Makalah Qanun [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH MSDM MANAJEMEN REFORMASI ACEH



NAMA



: ARINI IGA PRATIWI



NIM



: 180210161



KELAS



: III D



PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MALIKUSSALEH LHOKSEUMAWE 2019



KATA PENGANTAR



Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan Makalah Manajemen Reformasi NAD. Dalam meyelesaikan Makalah ini penyusun telah berusaha untuk mencapai hasil yang maksimum, tetapi dengan keterbatasan wawasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan sempurnanya makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi para pembaca.



Lhokseumawe, 19 Desember 2019



PENDAHULUAN Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Indonesia telah mengalami beberapa konflik internal, beberapa konflik horisontal dan ada juga konflik vertikal salah satu konflik yang terjadi di Indonesia adalah konflik Aceh. Konflik di Aceh merupakan konflik vertikal yang cukup panjang yang terjadi selama bertahun-tahun karena adanya kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sejak dari tahun 1945 sampai dengan terjadinya perdamaian pada tahun 2005, konflik Aceh telah banyak menelan korban akibat pertempuran antara militer dan tentara GAM. Gerakan Aceh Merdeka yang menuntut pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak mendapat tanggapan dari pemerintah. Konflik antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh merupakan ketidakadilan: tidak sesuai antara kenyataan dengan pengharapan di berbagai bidang khususnya bidang pembangunan. Ini berdampak pada kemiskinan, kebodohan, dan tingkat keselamatan masyarakat yang rendah. Konflik ini muncul sejak diproklamirkan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976 di Pidie oleh GAM yang dipelopori oleh Muhammad Hasan Tiro.



Permasalahan yang dihadapi antara GAM dengan pemerintahan pusat sangat kompleks terutama dalam bidang ekonomi dan politik. Hal ini dikarenakan kelanjutan dari DI/TII di Aceh yang belum usai, yang kemudian memunculkan permasalaha baru yaitu GAM. Salah satu yang belum selesai antara lain GAM yang ingin merdeka atau melepaskan wilayah Aceh dari Indonesia, Sentimen etnis dalam



konflik (dikotomi Aceh dan Jawa). Selain itu, pemerintahan pusat juga mengiginkan Aceh tetap dalam wilayah Indonesia. Munculnya GAM secara diamdiam dikarenakan ketidaksiapan pihak GAM untuk langsung berhadapan dengan pihak penguasa, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. GAM terungkap karena ada beberapa perusahaan besar yang beroperasi di Aceh dikirimi surat berisikan kewajiban mereka membayar pajak kepada GAM, akan tetapi perusahaan-perusahaan tersebut tidak memberikan dana seperti yang diinginkan GAM. Dengan demikian, keberadaan dan aktifitas gerakan ini mulai diketahui oleh pemerintah pusat bahwa ada gerakan bawah tanah yang memproklamasikan kemerdekaan di Aceh.



PEMBAHASAN



Provinsi Aceh merupakan provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat yang mengacu pada ketentuan hukum pidana Islam, yang disebut juga hukum jinayat. Undang-undang yang menerapkannya disebut Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Meskipun sebagian besar hukum Indonesia yang sekuler tetap diterapkan di Aceh, pemerintah provinsi dapat menerapkan beberapa peraturan tambahan yang bersumber dari hukum pidana Islam. Pemerintah Indonesia secara resmi mengizinkan setiap provinsi untuk menerapkan peraturan daerah, tetapi Aceh mendapatkan otonomi khusus dengan tambahan izin untuk menerapkan hukum yang berdasarkan syariat Islam sebagai hukum formal. Beberapa pelanggaran yang diatur menurut hukum pidana Islam meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi minuman beralkohol, perjudian, perzinahan, bermesraan di luar hubungan nikah, dan seks sesama jenis. Setiap pelaku pelanggaran yang ditindak berdasarkan hukum ini diganjar hukuman cambuk, denda, atau kurungan. Hukum rajam tidak diberlakukan di Aceh, dan upaya untuk memperkenalkan hukuman tersebut pada tahun 2009 gagal karena tidak mendapat persetujuan dari gubernur Irwandi Yusuf. Pendukung hukum jinayat membela keabsahannya berdasarkan status otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh, dan mereka menegaskan bahwa wewenang tersebut dilindungi undang-undang sebagai hak kebebasan beragama untuk masyarakat Aceh. Para penentangnya, termasuk Amnesty International, menolak hukuman cambuk dan pemidanaan hubungan seks di luar nikah, sementara pegiat-pegiat hak perempuan merasa bahwa hukum ini tidak melindungi perempuan, khususnya korban pemerkosaan yang dianggap lebih berat beban pembuktiannya dibandingkan dengan tersangka yang bisa lepas dari tuduhan dengan lima kali sumpah. Setelah mundurnya Presiden Soeharto, Indonesia memberikan lebih banyak wewenang kepada pemerintah daerah. Desentralisasi diatur oleh undang-undang yang dikeluarkan pada tahun 1999 dan 2004. Kedua undang-undang ini



mengizinkan pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah (perda) asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Perda Aceh dikenal dengan sebutan qanun. Selain itu, Aceh diberikan otonomi khusus setelah berakhirnya pemberontakan di provinsi tersebut pada tahun 2005. Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh memberikan berbagai wewenang kepada provinsi ini, termasuk wewenang untuk memberlakukan hukum syariat. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh bahkan menjadikan penerapan hukum Islam sebagai kewajiban pemerintah Aceh. Qanun No. 6 tahun 2014 (juga disebut "Qanun Jinayat") adalah perda terbaru yang mengatur hukum pidana Islam di Aceh. Perda ini melarang konsumsi dan produksi minuman keras (khamar), judi (maisir), sendirian bersama lawan jenis yang



bukan



mahram



(khalwat),



bermesraan



di



luar



hubungan



nikah



(ikhtilath), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, menuduh seseorang melakukan zina tanpa bisa menghadirkan empat saksi (qadzaf), sodomi antar lelaki (liwath), dan hubungan seks sesama wanita (musahaqah). Hukuman bagi mereka yang melanggar bisa berupa hukuman cambuk, denda, dan penjara. Beratnya hukuman tergantung pada pelanggarannya. Hukuman untuk khalwat adalah yang paling ringan, yaitu hukuman cambuk sebanyak maksimal 10 kali, penjara 10 bulan, atau denda 100 gram emas. Hukuman paling berat adalah untuk pemerkosa anak; hukumannya 150-200 kali cambuk, 150-200 bulan penjara, atau denda sebesar 1.500-2.000 gram emas). Yang menentukan hukuman mana yang akan dijatuhkan adalah hakim. Menurut Amnesty International, pada tahun 2015 hukuman cambuk dilaksanakan sebanyak 108 kali, dan dari Januari hingga Oktober 2016 sebanyak 100 kali. Hukum ini berlaku untuk semua orang Muslim ataupun badan hukum di Aceh. Hukum ini juga berlaku untuk kaum non-Muslim jika kejahatannya tidak diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, atau jika dilakukan bersama dengan seorang Muslim dan pihak non-Muslim secara sukarela memilih hukum Islam. Pada April 2016, seorang wanita Kristen dicambuk 28 kali



karena telah menjual minuman keras; ia adalah orang non-Muslim pertama yang dijatuhi hukuman cambuk berdasarkan qanun ini. Pasal 2 Penyelenggaraan Hukum Jinayat berasaskan: a. Keislaman; b. Legalitas; c. Keadilan dan keseimbangan; d. Kemaslahatan; e. Perlindungan hak asasi manusia; dan f. Pembelajaran kepada masyarakat (tadabbur). Lembaga-lembaga yang terkait dengan penerapan hukum jinayat di Aceh adalah Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Wilayatul Hisbah (atau "polisi syariat"), dan Mahkamah Syar'iyah. MPU terlibat dalam proses perumusan perda bersama dengan pemerintah. Namun, pada praktiknya perda dirumuskan ole DPRA dan kantor gubernur. Wilayatul Hisbah memiliki wewenang untuk menegur mereka yang tertangkap telah melanggar hukum Islam. Mereka tidak punya wewenang untuk menangkap atau mendakwa tersangka, sehingga mereka harus bekerja sama dengan polisi dan jaksa untuk menegakkan hukum. Mahkamah Syar'iyah mempertimbangkan perkara perdata dan pidana berdasarkan hukum Islam. Namun, kebanyakan perkara yang masuk ke pengadilan ini adalah perkara perdata. Pada tahun 2016, pengadilan ini menerima 10.888 perkara perdata di tingkat pertama dan 131 perkara banding, ditambah dengan 324 perkara pidana dan 15 perkara banding. Mahkamah Syar'iyah adalah bagian dari sistem hukum Indonesia. Putusan mereka dapat digugat hingga ke Mahkamah Agung, dan hakim-hakim Mahkamah Syar'iyah (termasuk ketua hakimnya) diangkat oleh Mahkamah Agung.



DAFTAR PUSTAKA Cammack, Mark E.; Feener, R. Michael (2012). "The Islamic Legal System in Indonesia" (PDF). Pacific Rim Law & Policy Journal. 21 (1): 13–42. Hamdani (2013). "Kontroversi Pemberlakuan Qanun Jinayah di Aceh". Jurnal Nanggroë. Lhokseumawe, Aceh. 2 (3): 80–95. Ichwan, Moch Nur (2011). "Official Ulema and the Politics of Re-Islamization: The Majelis Permusyawaratan Ulama, Shariatization and Contested Authority in Post-New Order Aceh". Journal of Islamic Studies. 22 (2): 183– 214. doi:10.1093/jis/etr026. Mahkamah Syar'iyah Aceh (2017-01-11). Laporan Tahunan Mahkamah Syar'iyah Aceh Tahun 2016. Banda Aceh: Mahkamah Syar'iyah Aceh. Uddin, Asma (2010). "Religious Freedom Implications of Sharia Implementation in Aceh, Indonesia". University of St. Thomas Law Journal. 7 (3): 603–648.