Manajemen Pajak Atas Struktur Inbound and Autbound Investment [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MANAJEMEN PERPAJAKAN Manajemen Pajak atas Struktur Inbound and Outbound investment



Oleh : KELOMPOK 2



Quita Amelia Budiana



(2007611005)



Wira Yulia Br Lubis



(2007611006)



Ayu Putu Monika Maharani Dewi



(2007611016)



PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2020



ASPEK PERPAJAKAN UNTUK CABANG Definisi Wajib Pajak Berstatus Cabang 















Dasar Hukum Ketentuan yang mengatur hal ini adalah pasal 2 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP). Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Tempat kedudukan ditafsirkan sebagai semua tempat usaha wajib pajak yang dapat berbentuk kantor cabang, kantor perwakilan, kantor menejeman, pabrik, gerai, kios dan lain sebagainya. Dari paparan ayat ini dapat disimpulkan bahwa “cabang” yang didirikan di wilayah kerja kantor Ditjen pajak atau Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang berbeda dengan “pusat” maka wajib bagi “cabang” untuk mendaftarkan sebagai wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan wilayah tempat “cabang” didirikan. Apabila cabang tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP Cabang Dalam Pasal 2 ayat (4) UU KUP ditegaskan bahwa terhadap wajib pajak atau pengusaha kena pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Ditjen Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat subjektif dan objektif untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. NPWP Pusat dan NPWP Cabang Ketika orang pribadi atau badan baru mulai menjalankan usaha, mereka mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP ke KPP dimana tempat tinggal/kedudukan wajib pajak/tempat usaha tersebut berada. NPWP ini sering disebut sebagai NPWP pusat. Ciri utama NPWP pusat adalah 3 digit terakhirnya 000. Bila kemudian hari usaha tersebut berekspansi dengan membuka cabang baru, maka cabang tersebut harus ber-NPWP juga. NPWP inilah yang disebut NPWP Cabang. NPWP Cabang terdiri dari 9 digit awal NPWP sama dengan NPWP Pusat, 3 digit kode KPP tempat cabang tersebut berada, dan 3 digit terakhir merupakan kode cabang. Bagi perusahaan yang sudah memiliki cabang atau anak perusahaan, kegiatan yang dilakukan oleh cabang umumnya akan berdiri sendiri meskipun masih terkait dengan operasional kantor pusat. Semisal, cabang akan mempunyai customer sendiri sehingga bisa menjalankan transaksi jual beli, cabang akan mempunyai karyawan sendiri, ataupun transaksi-transaksi cabang lainnya yang didalamnya terdapat aspek perpajakan. Berikut ringkasan terkait kewajiban perpajakan bagi perusahaan/ WP Badan berstatus cabang : a. PPh pasal 21. Dalam hal ini, Cabang wajib memotong, membayarkan, dan melaporkan PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan yang telah melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)



b. PPh pasal 22. Dalam hal Cabang ditunjuk sebagai Pemungut PPh Pasal 22, maka wajib memungut, membayarkan, dan melaporkan PPh Pasal 22. c. PPh pasal 23. Dalam hal ini Cabang wajib memotong, membayarkan, dan melaporkan PPh Pasal 23 apabila terdapat transaksi yang terutang PPh Pasal 23 di lokasi usaha perusahaan cabang. d. Dalam kasus perusahaan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) serta tidak melakukan sentralisasi PPN, maka Cabang wajib memungut, membayarkan, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atas transaksi penyerahan barang yang terjadi di wilayah kerja perusahaan cabang. e. PPh pasal 4 (2). Dalam hal terdapat transaksi di cabang yang terkait dengan pajak PPh pasal 4 ayat 2, maka cabang wajib memotong, membayarkan, dan melaporkan PPh Pasal 4 ayat (2). Pada dasarnya, terkait kewajiban SPT Tahunan PPh Badan, WP Badan berstatus cabang hanya berkewajiban memberikan data laporan keuangan kepada WP Badan berstatus pusat untuk dapat dilakukan konsolidasi laporan keuangan perusahaan serta diperoleh peredaran usaha secara keseluruhan. Kemudian kewajiban untuk menghitung, membayarkan, dan melaporkan SPT Tahunan PPh Badan dilakukan oleh WP Badan pusat dengan NPWP pusat. ASPEK PERPAJAKAN UNTUK ANAK PERUSAHAAN Pajak Anak Perusahaan Selama Spin-off Selama spin-off perusahaan, anak perusahaan juga dapat menghindari pajak anak perusahaan selama bertransaksi. Karena pemegang saham anak perusahaan menerima saham secara rata dari perusahaan induk sebagai pengganti uang tunai untuk penjualan perusahaan, maka pajak penghasilan biasa dan pajak capital gain tidak berlaku. Sebagai gantinya, pemilik perusahaan induk menjadi pemilik anak perusahaan melalui pengalihan saham sebagai alternatif yang lebih hemat biaya dibandingkan menerima kompensasi untuk perusahaan baru melalui dividen saham. IRC Section 355 mensyaratkan bahwa perusahaan induk dan anak perusahaan harus memenuhi persyaratan untuk mempertahankan manfaat bebas pajak dari spin-off. Sebuah spin-off merupakan peristiwa yang tidak kena pajak ketika perusahaan induk mempertahankan kendali sekurang-kurangnya 80% saham pemungutan suara entitas yang baru dibentuk dan kelas saham tanpa saham. Sebuah spin-off perusahaan tidak boleh digunakan semata-mata sebagai mekanisme untuk mendistribusikan laba atau laba induk perusahaan/anak perusahaan, dan perusahaan induk mungkin tidak mengendalikan anak perusahaan dengan cara yang sama dalam 5 tahun operasi terakhir. Jika perusahaan induk atau anak perusahaan tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam IRC Section 355, tindakan spin-off dianggap dikenakan pajak yaitu pajak perusahaan induk dan pajak anak perusahaan dengan tarif pajak perusahaan yang berlaku. Struktur anak perusahaan meski mengharuskan melakukan tax reporting sebanyak anak perusahaan sehingga cenderung memerlukan biaya tax compliance yang cukup tinggi (costly) tetapi memiliki beberapa keutamaan, seperti :



a. Melokalisir problematika perpajakan hanya pada satu perusahaan anak saja sehingga dampaknya tidak meluas kepada induk; b. Memungkinkan penerapan insentif pengurangan (discount) tarif PPh Badan sesuai ketentuan Pasal 31E UU PPh sepanjang memenuhi persyaratan; c. Memungkinkan diberlakukannya insentif pajak berbentuk inter-corporate dividend tax free sepanjang memenuhi persyaratan untuk induk dari anak perusahaanya yang didirikan di Indonesia. ALTERNATIF STRUKTUR MODAL Dalam memenuhi kebutuhan dana, setiap perusahaan bisa menggunakan sumber modal sendiri yang berasal dari modal saham, laba ditahan, dan cadangan. Jika dalam pendanaan perusahaan yang berasal dari modal sendiri masih mengalami kekurangan atau mengalami defisit, maka perlu dipertimbangkan pendanaan perusahaan yang berasal dari luar seperti utang atau debt-financing. Namun dalam pemenuhan kebutuhan dana, perusahaan harus mencari alternatif pendanaan yang efisien. Pasalnya, pendanaan yang efisien akan terjadi bila perusahaan mempunyai struktur modal yang optimal. Dalam sebuah teori, struktur modal diasumsikan bahwa perubahaan struktur modal berasal dari penerbitan obligasi dan pembelian kembali saham biasa atau penerbitan saham baru. Menurut Martono dan D. Agus Harjito struktur modal dibagi menjadi beberapa pendekatan sepertu pendekatan laba operasi bersih, pendekatan tradisional, pendekatan Modigliani dan Miller. A. Pendekatan Laba Operasi Bersih Pendekatan laba operasi bersih dikemukakan oleh David Durand pada tahun 1952. Pendekatan ini menggunakan asumsi bahwa investor memiliki reaksi yang berbeda terhadap penggunaan utang perusahaan. Pendekatan ini melihat bahwa biaya modal rata-rata berimbang dan bersifat konstan berapapun tingkat utang yang digunakan oleh perusahaan. Artinya apabila perusahaan menggunakan utang yang lebih besar, maka pemilik saham akan memperoleh laba yang semakin kecil. Oleh karena itu tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemilik modal sendiri akan meningkat sebagai risiko perusahaan. Akibatnya biaya modal rata-rata terimbang akan berubah. B. Pendekatan Tradisional Pada pendekatan tradisional diasumsikan terjadi perubahan struktur modal yang optimal dan peningkatan nilai total perusahaan melalui penggunaan financial leverage (utang dibagi modal sendiri). Dengan menggunakan pendekatan tradisional, bisa diperoleh struktur modal



yang optimal yaitu struktur modal yang memberikan biaya modal keseluruhan yang terendah dan memberikan harga saham yang tertinggi. Hal ini disebabkan karena berubahnya tingkat kapitalisasi perusahaan. C. Pendekatan Modligiani dan Miller (MM) Berdasarkan teori ini, struktur modal tidak berpengaruh terhadap perusahaan. Ada dua jenis struktur modal dalam teori ini, yaitu teori MM tanpa pajak dan teori MM dengan pajak. Teori MM tanpa pajak berpendapat bahwa struktur modal tidak relevan terhadap nilai perusahaan. Ada beberapa asumsi yang mendukung pernyataan tersebut, yaitu tidak ada agency cost, tidak ada pajak, investor dapat berutang dengan suku bunga yang sama dengan perusahaan, dan investor mendapatkan informasi seperti manajemen terkait masa depan perusahaan. Menurut teori ini pula, tidak ada biaya kebangkrutan dalam struktur modal, aset dapat dijual dengan market value jika terjadi kebangkrutan, Earning Before Interest and Taxes (EBIT) tidak dipengaruhi utang, dan investor adalah price-takers. Jenis kedua adalah teori MM dengan pajak. Karena teori tanpa pajak dianggap tidak masuk akal, Franco Modigliani dan Merton Howard Miller, pencipta teori MM, memasukkan faktur pajak. Pajak yang dibayar kepada pemerintah adalah aliran kas keluar. Nah, utang dapat menghemat pajak karena bunga dapat digunakan menjadi pengurang pajak. ISU LAIN ATAS STRUKTUR INBOUND AND OUTBOUND INVESTMENT Ketentuan Pajak Internasional suatu negara menurut Gunadi (2007) meliputi 2 dimensi: 1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar negeri (outward, outbound transactions). 2. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negeri (WPLN) atas penghasilan dari dalam negeri/domestik. (inward, inbound transactions) Kedua dimensi di atas selanjutnya dijelaskan Gunadi, bahwa Dimensi pertama merujuk pada pemajakan atas penghasilan luar negeri atau transaksi (ke) luar batas negara (outward, outbound transaction) karena umumnya melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi kedua merujuk pada pemajakan atas penghasilan domestik atau transaksi (ke) dalam batas negara (inward, inbound transaction) karena umumnya melibatkan importasi modal dari manca negara. Dalam aplikasinya, pemajakan penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara



domisili (residence country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber (source country). Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai, begitu juga dengan kebijakan perpajakan internasional sudah tentu mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang dimaksud yaitu memajukan perdagangan antar negara, dan mendorong laju investasi di masing-masing negara. Sementara pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara domisili dan sumber seperti yang diungkapkan Gunadi di atas menimbulkan pajak ganda internasional (international double taxation). Kondisi ini dipandang oleh para investor dan pengusaha pajak kurang memperlancar/menghambat mobilitas arus investasi, perdagangan, dan bisnis. Untuk mengatasi dan memberikan solusi atas masalah yang dihadapai oleh para investor dan pengusaha maka pemerintah melakukan upaya dan berusaha untuk meminimalkan atau meringankan pajak berganda yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Upaya dimaksud berhasil dituangkan dalam bentuk aturan yaitu selain diatur dalam ketentuan pajak domestik, keringanan pajak ganda juga pada umumnya diatur dalam P3B. Sementara itu, Gunadi menjelaskan bahwa ketentuan pajak internasional suatu negara pada umumnya disusun untuk mencapai sekurang-kurangnya 4 (empat) tujuan: 1. memperoleh bagian penerimaan dari transaksi lintas perbatasan secara adil, 2. meningkatkan keadilan (fairness) dalam perpajakan, 3. memperkuat daya saing ekonomi domestik, dan 4. netralitas ekspor modal (capital-export neutrality) dan netralitas impor modal (capital-import neutrality). Pengumpulan penerimaan negara merupakan tujuan utama semua sistem perpajakan di setiap negara, termasuk penerimaan pajak dari penghasilan transaksi lintas perbatasan. Agar terjadi pembagian penerimaan yang adil antar negara (inter-nation equity), suatu negara harus mengamankan basis pajak domestik dengan menyusun ketentuan pajak yang handal, dan menghindari penutupan P3B yang menggerus atau secara kurang proporsional menghilangkan atau membatasi hak pemajakan atas penghasilan sumber domestik. Keadilan dalam sistem perpajakan dapat dicapai dengan membebankan pajak dalam jumlah yang sama terhadap para wajib pajak dengan jumlah penghasilan yang sama, membuat



sedemikian rupa sehingga beban tersebut sepadan (commensurate) dengan kemampuan bayarnya. Demikian juga terhadap suatu grup perusahaan yang saling terkait, prinsip keadilan menghendaki pembebanan pajak sejumlah yang sama seandainya suatu perusahaan tunggal melakukan aktivitas sebanding. Selanjutnya, terhadap WPDN yang menjalankan usaha atau kegiatan di manca negara, keadilan perpajakan menghendaki agar penghasilan domestik dan luar negeri, baik diperoleh langsung maupun tidak langsung harus dikenakan pajak. Kontribusi pengembangan standar dan ketentuan pajak yang proporsional pengenaan pajak sesuai dengan standar dimaksud, dan kerjasama pengenaan dan penagihan pajak terhadap WPDN dengan negara asing dapat meningkatkan keadilan perpajakan internasional. Setiap negara bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Dalam persaingan ekonomi global, negara tersebut harus menghindari ketentuan pajak yang dapat memperlemah daya saing ekonomi negerinya. Untuk itu, investasi, perdagangan dan kegiatan ekonomi baik yang berasal dari domestik maupun manca negara yang dapat menciptakan kerja dan kemakmuran bangsa harus dipertahankan jangan sampai terusir karena masalah ketentuan perpajakan. Akhirya agar tercapai netralitas ekspor modal, ketentuan perpajakaan internasional harus di disain tanpa mendorong atau menghambat arus keluar modal, walaupun dalam praktik ini dianggap sebagai tujuan sekunder karena dapat menggerus kesempatan kerja dan kemakmuran domestik. Sementara itu, agar tercapai netralitas impor modal, suatu negara (pengekspor modal) tidak sepantasnya mendisain ketentuan pajak internasional yang menyebabkan perusahaan multinasionalnya menanggung beban pajak yang lebih besar di pasar luar negeri (negara pengimpor modal) dibanding dengan beban pajak perusahaan multinasional negara lain. Lanjut Gunadi, perlu disadari bahwa dari keempat tujuan tersebut di atas, suatu negara belum tentu dapat mencapai semuanya karena terdapat kurang kesesuaian bahkan saling bertentangan antar tujuan tersebut. Misalnya, antara tujuan perolehan bagian penerimaan dari penghasilan perusahaan multinational yang mempunyai kegiatan di luar negeri dengan tujuan netralitas impor modal. Berbeda dengan tujuan pertama yang menghendaki pengenaan pajak atas penghasilan luar negeri, netralitas impor modal menghendaki pembebasan pajak (tax exempt) atas penghasilan manca negara. Untuk itu, skala prioritas, preferensi, dan relevansi tujuan sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang atau akan dihadapi perlu dipertimbangkan.



Tujuan umum pajak internasional adalah untuk mengeliminasi gejala pajak ganda, hal ini dapat dilakukan dengan 3 cara: 1. Dengan cara unilateral, mana kala negara yang bersangkuatan memasukkan dalam perundangundangan pajaknya ketentuan untuk menghindari pajak berganda seperti: a. Exemption yang didasarkan pada pure territorial principle atau restricted terrirorial principle b. Tax credit yang dapat dibedakan menjadi direct tax credit, indirect tax credit, dan fictious tax credit/tax sparing 2. Dengan cara bilateral, dilakukan dengan melakukan perjanjian pajak antar negara yang dikenal dengan isilah tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Untuk negara Indonesia telah memiliki Tax Treaty dengan 57 negara. 3. Perjanjian multilateral, misalnya General Agreement Tariffs and Trade (GATT) yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan WTO. Regulasi-regulasi yang dihasilkan oleh WTO bertujuan untuk semakin membebaskan aktivitas perdagangan dan mereduksi segala bentuk tekanan dari pemerintah terhadap kegiatan perdagangan internasional. WTO di sini memposisikan untuk bertindak netral dalam mengelola persetujuan perdagangan, bertindak sebagai forum dalam negosiasi perdagangan, membantu menyelesaikan perselisihan perdagangan, meninjau kebijakan perdagangan nasional, menyediakan bantuan untuk negara berkembang dalam isu kebijakan perdagangan melalui bantuan teknis dan program pelatihan, serta bekerjasama dengan organisasi internasional lainnya Pada Tanggal 1 Januari tahun 1995 sesuai dengan hasil kesepakatan dari Putaran Uruguay, di Jenewa Swiss, WTO resmi berdiri dengan beranggotakan 146 negara termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil kesepakatan Putaran Uruguay, terdapat beberapa hal yang bersifat new issues, antara lain; trade in services, intellectual property rights, dan trade-related investment measures (TRIMs). Beberapa hal yang menjadi perhatian Indonesia sebagai konsekuensi logis dari keikutsertaannya dalam WTO antara lain; masalah tarif, akses pasar, komoditas tekstil, produk pertanian, regulasi dan penyelesaian sengketa, hak atas kekayaan intelektual, bidang jasa dan investasi. Mengenai fungsi atau tujuan WTO dapat dilihat dalam Article III WTO yaitu: a. mendukung pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan yang telah dicapai untuk mewujudkan sasaran perjanjian tersebut,



b. sebagai forum perundingan bagi negara-negara anggota mengenai perjanjian-perjanjian yang telah dicapai beserta lampiran-lampirannya, termasuk keputusan-keputusan yang ditentukan kemudian dalam Perundingan Tingkat Menteri, c. mengatur pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan; d. mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan, dan e. menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), serta badan-badan yang berafiliasi. Gunadi (2007) menyampaikan bahwa pada umumnya, suatu negara tidak akan memaksakan diri untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang tidak mempunyai pertalian (tax connection) apa pun dengan negara tersebut. Sehubungan dengan perpajakan internasional, kebanyakan negara menganut prinsip teritorial. Penghasilan yang bersumber di suatu negara (selalu) dikenakan pajak tanpa memperhatikan tempat kedudukan (residensi) pemilik (penerima) penghasilan apakah yang bersangkutan WPDN atau WPLN. Sementara itu, penghasilan yang bersumber di negara lain (di luar wilayah teritorial) dikecualikan dari pemajakan. Perlakuan teritorial membenarkan aplikasi yurisdiksi pemajakan teritorial (sumber pemajakan) karena Wajib Pajak diharapkan ikut berpartisipasi dalam pembiayaan negara yang telah memungkinkan terjadinya produksi atau perolehan penghasilan, pemeliharaannya, dan pemanfaatannya apakah dikonsumsi atau diinvestasikan (ditabung). Indonesia merupakan salah satu dari beberapa negara yang tidak secara terbatas hanya mengaplikasikan prinsip pemajakan teritorial. Berlandaskan pertalian personal (subjektif), Indonesia juga akan mengenakan pajak atas penghasilan luar negeri yang diperoleh Orang Pribadi yang bertempat tinggal atau Badan yang bertempat kedudukan di Indonesia (WPDN). Pemajakan berdasarkan pertalian personal dapat dibenarkan berdasarkan manfaat yang tersedia bagi orang yang berada di luar negeri. Mereka bebas untuk datang dan pergi setiap saat, mendapat perlindungan dan hak politik (pemilihan umum) dari pemerintah. Norma dalam sistem perpajakan internasional yang diterima dan diikuti secara global untuk hal berikut. 1. Menyerahkan hak pemajakan utama (primary taxing rights) kepada negara sumber penghasilan yang memiliki pertalian teritorial (sumber), 2. Mempertahankan wewenang pemajakan residual (residual tax claim) kepada negara domisili dengan pertalian personal.



REFERENSI: https://dconsultingbusinessconsultant.com/aspek-perpajakan-untuk-cabang/ https://klikpajak.id/blog/berita-pajak/perpajakan-bagi-perusahaan-induk-dan-pajak-anakperusahaan-selama-spin-off/ https://www.akseleran.co.id/blog/teori-struktur-modal/, diakses pada tanggal 10 Oktober 2020 https://www.jurnal.id/id/blog/2018-penjelasan-lengkap-6-teori-struktur-modal/,



diakses



pada



tanggal 10 Oktober 2020 https://www.jurnal.id/id/blog/2018-struktur-modal-teori-pendekatan-dan-cara-menghitungnya/, diakses pada tanggal 10 Oktober 2020