Materi Ke-Hmi-An [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MATERI KE-HMI-AN



HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM YAKIN USAHA SAMPAI



5. Ke HMI-an Reeksistensi HMI ; Transformasi Kepemimpinan dalam Penguatan Peran Kelembagaan Tingkat Regional 2.Transformasi Kepemimpinan dalam suatu organisasi merupakan sebuah langkah taktis guna menjaga ritme eksistensi organisasi HMI karena ini adalah metodologi modern dalam kepemimpinan yang sangatlah demokratis karena gaya kepemimpinan yang berupaya mentransformasikan nilai-nilai yang dianut oleh bawahan dan regenerasi kader untuk mendukung visi dan tujuan organisasi. Melalui transformasi nilai-nilai tersebut, dapat meciptakan hubungan baik antar anggota organisasi dapat dibangun sehingga muncul iklim saling percaya diantara anggota organisasi. sebagai organisasi yang besar, HMI haruslah melakukan tranformasi nilai kepada kadernya sehingga dalam kepemimpinan transformatif dapat teraktualkan  dengan baik hingga regenerasi dapat menjadikan kiblat kepemimpinan dalam transformasi kepemimpinan nantinya. Hal ini merupakan sebuah kenisyaaan dalam organisasi, karena jika langkah estafet kepengurusan HMI tidak menjadikan kepemimpinan transformatif sebagai acuan, maka regenerasi akan terjadi status quo.[1] 3.Memahami kompleksitas dalam kepemimpinan, sehingga dalam penguatan kelembagaan di tingkat regional haruslah berjalan secara transformatif guna menjaga ritme organisasi. hal ini sangatlah urgen karena mampu mengurangi sejumlah konflik yang sering terjadi dalam suatu organisasi.[2] tranformasi kepemimpinan akan bersinergi dalam tubuh internal yang bersifat regenerasi, keberhasilan maupun kegagalan organisasi dapat ditinjau dalam berbagai aspek seperti; (1) memahami visi dan misi organisasi, (2) memahami lingkungan organisasi melalui analisis lingkungan strategis (swot), (3) merumuskan rencana strategis organisasi; (4) menginternalisasikan visi, misi, kondisi lingkungan strategis, dan rencana startegis pada seluruh anggota organisasi,(5) mengendalikan rencana strategis melalui manajemen pengawasan yang tepat.[3] 4. 5.Berdasarkan pemaparan diatas, maka penulis menganggap Visi ; Penguatan nilai kekaderan dalam tata kelola organisasi merupakan representatif kegalauan kader-kader dan KAHMI yang memiliki hasrat kuat untuk melihat reeksistensi HMI yang mampu mengawal perjalanan bangsa dari masa ke masa. Dan Misi; (1) Pengawalan perkaderan ditingkat cabang melalui badan pengelola latihan, (2) Kemandirian organisasi melalui lembaga kekaryaan, (3) Sintergitas kepemimpinan kelembagaan dalam upaya menjawab dinamika kelembagaan di tingkat regional. Penulis menganggap misi ini merupakan langkah taktis untuk melakukan penguatan kelembagaan di tingkat regional terkhusus pada ruang lingkup BADKO Sulselbar, peningkatan kualitas kader guna mampu memposisikan diri kader-kader dalam persaingan global di era kontemporer ini dan melahirkan kemandirian/melepas belenggu ketergantungan organisasi terhadap pemerintah dan lebih melekatkan diri independensi organisasi.



6.  7.[1] Jurnal Imiah, Latihan Badan Pengelola Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jember, (Bondowoso, Hand Out Basic Training, 2009). 8.[2]  Rivai Veithzal, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, (Jakarta, PT.Rajawali Pers, 2003) Cet.II, Hlm.63. 9.[3] Mahyudin H, Kepemimpinan Masyarakat Madani, (Jakarta, Nim Press,2004) Cet.I, Hlm.93.



Kepemimpinan ; Suatu Persoalan Keteladanan Kader dan Tangguhan Organisasi Wahai Yang Dia adalah “Dia” Yang Mutlak, Sedangkan Daku adalah “Dia” Yang Terikat! Wahai Yang Tidak Ada Dia Selain Dia! - Ibn ‘Arabi –



Aku mohon dikau, wahai tuhanku, lidah yang fasih, perkataan yang benar, pemahaman yang tepat, relung kesadaran terdalam yang unggul, kalbu yang benar-benar menerima, akal yang memahami, pikiran yang bersinar, kerinduan yang tak pernah mereda, ketokan yang terus-menerus [pada pintu-Mu], dan hasrat yang membakar.



S



ejarah merawat sebilah keyakinan, manusia selalu butuh idola – Tuhan, Nabi, dan Sang Pemimpin. Mungkin karena manusia acapkali dirundung cemas dan tak mampu menghalaunya. Tapi ada tautan yang menyebabkan kultus Sang Pemimpin menjadi kasih yang eksotik. Kombinasi antara kekuasaan politik dan kata-kata yang merangkuhnya. Ketika hendak mengukuhkan kekuasaannya, “titah” Sang Pemimpin lalu jadi doktrin, doktrin jadi slogan, dan slogan meluahkan mantra. Di sini pemimpin, dalam ungkapan Clifford Geertz, dipandang sebagai “pusat keteladanan”(exemplary center) atau dalam jubbah aristokrasi Prancis disebut noblese oblige. Status sosio-kultural lebih tinggi mengandaikan kewajiban yang lebih banyak, termasuk kewajiban dalam memberikan teladan hidup. Ini mengandaikan jika seorang pemimpin mutlak lahir dari kelas bangsawan. Namun revolusi Prancis meluruhkannya, ketika meletus dipagi genting 14 Juli 1789, pahan tersebut diubah secara radikal dalam system demokrasi yang mengusung “persamaan” setiap orang di hadapan hukum: bahwa setiap orang yang melakukan kesalahan yang sama ketika berada dalam keadaan yang sama, harus dihukum dengan hukuman yang sama, meski mereka berasal dari status sosio-kultural yang berbeda. Dengan begitu demokrasi mengandaika adanya persamaan dalam moralitas semua orang, tetapi dalam formula negative, bahwa setiap orang dengan kebajikan yang aneka, dapat jatuh dalam kesalahan yang sama, khususnya ketika mereka menggenggam kekuasaan. Doktrin nobblese oblige digusur oleh prinsip power tends to corrupt: kecendrungan terhadap penghianatan dan kejahatan selalu melekat pada kekuasaan. Sebab kecenrungan kekuasaan untuk memperbesar dirinya jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi, mengawasi, dan mengeritik dirinya. Dalam demokrasi diandaikan bahwa kekuasaan yang lebih besar memberi kesempatan untuk kesalahan dan penyelewengan yang semkain serius. Itu sebab pemimpin yang baik dalam system demokrasi tak sekedar pemimpin teladan, tetapi pemimpin yang tunduk pada pengawasan public: pisau hukum dan control social para warga, yang didalam konteks organisasi Pemimpin harus tunduk pada pengawasan para kader dan anggotanya. Pemimpin yang baik diandaikan bisa melakukan kesalahan, tapi ida harus siap untuk dikoreksi. Legitimasinya terbangun justru di atas moral courage; siap mengakui kesalahannya, memperbaikinya, dan bersedia menerima sanksi akibat kesalahan tersebut, ketimbang berkelik dengan berbagai dalih dan mengelak dari kesalahan. Inilah jalan “ketangguhan sang pemimpin. Ada kearifan yang mengalir deras dalam jantung kesadaran masyarakat Eropa, house is made of bricks, home is made of love; House dibangun dengan batu bata, home dibangun dengan cinta. Jika wujud materi bangunan sebuah rumah adalah house, maka spirit, tradisi, filosofi, ilmu, bahasa, seni, kesalehan, dan cinta yang menubuh didalamnya adalah home. Ketika rumah hanya dipahami sebagai bangunan asri nan megah, tatanan material yang apik, lantas mengabaikan semangat/etos, ruh, dan jiwa apa yang mendasari setiap nafas konstruksinya, maka sejak itu rumah telah kehilangan otentisitasnya.



HMI sebagai Organisasi, seperti halnya rumah, juga mengandaikan identitas yang otentik: wadah perjumpaan cita-cita, gagasan, mimpi, dan harapan para penghuninya. Tapi, rumah yang menyisakan sesuatu yang genting. Sebab, pencarian sungguh-sungguh terhadap otentisitas, kini tengah termangsa oleh imperium citra dan semesta imajinasi. Hal itu senafas dengan apa yang digalaukan Androno dalam the Jargon of Authenticity (1983) sebagai suasana penuh jebakan dan perangkap yang menyesatkan, karena dunia citra dan simulacrum dipenuhi oleh jargon-jargon semu, termasuk jargon keotentikan. Realitas kontemporer kita kini tengah tersedot ke dalam “lubang hitam” post-realitas: sebuah realitas palsu yang tidak lagi setia terhadap ada-otentik. Itu sebab, pembangunan rumah, dan juga organisasi: HMI, meniscayakan gerak pendulum serta menjaga keseimbangan antara “house” dan “home”. Pada tanggal 22 November 2015 mendatang HMI akan memilih Ketua Umum PB HMI Periode 2015 – 2017. Sebagai “Rumah Besar” bagi para kader dan anggotanya, HMI pada intinya butuh pemimpin baru yang punya kesadaran kritis: bahwa dibalik hiruk-pikuknya Kongres ada persoalan besar yang harus menjadi percakapan kritis kader dan anggota se antero Indonesia, bahwa HMI adalah rumah dalam makna home yang juga sekaligus house, itulah sebab mengapa kita mesti berada dalam organisasi ini, itu dikarenakan HMI adalah home yang di dalamnya mengalir energy cinta, semangat, ruh dan jiwa perjuangan yang tiada henti untuk mencapai mission: misi suci untuk umat dan bangsa. Kesadaran kritis inilah yang mempertemukan kita sebagai teman yang lebih dari saudara.



Revitalisasi Lembaga Kekaryaan Sebagai Poros Intelektual dan Profesionalisme Kader Terbentuknya Lembaga Kekaryaan sebagai satu dari institusi HMI terjadi pada kongres ke-7 HMI di Jakarta pada tahun 1963 dengan di putuskannya mendirikan beberapa lembaga khusus (sekarang Lembaga Kekaryaan) dengan pengurus pusatnya ditentukan berdasarkan kota yang mempunyai potensi terbesar pada jenis anaktivitas lembaga kekaryaan yang bersangkutan diantaranya, (1) Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI) pusatnya di Surabaya, (2) Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) pusatnya di Bandung, (3) Lembaga Pembangunan Mahasiswa Islam (LPMI) pusatnya di Makasar, (4) Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI) pusatnya di Yogyakarta. Dan kondisi politik tahun enam puluhan yang berorientasi massa, lembaga kekaryaan pun semakin menarik bagi anggota sebagai satu faktor berkembang pesatnya lembaga kekaryaan ditunjukkan dari adanya hasil penelitian yang menginginkan dipertegasnya status lembaga



Kekaryaan, struktur organisasi dan wewenang lembaga kekaryaan dan keinginan untuk menjadi lembaga kekaryaan otonomi penuh terhadap organisasi induk HMI. Seiring perkembangan kader secara proporsional dan profesional berdasarkan pengembangan disiplin ilmu yang digeluti, tercatat telah banyak lembaga kekaryaan yang pernah ada dan berkembang dalam mengisi dinamika intelektual di HMI. Tercatat ada Lembaga Kesehatan Mahasiswa  Islam (LKMI), Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI), Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), Lembaga pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI), Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI), Lembaga Teknologi Mahasiswa Islam (LTMI), Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI), Lembaga Astronomi Mahsiswa Islam (LAMI), Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI), Lembaga Hukum Mahasiswa Islam (LHMI) dan Lembaga Penelitian Mahasiswa Islam (LEPMI). Lembaga kekaryaan dapat dikatakan sebagai gerbong intelektual dan profesionalisme kader HMI, karena dalam lembaga kekaryaan, kader dapat mengasah intelektualitas berdasarkan disiplin ilmu yang digeluti dan lembaga kekaryaan dapat menjadi sarana metakomunikasi yang berlangsung di masyarakat indonesia, karena insan-insan yang terlibat dalam proses komunikasi sosial di negeri ini bersifat plural dan heterogen dan kebhinekaan budaya yang berkadar tinggi. [1] Lembaga kekaryaan dapat menjadi bagian vital dalam organisasi dalam rangka menopang pembangunan nasional, terutama pembinaan manusia indonesia seutuhnya, merupakan conditio sine qua non untuk mengkaji, menyelidiki, dan meneliti komunikasi di indonesia, sebagai kegiatan untuk menjawab tantangan-tantangan; gejolak ekonomi, kemelut politik, penetrasi budaya asing dan sebagainya.[2] Inilah yang menjadi dasar pemikiran sehingga mengapa lembaga kekaryaan yang berkembang dalam HMI dapat menjadi gerbong intelektual jikalau dijadikan icon intelektual kader dalam implementasi bermasyarakat.  Dengan merevitalisasi Lembaga kekaryaan sebagai icon intelektual kader HMI dengan membawa semangat competitiveness berbasis jati diri bangsa sekiranya dapat melahirkan kaderkader yang mampu berkompetisi secara IPTEK dan menjadi poros terdepan dalam menghadapi Asean Global Impact. Sehingga PB HMI melalui kongres XXIX, kembali poros kebangkitan membawa gagasan revitalisasi lembaga kekaryaan menjadi salah satu skala prioritas sebagai bahan diskursus untuk bersama-sama melahirkan resolusi konkret dalam penguatan lembagalembaga kekaryaan yang belum maksimal mewarnai dinamika intelektual kader HMI. Karena dengan salah satu gagasan ideal inilah HMI mampu mereposisikan diri menjadi poros kebangkitan ditengah derasnya arus neoliberalism dan menjadi pintu gerbang intelektual dan profesionalisme kader dalam bersaing sebagai masyarakat ekonomi Asean.   [1] Jurnal ilmiah disampaikan pada forum sosial budaya, pusat penelitian dan pengabdian masyarakat, universitas islam nusantara, bandung, 8 februari 1985.



[2]  Onong uchjana effendy, dinamika komunikasi (Bandung, PT.Remaja Rosdakarya, 1992) Cet.II, Hlm.35.



Revitalisasi Spirit Perkaderan HMI Membangun Kompetensi Pembinaan Dalam Sistem Perkaderan Spirit atau semangat telah dikenal sejak manusia mengenal sejarah, sebab sejarah digerakkan oleh moral manusia. Bahkan, spirit itu ada sejak manusia itu mulai terdorong mengenali gejala kehidupan baik dalam dirinya maupun di luar dirinya. Gejala dorongan itu kemudian dikenal sebagai elan vital yang mengarahkannya untuk berkembang ke banyak dimensi sejarah. Manusia meruntun sejarahnya dengan semangat sekaligus hidup dalam sejarah itu sendiri. Akan tetapi, dasar semangat atau yang dikenal sebagai elan vital bukanlah produk sejarah, melainkan kodrat pemberian sang Khalik dalam bentuk fitrah kemanusiaan yang karena orientasinya senantiasa kepada kebenaran, kebaikan, dan keseimbangan menjadikan manusia selalu ingin menjadi bagian tak terpisahkan dalam pembentukan dan perkembangan tatanan nilai, termasuk ke arah mana tatanan nilai yang dibentuknya harus mengabdi. Demikian sesungguhnya bahwa betapa manusia selalu ingin hidup dalam suatu tingkat nilai yang bermartabat. Sebab, manakala cara hidup yang berkembang telah menyalahi dasar nilai dalam diri manusia maka akan mengakibatkan ketidakseimbangan yang pada gilirannya akan menjatuhkan martabat (harga diri) manusia. Secara teoritis, dalam kesinambungan itu manusia menata sejarah secara inkulturasi atau dalam arti menanamkan nilai-nilai kultur (budaya) di antara tiap mata rantai generasi. Di sini, manusia menyimpan harapan yang besar agar nilai-nilai itu melembaga dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dalam perkembangan kesejarahan, untuk merawat harapan itu maka hadirlah suatu bentuk khas dari spirit sejarah yakni pendidikan. Sisi ini lambat laun menghadirkan istilah Perkaderan yang dikenal kemudian setelah istilah Kader dikenalkan oleh partai politik tertentu yang dengannya mencerminkan kesetiaan dan loyalitas kader terhadap partai. Demikian pentingnya makna kader dan perkaderan ini kemudian telah menjadi parameter (indikator) berkenaan dengan tingkat perkembangan kualitas kehidupan institusi sosial tertentu, khususnya institusi sosial yang bersifat non-negara. Artinya, jika terjadi ketidakseimbangan dalam suasana kehidupan suatu institusi maka secara serta-merta dianggap perlu untuk melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan atau pembinaan dan perkaderan. Sebutlah, contoh kasus suatu institusi yang kelihatan tampak stagnan atau seolah diam di tempat atau mengalami involusi gerakan maka segera pilihan evaluasi akan lebih tertuju pada perlunya menghadirkan daya dorong yang jelas dan terukur terhadap semangat institusi itu. Daya dorong



inilah yang dikenal sebagai elan vital atau singkat kata dipandang penting melakukan revitalisasi di tingkat dasar institusi itu. Adalah hal yang lumrah sebuah institusi sosial dalam tahap-tahap perkembangan sejarahnya tak jarang mengalami stagnasi ataupun involusi yang bisa jadi akibat kejenuhan. Dalam situasi seperti inilah dibutuhkan daya dorong yang berbentuk revitalisasi. Dan tidak sulit untuk disepakati bahwa bidang mendasar dan terpenting untuk mengalami sentuhan demikian tak lain adalah basis-basis pembinaan dan pendidikan atau perkaderan.   HMI tanpa kecuali pada tataran perkaderan perlu mengalami sentuhan dan perlakuan khusus untuk keluar dari situasi setidaknya dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir. Kini, komunitas kader HMI merasakan besarnya bias kemerosotan atau secara lebih ekstrem telah menjauh dari kodrat dasar kebangunan dan sendi kebangkitannya sebagai organisasi kader berwatak perubahan, cerdik-cendekia dan sarat intelektualisme. Sejumlah ekses telah ditimbulkan akibat kemerosotan ini. Sebutlah, cakrawala pemikiran intelektual yang meredup, rasio antara kelayakan usia memimpin HMI, jenjang perkaderan dengan kematangan tidak lagi berbanding lurus, kepiawaian dan kharisma aktivisme serta ketokohan yang tak lagi menonjol dalam pergulatan dunia kemahasiswaan justru berbanding lurus dengan sikap dan prilaku pragmatisme, termasuk kebiasaan buruk hedonisme. Begitu pula, sikap dan prilaku tak sadar konteks dan sulitnya hadap diri telah merebak di antara jejalin hubungan politis yang tercipta sehingga tak jarang menimbulkan sikap menghalalkan segala cara demi kepentingan pragmatis. Celakanya, mode berpikir pragmatis bias terjadinya penumpukan kader hanya pada ruang politik formal HMI sebagai akibat buntunya distribusi kader. Semua ini menyimpulkan tak lagi ada alasan yang tepat menunda perlunya revitalisasi. Akan halnya dengan hal-hal di atas, istilah kader maupun perkaderan dalam lingkungan HMI sejauh telah diuraikan secara jelas dalam pola dasar perkaderan yang selanjutnya dikenal sebagai sistem perkaderan HMI. Sistem perkaderan HMI sebagaimana sistem perkaderan pada umumnya merupakan suatu kompleks manajemen yang terdiri dari sejumlah bagian saling terkait dan berproses serta saling berinteraksi yang mengarah pada pencapaian 5 (lima) kualitas insan cita HMI, yakni insan akademik, pencipta, pengabdi, bernafas Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur diridhoi Allah SWT. 5 (lima) kualitas ini dikenali amat konsisten sebagai mission sacre HMI sebagaimana terumus dalam tujuan HMI. Sebagaimana tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berorientasi pada perpaduan kemajuan material dan spiritual, demikian hal itu juga secara implisit terkandung dalam tujuan HMI. Oleh karena itu, sesungguhnya penjabaran tujuan HMI ke dalam kerangka realitas tak lain merupakan manifestasi nafas kakaderan HMI yang tidak saja bermakna dalam konteks sebagai kader bangsa, tapi lebih jauh juga sebagai kader ummat yang sadar akan tanggung jawab sosial, moral dan intelektual di tengah lapisan terbesar penganut agama di negeri ini.  



Secara filosofis-teleologis, baik tujuan HMI maupun tujuan  pembangunan manusia Indonesia tidak akan pernah terwujud di panggung sejarah HMI maupun negara-bangsa Indonesia. Sebab, formulasi kata dan makna suatu tujuan tidak terletak di antara derak evolusi sejarah, melainkan terletak di alam cita-cita yang bersifat ideal atau sempurna. Karena itu, keliru pulalah jika suatu tujuan demikian diagungkan tanpa dibarengi dengan suatu kerangka kerja dalam realitas. Berdasarkan sistematika pendekatan pemahaman tentang tujuan di atas, maka amat tepat kiranya jika sistem perkaderan HMI dipahami dan ditempatkan sebagaimana layaknya sebagai kerangka kerja secara manajemen dan bersifat fungsional. Dengan demikian, hal ini akan mengindikasikan bahwa 5 (lima) kualitas insan cita HMI merupakan pentahapan penataan mental ideologi atau moral serta mental sosial dan intelektual dalam mewujudkan kerja-kerja kemanusiaan dan kemasyarakatan menuju penciptaan kader bangsa sekaligus kader ummat. Dalam konteks ini, tidaklah keliru jika teologi kekaderan HMI mendasarkan pada usaha tanpa henti guna membentuk kader seperti dipahami dalam personifikasi kualitasinsan kamil atau insan paripurna yang gerak sosialnya selalu konsen secara horizontal, sedangkan gerak kesadarannya senantiasa berovolusi secara vertikal. Demikian, horizontal dan vertikal sebagai 2 (dua) pola kecenderungan sikap kejuangan ‘semoga’ menjadikan kader HMI selalu terjaga dalam kerjakerja yang bersifat ikhlas. Sebagaimana pula sistem pada umumnya yang mengenal reproduksi dan kontinyuitas, perkaderan HMI sebagai sebuah sistem pun demikian adanya. Bermula dari meletakkan dasar tatanan yang integratif di tingkat LK I (kader materil) untuk menunjang perencanaan LK II (kader potensil) yang berorientasi setting alokasi kader di tengah dinamika perkembangan lingkungan strategis 5 (lima) hingga 10 (sepuluh) tahun ke depan. Hal ini selanjutnya menandai kesiapan kedar HMI selain menggerakkan roda organisasi di semua jenjang eksisitensi sebagai bentuk kontinyuitasnya, ini pun sekaligus mereproduksikan kader itu sendiri dalam memenuhi segmen sosial, khususnya untuk jenjang LK III (kader efektif) yang berguna selain untuk kepentingan ritme sosial-politik makro HMI (sebagai Pengurus Badko atau pun PB HMI) juga untuk memenuhi segmen strategis kehidupan bangsa. Sesuai perkiraan dan jangkauan di atas maka secara akademik, mental dan kompetensi kader HMI dibentuk dan diboboti dengan azas-azas pandangan tentang kehidupan secara konprehensif dengan menyajikan sistem pengetahuan yang secara kategoris terdiri dari tataran ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Artinya, dari sudut keilmuan dan tingkat intelektualisme kader HMI dapat bergerak berkembang secara merdeka dan dinamis sesuai proporsi, kebutuhan serta kapasitasnya masing-masing.  Begitu pula sebaliknya bahwa baik untuk mengisi lapisan kader dan atau menambah kapasitas itu maka sebagai organisasi kader, badan formal HMI selalu harus siap dengan kontinyuitas perkaderan sekaligus mereproduksikan berbagai unsur dalam perkaderan itu sendiri, utamanya nilai-nilai pandangan dunia (world view) dan nilai seputar sosiologi perkembangan lingkungan serta dinamika ilmu pengetahuan dan tekhnologi.



Ideologisasi Nilai Kekaderan Dalam Tantangan dan Perubahan



Dalam konteks penjelasan sebelumnya, perubahan yang diketengahkan bagi perkaderan HMI berpangkal pada proyek rekayasa global yang mempengaruhi kultur masyarakat saat ini. Berbagai hal telah muncul sebagai implikasi dari kemenangan kapitalisme atas sosialisme yang tidak terduga sebelumnya, tetapi pada sisi lain dunia semakin terbuka untuk melakukan transaksi dan pertukaran potensi serta komunitas atas dasar pasar bebas. Secara geografi politik, HMI lahir dan berkembang sebagai bagian dari Negara-bangsa yang terletak di dunia timur, tentu terancam ‘rugi’ oleh kedua situasi tersebut, bahkan jika keliru menafsirkan, HMI pun menjadi korban. 



Jika dalam hembusan globalisasi manusia hidup tanpa standarisasi nilai kehidupan atas diri, tanpa orientasi kerja-hidup di dunia, tanpa karakter, tanpa identitas kebudayaan yang berakar. Dalam konteks ini harus ditegaskan bahwa globalisasi adalah bawaan dunia barat berbentuk peradaban tidak bersendi spritualitas dan tanpa standar nilai atau citra kemanusiaan. Demokrasi dan Hak Azasi Manusia didengungkan tanpa standar nilai, melainkan ditentukan dengan standar sejauh kemampuan seseorang menlindungi atau mengkases proses pemenuhan kedua hal tersebut di atas. Ukuran nyata kegagalan budaya barat adalah ketika di negeri kelahirannya mulai ramai digugat dan ditinggalkan oleh sejumlah pemikir yang ditandai dengan munculnya kegerahan lalu berpaling ke psomodernisme, meski ikon terakhir ini memiliki kelemahan dalam pilihan asumsi tentang kebenaran. Di sisi lain munculnya sejumlah teori pembebasan telah mengarahkan manusia untuk lari dan segera mencari ruang yang cerah dan segar, sejumlah situasi tersebut tidak saja menjadi tantangan, tetapi suatu ketika aka menjadi hamparan kendala bagi perkaderan dan ideologisasi HMI. Sehingga jika Vitalitas perkaderan HMI diasumsikan sebagai dasar stimulasi bagi sendi dan titik balik kebangkitan HMI dan kader-kader muda dan ‘langit suci’ yang terjaga bagiresultante gerakan kader serta menjadi ‘benteng’ terkahir dari harapan ummat Islam yag senantiasa hidup dalam setiap lapis generasi sesuai zamanya, maka dengan sendirinya perkaderan dituntut agar selalu mengalami ‘daur ulang’ sesuai tantangan zaman.



Dasar rumusan yang dimaksud adalah harapan kontinyuitas perubahan secara actual dengan tetap berpegang pada substansi nilai-nilainya yaitu nilai dasar ummat manusia sebagai mana yang tertuang dalam NDP HMI tidak akan pernah berubah karena ‘Nilai’ bersifat universal hanya pada tekananya yang terkadang dapat berubah.



Setidaknya ada beberapa kecendrungan kehidupan Negara-bangsa masa datang yang akan berpengaruh terhadap kehidupan ummat Islam, dan HMI pada khususnya, yakni;



1.       Tuntutan menggali kembali akar-akar kebudayaan dan peradaban dalam fitrah manusia sebagai akibat rusaknya keseimbangan eksistensial karena kekeliruan menerima kiblat peradaban moderen (an sich) yang western kini sejauh telah ditunjukkan dengan tingginya tuntutan pergeseran cara pandang sistemik menjadi cara pandang berbasis tatanan, yakni yang menandai hubungan interkoneksitas antara manusia, alam dengan sang pencipta. Begitu pula tuntutan pergeseran paradigma positivisme menjadi transendensi. Sehingga disinilah HMI sebagai organisasi yang berbasis pada spritualitas dan keilmuan menjadikan NDP HMI sebagai bangunan tatanan berfikir bagi semua kader-kadernya dalam menghadapi tantangan dan perubahan yang dimaksud.



2.       Pertarungan dan benturan ideology, bukan ideology sistemik yang biasanya mengangkut konstruk aktivitas ekonomi, melainkan ideology pemikiran yang akan mengangkut cara berperilaku dan berbudaya, untuk hal ini dibutuhkan materi perkaderan pada semua jenjang, yakni konstruk tata urut pemikiran dan khazanah berfikir ilmiah paradigmatic.



3.       Runtuhnya bangunan cara berfikir positivisme yang disusul dengan runtuhnya formalism Negara-bangsa. Hal ini berkecendrungan kearah federalism yang sebelumnya akan membangkitkan semangat atau gejolak cultural di tiap daerah. Untuk hal ini HMI perlu diboboti pemahaman tentang Identitas Kebudayaan dan filsafat Pendidikan Multikulturalisme



4.       Lemahnya akselerasi kemampuan Negara menyerap gejala perkembangan social budaya hingga dipelosok daerah dibanding dengan kemampuan tekhnologi komunikasi dan informas global. Hal ini sudah mulai memperburuk tata nilai kehidupan social budaya masyarakat kita, sehingga untuk hal ini dibutuhkan pembobotan HMI pada aspek ruang primordial Nilai Universalisme dalam geografi kesejarahan Nusantara ataupun nasionalisme multicultural



5.       Sebagai akibat dari ketidak mampuan Negara manampung semangat perubahan, kini kita memasuki era otonimi daerah berimbas pada proses mobilitas social-politik berpindah sepenuhnya menjadi milik rakyat secara terbuka.  Sehingga HMI juga harus mampu merambah pada kehidupan local, untuk itu HMI membutuhkan pemahaman Fakta Antropolgi BudayaPolitik dalam peta Geografi politik suku-suku nusantara



6.       Konsep Desentralisasi sesungguhnya mempengaruhi cara berfikir dan cara berorganisasi di daerah, dengan demikian HMI sudah seharusnya melakukan penguatan institusi yang ada di daerah minimal melalui menempatkan Badko dan cabang sebagai epicentrum dinamika kekaderan. Sehingga harus dapat memahami urgensi paradigma Hirarki ke Heterarki.



Dari kesemua hal di atas adalah acuan dan sekaligus gagasan untuk menyonsong kebangkitan kembali HMI terkhusus Vitalitas Perkaderan HMI, manakala tidak, maka HMI pun segera menerima pilihan takdirnya yakni kenyataan sebagai organisasi kecil sebagaimana gejala ini sudah mulai muncul dalam beberapa dasawarsa perjalanan organisasi, hanya ada satu dasar kita memulai yaitu “Moral Kekaderan HMI” untuk Kebangkitan Kembali HMI.



Normalisasi Perkaderan Proses Pelembagaan Nilai Kekaderan HMI



Sebagaimana sisytem social lainnya, sistyem perkaderan HMI juga harus mencerminkan kontinyuitas dan reproduksi perubahan. Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) cara pandang melihat kerangka sistemik perkaderan HMI;  1.     Perkaderan HMI; sebagai sutau bentuk subsistem social budaya dengan nilai keummatan dan kebangsaan yang disandangnya agar senantiasa melakukan kontraksi dengan sisytem social. 2.     Menempatkan perkaderan HMI sebagai sebuah proses didik diri untuk pembentukan sikap, watak, dan perilaku kekaderan. 3.     Memandang perkaderan HMI secara dan atau dalam arti luas Selanjutnya perkaderan HMI mengandung turbelensi pelembagaan kontinyuitas generasi yang memahami sistyem nilai HMI serta reproduksi dalam bentuk aktualisasi dan koaktualisasi kiprah kader di semua segmen kemasyarakatan. Kedua varian yang terkandung dalam sistem perkaderan terkondisi pada semua mata rantai sejarah perjalanan HMI mulai daya guna dan hasil guna struktur lapisan kader HMI ke dalam seluruh bentuk kerja-kerja kemanusiaan secara fungsional, dalam arti semua elemen social dan posisi kekaderan terbagi habis kedalam efektifitas manajemen organisasi secara keseluruhan. Perkaderan HMI adalah lembaga nilai sebagai dasar atau titik tumpuan bagi proses pembinaan dan kaderisasi dalam arti luas. Oleh karenanya harus ada pemetaan struktur baik lembaga nilai maupun institusi serta lapisan social serta pos-fungsi-fungsi yang berpengaruh secara timbal



balik terhadap perkaderan HMI, yang dimaksud dalam hal ini adalah struktur pembentuk tatanan dan Kerangka Nilai sebagai dasar pembentuk sistem, yang dalam pemetaanya ; 1.     KeIslaman, adalah suatu landasan nilai bagi melekatnya karakteristik khas dari segenap performa gerak kejauangan HMI di semua lini eksistensi kehidupan Negara-bangsa. (Qs. 3 : 102) 2.     KeUmmatan, adalah suatu landasan nilai yang senantiasa mengikatkan HMI dengan wawasan akan komunitasnya yang sekaligus menempatkan HMI dalam suatu realitas yang disandangnya, yakni sebagai bahagian dari institusi strategi perjuangan ummat Islam Indonesia, khususnya di tingkat pemuda dan mahasiswa (Qs. 3 : 110) 3.     Kebangsaan, adalah suatu nilai bagi kader HMI untuk mewujudkan nilai pengabdian pada agama dan ummat melalui aktualisasi kehidupan kemahasiswaan dan kiprah kekaderan kedalam semua segmen Negara-bangsa berdasarkan 5 kualitas Insan Cita HMI melalui kerja-kerja kemanusiaan yang bermoral (Qs. 49 : 13) 4.     Ke-HMIan, adalah suatu landasan nilai yang senantiasa menyangga kehidupan kader baik secara individu maupun secara kolektif dengan membawa HMI kedalam bagian dari kesinambungan sejarah baik secara terpisah dengan realitas struktur kekuasaan Negara (independen) maupun menjadi bagian dari realitas kemajemukan kehidupan bangsa 5.     Kemahasiswaan, adalah suatu landasan nilai dan semangat menempatkan kampus selain sebagai tempat proses didik diri yang berguna menanamkan jiwa dan semangat akademik, juga sebagai basis potensil baik untuk penggarapan input kader dan media aktualisasi kader dalam penguasaan lini-lini kemahasiswaan juga berguna untuk melebarkan pengaruh cara-cara berfikir HMI dalam menterjemahkan realitas kedalam kampus maupun keluar kampus. Dalam konteks ini jelas kiranya sebauh asumsi bahwa lemahnya perlawanan kampus terhadap kebijakan public menjadi tanda terkikisnya warna HMI di dalam kampus tersebut. Untuk itu menjadi tidak kalah pentingnya penanaman idealisme dan atau moralitas kader agar vitalitas charisma dalam mengembang nilai HMI ditengah kehidupan kampus senantiasa dapat terkawal, terjaga dan terawat. Upaya perpaduan kelima formula landasan nilai tersebut di atas akan menunjukkan performa kader maupun HMI itu sendiri secara organisasi akan memiliki kemampuan merawat Independensi organisasi baik Etis maupun Organisatoris. Artinya energy dan vitalitas kader akan tetap terawat dan terjaga serta terbebas dari pengaruh eksternal, sehingga posisi HMI sebagaisharing of change mampu mengambil kiprah berdasarkan khittah perjuangan dalam posisi independen baik secara etis dalam keberpihakan pada nilai-nilai kebenaran (hanif) dan ajaranajaran moral serta dapat memposisikan HMI terbebas dari kekuatan-kekuatan politik atau partisan tertentu yang selamah ini dapat merusak tatanan HMI dari dalam, meskipun tetap konsen menjadi bahagian dari perkembangan kehidupan politik Negara-bangsa secara makro.



Secara bersamaan pembentukan dan pelembagaan nilai dari kerangka nilai perkaderan di atas, maka akan termanifestasi dalam bentuk adanya idealitas syahadah, cita-cita, ajaran-ajaran moral, cara pandang serta pola tingkah laku sebagaimana wujudnya sebuah komunitas, dan kesamaan ini akan menjadi martil bagi daya dorong dalam melangkah secara individual dan perekat ikatan emosional yang membuatnya bersemangat secara kolektif. Konsekwensi logisnya konversi atas minat dan bakat kekaderan terdiferensiasi ke dalam bentuk-bentuk lembaga kolektif di internal HMI yang secara keseluruhan diharapkan membentuk lingkungan kultur yang kondusif bagi kader untuk berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya. Predeterminis Sistem Perkaderan Berbasis Qualia Iptek Kader HMI ada karena qualia intelektual,



HMI ada karena Visioner Pemikiran,



Demi masa, HMI adalah Predeterminis masa depan bangsa



Dan,



Demi Masa, Bukan HMI jika tak predeterminis dalam meneropong masa depan bangsa,



Demi masa, Bukan HMI jika qualia kader sama dengan seonggok sampah.



HMI yang sudah memproklamirkan fungsinya sebagai organisasi kader, mau tidak mau menjadikan perkaderan sebagai jantung kehidupan organisasinya. Namun sebetulnya asp-ek perkaderan di HMI mulai dibenahi secara serius pada akhir tahun 50-an dimana HMI sudah bertahun-tahun menjalankan peranannya, jadi perkaderan di HMI tidak lahir berbarengan dengan kelahiran HMI itu sendiri, melainkan lahir seiring proses waktu dan perubahan zaman. Awalnya hal itu baru mulai terpikirkan oleh para kader (PB HMI) ketika masa kepengurusan Ismail Hasan Metareum (periode 1957-1960), dan masih berupa wacana-wacana yang digulirkan oleh PB HMI sendiri. Ismail Hasan yang merupakan penggagas utama ide perkaderan formal di HMI menginginkan agar HMI tidak menjadi tempat berkumpul orang yang punya kesamaan hoby atau aktivitas saja, tapi menjadi second campus bagi para anggotanya. Selain itu, yang



menjadi faktor penting pendorong gagasan diadakannya perkaderan formal di HMI adalah karena waktu itu Ismail Hasan melihat adanya perbedaan aliran pemikiran dalam dinamika pergerakan aktivitas HMI, dimana ada anggotanya yang punya background lingkungan pesantren da nada juga cenderung sekuler.[1] Berawal dari itulah sampai hingga saat ini kita merasakan sebuah sistem perkaderan meskipun dalam masa ke masa sistem perkaderan menggunakan metodologi yang berbeda. Tetapi di era kekinian, seakan HMI tidak lagi mampu melahirkan motodologi perkaderan modern dan tidak terkikis oleh zaman melainkan terlahir sinkronisasi antara sistem perkaderan HMI dan perkembangan zaman. Hal ini terbukti banyaknya degradasi nilai kader hingga yang sangat miris adalah tradisi intelektual HMI yang memudar. Sejatinya kader-kader HMI adalah pewaris tradisi intelektual. Namun dewasa ini kegiatan-kegiatan keilmuan di HMI sangat minim sekali. Padahal dahulunya tradisi intelektual HMI merupakan salah satu andalan yang menjadi nilai lebih dan nilai jual HMI serta kader-kadernya ditengah masyarakat dan mahasiswa. Hal ini menyebabkan mahasiswa cerdas dan pintar jarang mau masuk HMI karena mereka melihat tradisi intelektual di HMI tidak mendukung kebutuhannya sehingga mereka memutuskan untuk aktif di organisasi lain yang dapat mendukung pengembangan intelektual mereka.[2] Dalam situasi seperti inilah seharusnya HMI mampu melakukan satu upaya introspeksi diri di dalam menatap sistem perkaderannya. Sebab dengan persinggungan dengan kekuasaan menyebabkan HMI kehilangan indenpendensi dan roh, HMI seringkali melibatkan diri dalam peran-peran yang tidak populis, karena keterlibatannya hanya sebatas makelar politik bagi kepentingan kekuasaan. Prinsipnya, HMI tidak lagi seksi di dalam medorong ide-ide yang kontekstual bagi kepentingan ummat, namun HMI justru terjebak dalam bingkai kekuasaan. Sehingga dari ini HMI menuai kritik dan terpinggirkan dari peran gerakannya bahkan HMI disinyalir terpuruk dari moment arus globalisasi dan modernisasi. Tradisi intelektualisme yang menjadi ranah ‘khittah perjuangan’ HMI yang di bangun dari dasar Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) malah juga praktis kehilangan pengaruh.[3] Sehingga Perkaderan HMI di masa datang harus benar-benar berkualitas. Dalam bahasa yang cukup menggugah, yakni bagaimana kita senantiasa Mengembangkan Perkaderan, dan Membangun Peradaban. Kualitas perkaderan itu sangat ditentukan oleh kemampuan kita untuk menjauhkan diri dari formalisme perkaderan. Karena perkaderan formalisme akan menggiring dinamika perkaderan HMI sekedar menjadi pertrainingan. Bagi HMI, sekedar pertrainingan adalah reduksi yang sangat berbahaya bagi totalitas perkaderan HMI yang sesungguhnya. Perkaderan formal penting sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan administratif struktural yang bersifat formal, serta kerangka-kerangka dasar yang harus dikembangkan lebih lanjut. Sementara perkaderan non-formal dan informal adalah medan yang lebih luas untuk proses penempaan kualitas kader-kader. Intelektualitas,



profesionalitas, loyalitas, religiusitas dan integritas para kader diasah lebih tajam dalam perkaderan yang non formal dan informal. seperti up-grading, follow up, diskusi, seminar, riset dan sebagainya. Agenda lainnya adalah meningkatnya kuantitas dan kualitas pelaksanaan LK II, LK III dan pusdiklat, sehingga produk dari rekruitmen dapat terserap dan dikembangkan kualitasnya secara maksimal. Dalam rangka peningkatan kualitas perkaderan (formal), maka pemahaman segenap pelaku training terhadap pedoman perkaderan perlu ditingkatkan. Selain itu, kualitas instruktur dan pengelola training wajib diperhatikan, misalnya dengan memperbanyak pelaksanaan Sekolah Pengelola Latihan dan Sekolah Instruktur. Dari pendalaman sistem perkaderan ini, secara tidak langsung Mindset dan paradigma berpikir kader HMI akan mampu meretas krisis intelektual kader yang terjadi dalam tubuh internal perkaderan HMI sehingga secara ekstra organisasi yang dimana kader HMI yang juga merupakan mahasiswa sebagai warga masyarakat yang sedang menempuh proses pendidikan tertinggi, maka dengan sendirinya mahasiswa dipandang sebagai kaum intelektual. Didalam golongan kaum cendekiawan itu sendiri, mahasiswa dianggap sebagai pihak yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi warga intelektual yang sepenuhnya.[4] Sistem perkaderan ini sebenarnya acak kali menjadi bahan perdebatan dalam berbagai ruangruang dialektika hingga konstestasi politik HMI, tetapi hingga saat ini belum ada solusi konkret PB HMI dalam menghadirkan regulasi sistem perkaderan yang kontektual ditengah ketatnya persaingan SDM Negara-negara Asean yang melalui Asean Community 2015 pada bulan desember 2015 arus deras neoliberalism akan menghantam Indonesia. Hal inilah yang menjadi kemunduran intelektual dan pemikiran kader HMI ditengah era globalisasi yang menyebabkan HMI terperangkap dalam ruang-ruang konflik struktural internal organisasi. Padahal diluar diding-dinding realitas internal, modernisasi IPTEK global terus berkembang dan melalui Asean Community menjadikan daya saing SDM akan semakin ketat. Sehingga, jika sistem perkaderan HMI pada kongres XXIX PB HMI 2015 tidak menjadi agitasi, hegemoni dan bahan diskursus untuk dilakukan pembaharuan yang kontektual dengan perkembangan zaman, maka HMI tidak akan mampu melahirkan kader HMI yang memiliki daya competitiveness dalam menghadapi Asean global impact. Melalui kongres XXIX PB HMI 2015 menjadi sebuah gagasan Poros kebangkitan menjadikan pembaharuan sistem perkaderan sebagai blueprint project untuk menjadi prioritas program PB HMI kedepannya. Meskipun gagasan ini pastinya akan menghadirkan diskursus dinamis dikarenakan Status Quo mempertahankan dan atau pembaharuan sistem perkaderan yang telah ada, tetapi menurut penulis hanya dengan cara inilah HMI mampu bangkit melawan derasnya arus neoliberalism dan sekiranya Prof.Dr.Nurcholish Madjid telah mewarisi kepada kita buah pemikiran visioner akan keislaman melalui Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP), sehingga dengan spirit keislaman kader HMI mampu memposisikan diri dalam dinamika bangsa yang semakin kompleks dengan cara mentransformasikan nilai-nilai keislaman dalam setiap ikhtiar kader.



  [1] Agussalim Sitompul,  Histiografi HMI 1947-1993 Jakarta, Miska Galiza, 2008. Cet.I, Hlm.152 [2] Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI , Suatu Kritik dan Koreksi untuk Kebangkitan Kembali HMI (50 tahun pertama HMI 1947-1997) , (Jakarta, Misaka Galiza, 2005). Cet.I, Hlm.55 [3] Saifudin al Mughniy, Pembangkangan Civil Soceity “manifestasi politik kaum pinggiran” (Makassar, Kalam Nusantara, 2010) Cet.I, Hlm.120 [4] Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa Antra Moral dan Politik(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) Hal 46



Masa Depan Indonesia Di Tengah Pusaran Neoliberalisme



Mantan wakil presiden pertama Indonesia, Muhammad Hatta Mengatakan dalam pidatonya:  “Bebas artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun, sedangkan aktif artinya menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan segala bangsa”[1]



Kelahiran politik luar negeri Indonesia memiliki kaitan erat dengan sejarah revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia ditandai dengan kebebasan Indonesia dari tangan kolonialisme Belanda. Fase revolusi Indonesia yang pertama adalah pergerakan memperjuangkan kemerdekaan. Sedangkan fase selanjutnya lebih dikenal dengan revolusi perjuangan sosial sebagai negara yang baru merdeka. Setiap fase revolusi tentunya menelorkan arah politik luar negeri yang berbeda. Setiap negara, dalam entitasnya, menetapkan kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional. Kebijakan tersebut sekaligus berfungsi menjelaskan keterlibatannya dalam



isu-isu internasional. Kebijakan negara baik domestik maupun internasional selalu didasarkan pada usaha memelihara dan mewakili kepentingan nasional.[2] Dengan demikian, kepentingan nasional terbentuk dari kepentingan domestik. Seketika kepentingan nasional itu dibawa keluar maka saat itu pula kepentingan nasional dikemas dalam politik luar negeri. Masing-masing negara memiliki politik (kebijakan) luar negeri yang partikular, walaupun barangkali sejumlah negara memiliki kemiripan. Fase revolusi perjuangan kemerdekaan Indonesia, politik luar negeri diarahkan untuk menggalang pengaruh dunia internasional guna mendukung perjuangan nasionalisme selfdetermination Indonesia. Melalui pidato Soekarno yang menggebu-gebu dan kunjungan kenegaraan ke beberapa negara, secara nyata telah menumbuhkan simpati internasional terhadap perjuangan indonesia merebut Irian Barat. Politik luar negeri juga dapat diartikan sebagai seperangkat strategi dan teknik dengan tujuan mengubah negara lain supaya mengikuti kita, supaya mereka melakukan adjustment yang mendukung kita.[3] Sehingga segala daya yang telah dilakukan oleh Soekarno tersebut diatas merupakan simbol implementasi politik luar negeri Indonesia saat itu. Fase revolusi sosial yakni perjuangan negara baru merdeka agar menjadi negara independent bebas intervensi asing, politik luar negeri diarahkan untuk perbaikan ekonomi dengan paying self sufficiency. Indonesia berusaha keras untuk menjaga kenetralannya di antara kedua blok yang saling bertikai. Politik domestik berperan penting dalam pragmatisme politik luar negeri Indonesia, Soekarno yang menerapkan landasan operasional, politik luar negeri Indonesia (PLNRI) yang bebas aktif pun senantiasa berubah sesuai kepentingan nasional. Misalnya selama masa orde lama, PLNRI yang sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno tersebut masih menekankan kebijakan hidup bertetangga dengan negaranegara kawasan, tidak turut campur tangan urusan domestik negara lain dan selalu mengacu pada piagam PBB.[4] Tetapi terjadi proses pencideraan kesepakan dalam PBB yang menyebabkan terjadinya konflik saudara antara Indonesia dengan Malaysia dan hal ini sebagai mana yang dicetuskan oleh Henry Kissinger dan Jack C Plano, dimana politik luar negeri merupakan kelanjutan dari politik domestik. Ini menegaskan pada era revolusi sosial Indonesia, politik domestik juga memainkan peran dalam membentuk dan mempengaruhi kebijakan luar negeri. Dan keberadaan fenomena ini tidak dapat dielakkan. Jika dielakkan, maka yang terjadi adalah pergolakan internal yang mengancam kekuasaan yang sedang berkuasa. Contoh kasusnya adalah Soekarno vs politik domestik dengan salah satu contoh Malaysia pada era 1960an. Implementasi Politik luar negeri indonesia bisa menjadi bermacam-macam. Politik luar negeri merupakan fenomena kompleks. Politik luar negeri tidak lebih sebagai suatu platform atau guidance untuk menjalin relasi dengan dunia internasional.[5] Terjadinya sebuah sikap konfontasi Indonesia memuncak pada ancaman yang diambil Soekarno untuk keluar dari Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) jika PBB mengakui akan kedaulatan negara



Malaysia, yang pada akhirnya Indonesia pun resmi keluar dari PBB pada 7 januari 1960.[6] Pada masa-masa dekade 60-an, tepatnya saat masa demokrasi terpimpin inilah muncul atmosfer kedekatan presiden pertama republik Indonesia pada blok timur. Kedekatan Soekarno dengan blok timur merupakan interpretasi dari posisi Indonesia sebagai negara bekas jajahan kolonial dan menginterpretasikan pula bahwasanya kapitalisme yang di bawa oleh blok barat adalah upaya kolonialisme gaya baru. Soekarno membangun relasi dan kedekatan dengan negara-negara dengan paham komunis seperti Cina, Kuba dan tentunya Uni Soviet. Politik dalam negeri Soekarno pun terpengaruhi oleh kebijakan luar negerinya yang cenderung kepada blok timur, dengan tidak ingin memiliki image negara terbelakang, Soekarno menginisiasi politik mercusuar sebagai alat diplomasi dalam image building Indonesia di mata dunia. Dalam pernyataannya Soekarno melakukan cluster negara-negara yang terbagi dalam Oldefo (Old Established Forces) sebutan bagi negara-negara dengan kekuatan besar dalam upaya dalam sistem nekolim (neokolonialisme dan imperialime) yang mayoritasnya merupakan negaranegara maju barat seperti misalnya Amerika Serikat dan Inggris dan Nefo (New Emerging Forces) yang mayoritas merupakan negara-negara pada tataran ekonomi tradisional dan transisi dengan mayoritas negara berpaham komunis-sosialis dan negara-negara Asia pada umunya misalnya Cina dan Vietnam.[7] Tidak terkecuali pada implikasi kebijakan dalam negeri Indonesia dan luar negeri Indonesia yang pada kala itu, misalnya Soekarno menginisiasi pekan olahraga dengan mengundang negaranegara yang masuk dalam cluster NEFO atau lebih dikenal dengan sebutan NEFOS. Hal ini mengakibatkan pergeseran akan image arah politik luar negeri Indonesia. Sikap Soekarno yang sangat konfrontatif dan tidak mengenal kompromi akan apa yang dianggap bahaya laten dari neo-kolonialisme, mengakibatkan Indonesia tampak sebagai ancaman efek politik domino paham sosialisme di Asia Tenggara. Kekhawatiran Amerika Serikat pada masa presiden Harry S Truman dengan segera mengeluarkan proyek Marshal Plan guna membendung efek dan arus komunisme yang tengah menjalar disekitar wilayah Asia Timur seperti Cina dan korea utara yang pada saat itu, sebagaimana yang di konsepkan oleh morton kaplan pada analisis model sistem internasional bukan pada masa bipolar ketat lagi pada dekade 50-an namun telah bertansformasi menuju sistem bipolar longgar seperti kemunculan Vietnam utara, dan di khawatirkan berefek domino pada bagian negara-negara indoCina dan sekitarnya di Asia Tenggara. Kembali mempertegas kepada seluruh kader HMI melalui tulisan ini yang hanya sebagai brainstorming untuk bagaimana sang founder father Negara Indonesia mempertegas indonesia sebagai Negara yang besar, kuat dan anti diskriminasi. Meskipun khusus ulasan ini tidak berkaitan secara langsung terhadap HMI, hanya saja ulasan ini memnggambarkan kepada kita betapa visioner sang founder father kita dalam melakukan desainan komunikasi politik yang menjadikan indonesia mendapat gelar Macan Asia.



Sehingga menjadi sebuah harapan, melalui Rahim-rahim hijau hitam sang nakhoda yang memimpin HMI ditengah ancaman neoliberalism yang semakin deras, mampu meretas ironiironi kristalisasi intelektual dan menjadikan HMI sebagai resolusi atas perlbagai problem Negara yang tengah sakit.   [1]  Pidato Bung Hatta di depan BPUPKI 1948. [2]   Jack C Plano & Ray Olton.1969., International Relations Dictionary, New York Holt; Rinehart & Winston.hlm.127. [3]   Modelsky, George. 1962. Theory of Foreign Policy. New York: Praeger.hlm.6. [4] Hal ini dapat kita lihat pada Maklumat Politik Pemerintah 1 November 1945, pidato kepresidenan 17 Agustus 1960 (Jarek), dan Keputusan Dewan Pertimbangan Agung No.2/Kpts/Sd/I/61 tanggal 19 Januari 1961. [5]  Ibid…..hlm.6. [6] Undang-Undang Presiden Republik Indonesia pada 14 Februari 1966 tentang Penarikan Diri Republik Indonesia Dari Keanggotaan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan  (International Bank for Reconstructure and Development). Diakses melaluihukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_1966.pdf  dan diunduh pada Rabu, 27 mei 2014. [7]   http://nefos.org/ diunduh pada Rabu, 16 April 2014  dalam artikel “Oldefo Vs Nefo” oleh Max Lane, pengamat Indonesia, Visiting Fellow, Centre for Asia Pacific Social Transformation Studies, University of Wollongong, Australia. Artikel pertama kali dimuat di Sinar Harapan pada19 Juli 2002.



HMI Kembali ke Gerakan Kebudayaan Kaitan HMI secara Historis, adalah sebuah organisasi yang pada khittahnya berjuang untuk mewujudkan Masyarakat adil Makmur yang diridhoi Allah SWT. Sehingga HMI merupakan suatu lembaga dan komunitas yang didasari pada suatu komitmen bersama oleh kader-kadernya pada cita-cita ideal tersebut, setidaknya ada dua hal yang merupakan dasar dan titik pertemuan visi kader-kader HMI dalam berhimpun dan bergerak dalam himpunan yakni Nilai KeIslaman dan Nilai Keindonesiaan yang praksisnya terlihat dalam spirit perjuangan HMI dalam mewarnai wacana kebudayaan dan kenegaraan di bangsa ini. Dalam konteks kehidupan HMI saat ini, keterkaitan hal tesebut yang sudah mulai ditinggalkan, hal ini di sadari semakin hilangnya identitas keilmuan dan keIslaman HMI dalam mewarnai



aktifitas gerakan baik secara organisasi maupun secara personal kader-kadernya, setidaknya hal ini dapat dirasakan di beberaoa tahun terkahir ini, sehingga harapan untuk menyatu dalam gagasan dan perjuangan pada semangat yang sama semakin jauh dari harapan. Kronisnya bukan hanya politik struktur, tetapi lebih jauh bidang-bidang kerja yang biasanya menggerakan kultur kekaderan juga sudah demikian menjauh dari akar-akarnya, setidaknya dua garis besar tersebut yakni Keummatan (KeIslaman) dan Kebangsaan (Keindonesiaan). Kalaulah hal ini dipertegas, kini HMI menjauh dari Norm tau Tradisi dan kebudayaannya  serta orisinilitas cara pandangnya pada tingkat nilai, sehingga selalu keliru memahami realitas. Realitas kekinian selalu diterjemahkan bukan pada karakternya, melainkan pada fenomenanya sehingga selalu ‘tertipu’, hal ini dapat diukur dari dua kenyataan yakni; pertama, pada even demi even politik dalam tubuh HMI hanya menghasilkan dan atau pun menyisahkan tidak lebih dari persoalan menjadi masalah, utamanya persoalan tingkah laku dalam hubungan sesama warga HMI, sebagai implikasinya adalah mengkrucutnya variable-variabel konflik, bukannya nilai dari dalam dibiaskan keluar melainkan nilai dari luar yang dibiaskan kedalam sehingga pada akhirnya nilai-nilai dari luar yang menjadi sosok bauran kader, bahkan terhadap kinerja organisasi. Kedua, redupnya intelektualisme, dalam artian HMI telah jauh dari akar Tradisi dan kebudayaannya. Kiranya saat ini sangat tepat menggambarkan betapa HMI mengalami ketidak seimbangan dalam pengelolaannya secara keseluruhan. Dipandang dari teori system, kedua kenyataan di atas menghasilkan diskontinyuitas di tingkat nilai. Sedangkan kualitas kader tidak mengalami reproduksi. Karenanya tidak salah jika HMI mengalami situasi abnormal. Secara normative, abnormalitas tentu saja hanya bisa diselesaikan denga cara abnormal pula. Manakalah hal ini tidak segera dibenahi, tidak perlu sejumlah kalangan menuntut pembubaran HMI, tetapi HMI akan bubar dengan sendirinya, sebab gejala ini sudah mulai nampak khususnya di kampuskampus besar. Oleh karenanya, untuk membangkitkan kembali HMI, maka perbaikan perkaderan adalah yang perlu divitalisasi kembali sebagai proses pelembagaan nilai-nilai kekaderan, sehingga penggarapan kembali vitalisasi perkaderan dipola dimulai dari atas yakni PB HMI ibarat membersihkan tangga dari atas, bukan dimulai dari bawah agar tidak kembali menyisahkan kotoran pada anak tangga yang lebih rendah. Tentunya saja bahwa perbaikan kader dalam kaitannya perbaikan kader secara individu dan HMI secara organisasi untuk segera berbenah diri bersama lingkungannya, dengan jalan HMI harus dikembalikan kepada gerakan kebudayaannya (Back to cultural Movement). Kembali pada gerakan kebudayaan HMI adalah suatu cara pandang dalam melihat baik dari dalam internal HMI maupun dari aspek eksternalnya, pada dasarnya perubahan yang diketengahkan bagi perkaderan HMI berpangkal pada proyek rekayasa global yang mempengaruhi kultur masyarakat saat ini. Berbagai hal telah muncul sebagai implikasi dari kemenangan kapitalisme atas sosialisme yang tidak terduga sebelumnya, tetapi pada sisi lain dunia semakin terbuka untuk melakukan transaksi dan pertukaran potensi serta komunitas atas



dasar pasar bebas. Secara geografi politik, HMI lahir dan berkembang sebagai bagian dari Negara-bangsa yang terletak di dunia timur, tentu terancam ‘rugi’ oleh kedua situasi tersebut, bahkan jika keliru menafsirkan, HMI pun menjadi korban.  Jika dalam hembusan globalisasi manusia hidup tanpa standarisasi nilai kehidupan atas diri (hyper realitas), tanpa orientasi kerja-hidup di dunia, tanpa karakter, tanpa identitas kebudayaan yang berakar.  Dalam konteks ini harus ditegaskan bahwa globalisasi adalah bawaan dunia barat berbentuk peradaban tidak bersendi spritualitas dan tanpa standar nilai atau citra kemanusiaan. Demokrasi dan Hak Azasi Manusia didengungkan tanpa standar nilai, melainkan ditentukan dengan standar sejauh kemampuan seseorang menlindungi atau mengkases proses pemenuhan kedua hal tersebut di atas. Ukuran nyata kegagalan budaya barat adalah ketika di negeri kelahirannya mulai ramai digugat dan ditinggalkan oleh sejumlah pemikir yang ditandai dengan munculnya kegerahan lalu berpaling ke postmodernisme, meski ikon terakhir ini memiliki kelemahan dalam pilihan asumsi tentang kebenaran. Di sisi lain munculnya sejumlah teori pembebasan telah mengarahkan manusia untuk lari dan segera mencari ruang yang cerah dan segar, sejumlah situasi tersebut tidak saja menjadi tantangan, tetapi suatu ketika aka menjadi hamparan kendala bagi perkaderan dan ideologisasi HMI. Sehingga jika Vitalitas perkaderan HMI diasumsikan sebagai dasar stimulasi bagi sendi kebudayaan HMI dan kader-kader muda dan ‘langit suci’ yang terjaga bagi resultante gerakan kader serta menjadi ‘benteng’ terkahir dari harapan ummat Islam yag senantiasa hidup dalam setiap lapis generasi sesuai zamanya, maka dengan sendirinya HMI harus mampu kembali kebudayaan Kaderisasinya dengan mengusung jargon “HMI Kembali pada Gerakan Kebudayaan”, Dasar rumusan yang dimaksud adalah harapan kontinyuitas perubahan secara actual dengan tetap berpegang pada substansi nilainilainya yaitu nilai dasar ummat manusia sebagai mana yang tertuang dalam NDP HMI tidak akan pernah berubah karena ‘Nilai’ bersifat universal hanya pada tekananya yang terkadang dapat berubah. Tuntutan menggali HMI kembali pada gerakan kebudayaan sama dengan tuntutan kembali pada akar-akar kebudayaan dan peradaban dalam fitrah manusia sebagai akibat rusaknya keseimbangan eksistensial karena kekeliruan menerima kiblat peradaban moderen(an sich) yang western kini sejauh telah ditunjukkan dengan tingginya tuntutan pergeseran cara pandang sistemik menjadi cara pandang berbasis tatanan, yakni yang menandai hubungan interkoneksitas antara manusia, alam dengan sang pencipta. Begitu pula tuntutan pergeseran paradigma positivisme menjadi transendensi. Sehingga disinilah HMI sebagai organisasi yang berbasis pada spritualitas dan keilmuan menjadikan NDP HMI sebagai bangunan tatanan berfikir bagi semua kader-kadernya dalam menghadapi tantangan dan perubahan yang dimaksud. Dari penjelasan tersebut di atas adalah suatu bangunan dasar pijak pemikiran dalam rangka mengarahkan kader-kader HMI untuk kembali pada gerakan kebudayaan.



HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM DI ERA KEKINIAN Himpunan Mahasiswa Islam lahir 14 Rabiul Awal 1366 Hijriah, bertepatan dengan 5 Februari 1947 Masehi. Dus, pada 14 Rabiul Awal 1427 (kira-kira 14 Maret 2006) HMI genap berusia 61 tahun (hijriah) dan 5 Februari 2006 tepat berusia 59 tahun (masehi). Suatu usia yang cukup berumur dan tentu saja mengundang sejumlah konsekuensi. Bagaimanakah kondisi HMI dalam usianya yang telah menginjak 61/59 tahun tersebut? Banyak instrumen analisa dan perspektif yang dapat kita gunakan untuk memahami kondisi HMI saat ini, diantaranya adalah arkeologi dan geneologi pengetahuan yang diperkenalkan oleh Michel Foucault.



Metode arkeologi memfokuskan kajian pada pernyataan atau wacana dengan sistem prosedur yang memproduksi, mengatur, mendistribusi, mensirkulasi, dan mengoperasikannya. Mengupas wacana sebagai suatu sistem ‘internal’ dengan ‘prosedur-prosedurnya’ yang teratur. Sedangkan geneologi memberikan pusat perhatian pada hubungan timbal balik antara sistem kebenaran (pernyataan/wacana) dengan sistem kuasa (mekanisme yang didalamnya suatu “rezim politis” memproduksi kebenaran). Geneologi tidak berusaha menegakkan pondasi-pondasi epistemologis yang istimewa, tapi ia mau menunjukkan bahwa asal-usul apa yang kita anggap rasional, pembawa kebenaran, berakar dalam dominasi, penaklukan, hubungan kekuatan-kekuatan atau dalam suatu kata, kuasa.



Dengan menggunakan perspektif arkelogi dan geneologi pengetahuan, berarti kita akan melihat realitas HMI saat ini sebagai suatu realitas wacana/sistem pengetahuan dimana di dalam sistem wacana/pengetahuan tersebut terdapat prosedur-prosedur yang memegang kendali atas proses produksi, pengaturan, pendistribusian, pensirkulasian, dan pengoperasian sistem wacana/pengetahuan tersebut serta terdapat sistem kuasa atau relasi kuasa yang mengukuhkan sistem wacana/pengetahuan tersebut. Prosedur-prosedur tersebut kemudian kita sebut sebagai fundamental codes of cultures yang mewakili dimensi “nalar” dan relasi kuasa mewakili dimensi politis.



Konsekuensi dari perspektif ini adalah bahwa realitas HMI saat ini tidaklah merupakan suatu realitas yang terbentuk dengan sendirinya melainkan terbentuk melalui proses diskursif dimana terjadi proses pengukuhan fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tertentu dan proses peminggiran fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang lainnya. Fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut kemudian “berwenang” menentukan mana fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan menjadi mainstream (arus utama) atau mendominasi “wajah” realitas namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang jadi “pecundang” dan terpinggirkan (pheripheri) sehingga ia bisa jadi



hanya berupa bercak saja atau malah benar-benar tersamar dari “wajah” realitas. Contohnya, di HMI berkembang beragam wacana keagamaan, wacana keagamaan yang modern-moderatinklusif nampaknya merupakan “pemenang” dan wacana keagamaan yang tradisional-radikaleksklusif merupakan “pecundang”, tetap berkembang namun tidak menjadi mainstream. Contoh lain, frame berpikir political oriented merupakan “pemenang”, sementara frame berpikir yang berorientasikan profesi adalah “pecundang”. Kemudian, orientasi politik-struktural merupakan “pemenang”, dan orientasi politik-kultural merupakan “pecundang”. Semangat ketergantungan terhadap senior/alumni adalah “pemenang” dan semangat independen/mandiri adalah “pecundang”, serta masih banyak contoh lainnya yang menentukan siapa pemenang dan pecundangnya merupakan “kewenangan” atau tergantung “selera” fundamental codes of cultures dan relasi kuasa.



Ketika sistem pengetahuan tersebut dengan fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang dimilikinya sudah demikian eksis dan tidak ada perlawanan terhadapnya, maka anggota HMI saat ini sesungguhnya tidak lebih dari robot-robot yang digerakkan secara otomatis oleh fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut. Ia dideterminasi cara berpikir dan tindakannya oleh fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut. anggota HMI tidak lebih sebagai pelanjut tradisi tanpa inovasi. Sebagai pelanjut saja dari senior-seniornya, maka wajar saja bila istilah-istilah seperti “bagaimana senior? apa perintahnya”, “adinda terserah senior saja” dan sebagainya menjadi cukup populer di HMI. Istilah-istilah tersebut, secara ekstrim menggambarkan hubungan patron-client (tuan-hamba) antara senior (alumni) dan anggota HMI.



Fundamental codes of cultures dan relasi kuasa ada yang buruk, dan tentu ada juga yang baik. Namun pasti ada fundamental codes of cultures dan relasi kuasa (yang buruk) yang menyebabkan kader HMI saat ini demikian pasrah pada “memory of the past”, pada kenangan masa lalu. Menggantungkan eksistensinya pada “kebesaran seniornya”, “berlindung di balik keagungan sejarah HMI” yang tidak pernah dibuatnya namun ia terus asyik memparasitkan diri menghisap “keberkahan” darinya. Inilah potret kader HMI yang kehilangan kritisismenya, tuli terhadap “memory of the future” (cita-cita masa depan) dan mengambil sikap ‘resist to change’, menolak perubahan. Kader HMI lupa bahwa pernyataan senior/masa lalu memang ada benarnya namun banyak juga yang sudah tidak benar lagi karena ‘zaman telah berubah’. Dalam konteks ini, pernyataan almarhum Nurcholish Madjid agar HMI dibubarkan saja menemukan pembenar karena beliau melihat bahwa relevansi HMI bagi masa kini dan apalagi bagi masa depan sudah jauh berkurang, kalaupun bukannya tidak ada lagi. HMI tidak lagi menjadi elemen penggerak kemajuan melainkan kekuatan status quo dan bahkan sebaliknya menggerakkan pada kemunduran.



Dengan demikian siapakah yang patut disalahkan atas kondisi HMI yang katanya mengalami kemunduran, mengalami konflik perpecahan di tubuh PB HMI yang terjadi dua kali berturutturut, dan kelemahan lainnya dari organisasi HMI saat ini? Tidak ada seorang pun yang perlu disalahkan karena kondisi HMI saat ini merupakan produk fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang hidup dalam tubuh HMI. Fundamental codes of cultures dan relasi kuasa dapat bersemayam dan dikukuhkan dalam media seperti doktrin organisasi, aturan organisasi (AD, ART dan penjabarannya), dalam pola pendanaan aktivitas HMI, dan dalam pola interaksi keseharian antara kader dan pengurus HMI atau antara kader/pengurus dengan alumninya. Semuanya terbentuk melalui proses historis yang agak sulit dikendalikan oleh orang per orang, hanya tanggung jawab kolektif (generasi) yang dapat menghadapinya. Persoalannya adalah telah terdapat sejumlah generasi yang tidak menyadari bahwa ada fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang bekerja di tubuh HMI, yang disamping mengusung kebesaran HMI namun juga bekerja “menghancurkan” HMI, menghantarkan HMI pada ketidakrelevanannya dengan zaman.



Menyadari hal tersebut, sudah sepatutnya generasi sekarang mengembangkan kesadaran untuk mengenali fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut, mengambil sikap dan tindakan terhadapnya. Iktiar inilah yang merupakan upaya menghadirkan suatu ‘HMI Baru’ dan merupakan suatu bentuk rasa tanggung jawab sebagai kader HMI yang cinta akan organisasinya. ‘HMI Baru’ adalah HMI yang terbebas dari fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang buruk yang menyebabkan ia tertawan oleh masa lalu, dan “menebalkan” fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang baik serta menanamkan benih suatu fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang baru sehingga HMI dapat menyambut ‘kelahirannya kembali’ dan dengan penampilan meyakinkan mewarnai ‘zaman yang telah berubah’ ini. Ikhtiar untuk melaksanakan hal ini membutuhkan komitmen kuat dan terfasilitasi dengan baik sehingga forum tertinggi organisasi, Kongres, merupakan wadah yang paling tepat untuk membangun dasar-dasar ‘HMI Baru’ tersebut. Karena disana akan ditentukan (perubahan) doktrin organisasi (NDP), aturan main yang mendasar dari organisasi (AD, ART dan penjabarannya), program kerja serta nakhoda baru organisasi.



Himpunan Mahasiswa Islam Baru. Ikhtiar menghadirkan ‘HMI Baru’ adalah bentuk perlawanan terhadap kondisi HMI yang menjauhi idealitas, terjebak pada kejumudan dan kehilangan “syahwat” inovasi. Untuk itu, ‘HMI Baru’ harus terampil memperlakukan masa lalunya. Ia tahu mana yang patut diteruskan dan mana yang patut disudahi. Dalam bahasa lain, terampil membebaskan diri dari fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang buruk yang menyebabkan ia tertawan oleh masa lalu, dan “menebalkan” fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang baik serta terampil



menanamkan benih fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang mampu membuatnya berseri-seri menyambut masa depan. Ia juga terampil menghadirkan masa depan dan benihbenihnya pada kondisi kekinian. Ia terampil mengelola tekanan masa lalu (yang terkadang disertai tawaran “gula”) dan tuntutan masa depan (yang terkadang disertai “pil pahit”) yang kemudian diformulasikannya dalam kerja nyata organisasi.



Bila fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang buruk adalah dominasi materialisme dan political oriented dalam cara berpikir kita; ketidakpastian sumber pendanaan organisasi yang diantaranya berpengaruh pada kesulitan dalam mensinambungkan kerja-kerja organisasi dan kesulitan transparansi penggunaan dana; relasi kuasa yang dominan dengan politisi; serta sistem kepengurusan yang mengoligarki maka ‘HMI Baru’ harus membebaskan diri dari semua itu. Secara normatif, kita dapat meraba bahwa ‘HMI Baru’ adalah HMI yang bila sebelumnya ia adalah organisasi kumpulan pemalas, maka ia adalah organisasi kumpulan orang rajin. BiIa sebelumnya adalah organisasi yang administrasi organisasinya buruk, maka ia adalah organisasi yang administrasi organisasinya baik. Bila sebelumnya adalah organisasi yang tidak transparan dalam pengelolaan uang, maka ia adalah organisasi yang transparan dalam pengelolaan uang. Bila sebelumnya ia adalah organisasi yang berkonflik dengan buruk, maka ia adalah organisasi yang berkonflik dengan baik. Bila sebelumnya adalah organisasi yang tidak independen, maka ia adalah organisasi yang independen. Bila sebelumnya adalah organisasi yang tidak inovatif, maka ia adalah organisasi yang inovatif, dan seterusnya. Masing-masing dari kita dapat menambahkan daftar tersebut dengan memasukkan apa yang tidak ideal dan memasukkan lawannya yang ideal sebagai satu karakter dari ’HMI Baru’. Namun yang pasti ’HMI Baru’ tidak asal beda dan tidak untuk benar-benar mendirikan suatu organisasi baru sebagai sempalan HMI seperti HMI MPO.



Himpunan Mahasiswa Islam Baru Dan Masa Depan Bangsa Keberadaan HMI tentunya memiliki dampak terhadap bangsa (dan negara) Indonesia, positif maupun negatif, dan besar maupun kecil. Hal ini disebabkan karena kader HMI adalah hampir dapat dipastikan seluruhnya generasi muda bangsa Indonesia yang kelak Insya Allah akan menempati posisi strategis di bangsa Indonesia. Sehingga nilai-nilai dan kualitas sumber daya manusia yang mereka miliki akan turut menentukan nilai-nilai dan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia di masa yang akan datang.



Oleh karena ia merupakan manifestasi idealitas HMI, ‘HMI Baru’ tentunya diharapkan memiliki dampak yang positif terhadap bangsa dan negara Indonesia. Logika yang dibangun memang merupakan logika linear sederhana. Hal ini tentu akan berjalan demikian bila terjadi transformasi yang baik dari ‘HMI Baru’ yang merupakan generasi muda bangsa tersebut hingga eks ‘HMI



Baru’ yang kemudian memegang posisi strategis bangsa dan negara. Namun dari gambaran ini adalah logis bila dikatakan: membangun ‘HMI Baru’ pada dasarnya adalah membangun juga masa depan bangsa (dan negara) Indonesia yang lebih baik. Adalah tugas kita bersama mewujudkan pernyataan tersebut tidak menjadi klaim yang berlebihan.



Nilai-Nilai Perjuangan Kader Nilai-nilai perjuangan kader merupakan konsepsi dasar yang membentuk karakter dalam setiap individu kader serta melekat dalam diri setiap individu kader. Pembentukan ini tidaklah serta merta hadir dalam diri kader tanpa adanya proses transformasi doktrinasi organisasi.



Himpunan mahasiswa islam merupakan organisasi yang memiliki nilai-nilai perjuangan yang sangatlah jelas seperti yang termaktub dalam kontstitusi anggaran dasar bab II pasal III tentang asas islam. Hal inilah yang merupakan acuan dasar melangkah kader-kader himpunan mahasiswa islam dalam mewjudkan tujuan himpunan mahasiswa islam “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adilmakmur yang dirdhoi Allah SWT”. Untuk mewujudkan tujuan himpunan mahasiswa islam sehingga fungsi dan peran himpunan mahasiswa islam seperti yang termaktub dalam konstitusi anggaran dasar bab IV pasal VIII tentang fungsi dan Pasal IX tentang peran.



Dalam implementasi aktualisasi nilai-nilai kader himpunan mahasiswa islam sangatlah jelas akan fungsinya yang dimana dari tahim hijau hitam telah banyak kader-kader dan alumni yang terlahir dan menjadi pemimpin bangsa, serta perannya akan kredibilitas sebagai organisasi perjuangan yang banyak turun andil dalam perjuangan republik indonesia. Hal ini terbukti akan perjuangan kader himpunan mahasiswa islam pada fase konsolidasi fisik (1947-1949) wakil PB HmI Ahmad Dahlan Tirtosudiro membentuk corps mahasiswa dalam membantu TRI (sekarang TNI) dalam pemberontakan PKI di madiun, perjuangan Ma’arie Moehammad dalam menggulingkan Rezim Orde Lama dan Perjuangan Anas Urbaningrum dkk dalam menggulingkan rezim Orde Baru menuju era reformasi. Perjuangan ini sehingga tidaklah heran jika Jendral Besar. Soedirman mengatakan “HmI bukan sekedar Himpunan Mahasiswa Islam, Melainkan HmI merupakan Harapan Masyarakat Indonesia”.



Tantangan Himpunan Mahasiswa Islam. Dalam Konsep profetiknya, oleh Kuntowijoyo dicoba difahami sebagai sebuah paradigma yang diintepretasikan untuk aksi, maka HMI harus mampu melampaui pemikiran sekaligus aksi yang



ditawarkan oleh Kuntowijoyo. Sedikit berbeda dengan Cak Nur, gagasannya mengenai keharusan pembaruan pemikiran keagamaan, selain juga menuai berbagai kritikkan tajam, pada akhirnya gagasan beliau memberikan pengaruh sangat besar dalam wacana ke-Islam-an di Indonesia. Dalam konteks kekinian, tradisi intelektual yang terdapat di HMI dihadapkan pada beberapa tantangan serius. Sebagai artikulator gagasan umat sekaligus bangsa, sudah semestinya HMI mengambil peranan sangat penting di saat kondisi bangsa membutuhkan ide-ide pembaruan yang inovatif, relevan, realistis dan produktif.



Bertolak dari tujuan HMI, perlu digarisbawahi beberapa poin penting yang semestinya mengiringi jalannya organisasi. Pertama, keharusan mengembalikan dan menguatkan kembali tradisi intelektual di HMI. Sebab bagaimanapun juga, hal tersebut merupakan salah satu kebutuhan mendasar HMI, selain kuantitas keberadan kader (cadre).  Kedua, bagaimana kekuatan intelektual yang menjadikan HMI ”besar” dapat tertransformasikan secara masif pada ranah sosiologis sebagai bentuk pengobjektifikasiannya. Dengan demikian akumulasi pengetahuan yang terdapat di HMI memiliki daya dobrak terhadap ketidakmapanan sosial yang selama ini menjadi persoalan umat dan bangsa. Di samping itu, apa yang disebut sebagai gerakan pengetahuan yang dimiliki oleh HMI pun tetap harus memiliki karakter khas yang membedakannya dengan gerakan-gerakan yang lain. Ketiga, karena HMI adalah organisasi mahasiswa Islam dengan statusnya yang independen, maka bagaimana gerakan pengetahuan tersebut tetap berada pada jalurnya yang benar. Dalam arti setiap objektifikasi yang merupakan manifestasi dari gerakan pengetahuan tersebut tetap tidak terlepaskan dari ketidakbebasan nilai dalam arti keberpihakan kepada kebenaran. Tentu saja kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran bukan dimaknai pada objek di mana nilai kebenaran melekat, namun murni kepada nilainya. Dengan demikian sistem pemikiran HMI yang dimanifestasikan dalam bentuk arah perjuangan HMI ke depan melalui kader yang dimiliki, baik secara normatif-subjektif, maupun empirik-objektif dapat diterima, diaplikasikan dan dipertanggungjawabkan.



Namun sebelumnya, untuk dapat merealisasikan apa yang menjadi gagasan besar HMI, juga dibutuhkan perangkat yang terformat dengan jelas sebagai penopang dari objektifikasi terhadap gagasan tersebut. Perangkat yang dimaksud adalah pola serta sistem perkaderan yang nantinya diharapkan mampu menjadi jalan keluar dari persoalan kualitas dan kuantitas yang selama ini dinilai sangat serius menghambat laju gerak dari gagasan dan aksi organisasi. Adanya fenomena penurunan sangat tajam pada  wilayah jumlah anggota (kader), disertai dengan penurunan yang



juga sangat drastis pada wilayah intelektualitas kader (kualitas), tidak menuutp kemungkinan apapun yang menjadi arah perjuangan HMI tetap tidak mampu untuk dapat dilaksanakan.



Jadi, memang harus terdapat hubungan yang saling terkait dan mendukung di antara beberapa hal penting di atas. Antara kualitas dan kuantitas tidak dapat kita dikotomikan, dengan adanya pendikotomian hanya akan meniscayakan untuk lebih mendahulukan atau mementingkan salah satu di antara keduannya. Dengan demikian, ketika terjadi pendikotomian, dan bukan mengintegrasikannya, konsentrasi organisasi hanya akan terfokus pada salah satu wilayah dengan menafikan wilayah yang lain. Meskipun dengan asumsi ketika salah satu kebutuhan – katakanlah kebutuhan pada kualitas kader – telah terakomodir maka kebutuhan yang lain – tentu saja kebutuhan akan kuantitas kader – dengan sendirinya akan dapat juga terpenuhi. Logika yang demikian adalah logika yang keliru, atau bahkan sangat keliru. Hanya dengan tidak menganggap keduanya sebagai dua entitas kebutuhan yang berbeda, namun satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan, maka HMI dapat bangkit kembali menjalankan fungsi dan perannya dengan maksimal. Sebab untuk dapat bangkit kembali, HMI harus memiliki gagasan besar yang dibutuhkan oleh masyarakat secara luas. Untuk dapat mengaktualisasikan gagasan tersebut, HMI harus didukung oleh kapasitas intelektual (kualitas) serta keberadaan kader dengan jumlah yang besar (kuantitas). Sehingga mampu memiliki kekuatan secara kualitas dan kuantitas yang memadai, maka HMI setidaknya harus memiliki sistem serta pola perkaderan yang bagus dan dilaksanakan secara tertib dan disiplin.



Hal penting juga yang tidak boleh terlepas dari HMI selain beberapa hal penting yang telah disampaikan di muka, adalah HMI harus memiliki landasan yang jelas dan permanent. Atau paling tidak harus memperkuat landasan yang ada sebagai kekuatan pondasi organisasi. Jadi selain kualitas dan kuantitas yang terintegrasi, kemudian tersosialisasikan dan tertransformasikan secara masif, baik pada wilayah out put maupun in put nya, sintesisnya pun harus berdampak kepada penguatan di dalam tubuh organisasi itu sendiri. Setidaknya harus ada pentransendensian. Penghumanisasian dan peliberasian sebelum, saat dan setelah adanya pengobjektifikasian terhadap sintesa tersebut di atas. Untuk itu dibutuhkan beberapa landasan dalam pelaksanaan gerak di HMI. Beberapa landasan tersebut diantaranya dapat dilihat di dalam pedoman Angaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) HMI.



Berangkat dari pemikiran di atas, sebagai upaya dalam  menghidupkan kembali tradisi intelektual di HMI sekaligus menjadikan pengetahuan sebagai arus utama dalam perubahan sosial. sebagai organisasi mahasiswa memberi petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Dan spesialisasi tugas inilah yang disebut fungsi HMI. Kalau tujuan menujukan dunia cita yang harus diwujudkan maka fungsi sebaliknya menunjukkan gerak atau kegiatan (aktifitas) dalam



mewujudkan (final goal). Dalam melaksanakan spesialisasi tugas tersebut, karena HMI sebagai organisasi mahasiswa maka sifat serta watak mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai HMI. Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang benar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum muda muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai “kekuatan moral” atau moral forces yang senantiasa melaksanakan fungsi “social control“. Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka penghikmatan terhadap spesialisasi kemahasiswaan ini, akan dalam dinamikanya HMI harus menjiwai dan dijiwai oleh sikap independen. Mahasiswa, setelah sarjana adalah unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi lain yang harus diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan proses perubahan masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai duta-duta pembaharuan masyarakat atau “agent of social change“. Kelompok mahasiswa dengan sikap dan watak tersebut di atas adalah merupakan kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus mempersiapkan diri untuk menerima estafet pimpinan bangsa dan generasi sebelumnya pada saat yang akan datang. Oleh sebab itu fungsi kaderisasi mahasiswa sebenarnya merupakan fungsi yang paling pokok. Sebagai generasi yang harus melaksanakan fungsi kaderisasi demi perwujudan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaranya di masa depan maka kelompok mahasiswa harus senantiasa memiliki watak yang progresif dinamis dan tidak statis. Mereka bukan kelompok tradisionalis akan tetapi sebagai “duta-duta pembaharuan sosial” dalam pengertian harus menghendaki perubahan yang terus menerus ke arah kemajuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran. Oleh sebab itu mereka selalu mencari kebenaran dan kebenaran itu senantiasa menyatakan dirinya serta dikemukakan melalui pembuktian di alam semesta dan dalam sejarah umat manusia. Karenanya untuk menemukan kebenaran demi mereka yang beradab bagi kesejahteraan umat manusia maka mahasiswa harus memiliki ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai kebenaran dan berorientasi pada masa depan dengan bertolak dari kebenaran Illahi. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran demi mewujudkan beradaban bagi kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara maka setiap kadernya harus mampu melakukan fungsionalisasi ajaran Islam. Watak dan sifat mahasiswa seperti tersebut diatas mewarnai dan memberi ciri HMI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat independen. Status yang demikian telah memberi petunjuk akan spesialisasi yang harus dilaksanakan oleh HMI. Spesialisasi tersebut memberikan ketegasan agar HMI dapat melaksanakan fungsinya sebagai organisasi kader, melalui aktifitas fungsi kekaderan. Segala aktifitas HMI harus dapat membentuk kader yang berkualitas dan komit dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya menjadi wadah organisasi kader yang mendorong dan memberikan kesempatan berkembang pada anggota-anggotanya demi memiliki kualitas



seperti ini agar dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (hanief) maka setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya bagi kehidupan bangsa dan negaranya. Persoalan sangatlah substansial dalam tubuh himpunan mahasiswa islam adalah lahirnya nilainilai dasar perjuangan yang menjadikan dualisme dalam kultur internal organisasi. Adanya ideologi mashab yang dimasukkan dalam NDP dengan melakukan pembaharuan serta diafirmasikan dengan nama “NDP BARU” yang melakukan pembaharuan akan NDP CAK NUR yang sangatlah jelas dengan nilai-nilai perjuangan himpunan mahasiswa islam. Peran dan Fungsi Himpunan Mahasiswa Islam Dalam Mengawal Agenda Bangsa. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan pada tanggal 5 Februari 1947 sebagai organisasi independen saat ini harus mempertegas ulang mengenai siapa dirinya. Pada fase tahun 1966-1998 menunjukkan budaya Himpunan Mahasiswa Islam yang berjiwa elitis, dekat dengan penguasa, dan birokrasi sehingga menimbulkan rapuhnya intelektualitas dan keringnya pemikiran intelektual kader serta lebih mengedepankan aspek politis. Dalam kaitan ini Himpunan Mahasiswa Islam mempunyai dua visi, yaitu visi keislaman dan keindonesiaan. Visi keislaman yang dikembangkan oleh Himpunan Mahasiswa Islam juga tidak lepas dari “circle” modernisasi. Ini terlihat dari rumusan besar wawasan Himpunan Mahasiswa Islam pada dasawarsa 70-an yang ditulis oleh Kakanda Nurcholish Madjid atau lebih dikenal dengan Cak Nur berupa Nilai Dasar Perjuangan sebagai gagasan yang merupakan pengaruh dari modernisasi dan kecenderungan pada pengembangan intelektualitas.



Sedangkan visi keindonesiaan, doktrin kerakyatan harus ditanamkan pada kader, karena sekarang mempunyai kesan bahwa Himpunan Mahasiswa Islam adalah organisasi elit yang jarang menyentuh lapisan bawah. Pada sisi lain, Himpunan Mahasiswa Islam mempunyai agenda besar dalam memperjuangkan rakyat Indonesia.



Strategi perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam dengan demikian harus diorientasikan pada persoalan bagaimana mewujudkan iklim demokrasi dan ada konsensus bersama tentang jatidiri Himpunan Mahasiswa Islam adalah inklusif dan berpihak pada rakyat sebagai komitmen terhadap nilai-nilai kebenaran. Menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa merupakan salah satu agenda penting dalam peran Himpunan Mahasiswa Islam dalam pengawalan demokratisasi di Indonesia. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan



pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas sumber daya manusia aparatur; dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.



Memang tidaklah mudah mengawal agenda bangsa dan mewujudkan cita-cita Himpunan Mahasiswa Islam, karena masih sangat besarnya benteng penghambat kemajuan yaitu praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di negeri ini, tapi bagi Himpunan Mahasiswa Islam ini bukanlah suatu hambatan atau tantangan yang dapat melunturkan idealism perjuangan melainkan semakin besarnya kobaran api semangat perjuangan dalam ”mewujudkan maksyarakat adilmakmur”.



Himpunan Mahasiswa Islam tidak pernah berhenti memperjuangkan aspirasi rakyat setiap permasalahan-permasalahan yang terjadi di negeri ini, Seperti kasus Bank Century yang hingga saat ini belum juga tuntas dan masih menjadi tanda tanya besar kapan terselesaikan kasus tersebut, namun Himpunan Mahasiswa Islam tidak pernah berhenti hal tersebut. Namun banyak hambatan yang membatasi sejauh mana Himpunan Mahasiswa Islam memasuki jalur pemerintahan terhadap penggunaan dan pelaksanaan otoritas kekuasaan.



Himpunan Mahasiswa Islam juga tidak pernah berhenti mengkritik pemerintah jika dianggap ada sistem pemerintahan yang tidak lagi efisien digunakan sehingga harus dilakukan pembenahan struktur dan kelembagaan yang memungkinkan bagi terciptanya otoritas kekuasaan dari lembaga-lembaga negara yang bertanggung jawab. Maka tak berlebihan ketika jendral Soedirman pernah berucap “HMI adalah bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam, Tapi HMI juga adalah; Harapan Masyarakat Indonesia”.



Dari pengkaderan yang merupakan fungsi organisasi kemudian melahirkan para intelektualintelektual bangsa yang dapat merubah dan membawa bangsa Indonesia kearah yang yaitu “masyarakat adil makmur” dan melalui pengkaderan Himpunan Mahasiwa Islam selalu melakukan dan membentuk kader bangsa yang muslim, Intelektual, dan profesional, karena seluruh kader Himpunan Mahasiswa Islam di tujukan untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan, sehingga para insan Kader Himpunan Mahasiswa Islam siap dan dapat di manfaatkan oleh seluruh golongan yang ada di tengah-tengah masyarakat selagi tujuannya tidak bertentangan dengan mission Himpunan Mahasiswa Islam.



Oleh sebab itu  menjadi keharusan bagi Himpunan Mahasiswa Islam untuk tetap melahirkan kader-kader yang memiliki karakter kepemimpinan yang bertanggung jawab untuk mewujudkan visi atau cita ideal yang termaktub dalam mission Himpunan Mahasiswa Islam, sehingga Himpunan Mahasiswa Islam beserta steak holdernya bisa menjadi pengokoh dan pemersatu keutuhan bangsa. Selain itu, Himpunan Mahasiswa Islam Berperan sebagai organisasi perjuangan yang telah urgensitas terhadap peran ke-HMI-an yaitu Kontrol sosial “Social Of Control” dan juga agen Perubahan “Agen Of Change”, yang sebagai peniup peluit (whistle blower) atas setiap gejolak-gejolak yang terjadi di negeri ini yang dapat menghambat kemajuan Negara Indonesia serta sebagai kelompok penekan (pressure) atas setiap regulasi  menuju pemerintahan yang baik dan bersih. Karena di dalam tujuan  Himpunan Mahasiswa Islam terdapat tujuan yang menjadi inti yaitu “Terwujudnya Masyarakat Adilmakmur”.



DAFTAR PUSTAKA Aa Nurdiaman, "Pendidikan Kewarganegaraan: Kecakapan Berbangsa dan Bernegara", PT Grafindo Media Pratama. Agus Pramusinto, Waryudi Pramusinto, Governance Reform Di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Yang Demokratis Dan Birokrasi Yang Professional, Yogyakarta, 2009. Agussalim Sitompul, sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam 1947-1975,Bina Ilmu,Surabaya. Jalaludin Rahmat, Rekayasa Sosial 199-200, PT Remaja Rosda Karya. Lev, Daniel S, Hukum Dan Politik Di Indonesia: Kesinambungan  Dan Perubahan, LP3S, Yogyakarta, 1990. Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Madani, Jakarta, 1992. Natsar Desi Mahnudi, Rekonstruksi Pemikiran dan Pergerakan Himpunan Mahasiswa Islam, LPMI, 2006. Peter L.Berger, Thomas Lucmann, tafsir social atas kenyataan, LP3ES, 1990. Setiawan Djody, Reformasi dan Elemen-Elemen Revolusi, Jakarta, 2009. St Sularto, "Masyarakat warga dan pergulatan demokrasi: menyambut 70 tahun Jakob Oetama", Penerbit Buku Kompas, 2001.  



TAFSIR TUJUAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HmI)



A. PENDAHULUAN Tujuan yang jelas diperlukan untuk suatu organisasi, hingga setiap usaha yang dilakukan oleh organisasi tersebut dapat dilaksanakan dengan teratur dan terarah. Bahwa tujuan suatu organisasi dipengaruhi oleh suatu motivasi dasar pembentukan, status dan fungsinya dalam totalitas dimana ia berada. Dalam totalitas kehidupan bangsa Indonesia, maka HMI adalah organisasi yang menjadikan Islam sebagai sumber nilai, motivasi dan inspirasi berstatus sebagai organisasi mahasiswa yang berperan sebagai sumber insani pembangunan bangsa dan berfungsi sebagai organisasi yang bersifat independen. Pemantapan fungsi kekaderan HMI ditambah dengan kenyataan bahwa bangsa Indonesia sangat kekurangan tenaga intelektual yang memiliki keseimbangan hidup yang terpadu antara pemenuhan tugas duniawi dan ukhrowi, iman dan ilmu, individu dan masyarakat, sehingga peranan kaum intelektual yang semakin besar dimasa mendatang merupakan kebutuhan yang paling mendasar. Atas faktor tersebut, maka HMI menetapkan tujuannya sebagaimana dirumuskan dalam pasal 5 AD ART HMI yaitu :



"TERBINANYA INSAN AKADEMIS, PENCIPTA, PENGABDI YANG BERNAFASKAN ISLAM DAN BERTANGGUNG JAWAB ATAS TERWUJUDNYA MASYARAKAT ADIL MAKMUR YANG DIRIDLOI ALLAH SWT".



Dengan rumusan tersebut, maka pada hakekatnya HMI bukanlah organisasi massa dalam pengertian fisik dan kuantitatif, sebaliknya HMI secara kualitatif merupakan lembaga pengabdian dan pengembangan ide, bakat dan potensi yang mendidik, memimpin dan membimbing anggota-anggotanya untuk mencapai tujuan dengan cara-cara perjuangan yang benar dan efektif.



B MOTIVASI DASAR KELAHIRAN DAN TUJUAN ORGANISASI Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan Islam sebagai agama yang Haq dan sempurna untuk mengatur umat manusia agar berkehidupan sesuai daengan fitrahnya sebagai khalifatullah di muka bumi dangan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadiratnya.



Kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia tersebut adalah kehidupan yang seimbang dan terpadu antara pemenuhan dan kalbu, iman dan ilmu, dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan ukhrowi. Atas keyakinan ini, maka HMI menjadikan Islam selain sebagai motivasi dasar kelahiran juga sebagai sumber nilai, motivasi dan inspirasi. Dengan demikian Islam bagi HMI merupakan pijakan dalam menetapkan tujuan dan usaha organisasi HMI.



Dasar motivasi yang paling dalam bagi HMI adalah ajaran Islam. Karena Islam adalah ajaran fitrah, maka pada dasarnya tujuan dan mission Islam adalah juga merupakan tujuan daripada kehidupan manusia yang fitri, yaitu yang tunduk kepada fitrah kemanusiaannya. Tujuan kehidupan manusia yang fitri adalah kehidupan yang menjamin adanya kesejahteraan jasmani dan rohani secara seimbang atau dengan kata lain kesejahteraan materiil dan kesejahteraan spiritual. Kesejahteraan yang dimaksud akan terwujud dengan adanya amal saleh (kerja kemanusiaan) yang dilandasi dan dibarengi dengan keimanan yang benar. Didalam amal kemanusiaan inilah manusia akan mendapat kebahagiaan dan kehidupan yang sebaik-baiknya. Bentuk kehidupan yang ideal secara sederhana kita rumuskan dengan "kehidupan yang adil dan makmur".



Untuk menciptakan kehidupan yang demikian, Anggaran Dasar menegaskan kesadaran mahasiswa Islam Indonesia untuk merealisir nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Dalam Kebijaksanaan /Perwakilan serta mewujudkan Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah SWT.



Perwujudan daripada pelaksanaan nilai-nilai tersebut adalah berupa amal saleh atau kerja kemanusiaan. Dan kerja kemanusiaan ini akan terlaksana secara benar dan sempurna apabila dibekali dan didasari oleh iman dan ilmu pengetahuan. Karena inilah hakikat tujuan HMI tidak lain adalah pembentukan manusia yang beriman dan berilmu serta mampu menunaikan tugas kerja kemanusiaan (amal soleh). Pengabdian dalam bentuk amal soleh inilah pada hakekatnya tujuan hidup manusia, sebab dengan melalui kerja kemanusiaan manusia mendapatkan kebahagiaan.



C. BASIC DEMAND BANGSA INDONESIA Sesungguhnya kelahiran HMI dengan rumusan tujuan seperti pasal 5 Anggaran Dasar tersebut adalah dalam rangka menjawab dan memenuhi kebutuhan dasar (basic need) bangsa Indonesia setelah mendapat kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 guna memformulasikan dan



merealisasikan cita-cita hidupnya. Untuk memahami kebutuhan dan tuntutan mereka, maka kita perlu melihat dan memahami keadaan dan sejarah mereka sebelumnya. Sejarah Indonesia dapat kita bagi dalam 3 (tiga) periode yaitu: 1.      Periode (Masa) Penjajahan Penjajahan pada dasarnya adalah perbudakan. Sebagai bangsa terjajah sebenarnya bangsa Indonesia pada waktu itu telah kehilangan kemauan dan kemerdekaan sebagai hak asasinya. Idealisme dan tuntutan bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kemerdekaan. Oleh karena itu timbullah pergerakan-pergerakan nasional dimana pimpinan-pimpinan yang dibutuhkan adalah mereka yang mampu menyadarkan hak-hak asasinya sebagai suatu bangsa. 2.      Periode (Masa) Revolusi Periode ini adalah masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta didorong oleh keinginan yang luhur maka bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. dalam periode ini yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia adalah adanya persatuan solidaritas dalam bentuk mobilitas kekuatan fisik guna melawan dan menghancurkan penjajah. Untuk itu dibutuhkan adalah "solidarity making" diantara seluruh kekuatan nasional sehingga dibutuhkan adanya pimpinan-pimpinan nasional type solidarity maker. 3.      Periode (Masa) Membangun Setelah Indonesia merdeka dan kemerdekaan itu mantap berada di tangannya maka timbullah agar cita-cita dan idealisme sebagai manusia yang bebas dapat direalisir dan diwujudkan. Karena periode ini adalah periode pengisian kemerdekaan, yaitu guna menciptakan masyarakat atau kehidupan yang adil dan makmur. Maka mulailah pembangunan nasional. Untuk melaksanakan pembangunan, faktor yang sangat diperlukan adalah ilmu pengetahuan. Pimpinan nasional yang dibutuhkan adalah negarawan yang "problem solver" yaitu type "administrator" disamping ilmu pengetahuan diperlukan pula adanya iman/akhlak sehingga mereka mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan (amal saleh). Manusia yang demikian mempunyai garansi yang obyektif untuk menghantarkan bangsa Indonesia ke dalam suatu kehidupan yang sejahtera, adil dan makmur serta kebahagiaan. Secara keseluruhan basic demand bangsa Indonesia tersebut dengan tegas tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 dalam alinea kedua yaitu terbinanya negara Indonesia yang: 1.      Merdeka, 2.      Bersatu dan Berdaulat, 3.      Adil dan Makmur.



Tujuan 1 dan 2 secara formal telah kita capai tetapi tujuan ke-3 sekarang sedang kita perjuangkan. Suatu masyarakat atau kehidupan yang adil dan makmur hanya akan terbina dan terwujud dalam suatu pembaharuan dan pembangunan terus menerus yang dilakukan oleh manusia-manusia yang beriman, berilmu pengetahuan dan berkepribadian, dengan mengembangkan nilai-nilai kepribadian bangsa.



D. KUALITAS INSAN CITA HMI Kualitas insan cita HMI adalah merupakan dunia cita yakni ideal yang terwujud oleh HMI di dalam pribadi seorang manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Kualitas tersebut sebagai mana dirumuskan dalam pasal tujuan (pasal 5 AD HMI) adalah sebagai berikut:



Kualitas Insan Akademis •Berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, dan kritis. •Memiliki kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa yang diketahui dan dirahasiakan. Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan kesadaran. •Sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu yang dipilihnya, baik secara teoritis maupuan teknis dan sanggup bekerja secara ilmiah yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan.



Kualitas Insan Pencipta; Insan Akademis, Pencipta •Sanggup melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih dari sekedar yang ada, dan bergairah besar untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih baik dan bersikap dengan bertolak dari apa yang ada (yaitu Allah). Berjiwa penuh dengan gagasan-gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaharuan. •Bersifat independen dan terbuka, tidak isolatif, insan yang menyadari dengan sikap demikian potensi, kreatifnya dapat berkembang dan menemukan bentuk yang indah-indah. •Dengan ditopang kemampuan akademisnya dia mampu melaksanakan kerja kemanusiaan yang disemangati ajaran Islam.



Kualitas Insan Pengabdi; Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi



•Ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan orang banyak atau untuk sesama umat. •Sadar membawa tugas insan pengabdi bukanya hanya membuat dirinya baik, tetapi juga membuat kondisi sekelilingnya menjadi baik. •Insan akademis, pencipta dan pengabdi adalah yang pasrah cita-citanya yang ikhlas mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesamanya.



Kualitas Insan yang bernafaskan Islam: Insan Akademis, Pencipta dan Pengabdi yang bernafaskan Islam •Islam yang telah menjiwai dan memberi pedoman pola pikir dan pola lakunya tanpa memakai merk Islam. Islam akan menjadi pedoman dalam berkarya dan mencipta sejalan dengan mission Islam. Dengan demikian Islam telah menafasi dan menjiwai karyanya. •Ajaran Islam telah berhasil membentuk "unity of personality" dalam dirinya. Nafas Islam telah membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari split personality tidak pernah ada dilema antara dirinya sebagai warga negara dan dirinya sebagai muslim insan ini telah meng-integrasi-kan masalah suksesnya dalam pembangunan Nasional bangsa ke dalam suksesnya perjuangan umat Islam Indonesia dan sebaliknya.



Kualitas insan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT : •Insan akademis, Pencipta dan Pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. •Berwatak, sanggup memikul akibat-akibat yang dari perbuatannya sadar bahwa menempuh jalan yang benar diperlukan adanya keberanian moral. •Spontan dalam menghadapi tugas, responsif dalam menghadapi persoalan-persoalan dan jauh dari sikap apatis. •Rasa tanggung jawab taqwa kepada Allah SWT, yang menggugah untuk mengambil peran aktif dalam suatu bidang dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT. •Korektif terhadap setiap langkah yang berlawanan dengan usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.



Percaya pada diri sendiri dan sadar akan kedudukannya sebagai "khalifah fil ardhi" yang harus melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan. Pada pokoknya insan cita HMI merupakan "Man of future" insan pelopor yaitu insan yang berfikiran luas dan berpandangan jauh, bersifat terbuka, terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara operatif bekerja sesuai yang dicita-citakan. Ideal type dari hasil perkaderan HMI adalah "Man of inovator" (duta-duta pembaharu). Penyuara "Idea of progress" insan yang berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur tidak takabur dan bertaqwa kepada Allah SWT. Mereka itu manusia-manusia yang beriman berilmu dan mampu beramal soleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil). Dari lima kualitas lima insan cita tersebut pada dasarnya harus dipahami dalam tiga kualitas insan Cita yaitu kualitas Insan akademis, kualitas insan pencipta dan kualitas insan pengabdi. Ketiga kualitas insan pengabdi tersebut merupakan insan Islam yang terefleksikan dalam sikap senantiasa bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adi dan makmur yang diridhoi Allah SWT.



E. TUGAS ANGGOTA HMI Setiap anggota HMI berkewajiban berusaha mendekatkan kualitas dirinya pada kualitas insan cita HMI seperti tersebut di atas. Tetapi juga sebaliknya HMI berkewajiban untuk memberikan pimpinan, bimbingan dan kondusif bagi perkembangannya potensi kualitas pribadi-pribadi anggota-anggota dengan memberikan fasilitas-fasilitas dan kesempatan-kesempatan. Untuk setiap anggota HMI harus mengembangkan sikap mental pada dirinya yang independen untuk itu : •Senantiasa memperdalam hidup kerohanian agar menjadi luhur dan bertaqwa kepada Allah SWT. •Selalu tidak puas dan selalu mencari kebenaran. •Jujur dan tidak mengingkari hati nurani atau hanief. •Teguh dalam pendirian dan obyektif rasional menghadapi pendirian yang berbeda. •Bersifat kritis dan berfikir bebas kreatif. •Hal tersebut akan diperoleh antara lain dengan jalan: •Senantiasa mempertinggi tingkat pemahaman ajaran Islam yang dimilikinya dengan penuh gairah.



•Aktif berstudi dalam fakultas yang dipilihnya. •Mengadakan tentir club untuk studi ilmu jurusannya dan club studi untuk masalah kesejahteraan dan kenegaraan. •Giat dalam studi dan selalu mengikuti perkembangan situasi. •Selalu mengadakan perenungan terhadap ilmu-ilmu yang sudah dimilikinya dan mengemukakan pendapatnya sendiri. •Selalu hadir dalam forum ilmiah. •Memelihara kesehatan badan dan aktif mengikuti karya bidang kebudayaan. •Selalu berusaha mengamalkan dan aktif dalam mengambil peran dalam kegiatan HMI.



Bahwa tujuan HMI sebagai dirumuskan dalam pasal AD HMI pada hakikatnya adalah merupakan tujuan dalam setiap anggota HMI. Insan cita HMI adalah gambaran masa depan HMI. Suksesnya seorang HMI dalam membina dirinya untuk mencapai insan cita HMI berarti dia telah mencapai tujuan HMI. Insan cita HMI ini pada suatu waktu akan merupakan Ïntelectual community"atau kelompok intelegensia yang mampu merealisir cita-cita umat dan bangsa dalam suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera spiritual, adil dan makmur serta bahagia (masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT).



INDEPENDENSI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HmI)



Menurut fitrah kejadiannya, maka manusia diciptakan bebas dan merdeka. Karenanya kemerdekaan pribadi adalah hak yang pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari pada kemerdekaan itu. Sifat dan suasana bebas dan kemerdekaan seperti diatas, adalah mutlak diperlukan terutama pada fase/saat manusia berada dalam pembentukan dan pengembangan. Masa/fase pembentukan dari pengembangan bagi manusia terutama dalam masa remaja atau generasi muda.



Mahasiswa dan kualitas-kualitas yang dimilikinya menduduki kelompok elit dalam generasinya. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis adalah ciri dari kelompok elit dalam generasi muda, yaitu kelompok mahasiswa itu sendiri. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis yang didasarkan pada obyektif yang harus diperankan mahasiswa bisa dilaksanakan dengan baik apabila mereka dalam suasana bebas merdeka dan demokratis obyektif dan rasional. Sikap ini adalah yang



progresif (maju) sebagai ciri dari pada seorang intelektual. Sikap atas kejujuran keadilan dan obyektifitas.



Atas dasar keyakinan itu, maka HMI sebagai organisasi mahasiswa harus pula bersifat independen. Penegasan ini dirumuskan dalam pasal 7 AD HMI yang mengemukakan secara tersurat bahwa "HMI adalah organisasi yang bersifat independen"sifat dan watak independen bagi HMI adalah merupakan hak azasi yang pertama.



Untuk lebih memahani esensi independen HMI, maka harus juga ditinjau secara psichologis keberadaan pemuda mahasiswa islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam yakni dengan memahami status dan fungsi dari HMI.



STATUS DAN FUNGSI HMI Status HMI sebagai organisasi mahasiswa memberi petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Dan spesialisasi tugas inilah yang disebut fungsi HMI. Kalau tujuan menujukan dunia cita yang harus diwujudkan maka fungsi sebaliknya menunjukkan gerak atau kegiatan (aktifitas) dalam mewujudkan (final gool). Dalam melaksanakan spesialisasi tugas tersebut, karena HMI sebagai organisasi mahasiswa maka sifat serta watak mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai HMI. Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang benar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum muda muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai "kekuatan moral"atau moral force yang senantiasa melaksanakan fungsi "sosial control". Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka penghikmatan terhadap spesialisasi kemahasiswaan ini, akan dalam dinamikanya HMI harus menjiwai dan dijiwai oleh sikap independen.    Mahasiswa, setelah sarjana adalah unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi lain yang harus diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan proses perubahan masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai duta-duta pembaharuan masyarakat atau "agen of social change". Kelompok mahasiswa dengan sikap dan watak tersebut di atas adalah merupakan kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus



mempersiapkan diri untuk menerima estafet pimpinan bangsa dan generasi sebelumnya pada saat yang akan datang. 



Oleh sebab itu,  fungsi kaderisasi mahasiswa sebenarnya merupakan fungsi yang paling pokok. Sebagai generasi yang harus melaksanakan fungsi kaderisasi demi perwujudan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaranya di masa depan maka kelompok mahasiswa harus senantiasa memiliki watak yang progresif dinamis dan tidak statis. Mereka bukan kelompok tradisionalis akan tetapi sebagai "duta-duta pembaharuan sosial" dalam pengertian harus menghendaki perubahan yang terus menerus ke arah kemajuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran. Oleh sebab itu mereka selalu mencari kebenaran dan kebenaran itu senantiasa menyatakan dirinya serta dikemukakan melalui pembuktian di alam semesta dan dalam sejarah umat manusia. Karenanya untuk menemukan kebenaran demi mereka yang beradab bagi kesejahteraan umat manusia maka mahasiswa harus memiliki ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai kebenaran dan berorientasi pada masa depan dengan bertolak dari kebenaran Illahi. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran demi mewujudkan beradaban bagi kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara maka setiap kadernya harus mampu melakukan fungsionalisasi ajaran Islam. Watak dan sifat mahasiswa seperti tersebut diatas mewarnai dan memberi ciri HMI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat independen. Status yang demikian telah memberi petunjuk akan spesialisasi yang harus dilaksanakan oleh HMI. Spesialisasi tersebut memberikan ketegasan agar HMI dapat melaksanakan fungsinya sebagai organisasi kader, melalui aktifitas fungsi kekaderan. Segala aktifitas HMI harus dapat membentuk kader yang berkualitas dan komit dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya menjadi wadah organisasi kader yang mendorong dan memberikan kesempatan berkembang pada anggota-anggotanya demi memiliki kualitas seperti ini agar dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (Hanief) maka setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya bagi kehidupan bangsa dan negaranya.



SIFAT INDEPENDEN HMI Watak independen HMI adalah sifat organisasi secara etis merupakan karakter dan kepribadian kader HMI. Implementasinya harus terwujud di dalam bentuk pola pikir, pola pikir dan pola laku setiap kader HMI baik dalam dinamika dirinya sebagai kader HMI maupun dalam melaksanakan "Hakekat dan Mission" organisasi HMI dalam kiprah hidup berorganisasi bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Watak independen HMI yang tercermin secara etis dalam pola pikir pola sikap dan pola laku setiap kader HMI akan membentuk "Independensi etis HMI", sementara watak independen HMI yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah organisasi HMI akan membentuk "Independensi organisatoris HMI". 



Independensi etis adalah sifat independensi secara etis yang pada hakekatnya merupakan sifat yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Fitrah tersebut membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung pada kebenaran (hanief). Watak dan kepribadian kader sesuai dengan fitrahnya akan membuat kader HMI selalu setia pada hati nuraninya yang senantiasa memancarkan keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran adalah ALLAH SUBHANAHU WATA'ALA. Dengan demikian melaksanakan independensi etis bagi setiap kader HMI berarti pengaktualisasian dinamika berpikir dan bersikap dan berprilaku baik "habluminallah" maupun dalam "habluminannas" hanya tunduk dan patuh dengan kebenaran.



Aplikasi dari dinamika berpikir dan berprilaku secara keseluruhan merupakan watak azasi kader HMI dan teraktualisasi secara riil melalui, watak dan kepribadiaan serta sikap-sikap yang :  Cenderung kepada kebenaran (hanif) Bebas terbuka dan merdeka Obyektif rasional dan kritis Progresif dan dinamis Demokratis, jujur, dan adil



Independensi organisatoris adalah watak independensi HMI yang teraktualisasi secara organisasi di dalam kiprah dinamika HMI, baik dalam kehidupan intern organisasi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Independensi organisatoris diartikan bahwa dalam keutuhan kehidupan nasional HMI secara organisatoris senantiasa melakukan partisipasi aktif, kontruktif, korektif, dan konstitusional agar perjuangan bangsa dan segala usaha pembangunan demi mencapai cita-cita semakin hari semakin terwujud. Dalam melakukan partisipasi partisipasi aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional tersebut secara organisasi HMI hanya tunduk serta teguh kepada prinsip-prinsip kebenaran dan objektifitas.



Dalam melaksanakan dinamika organisasi, HMI secara organisatoris tidak pernah "commited"dengan kepentingan pihak manapun ataupun kelompok dan golongan maupun, melainkan tunduk dan terikat kepada kepentingan kebenaran, objektivitas, kejujuran, dan keadilan. Agar secara organisatoris HMI dapat melakukan dan menjalankan prinsip-prinsip independensi organisatorisnya, maka HMI dituntut untuk mengembangkan "kepemimpinan kuantitatif" serta berjiwa independen sehingga perkembangan, pertumbuhan dan kebijaksanaan organisasi mampu diemban selaras dengan hakikat independensi HMI. Untuk itu HMI harus mampu menciptakan kondisi yang baik dan mantap bagi pertumbuhan dan perkembangan



kualitas-kualitas kader HMI. Dalam rangka menjalin tegaknya "prinsip-prinsip independensi HMI" maka implementasi independensi HMI kepada anggota adalah sebagai berikut :



•Anggota-anggota HMI terutama aktifitasnya dalam melaksanakan tugasnya harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan organisasi serta membawa program perjuangan HMI. Oleh karena itu, tidak diperkenankan anggota HMI melakukan kegiatan-kegiatan dengan membawa organisasi atas kehendak pihak luar mana pun juga. Mereka tidak dibenarkan mengadakan komitmen-komitmen dengan bentuk apapun dengan pihak luar HMI selain segala sesuatu yang telah diputuskan secara organisatoris.



•Alumni HMI senantiasa diharapkan untuk aktif berjuang menruskan dan mengembangkan watak independensi etis dimanapun mereka berada dan berfungsi sesuai dengan minat dan potensi dalam rangka membawa hakikat dan mission HMI. Dan menganjurkan serta mendorong alumni untuk menyalurkan aspirasi kualitatifnya secara tepat dan melalui semua jalur pembaktian baik jalur organisasi profesional kewiraswastaan, lembaga-lembaga sosial, wadah aspirasi poilitik lembaga pemerintahan ataupun jalur-jalur lainnya yang semata-mata hanya karena hak dan tanggung jawabnya dalam rangka merealisir kehidupan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Dalam menjalankan garis independen HMI dengan ketentuanketentuan tersebut di atas, pertimbangan HMI semata-mata adalah untuk memelihara mengembangkan anggota serta peranan HMI dalam rangka ikut bertanggung jawab terhadap negara dan bangsa. Karenanya menjadi dasar dan kriteria setiap sikap HMI semata-mata adalah kepentingan nasional bukan kepentingan golongan atau partai dan pihak penguasa sekalipun. Bersikap independen berarti sanggup berpikir dan berbuat sendiri dengan menempuh resiko. Ini adalah suatu konsekuensi atau sikap pemuda. Mahasiswa yang kritis terhadap masa kini dan kemampuan dirinya untuk sanggup mewarisi hari depan bangsa dan negara.



PERANAN INDEPENDENSI HMI DI MASA MENDATANG Dalam suatu negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini maka tidak ada suatu investasi yang lebih besar dan lebih berarti dari pada investasi manusia (human investment). Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir tujuan, bahwa investasi manusia kemudian akan dihasilkan HMI adalah manusia yang berkualitas ilmu dan iman yang mampu melaksanakan tugas-tugas manusia yang akan menjamin adanya suatu kehidupan yang sejahtera material dan spiritual adil makmur serta bahagia.



Fungsi kekaderan HMI dengan tujuan terbinanya manusia yang berilmu, beriman dan berperikemanusiaan seperti tersebut di atas maka setiap anggota HMI dimasa datang akan menduduki jabatan dan fungsi pimpinan yang sesuai dengan bakat dan profesinya. Oleh karena itu hari depan HMI adalah luas dan gemilang sesuai status fungsi dan perannya dimasa kini dan masa mendatang menuntut kita pada masa kini untuk benar-benar dapat mempersiapkan diri dalam menyongsong hari depan HMI yang gemilang. Dengan sifat dan garis independen yang menjadi watak organisasi berarti HMI harus mampu mencari, memilih dan menempuh jalan atas dasar keyakinan dan kebenaran. Maka konsekuensinya adalah bentuk aktifitas fungsionaris dan kader-kader HMI harus berkualitas sebagaimana digambarkan dalam kualitas insan cita HMI. Soal mutu dan kualitas adalan konsekuensi logis dalam garis independen HMI harus disadari oleh setiap pimpinan dan seluruh anggota-anggotanya adalah suatu modal dan dorongan yang besar untuk selalu meningkatkan mutu kader-kader HMI sehingga mampu berperan aktif pada masa yang akan datang.



SEJARAH PERJUANGAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) Sejarah HMI



Sejarah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI          



a. Definisi sejarah Sejarah adalah segala sesuatu peristiwa/kejadian yang terjadi di masa lampau dan menjadi pedoman, pengalaman maupun pandangan di masa kini dan masa akan datang.



B. Latar belakang sejarah berdirinya HmI Kalau ditinjau secara umum ada 4 (empat) permasalahan yang menjadi latar belakang sejarah berdirinya HMI.



1. Situasi Dunia Internasional Berbagai argumen telah diungkapkan sebab-sebab kemunduran ummat Islam. Tetapi hanya satu hal yang mendekati kebenaran, yaitu bahwa kemunduran ummat Islam diawali dengan kemunduran berpikir, bahkan sama sekali menutup kesempatan untuk berpikir. Yang jelas ketika



ummat Islam terlena dengan kebesaran dan keagungan masa lalu maka pada saat itu pula kemunduran menghinggapi kita. Akibat dari keterbelakangan ummat Islam , maka munculah gerakan untuk menentang keterbatasan seseorang melaksanakan ajaran Islam secara benar dan utuh. Gerakan ini disebut Gerakan Pembaharuan. Gerakan Pembaharuan ini ingin mengembalikan ajaran Islam kepada ajaran yang totalitas, dimana disadari oleh kelompok ini, bahwa Islam bukan hanya terbatas kepada hal-hal yang sakral saja, melainkan juga merupakan pola kehidupan manusia secara keseluruhan. Untuk itu sasaran Gerakan Pembaharuan atau reformasi adalah ingin mengembalikan ajaran Islam kepada proporsi yang sebenarnya, yang berpedoman kepada Al Qur'an dan Hadist Rassullulah SAW. Dengan timbulnya ide pembaharuan itu, maka Gerakan Pem-baharuan di dunia Islam bermunculan, seperti di Turki (1720), Mesir (1807). Begitu juga penganjurnya seperti Rifaah Badawi Ath Tahtawi (1801-1873), Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad Ibnu Abdul Wahab (Wahabisme) di Saudi Arabia (1703-1787), Sayyid Ahmad Khan di India (1817-1898), Muhammad Iqbal di Pakistan (1876-1938) dan lain-lain.



2. Situasi NKRI (KEBANGSAAN) Tahun 1596 Cornrlis de Houtman mendarat di Banten. Maka sejak itu pulalah Indonesia dijajah Belanda. Imprealisme Barat selama ± 350 tahun membawa paling tidak 3 (tiga) hal : •         Penjajahan itu sendiri dengan segala bentuk implikasinya. Missi dan Zending agama Kristiani. •         Peradaban Barat dengan ciri sekulerisme dan liberalisme. •         Setelah melalui perjuangan secara terus menerus dan atas rahmat Allah SWT maka pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta Sang Dwi Tunggal Proklamasi atas nama bangsa Indonesia mengumandangkan kemerdekaannya. Polemic yang menjadi latar belakang primer berdirinya HmI setelah kemerdekaan  RI   Faktor Internal



Hadirnya PKI yang menguat pada awal kemerdekaan RI dan ingin merubah ideology pancasila ke ideology komunis.   Faktor Eksternal Belanda belum mengakui kemerdekaan RI dengan kembali ingin menjajah RI sehingga terjadilah AMB I pada tahun 1946 yang melahirkan perjanjian Renville dan AMB II yang melahirkan perjanjian lingga jati pada tahun 1948.



3. Kondisi Mikrobiologis Ummat Islam di Indonesia (KEUMMATAN) Kondisi ummat Islam sebelum berdirinya HMI dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu : Pertama : Sebagian besar yang melakukan ajaran Islam itu hanya sebagai kewajiban yang diadatkan seperti dalam upacara perkawinan, kematian serta kelahiran. Kedua : Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mempraktekkan ajaran Islam sesuai yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga : Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang terpengaruh oleh mistikisme yang menyebabkan mereka berpendirian bahwa hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja. Keempat : Golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman, selaras dengan wujud dan hakekat agama Islam. Mereka berusaha supaya agama Islam itu benar-benar dapat dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia. Kelima  : hadirnya 2 organisasi islam dari kaum priyayi (NU) dan kaum abangan (MUI) yang saling mengklaim bahwa aliran merekalah yang benar sehingga melahirkan ambiguitas terhadap masyarakat awam.



4.Kondisi Perguruan Tinggi dan Dunia Kemahasiswaan (KEMAHASISWAAN) Ada dua faktor yang sangat dominan yang mewarnai Perguruan Tinggi (PT) dan dunia kemahasiswaan sebelum HMI berdiri. Pertama: sistem yang diterapkan dalam dunia pendidikan umumnya dan PT khususnya adalah sistem pendidikan barat, yang mengarah kepada sekulerisme yang "mendangkalkan agama disetiap aspek kehidupan manusia". Kedua : adanya Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di Surakarta dimana kedua organisasi ini dibawah pengaruh Komunis. Bergabungnya dua



faham ini (Sekuler dan Komunis), melanda dunia PT dan Kemahasiswaan, menyebabkan timbulnya "Krisis Keseimbangan" yang sangat tajam, yakni tidak adanya keselarasan antara akal dan kalbu, jasmani dan rohani, serta pemenuhan antara kebutuhan dunia dan akhirat. Ketiga : Sistem sekularisasi dalam pendidikam sehingga menyebabkan degradasi nilai local jenius mahasiswa Indonesia.



C. BERDIRINYA HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI



Latar Belakang Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diprakasai oleh LAFRAN PANE, seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk ditingkat I. Tentang sosok Lafran Pane, dapat diceritakan secara garis besarnya antara lain bahwa Pemuda Lafran Pane lahir di desa pagurabaan kec.Sipirok 38 Km dari kaki gunung sibual-bual ibukota padang sidemuan Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pemuda Lafran Pane yang tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim pernah menganyam pendidikan di Pesantren, Ibtidaiyah, Wusta dan sekolah Muhammadiyah.



Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: "Melihat dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.



Peristiwa Bersejarah 5 Februari 1947 Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan yang berakhir dengan kegagalan. Lafran Pane mengadakan rapat tanpa undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan secara mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir. Ketika itu hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan 5 Februari 1947, disalah satu ruangan kuliah STI di Jalan Setiodiningratan (sekarang Panembahan Senopati), masuklah mahasiswa Lafran Pane yang dalam prakatanya



dalam memimpin rapat antara lain mengatakan "Hari ini adalah pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan" Pada awal pembentukkannya HMI bertujuan diantaranya antara lain:



1. Mempertahankan kemerdekaan RI dan mengangkat harkat dan martabat bangsa. 2. menjalankan syariat islam.



Sementara tokoh-tokoh pemula / pendiri HMI antara lain :   Lafran Pane (Yogya),   Karnoto Zarkasyi (Ambarawa),   Dahlan Husein (Palembang),   Maisaroh Hilal (Singapura),   Suwali,   Yusdi Ghozali (PII-Semarang),   Mansyur, Siti Zainah (Palembang),   M. Anwar (Malang),   Hasan Basri,   Marwan,   Zulkarnaen,   Tayeb Razak,   Toha Mashudi (Malang),   Baidron Hadi (Yogyakarta).



Faktor Pendukung Berdirinya HMI



Posisi dan arti kota Yogyakarta: •Yogyakarta sebagai Ibukota NKRI dan Kota Perjuangan •Pusat Gerakan Islam •Kota Universitas/ Kota Pelajar •Pusat Kebudayaan •Terletak di Central of Java. •Kebutuhan Penghayatan dan Keagamaan Mahasiswa •Adanya tuntutan perang kemerdekaan bangsa Indonesia •Adanya STI (Sekolah Tinggi Islam), BPT (Balai Perguruan Tinggi) Gajah Mada, STT (Sekolah Tinggi Teknik). •Adanya dukungan Presiden STI Prof. Abdul Kahar Muzakir •Ummat Islam Indonesia mayoritas



Faktor Penghambat Berdirinya HMI



Munculnya reaksi-reaksi dari : •Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) •Gerakan Pemuda Islam (GPII) •Pelajar Islam Indonesia (PII) Fase-Fase Perkembangan HMI dalam Perjuangan Bangsa Indonesia 1. Fase Konsolidasi Spiritual (1946-1947)    Sudah diterangkan diatas       



2. Fase Pengokohan (5 Februari 1947 - 30 November 1947)         Selama lebih kurang 9 (sembilan) bulan, reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI barulah berakhir. Masa sembilan bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan yang



datang silih berganti, yang kesemuanya itu semakin mengokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri tegak dan kokoh.     



Fase Perjuangan Bersenjata (1947 - 1949)  Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensinya dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun kegelanggang pertempuran melawan agresi yang dilakukan oleh Belanda, membantu Pemerintah, baik langsung memegang senjata bedil dan bambu runcing, sebagai staff, penerangan, penghubung. Untuk menghadapi pemberontakkan PKI di Madiun 18 September 1948, Ketua PPMI/ Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono dan wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu Pemerintah menumpas pemberontakkan PKI di Madiun, dengan mengerahkan anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam. Dendam disertai benci itu nampak sangat menonjol pada tahun '64-'65, disaat-saat menjelang meletusnya G30S/PKI.            



Fase Pertumbuhan dan Perkembangan HMI (1950-1963)            Selama para kader HMI banyak yang terjun ke gelanggang pertempuran melawan pihak-pihak agresor, selama itu pula pembinaan organisasi terabaikan. Namun hal itu dilakukan secara sadar, karena itu semua untuk merealisir tujuan dari HMI sendiri, serta dwi tugasnya yakni tugas Agama dan tugas Bangsa. Maka dengan adanya penyerahan kedaulatan Rakyat tanggal 27 Desember 1949, mahasiswa yang berniat untuk melanjutkan kuliahnya bermunculan di Yogyakarta. Sejak tahun 1950 dilaksankanlah tugas-tugas konsolidasi internal organisasi. Disadari bahwa konsolidasi organisasi adalah masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.       



Fase Tantangan (1964 - 1965)           Dendam sejarah PKI kepada HMI merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi HMI. Setelah agitasi-agitasinya berhasil membubarkan Masyumi dan GPII, PKI menganggap HMI adalah kekuatan ketiga ummat Islam. Begitu bersemangatnya PKI dan simpatisannya dalam membubarkan HMI, terlihat dalam segala aksi-aksinya, Mulai dari hasutan, fitnah, propaganda hingga aksi-aksi riil berupa penculikan, dsb.     Usaha-usaha yang gigih dari kaum komunis dalam membubarkan HMI ternyata tidak menjadi kenyataan, dan sejarahpun telah membeberkan dengan jelas siapa yang kontra revolusi, PKI



dengan puncak aksi pada tanggal 30 September 1965 telah membuatnya sebagai salah satu organisasi terlarang.  



Fase Kebangkitan HMI sebagai Pelopor Orde Baru (1966 - 1968)           HMI sebagai sumber insani bangsa turut mempelopori tegaknya Orde Baru untuk menghapuskan orde lama yang sarat dengan ketotaliterannya. Usaha-usaha itu tampak antara lain HMI melalui Wakil Ketua PB Mari'ie Muhammad memprakasai Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) 25 Oktober 1965 yang bertugas antara lain : 1) Mengamankan Pancasila. 2) Memperkuat bantuan kepada ABRI dalam penumpasan Gestapu/ PKI sampai ke akar-akarnya. Masa aksi KAMI yang pertama berupa Rapat Umum dilaksanakan tanggal 3 Nopember 1965 di halaman Fakultas Kedokteran UI Salemba Jakarta, dimana barisan HMI menunjukan superioitasnya dengan massanya yang terbesar. Puncak aksi KAMI terjadi pada tanggal 10 Januari 1966 yang mengumandangkan tuntutan rakyat dalam bentuk Tritura yang terkenal itu. Tuntutan tersebut ternyata mendapat perlakuan yang represif dari aparat keamanan sehingga tidak sedikit dari pihak mahasiswa menjadi korban. Diantaranya antara lain : Arif rahman Hakim, Zubaidah di Jakarta, Aris Munandar, Margono yang gugur di Yogyakarta, Hasannudin di Banjarmasin, Muhammad Syarif al-Kadri di Makasar, kesemuanya merupakan pahlawan-pahlawan ampera yang berjuang tanpa pamrih dan semata-mata demi kemaslahatan ummat serta keselamatan bangsa serta negara. Akhirnya puncak tututan tersebut berbuah hasil yang diharap-harapkan dengan keluarnya Supersemar sebagai tonggak sejarah berdirinya Orde Baru.        



Fase Pembangunan (1969 - 1970) Setelah Orde Baru mantap, Pancasila dilaksanakan secara murni serta konsekuen (meski hal ini perlu kajian lagi secara mendalam), maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). HMI pun sesuai dengan 5 aspek pemikirannya turut pula memberikan sumbangan serta partisipasinya dalam era awal pembagunan. Bentuk-bentuk partisipasi HMI baik anggotanya maupun yang telah menjadi alumni meliputi diantaranya : 1) partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan, 2) partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran 3) partisipasi dalam bentuk pelaksana langsung dari pembangunan.          



Fase Pergolakan dan Pembaharuan Pemikiran (1970 - sekarang )          Suatu ciri khas yang dibina oleh HMI, diantaranya adalah kebebasan berpikir dikalangan anggotanya, karena pada hakikatnya timbulnya pembaharuan karena adanya pemikiran yang bersifat dinamis dari masing-masing individu. Disebutkan bahwa fase pergolakan pemikiran ini



muncul pada tahun 1970, tetapi geja-gejalanya telah nampak pada tahun 1968. Namun klimaksnya memang terjadi pada tahun 1970 di mana secara relatif masalah- masalah intern organisasi yang rutin telah terselesaikan. Sementara di sisi lain, persoalan ekstern muncul menghadang dengan segudang problema.     MATERI NDP DI HMI NILAI DASAR PERJUANGAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM . DASAR-DASAR KEPERCAYAAN Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya. Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur. Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tatanilai guna menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban. Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah. Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan "Tidak ada Tuhan"



meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan "Selain Allah" memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai - nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam. Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tatanilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan denga insting dan indera. Sesuatu yang diperlukan itu adalah "Wahyu" yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para Rosul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para rasul dan nabi itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa,Isa atau Yesus anak Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul penghabisan, jadi tiada Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan. Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Quran. Selain berarti bacaan, kata Al-Quran juga bearti "kumpulan" atau kompilasi, yaitu kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain (16:89). Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammmad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah. Kemudian di dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa ajaran-ajaranNya yang merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti oleh manusia.



Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas (112: 1-4) menerangkan secara singkat; katakanlah : "Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula berbapa”. Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam. Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin (57:3), dan "kemanapun manusia berpaling maka disanalah wajah Tuhan" (2:115). Dan "Dia itu bersama kamu kemanapun kamu berada" (57:4). Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu. Sebagai "yang pertama dan yang penghabisan", maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya; sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Iapun sekaligus menuju kepada kebenaran dan mengarah kepada "persetujuan" atau "ridhanya". Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang lain). Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti (6:73, 25:2). Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan daripada sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada dirinya dan teratur secara harmonis (23:14). Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya (31:20)). Maka alam dapat dan dijadikan obyek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku didalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri (10:101). Jadi kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, mulainkan semua palsu atau maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain yang kongkrit, yaitu idea atau nirwana (38:27). Juga tidak seperti dikatakan filsafat Agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan Tuhan adalah satu sudut daripada filsafat materialisme. Manusia adalah puncak ciptaan dan mahluk-Nya yang tertinggi (95:4, 17:70). Sebagai mahluk tertinggi manusia dijadikan "Khalifah" atau wakil Tuhan di bumi (6:165). Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya (11:61). Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala perbuatannya di



dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut "sejarah". Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau "rajanya". Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri (33:72). Ketidakpatuhan itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan. Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah "perubahan dan perkembangan", sebab: segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan olehNya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya (29:20). Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu (28:88). Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menunju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu (17:72). Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya (17:26). Oleh karena itu kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan diterangi oleh ilmu (58:11). Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah). Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan dimuka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. - Tuhan Allah Yang Maha Esa (41:37). Ini disebut "Tauhid" dan lawannya disebut "syirik" artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban kemanusiaan menuju kebenaran. Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat". Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga "hari agama", atau yaumuddin, dimana Tuhan menjadi satu-satunya pemilik dan raja (1:4, 22:56, 40:16). Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggunggan jawab individu



manusia yang bersifat mutlak dihadapanillahi atas segala perbuatannya dahulu didalam sejarah (2:48). Selanjutnya kiamat merupakan "hari agama", maka tidak yang mungkin kita ketahui selain daripada yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya / kehidupan akhirat yang non-historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadian-kejadiannya (7:187). 2. PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR TENTANG KEMANUSIAAN Telah disebutkan di muka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, mulainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (Hanief) (30:30). "Dlamier" atau hati nurani adalah pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (51:56, 3:156). Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari mahluk-mahluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati. Kehidupan dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatanya (19:105, 53:39). Nilai- nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliah yang kongkrit (61:2-3). Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jihad) ia menderita kepedihan (16:97, 4:111). Hidup yang pernuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan-kemajuan - baik yang mengenai alam maupun masyarakat - yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-luasnya (29:6). Dia diliputi oleh semangat mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (4:125). Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan (39:18). Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom, hikmah) (2:269). Dia berpengalaman luas, berpikir bebas,



berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya (6:125). Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf (3:134). Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik daripada pribadipribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik. Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan phisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat. Hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat manusia. Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rokhani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akherat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (98:5). Dia seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran langsung dari pada kecenderungannya yang suci yang murni (2:207, 76:89). Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih) (2:264). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberinya kebahagiaan (35:10). Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan yang paling berharga. Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan. Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang hanief atau suci. 3. KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR) DAN KEHARUSAN UNIVERSAL (TAKDIR) Keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni, kemerdekaan dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal dari perkembangan tak terkekang daripada kemauan baiknya. Keikhlasan adalah gambaran terpenting daripada



kehidupan manusia sejati. Kehidupan sekarang di dunia dan abadi (external) berupa kehidupan kelak sesudah mati di akherat. Dalam aspek pertama manusia melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang harus dipikul secara individual, dan komunal sekaligus (8:25). Sedangkan dalam aspek kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan, mulainkan hanya menerima akibat baik dan buruk dari amalnya dahulu di dunia secara individual. Di akherat tidak terdapat pertanggung jawaban bersama, tapi hanya ada pertanggung jawaban perseorangan yang mutlak (2:48, 31:33). Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup ditengah alam dan masyarakat sesamanya, kemudian menjadi individu kembali. Jadi individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan terakhir, dari pada kemanusiaan, serta letak kebenarannya daripada nilai kemanusiaan itu sendiri. Karena individu adalah penanggung jawab terakhir dan mutlak daripada awal perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang pertama dan asasi. Tetapi individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari pada kemanusiaan. Kenyataan lain, sekalipun bersifat sekunder, ialah bahwa individu dalam suatu hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup ditengah alam sebagai makhluk sosial hidup ditengah sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari keseluruhan alam yang merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam kontek hidup ditengah masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi daripada kemanusiaan, tidak berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam - hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya "keharusan universal" atau "kepastian umum" dan “takdir” (57:22). Jadi kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam kontek hidup di tengah alam dan masyarakat dimana terdapat keharusan universal yang tidak tertaklukan, maka apakah bentuk yang harus dipunyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya? Sudah tentu bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan kepadanya sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan. Pengakuan akan adanya kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan adanya batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif daripada kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kretif manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan "ikhtiar" artinya pilih merdeka. Ikhtiar adalah kegiatan kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi



banyak segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, manusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti untuk memberikan pertanggung jawaban pribadi dari amal perbuatannya. Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan nasibnya sendiri (13:11). Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau takdir manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri. Manusia tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa tidak terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak perlu membanggakan diri karena suatu kemunduran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada dirinya sendiri, mulainkan juga kepada keharusan yang universal itu (57:23). 4. KETUHANAN YANG MAHA ESA DAN PERIKEMANUSIAAN Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya. Jadi kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak daripada hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula. Dalam perbendaharaan kata dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu "Tuhan", kemudian sesuai dengan uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah (31:30). Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran (3:60). Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan YME. Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau "ridho" daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan



kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan "karena Allah" itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan (92:19-21). Kata "iman" berarti percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan YME (3:19). Pelakunya disebut "Muslim". Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan diri kepada Tuhan YME (33:39). Semangat tauhid (memutuskan pengabdian hanya kepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas. Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan. Pembagian kemanusiaan yang tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan duniawi dan ukhrowi antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya sendiri: jadi berlawanan dengan kemanusiaan. Oleh karena hakikat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata (26:226). Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia "amal saleh" (harfiah: pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman (lihat Qur’an: aamanuwa’amilushshaalihaat, tdk kurang dari 50 x pengulangan kombinasi kata). Jadi Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati (24:39). Oleh karena itu semangat



Ketuhanan YME dan semangat mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradaban (9:109). "Syirik" merupakan kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan (31:13). Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena syirik (6:82). Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya (Hadist, “sesunggunya sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik kecil, yaitu riya pamrih”. Rawahu Ahmad, hadist hasan). Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain. "Musyrik" adalah pelaku daripada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan (3:64). Demikian pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan (28:4). Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Maka sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia. Tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selau menyimpan itikad baik dan lebih baik (ikhsan). Maka ketuhanan menimbulkan sikap yang adil kepada sesama manusia (16:90). 5. INDIVIDU DAN MASYARAKAT Telah diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak sesuatu yang lebih berharga daripada kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai mahkluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.



Maka dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi diwujudkan. Justru karena adanya kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi dengan lainnya (43:32). Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri: sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial, dan kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda (5:48). Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya saja (92:4). Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya (17:84, 39:39). Peningkatan kemanusiaan tidak dapat terjadi tanpa memberikan kepada setiap orang keleluasaan untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya. Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah mahkluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dan keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung kearah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti hawa nafsu (12:53, 30:29). Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain kemerdekaan, persamaan hak antara sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya dapat dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih satu orang, kemerdekaan tak terbatas tidak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas yang lemah (perbudakan dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan prinsip keadilan. Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya. Sebagai kawan hidup dengan tingkat yang sama. Anggota masyarakat harus saling menolong dalam membentuk masyarakat yang bahagia (5:2). Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang benar antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan pasif. Tetapi sejarah ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu amal perbuatan mustahil ditanggung manusia (99:7-8). Manusia merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah) dalam hidup kemudian sesudah sejarah (9:74, 16:30). Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan (29:69).



Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya dinyatakan, jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja mengatur hidupnya sendiri tetapi juga untuk memperbaiki dengan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup gotongroyong ini ialah keistimewaan dan kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang (49:13, 49:10). 6. KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI Telah kita bicarakan tentang hubungan antara individu dengan masyarakat dimana kemerdekaan dan pembatas kemerdekaan saling bergantungan, dan dimana perbaikan kondisi masyarakat tergantung pada perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika kemerdekaan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak terbatas) maka sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan bebas segala keinginan pribadinya. Akibatnya pertarungan keinginan yang bermacam-macam itu satu sama lain dalam kekacauan atau anarchi (92:8-10). Sudah barang tentu menghancurkan masyarakat dan meniadakan kemanusiaan sebab itu harus ditegakkan keadilan dalam masyarakat (5:8). Siapakah yang harus menegakkan keadilan, dalam masyarakat? Sudah barang pasti ialah masyarakat sendiri, tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya satu kelompok dalam masyarakat yang karena kualitaskualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan (2:104). Kualitas terpenting yang harus dipunyainya, ialah rasa kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran kecintaan yang tak terbatas pada Tuhan. Di samping itu diperlukan kecakapan yang cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat; atau setidak-tidaknya mereka adalah orang-orang yang seharusnya memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial. Negara adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama berkewajiban menegakkan kadilan. Maksud semula dan fundamental daripada didirikannya negara dan pemerintah ialah guna melindungi manusia yang menjadi warga negara daripada kemungkinan perusakkan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia sebaliknya setiap orang mengambil bagian pertanggungjawaban dalam masalah-masalah atas dasar persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.



Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada didalamnya haruslah memerintah dan memimpin diri sendiri (Hadist: “kullukumraainwakullukum mas uulun ‘anraiyyatih” -Bukhari & Muslim). Oleh karena itu pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari masyarakat sendiri. Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaan atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah dan dimana keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu (42:28, 42:42). Kekuatan yang sebenarnya didalam negara ada ditangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyat. Menegakkan keadilan mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan dan kepentingankepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu). Adalah kewajiban dari negara sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip kegotongroyongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan adalah amanat rakyat kepada pemerintah yang musti dilaksanakan (4:58). Ketaatan rakyat kepada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang wajib dilaksanakan. Didasari oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kapada pemerintah termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak) dan Rasulnya (pengajar tentang Kebenaran) (4:59). Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan YME (5:45). Perwujudan menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang ekonomi atau pembagian kekeyaandiantara anggota masyarakat. Keadilan menuntut agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau rejeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan perjuangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan produksi disatu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongangolongan kecil dengan hak-hak istimewa dilain pihak (57:20). Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya - yaitu bila sudah mencapai batas maksimal - pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradabannya (17:16). Dalam masyarakat yang tidak adil, kekeyaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan proporsi yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun dalam kemiskinan dalam masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari kezaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku daripada kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran kezaliman, orang-orang miskin berada dipihak yang benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang menjalankan kezaliman dan yang dizalimi. Dikarenakan kebenaran pasti menang terhadap kebhatilan, maka pertentangan itu disudahi



dengan kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam masyarakat (4:160-161, 26:182-183, 2:279, 28:5). Kejahatan di bidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh kapitalisme. Dengan kapitalisme dengan mudah seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada mereka. Oleh karena itu menegakkan keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat (2:278-279). Sesudah syirik, kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan beserta penggunaanya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan (104:1-3). Maka menegakkan keadilan inilah membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat (amar ma'ruf) dan pertentangan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan kepada manusia kepada kebenaran asasinya dan rasa kemanusiaan (nahi munkar). Dengan perkataan lain harus diadakan restriksi-restriksi atau cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan kamanusiaan diperbolehkan (yang ma'ruf dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang munkar diharamkan) (3:110). Pembagian ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan prisip Ketuhanan YME, dalam hal ini pengakuan berketuhanan YME tetapi tidak melaksanakannya sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama sekali. Sebab nilai-nilai yang tidak dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal perbuatan yang nyata (61:2-3). Dalam suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat tunduk dan menyerahkan diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaanya, tetapi justru dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan dan kapital itu selanjutnya lebih memperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada majikan bukan ia menguasai kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya. Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti keserakahan, ketamakan dan kebengisan. Oleh karena itu menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma'ruf nahi munkar sebagaimana diterapkan dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan andanya tuhan. Sembahyang merupakan pendidikan yang kontinyu, sebagai bentuk formil peringatan kepada tuhan. Sembahyang yang benar akan lebih efektif dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah kekejian dan kemungkaran (29:45). Jadi sembahyang merupakan penopang hidup yang benar (Hadist: “sembahyang adalah tiang agama. Barangsiapa mengerjakannya berarti menegakkan agama. Barangsiapa meninggalkannya berarti merobohkan



agama” -Baihaqi). Sembahyang menyelesaikan masalah - masalah kehidupan, termasuk pemenuhan kebutuhan yang ada secara instrinsik pada rohani manusia yang mendalam, yaitu kebutuhan sepiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak (31:30). Pengabdian yang tidak tersalurkan secara benar kepada tuhan YME tentu tersalurkan kearah sesuatu yang lain. Dan membahayakan kemanusiaan. Dalam hubungan itu telah terdahulu keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan fundamental terhadap kemanusiaan. Dalam masyarakat yang adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi golongan kaya dan miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam batas - batas kewajaran dan kemanusian dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan dibenarkannya pemilikan pribadi (privateownership) atas harta kekayaan dan adanya perbedaan - perbedaan tak terhindar dari pada kemampuan - kemampuan pribadi, fisik maupun mental (30:37). Walaupun demikian usaha - usaha kearah perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang merata tetap harus dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir masalah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dipungut dari orang - orang kaya dalam jumlah presentase tertentu untuk dibagikan kepada orang miskin (9:60). Zakat dikenakan hanya atas harta yang diperoleh secara benar, sah, dan halal saja. Sedang harta kekayaan yang haram tidak dikenakan zakat tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu harus dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa, dimana tidak lagi didapati cara memperoleh kekayaan secara haram, dimana penindasan atas manusia oleh manusia dihapuskan (2:188). Sebagaimana ada ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya jika hanya digunakan hak itu tidak bertentangan, pemilikan pribadi menjadi batal dan pemerintah berhak mengajukan konfiskasi. Seorang dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam batas - batas tertentu, yaitu dalam batas tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata - rata penggunaan dalam masyarakat (25:67). Penggunaan yang berlebihan (tabzier atau israf) bertentangan dengan perikemanusiaan (17:2627). Kemewahan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dalam masyarakat membuat akibat destruktif (17:16). Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat (taqti) merusakkan diri sendiri dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang dapat digunakan untuk manfaat bersama (47:38). Hal itu semuanya merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan (10:55). Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus diberikan bagian yang wajar dari padanya (7:10).



Pemilikan oleh seseorang (secara benar) hanya bersifat relatif sebagai mana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki tuhan, untuk kepentingan umum (57:7). Maka kalau terjadi kemiskinan, orang - orang miskin diberi hak atas sebagian harta orang - orang kaya, terutama yang masih dekat dalam hubungan keluarga (70:24-25). Adalah kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana yang diperlukan oleh pribadi-pribadi agar diandan keluarganya dapat mengatur hidupnya secara terhormat sesuai dengan kainginan-keinginannya untuk dapat menerima tanggungjawab atas kegiatan-kegiatnnya. Dalam prakteknya, hal itu berarti bahwa pemerintah harus membuka jalan yang mudah dan kesempatan yang sama kearah pendidikan, kecakapan yang wajar kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas. 7. KEMANUSIAAN DAN ILMU PENGETAHUAN Dari seluruh uraian yang telah di kemukakan, dapatlah disimpulkan dengan pasti bahwa inti dari pada kemanusiaan yang suci adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau Amal Saleh (95:6). Iman dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa, serta menjadikanya satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap pri kemanusiaan. Sikap pri kemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang bersesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaikbaiknya manusia ialah yang berguna untuk sesamanya. Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan manusia?. Sebagaimana setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerakan kedepan demikian pula perjalanan ummat manusia atau sejarah adalah gerakan maju kedepan. Maka semua nilai dalam kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu. Demikianlah segala sesuatu berubah, kecuali tujuan akhir dari segala yang ada yaitu kebenaran mutlak (Tuhan) (28:88). Jadi semua nilai yang benar adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuanketentuan hukum-hukum Tuhan (6:57). Oleh karena itu manusia berikhtiar dan merdeka, ialah yang bergerak. Gerakan itu tidak lain dari pada gerak maju kedepan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak statis. Dia bukanlah seorang tradisional, apalagi reaksioner (17:36). Dia menghendaki perubahan terus menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencarai kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu menyatakan dirinya dan ditemukan didalam alam dari sejarah umat manusia.



Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya, sekalipun relatif namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah yang mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri (41:53). Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan dapat berjalan diatas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikan kepada kepatuhan tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa (35:28). Dengan iman dan kebenaran ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi (58:11). Ilmu pengetahuan ialah pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat guna dapat mengarahkanya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya agar dapat menguasai dan menggunakanya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi ummat manusia bagi kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas atau rasio (45:13). Demikian pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap (3:137). Hukum sejarah yang tetap (sunatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kemanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang daripadanya dengan menuruti hawa nafsu (91:9-10). Tetapi cara-cara perbaikan hidup sehingga terus-menerus maju kearah yang lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan datang (12:111). Menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya dan membimbingnya kearah kemajuan dan kebaikan. 8. KESIMPULAN DAN PENUTUP Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sbb: 1. Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan keinginan mendekat serta kecintaan kepada-Nya, yaitu takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu mamancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi



kemanusiaan dan amal saleh. Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam peradaban dan berbudaya. 2. Iman dan takwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan. Ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang tuguh kepada kebenaran sebagai mana dikehendaki oleh hati nurani yang hanif. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara beribadah menjadi wewenang penuh dari pada agama tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadat yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan kedudukannya di tengah alam dan masyarakat dan sesamanya. Ia tidak melebihkan diri sehingga mengarah kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan kemanusiaan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai mahluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain Dengan ibadah manusia dididik untuk memilki kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah berbuat ikhlas, yaitu pemurniaan pengabdian kepada Kebenaran semata.. 3. Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yanag sungguh - sungguh secara essensial menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang maupun waktu. Yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu berarti usaha usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada nilai - nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani usaha itu ialah "amar ma'ruf”, disamping usaha lain untuk mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai - nilai kemanusiaan atau nahi mungkar. Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha - usaha kearahpenungkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia. 4. Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan jihad, yaitu sikap berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang tinggi dan oleh sikap yang tegas kepada musuh - musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi kemanusiaan mereka adalah



manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau golongan lain. 5. Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan proses perkembangan yang permanen. Perjuang kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu, manusia harus mengetahui arah yang benar dari pada perkembangan peradaban disegala bidang. Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan mengahancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu pengetahun harus didasari oleh sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan diantaranya yang terbaik. Dengan demikian, tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu beriman, berilmu dan beramal.