Modul 1 PBL 15 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FAKULTAS KEDOKTERAN



Makassar, 27September 2019



UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA LAPORAN PBL SISTEM KEGAWATDARURATAN DAN TRAUMATOLOGI MODUL KESADARAN MENURUN



Tutor: dr. Andi Alamanda Irwan KELOMPOK 15 MUTMAINNA



(110 2016 0076)



FAUZIA SYPARJO



(110 2016 0138)



A. ZIHNI AMALIA



(110 2016 0139)



MARWA AMRANG



(110 2016 0142)



SISKA WULANDARI



(110 2016 0152)



DWI OKTAVIANI DANA REKSA



(110 2016 0158)



MEISY GITA SILVA



(110 2016 0161)



ACHMAD FAUZI



(110 2016 0163)



SRI ANGGRENI SARDI



(110 2016 0167)



NURFICKRIANI FIRMAN



(110 2016 0175)



DESY NURDIANTY



(110 2016 0176)



FAKULTAS KEDOKTERAN UNVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2019 SKENARIO 1 1



Seorang perempuan 19 tahun masuk ke Puskesmas dengan kesadaran menurun sekitar 1 jam yang lalu setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Pada pemeriksaan fisik diperoleh tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 40x/menit, pernapasan 10x/menit, temperature 37 C. Evaluasi kesadaran penderita hanya menggerakkan tangan dan kaki setelah dirangsang nyeri. Nampak jejas pada pelipis kanan. Saat diantar ke Puskesmas oleh warga, penderita sempat berbicara dengan baik. KATA SULIT KATA KUNCI 1.



Perempuan, 19 tahun



2.



Kesadaran menurun 1 jam setelah kecelakaan lalu lintas



3.



Tanda Vital :



- Tekanan Darah : 140/90 mmHg (Hipertensi Grade 1) -



Nadi : 40x/menit (Bradikardi)



-



Pernapasan : 10x/menit (Bradipnea)



-



Suhu : 37 C (Normal)



4.



Mengeluarkan suara merintih, dan rangsang nyeri membuka mata, dan



hanya



menggerakkan tangan dan kaki setelah dirangsang nyeri



5.



Tampak jejas di pelipis kanan



6.



Berbicara dengan baik saat diantar ke Puskesmas oleh warga



PERTANYAAN 1.



Bagaimana tingkat kesadaran pada pasien beserta tanda dan gejala



penurunan kesadaran ? 2.



Apa yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran ?



3.



Jelaskan patomekanisme kesadaran menurun !



4.



Bagaimana penanganan awal pada pasien sesuai dengan skenario ?



5.



Bagaimana tindak lanjut setelah penanganan awal ?



2



6.



Jelaskan syarat melakukan transportasi dan rujukan pada pasien dengan



kesadaran menurun ! 7.



Perspektif islam



JAWABAN PERTANYAAN 1.



Bagaimana tingkat kesadaran pada pasien beserta tanda dan gejala Tingkat penurunan kesadaran dapat dinilai secara kualitatif atau secara kuantitatif. A. Pemeriksaan derajat kesadaran secara kualitatif:1,2 1) Compos Mentis yaitu, sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya. pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik. 2) Apatis yaitu, keadaan dimana pasien tampak segan dan acuk tak acuh terhadap lingkungannya. 3) Delirium yaitu, penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi dan meronta-ronta. 4) Somnolen (Letergia, Obtundasi, Hipersomnia) yaitu, keadaan mengantuk yang masih dapat pulih bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali. 5) Stupor yaitu, keadaan mengantuk yang dalam, pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal yang baik. 6) Semi-Koma (koma ringan) yaitu, penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks (kornea, pupil) masih baik. Respons terhadap rangsang nyeri tidak adekuat. 3



7) Koma yaitu, penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri. Berdasarkan skenario, interpretasi tingkat kesadaran pasien secara kualitatif yaitu masuk dalam kategori Sopor (Stupor). B. Pemeriksaan derajat kesadaran secara kuantitatif:1,2 Secara kuantitatif dapat dengan menggunakan skala koma Glasgow (GCS). Hal-hal yang dinilai pada pemeriksaan ini adalah reaksi membuka mata, berbicara dan gerakan/motorik.



Skala Koma Glasgow Eye



Verbal



Motorik



INTERPRETASI



Spontan



4



Mengikuti perintah panggilan



3



Reaksi terhadap rangsang nyeri



2



Tidak ada reaksi terhadap rangsang nyeri



1



Berorientasi baik



5



Disorientasi/bingung



4



Tidak sesuai/satu kata saja



3



Tidak dimengerti/suara saja



2



Tidak ada suara sama sekali



1



Mengikuti perintah/bertujuan



6



Menepis rangsang nyeri



5



Gerakan menghindari nyeri



4



Gerakan fleksi dekortikasi



3



Gerakan esktensi deserebrasi



2



Tidak ada gerakan sama sekali



1



-Penurunan kesadaran ringan SKG : 13-15 -Penurunan kesadaran sedang SKG : 9-12 4



-Penurunan kesadaran berat SKG : 3-8 Berdasarkan scenario, interpretasi GCS pasien yaitu E2M4V2 dengan jumlah 8. Masuk dalam kategori penurunan kesadaran berat. C. Metode lain adalah menggunakan sistem AVPU, ini juga merupakan skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien. Hal ini lebih sederhana daripada GCS dan dapat digunakan oleh dokter, perawat, penolong pertama dan kru ambulans. Skala AVPU adalah metode cepat untuk menilai LOC (Level Of Consciousness). LOC pasien dilaporkan sebagai A, V, P, atau U. Empat unsur yang diuji.1,2 1) Alert – jika pasien spontan dan langsung merespon secara tepat terhadap pertanyaan paramedis. 2) Verbal - jika pasien merespon terhadap perintah, yang mungkin hanya berupa suara erangan. 3) Pain - jika pasien hanya berespon terhadap rangsang nyeri. 4) Unresponsive - jika pasien tidak memberi respon. Referensi: Pehimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Buku Ajar Neuorologi Klinis. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. 2011. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara : Jakarta. 2011. 2. Apa yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran ? Etiologi Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik yang bersifat intracranial maupun ekstrakranial / sistemik. Penjelasan singkat tentang factor etiologi gangguan kesadaran adalah sebagai berikut:3,4 a)



Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum, atau batang



otak). Perdarahan, thrombosis maupun emboli. Mengingat insidensi stroke



5



cukup tinggi maka kecurigaan terhadap stroke pada setiap kejadian gangguan kesadaran perlu digaris bawahi. c)



Infeksi: ensefalo meningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis/absesotak)



Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit yang sering dijumpai di Indonesia maka pada setiap gangguan kesadaran yang disertai suhu tubuh meninggi perlu dicurigai adanya ensefalo meningitis. Gangguan metabolisme. Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan diabetes mellitus sering dijumpai. d)



Neoplasma. Neoplasmaotak, baik primer maupun metastatik, sering di



jumpai di Indonesia. Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan usia dewasa dan lanjut. Kesadaran menurun umumnya timbul berangsur-angsur namun progresif/ tidak akut. e)



Trauma kepala. Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan



lalu-lintas. f)



Epilepsi. Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsy umum dan



status epileptikus g)



Intoksikasi. Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan



bunuh diri), makanan tertentu dan bahan kimia lainnya. h)



Gangguan elektrolit dan endokrin. Gangguan in isering kali tidak



menunjukkan “identitas” nya secara jelas; dengan demikian memerlukan perhatian yang khusus agar tidak terlupakan dalam setiap pencarian penyebab gangguan kesadaran.3,4 Penyebab kesadaran menurun :3,4



6



Asal patologis Intrakranial



Penyebab utama



Penyebab sekunder



Lokasi



Vaskuler



Hemorragik



Intracerebral Subarachnoid Subdural Extradural



Infark Infeksi



Meningitis Encephalitis Abses



Tumor



Massa efect Edema serebri



Post epilepsi Trauma kepala



Vaskuler Hipoksia ensefalopaty Edema serebri



Ekstrakranial



kardiovaskuler



Syok Hipertensi berat



Infeksi



Septik



Metabolik



Hiper/hipoglikemia Gangguan elektrolit



Referensi: 7



Aryamehr Syahyad, Dr. Cardiopulmonary Resuscitation (CPR). Makassar Dibawakan Dalam Rangka Tugas Pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi FK UNHAS ; 2003.h.1-40. Farzaneh A, Sorond. “Does hypertension affect cerebral blood-flow auto regulation?” J Neural Sci[internet]. 2002 [diakses tanggal 15 april 2016]; 1(1). 3.



Jelaskan patomekanisme kesadaran menurun ! Fisiologi Kesadaran Secara fisiologik, kesadaran memerlukan interaksi yang terus-menerus dan



efektif antara hemisfer otak dan formasio retikularis di batang otak. Kesadaran dapat digambarkan sebagai kondisi awas-waspada dalam kesiagaan yang terus menerus terhadap keadaan lingkungan atau rentetan pikiran kita. Hal ini berarti bahwa seseorang menyadari seluruh asupan dari panca indera dan mampu bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dari dalam tubuh. Orang normal dengan tingkat kesadaran yang normal mempunyai respon penuh terhadap pikiran atau persepsi yang tercermin pada perilaku dan bicaranya serta sadar akan diri dan lingkungannya. Dalam keseharian, status kesadaran normal bisa mengalami fluktuasi dari kesadaran penuh (tajam) atau konsentrasi penuh yang ditandai dengan pembatasan area atensi sehingga berkurangnya konsentrasi dan perhatian, tetapi pada individu normal dapat segera mengantisipasi untuk kemudian bisa kembali pada kondisi kesadaran penuh lagi. Mekanisme ini hasil dari interaksi yang sangat kompleks antara bagian formasio retikularis dengan korteks serebri dan batang otak serta semua rangsang sensorik.5 Pada saat manusia tidur, sebenarnya terjadi sinkronisasi bagian-bagian otak. Bagian rostral substansia retikularis disebut sebagai pusat penggugah atau arousal centre, merupakan pusat aktivitas yang menghilangkan sinkronisasi (melakukan desinkronisasi), di mana keadaan tidur diubah menjadi keadaan awas waspada. Bila pusat tidur tidak diaktifkan maka pembebasan dari inhibisi mesensefalik dan 8



nuklei retikularis pons bagian atas membuat area ini menjadi aktif secara spontan. Keadaan ini sebaliknya akan merangsang korteks serebri dan sistem saraf tepi, yang keduanya kemudian mengirimkan banyak sinyal umpan balik positif kembali ke nuklei retikularis yang sama agar sistem ini tetap aktif. Begitu timbul keadaan siaga, maka ada kecenderungan secara alami untuk mempertahankan kondisi ini, sebagai akibat dari seluruh ativitas umpan balik positif tersebut.5 Masukan impuls yang menuju SSP yang berperan pada mekanisme kesadaran pada prinsipnya ada dua macam, yaitu input yang spesifik dan nonspesifik. Input spesifik merupakan impuls aferen khas yang meliputi impuls protopatik, propioseptif dan panca-indera. Penghantaran impuls ini dari titik reseptor pada tubuh melalui jaras spinotalamik, lemniskus medialis, jaras genikulo-kalkarina dan sebagainya menuju ke suatu titik di korteks perseptif primer. Impuls aferen spesifik ini yang sampai di korteks akan menghasilkan kesadaran yang sifatnya spesifik yaitu perasaan nyeri di kaki atau tempat lainnya, penglihatan, penghiduan atau juga pendengaran tertentu. Sebagian impuls aferen spesifik ini melalui cabang kolateralnya akan menjadi impuls non-spesifik karena penyalurannya melalui lintasan aferen non-spesifik yang terdiri dari neuronneuron di substansia retikularis medulla spinalis dan batang otak menuju ke inti intralaminaris thalamus (dan disebut neuron penggalak kewaspadaan) berlangsung secara multisinaptik, unilateral dan lateral, serta menggalakkan inti tersebut untuk memancarkan impuls yang menggiatkan seluruh korteks secara difus dan bilateral yang dikenal sebagai diffuse ascending reticular system. Neuron di seluruh korteks serebri yang digalakkan oleh impuls aferen non-spesifik tersebut dinamakan neuron pengemban kewaspadaan. Lintasan aferen non-spesifik ini menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke titik-titik pada seluruh sisi korteks serebri. Jadi pada kenyataannya, pusat-pusat bagian bawah otaklah yaitu substansia retikularis yang mengandung lintasan non-spesifik difus, yang menimbulkan “kesadaran” dalam korteks serebri.5 9



Derajat kesadaran itu sendiri ditentukan oleh banyak neuron penggerak atau neuron pengemban kewaspadaan yang aktif. Unsur fungsional utama neuronneuron ialah kemampuan untuk dapat digalakkan sehingga menimbulkan potensial aksi. Selain itu juga didukung oleh proses-proses yang memelihara kehidupan neuron-neuron serta unsur-unsur selular otak melalui proses biokimiawi, karena derajat kesadaran bergantung pada jumlah neuron-neuron tersebut yang aktif. Adanya gangguan baik pada neuron-neuron pengemban kewaspadaan ataupun penggerak kewaspadaan akan menimbulkan gangguan kesadaran.5



Patofisiologi Kesadaran Menurun Patofisiologi menerangkan terjadinya kesadaran menurun sebagai akibat dari berbagai macam gangguan atau penyakit yang masing-masing pada akhirnya mengacaukan fungsi reticular activating system secara langsung maupun tidak langsung. Dari studi kasus-kasus koma yang kemudian meninggal dapat dibuat kesimpulan, bahwa ada tiga tipe lesi /mekanisme yang masing-masing merusak fungsi reticular activating system, baik secara langsung maupun tidak langsung.7 10



a.



Disfungsi otak difus



1.



Proses metabolik atau submikroskopik yang menekan aktivitas neuronal.



2.



Lesi yang disebabkan oleh abnormalitas metabolik atau toksik atau oleh



pelepasan general electric (kejang) diduga bersifat subseluler atau molekuler, atau lesi-lesi mikroskopik yang tersebar. 3.



Cedera korteks dan subkorteks bilateral yang luas atau ada kerusakan



thalamus yang berat yang mengakibatkan terputusnya impuls talamokortikal atau destruksi neuron-neuron korteks bisa karena trauma (kontusio, cedera aksonal difus), stroke (infark atau perdarahan otak bilateral). 4.



Sejumlah penyakit mempunyai pengaruh langsung pada aktivitas metabolik



sel-sel neuron korteks serebri dan nuclei sentral otak seperti meningitis, viral ensefalitis, hipoksia atau iskemia yang bisa terjadi pada kasus henti jantung. 5.



Pada umumnya, kehilangan kesadaran pada kondisi ini setara dengan



penurunan aliran darah otak atau metabolisme otak.7 b.



Efek langsung pada batang otak



1.



Lesi



di



batang



otak



dan



diensefalon



bagian



bawah



yang



merusak/menghambat reticular activating system. 2.



Lesi anatomik atau lesi destruktif terletak di talamus atau midbrain di mana



neuron-neuron ARAS terlibat langsung. 3.



Lebih jarang terjadi.



4.



Pola patoanatomik ini merupakan tanda khas stroke batang otak akibat



oklusi arteri basilaris, perdarahan talamus dan batang otak atas, dan traumatic injury.5 c.



Efek kompresi pada batang otak 11



1)



Lesi masa yang bisa dilihat dengan mudah



2)



Massa tumor, abses, infark dengan edema yang masif atau perdarahan



intraserebral, subdural maupun epidural. Biasanya lesi ini hanya mengenai sebagian dari korteks serebri dan substansia alba dan sebagian besar serebrum tetap utuh. Tetapi lesi ini mendistorsi struktur yang lebih dalam dan menyebabkan koma karena efek pendesakan (kompresi) ke lateral dari struktur tengah bagian dalam dan terjadi herniasi tentorial lobus temporal yang berakibat kompresi mesensefalon dan area subthalamik reticular activating system, atau adanya perubahan-perubahan yang lebih meluas di seluruh hemisfer. 3)



Lesi serebelar sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan area retikular



batang otak atas dan menggesernya maju ke depan dan ke atas 4)



Pada kasus prolonged coma, dijumpai perubahan patologik yang terkait lesi



seluruh bagian sistim saraf korteks dan diensefalon.5 Berdasar anatomi-patofisiologi, koma dibagi dalam:5 1.



Koma kortikal-bihemisferik, yaitu koma yang terjadi karena neuron



pengemban kewaspadaan terganggu fungsinya. 2.



Koma diensefalik, terbagi atas koma supratentorial, infratentorial,



kombinasi supratentorial dan infratentorial; dalam hal ini neuron penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan. Sampai saat ini mekanisme neuronal pada koma belum diketahui secara pasti. Dalam eksperimen, jika dilakukan dekortikasi atau perusakan inti intralaminar talamik atau jika substansia grisea di sekitar akuaduktus sylvii dirusak akan terjadi penyaluran impuls asenden nonspesifik yang terhambat sehingga terjadi koma. Studi terkini yang dilakukan oleh Parvizi dan Damasio melaporkan bahwa lesi pada pons juga bisa menyebabkan koma. 7 12



Koma juga bisa terjadi apabila terjadi gangguan baik pada neuron penggalak kewaspadaan maupun neuron pengemban kewaspadaan yang menyebabkan neuron-neuron tersebut tidak bisa berfungsi dengan baik dan tidak mampu bereaksi terhadap pacuan dari luar maupun dari dalam tubuh sendiri. Adanya gangguan fungsi pada neuron pengemban kewaspadaan, menyebabkan koma kortikal bihemisferik, sedangkan apabila terjadi gangguan pada neuron penggalak kewaspadaan, menyebabkan koma diensefalik, supratentorial atau infratentorial. 7 Penurunan fungsi fisiologik dengan adanya perubahan-perubahan patologik yang terjadi pada koma yang berkepanjangan berhubungan erat dengan lesi-lesi sistem neuron kortikal diensefalik. Jadi prinsipnya semua proses yang menyebabkan destruksi baik morfologis (perdarahan, metastasis, infiltrasi), biokimia (metabolisme, infeksi) dan kompresi pada substansia retikularis batang otak paling rostral (nuklei intralaminaris) dan gangguan difus pada kedua hemisfer serebri menyebabkan gangguan kesadaran hingga koma. Derajat kesadaran yang menurun secara patologik bisa merupakan keadaan tidur secara berlebihan (hipersomnia) dan berbagai macam keadaan yang menunjukkan daya bereaksi di bawah derajat awas-waspada. Keadaan-keadaan tersebut dinamakan letargia, mutismus akinetik, stupor dan koma. 7 Bila tidak terdapat penjalaran impuls saraf yang kontinyu dari batang otak ke serebrum maka kerja otak menjadi sangat terhambat. Hal ini bisa dilihat jika batang otak mengalami kompresi berat pada sambungan antara mesensefalon dan serebrum akibat tumor hipofisis biasanya menyebabkan koma yang ireversibel. Saraf kelima adalah nervus tertinggi yang menjalarkan sejumlah besar sinyal somatosensoris ke otak. Bila seluruh sinyal ini hilang, maka tingkat aktivitas pada area eksitatorik akan menurun mendadak dan aktivitas otakpun dengan segera akan sangat menurun, sampai hampir mendekati keadaan koma yang permanen.5 Referensi: Buku Ajar Neurologi Fakulta Kedokteran Universitas Hasanuddin. 13



4. Bagaimana penanganan awal pada pasien sesuai dengan skenario ? Primary Survey Penilaian keadaan pasien dan prioritas terapi didasarkan jenis perlukaan, tanda- tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada pasien yang terluka parah, terapi diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital pasien harus dinilai secara cepat dan efisien. Pengelolaan pasien berupa primary surv ey yang cepat dan kemudian resusitasi, secondary survey, dan akhirnya terapi definitif. Proses ini merupakan ABCDE-nya trauma, dan berusaha mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut:6,7 1.



Airway, menjaga airway dengan control servikal (cervical spine control)



2.



Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi



3.



Circulation dengan control perdarahan (hemorrhage control)



4.



Disability: status neurologis



5.



Exposure/environmental control: buka baju pasien, tetapi cegah hipotermia



Airway a.



Penilaian Beberapa tanda objektif sumbatan airway dapat diketahui dengan langkah-



langkah berikut:6,7 1.



Lihat (look) apakah pasien mengalami agitasi atau kesadaran menurun,



agitasi member kesan adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran member kesan adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku da sekitar mulut. 14



Retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang apabila ada, merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway. 2.



Dengar (listen) adanya suara-suara abnormal pernapasan yang berbunyi



(suara, napas bisik) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara mendengkur (snoring), berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau laring. Suara parau (hoarseness, dysphonia) menunjukkan sumbatan pada laring. Pasien yang melawan ddan berkata-kata kasar (gaduh, gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh dianggap karena keracunan/mabuk. 3.



Raba (feel) lokasi trakea dan dengan cepat tentukan arah trakea berada di



tengah.6,7



b. Permasalahan 1.



Lidah yang jatuh ke belakang dan menyumbat orofaring dan glottis (stridor)



2.



Cairan atau benda semipadat atau benda asing yang menyumbat lumen



saluran pernapasan bagian atas. 3.



Penekanan saluran pernapasan dari luar.



4.



Terjadi sumbatan benda padat secara total.6,7



15



b.



Penanganan Bila salah satu dari hal-hal tersebut kita temukan maka segeralah lakukan



pembebasan jalan napas. Jalan napas bebas dapat dicapai dengan ekstensi kepala sehingga lidah terletak di depan dan tidak menutup hipofaring. Hal ini dapat dicapai dengan menarik dagu ke depan. Bila ada kecurigaan terjadi fraktur tulang leher, tindakan membebaskan jalan napas dilakukan tanpa ekstensi berlebihan kepala dan posisi leher harus diimobilisasi. Umumya jalan napas harus terlebih dahulu dibuka, dibebaskan, dan dibersihkan.6,7 Bila pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang dan menghambat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver) atau dengan mendorong rahang bawah kea rah depan (jaw-thrust maneuver), airway selanjutnya



dapat



dipertahankan



dengan



oropharyngeal



airway



atau



nasopharyngeal airway. Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama mengerjakan prosedur-prosedur ini harus dilakukan imobilisasi segaris (inline immobilization).6,7 Head tilt/chin lift maneuver Berdasarkan AHA, head tilt/chin lift maneuver adalah teknik paling efektif untuk membuka jalan napas korban yang tidak sadar. Teknik ini adalah satusatunya maneuver yang direkomendasikan untuk penolong awam dan penolong yang berpengalaman ketika ada trauma kepala atau leher. Head tilt/chin lift maneuver dilakukan dengan meletakkan satu tangan pada dahi pasien dan kepala dimiringkan kebelakang. Jari pada tangan lain diletakkan dengan kuat di bawah bagian tulang yang menonjol pada dagu, angkat dagu ke atas.6,7 Jaw Trhust Manuever 16



Cara ini dilakukan pada korban dengan riwayat trauma servikal. Tindakan jaw- thrust dilakukan dengan cara memegang sudut rahang bawah (angulus mandibula) kiri dan kanan serta mendorong rahang bawah ke depan. Hal ini harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah ekstensi kepala.6,7



Heimlich Maneuver Obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh corpus alienum misalnya karena tersedak. Tersedak adalah respon fisiologis terhadap obstruksi saluran napas mendadak. Benda asing obstruksi jalan napas menyebabkan asfiksia dan merupakan kondisi yang mengkhawatirkan, yang terjadi sangat akut, pasien sering tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi kepada mereka. Jika parah, dapat menyebabkan hilangnya cepat kesadaran dan kematian jika pertolongan pertama tidak dilakukan dengan cepat dan berhasil. Jika benda asing tidak tampak di mulut dan tidak dapat ditangkap dengan jari atau alat harus dilakukan Heimlich. Pasien dipegang dari belakang setinggi ulu hati dengan kedua tangan : tangan yang satu memegang tangan yang lain dengan cukup kuat, tangan ditekan sehingga diafragma naik dan terjadi tekanan tinggi di rongga dada. Posisi tangan yang lebih dominan mengepal dan tangan yang lain diletakkan di atasnya. Gerakan ini dapat mengeluarkan benda asing.6,7 17



Back Blows Back blows adalah pukulan atau tepukan pada punggung pasien sebanyak lima kali yang dapat dilakukan pada siapapun.6,7 Finger sweep Teknik untuk membersihkan obstruksi mekanik dari saluran napas bagian atas pada pasien yang tidak sadar. Penyelamat membuka mulut korban dengan memegang rahang bawah dan lidah antara ibu jari dan jari-jari. Penyelamat kemudian mencoba untuk menyapu benda asing keluar dari mulut korban dengan jari.6,7



18



Apabila dengan cara-cara diatas pasien belum dapat bernapas maka lakukan pertolongan dengan menggunakan alat seperti di bawah ini :6,7 Oropharingeal Airway Airway oral disisipkan ke dalam mulut dibalik lidah. Teknik yang dipilih adalah dengan menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan menyisipkan airway tersebut ke belakang. Alat ini tidak boleh mendorong lidah kebelakang yang justru akan membuat airway buntu. Alat ini tidak boleh digunakan pada pasien yang sadar karena dapat menyebabkan sumbatan, muntah dan aspirasi. Pasien yang dapat mentoleransi airway orofaringeal kemungkinan besar membutuhkan intubasi.6,7



Nasopharyngeal Airways Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior dengan menggunakan jelly. Alat tersebut sebaiknya dilumasi baik-baik kemudian disisipkan ke lubang hidung



19



yang tampak tidak tertutup. Bila hambatan dirasakan selama pemasangan airway, hentikan dan coba melalui lubang hidung yang lainnya.6,7 Breathing Menjamin terbukanya airway merupakan langkah penting pertama untuk pemberian oksigen pada pasien, tapi itu baru merupakan langkah awal. Airway yang terbuka tidak akan berguna bagi pasien terkecuali pasien juga mempunyai adekuat ventilasi dan mencari tanda-tanda objektif dari ventilasi yang tidak adekuat.6,7



a.



Penilaian Beberapa tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat dapat diketahui dengan



mengambil langkah-langkah berikut:6,7 1.



Lihat (look) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan udara dinding



dada yang adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman terhadap ventilasi pasien. 2.



Dengar (listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan



atau tidak terdengarnya suara napas pada satu atau kedua hemitoraks merupakan adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan yang cepat, 20



takipneu mungkin menunjukkan adanya kekurangan oksigen (respiratory distress). 3.



Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang



saturasi oksigen dan perfusi perifer pasien, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang adekuat. b.



Permasalahan Ventilasi mungkin terganggu oleh sumbatan airway tetapi juga oleh



gangguan pergerakan napas (ventilatory mechanics) atau depresi susunan saraf pusat. Apabila pernapasan tidak membaik dengan terbukanya airway, penyebab lain harus dicari. Trauma langsung pada dada, khususnya yang disertai trauma tulang iga, menyebabkan rasa sakit setiap kali bernapas dan menyebabkan pernapasan yang cepat, dangkal, dan hipoksemia. Pasien lanjut usia yang mengalami trauma toraks dan menderita gangguan paru mempunyai resiko bermakna untuk mengalami gagal napas pada keadaan ini.6,7 Cedera intrakranial dapat menyebabkan pola pernapasan yang abnormal dan mengganggu



ventilasi.



Cedera



servikal



dapat



menyebabkan



pernapasan



diafragmatik sehingga kemampuan penyesuaian untuk kebutuhan oksigen yang meningkat menjadi terganggu. Transeksi total servikal, yang masih menyisakan nervus frenikus menimbulkan pernapasan abdominal dan kelumpuhan otot-otot intercostal. Bantuan ventilasi mungkin dibutuhkan.6,7 Cedera dinding dada, rongga toraks, atau paru menyebabkan gagal napas. Pada trauma majemuk, gagal napas dapat pula terjadi bila trauma mengenai abdomen atas. Cadangan napas dapat menurun bila penderita telah menderita gangguan napas sebelum terjadi trauma sehingga pertukaran gas tidak cukup. Sindrom gagal napas pada orang dewasa (Adult respiratory distress syndrome, ARDS) adalah kegagalan paru karena trauma, syok, sepsis.6,7 21



c.



Penanganan Cara menanganinya adalah dengan melakukan ventilasi buatan dan



oksigenasi dengan inflasi tekanan positif secara intermitten dengan menggunakan udara ekshalasi dari mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke alat (S- tube masker atau bag valve mask). Ventilasi buatan dengan tekanan positif jangka panjang sebainya dilakukan melalui intubasi dengan pipa endotrakeal atau dengan trakeostomi.6,7 Mouth to Mouth Untuk memberikan bantuan pernapasan mulut ke mulut, jalan napas korban harus terbuka. Tangan penolong masih tetap melakukan teknik membuka jalan napas chin lift. Hidung korban harus ditutup bisa dengan tangan atau dengan menekan pipi penolong pada hidung korban. Mulut penolong mencakup seluruh mulut korban. Mata penolong melihat ke arah dada korban untuk melihat pengembangan dada. Pemberian pernapasan buatan secara efektif dapat diketahui dengan melihat pengembangan dada korban. Tiupkan napas dengan lambat, tiupkan setiap napas lebih dari 2 detik, pastikan ada pengembangan dada korban. Bersiaplah untuk memberikan sekitar 10 sampai 12 napas per menit (1 nafas setiap 4 sampai 5 detik).6,7



Mouth to Nose 22



Memberikan napas dari mulut ke hidung direkomendasikan jika pemberian napas buatan melalui mulut korban tidak dapat dilakukan misalnya terdapat luka yang berat pada mulut korban, mulut tidak dapat dibuka, korban di dalam air atau mulut penolong tidak dapat mencakup mulut korban.6,7



Mouth to Mask Sebuah masker transparan dengan atau tanpa katup yang digunakan dari mulut ke masker pernapasan. Ventilasi mulut ke masker sangat efektif karena memungkinkan penyelamat untuk menggunakan dua tangan untuk membuat masker terpasang erat di daerah mulut pasien. Ada 2 teknik yang mungkin untuk menggunakan masker mulut. Teknik pertama posisi penyelamat di atas kepala korban (cephalic technique). Pada teknik kedua (lateral technique), penyelamat adalah diposisikan di samping korban dan menggunakan head tilt– chin lift.6,7



23



Bag Valve Mask Pemberian nafas buatan dengan menggunakan alat dapat meggunakan Bag Valve Mask (ambu bag). Ambu bag terdiri dari bag yang berfungsi untuk memompa O2 bebas, valve atau pipa berkatup dan masker yang menutup mulut dan hidung penderita. Ambu bag sangat efektif bila dilakukan oleh dua orang penolong yang berpengalaman. Salah seorang penolong mebuka jalan napas dan menempelkan sungkup di wajah korban dan penolong lain memegang bagging. Teknik ventilasi bag v alv e mask membutuhkan instruksidan praktek. Penyelamat harus dapat menggunaka npera lata n secara efektif dalam berbagai situasi.6,7 Circulation Istilah henti jantung adalah istilah umum yang meliputi konsekuensi hemodinamik pada asistol, fibrilasi ventrikel, dan disosiasi elektrodinamik. Berhentinya kontraksi jantung tidak benar-benar terjadi pada dua dari tiga keadaan ini. Bila curah jantung sangat rendah sehingga semua tanda-tanda henti jantung muncul.6,7 a. Penilaian Yang dibicarakan adalah volume darah dan cardiac output serta, perdarahan. Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik: pasien yang sadar belum tentu normo-volemik). Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Pasien trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.6,7



24



Periksalah nadi yang besar seperti A. femoralis atau A. karotis (kiri-kanan), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovolemia (bila pasien tidak minum obat betablocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa normo-volemia. Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi segera untuk memperbaiki volume dan cardiac output.6,7 b.



Permasalahan Kegagalan sirkulasi yang paling sering terjadi pada korban trauma adalah



syok dan henti jantung yang antara lain terjadi karena perdarahan yang terlalu banyak atau karena cedera jantungnya sendiri. Tanda-tanda henti jantung adalah: tidak teraba nadi yang sebelumnya teraba atau tidak ada denyut pembuluh darah besar karotis atau femoralis. Salah satu atau kedua tanda utama ini berlaku pada semua situasi.6,7 Perlu dibuat diagnosis dengan cepat dalam hitungan detik akan kejadian ini. Dilatasi pupil terjadi pada henti sirkulasi dan merupakan tanda hipoksia. Hipoksia dapat juga mendahului henti jantung sehingga sianosis serta midriasis telah ada walaupun curah jantung tidak berkurang. Tidak ada cadangan nyata oksigen di dalam tubuh tetapi pada setiap saat tersedia kurang lebih 1000 ml oksigen. Jelas bahwa tidak semua oksigen ini tersedia sepenuhnya untuk keperluan metabolik. 25



Jadi jika penggunaan oksigen terus tidak berkurang, “cadangan” akan habis terpakai (paling lama 3 menit). Secara umum, bila sirkulasi tidak mulai kembali secara spontan, atau tidak ditambah secara buatan, dalam 3 menit sejak saat berhenti, mungkin tidak ada gunanya kita memulai resusitasi. Oleh karena itu, henti jantung klinis harus ditangani segera.6,7 c.



Penanganan



Syok Perdarahan merupakan penyebab syok paling umum pada trauma dan hampir semua pasien-pasien dengan trauma multipel terjadi hipovolemia. Sebagai tambahan, kebanyakan pasien dengan syok nonhemoragik memberikan respon yang singkat terhadap resusitasi cairan. Walaupun tidak lengkap (parsial). Klasifikasi perdarahan (kehilangan darah) dibagi menjadi empat kelas berdasarkan tanda-tanda klinis, merupakan perangkat yang penting untuk memperkirakan presentasi hilangnya darah secara akut. Perubahan-perubahan ini dapat menunjukkan adanya perdarahan yang sedang terjadidan sebagai pedoman terapi awal. Penggantian volume darah hendaknya didasarkan atas respon pasien terhadap terapi awal dan bukan klasifikasi kehilangan darah. Sistem klasifikasi perdarahan ini berguna untuk menetukan tanda-tanda klinis awal patofisiologi kodisi syok. Upaya diagnostik dan penangan syok harus dilaksanakan secara simultan. Prinsip penanganan dasar syok adalah stop perdarahan dan penggantian volume darah/cairan yang hilang.6,7 Pemeriksaan fisik ditujukan langsung pada diagnosis segera atas cedera yang mengancam jiwa dan meliputi penilaian ABCDE. Pencatatan data-data awal penting untuk memonitor respon pasien terhadap terapi. Tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran merupakan faktor penting. Bila kondisi memungkinkan, pemeriksaan yang lebih detil perlu dilaksanakan.6,7 26



Menjamin airway yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat merupakan



prioritas



pertama.



Pemberian



oksigen



tambahan



untuk



mempertahankan saturasi lebih dari 95%. Prioritas dalam sirkulasi meliputi control perdarahan yang jekas terlihat, memperoleh akses intarvena yang cukup dan menilai perfusi jaringan. Pendarahan dari luka-luka luar umumnya dapat dikontrol dengan bebat tekan langsung pada perdarahan.6,7 Terapi awal cairan larutan elektrolit istonik hangat, misalnya Ringer laktat, digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan cairan penyerta yang hilang ke dalam ruang itertisial dan intraseluler. Keputusan untuk memberikan transfuse darah didasarkan pada respon pasien. Tujuan utama transfuse darah adalah untuk mengembalikan kapasitas angkut oksigen di dalam volume intravaskuler.6,7 Chest Compression Jika korban juga bernapas tidak normal (terengah-engah), penolong harus mengasumsikan korban mengalami henti jantung. Penyelamat awam harus melakukan panggilan darurat saat penyelamat menemukan bahwa korban dalam keadaan tidak responsif, operator harus mampu membimbing penolong awam untuk



memeriksa



pernapasan



pasien



serta



langkah-langkah



CPR



(cardiopulmonary resuscitation), jika diperlukan. Setelah melakukan panggilan darurat, semua tim penolong harus segera memulai CPR (lihat langkah-langkah di bawah ini) untuk korban dewasa yang tidak responsif dengan tidak bernapas atau tidak bernapas normal (terengah-engah).6,7 Kompresi terdiri dari aplikasi irama dan tekanan yang kuat di pertengahan sternum. Kompresi mengembalikan aliran darah dengan meningkatkan tekanan intrathoracic dan langsung menekan jantung. ini menghasilkan aliran darah dan pengiriman oksigen ke miokardium dan otak. Kompresi dada yang efektif sangat penting untuk mengembalikan aliran darah selama CPR. Untuk alasan ini semua 27



pasien dalam. serangan jantung harus menerima kompresi dada. Tim penyelamat harus berusaha untuk meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi per menit. Rasio kompresiventilasi 30:2 direkomendasikan dengan kedalaman kompresi 5 cm.6,7 Pedoman AHA 2010 untuk CPR dan ECC merekomendasikan inisiasi kompresi sebelum ventilasi. Sementara tidak ada bukti manusia atau hewan yang dipublikasikan menunjukkan bahwa CPR dimulai dengan 30 kompresi lebih dari 2 ventilasi mengarah ke hasil yang lebih baik, jelas bahwa aliran darah bergantung pada penekanan dada. Untuk memaksimalkan kompresi dada, tempatkan korban pada permukaan keras bila memungkinkan, dalam terlentang posisi dengan penyelamat berlutut di samping dada korban atau berdiri di samping tempat tidur. Karena tempat tidur rumah sakit biasanya tidak keras. Kita merekomendasikan penggunaan papan meski tidak cukup bukti terhadap penggunaan papan selama CPR. Penyelamat harus menempatkan satu tangan di tengah (tengah) dari dada korban dan tangan lainnya di atas tangan pertama sehingga tangan dapat tumpang tindih dan paralel.6,7 Untuk memberikan kompresi dada yang efektif, mendorong keras (push hard) dan mendorong cepat (push fast). Hal ini wajar untuk orang awam dan kesehatan penyedia untuk kompres dada dewasa pada tingkat minimal 100 kompresi per menit dengan kedalaman kompresi minimal 2 inci / 5 cm). Tim penyelamat harus mengusahakan dada mengembang kembali ke posisi semula (recoil) disetiap pemberian satu kali kompresi, untuk memungkinkan jantung untuk mengisi sepenuhnya sebelum kompresi berikutnya.6,7



28



Pada bayi, kompresi dada yang dilakukan mengggunakan teknik yang berbeda. Jika penolong sendirian harus menggunakan teknik kompresi dada dengan mengguakan 2 jari yang diletakkan di garis antara kedua puting susu dengan ratio kompresi-ventilasi (30:2). Disarankan untuk melakukan kompresi pada bayi dengan dua penolong. Pada teknik ini penolong memegang badan bayi dengan kedua tangannya dan menempatkan kedua ibu jari intermammary line dengan ratio kompresi-ventilasi (15:2). Kompresi pada bayi dilakukan kurang lebih 100 kali per menit secara cepat dan kuat dengan kedalaman kompresi 4cm.6,7 Indikasi Pengakhiran Resusitasi a. Tanda- tanda Keberhasilan Resusitasi Suatu resusitasi yang baik dinilai atas 3 dasar, yaitu:6,7 1.



Fungsi otak, pernapasan dan jantung dapat dipertahankan. Bila O2 yang



dibutuhkan oleh jaringan otak dapat mencegah terjadinya kerusakan cerebral, maka ini dapat dinilai dari beberapa reaksi, antara lain: 2.



Berdasarkan diameter pupil. Bila miosis, menunjukkan hasil yang baik dan



bila midriasis menetap, menunjukkan hasil buruk. 3.



Refleks pupil



4.



Reflex air mata



5.



Struggling (meronta-ronta)



5.



Tonus otot meningkat 29



Bila hal di atas positif, maka hal tersebut menunjukkan indikasi ke arah perbaikan:6,7 1.



Terjadi spontanitas respirasi



Penilaian terhadap respirasi dapat dibagi menjadi:



a.



Pernapasan menjadi normal atau apneu, gasping (megap-megap) atau



pernapasan cheyne-stokes b.



Frekuensi pernapasan berkisar antara 16-20 kali/menit



c.



Amplitudo pernapasan yang meninggi



2.



Fungsi kardiovaskular Fungsi kardiovaskuler dapat diketahui dari denyut nadi yang teratur dan kuat



dan juga dari tekanan darah. Bila fungsi kardiovaskuler telah kembali normal, maka dilakukan penilaian: 8,9 a.



Monitoring dari organ-organ vital dalam, antara lain kardiovaskuler, ginjal,



dan keseimbangan asam dan basa. b.



Apakah terdapat fibrilasi ventrikuler dan takikardi ventrikuler yang



berulang. b. Tanda-tanda Kegagalan Resusitasi 30



Tanda- tanda dari kegagalan resusitasi dapat dibagi menjadi beberapa hal, yakni : 6,7



1.



Interval waktu yang terlalu lama antara fase cardiopulmonary arrest dengan



tindakan resusitasi yang dilakukan. Bila jarak ini lebih dari 3 menit, maka kemungkinan besar kerusakan yang cerebral yang irreversible telah terjadi, sehingga tindakan resusitasi tidak akan berhasil. 2.



Progresivitas yang pasti dari keadaan ini dapat diketahui, akan tetapi secara



klinis terdapat perburukan dari fungsi respirasi atau fungsi kardiovaskular yang dimanifestasikan pada perburukan fungsi serebral. 3.



Teknik resusitasi yang salah.



a.



Teknik resusitasi pernapasan yang salah disebabkan oleh karena hambatan



pada saluran napas, sehingga rasio perfusi ventilasi tidak dapat mengatasi kebutuhan O2 pada titik kritis dari serebral. b.



Restorasi kardiovaskular yang kurang tepat. Baik lokasi penekanan yang



keliru tidak akan menghasilkan cardiac output yang adekuat untuk memenuhi titik kritis dari kebutuhan daerah serebral. 1)



Kerusakan mekanikal



Bila terjadi kerusakan pada paru, kardiovaskuler, atau rongga thorax maka tindakan resusitasi kardiopulmonal dapat mengalami kegagalan. 2)



Resusitasi yang tidak memadai



Tindakan serta hasil restorasi pernapasan dan restorasi jantung tidak akan dapat memenuhi titik kritis akan kebutuhan O2 dari serebral. 3)



Tergantung kepada etiologi atau penyebab dari cardio pulmonary arrest.6,7



c. Penghentian Tindakan resusitasi 1.



Kematian klinis



Secara klinis tindakan resusitasi dapat dihentikan apabila setelah 1-1,5 jam jantung berhenti dan pasien tetap tidak dapat menunjukkan kesadaran. 31



2.



Kematian jantung



Dapat dimulai dengan tandanya monitoring EKG dalam waktu paling sedikit 30 menit setelah tindakan resusitasi selama pemberian obat-obatan. 3.



Kematian otak



Secara total bila tidak terdapat aktivitas elektroensepalografi dan secara klinis terjadi pelebaran pupil paling sedikit selama 1-2 jam maka dapat dianggap sebagai indikasi untuk menghentikan resusitasi. 4.



Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.



a.



Upaya resusitasi telah diambil alih orang yang bertanggung jawab.



b.



Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi. Setelah



dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan atau hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral akan pulih.6,7 D. Disability 1.



Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/AVPU



2.



Nilai pupil: besarnya, isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi tanda –



tanda lateralisasi 3.



Evaluasi dan re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.6,7



Pada skenario : 1) E2M4V2 (Stupor) E. Exposure 1.



Buka pakaian penderita



2.



Cegah hipotermia: beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang



cukup hangat.6,7 Referensi: 32



Henry Sharon, MD, Karen Brasel, MD, Ronald M. Stewart, MD, FACS. 2018. “ATLS : Advanced Trauma Life Support Tenth Edition” The Committee on Trauma: American College of Surgeons. PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke. Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Fakultas kedokteran Universitas Riau. 5.



Bagaimana tindak lanjut setelah penanganan awal ? Lakukan Trakeotomi, merupakan tindakan membuat jalan napas baru



dengan membuat lubang pada trakea. Trakeotomi menurut urgensi dibagi atas:8,9,10 1.



Emergency tracheostomy



Dilakukan pada keadaan darurat, biasanya didaerah glottis 2.



Orderly tracheostomy



Merupakan tindakan berencana, dilakukan pada cincing trakea III atau dibawahnya. Indikasi: a.



Pasien yang tampak pucat atau sianotik



b.



Terjadinya obstruksi jalan napas



c.



Terdapat benda asing disubglotis



d.



Cedera parah pada wajah dan leher



Komplikasi: a.



Perdarahan



b.



Infeksi pada tulang rawan tiroid



c.



Stenosis trakea



Secondary Survey Secondary survey adalah pemeriksaan kepala-sampai-kaki (head to toe examination), termasuk pemeriksaan tanda vital. Secondary survey baru dilaksanakan setelah primary survey selesai, resusitasi sudah dilakukan, dan 33



ABC-nya penderita dipastikan membaik. Pada secondary surveyini dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap, termasuk mencatat skor GCS bila belum dilaksanakan dalam survey primer. Pada secondary survey ini juga dilakukan pemeriksaan radiologi yg diperlukan.. Prosedur khusus seperti DPL, evaluasi radiologis dan pemeriksaan laboratorium juga dikerjakan pada kesempatan ini evaluasi lengkap dari penderita memerlukan pemeriksaan berulang-ulang.8,9,10 ANAMNESIS A – Alergi M – Medikasi (obat yang diminum saat ini) P – Past Illness (penyakit penyerta) / Pregnancy L – Last Meal E – Event / Environment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan 1)



Trauma tumpul



2)



Trauma tajam



3)



Perlukaan karena suhu / panas



4)



Bahan berbahaya (HAZMAT-Hazardous Material)



PEMERIKSAAN FISIK 1)



Kepala



2)



Maksilo-fasial



3)



Vertebra Servikalis dan Leher



4)



Thoraks



5)



Abdomen



6)



Perineum



7)



Muskuloskeletal



8)



Neurologis



a)



Head



Observasi dan palpasi ukuran dan respon pupil, telinga, membran thympani diperiksa untuk melihat adanya darah atau CSF, Battle’s sign (echymosis di 34



mastoid) yang menunjukkan adanya fraktur basis cranii. Serta diperiksa dan dicari cedera didaerah maksillofacial dan cervical spine. b)



Neck



Harus diimobilisasi jika dicurigai ada cedera cervical. Rontgen cervical lateral (C1-C7) harus dikerjakan. c)



Chest



Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi serta foto thoraks. Diperiksa dan dicari pelebaran



mediastinum,



fracture



costa,



flail



segment,



haemothoraks,



pneumothoraks, dan contusion paru d)



Abdomen



Fokus pada pemeriksaan untuk mencari kondisi akut yang membutuhkan intervensi bedah. Keputusan untuk segera melaksanakan DPL, CT-Scan, atau laparatomi cito harus segera diambil e)



Rectal



Adanya darah menunjukkan perforasi rectum, prostat letak tinggi menandakan adanya ruptur uretra, terabanya fragmen tulang di dinding rectum menunjukkan adanya fraktur pelvis. f)



Examination of Extremitas



Dicari adanya cedera vascular dan musculoskeletal. Hilangnya denyut nadi perifer merupakan indikasi dilakukannya aortografi. g)



Neurologic Examination



Pemeriksaan untuk menentukan fungsi cerebral hemispheric, brainstem, dan spinal levels.8,9,10 PEMERIKSAAN PENUNJANG 1)



Pemeriksaan laboratorium ada yang bersifat segera (cito) dan ada pula yang



bersifat terencana (menunggu hasil pemeriksaan fisik lengkap, EKG, radiologi, dan sebagainya). Pemeriksaan laboratorik yang bersifat segera pada umumnya 35



meliputi pemeriksaan glukosa darah, jumlah leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit. Dan analisis gas darah. Yang terakhir ini hanya dapat dikerjakan di rumah sakit yang lengkap fasilitasnya. Secara umum, pemeriksaan darah sehubungan dengan koma meliputi pemeriksaan rutin lengkap, kadar glukosa darah, elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, gas darah. Pada kasus tertentu (meningitis enscfalitis, perdarahan subaraknoidal) diperlukan tindakan pungsi lumbal dan kemudian dilakukan analisis cairan serebrospinal. 2)



Pemeriksaan elektrofisiologi pada kasus koma bersifat terbatas kecuali



pemeriksaan EKG. Pemeriksaan eko-ensefalografi bersifat noninvasif, dapat dikerjakan dengan mudah, tetapl manfaat diagnostiknya terbatas. Apabila ada CT Scan maka pemeriksaan ekoensefalografi tidak perlu dikerjakan. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) terutama dikerjakan pada kasus mati otak (brain death). 3)



Pemeriksaan radiologik dalam penanganan kasus koma tidak selamanya



mutlak perlu. CT Scan akan sangat bermanfaat pada kasus-kasus lesi otak (GPDO), neoplasma, abses, trauma kapitis, dan hidrosefalus. Koma metabolik pada umumnya tidak memerlukan pemeriksaan CT Scan kepala. Dalam kasus demikian ini justru pemeriksaan laboratorium patologi klinik lebih bermanfaat. Foto dada bersifat selektif, bergantung pada situasi klinis dan riwayat sebelumnya. RE-EVALUASI Penurunan kesadaran dapat dikenal apabila dilakukan evaluasi ulang terus menerus, sehingga gejala yang baru timbul segera dapat dikenali dan dapat ditangani secepatnya. Monitoring tanda vital dan produksi urin penting. Produksi urin orang dewasa sebaiknya dijaga ½ cc/kgBB/jam, pada anak 1 cc/kgBB/jam. Bila penderita dalam keadaan kritis dapat dipakai pulse oximeter dan end tidal CO2 monitoring. Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Golongan opiate atau anxiolitika harus diberikan secara intravena dan sebaiknya jangan intra muscular.8,9,10 36



TERAPI DEFINITIF Terapi definitif dimulai setelah primary dan secondary survey selesai. Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria. Apabila keputusan merujuk penderita telah diambil, maka harus dipilih rumah sakit terdekat yang cocok untuk penanganan pasien.8,9,10 RUJUKAN Bila cedera penderita terlalu sulit untuk dapat ditangani, penderita harus dirujuk. Proses rujukan ini harus dimulai saat alasan untuk merujuk ditemukan, karena menunda rujukan akan meninggikan morbiditas dan mortalitas penderita. Tentukan a.



Indikasi Rujukan



b.



Prosedur Rujukan



c.



Kebutuhan penderita selama perjalanan



Cara komunikasi dengan dokter yang akan dirujuk.8,9,10 TRANSPORTASI Syarat transportasi penderita : a)



Gangguan pernapasan dan CV telah ditanggulangi : Resusitasi bila perlu



b)



Perdarahan dihentikan.



c)



Luka ditutup.



d)



Patah tulang difiksasi.



Selama transportasi, monitor : a)



Kesadaran.



b)



Pernapasan.



c)



Tekanan darah dan denyut nadi.



d)



Daerah perlukaan. 37



Syarat alat transportasi : a)



Kendaraan



-



Darat (Ambulans, Pick Up, Gerobak).



-



Laut (Perahu, Rakit, Kapal, Perahu motor).



-



Udara (Pesawat terbang, Helikopter).



b)



Yang terpenting adalah :



-



Penderita dapat terlentang.



-



Cukup luas minimal untuk 2 penderita dan petugas dapat bergerak leluasa.



-



Cukup tinggi sehingga petugas dapat berdiri dan infuse dapat jalan.



-



Dapat melakukan komunikasi kesentral komunikasi dan rumah sakit.



-



Identitas yang jelas sehingga mudah dibedakan dari ambulans lain.8,9,10



FARMAKOLOGI Tujuan utama dari perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah apabila sel saraf otak diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali, sebaliknya apabila saraf dalam keadaan tak memadai maka sel akan kehilangan kehilangan fungsi sampai mengalami kematian. Adapun obat-obatan yang dapat digunakan:8,9,10 1)



Cairan Intravena Cairan



intravena



diberikan



untuk



resusitasi



penderita



agar



tetap



normovolemia. Cairan yang dianjurkan, yaitu cairan larutan garam fisiologis atau ”RL” (Ringer’s Lactate). Kadar natrium dan serum juga harus dipertahankan dalam batas normal. 2)



Manitol Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK), biasanya



dengan konsentrasi cairan 20%. Manitol juga diberikan pada penderita-penderita



38



dengan pupil dilatasi bilateral dan reaksi cahaya pupil negatif namun tidak hipotensi 3)



Flurosemid Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis : 0,3-0,5



mg/kg BB, secara intravena.



4)



Barbiturat Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-



obat atau prosedur yang biasa. Namun obat ini tidak boleh diberikan bila terdapat hipotensi, karena barbiturat sendiri juga menurunkan tekanan darah. Karen itu obat barbiturat tidak boleh diberikan pada fase akut resusitasi. Obat-obatan yang digunakan untuk pasien gawat darurat: 1)



Adrenalin (epinephrine)



Farmakodinamik: Pada syok anafilaktik digunakan untuk mengatasi gangguan sirkulasi dan menghilangkan bronkospasme. Pada jantung paru, adrenalin merangsang reseptor α agar terjadi vasokonstriksi perifer dan merangsang reseptor  di jantung agar pembuluh darah koroner mengalami dilatasi sehingga aliran darah ke miokard menjadi lebih baik. Adrenalin mengubah “fine ventricular fibrillation” menjadi “corse ventricular fibrillation” yang lebih mudah disembuhkan dengan defibrilasi (DC syok). Sediaan: Pada pasien dengan syok ringan, dosis diberikan 0.3-0.5 mg secara subkutan dalam larutan 1:1000. Pada pasien dengan syok berat, dosis dapat diulang atau ditingkatkan 0.5-1 mg. Inhalasi ephinephrin adalah larutan tidak steril 1% HCl tu 2% epi bitartat dalam air untuk inhalasi oral (bukan nasal) untuk mengatasi 39



bronkonstriksi (bronkospasme). Pada RJP, dosis yang dianjurkan adalah 0.5-1 mg dalam larutan 1:1000, dapat diulang tiap 5 menit karena masa kerjanya pendek. 2)



Ephedrine



Farmakodinamik: Efeknya sama dengan adrenalin, tetapi efektif pada pemberian oral, potensinya lebih lemah tetapi masa kerjanya 7-10 kali lebih panjang. Ephedrine merupakan obat simpatomimetik yang bekerja ganda, secara langsung pada reseptor adrenergic dan secara tidak langsung dengan merangsang pengeluaran katekolamin. Sediaan: Untuk mengatasi hipotensi akibat blok spinal selama anesthesia atau depresi halotan diberikan ephedrin dengan dosis 10-50 mg IM atau 10-20 mg IV. 3)



Dopamin



Farmakodinamik: Dopamin dipakai untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi pada syok septik, syok kardiogenik, dan pasca resusitasi jantung. Sebelum diberikan pada penderita syok, hipovolemia harus dikoreksi terlebih dahulu. Sediaan: Dosis dopamin dimulai dari 2-5 g/kgBB/menit, 5-10 g/kgBB/menit, sampai >10 g/kgBB/menit. Dosis tersebut memberikan efek yang berbeda. 4)



Atropin



Farmakodinamik: Atropin menghambat pengaruh N.Vagus pada SA node. Dapat meningkatkan denyut nadi pasien sinus bradikardia atau blok AV derajat 1 atau 2. Sediaan:



40



Sediaan atropin yaitu 0.25 dan 0.5 mg tablet dan suntikan. Untuk bayi dan anakanak diberikan 0.01 mg/kgBB karena mudah mengalami intoksikasi dan overdosis.



5)



Lidokain



Farmakodinamik: Lidokain merupakan obat pilihan aritmia ventrikuler, efeknya segera dan masa kerjanya pendek. Sediaan: Dosis untuk penyuntikan intravena 1-1.5 mg kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan dalam tetesan infus 15-50 g/kgBB/menit. 6)



Cedilanid



Farmakodinamik: Obat ini digunakan untuk pasien tachyarythmia supraventricular dan kegagalan jantung kongestif. Sediaan: Dosis digitalisasi jumlah totalnya 0.8-1.6 mg IV, dibagi 4 kali pemberian selang 6 jam, diikuti dosis pemeliharaan 0.2 mg IM tiap 12 jam.8,9,10 Referensi: Pehimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Buku Ajar Neuorologi Klinis. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. 2011. American Collage Of Surgeons Committee On Trauma. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. United States Of America: Komisi ATLS Pusat. 2006.



41



Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2009; 133-140.



6.



Jelaskan syarat-syarat evakuasi ! 1. Penilaian korban dan kegawatdaruratan Penilaian korban merupakan tindakan untuk memproleh informasi yang dibutuhkan agar penolong mengetahui kondisi korban dengan prinsip “do No. further harm”. Dalam melalukan penilaian korban, penolong harus memperhatikan beberapa hal dibawah ini: a. Mengidentifikasi dan berusaha memperbaiki masalah-masalah yang mengancam jiwa. b. Mengidentifikasi masalah trauma dan medis dan berusaha menstabilkan keadaan korban, dan mengurangi keparahannya (jika memungkinkan). c. Menjaga kestabilan dan melakukan monitoring kondisi korban. d. Penilaian korban meliputi 2 pemeriksaan, yaitu pemeriksaan primer dan sekunder. pemeriksaan primer meliputi: 



Danger







Response (respon panggil, respon sentuh, respon nyeri)







Airway







Breathing + oksigen







Circulation +control bleeding



2. Evakuasi korban Pada dasarnya syarat korban dievakuasi yaitu: 42



a. Penilaian awal sudah dilakukan lengkap, dan monitor terus keadaan umum korban. b. Denyut nadi dan napas korban stabil dan dalam batas normal. c. Perdarahan yang ada sudah diatasi dan dikendalikan. d. Patah tulang yang ada sudah diatasi. e. Mutlak tidak ada cedera spinal. f. Rute yang dilalui memungkinan dan tidak membahayakan penolong dan korban. Penggunaan tubuh penolong dalam melakukan pengangkatan dan pemindahan korban perlu mendapatkan perhatian yang serius. Jangan sampai akibat cara melakukan yang salah mengakibatkan cedera atau keadaan korban bertambah parah, atau bahkan penolong mengalami cedera. Untuk mencegah hal-hal diatas ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu: a) Pikirkan kesulitan memindahkan sebelum mencobanya. b) Jangan coba angkat dan turunkan korban jika tidak dapat mengendalikannya. c) Selalu mulai dari posisi seimbang dan tetap jaga keseimbangan. d) Rencanakan pergerakan sebelum mengangkat. e) Upayakan untuk memindahkan beban serapat mungkin dengan tubuh penolong. f) Lakukan gerakan secara menyeluruh, serentak dan upayakan agar bagian tubuh saling menopang. g) Bila dapat kurangi jaraj atau tinggi yang harus dilalui korban. h) Perbaiki posisi dan angkat secara bertahap. i) Punggung tegak waktu mengangkat korban atau menjaga kelurusan tulang belakang. 1) Aturan umum tentang evakuasi:



43







Perhatikan kondisi korban, apakah mengalami cedera atau trauma yang membutuhkan he hati.







Hati dalam keadaan pengevakuasian.







Bila mungkin terangkan kepada korban apa yang dilakukan, agar dapat bekerjasama.







Jangan pindahkan korban sendiri kalau bantuan belum tersedia.







Jika beberapa orang melakukan evakuasi, 1 orang memberikan komando.







Angkat dan bawa korban dengan benar agar tidak mengalami cedera otot/sendi.







Jangan abaikan keselamatan penolong sendiri



2) Aturan dalam mengangkat dan menurunkan korban: 



Tempatkan posisi kaki senyaman mungkin, salah satu kaki kedepan guna menjaga keseimbangan.







Pegang korban/balut dengan seluruh jari tangan.







Tegakkan badan dan tekukkan lutut.







Usahakan badan korban yang diangkat dekat dengan penolong







Jika kehilangan keseimbangan/pegangan, letakkan korban, atur posisi kembali, lalu mulai kembali mengangkat.



3) Hal-hal yang harus diperhatikan bila membawa korban dengan tandu: -



Tandu diperiksa dari kerusakan, dicoba apa mampu menahan berat korban.



-



Korban yang tidak sadar dibawa ketempat jauh, sebaiknya selalu diikat.



44



-



Penolong yang paling berpengalaman, memberi komando untuk tiap gerakan.



-



Kaki korban selalu didepan kecuali pada keadaan: 



Korban cedera tungkai berat menuruni tangga/turun di tempat yang miring.







Korban hipotermia menuruni tangga/turun di tempat yang miring.







Korban dengan stroke/kompresi otak tidak boleh di angkat dengan kepala lebih rendah dari kaki.



7.



Perpektif Islam



“Barang siapa yang ketika keluar dari rumahnya membaca doa “Bismillahi tawakkaltu ‘alallah laa haula wa laa quwwata illaa billah” (Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan upaya kecuali dari Allah), maka dikatakan kepadanya: kamu telah tercukup dan terlindungi, dan syetan pun akan menjauh darinya.” (HR. Tirmidzi; hasan shahih. Hadits senada diriwayatkan juga oleh Abu Daud



45



“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Mahasuci Dzat yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya Allah… sesungguhnya kami memohon kepadaMu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah, mudahkanlah segala urusan dalam perjalanan kami ini, pendekkanlah jarak dari jauhnya bepergian dan pengganti bagi keluarga yang kami tinggalkan. Ya Allah Engkau adalah teman dalam perjalanan dan wakil dalam keluarga. Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kesulitan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan jeleknya kembali baik bagi harta maupun keluarga kami.” (HR. Muslim).



46



DAFTAR PUSTAKA 1.



Pehimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Buku Ajar Neuorologi Klinis. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. 2011.



2.



Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara : Jakarta. 2011.



3.



Aryamehr Syahyad, Dr. Cardiopulmonary Resuscitation (CPR). Makassar Dibawakan Dalam Rangka Tugas Pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi FK UNHAS ; 2003.h.1-40.



4.



Farzaneh A, Sorond. “Does hypertension affect cerebral blood-flow auto regulation?” J Neural Sci[internet]. 2002 [diakses tanggal 15 april 2016]; 1(1).



5.



Buku Ajar Neurologi Fakulta Kedokteran Universitas Hasanuddin.



6.



Henry Sharon, MD, Karen Brasel, MD, Ronald M. Stewart, MD, FACS. 2018. “ATLS : Advanced Trauma Life Support Tenth Edition” The Committee on Trauma: American College of Surgeons.



7.



PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke. Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Fakultas kedokteran Universitas Riau.



8.



Pehimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Buku Ajar Neuorologi Klinis. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. 2011.



9.



American Collage Of Surgeons Committee On Trauma. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. United States Of America: Komisi ATLS Pusat. 2006.



47



10.



Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2009; 133-140..



48