temperatur tinggi dan tekanan tinggi. Cara membunuh mikroorganisme tersebut adalah dengan panas. Berikut penjelasan cara membunuh mikroorganisme : 1. Pemanasan kering Prinsipnya adalah protein mikroba pertama-tama akan mengalami dehidrasi sampai kering dan selanjutnya teroksidasi oleh oksigen dari udara sehingga menyebabkan mikrobanya mati. Digunakan pada benda atau bahan yang tidak mudah menjadi rusak, tidak menyala, tidak hangus atau tidak menguap pada suhu tinggi. Umumnya digunakan untuk senyawa yang tidak efektif untuk disterilkan dengan uap air, seperti minyak lemak, minyak mineral, gliserin (berbagai jenis minyak), petrolatum jelly, lilin, wax, dan serbuk yang tidak stabil dengan uap air. Metode ini efektif 21



untuk mensterilkan alat-alat gelas dan bedah. Contohnya alat ukur dan penutup karet atau plastik. Selain itu, bahan atau alat harus dibungkus, disumbat atau ditaruh dalam wadah tertututp untuk mencegah kontaminasi setelah dikeluarkan dari oven. 2. Pemanasan basah Prinsipnya



adalah



dengan



cara



mengkoagulasi



atau



denaturasi protein penyusun tubuh mikroba sehingga dapat membunuh mikroba. Sterilisasi uap dilakukan menggunakan autoklaf dengan prinsipnya memakai uap air dalam tekanan sebagai pensterilnya. Temperatur sterilisasi biasanya 121℃, tekanan yang biasa digunakan antara 15-17,5 psi (pound per square inci) atau 1 atm. Lamanya sterilisasi tergantung dari volume dan jenis. Alat-alat dan air disterilkan selama 1 jam, tetapi media antara 20-40 menit tergantung dari volume bahan yang disterilkan. Sterilisasi media yang terlalu lama akan menyebabkan penguraian gula, degradasi vitamin dan asam-asam amin, inaktifasi sitokinin zeatin riboside, perubahan pH yang berakibatkan depolimerisasi. 3. Pemanasan dengan Bakterisida Digunakan untuk sterilisasi larutan berair atau suspensi obat yang tidak stabil dalam autoklaf. Tidak digunakan untuk larutan obat injeksi intravena dosis tunggal lebih dari 15 ml, injeksi intratekal,



atau



intrasisternal.



Larutan



yang



ditambahkan



bakterisida dipanaskan dalam wadah bersegel pada suhu 100 oC selama 10 menit di dalam pensteril uap atau penangas air. Bakterisida yang digunakan 0,5% fenol, 0,5% klorobutanol, 0,002 % fenil merkuri nitrat dan 0,2% klorokresol. a) Air mendidih Digunakan untuk sterilisasi alat bedah seperti jarum spoit. Hanya dilakukan dalam keadaan darurat. Dapat membunuh bentuk vegetatif mikroorganisme tetapi tidak sporanya.



22



b) Pemijaran Dengan cara membakar alat pada api secara langsung, contoh alat : jarum inokulum, pinset, batang L, dan sebagainya. 4. Sterilisasi dengan radiasi Prinsipnya adalah radiasi menembus dinding sel dengan langsung mengenai DNA dari inti sel sehingga mikroba mengalami mutasi. Digunakan untuk sterilisasi bahan atau produk yang peka terhadap panas (termolabil). Ada dua macam radiasi yang digunakan yakni gelombang elektromagnetik (sinar x, sinar γ) dan arus partikel kecil (sinar α dan β). Sterilisasi dengan radiasi digunakan untuk bahan atau produk dan alat-alat medis yang peka terhadap panas (termolabil). 5. Tyndalisasi Konsep kerja metode ini mirip dengan mengukus. Bahan yang mengandung air dan tidak tahan tekanan atau suhu tinggi lebih tepat disterilkan dengan metode ini. Misalnya susu yang disterilkan dengan suhu tinggi akan mengalami koagulasi dan bahan yang berpati disterilkan pada suhu bertekanan pada kondisi pH asam akan terhidrolisis. Tyndalisai merupakan proses memanaskan medium atau larutan menggunakan uap selama 1 jam setiap hari selama 3 hari berturut- turut b. Sterilisasi secara Kimia Sterilisasi secara kimia dapat memakai antiseptik kimia. Pemilihan antiseptik terutama tergantung pada kebutuhan daripada tujuan tertentu serta efek yang dikehendaki. Perlu juga diperhatikan bahwa beberapa senyawa bersifat iritatif, dam kepekaan kulit sangat bervariasi. Zat-zat kimia yang dapat di pakai untuk sterilisasi antara lain halogen (senyawa klorin, yodium), alkohol, fenol, hydrogen peroksida, zat warna ungu Kristal, derivate akridin, rosalin, deterjen, logam-logam berat, aldehida, ETO, uap formaldehid ataupun betapropilakton (Volk, 1993).



23



c. Sterilisasi secara Mekanik Sterilisasi secara mekanik dapat dilakukan dengan penyaringan. Penyaringan dengan mengalirkan gas atau cairan melalui suatu bahan penyaring. 2.4.4 Proses Sterilisasi a. Sterilisasi Dalam Kemasan Sterilisasi produk pangan dalam kemasan, seperti kaleng, gelas, atau retort pouch, dilakukan dengan tahapan pengisian, pengeluaran udara (exhausting), penutupan, sterilisasi, dan pendinginan. Tahap pengisian dilakukan setelah produk pangan di Blanching untuk sayuran dan buah-buahan atau di beri perlakuan pra pemasakan untuk produk hewani. Pada proses pengisian, medium penghantar panas sekaligus dimasukan kedalam wadah kemasan. Medium tersebut selain sebagai penghantar panas juga berperan sebagai bumbu atau pemberi rasa, seperti larutan garam, laerutan gula, dan saus. Proses pengeluaran udara atau exhausting kemudian dilakukan sebelum penutupan atau sealing. Tujuannya adalah mengeluarkan udara dalam kemasan untuk mencega pemuaian yang berlebihan ketika kemasan dan produk pangan dipanaskan. Penghilangan oksigen juga bertujuan mencegah korosi dan perubahan oksidatif produk pangan. Uap air digunakan untuk mengeluarkan udara. Ketika didinginkan, uap air tersebut mengembun pada permukaan produk sehingga kondisi vakum tercipta. Pengeluaran udara dapat dilakukan melalui cara berikut ini : 1. Pengisian panas dalam (hot filling) produk pangan kedalam kemasan. Teknik ini biasa digunakan sebagai perlakuan pemanasan awal yang dapat menurunkan waktu proses. 2. Pengisian produk pangan dalam kondisi dingin (cool filling) kemudian dilakukan pemanasan kemasan dan isinya pada suhu 8095 dengan tutup kemasan sebagian terbuka.



24



3. Penghilaangan udara secara mekanis menggunakan pompa vakum. 4. Penghilangan udara menggunakan uap air, yaitu aliran uap air dilewatkan pada kemasan sebelum penutupan. Metode ini paling sesuai untuk produk pangan yang berwujud cair karena biasanya terdapat sejumlah udara yang terperangkap dan permukaan datar sehingga tidak mengganggu aliran uap air. Daya simpan produk pangan hasil sterilisasi bergantung pada kemampuan kemasan untuk melindungi produk pangan secara sempurna dari pengaruh lingkungan tempat penyimpanan. Jenis kemasan yang digunakan untuk produk sterilisasi dapat berupa logam atau kaleng, botol atau gelas selai, kemasan retort pouch fleksibel atau nampan ( tray ) yang bersifat kaku. Penutupan kemasan kaleng di lakukan secara khususs dengan tehnik penutupan ganda atau dikenal dengan doble seamer. Tujuanya adalah untuk menjamin bahwa tutup tidak mengalami kebocoran yang dapat berakibat kehilangan kondisi vakum dan aseptis.pada proses sterilisasi, panas dipindahkan dari uap air atau air bertekanan tinggi menuju kemasan yang mengandung produk pangan. Pada umumnya koefisien pindah panas permukaan kemasan sangat tinggi dan tidak menjadi factor pembatas pada proses pindah panas. Factor-faktor penting yang mempengaruhi laju penetrasi panas kedalam produk pangan adalah jenis produk, ukuran kemasan, suhu retort atau sterilizer, bentuk kemasan, dan jenis kemasan. Cairan yang disterilisasi umumnya adalah media fermentasi yang mengandung gula, garam fosfat, ammonium, trace metals, vitamin, dan lain-lain. Secara umum ada dua cara sterilisasi cairan yaitu dengan panas dan disaring (filtrasi). Sterilasi dengan panas dilakukan di dalam autoclave, di mana steam tekanan tinggi diinjeksikan ke dalam chamber untuk mencapai temperatur 121 oC dan tekanan tinggi (sekitar 15 psig). Durasinya bervariasi, namun umumnya diinginkan cairan dipertahankan pada 121 oC selama



25



minimal 15 menit. Jika termasuk waktu untuk heating dan cooling steps, total waktu berkisar 1-2 jam tergantung volume cairan yang disterilisasi. Terkadang temperatur bisa diset pada 134 oC (untuk medis). Unsur kritis kedua dalam menjamin proses pengolahan aseptis yang berhasil adalah proses sterilisasi kemasan. Berbagai teknik telah dikembangkan untuk bisa melakukan proses sterilisasi kemasan secara kering. Salah satu yang populer dan terbukti efektif adalah sterilisasi menggunakan H2O2. b. Sterilisasi Produk Salah satu keuntungan dari proses pengolahan aseptis adalah bisa dilakukannya sterilisasi secara terpisah; antara sterilisasi produk dan sterilisasi kemasan. Hal ini memungkinkan dilakukannya sterilisasi secara sinambung (continuous) dengan menggunakan alat penukar panas atau bahkan dengan pemanasan langsung, sehingga pemanasan bisa dilakukan pada suhu yang sangat tinggi dan waktu yang sangat singkat. Pemanasan demikian sering disebut sebagai pemanasan ultrahigh temperature atau beberapa literatur juga menyebutkan sebagai ultra-heat treatment yang dua-duanya sering disingkat sebagai UHT. Umumnya, UHT adalah proses pemanasan pada suhu tinggi (> 135oC – 150oC) tetapi pada waktu hanya sekitar 2-15 detik. Pemanasan demikian, mampu membunuh spora bakteri tahan panas sehingga tercapai kondisi sterilitas produk yang diinginkan dan sekaligus mampu meminimalkan tingkat kerusakan mutu (tekstur, warna, citarasa dan flavor) dan zat gizi. Produk pangan yang populer diproduksi dengan teknik UHT antara lain adalah susu, sari buah, teh, sup, dan produk pangan cair lainnya. Secara umum, proses sterilisasi secara sinambung dapat disajikan secara skematis dimana pemanasan dan pendinginan dilakukan dengan menggunakan alat penukar panas (heat exchanger; HE). Beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dengan sistem pemanasan



26



terpisah ini, antara lain adalah (i) proses dapat berjalan dengan sinambung, (ii) proses pemanasan dan pendinginan yang cepat, karena bahan pengemas tidak menjadi penghalang, (ii) beberapa skema konservasi energi dapat diaplikasikan pada sistem ini, dan sekaligus (iv) meningkatkan jumlah pilihan bahan dan sistem pengemasan. c. Sterilisasi zona Aseptik Kondisi zona aseptis, yaitu area atau ruangan steril dimana proses pengisian produk steril ke dalam kemasan steril akan dilakukan. Zona jelas akan mempengaruhi keberhasilan proses sterilisasi secara keseluruhan. Pada dasarnya keseluruhan area atau zona aseptis perlu disterilkan, dengan menggunakan sterilan yang aman dan efektif. Sterilan yang sering digunakan adalah uap panas dan/atau H2O2 yang disemprotkan secara homogen ke seluruh permukaan di zona aseptis. Sering sterilan H2O2 juga dibantu dengan uap panas, untuk memastikan tingkat sterilitas yang diinginkan. Hal penting lain dalam kaitannya dengan zona aseptis ini adalah bahwa kondisi steril ini harus dipastikan terpelihara dengan baik selama proses berlangsung. d. Strerilisasi Suhu Ultra Tinggi (UHT, Ultrahigh Temperature) Masalah



utama



pada



sterilisasi



pada



produk



pangan



yang berwujud padat atau kental adalah laju penetrasi panas yang rendah sehingga waktu proses lama. Hak ini berakibat pada kerusakan komponen nutrisi pada bagian pangan yang terletak dekat permukaan kemasan. Metode untuk meniungkatkan laju pindah panas adalah penggunaan kemasan yang tipis dan agitasi seperti yang telah di jelaskan. Peningkatan suhu retort juga menyebabkan waktu proses yang lebih pendek sehingga kerusakan nutrisi dan perubahan sensori dapat di kurangi. Suhu yang lebih tinngi dengan waktu proses yang lebih pendek dapat di lakukan jika produk pangan di sterilisasi sebelum di kemasa dalam kemasan yang telah disterilisasi. Metode ini merupakan dasar proses UHT yang juga di sebut pengolahan aseptis (aseptic



27



processing). Metode ini telah di terapkan untuk produk pangan berwujud cair, seperti susu, jus, kosentrad buah, dan krim; serta produk pangan yang mengandung parkulat diskret seperti makanan bayi, sous tomat, sayuran dan buah-buahan, serta sup. Kualitas produk UHT serta dengan produk yang diawetkan dengan iradiasi dan pendinginan. Akan tetapi, produk UHT mempunyai umur simpan yang lebih pendek jika disimpan tanpa pendinginan yaitu kurang dari 6 bulan. Keuntungan metode UHT yang lain di bandingkan pengalengan adalah ukuran kemasan bebas, harga kemasan lebih murah, produktifitas tinggi karena dapat di proses secara otomatis, dan energy lebih efisien. Metode UHT bersifat ekonomis untuk pengolahan karena berbeda dedngan proses pasteurisasi. Keterbatasan utama metode UHT adalah biaya operasional yang tinggi dan pengolahan lebih kompelks. Metode UHT harus di lengkapi dengan peralatan sterilisasi kemasan, termasuk tengki dan pipa yang di jamin steril, kondisi lingkungna pengolahan damn permukaan mesin pengisi yang steril, dan keterampilan pekeja yang tinggi. Selain efektif membunuh mikroba, sterilisasi UHT dengan pengolahan aseptik juga menjamin nilai gizi produk pangan. Dan setelah dibandingkan, tingkat kerusakan setelah proses sterilisasi UHT lebih kecil dibandingkan sterilisasi biasa (pemanasan dalam botol). 2.4.5 Pengaruh Sterilisasi Terhadap Karakteristik Produk Pangan Tujuan sterilisasi stermal adalah memperpanjang umur simpan produk pangan dengan tetap meminimumkan perubahan nutrisi dan sensori produk. Perrbedaan nilai mikroorganisme, enzim serta kompoinen nutrisi dan sensori produk pangan diperhatikan untuk mendapatkan kondisi proses sterilisasi dinasi suhu optimum.



28



1. Perubahan Warna Kombinasi suhu dan waktu yang digunakan dalam pengalengan mempengaruhi pigmen dalam produk pangan. Sebagai contoh pigmen oksimioglobin yang berwarna coklat, dan mioglobin yang berwarna keunguan di ubah menjadi miohemigromogen yang berwarna merahcokelat. Reaksi pencoklatan maillard dan karamelisasi berperan terhadap warna produk yang disterilisasi. Perubahan tersebut pada daging dikehendaki. Garam nitrit atau nitrat di tambahkan pada produk olahan daging untuk mengurangi resiko pertumbuhan C. botulinum, juga untuk mendapatkan warna daging yang cerah dari nitrit oksidamioglobin dan metmioglobin nitrit. Pada sayuran dan buah-buahan, klorofil diubah menjadi faeofitin, karatenoid berisisomerisasi dari 5,6 etoksida menjadi 5,8 etoksida yang mempunyai intensitas warna lebih rendah serta antosianin didegradasi menjadi berwarna cokelat. Selama penyimpanan perubahan warna produk pangan yang dikalengkan terjadi. Sebagai contoh, jika besi atau tima dari kemasan kaleng beraksi dengan antosianin berbentuk pigmen berwarna ungu. Jika leukoantisianin yang tidak berwarna bereaksi dengan logam tersebut berbentuk kompleks antosianim yang berwarna merah muda. Pada produk susu, perubahan warna yang terjadi diakibatkan oleh sedikit karamelisasi dan reaksi Maillard. 2. Perubahan Bau dan Cita Rasa Daging kaleng mengalami perubahan yang kompleks seperti pirolisissilkan, diaminasi, dan dekarboksilasi asam amino, degradasi, reaksi maillard dan karamelisasi karbohidrat berbentuk furfural dan hidroksimetilfurfural, serta oksidasi dan dekarboksilasi lipid. Interaksi antar komponen tersebut menghasilkan lebih dari 600 senyawa cita rasa dan bauh. Pada sayuran dan buah-buahan, perubahan terjadi akibat reaksi kompleks yang mencakup dekradasi, rekominasi dan folatilisasi



29



aldehid, keton, gula,lakton, asam amino, dan asam-asam organic. Pada susu, pembentukan cita rasa matang (cooked flavor) disebabkan oleh denaturasi protein ketika membentuk hydrogen sulfida dan pembentukan lakton dan metilketon akibat oksidasi lipid. Pada proses UHT, perubahan tersebut lebih sedikit terjadi dan cita rasa serta bauh alami produk dan bahan pangan dapat dipertahankan. 3. Perubahan Tekstur Dan Viskositas Pada daging kaleng, perubahan tekstur disebabkan koagulasi dan penurunan daya ikat air dari protein. Akibatnya, terjadi pengerutan dan daging menjadi kaku. Pelunakan terjadi akibat hidrolisikolagen, pelarutan gelatin yang berbentuk dari hasil hidrolisis kolagen, dan pelelehan fraksi lemak yang terdispersi dalam jaringan daging. Poli fosfat biasa ditambahkan pada daging untuk meningkatkan daya ikat air. Polifosfatase dapat mengurangi pengerutan dan meningkatkan keempukan daging. Pada buah dan sayur-sayuran, pelunakan disebabkan oleh hidrolisis senyawa-senyawa pectin, gelatinisasi pati, pelarutan persial hemiselulosa, yang dikombonasikan dengan penurunan turgor (tekanan sel). Garam kalsium dapat ditambahkan pada proses Blanching seperti telah dijelaskan untuk meningkatkan kekerasan buah dan sayuran kaleng garam kalsium yang digunakan dapat beragam bergantung pada jenis bahan. Misalanya, kalsium hidroksida digunakan untuk ceri, kalsium klorida untuk tomat, dan kalsium laktat untuk apel. Penggunaan jenis garam kalsium yang berbeda disebabkan oleh perbedaan proporsi peptin yang didemitilasi. Pada proses pengkalengan daging, waktu relative lama di butuhkan untuk hidrolisis kolagen dan suhu relative rendah dibutuhkan untuk mencega daging menjadi kaku. 4. Perubahan Nilai Gizi Faktor penting yang harus di perhatikan pada proses pengolahan adalah perubahan nilai gizi. Pengalengan menyebabkan hidrolisis karbohidrat dan lipid, tetapi kedua kompnen tersebut tetap



30



mempunyai ketersediaan hayati yang baik dan nilai gizinya tidak berubah. Protein terkoagulasi dan biasannya penurunan asam amino terjadi sebesar 10-20%. Keturunan kadar lisin setara dengan suhu yang digunakan. Penurunan kadar triptofan kadar lisin setara dengan suhu yang digunakan. Penurunan triptofan dan metionin menurunkan nilai biologi protein sebesar 6-9% Penurunan kadar vitamin terjadi terutama pada tiamin (50 - 75%), dan asam pantotenat (20 - 35%). Pada buah-buahan dan sayuran kaleng penurunan vitamin terjadi pada hampir semua vitamin larut air terutama asam askorbat. Penurunan tersebut beragam bergantuk pada jenis produk pangan, kadar residu oksigen dalam kemasan, dan metode pesparasi sebelum pengalengan (missal pengupasan dan pengirisan atau bansing). Pada sejumlah produk , sejumlah vitamin larut dalam sirup atau medium lain ynag juga dikomsumsi, sehingga terjadi penurunan pada proses sterilisasi metode UHT, penurunan vitamin hanya sedikit terjadi. Sterilisasi pada daging tiruan yang dibuat dari kedelai dapat meningkatnkan nilai gizinya berkaitan dengan inerfiktasi komponen antitrypsin. Antitrypsin merupakan protein yang dapat berikatan dengan enzim tripsin dalam pencernaan sehingga menurunkan ketersediaan hayati protein. Dan setelah sterilisasi dilakukan secara baik, dipaparkan Purwiyatno lebih lanjut, ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mempertahankan kesegaran produk, yakni perlakuan pemanasan yang cukup, pengemasan dan pengkeliman (penyegelan) kemasan secara hermetis (kedap), dan penanganan kemasan dengan baik dengan memastikan integritas sambungan dan penutupan tetap terjaga sebelum, selama, dan setelah pemanasan. Adapun tujuan dari sterilisasi secara umum adalah sebagai berikut : a. Mencegah terjadinya infeksi b. Mencegah makanan menjadi rusak



31



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Blanching merupakan suatu cara pemanasan pendahuluan atau perlakuan pemanasan tipe pasteurisasi yang dilakukan pada suhu kurang dari 100oC selama beberapa menit, dengan menggunakan air panas atau uap. Proses Blanching termasuk ke dalam porses termal dan umumnya membutuhkan suhu berkisar 75 - 95°C selama 10 menit. Pasteurisasi merupakan proses pemanasan makanan dengan tujuan membunuh organisme merugikan seperti bakteri, virus, protozoa, kapang, dan khamir. Proses ini diberi nama atas penemunya, Louis Pasteur, seorang ilmuwan Perancis. Teknik ini digunakan untuk mengawetkan bahan pangan yang tidak tahan suhu tinggi, misalnya susu. Pasteurisasi tidak mematikan semua mikroorganisme, tetapi hanya yang bersifat patogen dan tidak membentuk spora. Sterilisasi adalah proses membebaskan bahan pangan dari semua mikroorganisme termasuk bakteri, spora bakteri,kapang dan virus, menggunakan kombinasi suhu tinggi dan waktu tertentu. Untuk membunuh semua mikroorganisme termasuk sporanya didalam bahan pangan, yang dapat tumbuh, pada kondisi normal. 3.2 Saran Saran yang dapat penulis berikan adalah agar mahasiswa dapat memahami tentang blanching, pasteurisasi, sterilisasi. Pada makalah berikutnya menjadi lebih baik lagi.



32



DAFTAR PUSTAKA Istini (2020) ‘Pemanfaatan Plastik Polipropilen Standing Pouch Sebagai Salah Satu Kemasan Sterilisasi Peralatan Laboratorium’, Indonesian Journal of Laboratory, 2(3), pp. 41–46. Kim, T.J., Silvia, J.L., Kim, M.K. dan Jung, Y.S. (2010). En- hanced antioxidant capacity and antimicrobial activity of tannic and by thermal processing. Food Chemistry 118: 740-746. Kwan, Y.I., Apostolidis, E. dan Shetty, K. (2007). Traditional diet of Americans for management of diabetes and hy- pertension. Journal of Medicinal Food 10: 266-275. Olivera, D.F., Vina, S.Z., Marani, C.M., Ferreyra, R.M., Mu- gride, A., Chaves, A.R. dan Mascheroni, R.H. (2008). Effect of blanching on the quality of brussels sprouts (Brassica Olereceae L. gemmifera DC) after frozen storage. Journal of Food Engineering 84:148-155. Pujimulyani, D. et al. (2010) ‘Terhadap aktivitas antioksidan, kadar fenol, flavonoid, dan tanin terkondensasi kunir putih (’, Agritech, 30(3), pp. 141–147. Purnomo, H. dan Adiono. 1987. Ilmu Pangan. Cetakan Pertama. UI Press, Jakarta. Purwoko, D. O. (2014) ‘Pengaruh ketebalan dan konsentrasi larutan gula selama proses dehidrasi osmosis terhadap karakteristik fisikokimia dan sensoris manisan kering jambu biji ’. Randhir, R., Young-In, K. dan Kalidas, S. (2008). Effect of thermal processing on phenolics, antioxidant activity and health-relevant functionality of select grain sprouts and seedlings. Innovative Food Science and Emerging Technology 9: 355-364. Singh, J., A. Khanna, and H. Chander. 1980. Effect of incubation temperature and heat treatment of milk from cow and buffalo on acid and flavor production by S. thermophillus and L. bulgaricus. J. Food Protection 43 (12):399-400. Sulistiyo, R. H. et al. (2018) ‘Pengaruh Teknik Sterilisasi dan Komposisi Medium terhadap Pertumbuhan Tunas Eksplan Sirsak Ratu’, Jurnal Pendidikan Biologi, 11(1), pp. 1–5.



Vina S. Z., Olivera, D. F., Marani, C. M., Ferreyra, R. M., Mugridge, A., Chaves, A. R. dan Maschereni, R. H. (2007). Quality of brussels sprouts (Brassica oleracea L. gemmifera DC) as affected by blanching method. Journal of Food Engineering 80: 218-225. Volden, J., Borge, G.I. A., Bengtsson, G. B., Hansen, M., Thygesen, I.E. dan Wicklund, T. (2008). Effect of ther- mal treatment on glucosinolates and antioxidant-related parameters in red cabbage (Brassica oleracea L. ssp. capitata f. rubra). Food Chemistry 109: 595-605. Wahyuningsih, D. (2008). Pengaruh Cara dan Waktu Blanch- ing terhadap Kadar Antiosianin dan Vitamun C Bunga Turi Merah (Sesbania grandiflora L. (Pers).). Skripsi, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana, Yogyakarta. Xu, B.J. dan Chang, S.K.C. (2007). A comparative study on phenolic profiles and antioxidant activities of legumes affected by extraction solvent. Journal of Food Science 72: 59-66.