Materi Bab 1-6 WP [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 6 PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA



1. Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar



Sumber: www.hidupkatolik.com



Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar mengabdikan dirinya sebagai pendidik selama 45 tahun tepatnya hingga tahun 1997, saat beliau menjadi guru besar pada Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Selain itu, beliau juga pernah menjadi Dekan Fakultas Pasca Sarjana IKIP sekarang (Universitas Negeri Jakarta) pada tahun 1976-1980. Pendidikan multikultural yang digagaskan oleh Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar berangkat dari keragaman Indonesia sebagai negara multikultural terbesar dan sejalan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, diharapkan mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Pendidikan multikultural menurut Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar dipandang sebagai proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik. Menurut beliau, pendidikan merupakan sebuah konsep, ide, atau gagasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatankesempatan individu kelompok, maupun negara. Nilai-nilai pendidikan



multikultural tersebut diantaranya apresiasi terhadap kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat, pengakuan harkat dan martabat sebagai manusia dan hak asasi manusia, pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia, dan pengembangan tanggung jawab manusia terhadap bumi dan alam semesta. Adapun tujuan dari pendidikan multikultural ialah untuk menanamkan sikap simpati, respect, apresiasi dan empati terhadap penganut agama dan budaya seseorang yang berbeda. Bacalah artikel berikut mengenai pendidikan multikulturalisme dalam pandangan Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar (silahkan klik link ini). Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk ditandai dengan banyaknya etnis, suku, agama, budaya, dan kebiasaan di dalamnya. Di sisi lain, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat multikultural pada setiap lapisan memiliki latar belakang budaya (cultural background) yang beragam. Semboyan bhinneka tunggal ika menggambarkan wujud persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas aneka ragam budaya, bahasa daerah, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Berdasarkan semboyan bhinneka tunggal ika, yakni hal yang berbeda-beda namun memiliki satu tujuan yang sama, konsep pendidikan yang dibasiskan pada pengenalan dan pemahaman akan perbedaan kebudayaan Indonesia ditawarkan oleh H.A.R Tilaar. Prof. Dr. Henry Alexis Rudolf Tilaar, M.Sc.Ed. lahir 16 Juni 1932 di desa yang relatif terpencil di tepi Danau Tondano, Sulawesi Utara. Beliau adalah suami dari Martha Tilaar, seorang pengusaha terkenal yang bergerak di bidang kosmetik dan jamu dengan brand-nya yang dikenal oleh masyarakat Indonesia yaitu Sariayu. H.A.R Tilaar merupakan seorang pendidik, pemikir, praktisi pendidikan yang bersedia terjun langsung untuk menyikapi kinerja pendidikan nasional. Tilaar merupakan salah satu tokoh pemikir critical yang masih produktif hingga usia 80 tahun, tidak heran kini menjadi aset nasional bangsa karena pemikiran-pemikiran beliau banyak dijadikan acuan bagi para pendidik maupun pemerhati pendidikan. Selain itu Tilaar banyak menuangkan puluhan karyanya dalam bentuk buku maupun artikel. Atas jasa-jasanya kepada negara, pada tahun 1988 ia dianugerahi Bintang Jasa Utama Republik Indonesia. Selama puluhan tahun gagasan pemikiran Tilaar dalam mengembangkan dunia pendidikan Indonesia, mengantarkan dirinya mendapatkan penghargaan bergengsi dari salah satu universitas terkemuka di Amerika Serikat. Pada 11 September 2009, Tilaar mendapatkan penghargaan Distinguished Alumni Award dari Indiana University School of Education. Distinguished Alumni Award merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan setiap tahunnya oleh Indiana University School of Education. Penghargaan tersebut diberikan pada seseorang yang dinilai memiliki kontribusi besar bagi pengembangan dalam dunia pendidikan. Istilah multikultural berasal dari kata “kultur”. Secara etimologis, multikulturalisme menurut H.A.R Tilaar (2004) berakar dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran atau paham). Multikultur merupakan kata dasar, kata dasar itu adalah kultur yang berarti kebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan, sedangkan multi berarti banyak, aneka, atau beragam. Diartikan, multikultur bermakna keragaman kebudayaan, aneka kesopanan, atau banyak pemeliharaan. Secara khusus, H.A.R. Tilaar (2000) menyatakan bahwa kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks. Hal ini dimaksudkan bahwa kebudayaan merupakan suatu kesatuan dan bukan jumlah dari bagian-bagian. Multikulturalisme merupakan suatu paham atau situasi-kondisi masyarakat yang tersusun dari banyak kebudayaan. Multikulturalisme sebagai sebuah pemahaman yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi



budaya yang dimiliki. Bagi H.A.R Tilaar, multikulturalisme bukan sekadar pengenalan terhadap berbagai jenis budaya di dunia ini, tetapi juga sebagai tuntutan dari berbagai komunitas yang memiliki budaya-budaya itu. H.A.R. Tilaar (2004) menekankan kebutuhan model pendidikan di Indonesia dengan memperhatikan enam poin, hal ini terangkum secara ringkas antara lain 1) Pendidikan multikultural harus berdimensi pada right to culture dan identitas lokal di tengah-tengah kekuatan kebudayaan global, 2) Kebudayaan Indonesia yang berarti budaya Indonesia merupakan pandangan dunia dan bagian integral dari proses mikro budaya, 3) Pendidikan multikulturalisme yang terstandarisasi artinya model pendidikan yang memperkuat keberlangsungan identitas etnis tanpa menghilangkan identitas budaya lokal yang ada, 4) Pendidikan multikultural merupakan semacam rekonstruksi sosial artinya pendidikan multikultural tidak boleh terjebak dalam xenofobia, fanatisme, dan fundamentalisme, baik yang bersifat nasional maupun agama, 5) Pendidikan multikulturalisme merupakan pedagogi pemberdayaan (pedagogy of empowerment) dan pedagogi kesetaraan dalam kebudayaan yang beragam (pedagogy of equity), 6) Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujudkan visi masa depan Indonesia dan etika kebangsaan. Pendidikan merupakan sistem guna meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan manusia. Sistem pendidikan nasional diharapkan mampu melahirkan Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cerdas, bermoral, dan berbudi pekerti. Sebagaimana halnya tercantum dalam Pasal 3 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan bertujuan untuk membentuk karakter peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan serta mengembangkan potensi peserta didik menjadi seseorang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berilmu, berakhlak mulia, dan menjadi warga negara demokratis dan bertanggung jawab. Sekolah merupakan institusi yang memiliki tugas penting, bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi peserta didik, namun juga bertugas dalam pembentukan karakter anak dalam kemampuan untuk bertanggung jawab pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suyanto (2009) bahwa individu yang berkarakter baik mampu membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan dari setiap keputusan yang dibuatnya sendiri. Oleh sebab itu sekolah haruslah menjadi penggerak utama dalam pendidikan yang bebas (free public education), di mana pendidikan selayaknya bersifat universal, tidak memihak (non-sectarian) dan bebas. Para pakar meyakini bahwa seseorang tidak secara otomatis memiliki karakter moral yang baik sehingga diperlukan upaya dalam mendidik karakter secara efektif (efective character education). H.A.R Tilaar mengungkapkan, pendidikan multikultural mampu menjadi jembatan guna mencapai kehidupan umat manusia di dalam era globalisasi yang penuh dengan tantangan baru. Kaitannya dengan konsep karakter keindonesiaan, pendidikan multikultural diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik sebagai warga negara etnik, kultural, dan beragam artinya, menjadi makhluk yang menghargai dan memahami perbedaan dan bangga terhadap realitas lingkungan yang majemuk (Najmina, 2018). Melalui pendidikan multikultural Tilaar membagi pengertian multikulturalisme pada dua tahap, yaitu pertama multikulturalisme masih bersifat tradisional artinya terbatas pada pengakuan dan legitimasi pluralisme budaya. Lalu kedua, multikulturalisme mengalami perkembangan berdasarkan beragam pemikiran lainnya dengan perlakuan terhadap budaya yang berbeda-beda. Nilai-nilai pendidikan multikultural yang perlu ditanamkan kepada anak didik bangsa menurut perspektif H.A.R Tilaar meliputi toleransi, menghormati hak asasi manusia, menghargai dan menerima segala perbedaan, serta memiliki akhlak mulia dan sopan santun.



Nilai-nilai tersebut seharusnya dipelajari dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat baik bagi pendidik maupun peserta didik, penanaman nilai-nilai perlu ditanamkan untuk melahirkan masyarakat yang multikultural. Keberagaman perlu ditanamkan sejak dini agar generasi muda mampu memiliki paradigma berpikir yang lebih positif dalam memandang sesuatu yang “berbeda” dengan dirinya. Harapannya adalah terbentuknya sikap dan perilaku moral yang simpatik. Melintas dari pendidikan multikultural menurut perspektif H.A.R Tilaar, diharapkan mampu menjadi solusi bagi permasalahan degradasi moral bangsa dan negara.



Suami dari Martha Tilaar ini melalui tulisannya mampu memberikan pandangan yang mencerahkan ihwal pendidikan. Beberapa bukunya banyak menguraikan masalah-masalah pendidikan, mulai dari kurikulum, guru, dan sistem pendidikan kita. Rumusan yang dikeluarkan Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar selalu kritis dan tajam. Tentu ini tidak terlepas dari refleksi mendalamnya ketika hendak dan saat melakukan pengkajian. Hal ditunjang dengan kemampuannya melakukan sintesa dari banyak penulis progresif lainnya, dalam konteks pendidikan ia banyak mengambil saripati dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara, Freire, Giroux, Illich, Gramsci, dan pemikir besar lainnya. Meskipun buku-bukunya lebih banyak membahas persoalan pendidikan, namun tidak sekedar membahas masalah teknis dan satu perspektif semata. Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar selalu mengkaji masalah pendidikan dalam tinjauan yang multiperspektif. Sehingga hasil kajiannya selain mendalam juga komprehensif. Selain itu Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar juga selalu mengingatkan agar pendidikan kita tidak diam di tempat, dalam arti tidak mau berinovasi dan lepas dari feodalisme. Ia selalu mencoba menawarkan gagasan-gagasan baru demi perbaikan kualitas pendidikan Indonesia. Dari Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar jugalah gagasan pedagogik kritis, multikultural, dan transformasi pendidikan terus berkembang dan menambah khazanah keilmuan kita hari ini. Berikut ini adalah link artikel analisis pemikiran Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar mengenai konsep pendidikan multikultural dalam merespon tantangan globalisasi Hal lain juga ada dalam buku "Membenahi Pendidikan Nasional" yang menyoroti pula permasalahan guru yang ada di Indonesia, dengan serta merta mengkritik pemerintah agar segera mengentaskan permasalahan guru tersebut. Selain mengkritik, Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar juga bisa menciptakan mahakarya yang bisa menjadi landasan bagi kemajuan pendidikan, hal itu misalnya tertera dalam buku "Pedagogik Teoretis", "Pedagogik Kritis", "Multikulturalisme", dan banyak lagi yang lainnya. Hal lain yang patut diteladani dari Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar adalah betapa besar kecintaannya terhadap pendidikan Indonesia, meskipun dalam pengamatan kritik dan gagasannya kadang tidak dihiraukan oleh pemerintah, tetapi ia tetap menulis, ia tetap berkarya bahkan di usianya yang sudah sangat tua. Berikut adalah ebook yang dapat memperkaya pengetahuanmu



mengenai pemikiran Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar ebook bunga rampai Prof Tilaar. Sebagai seorang akademisi, pengamat sekaligus praktisi pendidikan, Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar tentu memiliki banyak gagasan, kritik dan kegelisahan terhadap dunia pendidikan nasional. Gagasan, kritik dan kegelisahannya kemudian ditorehkan melalui goresan pena berupa artikel yang diterbitkan di sejumlah media massa dan disampaikan dalam forumforum ilmiah baik tingkat nasional maupun internasional. Dalam beberapa diskusi Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar sering mempermasalahkan kebijakan nasional yang kurang memihak pada rakyat kecil khususnya masalah pendidikan, karena diyakini bahwa Indonesia merupakan negara berkembang masih jauh dari tataran negara maju. Negara berkembang merupakan negara yang angka kemiskinannya masih tinggi dan jika itu dipaksakan menjadi negara maju maka secara otomatis kebijakannya pun akan menindas bagi rakyat miskin. Dalam Judicial review yang digelar di Mahkamah konstitusi H.A.R. Tilaar dengan jelas mengatakan bahwa: “...mengangkat fakta bahwa Indonesia masih merupakan Negara berkembang dengan tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi. Karena itu, perlu ada kesempatan yang seluas-luasnya pada semua warga Negara untuk mengembangkan bakatnya. Apalagi, Pendidikan Tinggi merupakan investasi karena mempunyai “rate of returns” yang cukup besar sebagai modal kultural, dan modal sosial ekonomi. Selanjutnya beralih pada evaluasi pendidikan Indonesia, Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu momok yang mematikan kreatifitas siswa dan menakutkan. UN seakan sebagai misteri yang pasti akan menimpa seorang peserta didik. Menurut beliau, ujian nasional itu bisa saja perlu diadakan mengingat luasnya wilayah Indonesia, akan tetapi fungsi dan tujuannya bukanlah sebagai alah untuk menghakimi siswa. Ujian nasional seharusnya sebagai wahana pemerintah untuk membantu siswa dan mengembangkan potensinya, bukan sebagai alat mensetarakan siswa satu dengan lainnya. Berikut adalah artikel Prof. HAR Tilaar mengenai kritiknya terhadap kurikulum pendidikan Indonesia (silahkan buka link ini). Kini pemikiran Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar sudah tersebar di mana-mana dan diadopsi pemerintah dan berbagai lembaga pendidikan. Artikel yang pernah ditulis Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar jumlahnya lebih dari 200 buah. Selain rajin menulis artikel, Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar juga sudah menulis sejumlah buku tentang pendidikan. Hingga saat ini Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar telah menulis buku pendidikan sebanyak belasan buku yang sudah dipublikasikan. Sebagai seorang pakar pendidikan, Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar merupakan figur yang memiliki ide-ide cemerlang mengenai bagaimana caranya mengembangkan sebuah sistem pendidikan yang tidak



meninggalkan nilai-nilai budaya lokal keIndonesiaan. Prof. H.A.R Tilaar (begitu beliau disapa) juga melihat proses pendidikan sebagai sebagai proses pembudayaan yang terjadi dalam interaksi antar manusia dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, yang diarahkan menuju terciptanya suatu masyarakat madani global yang berbasis masyarakat madani Indonesia dengan ciri khas kebudayaan nasional Indonesia yang berbhinneka. Pendidikan merupakan kunci dari semua aspek pembangunan manusia. Seluruh aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, politik, dan budaya, memiliki keterkaitan dengan pendidikan. Perubahaan sosial dan peningkatan kapasitas manusia hanya bisa terjadi melalui proses pendidikan, tidak bisa dilakukan melalui kekuasaan. Hal inilah yang diyakini oleh Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar dengan terus memperkenalkan pendidikan kritis dalam upaya untuk mengembangkan pendidikan nasional di Indonesia. Karena tulisan-tulisan dan karya-karyanya itulah, Beliau diminta untuk memberikan seminar di Harvard University pada tahun 2003. Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar merasa tidak diakui oleh bangsanya sendiri, namun keahliannya dalam bidang pendidikan telah mendapat pengakuan dari dunia internasional. Penulis lebih dari 200 artikel itu, mendapatkan Certificate of Ceremony, World Record for Achievement in Pedagogy pada tahun 2007. Biografinya tercantum dalam ensiklopedia pendidikan (2001); Who’s Who in The World, Millenium Edition 2000, American Biographical Institute, 1000 Great Asean, International Biographical Center, England, 2003. Who’s Who in American Education 2006-2007. Sebelumnya telah dikemukakan bahwa Prof. Henry Alexis Rudolf Tilaar juga adalah orang pertama dari Indonesia yang pernah diberikan penghargaan bergengsi Distinguished Alumni Award dari salah satu universitas terkemuka di Amerika Serikat. Sebagai penutup dari pemikiran tokoh pendidikan Prof. HAR Tilaar, berikut adalah video yang membahas lengkap mengenai buku Beliau yang berjudul Bunga Rampai Pendidikan Indonesia Klik link ini. 2. Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A.



Sumber: http://www.ispi.or.id/



Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. merupakan Guru Besar Ilmu Pendidikan IKIP Jakarta/UNJ pada tahun 1989. Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) selama 2 periode yaitu tahun 1999-2009 dan 2009-2014. Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. merupakan salah satu tokoh pendidikan yang memperjuangkan kebijakan anggaran pendidikan yang mencapai sekurangkurangnya sebesar 20%. Alasan beliau memperjuangkan kebijakan anggaran pendidikan untuk perbaikan mutu pendidikan Indonesia, namun kebijakan anggaran pendidikan harus dikaji ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan lapangan. Sayangnya, anggaran pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan di lapangan, hal ini dapat Anda baca pada link artikel berikut silahkan buka link ini. Karena menurut beliau untuk mendukung pendidikan yang benar, harus ada anggaran yang besar. Untuk menjalankan proses pendidikan, diperlukan dukungan fasilitas seperti siswa harus diberi buku, adanya lapangan luas untuk bisa berolahraga, lingkungan sekolah yang asri, dan sebagainya. Hal ini didukung oleh pernyataan beliau yang tertuang dalam artikel yang dapat dibaca pada link berikut (silahkan buka link ini). Pemerintah diharapkan mampu berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan di tengah masyarakat yang kurang mampu agar tercapai cita-cita nasional bangsa, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Akseslah link artikel berikut ini untuk mengetahui mengenai keprihatinan seorang pendidik dalam sudut pandang Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. (silahkan buka link ini). Menurut Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. menjawab pertanyaan “Pendidikan seperti apa yang dapat berperan menghadapi tantangan zaman atau pembangunan suatu bangsa?” Jawaban beliau adalah bahwa hanya pendidikan yang bermutu yang mampu menunjang proses pembangunan bangsa. Salah satu strategi pengembangan mutu pendidikan dimulai dari



sekolah. Bagaimana manajemen pengembangan mutu sekolah yang baik? Silahkan anda cermati pada artikel berikut (silahkan buka link ini). Pertanyaan lainnya apakah indikator pendidikan yang bermutu itu? Menurut Beliau: “Pendidikan yang bermutu sesungguhnya dapat ditarik dari berbagai ketentuan dalam UU No. 20 Tahun 2003. Bila kita mendalami UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas kita akan menemukan sumber nilai yang dapat dijadikan ukuran bermutu tidaknya program pendidikan.” Menurut Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. hanya proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya yang dapat dipandang bermutu. Karena tanpa proses pendidikan yang demikian tidak mungkin dapat mendukung fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Masih menurut Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A., rumusan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional menunjukkan betapa “berkembangnya kemampuan” dan “terbentuknya watak” merupakan fungsi yang harus diemban oleh proses pendidikan, terutama di sekolah. Dan itu hanya mungkin kalau proses pendidikan yang bermakna sebagai proses pembudayaan sehingga mutu pendidikan terutama harus dilihat dari “kemampuan” dan “watak lulusan” yang bermakna bagi pembangunan peradaban banga yang bermartabat. Pendidikan sebagai proses pembudayaan dijelaskan lebih lanjut pada video berikut. Link video . Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A., berpendapat bahwa hanya pendidikan yang bermutu, yaitu yang mampu mengembangkan kompetensi dan membentuk watak lah yang relevan dengan upaya menghadapi tantangan zaman. Pendidikan yang demikian adalah pendidikan yang bermakna sebagai proses pembudayaan, yaitu membudayakan kemampuan memecahkan masalah, kemampuan bekerja dan beretos kerja, kemampuan meneliti dan mengembangkan IPTEK, dan membudayakan sikap mandiri, bertanggung jawab, demokratis, jujur, dan bermoral. Bagaimana pendidikan sebagai proses pembudayaan terjadi? Untuk memahaminya, Anda dapat membaca artikel pada link berikut (silahkan klik link ini). Masih menurut Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A., bila pembelajaran dapat merangsang, menantang, dan menyenangkan, seperti yang dikemukakan oleh Whitehead sampai pada tingkat “joy of discovery”, diharapkan proses pembelajaran itu dapat bermakna sebagai proses pembudayaan dan proses penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini Unesco,



melalui International Commission on Education for The 21st Century, yang antara lain bertujuan untuk mengubah dunia “from technologically divided world where high technology is privilege of the few to technologically united world” mengusulkan empat pilar belajar. Menerapkan empat pilar belajar tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, dan berkesempatan berinteraksi secara aktif sesama peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, materi yang terpilih, dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional. Ujian nasional akan mengurangi kreativitas belajar sampai tingkatan “joy of discovery” Kita bisa melihat, betapa tingginya tuntutan terhadap peran yang diharapkan dari pendidikan dalam membentuk karakter dan mental generasi muda agar dapat melakukan transformasi budaya. Suatu tuntutan yang pada hakekatnya telah digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Tetapi untuk melaksanakan peran itu, kondisi pendidikan di negara berkembang pada umumnya, termasuk Indonesia, jauh dari memadai. Akibat dari perkembangan ini, yaitu perluasan kesempatan belajar yang terjadi adalah sekolah dengan terlalu banyaknya guru yang secara profesional kurang memenuhi syarat, dan proses pembelajaran tidak lebih dari mencatat, menghafal, dan mengingat kembali. Mufti yakin bahwa tidak adanya kesempatan bagi peserta didik untuk memperoleh pendidikan yang bermutu akan merugikan masyarakat, karena sumber daya manusia yang baik untuk pembangunan masyarakat sukar diperoleh. Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. setuju dengan apa yang UNESCO perkenalkan sebagai empat pilar belajar, yaitu: Learning to know, Learning to do, Learning to live together, dan Learning to be. Menurut beliau penjelasan mengenai 4 pilar tersebut adalah sebagai berikut: a. Learning to Know adalah proses pembelajaran yang memungkinkan pelajar/mahasiswa menguasai teknik memperoleh pengetahuan dan bukan semata-mata memperoleh pengetahuan. b. Learning to do, sasarannya adalah kemampuan kerja generasi muda untuk mendukung dan memasuki ekonomi industri. Dalam masyarakat industri atau ekonomi industri tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan keterampilan motorik yang kaku melainkan diperlukan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti controlling, monitoring, maintaining, designing, organizing, yang dengan kemajuan teknologi pekerjaan yang sifatnya fisik telah diganti dengan mesin.



c. Learning to live together, kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka. Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk pada saat yang bersamaan setiap peserta didik memperoleh pengetahuan dan memiliki kesadaran bahwa hakikat manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan. d. Learning to be yaitu muara akhir dari tiga pilar belajar. Pendidikan yang berlangsung selama ini pada umumnya tidak mampu membantu peserta didik (pelajar/mahasiswa) mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri atau manusia yang utuh karena proses pembelajaran pada berbagai pilar tidak pernah sampai kepada tingkatan “joy of discovery” Akseslah link youtube berikut untuk memperdalam pengetahuanmu mengenai 4 pilar pendidikan Silahkan klik link ini. 3. Prof. Dr. Conny R. Semiawan (11 Juni 1930– 1 Juli 2021)



Sumber: www.alumniunj.com



Prof. Dr. Conny R. Semiawan merupakan Guru Bangsa dan tokoh pendidik nasional yang berasal dari FIP UNJ. Selain itu, Prof. Dr. Conny R. Semiawan juga merupakan mantan Rektor IKIP Jakarta/UNJ Periode 19841992. Pada tahun 2015 Prof. Dr. Conny R. Semiawan pernah menerima penghargaan dari UNESCO sebagai tokoh nasional yang berjasa di bidang pendidikan, kebudayaan, sains, dan komunikasi. Prof. Dr. Conny R. Semiawan berjasa besar dalam penerapan studentcentered learning, yakni pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam



paradigma tersebut, ditegaskan bahwa siswa bukanlah objek dalam pembelajaran, melainkan subjek dalam pembelajaran. Maka, saat itu populerlah “CBSA” (Cara Belajar Siswa Aktif), yang juga menjadi istilah bagi kurikulum yang berlaku saat itu. Akseslah link berikut untuk lebih mengetahui CBSA secara lebih mendalam ( Silahkan klik link ini ). Saat itu pemikiran dan agenda pemajuan pendidikan yang mengutamakan peserta didik dengan CBSA menjadi milestone perubahan paradigma Pendidikan modern Indonesia. Kurikulum berdiversifikasi juga merupakan pemikiran Prof. Dr. Conny R. Semiawan yang lain, yang membongkar paradigma pendidikan dari yang sentralistik ke desentralistik. UNJ menjadi basis pengembangan pemikiran pendidikan beliau, termasuk Labschool di dalamnya. Untuk lebih jelasnya, akseslah link berikut ini untuk mengetahui pembelajaran yang diterapkan di labschool (silahkan klik link ini) Prof. Dr. Conny R. Semiawan pernah menyindir model pendidikan taman kanak-kanak di Indonesia karena lebih banyak memaksa anak untuk belajar. Beliau juga mengkritik model pendidikan di tanah air yang terlalu menjejali anak dengan begitu banyak hal: “Anak-anak kita terlalu dipaksa untuk menghafal ini dan itu. Anak disuruh untuk belajar, belajar untuk mengejar ranking, tetapi dia kehilangan masa bermain. Padahal bermain itu merupakan kebutuhan paling penting buat anak”. menurut Prof. Dr. Conny R. Semiawan, pendidikan usia dini muncul karena dalam perkembangannya bersinggungan dengan ilmu lain (common ground) yang menjadi objek penelaahan yaitu perilaku anak usia 0-8 tahun dalam situasi pendidikan, sehingga muncul ilmu baru yang bernama Pendidikan anak usia dini. Menurut Beliau, Anak berkembang (from within) dan belajar (dari lingkungan). Keduanya selalu mengalami perubahan. Tiga fase utama merupakan interaksi antara faktor genetis (nature), lingkungan (nurture) dan individu (self generating trend). Untuk lebih jelasnya, akseslah link berikut ini untuk mempelajari lebih lanjut (silahkan klik link ini) Menurut Prof. Dr. Conny R. Semiawan pendidikan bagi anak pada usia-usia ini adalah belajar sambil bermain. Bagi anak, bermain adalah kegiatan yang serius, namun mengasyikkan. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas, anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan anak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental, intelektual, dan spiritual. Akseslah link artikel berikut untuk mengetahui segala aspek penting dalam perkembangan anak usia dini (Silahkan klik link ini).



4. Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., (25 Agustus 1930 – 1 Juli 2016)



Sumber: unjkita.com



Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., adalah guru besar Universitas Negeri Jakarta. Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., menjabat sebagai Rektor IKIP Jakarta (kini menjadi UNJ) periode 1975-1980. Selain itu, Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., juga pernah menjabat sebagai Pembina Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) dan Penasihat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Menurut Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., meskipun sudah berpuluh tahun kebijakan dan praktik pendidikan nasional tak punya arah yang jelas lantaran nihilnya filosofi pendidikan. Praktik pendidikan yang didasarkan pada filosofi yang relevan senantiasa akan dapat memberi pembenaran, arah, tujuan dan makna pada seluruh spektrum kegiatan pendidikan. Bagi Beliau, guru yang punya paradigma filosofis, dapat mengajarkan kebahagiaan yang abadi pada muridnya, karena guru tersebut mampu berpendapat bahwa kebahagiaan adalah hal yang ingin dicapai dari sebuah proses pendidikan. Dalam buku Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi, Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., mengatakan: “Memang pada saat tertentu, dalam konteks tertentu, bisa muncul problem pendidikan yang lebih dominan bersifat teknis dan di saat yang lain lebih bersifat finansial, infrastruktural, institusional, ketenagaan, kultural atau politik. Tetapi apakah problem yang mengemuka pada suatu saat bersifat teknis, politis, yuridis, ekonomis atau gabungan dari semuanya, pada saat yang sama problematik pendidikan itu juga selalu bersifat normatif, yakni terkait dengan norma, standar atau nilai-nilai yang mendasar yang memberikan



relevansi dan makna kepada sifat problematik pendidikan yang teknis dan pragmatis?” Bagi Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., Keduanya tak bisa dipisah, sebab praktik pendidikan yang didasarkan pada filosofi yang relevan senantiasa dapat memberi pembenaran, arah, tujuan dan makna pada seluruh spektrum kegiatan pendidikan.



Dalam istilah Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., kita butuh manusia-manusia Indonesia yang mampu berfilosofi. Apa itu berfilosofi? Bagi Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., secara sederhana berfilosofi adalah kemampuan untuk bertanya. Mempertanyakan hidup untuk menemukan kebenaran. Namun, kini akan sulit ditemui manusia Indonesia yang mampu berfilosofi. Bagi mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan, khususnya para guru, filosofi pendidikan seringkali disimpulkan sebagai pengetahuan yang sukar dipahami dan dalam praktik, kegunaannya pun sangat disangsikan. Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., menganalisis, kondisi ini tercipta berkat beberapa hal. Pertama, ilmu filsafat yang memang sudah hadir lebih dari 2000 tahun lalu dianggap sudah usang oleh para pemelajar. Kedua, kita sedang hidup dalam dunia yang semakin pragmatis. Oleh karena itu, pemeriksaan kekurangan pada kondisi pendidikan selalu mengarah pada perangkat pengetahuan yang diberikan, yakni kurikulum bukan filosofi. Akseslah link youtube berikut untuk mengenal filsafat yang memiliki cabang Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Silahkan klik link ini . Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., filosofi pendidikan lahir sebagai bentuk kemampuan manusia untuk memahami tujuan hidup, hakikat manusia dan untuk mencari tumpuan yang universal mengenai nilai dan tujuan pendidikan. Akseslah link artikel berikut untuk mempelajari Refilosofisasi Pendidikan Pemikiran Wirarno Surakhmad secara lebih jelas. Akseslah link artikel berikut untuk mempelajari Refilosofisasi Pendidikan Pemikiran Wirarno Surakhmad secara lebih jelas. ( silahkan klik link ini) Menurut Prof. Dr. H. Winarno Surakhmad, M.Sc., Ed., pembelajaran dengan landasan epistemologis akan membuka peluang kepada setiap murid untuk mencari, mengeksplorasi, menguji coba atau bereksperimen dan mengembangkan pengetahuannya. Dengan begitu, murid pun akan belajar untuk membongkar relasi yang ada di balik pengetahuan yang sehari-hari dipelajari, sehingga ia tidak pernah memahami pengetahuan sebagai hal yang dogmatis. Karena ketumpulan epistemologis itu pula, banyak guru berkesimpulan hanya pengetahuan objektif, terkendali dan terukur seperti



Matematika dan Fisika lah yang harus menjadi inti program pendidikan. Belajar dari hal tersebut, maka dibutuhkan satu lagi landasan yang tak kalah penting yakni aksiologi. Landasan aksiologi adalah landasan yang memusatkan perhatian pada hakikat, makna dan peran nilai dalam kehidupan ini menjadi penting karena pendidikan nasional cenderung mengorbankan nilai kehidupan yang manusiawi. Karena pendidikan yang merupakan pembelajaran tentang kehidupan dan untuk kehidupan, maka jelas praktik pendidikan pun tidak lain dari menyiapkan anak bangsa menghadapi kehidupan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Akseslah link youtube berikut untuk mengetahui filosofi aksiologi secara lebih mudah Silahkan klik link ini



BAB V Sejarah dan Pemikiran Tokoh Pendidikan Internasional Pendidikan terbentuk dan berkembang dengan melalui proses yang panjang sampai saat ini. Pembahasan tentang pendidikan telah berlangsung lama dan melibatkan banyak tokoh pendidikan. Tokoh-tokoh pendidikan tersebut mengembangkan pemikiran-pemikiran yang berbeda terkait dengan konsep dan implementasi pendidikan dalam konteksnya masing-masing. Melalui berbagai konseptualisasi pendidikan yang berbeda, tokoh-tokoh pendidikan tersebut menekankan pentingnya pendidikan sebagai bagian dari kehidupan dan pengembangan diri seorang manusia dengan segala potensi yang dimilikinya. Dalam arti luas, pendidikan adalah proses untuk mempengaruhi dan menguapayakan perubahan progresif pada individu. Pendidikan dalam berbagai jenjang mengarahkan proses pendidikan itu sendiri pada berbagai pengembangan intelektual, nilai-nilai sosial dan moral, pengetahuan tentang fakta-fakta di bidang-bidang tertentu, dan sebagainya. Dalam lingkungan pendidikan seperti ruang kelas, guru menggunakan berbagai strategi dan materi didukung media dan bahan tertentu untuk mendukung perubahan perserta didik menuju lebih baik. Hal ini biasanya dianggap sebagai proses pembentuk, pengembang dan pendukung pengetahuan, keterampilan peserta didik. Bahan ajar ini dimulai dengan pengenalan masing-masing teori pendidikan dan yang diperkaya dengan sumber-sumber terlampir terkait masing-masing teori pendidikan tersebut. Pemahaman teori pendidikan tersebut akan berdampak pada implikasi pendidikan. Selanjutnya, analisis kasus terkait teori pendidikan tersebut dalam prakteknya di lapangan akan menjadi ulasan tersendiri dalam memperdalam pemahaman implikasi teori-teori pendidikan tersebut.



Analisis Kasus: Mari ingat kembali fase-fase pendidikan yang sudah kita lewati dan coba refleksikan proses pendidikan yang telah lewat dengan mengaitkan pada praktek pendidikan yang merupakan implementasi pemikiran tokoh pendidikan berikut ini!



Sumber Belajar: Video berikut dapat ditonton untuk memberikan gambaran umum berbagai perspective pendidikan dengan masing-masing tokohnya. Philosophical Perspectives of Education A.



Gagne



Robert Gagne (1916–2002) adalah seorang psikolog pendidikan yang mempelopori ilmu pendidikan pada tahun 1940-an. Bukunya yang berjudul The Conditions of Learning, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1965, mengidentifikasi praktik pendidikan terkait kondisi pembelajaran efektif. Teori belajar Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara pandangan behaviorisme dan kognitifisme yang berdasar pada teori pemerosesan informasi (Ratumanan, 2004). Menurut Teori Gagné, proses pendidikan dilihat sebagai sebuah upaya dan proses pengembangan kognitif yang mana bertujuan mengubah sifat pengetahuan atau stimulasi yang dikembangkan melalui penerimaan dan pengelolaan informasi yang mana akan menjadi sebuah pengetahuan yang baru. Dalam implementasinya terkait pengembangan berbagai jenis pembelajaran, Gagné (1964) mengusulkan enam jenis pembelajaran sebagai berikut: response learning, chaining, verbal learning (paired associates), concept learning, principle learning, problem solving (p. 312). Pemikiran Gagné tentang jenis-jenis pengembangan pembelajaran tergambar dari pembahasannya tentang pemecahan masalah sebagai bentuk pembelajaran yang berdasarkan pada pemikirannya tentang pendidikan. Pemikiran Gagné tentang jenis-jenis pengembangan pembelajaran tergambar dari pembahasannya tentang pemecahan masalah sebagai bentuk pembelajaran. Berikut ini, ia menunjukkan bagaimana pemecahan masalah, sebagai bentuk pembelajaran, yang dikembangkan pada pembelajaran mencakup: 1.



Keterampilan intelektual terkait konsep dan penyelesaian masalah



2.



Strategi kognitif



3.



Informasi lisan



4.



Keterampilan motorik



5.



Sikap



Deskripsi Gagné tentang kategori pemecahan masalah dan strategi kognitif terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, dalam Gagné dan Glaser (1987), "pemecahan masalah" digabungkan menjadi satu kategori bersama dengan strategi kognitif sebagai penekanan dari konsep pendidikan. Sebagai konsep pembelajaran yang berkembang dari awal neobehaviorist, Gagne mengembangkan pembelajaran lebih berorientasi kognitif. Gagné menekankan pada pemrolehan "konseptual" melalui pembelajaran yang bermakna, dibandingkan dengan menghafal atau pembelajaran asosiasi yang menjadi ciri karya Holland dan Skinner: . . . dari evaluasi praktek pendidikan yang ada (misalnya, Holland, 1959; Skinner, 1958), tidak terlihat penyampaian pemahaman dalam arti kemampuan untuk mendorong penyelesaian masalah, namun lebih ke penggunaan katakata dalam berbagai konteks stimulus. Sebagai hasilnya, Gagne menciptakan



proses yang mencakup sembilan langkah yang merinci setiap elemen yang diperlukan untuk pembelajaran yang efektif dimana model ini berguna untuk semua jenis pembelajaran. ·



Level 1: Mendapatkan Perhatian Peserta didik (Penerimaan)



·



Level 2: Menginformasikan Peserta didik tentang Tujuan (Harapan)



·



Level 3: Merangsang Ingatan Pembelajaran Sebelumnya (Retrieval)



· Level 4: Menyajikan Stimulus/informasi baru kepada kelompok dengan cara yang efektif dengan mempertimbangkan berbagai media dan gaya pengajaran yang berbeda. ·



Level 5: Memberikan Bimbingan Belajar (Semantic Encoding)



·



Level 6: Memunculkan Performa (Menanggapi)



·



Level 7: Memberikan Umpan Balik (Penguatan)



·



Level 8: Menilai performace



·



Level 9: Meningkatkan Retensi (Generalisasi)



Sumber Belajar: Robert Gagne B.



Piaget



Jean Piaget (1896 – 1980) adalah seorang psikolog yang berfokus pada pendidikan dan perkembangan manusia. Dia mengembangkan teori perkembangan kognitif manusia berdasarkan minatnya pada biologi terkait adaptasi manusia terhadap lingkungan. Teorinya bahwa kecerdasan manusia juga merupakan mekanisme adaptif dinilai kontroversial pada eranya. Ini menantang pendekatan psikometrik dan behavioris yang dominan terhadap kecerdasan, yang mengukur kecerdasan (IQ) sebagai sifat yang tetap dan diwariskan, atau mengacu pada pengkondisian eksternal (behavourisme) sebagai sumber perubahan kognitif. Piaget lebih berpendapat bahwa manusia adalah individu yang membangun pengetahuan secara aktif daripada hanya sebagai penerima pengetahuan. Teori Piaget adalah pengembangan paling komprehensif terkait dengan perkembangan intelektual yang saat ini menjadi rujukan banyak praktisi pendidikan. Piaget telah menggambarkan perkembangan berpikir sejak lahir hingga dewasa di bidang-bidang yang mencakup logika, angka, waktu,



kausalitas fisik, ruang, geometri, persepsi, citra mental, pengujian hipotesis, dan kesadaran. Piaget telah mengembangkan proses pemrolehan pengetahuan dan bagaimana pengetahuan berkembang lebih jauh dengan mengkaji proses berpikir manusia. Kontribusi Piaget pada pendidikan didasarkan pada kekayaan teorinya tentang perkembangan pemikiran manusia sebagai cara baru untuk memahami proses berpikir manusia yang terkait berbagai bidang dan konteks. Konstruktivisme perkembangan teori Piaget menawarkan dasar alternatif untuk praktik pendidikan yang dilihat lebih potensial untuk pembelajaran peserta didik dibandingkan dengan praktik yang berjalan. Piaget mengembangkan metode eksperimen untuk mengkaji kemampuan kognitif anak, serta penjelasan mendetail tentang bagaimana anak mengembangkan pemikiran logis dan matematis. Menurut Piaget, perkembangan dipahami sebagai peningkatan kompleksitas, mobilitas dan sistematisasi struktur kognitif. Piaget melihat berpikir yang mencakup kemampuan untuk menalar, menghubungkan ide, dan memecahkan masalah sebagai hasil dari struktur kognitif yang secara bertahap dibangun di dalam otak sebagai akibat dari paparan langsung dan interaksi dengan lingkungan. Perkembangan tersebut terjadi dalam empat tahap progresif di mana proses berpikir berkembang dari proses berpikir yang 'konkret', egosentris yang sangat terkait dengan pengalaman fisik, menuju penalaran abstrak 'formal' yang melibatkan manipulasi mental daripada fisik dari konsep dan ide. Setiap tahap mewakili perbedaan kualitatif mendasar dalam cara memahami dunia, memproses dan menanggapi informasi, dan mengembangkan konsep. Tahapan tersebut secara rinci: 1. Sensori-motorik (lahir hingga 2 tahun): pemahaman tentang dunia terbatas pada interaksi visual dan sentuhan dengan dunia. Imitasi memberikan landasan untuk berpikir dalam gambar visual. 2. Pra-operasional (2 hingga 4 tahun): berpikir melibatkan gambaran visual tentang tindakan dan pengalaman sensorimotor, dan pemikiran simbolis dimana proses berpikir difokuskan pada informasi khusus dengan mengandalkan persepsi dan intuisi. 3. Operasional konkret (7-8 hingga 11-12 tahun): struktur kognitif telah cukup berkembang untuk digunakan sebagai sistem logis dan digunakan di seluruh konteks 4. Operasional formal (11-12 hingga 16-17 tahun): penalaran abstrak dan dekontekstualisasi menggunakan proposisi verbal, premis, ide, dan konsep dimungkinkan tanpa akses ke objek konkret. Peserta didik dapat berhipotesis, memecahkan masalah, mencatat hubungan antara ide dan benda, menyimpan sejumlah ide dalam pikiran, dan mengembangkan serta menghubungkan konsep.



Norma usia yang diberikan oleh Piaget adalah perkiraan, meskipun Piaget percaya bahwa semua manusia menjalani tahapan ini, dalam urutan ini, saat mengembangkan kognisi dan kecerdasan. Sedangkan, belajar adalah proses adaptasi terhadap rangsangan lingkungan, yang melibatkan proses berkelanjutan dan berkesinambungan yang kemudian disebut Piaget sebagai asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Dalam mengasimilasi pengetahuan, peserta didik menggabungkan pengalaman dan pengamatan mereka ke dalam logika pemahaman mereka yang telah ada atau berkembang. Akomodasi terjadi ketika ada konflik atau ketidakcocokan antara informasi baru dan pengetahuan internal peserta didik, yang menyebabkan peserta didik menyesuaikan pemahaman dan harapan yang ada untuk memasukkan persepsi dan pengalaman baru mereka. Belajar tidak hanya bergantung pada pengalaman tetapi juga pada kematangan peserta didik dan kemampuan peserta didik untuk menyerap dan belajar dari rangsangan yang diberikan. Piaget mengamati bahwa peserta didik dibatasi oleh struktur kognitif yang ada dalam mengembangkan cara baru untuk memahami fenomena. Pembelajaran bergantung pada interaksi siswa secara langsung dengan objek, bukan pada transmisi informasi. Fokus Piaget pada pembelajaran sebagai pengembangan individu tercermin dalam pengorganisasian sebagian besar sistem pendidikan, di mana pembelajaran bersifat individual dan peserta didik diukur berdasarkan performance individu daripada performance kolaboratif. Piaget berpikir bahwa eksplorasi dan penemuan mandiri adalah penting di semua tahap perkembangan kognitif dalam memungkinkan siswa untuk mengembangkan pembelajaran aktif secara konkret dimana peserta didik berkesempatan untuk belajar langsung, bereksperimen dan menguji objek untuk membangun konsep. Untuk lebih memahami, tontonlah video berikut: Teori Perkembangan Kognitif Piaget Teori Konstruktivisme Perkembangan Kognitif Jean Piaget Play Video



Teori Piaget tentang Perkembangan Kognitif Play Video



C. Vygotsky



Lev Vygotsky menggunakan pendekatan konstruktivis sosial dalam mengembangkan pemikirannya terkait pendidikan. Teori konstruktivis ini membahas tentang bagaimana pengetahuan siswa terbentuk sebagai dampak dari proses pendidikan. Pengetahuan seseorang terbentuk karena adanya interaksi antara seseorang individu dan lingkungan dan orang lain yang secara terus-menerus melakukan eksplorasi terhadap lingkungan yang ada disekitarnya. Teori Vygotsky lebih mengedepankan aspek sosial dari pembelajaran. Menurut Vygotsky,



proses pembelajaran akan terjadi jika seseorang mencoba hal baru atau mencoba untuk menyelesaikan tugas-tugas yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya secara mandiri. Tetapi, tugas-tugas tersebut tetap dalam jangkauan orang yang lebih dewasa atau lebih mampu. Ini disebut dengan Zone of Proximal Development dan Scaffolding (Daniels, 2016). Salah satu komponen yang paling mendasar dalam teori Vygotsky adalah Scaffolding. Scaffolding merupakan memberikan bantuan kepada seseorang yang dilakukan melalui tahap-tahap pembelajaran dan mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan bagi seseorang agar melanjutkan tugas-tugasnya (Anthis & Adams, 2012). Ide-ide Vygotsky serupa dalam beberapa hal dengan ide Piaget: Keduanya percaya bahwa belajar adalah hasil dari pengalaman langsung yang berasal dari lingkungan seseorang; keduanya menganggap bermain dan eksplorasi sebagai kegiatan edukatif utama; dan keduanya percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain, baik teman sebaya atau orang dewasa, sangat penting untuk terjadinya pembelajaran. Vygotsky sendiri menekankan bahwa salah satu karakteristik yang membedakan antara manusia dan hewan adalah bahwa manusia mewarisi pengalaman sosial dan historis. Artinya, manusia tidak harus menemukan sendiri bahwa, misalnya gurun Sahara adalah daerah yang sangat kering, dan bahwa pada masa lalu itu belum menjadi gurun. Fakta-fakta ini dapat dijelaskan oleh guru atau dapat dibaca dalam buku (Van der Veer, 2011). Vygotsky sendiri memiliki konsep pendidikan Zone of Proximal Development. Seseorang pada dasarnya memiliki perkembangan aktual yang bisa membuat seseorang menjadi lebih mandiri. Menurut Hedegaard (2005), Tingkat perkembangan aktual mencirikan keberhasilan perkembangan sebelumnya, hasil perkembangan di masa lampau, tetapi zona perkembangan proksimal adalah ciri perkembangan mental masa depan. Seseorang yang memiliki IQ atau kecerdasan tinggi umumnya cenderung kehilangan keunggulan mereka setelah beberapa tahun, mereka juga kurang beruntung di sekolah. Berbeda dengan seseorang yang memiliki IQ atau kecerdasan normal, mereka cenderung stabil. Ini dikarenakan individu yang cerdas tidak terstimulasi dengan baik. Pembelajaran biasa untuk mereka tidak terlalu menantang atau terlalu mudah karena usia mental mereka tidak seperti individu lainnya. Menurut Vygotsky (Chaiklin, 2003), Ini merupakan situasi yang disayangkan. Dengan begitu, pembelajaran harus menawarkan tugas-tugas yang berada di atas tingkat intelektual seseorang, tetapi tidak terlalu jauh di atas itu. Seseorang akan cukup terstimulasi untuk mencoba masalah baru dan naik di tingkat intelektualnya. Jarak antara tingkat kompleksitas tugas yang harus dilakukan dengan kemampuan intelektual seseorang untuk melakukannya itulah yang dinamakan zona perkembangan proksimal. Keterampilan-keterampilan dalam berfungsinya mental dapat berkembang melalui interaksi secara langsung. Tentang informasi alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubunganhubungan interpersonal kognitif dipancarkan ketika terdapat interaksi secara langsung dengan manusia yang lain. Dengan melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman dalam suatu interaksi sosial dapat mengembangkan mental dan kemampuan berpikir pada seorang individu menjadi matang (Vygotsky, 1962). Teori Vygotsky dapat diterapkan dalam interaksi belajar mengajar yaitu dengan cara tetap melibatkan orang dewasa untuk turut aktif dalam mendampingi proses pembelajaran, memberikan tugas kelompok pada seseorang dan teman atau rekan sebayanya secara kooperatif guna mempercepat perkembangan seorang individu, lalu dengan tugas kelompok tersebut dapat dikembangkan menjadi pengajaran pribadi oleh teman atau rekan sebayanya (Peer Tutoring).



Untuk lebih memahami, tontonlah video berikut: Educational Implications of Vygotsky’s Theory Play Video



Vygotsky’s Theory of Cognitive Development in Social Relationship Play Video



Vugotsky’s Learning Theory Play Video



D. John Dewey



John Dewey adalah seorang pragmatis, progresivis, pendidik, filsuf, dan pembaharu sosial (Gutek, 2014). Pengaruh Dewey pada pendidikan terbukti dalam teorinya tentang pembelajaran sosial dimana dia percaya bahwa pendidikan melalui institusi sekolah harus mewakili lingkungan sosial dan bahwa seorang peserta didik belajar paling baik ketika berada dalam lingkungan sosial yang alami (Flinders & Thornton, 2013). Ide-idenya berdampak pada pendidikan di sisi lain karena dia percaya bahwa semua peserta didik merupakan pembelajar yang unik. Pendidikan merupakan upaya untuk mendukung minat siswa yang dikembangkan melalui instruksi pendidik (Dewey, 1938). Pendidikan di sebagian besar ruang kelas saat ini adalah apa yang Dewey gambarkan sebagai pengaturan dan implementasi kelas tradisional. Dia percaya bahwa pengaturan kelas tradisional tidak sesuai dengan perkembangan untuk peserta didik (Dewey, 1938). Menurut Schiro (2012), Dewey percaya bahwa pendidikan adalah "bahan penting dalam perkembangan sosial dan moral" (hal. 174). Keyakinan dan filosofi Dewey tentang pendidikan dan pembelajaran telah berdampak pada pendidik yang tak terhitung jumlahnya selama bertahun-tahun dan dikembangkan di banyak teori pembelajaran seperti pendidikan progresif, konstruktivisme, teori yang berpusat pada peserta didik, pengetahuan dan pengalaman, yang semuanya berbeda dari apa yang Dewey gambarkan pengaturan sebagai ruang kelas tradisional yang umum diterapkan (Dewey, 1938; Schiro, 2012). Perspektif Teoritis Dewey (1938) menggambarkan pendidikan progresif sebagai produk ketidakpuasan dengan pendidikan tradisional. Dewey berpikir bahwa pendidikan yang efektif datang terutama melalui interaksi sosial dan bahwa lingkungan sekolah harus dianggap sebagai institusi sosial (Flinders & Thornton, 2013). Dia menganggap pendidikan sebagai “proses hidup dan bukan hanya merupakan persiapan untuk kehidupan masa depan” (Flinders & Thornton, 2013, p.35; Gutek, 2014). Pemikiran dan filosofis pendidikan Dewey memiliki pengaruh besar dalam dunia pendidikan, pada kurikulum pendidikan tradisional yang menuntut peserta didik harus patuh dan tidak memiliki kebebasan untuk mengeksplor lingkungan dan proses pendidikan yang dialami sehingga tidak cukup memadai dalam menyelesaikan persoalan, maka Dewey menperkenalkan sebuah metode pendidikan yang berbasis pengalaman atau yang umumnya dikenal dengan learning by doing (Dewey, 1838; Schiro, 2012). Menurut Dewey (1838), ia percaya bahwa sekolah harus mewakili kehidupan saat ini sebagai suatu yang nyata dan vital bagi seorang individu seperti dengan apa yang dilakukan di lingkungan keluarga, lingkungan rumah, maupun lingkungan bermain. Halaman dan ruangan kelas sebagai entitas sosial bagi seorang individu untuk belajar dan memecahkan masalah bersama sebagai sebuah komunitas merupakan implementasi pemikiran Dewey terkait konsep pendidikan. Di ruang kelas ini,



peserta didik dipandang sebagai individu yang unik dimana peserta didik dapat ditemukan sibuk bekerja membangun pengetahuan mereka sendiri melalui pengembangan makna pribadi, daripada mengarah kepada pengetahuan yang dipaksakan oleh pendidik melalui kegiatan yang dilaksanakan oleh pendidik (Schiro, 2013). Peserta didik akan terlihat belajar sambil bekerja di kelas ini dan mereka akan memecahkan masalah melalui pendekatan dan praktek pembelajaran langsung. Ketika pendidik merencanakan pengajaran dan pembelajaran, minat peserta didik akan dipertimbangkan dan diintegrasikan dengan pengembangan pembelajaran proyek. Pengalaman pendidikan meliputi pertumbuhan intelektual, sosial, emosional, fisik, dan spiritual seseorang secara keseluruhan, bukan hanya menekankan pada pertumbuhan akademik (Schiro, 2013).



Untuk lebih memahami, tontonlah video berikut: Teori Pendidikan John Dewey Play Video



4 Prinsip Pendidikan John Dewey



John Dewey Play Video



E.



JJ. Rousseau



Dalam tulisan Rousseau yang berjudul “emile” atau tentang “pendidikan”, Rousseau memberikan suatu ide pedagogis yang berdasarkan prinsip “Back To Nature”. Kosep pendidikannya menekankan pada kebudayaan yang melawan alam dan berhubungan erat dengan ajaran tentang negara dan masyarakat. Tugas pendidikan untuk membebaskan seorang individu dari pengaruh kebudayaan dan untuk memberi kesempatan kepada individu tersebut untuk mengembangkan potensinya sendiri secara alamiah atau spontan (Hamersma, 1984; Hadiwijono, 2002). Menurut Smith (1986) prinsip dasar pendidikan harus dikembangkan sesuai dengan sifat dan kebutuhan setiap individu dimana dorongan hati setiap seseorang tidak boleh dibatasi. Seorang anak lahir dalam keadaan yang baik, ia memiliki sifat jahat apabila ada pengaruh dari orang dewasa. Smith (1986) kembali menjelaskan bahwa penerapan bagi pendidik berdasarkan pandangan Rousseau adalah hanya boleh mengawasi gerak-gerik, reaksi terhadap lingkungan dan cara-cara peserta didik tersebut mengekspresikan diri dalam proses pembelajaran yang dialami. Pendidikan memiliki tiga sumber yaitu bersumber dari alam, berasal dari manusia, dan berasal dari hal-hal yang sangat disukai atau minat seseorang. Pembebasan untuk pengembangan pembelajaran dimana ide, minat dan pandangan serta kebutuhan seseorang dapat dipenuhi sebagai bagian dari



proses pendidikan. Peserta didik dipandang sebagai makhluk yang bebas, rasional, dan sebagai individu yang berkembang dan berpendidikan. Dan dalam proses pendidikan melibatkan kurikulum yang diwujudkan dalam proses belajar mengajar yang sesuai dengan konsep pendidikan kembali kea lam atau Back to Nature. Tidak hanya itu peran orang tua juga sangat di perlukan sebagai bagian dari proses pendidikan. Rousseau mengajukan pendidikan alam dimana artinya sesorang hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya atau secara alamiah, manusia atau masyarakat tidak banyak mencampurinya. Rousseau juga berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa dapat merusak pembawaan dan pengembangan anak. Aliran ini juga disebut aliran negativism, dengan kata lain pendidikan dipandang tidak diperlukan. Aliran negativism dapat berarti pula menyerahkan peserta didik ke alam, agar pembawaan yang baik itu tidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui proses dan kegiatan pendidikan. Hal ini dikarenakan ketika mendapatkan pengaruh baik maka akan menghasilkan yang baik, akan tetapi jika pengaruh itu buruk, maka akan buruk pula hasilnya. Untuk lebih memahami, tontonlah video berikut: Rousseau tentang Pendidikan Play Video



Introduction to Rousseau Play Video



F.



John Locke



Pemikiran John Locke memiliki dampak besar dalam sejarah filsafat yaitu tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuannya. Menurut Locke, proses manusia mendapatkan pengetahuannya adalah dari pengalaman (Tarcov, 1969). Locke berpendapat bahwa sebelum seorang manusia mengalami sesuatu, pikiran manusia itu belum berfungsi atau masih kosong. Hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan pemikiran yang sebelumnya telah diungkapkan oleh Descartes. Yang mana Descartes memiliki pemikiran bahwa sumber pengetahuan itu berasal dari akal. Artinya mereka meyakini bahwa manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berakal. Pemikiran John Locke diumpamakan melalui pikiran manusia yang hanya berupa lembaran kertas kosong atau dikenal dengan konsep tabula rasa. Melalui pengalaman yang dianggap sebagai bagian dari konsep pendidikan lah kertas tersebut akan terisi. Locke berpendapat bahwa cara manusia memperoleh pengetahuan itu dengan proses belajar yang meliputi percobaan atau experiment dan pengalaman atau experience yang melibatkan perasaan atau emosi yakni melibatkan pengalaman inderawi dan refleksi (Hadiwijono, 1985).



Seperti yang sudah kita ketahui bahwa pemikiran John Locke memiliki pengaruh yang sangat besar dalam berbagai bidang. Mulai dari bidang filsafat pengetahuan, politik, agama, bahkan psikologi. Pemikirannya mengenai proses pemrolehan pengetahuan manusia dari pengalaman terbukti dengan banyaknya pemikirannya mempengaruhi para filsuf setelahnya. Pemikirannya juga memberi dampak pada pengembangan praktek pendidikan yang terlihat pada berbagai upaya pengembangan praktek pembelajaran. Sedangkan dalam bidang psikologi, pemikiran John Locke berhasil memengaruhi dalam hal analisis pengalaman manusia berdasarkan unsur-unsur pengalaman, pengkombinasiannya, dan asosiasi-asosiasi yang terjadi.



Untuk lebih memahami, tontonlah video berikut: John Locke’s Thoughts on Education Play Video



John Locke’s Blank Slate Theory Play Video



Locke’s Empiricism Play Video



G. M. J. Langeveld



Martinus Jan Langeveld merupakan seorang ahli pedagogik yang lahir di Haarlem, Belanda pada 30 Oktober 1905. Langveld merupakan seorang yang berpengaruh di bidang pendidikan dan seorang pengembang Sekolah Fenomenologi Utrecht. Menurut Langveld (1971), Pendidikan ialah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada seseorang yang bertujuan kepada pendewasaan seseorang atau lebih tepat, membantu seseorang agar cukup dewasa dan cakap dalam melaksanakan tugas hidupnya secara mandiri. Pengaruh dan pengembangan tersebut datangnya dari orang dewasa atau diciptakan oleh orang dewasa, yaitu pendidik dan orang tua melalui institusi sekolah dimana melibatkan buku, peraturan hidup sehari-hari, dan sebagainya dan ditujukan kepada pengembangan orang yang belum dewasa. Pendidikan muncul dari adanya interaksi antara orang dewasa yaitu pendidik dan juga peserta didik yang berada dalam suatu kesatuan yang utuh dalam proses pendidikan. Pendidikan yang dilakukan secara sadar oleh orang dewasa didasari oleh nilai-nilai kemanusiaan yang diutamakan dan bukan



hanya sebatas transfer pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki orang dewasa kepada peserta didik (Hendrowibowo, 1994). Langeveld menjelaskan bahwa pedagogik atau ilmu mendidik merupakan suatu ilmu yang bukan hanya menelaah objeknya untuk mengetahui betapa keadaan atau hakiki objek tersebut, melainkan mempelajari pula bagaimana hendaknya harus bertindak terkait dengan objek tersebut. Atas dasar tersebut, maka ilmu mendidik disebut juga-seperti halnya dengan semua ilmu yang bersamaan sifatnya-suatu “ilmu praktis”. Tetapi biarpun demikian, namun dapat dibedakan ilmu mendidik teoritis daripada ilmu mendidik praktis. (Langeveld, 1971).



Untuk lebih memahami, tontonlah video berikut: Biografi Martinus Jan Langeveld Play Video



Tokoh-tokoh Pendidikan Dunia. Play Video



BAB IV SEJARAH DAN TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN YANG BERPENGARUH



A.



Sejarah dan pemikiran Ki Hajar Dewantara



Apakah Anda mengenal tokoh-tokoh Pendidikan Nasional yang berpengaruh kepada sejaran Pendidikan di Indonesia? Ki Hajar Dewantara adalah salah satu tokoh pendidikan yang berkontribusi besar terhadap pendidikan di Indonesia. Ia adalah tokoh pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari jaman penjajahan Belanda. Ia merupakan pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu Lembaga Pendidikan yang memberikan kesempatan kepada kaum pribumi yang pada saat itu tidak memperoleh hak pendidikan, agar bisa memperoleh hak Pendidikan seperti halnya para priyayi (golongan bangsawan atau keluarga kerajaan) maupun orang-orang Belanda pada saat itu. Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryadiningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga Pakualaman dan dibesarkan di lingkungan keraton Yogyakarta. Ki Hajar Dewantara menempuh Pendidikan di Europeesche Legere School (ELS) yang merupakan sekolah dasar pada jaman penjajahan Belanda. Setelah lulus dari ELS ia melanjutka pendidikannya di STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) di Batavia pada jaman Kolonial Hindia Belanda, namun ia tidak dapat menamatkan sekolah tersebut karena sakit. Ki Hajar Dewantara bekerja sebagai penulis dan wartawan di berbagai surat kabar pada saat itu, tulisan-, tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat anti kolonial. Ia juga aktif dalam organisasi sosial politik Boedi Oetomo sebagai seksi propaganda yang mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Pada tahun 1919 setelah kembali dari pengasingan di pulau Belanda selama 6 tahun, Ki Hajar Dewantara kembali ke Indonesia dan menjadi guru di sekolah binaan saudaranya. Pada tahun 1922 Ki Hajar Dewantara medirikan Sekolah Perguruan Nasional Taman Siswa yang menekankan pendidikan kebangsaan kepada para pribumi.



Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta pada masa lalu



Taman Siswa adalah sebuah organisasi pendidikan alternatif yang didirikan oleh Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara. Taman Siswa berdiri pada 3 Juli 1922 di kota Yogyakarta. Taman Siswa selalu menekankan prinsip nasionalisme dan kemerdekaan dalam pelaksanaan pendidikannya. Taman Siswa juga bersikap non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pendirian Taman Siswa merupakan bentuk perlawanan Ki Hadjar Dewantara terhadap deskriminasi pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam buku Munculnya Elite Modern Indonesia (2009) karya Robert Van Niel, pada masa Politik Etis (1901-1916), Belanda menerapkan sistem pendidikan bertingkat sesuai dengan status sosial masyarakat Indonesia. Rakyat jelata hanya diberikan pendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD), sedangkan kaum priyayi dan bangsawan Eropa diperbolehkan untuk menempuh pendidikan tinggi. Bahkan, banyak kaum priyayi yang mendapat akses untuk berkuliah di Eropa. Perguruan Taman Siswa saat ini Apakah konsep penting yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara? Beberapa konsep yang dikemukakannya antara lain: 1. Mengklasifikasikan tujuan pendidikan dengan istilah “tri-nga” (“nga” adalah huruf terakhir dalam abjad Jawa Ajisaka). Nga pertama adalah ngerti (memahami atau aspek intelektual), nga kedua ngrasa (merasakan atau aspek afeksi), dan nga ketiga adalah nglakoni (mengerjakan atau aspek psikomotorik). Menurutnya. pembelajaran harus mendidik anak menjadi manusia merdeka batin, pikiran dan tenaga; jangan terlalu mengutamakan kecerdasan pikiran karena akan memisahkan orang terpelajar dari rakyat. Konsep pendidikan “tri nga” ini masih sangat relevan sampai saat ini dan setara dengan Taksonomi Bloom dengan tiga domain Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik. Ketiga domain tujuan pembelajaran ini secara simultan harus menjadi capaian pembalajaran para pemelajar siswa, jangan hanya menekankan aspek konitif saja (pengetahuan) atau aspek psikomotor (keterampilan) saja. 2. Konsep lain yang dikemukakannya adalah “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Konsep ini berbicara tentang peran guru yang di depan memberikan teladan, di tengah membangun kekuatan dan terus berkarya, dan di belakang memberikan dorongan. 3. Satu lagi pemikiran penting dari Ki Hajar Dewantara adalah Sistem pendidikan dan pembelajaran di Indonesia harus disesuaikan dengan kepentingan rakyat, nusa dan bangsa, kepentingan hidup kebudayaan dan hidup kemasyarakatan dalam arti yang seluas-luasnya.



Untuk mempelajari lebih jauh mengenai biografi Ki Hajar Dewantara dan konsep Pendidikan yang diajukannya, Anda dapat membaca pada link berikut ini: Klik disini untuk melihat sumber bacaan pendukung!



Bacalah artikel jurnal yang berjudul “Konsep Pendidikan Taman Siswa Sebagai Dasar Kebijakan Nasional Merdeka Belajar di Indonesia” pada link berikut: Klik disini untuk melihat sumber bacaan pendukung! Kajilah artikel tersebut dan berikan penjelasan mengapa konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara, masih relevan dengan kebijakan pendidikan pada saat ini!



B.



Sejarah dan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan



Salah satu tokoh Pendidikan nasional yang penting adalah Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (1Agustus 1868 – 23 . Februari 1923). Ia adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Muhammadiyah. Dia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu. Pada umur 15 tahun, Ahmad Dahlan pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Bacalah sejarah tokoh pendiri Muhammadiyah pada link berikut: Klik disini untuk melihat sumber bacaan pendukung!



Sekolah Muhammadiyah dan KH Ahmad Dahlan sebagai pendirinya



Konsep pendidikan menurut K.H. Ahmad Dahlan bahwa: 1. Tujuan pendidikan berupa pembentukan kepribadian serta menjadi manusia unggul. Pendidik bagi K.H. Ahmad Dahlan harus bisa memberi contoh kepada peserta didik. 2. Peserta didik harus mempunyai ilmu yang dapat diamalkan dalam kehidupan sehari hari serta memiliki kemampuan. Kurikulum pendidikan K.H. Ahmad Dahlan bersumber dari al-Quran dan Hadis, 3. Materi Pendidikan meliputi pengajaran al-Quran dan Hadits, membaca, menulis, menghitung, ilmu bumi. materi Al-Quran dan Hadits seperti ibadah, persamaan derajat, Akidah, Akhlak. 4. Metode pendidikan yang dilakukan berupa metode sorogan, bandongan dan wetonan menjadi bentuk madrasah atau sekolah dengan menerapkan metode belajar secara klasikal. 5. Bentuk evaluasi tidak perlu dilaksanakan secara gamblang atau eksplisit dalam bentuk tes, akan tetapi hasil belajar siswa dapat dilihat dari diamalkannya materi yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan konsep asesmen alternatif atau asesmen otentik yang sekarang ini banyak diterapkan dalam mengevaluasi hasil belajar.



SMA I Muhammadiyah masa kini di Yogyakarta



Kiyai Haji Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai pendiri organisasi keagamaan dengan nama Muhammadiyah yang berdiri sejak tahun 1912, merupakan organisasi keagamaan yang di anut oleh jutaan ummat di seluruh Nusantara. Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, merupakan organisasi sebagai sarana dakwah, dengan pendekatan secara rasional, sehingga tidak bisa kita pungkiri, bahwasanya sarana dakwah dari organisasi Muhammadiyah ini lebih pada masyarakat perkotaan. Untuk mengenal lebih jauh tentang tokoh Kyai Haji Ahmad Dahlan dan pendirian Muhammadyah, tontonlah video pada pada link berikut ini: Play Video



Setelah menyaksikan video tersebut, berikanlah pendapat Anda untuk pertanyaan berikut ini: 1. Pembaharuan Pendidikan apakah yang dilakukan oleh KH.Ahmad Dahlan?



2. Setelah Anda telah mengenal konsep pendidikan dari Kyai Haji Ahmad Dahlan, bacalah artikel berikut ini yang berjudul “Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam dan Pendidikan” pada link berikut ini: Klik disini untuk melihat sumber bacaan pendukung! Kajilah konsep Pendidikan KH Ahmad Dahlan yang manakah yang masih relevan dengan Pendidikan saat ini? Berikanlah pendapat anda secara jelas dan singkat!



3. Mengapa banyak pihak yang menentang pembaharuan yang dilakukan oleh KH.Ahmad Dahlan? Jelaskan secara singkat pihak mana saja dan apa alasannya!



C.



Sejarah dan Pemikiran M. Syafei



Tokoh Pendidikan Nasional lainnya yang cukup terkenal dan memberikan kontribusi pada Pendidikan di Indonesia adalah Mohammad Syafei. Ia lahir tahun 1893 di Ketapang (Kalimantan Barat) dan diangkat jadi anak oleh Ibrahim Marah Sutan dan ibunya Andung Chalijah. Kemudian dibawa pindah ke Sumatra Barat dan menetap di Bukit Tinggi. Marah Sutan adalah seorang pendidik dan intelektual ternama. Dia sudah mengajar di berbagai daerah di nusantara pindah ke Batavia pada tahun 1912 dan aktif di Indische Partij. Pendidikan yang ditempuh Moh.Syafei adalah sekolah raja di Bukit Tinggi dan kemudian belajar melukis di Batavia (Jakarta) sambal mengajar di Sekolah Kartini. Pada tahun 1922 Moh.Syafei menuntut ilmu ilmu keguruan di Negara Belanda dengan tujuan agar Syafei bisa membuka sekolah untuk kaum bumiputera, ia bersekolah dengan biaya sendiri. Di nengeri Belanda ia bergabung dengan “Perhimpunan Indonesia” sebagi Ketua seksi Pendidikan. ada tahun 1922 menuntut. Syafei akhirnya mendirikan sekolah Indonesische Nederland School (INS) pada tanggal 31 Oktober 1926 di Desa Kayutanam, Padang Pariaman, Sumatera Barat. Sekolah ini didirikan sebagai reaksi terhadap sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Untuk mengetahui lebih jauh tentang Mohammad Syafei, bacalah artikel “Engku Mohammad Syafei melawan system pendiidkan Belanda dengan INS Kayu Tanam” pada link berikut ini: Klik disini untuk melihat sumber bacaan pendukung!



Indonesisch Nederlandsche School (INS) Kayu Tanam, Sumatera Barat



Sjafei pernah merantau ke Belanda atas usaha sendiri untuk belajar di sana. Dari negeri Belanda, Sjafei memperoleh empat ijazah: ijazah guru Eropa, menggambar, pekerjaan tangan, dan musik. Di samping itu ia ikut aktif dalam organisasi pelajar yang didirikan oleh Mohammad Hatta yaitu ”Indonesische Vereeniging” dan menjadi redaktur rubrik pendidikan pada organisasi itu. Setelah sering berdiskusi, Hatta dan Sjafei sepakat soal pentingnya pendidikan bagi kemerdekaan. Tak heran jika Sjafei menolak tawaran mengajar di sekolah pemerintah dan memilih membangun sekolah sendiri. Sjafei bertekad mendirikan sebuah sekolah yang dapat mengembangkan bakat-bakat murid-muridnya dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat Indonesia. Di Kayutanam-lah ia mendirikan sekolah yang dimaksud. Dalam memimpin sekolahnya, ia akan menolak secara keras bantuan dari luar, terutama bila bantuan tersebut bersifat mengikat dan tidak memberinya kebebasan. Semua bangunan dan fasilitas sekolah adalah hasil buah karya dan kemandirian murid-muridnya sendiri. INS Kayutanam dikategorikan sebagai sekolah kejuruan. Semboyannya sangat terkenal: “Apa yang saya dengar saya lupa, apa yang saya lihat saya ingat dan yang saya perbuat saya tahu.” Muridmuridnya yang pertama, sebanyak 110 orang, tidak duduk di bangku, melainkan di atas tikar. Keadaan seperti itu berlangsung selama 9 bulan. Setelah itu, secara bergotong royong, murid-murid mendirikan sebuah bangsal yang sederhana di tengah-tengah kebun kopi. Bangsal tersebut dijadikan 4 kelas dimana saat itu muridnya sudah bertambah menjadi 200 orang. Pada masa Jepang singkatan INS berubah menjadi “Indonesia Nippon Sekolah” dan setelah proklamasi, disesuaikan dengan Indonesia Nationale School (INS). Adapun tujuan sekolah yang diselengarakan oleh Mohammad Syafei adalah: (1) mendidik anak-anak agar mampu berpikir secara rasional, (2) mendidik anak-anak agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh-sungguh, (3) mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang berwatak baik, (4) menanamkan rasa persatuan. Pandangan Syafei tentang pendidikan bahkan telah melampaui zamannya mengenai peranan pendidikan dasar bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Untuk mengetahui lebih jauh, saksikanlah video berikut dengan judul “Muhammad Syafei Tokoh Terlupakan Pendiri Sekolah Bumiputera Pertama” pada link: Play Video



Setelah menonton video tersebut, diskusikan pertanyaan berikut dalam kelompok Anda masing-masing dan berikan jawabannya: 1. Apakah yang dimaksud oleh M.Syafei bahwa Pendidikan ingin menghilangkan verbalisme? Apakah masih relevan hingga saat ini, bagaimana contohnya? 2. Bagaimanakan Pendidikan yang mengutamakan proses? Apakah kaitannya dengan pendekatan proses atau keterampilan proses saat ini? Berikanlah contohnya!



INS Kayu Tanam saat ini di Padang Pariaman, Sumatera Barat Sebagaimana diketahui, konsep pendidikan Sjafei tak sekedar mendidik nalar menjadi pintar, melainkan harus ditambahkan kekuatan jiwa, antara lain kebangsaan. “Pertolongan untuk keluar dari keaktipan yang rendah itu ialah pendidikan dan pengajaran yang efektif. Artinya pendidikan dan pengajaran yang mengandung sekalian inti-inti dari tjita-tjita bangsa Indonesia! Inti-inti dari cita-cita kebanggaan itu terdiri dari sejumlah sistem nilai yang menjiwai suasana bathin dan perilaku anakbangsa seperti kemandirian, dalam arti percaya diri, siap menjadi diri sendiri, berani berdiri di atas kaki sendiri dalam arti tidak tergantung pada orang lain. Dalam bahasa Belandanya ialah op zijn eigen benen kunnen staan; aktif-kreatif dan inisiatif, berkecakapan untuk mencipta dan bukan menjadi “pak tiru” bulat-bulat, “berperasaan” tanggung djawab akan keselamatan negara dan bangsa Indonesia dan kemanusiaan; berkeyakinan demokrasi dalam hak dan kewadjiban berjasmani sehat, ulet tajam berpikir serta logis, berperasaan halus dan tajam. Jika diringkas, beberapa dasar pendidikan yang diletakkan oleh Mohammad Syafei adalah: 1. Berpikir logis dan rasional dan meninggalkan cara berpikir mistik dan takhayul, isi pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan kegunaan hasil Pendidikan untuk kemajuan masyarakat. 2. Dengan sekolahnya yakni INS Kayutanam ingin menghilangkan penyakit pendidikan pada waktu itu, yaitu verbalisme. Pendidikan yang diajarkan oleh Syafei di INS Kayutanam menanamkan rasa percaya diri dan bertanggung jawab siswa. 3. Menekankan pentingnya pendidikan karakter dalam sekolah, mensinergikan antara akademik, kreativitas, dan akhlak mulia di INS Kayutanam. Gagasan Mohammad Syafei ini menjadi contoh yang bagus dalam penerapan pendidikan karakter di sekolah-sekolah.



Dari beberapa konsep Pendidikan yang dikemukakannya, dapat disimpulkan bahwa M. Syafei sudah menerapkan student center learning dan link and match dalam Pendidikan. Unsur kebangsaan amat kuat dalam pemikiran Moh. Sjafei. Di sini dijumpai semangat zaman yang menjiwai pemikiran pendidikannya, yaitu semangat nasionalisme anti-kolonial. Semua ini tercermin dari paradigma pendidikan yang dikembangkannya, yang kesemuanya diarahkan untuk memperkuat karakter bangsa. Selepas proklamasi Indonesia, Sjafei masuk politik. Pada 1946 ia diangkat menjadi menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) dalam Kabinet Syahrir yang kedua menggantikan Todung Sutan Gunung Mulia. Kemudian ia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan pada 1950 menjadi anggota parlemen. Ia pernah mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari IKIP Padang pada tahun 1968. Syafei meninggal dunia pada tanggal 5 Maret 1969. Last modified: Wednesday, 2 February 2022, 2:49 PM



BAB III HUBUNGAN DAN PERANAN PENDIDIKAN DALAM BIDANG SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN BUDAYA



A. PENDAHULUAN Tema utama



Sub tema



Apa yang dilakukan dan bagaimana



PENDIDIKAN Area kunci dalam ekonomi dan pendidikan : DAN EKONOMI 1. Pendidikan sebagai modal manusia (Human Capital) dan pertumbuhan ekonomi (pertanyaannya: apakah pendidikan menyebabkan/mempengaruhi pertumbuhan ekonomi?) 2. Efisiensi dalam produksi pendidikan (bagaimana para ekonom menerapkan standar kesuksesan kebijakan ekonomi?) 3. Pangsa kerja guru – bagaimanakah membuat kebijakan yang meningkatkan fungsi pasar tenaga kerja guru? 4.



Reformasi pasar dalam pendidikan Kegiatan : Harga dan keuntungan pendidikanmu



Pendidikan sebagai modal manusia (Human Capital) dan pertumbuhan ekonomi (pertanyaannya: apakah pendidikan menyebabkan/mempengaruhi pertumbuhan ekonomi?)



Para ekonom melakukan analisis cost-benefit dalam dunia pendidikan untuk menentukan apakah kegiatan pendidikan itu merupakan investasi yang layak. Untuk itu marilah kita berpikir seperti ekonom dengan memikirkan cost yang anda keluarkan dalam perkuliahan yang anda sekarang akan memberikan keuntungan di masa yang akan datang. Secara individual : Tulislah berapa uang perkuliahan yang anda bayar tiap semester. Mungkin terlihat banyak sekali, namun kemungkinan pemerintah memberikan subsidi terhadap kuliahmu ini. Carilah di internet untuk mengetahui berapa



pemerintah berkontribusi mensubsidi kuliahmu? Biaya terbesarmu sebenarnya adalah penghasilan yang hilang yang mungkin anda peroleh jika anda tidak kuliah. Tulislah beberapa pekerjaan yang mungkin anda bisa dapatkan bila anda tidak kuliah. Caritahulah kira-kira berapa total penghasilan yang anda peroleh dari pekerjaan ini selama anda kuliah. Sekarang mari kita daftar manfaat kuliah. Pertama tulislah semua pengetahuan, keterampilan, kompetensi dan sikap yang kamu dapatkan selama kamu kuliah. Tulislah pekerjaan yang anda harap anda dapatkan ketika kamu menyelesaikan perkuliahan. Carilah berapa gaji yang kamu dapatkan. Berapa selisih banyaknya uang yang kamu dapatkan dibanding dengan pekerjaan yang kamu lakukan (yang tadi kamu cari) dibanding kalau kamu tidak kuliah? Apa keuntungan non uang yang mungkin kamu dan masyarakat dapatkan sebagai hasil dari pendidikanmu? Dalam kelompok yang berbeda prodi : Buatlah kelompok yang terdiri dari berbagai prodi. Silahkan saling sharing hasil analisismu. Bandingkan hasil pendidikanmu dengan hasil pendidikan dari prodi lain. Apakah ada pekerjaan yang menurutmu tidak dibayar besar walau pun keuntungannya besar bagi masyarakat?



Efisiensi dalam produksi pendidikan Kegiatan : Meningkatkan (bagaimana para ekonom menerapkan efisiensi dalam pengajaran di standar kesuksesan kebijakan ekonomi?) universitas Di universitas, mahasiswa biasanya diajar dengan berbagai macam metode mengajar termasuk kelas besar, kelompok kecil (dalam praktek misalnya) dan kegiatan belajar mandiri. Misalnya universitas kita akan meningkatkan efisiensi pengajaran dengan melakukan pengorganisasian ulang pengajaran. Hal itu bisa dilakukan dengan 1) mengubah metode metode perkuliahan 2) mengubah ukuran kelas 3) cara kuliah yang digunakan. Misalnya menejemen kampus ingin meningkatkan kualitas perkuliahan dengan tetap menjaga anggaran yang ada. Apakah hal ini dimungkinkan? Misalnya terjadi pemotongan anggaran. Bagaimana hal ini bisa dilakukan sambil meminimalisir kualitas? Pangsa kerja guru – bagaimanakah membuat kebijakan yang meningkatkan fungsi pasar tenaga kerja guru? Reformasi pasar dalam pendidikan Tokoh luar : amartya Sen ; Capabilities Tokoh Indonesia : Moh Syafei (pendidikan vokasi) Tokoh UNJ : Sudiarto – budgeting dalam pendidikan PENDIDIKAN Area kunci dalam Politik dan pendidikan : DAN POLITIK · 
Privatisasi dalam pendidikan- kaitkan dengan GATTS · Praktek pendidikan sebagai praktek politik : bagaimana pemerintah dan oposisi dalam masyarakat mempengaruhi pendidikan – misal dalam pendidikan seks, dalam kebijakan pendidikan gratis
 · 
 Privatisasi dalam pendidikan- Diskusi: kaitkan dengan GATTS



Misalnya pemerintah mengumumkan reformasi di tempat tinggalmu dengan mengijinkan perusahaan swasta atau organisasi masyarakat mendirikan sekolah dan mendapatkan keuntungan dari pendidikan yang mereka bangun dan dapat memilih murid mana yang bisa masuk ke sekolah itu serta membuat kurikulum mereka sendiri. Menurutmu siapa yang mungkin membangun sekolah seperti itu? bisakah kamu memikirkan perusahaan, organisasi keagamaan atau organisasi lain? Sekolah ini akan seperti apa? Seberapa besar sekolah ini? Apakah bentuknya sekolah umum atau sekola khusus? Apa saja bayaran yang akan mereka tarik? 
mengapa? Apakah akan mempengaruhi sekolah negeri yang ada di area itu? apakah sekolah negri itu akan bisa bersaing dengan sekolah tersebut? Siapa yang akan mendapatkan keuntungan dari sekolah swasta ini? Siapa yang mungkin masuk ke sekolah itu? Praktek pendidikan sebagai praktek politik : bagaimana pemerintah dan oposisi dalam masyarakat mempengaruhi pendidikan – misal dalam pendidikan seks, dalam kebijakan pendidikan gratis Tokoh luar ; John Dewey education for democracy Tokoh Indoensia : Ki Hajar Dewantara Pendidikan melawan kolonialisme Tokoh ; Freire Pendidikan untuk kaum tertindas



PENDIDIKAN Konsep Kunci dalam pendidikan dan sosial budaya : DAN SOSIAL BUDAYA Keragaman dan ketidakadilan sosial serta dampaknya pada proses dan hasil pendidikan. 
(Bagaimana secara sosial kelompok-kelompok dalam masyarakat yang berbeda mencapai hasil yang berbeda sebagai hasil dari pendidikan? Apakah identitas sosial mempengaruhi pembelajaran dan prestasi?) 
 Bagaimana hubungan antara kelas sosial dan prestasi sekolah mempengaruhi tujuan nasional dalam mempengaruhi kesempatan yang setara bagi semua siswa dalam pendidikan? Mass media and education (Bagaimana televisi, internet, medsos dan media massa lain mempengaruhi pendidikan –murid, guru, kurikulum? Bagaimana aspek-aspek budaya pop/anak muda mempengaruhi sekolah? Pola kultural yang mempengaruhi pendidikan : Bagaimana kebijakan pendidikan Indonesia memperlihatkan sudut pandang kelompok dominan dalam masyarakat pada waktu tertentu? 
 Keragaman dan ketidakadilan sosial Carilah batasan kelas sosial di serta dampaknya pada proses dan hasil Indonesia pendidikan. 
(Bagaimana secara sosial kelompok-kelompok dalam masyarakat Kegiatan : Keadilan akses di yang berbeda mencapai hasil yang pendidikan tinggi. berbeda sebagai hasil dari pendidikan? Apakah identitas sosial mempengaruhi Lihatkan tabel mengenai kelompok pembelajaran dan yang sekolah. Berapa percen prestasi?) 
 Bagaimana hubungan kelompok mana. Kelompok mana antara kelas sosial dan prestasi sekolah yang bisa meneruskan kuliah – mempengaruhi tujuan nasional dalam misal tabel persekolahan per mempengaruhi kesempatan yang setara provinsi/gender/kelas sosial bagi semua siswa dalam pendidikan? Bisa juga data dropout apakah tabel tersebut memperlihatkan kebijakan pendidikan yang adil? Mengapa? Mengapa tidak? Informasi apa yang kalian perlukan mengenai kelompok ini yang bisa membantumu memutuskan apakah kebijakan pendidikan Indonesia adil atau tidak? Mengapa menurutmu kelompok …. Banyak yang tidak meneruskan ke pendidikan tinggi? Jenis kebijakan seperti apa yang memungkinkan kelompok ini bisa



mengakses pendidikan yang lbih adil? Aktivitas : Kunjungan sekolah Kunjungilah sebuah sekolah yang siswanya berasal dari kelas sosial yang berbeda dari sekolahmu. Apa perbedaan yang kamu lihat? Bagaimana perbedaan ini akan mempengaruhi prestasi? Diskusi : Jika populasi dari kelas menengah menurun dan kelas bawah meningkat, maka guru akan lebih banyak mengajar anak dari kelas bawah. Apa potensi hambatan berprestasi bagi siswa kelas bawah? Bagaimana kamu sebagai kaum profesional membantu guru menghadapi situasi ini secara efektif? Mass media and education (Bagaimana televisi, internet, medsos dan media massa lain mempengaruhi pendidikan – murid, guru, kurikulum? Bagaimana aspek-aspek budaya pop/anak muda mempengaruhi sekolah? Pola kultural yang mempengaruhi pendidikan : Bagaimana kebijakan pendidikan Indonesia Tokoh luar : Bordieu Tokoh indoensia : Kartini : pendidikan bagi kaum perempuan Tokoh UNJ : Coni Semiawan : pendidikan anak Tilaar : Pendidikan sebagai proses pembudayaan



Daftar Pustaka



Barry Dufour and Will Curtis. (2011) Studying Education AN INTRODUCTION TO THE KEY DISCIPLINES IN EDUCATION STUDIES Edited by McGrawHill. Open University Press Last modified: Wednesday, 2 February 2022, 2:42 PM



BAB II TUJUAN, FUNGSI, DAN URGENSI PENDIDIKAN BAGI PENGEMBANGAN KARAKTER, BUDAYA, DAN PERADABAN MANUSIA



A. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan merupakan komponen yang penting karena berfungsi sebagai pemberi petunjuk arah kegiatan pendidikan dan sebagai hal yang ingin dicapai dari kegiatan pendidikan. Secara hirarkis, tujuan pendidikan yang terjabarkan dalam kurikulum dapat diklasifikasikan menjadi : A. Tujuan Nasional B. Tujuan Institusional C. Tujuan Kurikuler D. Tujuan Pembelajaran Umum dan Khusus.



Tujuan pendidikan nasional telah termaktub dalam Undang–Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 31 ayat 3 dan Pasal 31 ayat 5. Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 3 menyebutkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang” dan pada pasal ayat 5 menyebutkan “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional juga untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Oleh sebab itu, tujuan pendidikan nasional dapat dikatakan berdasar pada cita – cita luhur dalam Pancasila. Secara umum, tujuan pendidikan dapat diartikan sebagai seperangkat hasil pendidikan yang dicapai oleh peserta didik setelah diselenggarakan kegiatan pendidikan. Menurut Plato, tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari tujuan negara dan politik karena tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia warga negara yang baik. Menurut Kohnstamm, tujuan pendidikan adalah proses pemanusiaan diri sendiri agar mencapai ketentraman batin, tanpa menganggu, dan membebani orang lain.[1] Terkait dengan teori Plato, M.J. Langeveld (Hasbullah:2011) mengemukakan pemikirannya, bahwa Pendidikan merupakan



upaya dalam membimbing manusia yang belum dewasa kearah kedewasaan. Pendidikan adalah suatu usaha dalam menolong anak untuk melakukan tugas-tugas hidupnya, agar mandiri dan bertanggung jawab secara susila. Pendidikan juga diartikan sebagai usaha untuk mencapai penentuan diri dan tanggung jawab.



B. Fungsi Pendidikan Dalam Undang Undang Nomor .20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, fungsi pendidikan digabungkan dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan pada Pasal 3, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Fungsi pendidikan di sini bukan hanya untuk meningkatkan kapasitas akademik tetapi lebih jauh adalah untuk mengembangkan kapasitas kepribadian peserta didik. Menurut Tilaar (2015), fungsi pendidikan, termasuk lembaga pendidikan, adalah membangun, mengembangkan pribadi - pribadi peserta didik agar menjadi manusia susila dan cakap serta warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa dan tanah air Indonesia. Paulo Freire berpendapat bahwa proses pendidikan sebagai proses penyadaran agar terjadi dialektika terhadap tindakan manusia dan terhadap obyektifikasi dunia di mana dia hidup (Tilaar, 2015)[2]. Dengan kata lain, pendidikan menumbuhkan kesadaran/konsientasi sehingga manusia, sesuai dengan fungsi pendidikan, dapat mengembangkan diri tanpa dihalangi oleh sekat pembatas/kekuasaan . Menurut Horton dan Hunt (2006), pendidikan memiliki dua fungsi. Fungsi yang pertama adalah fungsi nyata (manifes) dengan rincian sebagai berikut: · Mempersiapkan anggota warga untuk mencari nafkah. · Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan untuk kebutuhan warga. · Melestarikan kebiasaan istiadat. · Menanamkan keterampilan yang perlu untuk partisipasi dalam demokrasi.



Fungsi kedua pendidikan adalah Fungsi laten yang terdapat dalam lembaga pendidikan sebagai berikut. · Mengurangi pengendalian orang tua. Menempuh pendidikan, sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah. · Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah mempunyai potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan di warga. Hal ini tercermin dengan hal telah tersedia perbedaan pandangan sela sekolah dan warga tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.



· Mempertahankan sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise, privilese, dan status yang telah tersedia dalam warga. Sekolah juga diharapkan menjadi arus mobilitas siswa ke status sosial yang semakin tinggi atau paling tidak sesuai dengan status orang tuanya. · Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya. Menurut David Popenoe (Maryati ;2007), pendidikan memiliki 4 fungsi yang termanifestasikan dalam tujuan pendidikan dimana fungsi – fungsi tersebut terdiri dari : ·



Fungsi Transmisi (pemindahan) kebudayaan dan sosialisasi.



Untuk dapat hidup bersama dalam suatu masyarakat, maka anak sebagai individu harus mengetahui dan memahami nilai – nilai dan norma sosial yang berlaku. Pendidikan berfungsi untuk mewariskan nilai – nilai dan norma tersebut dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Adapun proses mempelajari nilai dan norma yang berlaku ini disebut sebagai sosialisasi. Institusi sosial seperti keluarga dan sekolah “bertugas” untuk menjalankan fungsi ini. Contohnya dalam mensosialisasikan nilai kejujuran, keluarga melalui orang tua mengajarkan anak untuk tidak berbohong yang kemudian diperkuat sekolah melalui guru yang mengajarkan anak untuk tidak mencontek. ·



Menjamin integrasi sosial.



Agar masyarakat dapat bekerja sebagaimana mestinya, tanpa muncul konflik yang merugikan kehidupan sosial, maka individu harus mengikuti nilai-nilai yang telah diyakini bersama. Proses mengikuti atau ikut meyakini nilai-nilai yang telah diikuti oleh individu atau kelompok lain dalam masyarakat disebut sebagai proses integrasi sosial. ·



Mengajarkan corak kepribadian atau penempatan sosial



Pendidik melakukan proses identifikasi terhadap anak didik terkait kepribadian, karakter, keterampilan dan keahliannya. Proses identifikasi ini menentukan penempatan pada posisi sosial yang mana anak didik kelak berlabuh. Sebagai contoh, individu yang dididik ilmu keagamaan, maka penempatan yang sesuai adalah di Institusi lembaga pendidikan Agama, atau dimanapun individu tersebut bisa berkontribusi pada lembaga agama. ·



Sumber inovasi sosial.



Fungsi pendidikan sebagai inovasi sosial terkait erat dengan segala macam penemuanpenemuan baru di berbagai bidang yang mempengaruhi kehidupan sosial. Kita tidak bisa berharap adanya penemuan-penemuan baru yang mengubah dunia baik dalam skala kecil atau pun besar apabila individu yang terlibat dalam penemuan tidak mengalami proses pendidikan terlebih dahulu. klik disini untuk melihat sumber bacaan pendukung! C. Urgensi Pendidikan dalam Pengembangan Karakter



Pribadi - pribadi tersebut tentunya merupakan pribadi - pribadi yang takwa terhadap Tuhan YME, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, berilmu, kreatif, dan memiliki rasa kebangsaan yang mantap (Tilaar, 2015). Menurut Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), karakter didefinisikan sebagai bawaan hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, temperamen, watak. Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan and Bohlin, 1999: 5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols dan Shadily, 1987: 214). Secara terminologis, karakter menurut Lickona, (1991:51). adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way. Karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Karakter bukanlah sekedar hasil dari sebuah tindakan melainkan secara simultan merupakan hasil dan proses (Santrock, 2008). Lebih lanjut dikatakan oleh Doni Koesoema (2007), pengembangan karakter merupakan proses terus-menerus, karakter bukanlah kenyataan, melainkan keutuhan perilaku, karakter bukan hasil atau produk melainkan usaha hidup. Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991). Pada dasarnya secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Dalam pandangan Paterson & Seligman (2004) karakter merupakan spirit dari kepribadian yang merupakan pengembangan dari perspektif psikologi pendidikan tentang karakter yang dikemukakan Crobanch (1970) bahwa karakter merupakan aspek kepribadian. Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena hal inilah yang akan membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya, serta bermartabat. Jika pembangunan karakter tidak dilakukan maka bangsa Indonesia akan mnejadi bangsa kuli atau buruh (Hermino:2014). Terkait dengan aspek kepribadian, diperlukan adanya penguatan pendidikan moral (moral education) atau pendidikan karakter (character education). Penguatan pendidikan karakter dalam konteks situasi sosial masyarakat saat sekarang, cukup relevan untuk mengatasi krisis moral yang melanda negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan pada anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obatobatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain. Kondisi yang digambarkan tentang masyarakat sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara



tuntas, oleh karena itu perlu adanya pemikiran dan upaya untuk mewujudkan betapa pentingnya pendidikan karakter. Menurut Lickona (Hunt:2006), karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Bagan di bawah ini merupakan bagan keterkaitan ketiga kerangka pikir dari Lickona.



Gambar: Keterkaitan antara komponen moral dalam rangka pembentukan karakter



Secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Pengertian pendidikan karakter menurut Lickona adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Masih terkait dengan konsep Karakter, di dalam kamus psikologi, karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo, 1982: p.29). Dalam pendidikan pengembangan karakter, seluruh lingkungan pendidikan sangat berperan. Pendidikan watak (makna sama dengan karakter) yang telah dialami oleh peserta didik di sekolah dapat diperkuat dengan pendidikan informal yang berlangsung dalam keluarga. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa bila tujuan pendidikan menyebutkan perkembangan manusia seutuhnya maka lingkungan pendidikan yang formal, informal, dan nonformal akan mempunyai peranan yang kurang lebih “sama” (Barnadib, 2002). D. Urgensi Pendidikan Dalam Budaya Secara etimologis, kata “budaya” berasal dari bahasa Sanskerta, budhayah, yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal (Setiadi, Hakam & Effendi, 2006). Budaya merupakan hal yang diturunkan/diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang melalui proses enkulturasi (pembudayaan) yang dilakukan di semua lingkup lingkungan pendidikan, yaitu formal, informal, dan nonformal. Ada beberapa definisi kebudayaan menurut para ahli, antara lain (dalam Setiadi, Hakam & Effendi, 2006) : 1. E.B. Tylor : budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. 2. Ralph Linton : kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, di mana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.



3. Koentjaraningrat : kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar. 4. Ki Hadjar Dewantara : buah budi manusia, hasil perjuangan manusia terhadap alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya, dalam mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai (Tilaar, 2015). Kebudayaan sebagai blueprints dan pedoman manusia dalam bertingkahlaku dan menjalankan setiap aspek kehidupannya pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Menurut Ki Hadjar Dewantara (dalam Tilaar, 2015), pendidikan adalah suatu usaha untuk memberikan segala nilai - nilai kebatinan, yang ada dalam hidup masyarakat yang berkebudayaan, kepada tiap - tiap turunan baru (penyerahan kultur) tidak hanya berupa penyuaraan, akan tetapi juga termasuk memajukan serta memperkembangkan kebudayaan, menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan. Pendidikan dan kebudayaan pun sebenarnya bukanlah hal yang baru karena pada dasarnya dalam suatu masyarakat sudah terjadi dan mengenal sistem pendidikan dalam bentuk kearifan lokal (local wisdom) (Tilaar, 2015) dimana kearifan lokal tersebut berakar dari nilai – nilai budaya. Profil karakteristik masyarakat Indonesia antara lain adalah beragama, yaitu berke-Tuhan-an YME dan memiliki kebudayaan nasional. Memperhatikan hal tersebut maka pendidikan yang dikembangkan di Indonesia harus berakar pada nilai- nilai agama dan kebudayaan sehingga pendidikan dapat meningkatkan kualitas hidup bangsa secara utuh, tidak menimbulkan kesenjangan sosial budaya, dan menguatkan identitas bangsa (Wahyudin, 2008). Budaya dan Pendidikan saling terkait satu sama lain. Budaya memiliki dukungan yang besar dalam dunia pendidikan. Sumbangan nilai-nilai budaya dalam pendidikan merupakan cerminan wujud seluruh unsur yang terdapat di dalam suatu kebudayaan. Tanpa adanya budaya maka sikap, moral, dan keterampilan pada peserta didik tidak akan bisa diterapkan dalam kehidupan sosial. Wujud penerapan budaya dapat disalurkan melalui : Diri sendiri atau Individu Pada diri seseorang pasti mengetahui tingkat pendidikan yang ada pada dirinya sendiri, kemudian diri sendiri itu berusaha untuk memengaruhi orang-orang terdekat agar dapat melakukan hal yang sama, budaya seperti itu termasuk dalam budaya sosial. Keluarga Lingkungan keluarga merupakan lembaga utama dalam pendidikan, orang tua selalu memberikan gambaran pada diri anak, kehidupan pada anak sangat bergantung pada orang tua. Oleh karena itu orang tua harus mengajarkan budaya yang baik pada diri anak, agar mempunyai pendidikan yang baik juga. Sekolah Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sekolah hanyalah pembantu kelanjutan pendidikan dalam keluarga karena pendidikan yang utama adalah dalam lingkup keluarga, orang tua harus memotivasi dan membimbing anak



dalam belajar. Sekolah terdiri dari pendidik dan anak didik yang melalui proses pendidikan, suatu bangsa berusaha untuk mencapai kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, politik, teknologi dan bidang kehidupan budaya lainnya. Lingkungan masyarakat Tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat, pendidikan dan budaya tidak dapat berkembang dan tumbuh sebagaimana yang di harapkan. Pada dasarnya, masyarakat selalu tumbuh dan berkembang. Suatu masyaratkat maju karena adanya pendidikan yang maju dan bisa menerapkan nilai budaya yang baik.



Nomor



1



Fungsi Pendidikan Budaya



Memperkenalkan, memelihara dan mengembangkan unsur-unsur budaya



Pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya bangsa Perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab 3 dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat Penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain 4 yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat 5 Menumbuhkembangkan semangat kebudayaan bangsa Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber sebagai berikut: 2



1.



Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama.



2. Pancasila: Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. 3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat. 4. Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki oleh setiap negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang. Klik disini untuk melihat sumber bacaan pendukung!



E. Urgensi Pendidikan Dalam Peradaban Manusia



Menurut Fairchild (dalam Setiadi, Hakam, & Effendi, 2006), peradaban adalah perkembangan kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu yang dicirikan oleh taraf intelektual, keindahan, teknologi, dan spiritual tertentu yang diperoleh manusia pendukungnya. Peradaban manusia merupakan titik kulminasi dari serangkaiana proses panjang pendidikan yang terencana dan terukur dengan target yang jelas. Hasil proses pendidikan dalam konstruksi peradaban tidak semata dalam arti material melainkan yang lebih utama adalah terwujud dalam aspek immaterial. Perubahan dan perkembangan zaman merupakan suatu hal yang mutlak terjadi. Manusia, baik secara individu maupun kelompok, tentunya akan beradaptasi terhadap berbagai perubahan yang ada agar dapat bertahan hidup dimana bentuk adaptasi tersebut dapat bersifat material maupun non-material. Suatu masyarakat yang telah mencapai tahapan peradaban tertentu, berarti telah mengalami evolusi kebudayaan yang lama dan bermakna sampai pada tahap tertentu yang diakui tingkat iptek dan unsur-unsur budaya lain. Analisis Kasus: Pendidikan memiliki peranan yang strategis dalam membentuk peradaban bangsa. Meskipun peradaban bangsa-bangsa yang telah maju pada beberapa ratus tahun sebelum masehi, tidak serta merta akibat sistem pendidikan yang maju. Anda diminta berkelompok masing-masing terdiri atas 3 orang, lalu analisis kasus terkait relevansi pendidikan terhadap peradaban manusia!



Daftar Pustaka: Barnadib, Imam. 2002. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta : Adicita Hermino, Agustinus. 2014. Manajemen Kurikulum Berbasis Karakter Konsep, Pendekatan, dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta. Koesoma, Doni A. 2007. Pendidikan Karakter : Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta : Grasindo. Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York : Bantam Books Probowati, Yust, dkk. 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Guru dan Psikolog. Malang: Laras. Santrock, J.W. 2008. Educational Psychology (3th Edition). Boston : McGraw - Hill Setiadi, Elly M., Kama A. Hakam, Ridwan Effendi. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Edisi Ketiga). Jakarta : Kencana Tilaar, H.A.R. 2015. Pedagogik Kritis Untuk Indonesia. Jakarta: Kompas Wahyudin, Dinn dkk. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Universitas Terbuka.



Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Last modified: Wednesday, 2 February 2022, 2:37 PM



BAB I KONSEP MANUSIA, PENDIDIKAN DAN KARAKTER PENDIDIK



Subyek dan obyek pendidikan adalah manusia. Pendidikann bermaksud membantu manusia untuk menumbuh-kembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan benar dan tepat, jika pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya. Berbicara tentang manusia sepertinya membicarakan tentang sesuatu. Bukankah manusia mempunyai kemampuan dengan kekuatannya sendiri untuk memenuhi kebutuhan dan mampu mengembangkan dirinya sendiri? Pemenuhan kebutuhan akan pengembangan diri manusia sendiri tampaknya memang dapat dilaksanakan dari, untuk dan oleh manusia itu sendiri (animal educandum – J.H.Langeveld dalam I.P.Simandjuntak, 1982). Pernyataan inilah yang tepat bahwa manusia adalah mahluk yang luar biasa, dibawah kekuasaan Tuhan YME, dengan kekuatan dan keterbatasannya. Manusia dengan segala perkembangan yang ada dalam potensi dirinya mengimplikasikan bahwa manusia memang hebat, bisa berbuat dan membuat apa saja, untuk kehidupan kemanusiannya sesuai dengan kebutuhan dan kemauanya. Pernyataan di atas perlu dikaji lebih lanjut lagi.



A. KONSEP MANUSIA



Semua yang ada di dunia adalah untuk manusia. Alam semesta dan isinya untuk manusia, karena tidak ada mahluk lainnya yang lebih memerlukan semuanya selain manusia. Manusia dengan kesadarannya tentang adanya dan gunanya alam semester beserta isinya dan hanya hanya manusia yang mampu mengolah, menggunakan dan menarik manfaat untuk keperluan kehidupan kemanusiaannya dalam arti luas. Perkembangan, kemajuan dan kebudayaan manusia terjadi oleh karena manusia, hanya manusialah yang memiliki potensi dan pikiran yang mampu mengembangkan berbagai kekuatan, daya, upaya dan usaha untuk memenuhi kebutuhaan serta hasrat kehidupannya. Memang manusialah yang merubah, mengolah dan memanfaatkan isi alam semesta untuk kepentingan manusia. Misalnya memberdayakan isi bumi untuk kepentingan kehidupan manusia. Manusia memang kuat, hebat dan mahluk sempurna. Bumi dan alam semesta menjadi ruang yang digarap oleh manusia bagi segenap kehidupan manusia.



Sekarang yang patut dipertanyakan apakah memang segala yang diperbuat dan diperuntukan bagi manusia itu benar-benar berasal dari hasil kerja dan karya manusia? Disadari dan dapat diterima akal sehat bahwa banyak hal yang berasal dari manusia. Berbagai kaidah keilmuan dan teknologi berasal dari buah pikiran manusia; berbagai aturan nilai dan moral tumbuh dan berkembang dari kebijakan yang dibuat oleh manusia. Manusia memang bisa dan semakin dapat menghasilkan segala sesuatu dari dirinya sendiri menjadi berbagai produk, bahkan memproduksi produk itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sampai karya-karya besar dan monumental dimunculkan oleh manusia. Manusia pada hakikatnya ditandai oleh adanya satu kesatuan antara apa yang ada pada dirinya, yaitu pikiran, kehendak dan nafsu (Plato dalam Raymond Boudon, 1974). Manusia merupakan satu kesatuan jiwa dan badan, satu kesatuan psikofisik.Manusia terdiri dari unsur dualistic. Manusia tidak semata-mata bertujuan memuaskan dorongan-dorongan dirinya , tetapi juga memotivasi untuk melaksanakan tanggung jawab social dan pemenuhan kebutuhan dalam mencapai sesuatu. Manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat secara rasional ataupun tidak rasional. Berpikir dan merasa sangat dekat satau sama lain. Berbagai pandangan tentang manusia tersebut berorientasi pada keberadaan dan kehidupan manusia sebagaimana adanya di dunia, dapat ditarik kesimpulan tentang konsep manusia yang di dalamnya terkandung harkat dan ,artabat manusia, yaitu manusia adalah mahluk yang beriman dan bertakwa kepada tuhan YME; mahluk yang paling indah dan sempurna dalam penciptaan dan pencitraannya; mahluk yang paling tinggi derajatnya; dan pemilik hak-hak sasi manusia (HAM). Dalam rangka HAM secara menyeluruh, aktualisasi kehidupan manusia berdasarkan hakikatnya manusia memerlukan upaya pengembangan dirinya yang berlangsung terus menerus secara bertahap (perkembangan dan pendidikan sepanjang hayat). Untuk mengembangkan diri dan kehidupan selanjutnya, manusia dilengkapi dengan dimensi kemanusiaan lainnya yang melekat secara langsung pada diri individu manusia itu sendiri, yaitu dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan dan keberagamaan. Dimana ke-empat dimenensi kemanusiaan ini saling terkait. Pengembangan manusia sebagai mahluk individu, dimana setiap individu yang dilahirkan telah dikaruniai potensi yang berbeda dengan individu lainnya. Dikatakan oleh Langeveld bahwa setiap individu itu unik, artinya setiap individu memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, semangat dan daya tahan yang berbeda. Langeveld juga mengatakan bahwa tiap individu mempunyai dorongan untuk mandiri, meskipun disisi lain pada diri individu terdapat rasa tidak berdaya sehingga manusia tersebut memerlukan bimbingan dari oranglain. Untuk menolong dirinya sendiri, manusia perlu mendapatkan pengalaman di dalam mengembangkankonsep, prinsip, inisiatif, kreativitas,



tanggungjawab dan keterampilannya. Dengan kata lain, perwujudan manusia sebagai mahluk individu memerlukan berbagai pengalaman melalui pendidik, agar segala potensi yang ada dapat tumbuh dan berkembang menjadi kenyataan. Pengembangan manusia sebagai mahluk social, dimana sejak lahir manusia dikaruniai potensi sosialitas artinya setiap individu mempunyai kemungkinan untuk dapat bergaul, yang didalamnya ada kesediaan untuk member dan menerima. Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkannya seorang diri. Kehadiran manusia lain dihadapannya bukan saja penting untuk mencapai tujuan hidupnya, tetapi juga merupakan sarana untuk pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya. Melalui pendidikan dapat dikembangkan keseimbangan antara aspek individual dan aspek social manusia, artinya individualitas manusia dapat dikembangkan dengan belajar dari orang lain, mengidentifikasikan sifat-sifat yang yang dikagumi dari orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang tidak diinginkannya. Pengembangan manusia sebagai mahluk susila, dimana dalam kenyataannya hanya manusialah yang dapat menghayati norm-norma dan nilai-nilai dalam kehidupan. Manusia dapat menetapkan tingkah laku mana yang baik dan bersifat susila serta tingkah laku mana yang tidak baik dan tidak bersifat susila. Setiap masyarakat mempunyai norma dan nilai. Melalui pendidikan diusahakan agar individu menjadi manusia pendukung norma kaidah dan nilai-nilai susila yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan menjadi milik pribadi yang tercermin dalam setiap tingkah laku sehari-hari. Penghayatan dan perwujudan norma, nilai dan kaidah-kaidah social sangat penting dalam rangka mnciptakan ketertiban dan stabilitas kehidupan masyarakat. Penghayatan atas norma dan nilai tersebut hanya mungkin dilakukan oleh individu dalam hubungannya dengan kehadirannya bersama orang lain. Pengembangan manusia sebagai mahluk beragama, dimana pada hakikatnya manusia adalah mahluk yang beragama. Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah mahluk yang lemah sehingga memerlukan tempat untuk bersandar. Manusia memerlukan agama demi untuk keselamatan hidupnya. Untuk itu, manusia dituntut agar dapat menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan sebaik-baiknya melalui pendidikan.



Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa sifat hakikat manusia dan segenap dimensinya hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada mahluk hidup lainnya. Ciri-ciri yang khas tersebut membedakan secara prinsip antara dunia manusia dan mahluk hidup lainnya. Adanya sifat hakikat tersebut memberikan tempat dan kedudukan pada manusia sedemikian rupa sehingga manusia derajatnya lebih tinggi daripada mahluk hidup lainnya. Semua sifat hakikat



kemanusiannya dapat dan harus ditumbuh kembangkan melalui pendidikan. Berkat pendidikan, maka sifat hakikat kemanusiaannya dapat ditumbuh kembangkan secara selaras dan seimbang sehingga menjadi manusia yang utuh lahir dan bathin. Manusia adalah sasaran, sumber dan pelaku pendidikan. Hakikat manusia harus dilihat secara komprehensif sehingga menjangkau seluruh aspek perkembangan dan kehidupannya, yaitu aspek-aspek jasmani-rohani, pribadisosial, material-spiritual, dunia-akhirat, hubungan manusia dengan alam dan penciptanya. Hakikat manusia seperti itu dilandasi oleh kondisi manusia sebagai mahluk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, paling indah dan sempurna, paling tinggi derajatnya, dan pemilik hak-hak asasi manusia (HAM).



Diskusi kasus: Kasus Bandar narkoba warga Negara asing yang divonis hukuman mati, bagaimana pendapat anda melihat pelaksanaan hukuman mati ini terhadap dari aspek konsep manusia dan kemanusia serta HAM.



B. PENDIDIKAN



Pendidikan tidak lain adalah upaya memuliakan kemanusiaan manusia untuk mengisi dimensi kemanusiaan dengan orientasi hakikat kemanusiaan melalui pengembangan jati diri manusia sepenuhnya. Pendidikan akan membuat jadi manusia, maksudnya manusia memiliki potensi yang harus dikembangkan. Potensi yang dimiliki manusia ini dikembangkan melalui pendidikan. Pendidikan adalah segala tindakan yang terencana yang dilakukan oleh orang dewasa yang bertanggung jawab moral untuk membantu manusia menjadi dewasa dan mandiri (Langeveld, J.M., 1982). Menurut Driyarkara dalam Umar Tirtorahardjo dan La Sulo (1994) pendidikan adalah memanusiakan manusia muda.Pengangkatan manusia muda ke taraf insane itulah menjelma dalam perbuatan mendidik. Sementara Godfrey Thomson dalam Zahara Indris (1992) juga menegaskan bahwa pendidikan adalah pengaruh lingkungan terhadap individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang menetap (permanen) di dalam kebiasaankebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap dari individu tersebut. Dan Ki Hajar Dewantara dalam Buku Akta V Mengajar Dewantara (1984) mengemukakan bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup dan tumbuhnya manusia kecil yang belum dewasa, maksudnya pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrati yang ada pada manusia agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan.



Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat diberikan beberapa ciri umum dalam pendidikan yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pendidikan, mengandung tujuan yang ingin dicapai, yaitu individu yang kemampuan dirinya terus berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidupnya sendiri sebagai seorang individu, maupun sebagai warga masyarakat bahkan warga Negara. 2. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan perlu melakukan usaha yang disengaja dan terencana dalam memilih isi (materi), strategi kegiatan dan teknik penilaian yang sesuai. 3. Kegiatan tersebut dapat diberikan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Selanjutnya dibawah ini dapat dikemukakan beberapa batasan pendidikan yang berbeda berdasarkan fungsinya: a. Pendidikan sebagai proses transformasi budaya. Disini diartikan bahwa pendidikan diartikan sebagai pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada 3 bentuk transformasi:   



Nilai-nilai yang masih cocok diteruskan, misalnya nilai kejujuran, disiplin, tanggungjawab dst nya. Nilai-nilai yang kurang cocok diperbaiki, misalnya tata cara adat perkawinan. Nilai-nilai yang sudah tidak cocok harus diganti. Misalnya pendidikan seks.



b. Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi, diartikan bahwa proses pembentukan pribadi adalah suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah pada terbentuknya kepribadian manusia itu sendiri. c. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara, satu proses kegiatan yang tererncana untuk membekali individu agar menjadi warga Negara yang baik. d. Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja, diartikan melalui pendidikan diberikan bimbingan kepada individu untuk mengembangkan bakat yang dapat digunakan untuk bekerja, karena bekerja merupakan kebutuhan dalam kehidupan manusia. Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pendidikan, dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan atau tindakan yang terencana dan



kritis yang memiliki tujuan yang sudah pasti. Tujuan pendidikan tidak lain adalah arah yang hendak dicapai demi terwujudnya tujuan hidup manusia, yaitu hidup sesuai dengan harkat dan martabat manusia, dengan segenap kandungannya, yaitu perkembangan secara optimal hakikat manusia dan dimensi kemanusiannya. Tujuan pendidikan mengarah kepada pembentukan manusia yang berperikehidupan takwa kepada Tuhan YME. Perilaku kehidupan yang dijalani sesuai dengan tuntutan dimensi kemanusiaan yang yang melekat pada individu. Kegiatan pendidikan, terlaksana melalui hubungan atau interaksi pendidikan antara pendidik dan individu/manusianya, merupakan peristiwa istimewa sekaligus upaya yang istimewa dan unik untuk membuat jadi manusia/individu. Istimewa karena pendidikan mempersiapkan individu/manusia untuk menjalani kehidupannya, dan diarahkan serta dimungkinkan untuk mencapai tujuan kehidupannya. Diskusi Kasus: Coba anda diskusikan tentang kondisi siswa yang membully guru baik yang dilakukan dalam lingkungan sekolah maupun diluar sekolah sampai menggunakan medsos yang dampaknya cukup besar terhadap hidup dan kehidupan guru tersebut sebagai manusia. Bagaimana implementasi pendidikan sebagai suatu tindakan yang disengaja dan terencana yang dilakukan oleh orang dewasa yang bertanggungjawab moral untuk membantu anak menjadi dewasa dan mandiri.



C. KARAKTER PENDIDIK



Karakter melekat pada setiapindividu, yang tercermin pada pola pikir dalam kehidupan sehari-hari. Karakter seorang manusia dipengaruhi oleh factor lingkungan (nurture) dan factor bawaan (nature). Karakteristik seperti perawakan, warna mata, bentuk rambut serta wajah merupakan faktor bawaan atau gen. Demikian pula dengan temperamen pada manusia, merupakan cara khas manusia untuk merespon peristiwa yang emosional, mendapatkan rangsangan baru dan impuls dipengaruhi oleh system genetic dari orangtua (Wang, Zhe; Deater-Deckard, 2013). Sama hal dengan cepat atau lambat seseoang dalam proses belajar yang didapat dari pengalaman sehari-hari dipengaruhi oleh factor genetic (Luciano & Visscher, 2012). Kata karakter sendiri diambil dari bahasa Inggris “character” dan Yunani “character. Karakter merupakan akumulasi atau produk yang integral dari didikan rumah/orangtua, pergaulan dengan teman sebaya (lingkungan dimana manusia berada), kondisi social ekonomi lingkungan sekitar dan factor psikologis lainnya. Pembentukan karakter karakter dibagi 2 yaitu karakter strukturan dan karakter proses. Karakter structural, yaitu pembentukan



karakter berdasarkan keadaan social emosional dari orangtua, latar belakang pendidikan dan bahasa keluarga. Sedangkan karakter proses adalah pembentukan karakter melalui gaya pengasuhan dan kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan dalam keluarga (Loboda, Vogelbacher, & Gawlitzek, 2016). Karakter adalah cirri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut asli dan mengakar pada kepribadian manusia/individu yang berfungsi sebagai mesin pendorong bagaimana manusia tersebut bertindak, bersikap, berujar dalam merespon sesuatu. Manusia yang memiliki karakter sifat alami perilakunya akan muncul dalam merespon situasi secara bermoral yang dimanifestasikan dalam bentuk tindakan nyata melalui perilaku yang berkarakter. Dari beberapa uaraian singkat tentang karakter dapat ditegaskan bahwa karakter adalah pola perilaku yang dimiliki manusia/individu yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri maupun dibentuk oleh lingkungan dimana manusia/individu tersebut berada. Karakter yang dimiliki manusia/individu merupakan cirri khas dari manusia/individu tersebut sehingga berbeda satu dengan yang lainnya.



1. Nilai-Nilai Karakter Nilai-Nilai karakter adalah sikap dan perilaku yang didasarkan pada norma dan nilai yang berlaku di masyarakat, mencakup aspek spiritual, aspek personal/kepribadian, aspek social, dan lingkungan. Berikut ada 18 karakter yang harus dimiliki oleh manusia Indonesia sebagai berikut: (1) Religius; (2) Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin; (5) Kerja keras; (6)Kreatif; (7)Mandiri; (8) Demokratis; (9) Rasa Ingin Tahu; (10) Semangat kebangsaan; (11) Cinta Tanah Air; (12) Menghargai Prestasi; (13) Bersahabat/Komunikatif; (14) Cinta Damai; (15) Gemar Membaca; (16)Peduli Lingkungan; (17) Peduli Sosial dan; (18) Tanggung jawab. Sejalan dengan nilai karakter diatas, Lickona (2013) menegaskan bahwa dalam pendidikan karakter secara psikologis harus mencakup dimensi yang berlandaskan moral (moral reasoning), Perasaan (moral feeling), dan perilaku berdasarkan moral (moral behavior). Pendidikan karakter yang terbaik dibagi menjadi 3 , yaitu: a. Moral knowing, yang berisikan moral awareness, knowing mral values, perspective taking, moral reasoning, decision making and self knowledge. b. Moral feeling, berisikan tentang conscience, self esteem, empathy, loving the good, self control and humanity. c.



Moral action berisikan tentang competences, will and habit.



Selain pembentukan karakter diatas, karakter lain yang patut di renungkan juga adalah santun, percaya diri, kerja keras, baik dan rendah diri, toleransi dan kedamaian. Berdasarkana beberapa pendapat di atas nilai karakter merupakan nilai-nilai sikap dan perilaku berdasarkan pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. 2.



5 Pilar Karakter Dalam Proses Pendidikan



Dalam prakteknya, pendidikan merupakan usaha sadar, terencana serta disengaja oleh pendidik agar peserta didik dapat mencapai tujuan pendidikan. Pada proses pendidikan inilah dituntut seorang pendidik memiliki karakter yang mumpuni agar dapat menunjang amanah mulia yang diembannya dengan baik. Kira-kira karakter apa saja yang sepatutnya dimiliki oleh seorang pendidik selain kompetensi profesi yang wajib dimiliki, antara lain: a.



Karakter Kasih sayang dan kelembutan



karakter ini merupakan karakter utama yang harus dimiliki oleh pendidik. Kasih saying dan kelembutan merupakan warna da kualitas hubungan yang berawal dari pendidik kepada peserta didik, dalam bentuk komunikasi dan sentuhan-sentuhan lainnya. Hubungan ini pada dasarnya adalah penerimaan dan pengakuan, dioperasionalkan dalam nuansa social emosional yang sejuk, hangat, dekat/akrab, terbuka serta permisif dan fasilitatif-konstruktif yang bersifat pengembangan terhadap pesreta didik. Warna cinta (love) dan caring (perhatian, kehati-hatian, pemeliharaan) dengan focus yang terarah pada kepentingan dan kebahagiaan peserta didik dengan prinsip sesuai dengan harkat martabat manusia akan mendominasi penampilan kasih saying dan kelembutan pendidik. Suasana seperti ini memungkinkan pendidik dan peserta didik membuka diri dan saling memasuki serta mendalami secara intensif terkait komunikasi edukatif.



b.



Karakter Keteladanan dan Pengarahan



Pendidik atau guru merupakan singkatan dari digugu dan ditiru. Seorang pendidik harus dapat memberikan keteladanan. Keteladanan sendiri merupakan puncak penampilan pendidik terhadap peserta didik. Seluruh penampilan pendidik yang didasarkan pada penerimaan dan pengakuan, kasih dan sayang serta kelembutan, yang seluruhnya positif dan normative itu, diharapkan dapat diterima bahkan ditiru oleh peserta didik. Satu hal yang ,menjadi kunci bagi terlaksananya keteladanan adalah ketaatan asas (konsistensi) penampilan pendidik baik fisik, psikologis maupun akademis.



Keteladanan demikian pertama-tama merupakan pengaaaruh social pendidik terhadap peserta didik berdasarkan prinsip konformitas bersumber dari pengarahan pendidik kepada peserta didik. Pengaruh keteladanan dan pengarahan ini dapat mencapai taraf internalisasi bukan hanya sekedar identifikasi, nyaman untuk diri sendiri.



c.



Karakter Pengakuan dan Penerimaan



Pengakuan dan penerimaan adalah kesadaran dan pemahaman pendidik tentang segenap yang ada pada makna harkat martabat manusia yang sepenuhnya melekat pda diri peserta didik. Atas dasar kesadaran dan pemahaman tersebut pendidik menghadapi dan memberikan perlakuan kepada peserta didik sesai dengan harkat martabat manusia. Pengakuan dan penerimaan ini merupakan dasar dari sikap dan perlakuan pendidik yang memuliakan kemanusiaan peserta didik melalui pendidikan. Pengakuan dan Penerimaan pendidik terhadap peserta didik didasarkan atas kondisi harkat martabat kemanusiaan yang melekat pada diiri peserta didik, sedangkan pengakuan dan penerimaan peserta didik didasarkan atas peranan dan kualitas yang nyaman dari pribadi pendidik yang dirasakan oleh peserta didik., melalui penampilan pendidik itu sendiri Suasana yang saling mengakui dan menerima antara peserta didik dan pendidik seperti ini menjadi dasar bagi berlangsungnya komunikasi yang nyata antara keduanya.



d.



Karakter Penguatan



Sebagaimana makna dasarnya, penguatan merupakan upaya pendidik untuk menguatkan, memantapkan atau meneguhkan hal-hal tertentu yang ada pada diri peserta didik. Apa saja yang dikuatkan tidak lain adalah hal-hal positif yang ada pada diri peserta didik, terutama tingkah laku positif yang merupakan hasil perubahan berkat upaya pengembangan diri peserta didik. Penguatan (reinforcement) dilakukan pendidik melalui pemberian penghargaan (reward) secara tepat yang didasarkan pada prinsip-prinsip penguatan tingkah laku. Dengan penguatan yang dilakukan pendidik, peserta didik akan semakin kaya dengan berbagai tingkah laku positif yang secara kumulatif dan sinergis menunjang pencapaian tujuan pendidikan



e.



Karakter Tindakan Tegas yang Mendidik



Sepintas terasa ada kontradiksi antara tindakan tegas yang mendidik dengan sikap dan perlakuan kasih saying dan kelembutan. Sebenarnya bila dicermati dengan baik, tidaklah demikian. Tindakan tegas yang mendidik adalah suatu



upaya pendidik untuk dapat mengubah tingkah laku peserta didik yang kurang dikehendaki melalui penyadaran peserta didik atas kekeliruan dengan tetap menjunjung tinggi harkat martabat kemanusiaan dn hubungan baik antara pendidik dan peserta didik. Dengan tindakan tegas yang mendidik ini pendidik konsisten terhaap harkat martabat kemanusiaan, tujuan pendidik, pengakuan dan penerimaan serta kasih saying dan kelembutan terhadap peserta didik. Implementasi tindakan tegas yang mendidik dapat dikombinasikan dengan penerapan cara-cara penguatan lainnya.



Dalam 5 Pilar Karakter Dalam Proses Pendidikan ini akan muncul karakter dasar yang harus dimiliki pendidik, dimana yang pertama pendidik harus menyadari bahwa profesi pendidik sangat mulia yang akan membuat jadi manusia dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti dan paham, dari tidak biasa menjadi terbiasa. Atau ada tokoh yang menyatakan melalui pendidikan kita memanusia manusia. Jika ingin tugas mulia ini dapat berhasil dengan baik harus dilakukan dengan penuh kasih saying dan kelembutan, karena manusia yang didik bukanlah benda mati. Manusia yang dididik memiliki potensi yang terus dan harus dibantu untuk dikembangkan. DAFTAR PUSTAKA Boudon, Raymond, The Logical Sociological Explanation, Penguin Education, London, 1974. Dirjen Dikti (1984), Dasar-Dasar Pendidikan – Modul Akta V, Jakarta: Dirjen Dikti. Langeveld, J.H., Beknopte Theoritische Paedagogiek, J.B. Wolters, Jakarta, 1982 (Terjemahan Simanjuntak, MA). Lickona, T. (2013). Educating For Character, Jakarta: Bumi Aksara. Loboda,L. Vogelbacher,M. & Gawlitzek,I. (2016). The Role of Ethnic Differences, Structural background and process characteristic in the Family in preschool children’s language proficiency. Journal of Multilingual and Multicultural Development, 0(0),15. https://doi.org/10.1080/01434632.2016.1216555. Luciano,M., & Visscher, P.M. (2012). Multivariate Genetic Analyses of Cognition and Academic Achievement from Two Population Sample 0f 174,000,699-710. https://doi.org/10.1007/s10519-012-9549-7.



Prayitno. (2009). Pendidikan Dasar Teori dan Praksis – Jilid I. Padang: UNP Press Umar Tirtorahardjo dan La Sulo (1994), Pengantar Pendidikan, Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud. WANg, Zhe; Deater-Deckard,K. (2013). Resilinece in Gene-Environment Transactions. In Goldstein S., Brooks R. Handbook Of Resilience in Childrens, Springer, Boston, MA. https://doi.org/htppa://doi.org/10.1007/978-l-4614-36614_4. Zahara Indris dan Lisma Jamal (1992), Pengantar Pendidikan jilid I dan II, Jakarta: Grasindo. Last modified: Wednesday, 2 February 2022, 2:18 PM