Modul Blok 15 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MODUL BLOK 15



1



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2012 SISTEM NEUROSENSORIS A. PENDAHULUAN Penyakit pada sistem neurosensoris adalah penyakit yang umum ditemukan. Penyakitpenyakit ini terdiri dari berbagai macam disiplin ilmu yang mendasarinya. Mulai dari penyakit mata, penyakit kulit, penyakit THT dan penyakit saraf. Penyakit ini paling terjadi pada semua usia. Seorang dokter umum memiliki peran yang sangat penting dalam upaya mengatasi gangguan sistem neurosensoris. Dasar dari diagnosis gangguan ini lebih ditekankan pada kemampuan klinis dokter dalam melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang benar dan komprehensif. Pemeriksaan penunjang hanya sebagai pelengkap untuk membantu ke arah diagnosis lanjut. Mahasiswa kedokteran harus menguasai prinsip kedokteran dasar dan klinis untuk menegakkan diagnosis yang benar sehingga dapat dilakukan tatalaksana yang optimal serta tahu kapan harus merujuk pasien ke dokter ahli. Blok Neurosensoris dilaksanakan selama 7 pekan pada awal semester 5. Di dalam blok ini mahasiswa akan mempelajari berbagai aspek tentang dasar-dasar ilmu kedokteran tentang struktur dan fungsi sistem neurosensoris, berbagai mekanisme yang mendasari gangguan dari sistem tersebut, dan bagaimana prosedur diagnosis dan tatalaksana yang baik. B. TUJUAN Setelah mengikuti pembelajaran di blok ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan dasar-dasar ilmu kedokteran tentang struktur, fungsi, dan mekanisme gangguan sistem neurosensoris dan menerapkan prinsip-prinsip diagnosis dan tatalaksana gangguan sistem neurosensoris yang benar. .



2



C. POHON TOPIK (TOPIC TREE) MUSCULOSKELETAL



Mata



Structure



THT



Normal function



Abnormal function



infeksi



degenerasi



Structure



Kulit



Normal function



Abnormal function



degenerasi



infeksi



Structure



Normal function



Saraf



Abnormal function



degenerasi inflamasi



kongenital



metabolik



kongenital



infeksi tumor



Structure



Abnormal function



degenerasi



infeksi



metabolik



sistemik



metabolik Gangguan perabaan



Gangguan penglihatan



Gangguan pendengaran Macroanatomy Microanatomy



Fisiologi, Fisiologi perasamekanisme penglihatan,



Fisiologi, mekanisme pendengaran



binokularitas



Embriology Microanatomy



Microanatomy



Macroanatomy



Microanatomy



Macroanatomy



Macroanatomy



3



Disiplin ilmu yang terkait di dalam blok ini: a. Anatomi b. Embriologi c. Histologi d. Fisiologi e. Biokimia f. Farmakologi g. Mata h. Kulit dan Kelamin i. Patologi Anatomi j. THT k. Neurologi l. Farmasi



D. PRASYARAT MAHASISWA Mahasiswa yang akan menjalani blok ini adalah mahasiswa yang telah menjalani blok-blok generik dan blok kedokteran dasar. E. RUANG LINGKUP BAHASAN (SASARAN PEMBELAJARAN) Setelah menyelesaikan blok ini, maka: 1. Aspek kognitif Mahasiswa mampu untuk: a. Mengidentifikasi dan menganalisis proses perkembangan embrio sistem neurosensoris b. Mengidentifikasi struktur normal sistem neurosensoris dan menganalisis perubahan yang



terjadi pada gangguan sistem neurosensoris c.



Mengidentifikasi fungsi normal sistem neurosensoris dan menganalisis perubahan yang terjadi pada gangguan sistem neurosensoris



d. Menyebutkan kelainan-kelainan system neurosensoris yang penting dan sering ditemukan e. Menjelaskan etiologi dan pathogenesis kelainan system neurosensoris serta memahami kaitan gejala klinis dengan patofisiologi penyakit f. Menjelaskan prinsip-prinsip dasar farmakologi pada terapi kelainan neurosensoris g. Menjelaskan dampak dari faktor social dan lingkungan pada kelainan neurosensoris



4



h. Menjelaskan tatalaksana dasar dari kelainan neurosensoris baik terapi farmakologis dan nonfarmakologis, farmasi dan bila perlu merujuk sesuai kelainan pasiennya 2. Aspek psikomotor Apabila diberikan data tentang kasus klinik atau pasien simulasi/peraga yang memiliki gangguan sistem neursensoris mahasiswa mampu: a. Membuat anamnesis yang relevan dan terarah serta melakukan pemeriksaan klinis umum dan khusus untuk mendiagnosis kelainan neurosensoris (khusus diagnosis neurologis: diagnosis klinis-topik-etiologi) • Pemeriksaan oftalmologis dasar • Pemeriksaan dermatologis dasar



• Pemeriksaan neurologis dasar (pemeriksaan fungsi motorik, sensorik otonom, fungsi saraf otak, keseimbangan dan koordinasi, GRM, fungsi luhur dan kesadaran) • Pemeriksaan THT dasar



• Pemeriksaan histologi • Penilaian patologi anatomi b. Menentukan pemeriksaan penunjangyang diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis kelainanneurosensoris c. Melakukan pemeriksaan laboratorium sederhana untuk menunjang diagnosis klinis d. Melakukan prosedur dasar kegawatdaruratan pada kelainan neurosensoris 3. Aspek Afektif Selama menjalani pembelajaran di blok ini mahasiswa diharapkan mampu: a.



Menunjukkan kesungguhan dalam menjalani setiap proses pembelajaran di dalam blok



b.



Menunjukkan sikap penghargaan kepada berbagai unsur yang terlibat dalam proses pembelajaran seperti staf dosen, tutor, pasien naracoba, staf administrasi dan sesama mahasiswa



F. METODE PEMBELAJARAN 1) Kuliah Terintegrasi TOPIK KULIAH TERINTEGRASI Okular motilitas binokularitas Visual development Refraksi dan gangguan visual Gangguan mata pada vitreoretina Gangguan mata pada kornea, uvea dan lensa Gangguan mata pada palpebra dan konjungtiva Gangguan mata pada syaraf optic dan glaucoma Tumor mata



LAMA 100 menit 100 menit 100 menit 100 menit 100 menit 100 menit



TOPIK KULIAH TERINTEGRASI Morbus Hansen



LAMA 100 menit



100 menit 100 menit



5



Dermatosis Eritroskuamosa Tuberkulosis kulit Pioderma Penyakit kulit karena virus Penyakit kulit karena jamur Deep mycosis



100 menit 100 menit 100 menit 100 menit 100 menit 100 menit



TOPIK KULIAH TERINTEGRASI Anatomi dan fisiologi pendengaran Pemeriksaan pendengaran dg garputala Macam gangguan pendengaran Anatomi sistem penghidu Fisiologi penciuman Gangguan penghidu Benign parosismal positional vertigo Meniere’s disease



LAMA 100 menit 100 menit 100 menit 100 menit 100 menit 100 menit 100 menit 100 menit



TOPIK KULIAH TERINTEGRASI Vertigo Neurosensoris I (neuromuscular disease and neuropathy) Neurosensoris II (disease of spine and spinal cord)



LAMA 100 menit 100 menit



TOPIK KULIAH TERINTEGRASI



LAMA 100 menit 100 menit 100 menit 100 menit 100 menit 100 menit 100 menit



100 menit



2) Tutorial TOPIK SKENARIO TUTORIAL Katarak Glaukoma Konjungtivitis, keratitis Retinopati, neuropati Esotropia, eksotropia Kelainan refraksi Morbus hansen Tinea capitis Herpes zoster Scrofuloderma Meniere’s syndrome Meningitis



BAGIAN Ilmu Kesehatan Mata Ilmu Kesehatan Mata Ilmu Kesehatan Mata Ilmu Kesehatan Mata Ilmu Kesehatan Mata Ilmu Kesehatan Mata Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Ilmu Kesehatan THT Ilmu Penyakit Syaraf



6



3) Praktikum MATERI PRAKTIKUM



BAGIAN Ilmu Histologi Ilmu Patologi Anatomi Ilmu Farmasi



4) Laboratorium Keterampilan MATERI LAB SKILL Pemeriksaan Oftalmologis Pemeriksaan Dermatologis Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan THT



BAGIAN Ilmu Kesehatan Mata Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Ilmu Penyakit Syaraf Ilmu Kesehatan THT



7



Schedule Pengajaran Blok 15



8



H. SISTEM PENILAIAN MAHASISWA Evaluasi sumatif dilakukan pada pekan ketujuh berupa: a. Soal pilihan ganda untuk mengukur pencapaian kuliah dengan proporsi sebesar 40% b. Soal pilihan ganda untuk mengukur pencapaian tutorial dengan proporsi sebesar 20% c. OSPE (Objective Structured Practical Examination) untuk mengukur pencapaian praktikum dengan proporsi sebesar 4% d. Pretest dan posttest untuk mengukur pencapaian praktikum dengan proporsi sebesar 6% e. OSCE untuk mengukur pencapaian laboratorium keterampilan dengan proporsi sebesar 20% f. Hasil kerja keterampilan mahasiswa sebagai umpan balik laboratorium keterampilan dengan proporsi sebesar 5% g. Umpan balik tutorial dengan proporsi sebesar 5% Semua nilai di atas dikumpulkan dan dijumlahkan untuk mendapatkan nilai akhir. I. DAFTAR PENGAJAR NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29



NAMA PENGAJAR DR. dr. Fidalia, SpM(K) DR. dr. Anang Tribowo, SpM(K) Dr. Linda Trisna, SpM(K) Dr. E. Iskandar, SpM(K) Dr. A.K. Ansyori, SpM(K) Dr. Ibrahim, SpM Dr. Rusdianto, SpM(K) Dr. Alie Sholahuddin, SpM Dr. Devi Azri Wahyuni, SpM Dr. Ani, SpM Dr. Ramzi Amin, SpM Dr. Riani Erna, SpM Prof. Dr. Soenarto K, SpKK(K) DR. dr. Yulia Farida Yahya, SpKK(K) DR. dr. Rusmawardiana, SpKK(K) Dr. M. Izazi Hari Purwoko, SpKK Dr. Sarah Diba, SpKK Dr. Mutia Devi, SpKK Dr. Fitriani, SpKK Dr. Susanti Budiamal, SpKK DR. dr. Raden Pamudji, SpKK Dr. Inda Astri Aryani, SpKK Dr. Rasrinam Rasyad, SpS(K) Dr. M. Hasnawi Haddani, SpS Dr. Syafruddin Yunus, SpS(K) Dr. Abla Ganie, SpTHT(K) Dr. Dr. Dr.



BAGIAN



J. DAFTAR REFERENSI BLOK (1) Basic Ophthalmology. Editor : Cynthia A, Bradford MD, American Accademy of Ophthalmology. San Fransisco. 9



(2) Vaughn D.G, Asbury T, Riordan-Eva P, eds. General Ophthalmology 15th Connecticut: Prentice Hall int. (3) AmericanAcademy of Ophthalmology. Basic and clinical science course. 2009-2010. (4) Kansky JJ. Clinical ophthalmology. Fifth ed. Edinburgh: Butterworth Heinemann.2003. (5) Torn W. Friedlander SF. Poxvirus Infections. Dalam : Wolf K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.Edisi 7. New York:Mc.Graw Hill Company; 2008.Guyton A.C. Physiology of The Human Body. 11th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 2003. (6) Sherwood, Lauralee. Human Physiology. 6thed. USA: The Thomson Corporation. 2007 (7) Kodi Neurotologi. Modul Gangguan Pendengaran. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Jakarta. 2010 (8) Doty RL, Bromley S, Panganiban W, Olfactory Function and Dysfunction. In: Bailey B, Johnson JT, Newlands S, eds. Head and Neck Surgery Otolaryngology: Lippincott Williams & Wilkins. 2006:289-305. (9)Raviv JR, Kern RC. Chronic sinusitis and olfactory dysfunction. Otolaryngol Clin N AM. 2004;2-16 (10) Doty RL, Mishra A. Olfaction and its alteration by nasal obstruction, rhinitis and Rhinosinusitis. The laryngoscope. 2001:111;409-23 (11) Hummel T, Nordin S. Quality of life in olfactory dysfunction: The Sense in Smell Institute, 2003:1-24. (12) Simmen D, Briner HR. Olfaction in rhinology method of assesing the sense of smell. Rhinology: 2006;44:98-101. (13) Frasnelli J, Landis BN, Heilman S, Hauswald B, Huttenbrink KB, Lacroix JS, Leopold DA. Clinical presentation of qualitative olfactory dysfunction. Eur arch otorhinolaryngol. 2004:261;411-5. (14) Kobal G, Klimek L, Wolfensberger M. Multicenter Investigation of 1,036 subject using a satandardized method for the assesment of olfactory function combining tests of odor identification, odor discrimination, and olfactory threshol. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2000;257:205-211. (15) Doty RL. Assesment of Olfaction. In: Doty RL, ed. Handbook of Olfaction and Gustation. New York: Marcel Dekker, Inc, 2003:235-258.



10



MODUL ILMU KESEHATAN MATA AMBLYOPIA I.TUJUAN UMUM Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi infeksi dan radang saluran lakrimalis, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: 1. Mampu menjelaskan gambaran klinis amblyopia 2. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus amblyopia



3. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penangannya



III.GAMBARAN UMUM Ambliopia adalah gangguan mata berupa penurunan tajam penglihatan akibat adanya gangguan perkembangan penglihatan selama masa kanak-kanak. Keadaan ini juga dikenal dengan istilah lazy eye atau “mata malas”. Bila salah satu mata memiliki tajam penglihatan yang baik sedangkan mata yang lainnya tidak, maka mata dengan tajam penglihatan yang lebih buruk akan mengalami ambliopia. Umumnya hanya satu mata yang mengalami ambliopia, namun tidak menutup kemungkinan gangguan ini bisa terjadi pada dua mata sekaligus. Ambliopia sering ditemukan dan dapat mengenai 2 hingga 3 orang dari 100 pasien. Masa terapi ambliopia yang paling baik adalah selama masa bayi dan awal masa anak-anak. Ambliopia disebabkan oleh berbagai macam kondisi yang mempengaruhi perkembangan penglihatan. Umumnya kondisi ini bersifat diturunkan. Ada 3 penyebab utama ambliopia, yaitu: • Strabismus (Juling) Ambliopia umumnya muncul pada mata yang mengalami strabismus (juling). Mata juling terjadi untuk menghindari penglihatan ganda (double) oleh anak tersebut. Anak juga biasanya lebih senang memakai mata sebelahnya dengan tajam penglihatan yang lebih baik. Mata yang juling adalah mata dengan tajam penglihatan yang lebih buruk. •



Kelainan refraksi yang tidak seimbang antar kedua mata Kelainan tajam penglihatan bisa diatasi dengan kaca mata. Namun, ambliopia bisa muncul bila salah satu mata tidak fokus oleh karena ukuran minus, plus, atau silinder yang lebih besar bila dibandingkan dengan mata sebelahnya. Ambliopia juga bisa muncul pada dua mata sekaligus bila tajam penglihatan pada kedua mata sangat buruk. Keadaan ini muncul pada penderita minus, plus atau silinder tinggi.







Kekeruhan pada jaringan mata yang normalnya jernih Katarak (kekeruhan pada lensa mata) dapat menimbulkan ambliopia. Setiap kondisi yang mencegah masuknya bayangan objek ke dalam mata bisa menyebabkan ambliopia. Keadaan ini adalah penyebab ambliopia yang paling buruk.



Ambliopia dapat dideteksi dengan menemukan perbedaan tajam penglihatan antara kedua mata atau ditemukan tajam penglihatan yang sangat buruk pada kedua mata. Karena memeriksa tajam penglihatan pada anak-anak yang lebih kecil sangat sulit, dokter mata dapat menilai tajam penglihatan anak-anak ini dengan melihat reaksi bayi mengikuti suatu benda. Pemeriksaan dilakukan pada masing-masing mata yang ditutup secara bergantian (patch). Jika salah satu mata ambliopia dan mata yang tajam baik ditutup, maka bayi akan memberikan reaksi berupa mengintip 11



dari balik patch, berusaha membuka patch, atau menangis. Tajam penglihatan yang lebih buruk pada salah satu mata tidak selalu berarti anak menderita ambliopia. Seringkali, tajam penglihatan ini masih bisa diatasi dengan memberikan kacamata pada anak tersebut. IV. KOMPETENSI Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat). V. TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu: 1. Mengenali gejala, tanda ambliopia 2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan ophthalmologikus 3. Melakukan deskripsi kelainan ambliopia 4. Membuat keputusan klinis, memberi tindakan yang tepat dan merujuk secara tepat waktu dan optimal.



APPARATUS LAKRIMAL I.TUJUAN UMUM Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi infeksi dan radang saluran lakrimalis, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: 1. Mampu menjelaskan gambaran klinis peradangan pada apparatus lakrimalis 2. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus infeksi dan peradangan pada apparatus lakrimalis 3. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penangannya



III.GAMBARAN UMUM Sistem lakrimalis yang mencakup struktur-struktur yang terlibat dalam produksi dan drenase air mata. Komponen sekresi terdiri atas kelenjar yang menghasilkan berbagai unsur pembentuk air mata. Duktus nasolakrimalis merupakan unsur ekskresi sistem ini yang mencurahkan kedalam hidung. Cairan mata disebarkan atas permukaan mata oleh kedipan mata. Radang kelenjar akut lakrimal adalah keadaan langka yang paling sering terdapat pada anakanak sebagai komplikasi parotitis epidemika, campak, atau influenza dan pada orang dewasa sehubungan dengan goonore. Dakriodenitis menahun mungkin merupakan akibat dari infiltrasi limfositik jinak, limfoma leukimia, atau tuberkulosis. Keadaan ini sering bilateral sebagai manifestasi sarkoidosis. Bila menyertai pembengkakan kelenjar parotis disebt sindrom Mikulicz. Nyeri hebat, pembengkakan dan pelebaran pembuluh darah terjadi diaspe temporal palpebra superior sering menampakkan kurva berbentuk S. Jika terdapat infeksi bakteri, berikan antibiotik sistemik, jarang sampai diperlukan drenase untuk infeksi secara bedah. a. Dakrioadenitis Peradangan kelenjar lakrimal atau dakrioadenitis merupakan penyakit yang jarang ditemukan dan dapat dalam bentuk unilateral ataupun bilateral. Dakrioadenitis dapat berjalan akut ataupun kronis. Infeksi akut dan kronis dapat terjadi akibat infeksi :



12



-



Virus : parotitis, herpes zoster, virus ECHO, dan virus sitomegali. Pada anak dapat terlihat sebagai komplikasi infeksi air liur, campak, influenza.



-



Bakteri : Staphylcoccus aureus, streptokok gonokok. Dakioadenitis dapat terjadi akibat infeksi retrograd konjugtivitis. Trauma tembus dapat menimbulkan reaksi radang pada kelenjar lakrimal ini.



-



Jamur : histoplasmosis, aktinomises, blastomikosis, norkadiosis dan sporotrikosis.



-



Sarkoid dan idiopati.



Dakrioadenitis menahun sekunder dapat terjadi akibat penyakit hodgkin, tuberkulosis, mononukleosis infeksiosa, leukemia limfatik dan limfosarkoma. Pasien dakrioadenitis akut umunya mengeluh sakit di daerah glandua lakrimalis yait bagian temporal atas rongga orbita disertai dengan kelopak mata yang bengkak, konjungtiva kemotik dengan belek. Pada infeksi akan terlihat bila mata bergerak akan memberikan sakit dengan pembesaran kelenjar preaurikel. Dakrioadenitis akut perlu dibedakan dengan selulitis orbita, dengan melakukan biopsi kelenjar lakrimal. Bila kelopak mata dibalik tampak pembengkakan berwarna merah dibawah kelopak mata atas temporal. Pada keadaan menahun terdapat gambaran yang hampir sama dengan keadaan akut tetapi tidak disertai rasa nyeri. Apabila pembengkakan cukup besar, bola mata terdorong ke bawah nasal tetapi jarang terjadi proptosis.Pengobatan pada dakrioadenitis biasanya dimulai dengan kompres hangat, antibiotik sistemik dan bila terlihat abses maka dilakukan insisi. Bila disebabkan oleh radang menahun maka diberikan pengobatan yang sesuai. Diagnosis banding akrioadenitis adalah kalazion, konjungtivitis adenovirus, selulitis preseptal, selulitis orbita, dan keganasan kelenjar lakrimal. Penyulit dakrioadenitis akut dapat meyebabkan fistula pada kelenjar lakrimal. ALOGARITMA Pasien dengan Dakrioadenitis



Akut



Kronis



Virus



Bakteri



Jamur



Parotitis Herpes zoster Virus ECHO Virus sitomegali



S.Aureuos Streptokok gonokok



Histoplasmosis Aktinomises



Sarkoid dan idiopati



Blastomikosis Nokardiosis Sporotrikosis



sakit di daerah glandua lakrimalis yaitu bagian temporal atas rongga orbita disertai dengan kelopak mata yang bengkak, konjungtiva kemotik dengan belek



Penyakit Hodgkin Tuberkulosis Mononukleosis infeksiosa Leukemia limfatik Limfosarkoma Gejala hamir sama dgn akut tidak disertai rasa nyeri. Apabila pembengkakan cukup besar, bola mata terdorong ke bawah nasal tetapi jarang terjadi proptosis



Pemeriksaan tambahan : -CTScan



K om presha nga t A ntibiotiksistem ik



13



b. Dakriosisitis Infeksi dari sakus lakrimalis adalah penyakit umum yang biasanya terdapat pada bayi atau pasca-menapause. Paling sering unilateral dan selalu sekunder terhadap obstruksi duktus nasolakrimalis. Pada banyak kasus dewasa, penyebab obstruksi itu tidak diketahui. Dakriosisitis jarang terdapat pada golongan usia pertengahan kecuali sesudah trauma atau disebabkan sebuah dakriolit. Penyembuhan spontan terjadi setelah dakrolit terlepas, namun biasanya kambuh lagi. Pada bayi, infeksi menahun menyertai obstruksi duktus nasolakrimalis, namun dakrosisitis akut jarang terjadi. Dakrosisitis akut pada anak-anak seringkali adalah akibat infeksi Haemophilus influenza. Harus segera diterapi secara agresif karena risiko timbulnya selulitis orbital. Dakrosisitis akut pada orang dewasa biasanya disebabkan Staphylococcus aureus atau kadang-kadang Streptococcus β hemolyticus. Pada dakriosisitis menahun, organisme dominan adalah Streptococcus pneumonia dan Candida albicans – infeksi campur tidak dijumpai. Agen infeksi dapat ditemukan secara mikroskopik dengan memulas hapus konjungtiva yang diambil setelah memeras sakrus lakrimalis. Temukan klinik Gejala utama dakrosisitis adalah berair mata dan belekan (bertahi mata). Pada bentuk akut, didaerah saks lakrimalis terdapat gejala radang, didaerah sakus lakrimalis terdapat gejala radang, sakit, bengkak, dan nyeri tekan. Materi purulen dapat diperas dari sakus. Pada yang menahun, tanda satu-satunya adalah berair mata. Materi mukoid biasanya dapat diperas dari sakus. Yang menarik adalah bahwa dakriosisitis jarang dipersulit oleh konjungtivitis, walaupun sakus konjungtiva secara menetap bermandikan pus (nanah) yang keluar dari punctum lacrimale. Kadang-kadang timbul ulkus kornea setelah trauma ringan pada kornea pada dakriosisitis pneumonia. Terapi Dakrosisitis akut biasanya berespons terhadap antibiotika sistemik yang memadai, dan bentuk menahun sering dapat dipertahankan agar laten dengan tetesan antibiotika. Meskipun behgitu, menghilangkn obstruksi adalah penyembuhan satu-satunya Pada orang dewasa adanya molekul adalah pertanda bahwa tempat obstruksi adalah di duktus nasolakrimalis dan bahwa diindikasikan tindakan dakriosistorinostomi. Pada dakriosistitis infantil, tempat stenosis biasanya pada valvula Hasner. Tiadanya kanalisasi adalah kejadian umum (4-7% dari neonatus), namun biasanya duktus itu membuka secara spontan daam bulan pertama. Sakus lakrimalis yan ditekan kuat-kuat dapt robek membran sehingga terbuka. Jika stenosis menetap lebih dari 6 bulan atau jika timbul dakriosisitis maka diindikasikan pelebaran dukts dengan probe. Satu kali tindakan efektif pada 75%kasus. Sisanya hampir selalu dapat disembuhkan pada tindakan ulangan. Dengan merusak konka inferior ke dalam, atau dengan bidai lakrimal silikon temporer. Tindakan pelebaran jangan dilakukan bila ada infeksi akut. Karena tindakan ini kurang berhasil untuk dewasa.



14



ALOGARITMA Pasien dengan Dakriosisitis Akut Haemophilus influenza



Staphylococcus aureus



Streptococcus β hemolyticus Bayi, anak-



Kronis Candida albicans Streptococcus pneumonia



dewasa



berair mata dan belekan (bertahi mata) Kronis: Akut : tanda satu-satunya adalah berair mata. Didaerah saks lakrimalis terdapat gejala radang, Materi mukoid biasanya dapat diperas didaerah sakus lakrimalis terdapat gejala radang, dari sakus sakit, bengkak, dan nyeri tekan. Materi purulen dapat diperas dari sakus. Penatalaksanaa : ANTIBIOTIKA Dewasa  obstruksi  dakriosistonosmoni Infantil  tempat stenosis pada vulva Hasner  kanalisasi  menetap 6 bln dakriosisitis indikasi pelebaran duktus probe  75% efektif lalu dibutuhkan pengulangan.



BENDA ASING (CORPUS ALIENUM) I.TUJUAN UMUM Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi korpus alienum, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: i. Mampu menjelaskan gambaran klinis korpus alienum j.



Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus korpus alienum



k. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya



15



III.GAMBARAN UMUM . BENDA ASING (CORPUS ALIENUM) DI KORNEA Anamnesis: mata merah, nyeri, berair, fotophobia, pandangan kabur riwayat trauma, riwayat pemakaian lensa kontak Pemeriksaan Inspeksi : palpebra edema, blefarospasme (+), injeksi perikornea (+), benda asing (+)



Visus



Normal



Benda Asing di Kornea*



Turun



Benda Asing di Konjungtiva



Semua benda asing harus diambil, dengan kapas basah atau jarum suntik 1 cc



Benda Asing di intra okuler



Rujuk Spesialis Mata



16



BLEFARITIS I.TUJUAN UMUM Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi blefaritis, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: l. Mampu menjelaskan gambaran klinis blefaritis m. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus blefaritis n. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya



17



III.GAMBARAN UMUM BLEPHARITIS



Pasien dengan kelopak mata yang radang A.



riwayat



Pemeriksaan luar



Tidak terkait kelainan dermatologis



Pikirkan: staphylococcal blepharoconjun ctivitis



Plak skuamosa dan eritema pada alis, kulit kepala, jenggot , dan lipatan hidung



Telangiectasis dari kelopak mata, hidung, pipi, dahi, rhinophyma



Vesikel pada kelopak mata/ulserasi dengan disribusi berciri khas



Maserasi, kantus lateralis basah, angular blepharitis



Berwarna putih, nodul yang memiliki pusat pada kelopak mata, leher, tubuh



Dermatitis seboroik



rosacea



Pikirkan:herpes simpleks, belpharoconjun ctivitis, herpes zoster ophthalmicus



Pikirkan: moraxella



Molluscum contagiosum



Pikirkan:meibo mitis Pikirkan: blepharitis seboroik, mixed staphylococcal/seborrheic blepharoconjunctivitis, blepharitis seboroik terkait meibomitis



Pemeriksaan slit lamp



18



B. Staphylococcal blepharoconjunctivitis



C. Seborrheic blepharitis



D. Mixed staphylococcal/seborrheic blepharoconjunctivitis



Kompres hangat 5-10 menit diikuti gosokan pada kelopak dengan sampo bayi 24x sehari, lalu di taper sampai setiap hari pada pagi hari



G. Kompres hangat 510 menit, diikuti penggosokan kelopak mata dengan sampo bayi atau diikuti pemberian baitracin atau eritromisin alep mata 2-4x sehari sampai 2-8 minggu, lalu berikan steroid(dengan tapering) jangka pendekj untuk kondisi terkait respon hipersensitivitas



E. Primary meibomitis



F.blepharitis seboroik terkait meibomitis



Kompres hangar 510 menit, diikuti pemijatan tarsusuntuk mengeluarkan isi kelenjar meibom, kemudian penggosokan kelopak, diikuti pemberian bacitracin atau eritromisin salep mata 2-4 lalu kurangi sampai hanya setiap pagi



Kompres hangat 5-10 menit, diikuti pemijatan tarsus, kemudian penggosokan kelopak, lalu bacitracin atau eritromisin salep mata 2-4x sehari lalu di kurangi sampai hanya setiap pagi hari



Pikirkan: phtirus pubis, veruccae demodex, fungus atopic, dermatitis kontak



Kasus refraksi



Tetrasiklin, 250mg PO qid awalnya, lalu taper selama 3-4 bln, atau doksisiklin, 100mg bid awalnya, taper selama 3-4 bln, pasien dengan rosacea mungkin membutuhkan 250 mg PO qd long term eritromisin



Gosok kulit kepala dengan sampo berisi selenium 1-2x sekali/mgg, konsultasi bagian kulit H.evaluasi semua kasus untuk kondisi terkait keratoconjunctivitis sicca dan obati sebagaimana mestinya



Singkirkan sebaceous gland carcinoma pada kasus asimetris, intraktabel Peningkatan dan stabilisasi gejala dan tanda pasien



Kompetensi 3A



DEFEK LAPANG PANDANG I.TUJUAN UMUM Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi defek lapang pandang, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: o. Mampu menjelaskan gambaran klinis defek lapang pandang p. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus infeksi dan peradangan pada apparatus lakrimalis q. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya III.GAMBARAN UMUM HEMIANOPSIA BITEMPORAL Hemianopsia bitemporal adalah hilanganya setengah lapangan pandangan temporal kedua mata yang merupakan tanda khusus kelainan kiasma optik, dapat juga akibat meningitis basal, kelainan sfenoid, dan trauma kepala. HEMIANOPSIA HOMONYMOUS 19



Hemianopsia homonymous adalah hilangnya lapangan pandang pada sisi yang sama pada kedua mata yang dapat terlihat pada lesi temporal SKOTOMA Skotoma terbagi atas skotoma busur (arkuat) dan skotoma sentral. Skotoma busur (arkuat) adalah skotoma yang dapat terlihat pada glaukoma, iskemia papil saraf optik, dan oklusi arteri retina sentral. Skotoma sentral adalah skotoma yang terlihat pada retinis sentral.



Pasien dengan defek lapangan pandang



Skotoma parasentra l, sentral



Skotoma cecocentral



Skotoma temporal



Defek bundle Perluasan Bagian Bagian makulopapilary desakan proksimal distal bintikdari buta Commadari bundle bundle shaped serat saraf serat saraf Nasal extention Seidel’sof arkuata arkuata step blind spot scotoma Defek bundle serat saraf arkuata



Skotoma pada area Bjerrum’s Bagian tengah dari bundle serat saraf Isolated arkuata scotoma



Altitudinal defect Defek retina, oklusi cabang monocular Optic binocular disk, a.retina superiora.siliari atau inferior,posterior, perlepasan Lesi oklusi, incongruous congruous eksudat retinakoloboma suprakiasmik inferior



hemianopsia Lesi dibawah kedua lobus oksipital atau di atas Superior dan fisura inferior kalkari altitudinal hemianopsia



20



Penyakit koroid atau retina atau lesi saraf optik



Defek bundle serat saraf



Scimitar-shaped scotoma Bundle serat nervus arkuata



Bjerrum’s scotoma Nasal step yang besar dengan kerusakan perifer temporal



monocular



binocular



Defek quadrantanopic superior



bitemporal Junctional scotoma



homonymous



heteronymous



Lesi kiasma optikum (kompresi sentral)



binasal



Lesi kiasma optikum (kompresi kedua sisi)



incongruous



Lesi jaras optik



congruous



Densest superiorly (“pie in the sky”)



Lesi lobus temporal



Densest inferiorly



lengkap



Hanya lapangan sentral



Sparing temporal crescent



Ujung lobus oksipital



Lobus parietal



Lobus oksipital



DIPLOPIA I.TUJUAN UMUM Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi diplopia, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. 21



II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: r. Mampu menjelaskan gambaran klinis diplopia s. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus diplopia t. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya



III.GAMBARAN UMUM Diplopia atau penglihatan ganda adalah suatu gangguan penglihatan yang mana obyek terlihat dobel atau ganda. Diplopia berasal dari bahasa Yunani, diplo = dobel atau ganda, opia = penglihatan. Diplopia secara umum dibagi menjadi dua yaitu : 1. Diplopia binokular yaitu penglihatan ganda terjadi apabila si pasien melihat dengan kedua mata dan menghilang bila salah satu mata ditutup. Kondisi ini disebabkan antara lain oleh gangguan pergerakan otot bola mata sehingga sudut kedua mata tidak sinkron (tahap awal seseorang yang akan menjadi juling atau strabismus). Penyebab lainnya adalah kerusakan saraf yang melayani otot otot bola mata. Kerusakan saraf ini disebabkan oleh stroke, cidera kepala, tumor otak dan infeksi otak. Diplopia binokular juga bisa terjadi pada pasien diabetes, miastenia gravis, penyakit graves, trauma atau cidera pada otot mata dan kerusakan pada tulang penyangga bola mata. 2. Diplopia monokular yaitu diplopia yang hanya terjadi pada satu mata. Penglihatan ganda muncul saat salah satu mata ditutup. Gangguan ini dapat terjadi pada pasien dengan astigmat, gangguan lengkung kornea, pterigium, katarak, dislokasi lensa mata, gangguan produksi air mata dan beberapa gangguan pada retina. Karena bukan merupakan penyakit secara khusus atau dengan kata lain diplopia merupakan gejala yang bisa terjadi pada beberapa penyakit yang saya sebutkan diatas maka pengobatan diplopia tergantung dari penyakit dasar yang menyebabkan terjadinya diplopia.



Pasien dengan pengelihatan ganda



22



Pengelihatan ganda muncul saat pasien melihat dengan kedua mata dan menghilang bila salah satu mata ditutup



Pengelihatan ganda muncul saat salah satu mata ditutup



monokular binokular



Penyakit sistemik



Gangguan pergerakan otot bola mata



Kerusakan syaraf yang melayani bola mata



astigmatisme



Gangguan lengkung kornea



pterigium



katarak



diabetes strabismus



stroke



Cedera kepala



Tumor otak



Infeksi otak



Terapi penyebab



KORNEAL EPITELIAL DISTROFI I.TUJUAN UMUM Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi distropi epitel kornea, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: u. Mampu menjelaskan gambaran klinis distropi epitel kornea v. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus distropi epitel



kornea w. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya III.GAMBARAN UMUM Corneal Epithelial Dystrophy Para distrofi epitel terdiri dari kelainan pada membran basal epitel dan, dalam beberapa kasus, lapisan Bowman. Mereka mudah didiagnosis oleh sejarah dan menyeluruh celah-lampu pemeriksaan. Sejarah keluarga dan celah-lampu pemeriksaan anggota keluarga membantu menjelaskan pola genetik dan membantu dalam klasifikasi. A. Microcysts intraepithelial dapat terjadi confluently atau terisolasi, baik secara sepihak atau bilateral, tergantung pada penyebab yang terkait. Mereka dapat berhubungan dengan daerah lokal penyembuhan erosi epitel atau berulang.Ruang kistik dapat terjadi pada epitel dengan atau tanpa edema kornea. Biasanya, pewarnaan tidak terjadi dengan fluorescein. Microcysts adalah respon nonspesifik epitel dan terjadi dengan memakai lensa kontak jangka panjang dan penggunaan narkoba. Biasanya, tidak ada gejala terjadi kecuali ada erosi epitel aktual dari microcyst tersebut. Pengobatan terdiri dari menyelesaikan kondisi yang terkait. Distrofi epitel Meesmann (juga disebut distrofi Stocker-Holt) adalah dominan mewarisi kecerdasan penetrasi lengkap dan jelas dalam 23



beberapa bulan pertama kehidupan.Pasien tidak menunjukkan gejala, menunjukkan kista epitel anterior, yang pada laminasi tersebut, muncul sebagai kecil, jelas abu-abu putih tanda baca presipitat.Mereka tidak noda dengan fluorescein. Kista telah terbukti mengandung bahan selular degerate, "aneh" substansi, yang PAS positif. Pengobatan tidak diperlukan kecuali iritasi atau ppenurunan penglihatan terjadi. B.Distrofi kornea pusaran mungkin gangguan degeneratif, di mana berpigmen ulir berbentuk garis yang terlihat pada jaringan epitel dan subepitelial. Ini telah di penyakit Fabry, dalam keratopathy beracun, dan pada pasien yang mengambil berbagai obat sistemik seperti klorokuin, amiodaron, fenotiazin, atau indometasin. Striate melanokeratosis juga dapat meniru distrofi pusaran.Melanotik sel tumbuh dari limbus, terutama di Afrika-Amerika, juga dapat menembus kornea sentral sebagai rrespon terhadap berbagai rangsangan yang berbahaya. Pengobatan jarang diperlukan. C.Epitel membran basement distrofi anterior juga disebut peta-dot-sidik jari distrofi, distrofi basement membran anterior, dan distrofi microcystic Cogan itu.Ini adalah bilateral dan epitel dan ditandai oleh berbagai pola dari titik-titik, garis, dan penyimpangan. Hal ini terjadi lebih umum pada wanita setelah dekade keempat dan autosomal dominan dengan ekspresi tidak lengkap. Studi patologis menunjukkan membran basement menebal memperluas ke dalam, sel-sel epitel epitel abnormal dengan microcyst, dan bahan urat saraf antara membran basal dan lapisan Bowman. Kebanyakan pasien asimtomatik. Ketika gejala yang hadir, mengaburkan visi dan sensasi benda asing yang umum. Erosi rekuren dapat terjadi, biasanya di pagi hari, ketika pasien terbangun dan memiliki rasa sakit menusuk tajam. Pengobatan diperlukan hanya ketika erosi berulang terjadi. m D. Erosi kornea berulang biasanya mengikuti trauma kornea yang melibatkan epitel dan distrofi basement membran epitel. Hasil gangguan dari cacat dalam penyembuhan membran basement atau gagal ed produksi rusak oleh membran basement.Gejala dapat terjadi hari sampai tahun setelah cedera. Pengobatan ditujukan untuk mendorong re-epitelisasi dan mencegah kekambuhan dan. Erosi akut diobati dengan antibiotik topikal, tetes cycloplegic, dan patch tekanan.Kadang-kadang, natrium klorida 5% dapat membantu mendorong kepatuhan dari sel-sel epitel ke jaringan yang mendasari untuk meminimalkan edema epitel. Salep pelumas tanpa presenvatives sangat membantu, terutama pada pasien dengan lagophthalmos. Pengobatan harus terus meminimalkan kekambuhan dan memungkinkan perbaikan membran basal normal.Jika kambuh bertahan, lensa kontak dapat membantu. Tusukan stroma anterior juga telah direkomendasikan pada pasien yang modus lain dari terapi yang gagal. Debridemen epitel yang abnormal kadang-kadang mungkin efektif bila disertai ddengan menggunakan bur berlian pada permukaan yang tidak teratur dari membran basal anterior. E. Distrofi Reis-Buckler adalah sebuah distrofi autosomal dominan yang mempengaruhi kornea superfisial membran Bowman. Distrofi adalah bilateral simetris dan menjadi jelas dalam dekade pertama atau kedua dari kehidupan, dengan erosi dan penurunan berulang visi.Para kekeruhan cadang 2 mm perifer kornea. Celah-lampu pemeriksaan menunjukkan epitel tidak teratur dengan jaringan fibrosa subepitelial di wilayah lapisan Bowman. Kekeruhan tampaknya retikular dalam pola.Pengobatan serupa dengan erosi berulang. Prosedur bedah pilihan adalah diseksi berserat subepitel dari kornea superfisial. Kadang-kadang, sebuah keratoplasty lamelar atau keratoplasty menembus dapat dilakukan setelah pembedahan lapisan jaringan fibrosa subepitel jika visi tidak memuaskan.Kekambuhan yang mungkin. m m ENTROPION I.TUJUAN UMUM Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi entropion, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: x. Mampu menjelaskan gambaran klinis entropion y. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus entropion



z. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya 24



VII.GAMBARAN UMUM Entropion Pasien dengan tepi kelopak terlipat ke arah dalam



Inflamasi kelopak atau ada edema



Tidak ada inflamasi atau edema



A. Entropion spastik



B. nilai dengan eversi kelopak



Atasi penyebab inflamasi (RUJUK KE SPESIALIS MATA)



Sulit atau tidak bisa dieversi



Mudah dieversi



Riwayat: trauma, operasi, infeksi, inflamasi atau gangguan auto imun c. involutional entropion



Evaluasi konjungtiva



KOMPETENSI 2, RUJUK KE SPESIALIS MATA normal Nilai struktur kelopak



Overriding preseptal orbicularis



Pengencangan retraktor kelopak bawah



Refixate Imbrication of preseptal lower lid EROSI KORNEA retractors orbicularis



kelemahan kelopak horizontal



Perubahan sikatrik d. cicatricial entropion



Rotasi marginal dengan atau tanpa graft posterior lamellar



Horizontal lid tightening



I.TUJUAN UMUM Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi erosi kornea, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. 25



II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: aa. Mampu menjelaskan gambaran klinis erosi kornea bb. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus erosi kornea



cc. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya



III.GAMBARAN UMUM 1. EROSI KORNEA Erosi kornea merupakan keadaan terlepasnya epitel kornea yang disebabkan trauma tumpul ataupun tajam pada kornea Anamnesis: mata merah, nyeri, berair, fotophobia, pandangan kabur riwayat trauma, riwayat pemakaian lensa kontak



Pemeriksaan



Inspeksi : edema palpebra, blefarospasme (+), injeksi perikornea (+) Visus



Visus Normal



Turun



Pemulasan fluorescein: Defek epitel (+) Erosi Kornea * − − − − −



Rawat jalan Amoxicillin 500 mg 3x1 Asam mefenamat 500 mg 3x1 Vitanorm (vit. A) 2x1 Cendo Ulcori (Ciprofloxacin) diteteskan pada mata yang sakit tiga kali sehari.



26



EYELID LACERATION I.TUJUAN UMUM Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi eyelid laceration, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: dd. Mampu menjelaskan gambaran klinis eyelid laceration ee. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus eyelid



retraction ff. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya



27



III.GAMBARAN UMUM Eyelid Laceration Adanya laserasi pada kelopak mata pasien



ABC apabila ada life threatening injury, perhatikan apakah ada ruptur bola mata atau tidak, apabila tidak , eversikan kelopak, irigasi.



Pasien stabil: tanyakan riwayat trauma, bagaimana mekanisme trauma: Apabila kecelakaan terkait dengan kaca depan kendaraan, curigai korpus alienum dan kehilangan jaringan Luka gigitan mengarahkan kepada kemungkinan infeksi - Untuk luka penetrasi ke kelopak mata, curigai cedera bola mata



Inspeksi kelopak mata, inspeksi konjungtiva,sklera, kornea, cek visus bila pasien juga mengeluh kabur Ct scan apabila curiga ada benda asaing masuk, perdarahan retrobulbar, ruptur bola mata, fraktur orbita



Awasi bila ada kemungkinan infeksi, beri antibiotik spektrum luas sistemik apabila operasi tertunda:, lubrikasi kornea adekuat, bersihkan luka sebisanya , biarkan luka tetap lembab



28



Rujuk ke ahli mata



Anestesi yang adekuat, kemudian dilanjutkan dengan pembersihan dan dekontaminasi, periksa ada atau tidaknya benda asing, debridement, apabila sampai terkena kantus medial biasanya diperbaiki dengan bicanalicular stents atau canalicular repair, laserasi ditutup dengan benang berukuran kecil (6-0 silk atau yg seukurannya)



Postoperative care : lubrikasi kornea adekuat, elevasi kepala, kompres dingin, salep antibiotik( eritromisin) atau preparat antibiotik-steroid digunakan 3-4x sehari. Apabila ada infeksi, hati-hati penggunaaan steroid. Transparent eye shield



Kompetensi 2



GLAUKOMA I.TUJUAN UMUM Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi glaukoma, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: gg. Mampu menjelaskan gambaran klinis glaukoma hh. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus glaukoma



ii. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya III. GAMBARAN UMUM A. Definisi Glaukoma berasal dari bahasa Yunani glaukos yang berarti hijau kebiruan, yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma adalah suatu bentuk kelainan mata yang ditandai dengan meningkatnya tekanan bila mata, atrofi papil saraf optik dan menurunnya lapanganm pandang. B. Faktor risiko -



Umur, Resiko akan meningkat pad umur 40 ahun keatas (1%) dan pada 65 tahun keatas 5 %



-



Ras, risiko sangat tinggi pad ras Afrika



-



Riwayat keluarga. 29



-



Miopia. Penderita rabun jauh terutama dengan minus besar mempunyai kecenderungan terjadinya Glaukoma kronik.



-



Diabetes mellitus



C. Gejala Klinis -



Episodic eye pain



-



Mata kemerahan



-



Pandangan kabur



-



Tampak bayangan halo saat melihat cahaya terang



-



Sakit kepala



D. Klasifikasi Glaukoma 1. Glaukoma primer –



Glaukoma sudut terbuka/Primary Open Angel Glaukoma (POAG)/ glaukoma simpleks







Glaukoma sudut sempit/Primary Narrow Angel Glaukoma (PNAG).



2. Glaukoma congenital



3. Glaukoma sekunder –



Akibat perubahan lensa (pada katarak/phacomorphic glaukoma)







Kelainan uvea







Trauma







Bedah







Penggunaan steroid



– E. Penegakan Diagnosis Diagnosis glaukoma membutuhkan identifikasi kerusakan saraf optik. Jika terdapat atropi disc, cupping dan/atau serabut-serabut saraf sedang sampai berat, berhubungan dengan adanya defek lapangan pandang, maka diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti. Ketika gejala tidak terlalu menonjol, diagnosis pasti dengan satu pemeriksaan sulit ditegakkan karena adanya gambaran kerusakan saraf optik yang bervariasi dan tekanan intraokuler yang tinggi di populasi normal. A. Selama anamnesis dan pemeriksaan oftalmoskopi, identifikasi faktor yang dedua jenis galukoma, baik glaukoma sudut terbuka dapat meningkatkan risiko individu mengalami glaukoma dengan kerusakan saraf optik. Riwayat keluarga dengan glaukoma sudut terbuka (POAG), terutama pada keturunana pertama, berhubungan dengan peningkatan risiko berkembangnya penyakit. Prevalensi kedua jenis glaukoma, bauk glaukoma sudut terbuka (POAG) maupun galukoma sudut sempit (PNAG) sekitar empat kali lebih banyak pada ras Afrika dibandingkan Kaukasia. PNAG lebih banyak terjadi pada ras Asia. Individu dengfan diabetes dan myopia berhubungan dengan peningkatan risiko mengalami PNAG. Periksa sudut bilik mata untuk identifikasi adanya peripheral anterior synechia (PAS).



30



B. Pengukuran TIO merupakan metode yang buruk untuk skrining glaukoma. Berdasarkan pemeriksaan TIO saja, sekitar sepertiga individu dengan galukoma memiliki TIO yang normal, dan kebanyakan pasien glaukoma secara bertahapa mengalami penurunan TIO. Selain itu pada individu yang secara statistic memiliki TIO yang tinggi tidak menunjukkan danya gejala kerusakan saraf optik. Karena adanya keragaman TIO pada individu di setiap waktu dan terdapat perbedaan kerentanan terhadap tekanan intraoptikal yang dapat menimbulkan kerusakan saraf optik dalam suatu populasi. Sehingga pemeriksaan oftalmoskopi yang lengkap dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis glaukoma. Meskipun glaukoma dapat terjadi pada berbagai level TIO, namun TIO juga penting untuk menentukan subtype dan target awal dari terapi medis dan pembedahan. C. Ketika sudut bilik mata depan terbuka dan TIO normal, glaukoma dapat dipertimbangkan jika ada gambaran kerusakan saraf optik. Glaukoma dengan penurunan serabut-serabut saraf menyebabkan penipisan lapisan neuroretina dengan peningkatan ukurab cup dan disc. Karena mata normal dengan sarf optik yang kecil mengarah pada rasio cup/disc yang lebih kecil juga, pertimbangkan hubungan antara rasio cup disc dengan ukuran saraf optik. Untuk ukuran saraf optik yang normal, rasio cup/disc sekitar 0,6, atau jika lebih besar dari itu dapat dipertimbangkan kerusakan awal akibat glaukoma. Pada mata dengan disc yang kecil, mungkin ada glaukoma dengan rasio cup/disc yang kecil. Pemeriksaan lapisan serabut saraf retina dapat menjadi klu awal adanya kerusakan diskus optikus akibat glaukoma sebelum munculnya perubahan diskus optikus dan lapangan pandang lebih lanjut. Meskipun kerusakan karena glaukoma bersifat difus, sering terjadi kerusakan asimetris di kedua mata yang berhubungan dengan hemiretina atas dan bawah di satu mata. Namun, identifikasi asimetrisitas saraf optik dan lapisan saraf vertical atau kontralateral merupakan evaluasi yang penting pada individu yang diduga mangalami glaukoma . D. Jika terjadi kerusakan saraf optik dan hilangnya lapangan pandang dengan TIO yang normal, pertimbangkan adanya peningkatan TIO yang intermiten sebagai bagian dari evaluasi diagnostic untuk low tension glaukoma. Hilangnya lapangan pandang yang tidak berhubungan dengan kerusakan saraf optik dapat dipertimbangkan sebgai diagnosis alternatif. E.



Jika tidak ada abnormalitas saraf optik atau lapangan pandang , dibutuhkan evaluasi klinis secara periodik dengan serial stereo disc photographs dan pemeriksaan lapangan pandang. Jika ada bukti perubahan gambaran pada saraf optik, perkembangan defek lapangan pandang atau peningkatan TIO maka dibutuhkan suatu tatalaksana.



31



32



Algoritma 1. Diagnosis Glaukoma



Anamnesis : Pandangan kabur, episodic eye pain, mata merah, melihat bayangan halo, sakit kepala



Pemeriksaan oftalmologi: -



Palpebra Konjungtiva Kornea BMD Iris Pupil Lensa Retina (oftalmoskopi)



Pemeriksa an TIO



Normal



Gonioskopi



Sudut terbuka



- Digital palpasi - Tonometri Schiotz - Tonometri aplanasi - Tonometri non-



Tinggi



Lihat algoritma 2



Sudut tertutup



33



Pemeriksaan lapangan pandang



Kelainan anatomi



Pemeriksaan funduskopi



Glaukoma dengan kerusakan saraf optik



Low tension glaukoma



Normal



Observasi



Peningkatan tekanan intraokuler (TIO) Peningkatan tekanan intraokuler (TIO) merupaka faktor risiko yang penting untuk berkembangnya kerusakan saraf optik. Semua pasien dengan peningkatan TIO (TIO ≥ 22 mmHg, membutuhkan evaluasi yang cermat untuk mengetahui penyebab peningkatan TIO dan adanya serta perkembangan kerusakana saraf optik. A. Langkah awal adalah menentukan mekanisme peningkatan TIO melalui anamnesis riwayat penyakit dan pemeriksaan slit lamp. Pasien mungkin enggan untuk menceritakan mengenai riwayat trauma atau inflamasi dengan pertanyaan yang spesifik. Pemeriksaan dengan slit lamp penting untuk menentukan peningkatan TIO sekunder yang membutuhkan observasi cermat dari dokter. B. Glaukoma primer sudut terbuka (POAG) merupakan bentuk yang paling umu terjadi di Amerika Serikat. Selain adanya sudut bilik mata depan yang terbuka pada gonioskopi, diagnosis POAG membutuhkan eksklusi dari banyak penyebab yang mendasarinya. TIO yang asimetris di kedua 34



mata dapat mengarah pada bentuk glaukoma sekunder. Meskipun begitu, peningkatan TIO unilateral juga dapat terjadi pada POAG. Sehingga evaluasi untuk glaukoma sudut terbuka tetap sama pada individu yang memiliki TIO simetris di kedua mata. C. Pada PNAG, sudut bilik mata depan yang sempit atau tertutup mungkin sulit untuk mendapatkan gambaran perlengketan anterior perifer (PAS) sampai kompresi gonioskopi terjadi. Sebelum diagnosis PNAG ditegakkan, berbagai penyebab sekunder peningkatan TIO juga harus dipertimbangkan. Iridosiklitis dan glaukoma neovaskuler dapat menyebabkan glaukoma sekunder sudut terbuka maupun sudut tertutup, tergantung apakah terdapat perkembangan PAS. Asimetrisitas perbandingan dari kedua sudut bilik mata depan dapat mengarahkan pada kondisi patologis



dari segmen posterior seperti efusi koroid (akibat



panretinal photocoagulation) atau tumor. D. Jika ada blok pupil pada sudut bilik mata depan yang sempit atu tertutup, diindikasikan untiuk laser peripheral iridotomy. Prosedur ini dibutuhkan pada semua kasus PNAG. Gonioskopi ulang setelah laser untuk konfirmasi bahwa sudut bilik mata depan terbuka dan dapat didiagnosis iris syndrome. Laser iridotomy juga berguna ketika blok pupil menyebabkan peningkatan TIO, seperti pada phacomorphic glaukoma atau ketika iridosiklitis menimbulkan pergeseran iris. Jika terdapat blok pupil sekunder tatalaksana terutama untuk mengatasi faktor penyebab. Untuk glaukoma phacomorfic, ekstraksi katarak dengan atau tanpa pembedahan filtrasi merupakan terapi definitive. Pada glaukoma uveitis, tatalaksana untuk mengatasi proses inflamasi merupakan hal yang penting. E. Pemeriksaan lapangan pandang dan funduskopi dibutuhkan untuk menentukan apakah peningkatan TIO telah menimbilakan kerusakan pada saraf optik. Pada kasus glaukoma primer sudut tertutup pemeriksaan funduskopi dengan pelebaran pupil tidak boleh dilakukan sampai dilakukan laser iridotomy untuk mencegah eksaserbasi akut peningkatan TIO. F. Jika tidak ada bukti kerusakan saraf optik, menetukan level TIO dan adanya faktor risiko lebih lanjut yang dapat menyebabkan kerusakan saraf optik merupakan hal penting dalam tatalaksana. Karena risiko berkembangnya glaukoma meningkat dramatis jika TIO > 30 mmHg maka terapi medis awal dibutuhkan untuk kasus ini. Terapi medis awal biasanya terdiri dari ß bloker topical apapun penyebabnya. Jika TIO < 30 mmHg, observasi tanpa terapi medis, terutama jika tidak ada faktor risko untuk berkembangnya glaukoma yang progresif. Faktor risiko tersebut seperti riwayat keluarga (terutama jika ada yang mengalami kebutaan karena glaukoma) dan kecurigaan adanya kerusakan saraf optik berdasarkan rasio cup/disc dan asimetrisitas disc. Faktor sosial seperti kemungkinan hipertensi okuler yang tidak diobati dan tindak lanjut yang memungkinkan harus dilakukan. Peningkatan TIO akibat pseudoexfoliation atau disperse pigmen mungkin menyebabkan perubahan dramatis pada TIO dalam waktu singkat. G. Pasien dengan kerusakan saraf optik membutuhkan terapi medis untuk menurunkan TIO sampai level yang aman yang tidak menimbulkan kerusakan lebih lanjut. Penurunan TIO yang signifikan setelah laser iriotomy pada psien dengan PNAG terutama jika tidak ada pembentukan



35



PAS yang luas. Meskipun begitu kebanyakan pasien tetap membutuhkan terapi medis untuk mencapai target TIO. H. Jika target TIO tercapai, lapangan pandang dan saraf optik harus terus dimonitor untuk



mencegah kerusakan. Jika kerusakan progresif terjadi, dapat dipilih target TIO yang baru sehingga dibutuhkan terapi tambahan. Terapi medis PNAG berbeda dengan terapi medis POAG yang bertujuan meningkatkan aliran humor aquous (pilocarpin). Terapi ini tidak efektif jika terdapat perluasan PAS. Pilihan untuk terapi medis PNAG dengan PAS yang meluas secara umum yaitu untuk menurunkan produksi humor aquous termasuk ß bloker, α 2 agonis dan karbonik anhidrase inhibitor.



Algoritma 2. Diagnosis dan Tatalaksana Glaukoma ↑ TIO



gonioskopi



Glaukoma Sudut terbuka (glaukoma simpleks)



Glaukoma sudut tertutup



36



Asimetris



Simetris



- Glaukoma sekunder sudut terbuka - Trauma - Penggunaan steroid - Iridosiklitis - Phacolitic glaukoma - Dispersi pigmen



- Glaukoma sekunder sudut tertutup - Phacomorfic glaukoma - Iridosiklitis - Neurovaskuler glaukoma



Laser iridotomi



Pemeriksaan lapangan pandang (kampimetri, tes konfrontasi)



Pemeriksaan funduskopi



Tidak ada tanda-tanda kerusakan saraf



Tanda-tanda kerusakan saraf



Observasi ulang TIO



TIO < 30



TIO >30 mmHg



37



Tanpa FR



Observasi



Ada



Terapi



Terapi medis*



Target IOP (lihat



Monitor : - TIO, lapangan pandang, saraf optik Ket. * : - Pilocarpin - Carteolol - Betaxolol - Latanoprost - Timolol - Argon Laser Trabeculoplasty (ALT) - Apraclonidine - Dipiverine Glaucoma primer sudut terbuka (glaucoma simpleks) Setelah diagnosis POAG ditegakkan, terapi medis dapat diberikan untuk mencegah kerusakan saraf optik yang progresif. Pengobatan dengan dosis rendah yang dapat menurunkan TIO mencapai target dan mencegah kerusakana saraf optic dan lapisan serabut-serabut saraf lebih dipilih karena dosis yang lebih rendah memiliki risiko efek samping yang minimal juga. Semua pengobatan yang digunakan untuk glaucoma berpotensi menimbulkan bahaya, sehingga dokter yang mengobati glaucoma harus memahami farmakologi dan efek samping obat yang diberikan. Beberapa pilihan terapi penting karena efek terapi yang diberikan dapat berkurang seiring berkurangnya efek obat atau memburuknya penyakit. Pengobatan lain atau kombinasi beberapa obat berguna untuk beberapa pasien, namun terapi tetap harus memperhatikan kondisi pasien secara individu. A. Level TIO sebelum terapi dimulai harus diketahui untuk membantu menentukan target TIO yang aman bagi pasien. B. Pengumpulan data dari penelitian jangka panjang dan pengalaman klinis ahli oftalmologi



menyatakan penggunaan ß bloker topical sebagai terapi awal untuk POAG. Beberapa ß bloker nonselektif terdapat di Amerika Serikat. Obat golongan ini dikontraindikasikan pada pasien dengan AV blok derajat 1 dan ganggguan bronkospastik dan sebaiknya digunakan secara hatihati pada pasien dengan DM dan CHF. Karena aktivitas simpatomimetik intrinsik, carteolol jarang menyebabkan bradikardia dan tidak terlalu mempengaruhi profil lipid dibandingkan 38



golongan ß bloker lainnya. Betaxolol, ß1 adrenergic antagonis selektif berhubungan dengan efek samping pulmonal yang ringan daripada ß bloker non selektif tetapi sebaiknya tetap dihindari pada pasien dengan gangguan bronkospastik. Karena TIO yang selalu berfluktuasi, efisiensi pengobatan POAG dengan ß bloker atau obat lain sulit ditentukan jika pengobatan dimulai bilateral. Pengobatan pada 1 mata saja saat permulaan pengobatan dapat meningkatkan kemampuan klinisi untuk menentukan efisiensi pengobatan. Pengobatan yang tidak efektif dapat dihentikan sehingga potensi efek samping dari pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan dapat dihindari. C. Kemajuan terbaru dalam pengobatan glaucoma mengarah pada sejumlah besar pilihan terapi



untuk pasien yang dikontraindikasikan untuk ß bloker atau pengobatan dengan ß bloker yang tidak efektif.jika ß bloker efektif tetapi sulit untuk mencapai target TIO, kombinasi pengobatan dapat digunakan. Latanoprost merupakan analog prostaglandin F2α yang telah menunjukkan keefktifan seperti timolol dalam menurunkan TIO pada pasien denga POAG dan hipertensi okuler. Efektivitasnya dalam menurunkan TIO pada individu dengan glaucoma bentuk lain masih belum dievaluasi. Latanoprost menurunkan TIO dengan cara meningkatkan aliran uveoskleral, mekanisme yang berbeda dengan obat glaucoma lainnya. iritasi konjungtiva dan peningkatan pigmentasi iris mungkin terbatas pada beberapa pasien. Meskipun karbonik anhidrase inhibitor (CAIs) oral efektif dalam menurunkan TIO, efek samping sistemik jarang terjadi. Baru-baru ini, diperkenalkan CAI dorzolamide, yang efektif dengan pemberian topical dan efek samping sistemik yang minimal sudah digantikan dengan pemberian secara oral untuk pengobatan jangka panjang. D. Argon Laser Trabeculoplasty (ALT) secara tradisional digunakan untuk mengatasi glaucoma



simpleks yang tidak terkontrol. Penelitian yang mengevaluasi ALT sebagai terapi alternatif dalam terapi medis awal untuk pasien yang baru didiagnosis POAG menunjukkan efektivitas 50% dalam mengontrol TIO tanpa obat lain selama 2 tahun. Meskipun kebanyakan klinisi melanjutkan penggunaan obat-obatan sebagai terapi awal POAG, banyak juga yang memilih ALT lebih awal, terutama bagi individu dengan efek samping pengobatan yang berat. E. α2 agonis seperti apraclonidine paling sering digunakan sebagai profilaksis peningkatan TIO



post laser. Meskipun begitu, obat-obat ini juga menunjukkan efektivitas pada beberapa individu dengan glaucoma yang tidak terkontrol dengan pengobatan lain. Namun dibatasi dalam penggunaan jangka panjang karena menyebabkan alergi pada beberapa pasien. Pilocarpin dan agen parasimpatomimetik lain menurunkan TIO dengan meningkatkan aliran trabekular. Miosis, induksi akomodasi dan spasme siliaris menimbulkan efek samping yang jelas pada beberapa individu. Pada pasien yang masih muda atau katarak sedang sulit mentoleransi obat ini. Epinefrin kurang efektif pada beberapa pasien dan memiliki efek samping yang signifikan, termasuk iritasi permukaan bola mata, blefarokonjungtivitis, dan cystoids macular edema pada pasien aphakik dan pseudoaphakik. Dipiverine, prodrug yang diubah 39



menjadi epinefrin di mata, kurang menyebabkan iritsi tapi tetap memiliki efek samping yang sama dengan epinefrin. F. Jika glaucoma berkembang progresif meskipun pemberian obat sudah maksimal dan ALT, diindikasikan untuk pembedahan invasive. Trabeculectomy secara tradisional ditunda karena komplikasinya yang dapat menimbulkan kebutaan. Penelitian terbaru mengevaluasi risiko dan manfaat potensial dari terapi bedah di awal pengobatan sebagai alternative untuk pengobatan medis. Sampai risiko ini dipahami lebih lanjut, pembedahan masih menjadi terapi cadangan setelah pengobatan medis yang lain. G. Jika target TIO telah tercapai, pemeriksaan lapangan pandang dan saraf optic harus selalu dimonitor untuk mencegah perburukan . jika kerusakan progresif terjadi, ditentukan target TIO yang lebih rendah dan terapi tambahan lainnya.



Algoritma 3. Tatalaksana Glaukoma Glaukoma primer sudut terbuka (glaukoma simpleks)



Pemeriksaan saraf optik Pemeriksaan lapangan pandang



TIO > TIO target



ß blocker atau Brimonidine



TIO > target



40



Latanoprost



Dorzolamide



Pertimbangkan ALT (Argon laser Trabeculoplasty



TIO > Target



Apraclonidine



Parasimpatomimeti k



Epinefrin/Dipiveri ne



Oral CAI



TIO >Target



POAG yang tak terkontrol dengan terapi medis



TIO ≤ target Monitor: - TIO - Lapangan pandang - Saraf optik



Pembedahan



HORDEOLUM/KALAZION I.TUJUAN UMUM 41



Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi hordeolum, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: jj. Mampu menjelaskan gambaran klinis hordeolum kk. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus hordeolum ll. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya



III.GAMBARAN UMUM



42



HORDEOLUM DAN KALAZION



Pasien dengan pembengkakan kelopak mata



inflamasi



A.Keterlibatan okuler Keterlibatan orbita



proptosis



Tanpa inflamasi



Tidak ada keterlibatan okuler



Tidak ada keterlibatan orbita



Pikirkan: penyakit konjungtiva, keratitis, skleritis



B. tanda-tanda infeksi



unilateral



Pikirkan: hordeolum, kalazion, infeksi lokal, tumor atau pseudotumor



Riwayat(anamne sis)



bilateral



lokal



difus



E.pikirkan: blefaritis, edema alergi



F. pikirkan: pseudotumo r, neoplasma, edema alergi



Penyakit sistemik



G. Pikirkan: edema toksik (bakterial,para sitic,viral,seru m sickness erysipelas)



Tidak ada tandatanda infeksi Pikirkan: CT scan



bakterial



D.pikirkan: usia, kecepatan progresfitas penyakit, lokasi



C.viral Monitor Infeksi bakteri sekunder



biopsi Tidak ada trauma kelopak sebelumnya ataupun operasi



Pikirkan ct scan



unilateral Gejala: hordeolum(internum maupun eksternum): kelopak bengkak,sakit, mengganjal, merah, nyeri bila ditekan, kalazion: benjolan pada kelopak,tidak hiperemis, tidak ada nyeri tekan, pseudoptosis. Pada pemeriksaan fisik diperlukan kemampuan eversi palpebra



biopsi



bilateral



H.pikirkan:tum or, lymphedema



H.penyakit sistemik atau pemaikaian obat



Kompres hangat 5-10 menit, pemberian eritromisin salep mata 24x sehari, atau ditambah antibiotik sistemik: eritromisisn 250 mg POqid, dapat juga diberikan tetrasiklin. Pada nanah dari kantung ananh yang tidak dapat keluar dilakukan insisi, pada kalazion ekskokleasi.



Trauma atau operasi



Pikirkan penyakit jantung,ginjal,endokri n, kehamilan, angioneurotiuc edema



Tidak ada penyakit sistemik atau pemakaian obat



baru



K.pikirkan:f raktur tengkorak



lama



Pikirkan:lym phedema



Pikirkan: blefarochalasis, dematochalasis dengan protrusi lemak orbita



Ct scan apabila tanpa perbaikan



Kompetensi KEHILANGAN PENGLIHATAN 3A I.TUJUAN UMUM 43



Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi penghilangan penglihatan, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: mm. Mampu menjelaskan gambaran kehilangan penglihatan nn. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus dengan penghilangan penglihatan oo. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penangannya



III.GAMBARAN UMUM Pengelihatan adalah indera yang paling berharga, sehingga kehilangan pengelihatan membutuhkan perhatian yang serius. Tidak dapat diterapi dan bersifat permanen, itu adalah perubahan pada hidup pasien yang signifikan, khususnya bila terjadi pada kedua mata. A. Jika kehilangan pengelihatan secara tiba-tiba dan tanpa penyebab yang nyata (misalnya



trauma), adanya kehilangan pengelihatan yang tiba-tiba pada satu mata atau dua mata dapat mengindikasikan oklusi a.retina pada kasus gawat darurat. Dokumentasi yang cepat pada kondisi ini (pemeriksaan pengelihatan, pupil, dan retina) dilakukan dalam 2 jam setelah gejala terjadi, dapat menghasilkan terapi dini yang sukses pada kegawatdaruratan, dimana terapi tersebut terdiri dari massage okular, parasentesis kornea untuk menurunkan tekanan okuler dan meningkatan perfusi, injeksi dengan pemberian vasodilator, dan breathing of CO2. Setelah 90 menit, oklusi sentral dari a.retina menjadi lengkap, retina akan rusak secara permanen dan tidak dapat disembuhkan. B. Pendarahan vitreous non-traumatik biasanya disebabkan oleh perlepasan vitreous.



Pendarahan dapat murni berasal dari adhesi vitreous ke struktur vaskular di atas permukaan retina, seperti pada pembuluh darah diskus atau neovaskularisasi dari berbagai penyebab dan dari pembuluh darah retina ketika terjadi robekan retinaa. Pendarahan vitreous yang kecil dapat dibersihkan dengan cepatdari aksis visual dengan gravitasi, jadi pasien tidak berada dalam bahaya. Melakukan pemeriksaan retina yang teliti pada semua pasien yang mengalami pendarahan vitreous pada berbagai jumlah dapat menyingkirkan robekan retina dan dapat mengkonfirmasi perlepasan vitreous. Terapi gejala dari robekan retina yang berbentuk tapal kuda adalah untuk mencegah perlepasan retina. Oklusi vena dapat menyebabkan edema makula yang dapat sembuh dalam beberapa minggu datau bulan. Oklusi sentral atau cabang dari aa.retina biasanya bersifat emboli dan dapat menghasilkan gejala yang sementara ketika embolus pindah ke hilir atau bagian bawah. Terapi biasanya diatur saat ini terjadi dengan cara membuat vasodilatasi yang tiba-tiba. Beberapa gangguan makula menghasilkan gejala gangguan pengelihatan yang sementara. Central Serous Choroidopathy hampir dapat sembuh sempurna dalam 6 minggu sampai 6 bulan. Beberapa kondisi inflamasi seperti idiopathic stellate neuroretinopathy dan acute multifocal punctate pigment epitheliopahty (AMPPE) sembuh dalam beberapa minggu seperti pendarahan 44



dibeberapa degenerasi makula (misalnya age-related atau angioid streaks). Ketika penyakit ini jelas, penglihatan mungkin dapat sampai ke penyebab dasara yang persisten dan pada akhirnya mengarah pada hilangnya pengelihatan yang permanen. Edema makula akibat solar burn setelah melihat gerhana atau memandang matahari sering memberikan penyembuhan yang mengejutkan. Kelaina yang parah khususnya kelaina sistemik, terutama kelaina



yang



menyebabkan



hipertensi



(misalnya



idiopatik,



eklampsia,



atau



ketidakseimbangan metabolik yang parah seperti gagal ginjal akut) mungkin dapat menyebabkan



kehilangan



pengelihatan



yang



sementara



sampai



penyebab



utama



disembuhkan, biasanya akibat edema makula atau perlengketan retina sekunder. C. Trauma tumpul pada kepala jarang menyebabkan kehilangan pengelihatan dibandingkan



trauma langsung pada mata dan rongga mata, tetapi trauma tumpul pada kepala dapat menyebabkan brain injury, khususnya pada korteks oksipital, dan saraf optik contrecoup dan kerusakan retina. Jika diduga terjadi kontusio saraf optik, maka dipertimbangkan pemberian steroid dosis tinggi secara sistemik. Trauma langsung dapat muncul dalam berbagai bentuk. Trauma tumpul dapat menyebabkan kehilangan pengelihatan melalui mekanisme dari edema kelopak mata yang parah sampai avulsion saraf dan termasuk fraktur orbital, pendarahan okuler, katarak, kerusakan retina. Pemeriksaan pupil untuk mendapatkan defek pupil yang aferen (Marcus Gun) sangat menolong untuk menentukan kerusakan pengelihatan pada jalur pengelihatan. Echography adalah cara yang mudah, murah, dan noninvasif untuk menyingkirkan kondisi yang patologis. CT Scan dan MRI dapat membantu khususnya dalam menentukan fraktur orbital dan saraf optik dan kerusakan otak. Pada trauma langsung yang parah selalu diduga perforasi okuler. Hipotoni yang parah, kemosis, dan kehilangan pengelihatan adalah dugaan utama. Echography khususnya A-scan yang sudah distandarisasi dapat membantu pemeriksaan. Perforasi okuler biasanya sering disebabkan oleh potongan baja, biasanya bersifat magnet, yang biasa masuk ke mata saat pasien menggunakan palu pada objek metal. Karena baja sangat kecil dan tipis, baja membuat perforasi dengan mudah melalui jalan masuk luka, sehingga membuat sulit ditemukan. Riwayat trauma mata harus ditanya secara lengkap termasuk bagaimana cara trauma mata itu terjadi. Membuat plain film dari rongga mata harus rutin dilakukan pada dugaan trauma. Benda-benda berujung tajam (misalnya anak panah, pensil, jarum) yang menyebabkan luka pada mata, walaupun nampaknya hanya menyebabkan perforasi pada bagian anterior, tetapi sering meninggalkan perforasi ganda. Echography dapat membantu menyingkirkan hal ini. D. Setelah operasi, kehilangan pengelihatan dapat terjadi dari sebagian besar komplikasi nyata pada okuler (misalnya hifema). Namun, setelah pembedahan okuler, pendarahan orbital, kerusakan saraf optik, perforasi okuler, dan injeksi intravaskuler selama anatesi retrobulbar harus dipikirkan.



45



E. Kehilangan pengelihatan mendadak menetap yang idiopatik, bersifat bilateral, sering merupakan akibat dari penyakit non-okuler. Namun, beberapa pasien yang hilang pengelihatan bilateral, awalnya terjadi unilateral, dan mata kedua menjadi buta karena kelainan yang sama. Semua kasus kehilangan pengelihatan harus dianggap sebagai kasus gawat darurat sampai pemeriksaan dilakukan. Kehilangan pengelihatan monokuler pada pasien tua biasanya akibat artritis temporak (kranial). Peningkatan sedimentasi membantu dugaan diagnosis, pada waktu tertentu steroid harus diberikan secepatnya untuk mencegah keterlibatan mata lainnya. Biopsi a.temporalis dapat mengkonfirmasi diagnosis, dan hasil akan abnormal pada beberapa hari setelah terapi steroid dimulai. F. Kehilangan pengelihatan akibat racun dan mungkin dapat disebabkan oleh keracunan alkohol metil kuinin. Akhir-akhir ini, alkohol metil kuinin digunakan sebagai obat-obatan terlarang, sehingga sulit untuk mengumpulkan riwayat pasien mengenai ini kecuali sudah disingkirkan secara spesifik.



(A) Ketajaman pengelihatan



Pasien dengan kehilangan pengelihatan



Riwayat temporal



sementara



menetap



Pemeriksaan retina Riwayat tambahan Pemeriksaan mata normal



Pertimbangkan : • Penyebab neurologis • Glaukoma akut



(B) abnormal



Pertimbangkan : • Pendarahan vitreous • Oklusi vaskularisasi retina • Gangguan makula • Kondisi sistemik



(C) traumatik



Pemeriksaan XRay, CT, MRI



(D) setelah operasi



terapi



terapi



(E) spontan



Ditemukan abnormalitas



Tidak ditemukan abnormalitas



terapi Pertimbangkan : • Keracunan • Keganasan • Histeria



KERATITIS I.TUJUAN UMUM Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi keratitis, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: pp. Mampu menjelaskan gambaran klinis keratitis qq. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus keratitis



rr. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya 46



III.GAMBARAN UMUM KERATITIS



PEMERIKSAAN Sensibilitas kornea menurun, ulkus dendritik



KERATITIS VIRAL



Laboratorium : Multi Nukleus Giant Cells Serum anti HSV – 1, Antigen Immuno-Fl Enzym Immuno Assay



Pada daerah dermatom Nervus Oftalmikus (cabang pertama N.trigeminus) : lesi makulo papular



Keratitis Herpes Simpleks



Terapi : Acyclovir topikal dan oral



Herpes Zoster Oftalmikus



Tidak begitu sakit, warna infiltrat abu-abu Sering disertai hipopion Lesi Satelit Khas : bercak di endotelbatas tak tegas pada dasar ulkus,



Terapi : - Aclycovir oral 5 x 400 mg (10 hari).(3 hari sesudah ada makulo papula ) - Steroid topikal bila ada keratitis stromal / Uveitis



Pseudomonas Inkubasi kurang dari 24 Aeruginosa jam (+ 6 – 8 jam ) Infiltrat warna kehijauan / kuning, nyeri hebat Cepat meluas (oleh enzim proteolitik) Kornea tampak “ luluh “ dan menonjol, Hipopion(++) Laboratorium : Kuman bentuk batang gram negatif Terapi : - Tobramisin - Gentamisin - Polimyxin B Terapi terbaru : Ciprofloxacin



KERATITIS FUNGAL



Pneumokokus



Inkubasi 24 – 48 Jam. Infiltrat warna abu-abu Ulkus berbatas tegas cenderung meluas kesentral dengan cepat. (Ulkusserpigenosa)Mud ah terbentuk hipopion Laboratorium : Kuman diplo kokusgram (+) Terapi: Penicilin G atau Vankomisin topikal dan sistemik, pilihan kedua : eritromisin



Laboratorium



Candida



Ampotericin B 0.15 %



Aspergillus Fusarium



Natamicin 5



Oral: Flukonazole 200–400 mg/hari atau ketokonazole 200–600 mg/hari. KERATITIS BAKTERIAL



Gonokokus



Gambaran khas : Ulkus daerah jam 12, cepat perforasi meskipun kecil. Laboratorium: diplokokus gram ( - ) Intra Seluler Terapi : - Penicilin G - Vankomycin



Streptokokus Gambaran tidak khas Bhaemolitikus Biasanya daerah sentral sekitar ulkus banyak infiltrat dan edem



Laboratorium : kuman kokus gram (+)berbentuk rantai. Terapi : - Penicilin G - Vancomycin



KONJUNGTIVITIS I.TUJUAN UMUM Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi konjungtivitis, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. II.TUJUAN KHUSUS 47



Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: ss. Mampu menjelaskan gambaran klinis konjungtivitis tt. Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus konjungtivitis



uu. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya



III.GAMBARAN UMUM Konjungtivitis Merupakan suatu peradangan yang terjadi pada konjuntiva. Insidensi konjungtivitis di Indonesia berkisar antara 2-75%. Data perkiraan jumlah penderita penyakit mata di Indonesia adalah 10% dari seluruh golongan umur penduduk per tahun dan pernah menderita konjungtivitis. Data lain menunjukkan bahwa dari 10 penyakit mata utama, konjungtivitis menduduki tempat kedua (9,7%) setelah kelainan refraksi (25,35%). Gejala Konjungtivitis 1. Rasa adanya benda asing Rasa ini disertai dengan rasa pedih dan panas karena pembengkakan dan hipertrofi papil. Jika rasa sakitnya berat, maka harus dicurigai kemungkinan terjadinya kerusakan pada kornea. 2. Rasa sakit yang temporer Informasi ini dapat membentu kita menegakkan diagnosis karena rasa sakit yang datang pada saatsaat tertentu merupakan symptom bagi infeksi bakteri tertentu, misalnya; - Sakitnya lebih parah saat bangun pagi dan berkurang siang hari, rasa sakitnya (tingkat keparahan) meningkat setiap harinya, dapat menandakan infeksi stafilokokus. - Sakit parah sepanjang hari, berkurang saat bangun tidur, menandakan keratokonjungtiva sisca (mata kering). 3. Gatal Biasanya menunjukkan adanya konjungtivitis alergi. 4. Fotofobia Tanda Penting Konjungtivitis 1. Hiperemi Hiperemi pada konjungtivitis berasal dari rasa superficial, tanda ini merupakan tanda konjungtivitis yang paling mancolok. Hiperemi yang tampak merah cerah biasanya menandakan konjungtivitis bakterial sedangkan hiperemi yang tampak seperti kabut biasanya menandakan konjungtivitis karena alergi. Kemerahan paling nyata pada forniks dan mengurang ke arah limbus disebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior. Terdapat perbedaan antara injeksi konjungtiva dan siliaris yaitu; 2. Lakrimasi Diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, terbakar atau gatal. Kurangnya sekresi airmata yang abnormal mengesankan keratokonjungtivitis sicca. 3. Eksudasi Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis akut. Eksudat berlapis-lapis dan amorf pada konjungtivitis bakterial dan dapat pula berserabut seperti pada konjungtivitis alergika, yang biasanya menyebabkan tahi mata dan saling melengketnya palpebra saat bangun tidur pagi hari, dan jika eksudat berlebihan agaknya disebabkan oleh bakteri atau klamidia. 4. Pseudoptosis Pseudoptosis adalah turunnya palpebra superior karena infiltrasi ke muskulus muller (M. Tarsalis superior). Keadaan ini dijumpai pada konjungtivitis berat. Misalnya Trachoma dan keratokonjungtivitis epidemika. 5. Khemosis (Edema Konjungtiva) Ini terjadi akibat terkumpulnya eksudat di jaringan yang longgar. Khemosis merupakan tanda yang khas pada hay fever konjungtivitis, akut gonococcal atau meningococcal konjungtivitis, serta kerato konjungtivitis. 6. Hipertrofi Papil 48



Hipetropi papil merupakan reaksi non spesifik, terjadi karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya oleh serabut-serabut halus. Ketika berkas pembuluh yang membentuk substansi papila sampai di membran basal epitel, pembuluh ini bercabang-cabang di atas papila mirip jeruji payung. 7. Pembentukan Folikel Folikel adalah bangunan akibat hipertrofi lomfoid lokal di dalam lapisan adenoid konjungtiva dan biasanya mengandung sentrum germinotivum. Kebanyakan terjadi pada viral conjungtivitis, chlamidial conjungtivitis, serta toxic conjungtivitis karena topical medication. Pada pemeriksaan, vasa fecil bisa terlihat membatasi foliker dan melingkarinya. 8. Pseudomembran dan Membran Pseudomembran adalah koagulum yang melapisi permukaan epitel konjungtiva yang bila lepas, epitelnya akan tetap utuh, sedangkan membran adalah koagulum yang meluas mengenai epitel sehingga kalau dilepas akan berdarah. 9. Adenopati Preaurikuler Beberapa jenis konjungtivitis akan disertai adenopoti preaurikular. Dengan demikian setiap ada radang konjungtiva harus diperiksa adalah pembebasan dan rasa sakit tekan kelenjar limfe preaurikuler. Pemeriksaan yang dilakukan : Pemeriksaan Visus (L4 dewasa dan L3 anak-anak) dengan hasil normal Inspeksi (palpebra, konjungtiva termasuk forniks, dan sklera. L4)



49



Pasien dengan keluhan utama mata merah Keluhan Tambahan :



Keluhan Tambahan :



discharge mukopurule n yang banyak



Demam



Sekret serosa



Sedikit gatal



Demam



Mata lebih berair



Sedikit gatal



Sensasi benda asing



Sensasi benda asing



sering disertai penyakit ISPA Fotobfobia



Pemeriksaan fisik Status generalis bisa dalam batas normal



Pemeriksaan fisik



Pemeriksaan visus bisa normal, TIO normal



Pemeriksaan visus bisa normal, TIO normal



Inspeksi : Sekret mukopurulen, injeksi konjungtiva, edem palpebra



Inspeksi : Mata berair, sekret serosa, injeksi konjungtiva



Status generalis bisa dalam batas normal



adenopati preaurikuler



Palpasi : adenopati preaurikuler Konjungtivitis viral Konjungtivitis Bakterial Antibiotik Spectrum luas



Tidak ada obat spesifik, namun berikan obat yang bisa mengurangi gejala.



Lanjutan Konjungtivtis bakteri



Responsi f



Pasien Sembuh



Tidak Responsi f Pemeriksaan Penunjang : Pewarnaan



50



Neutrofil PMN Kerokan Konjungtiva Uji Sensitivitas Pasien dengan keluhan utama mata merah Antibiotik



Beri antibiotik yang sesuai



Keluhan Tambahan : Sangat Gatal



Sensasi benda Responsi asing



f



Tidak Responsi f



Konjungtivitis Kronis



Pemeriksaan fisik Status generalis bisa dalam batas normal Pemeriksaan visus bisa normal, TIO normal Inspeksi :, injeksi konjungtiva,



Keluhan Tambahan : Sedikit gatal Mata lebih berair Sensasi benda asing



Pemeriksaan fisik Status generalis bisa dalam batas normal



Rujuk



Pemeriksaan visus bisa normal, TIO normal Inspeksi : Mata berair, injeksi konjungtiva



Benda Asing di Konjungtiva Konjungtivitis Alergika Anti Histamin



51



KORNEAL EDEMA I.TUJUAN UMUM Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi kornea edema, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: vv. Mampu menjelaskan gambaran klinis kornea edema ww.



Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus kornea



edema xx. Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya



III.GAMBARAN UMUM Kornea memiliki tiga lapisan penting: epitel, stroma, dan endotelium. Kelebihan air dalam hasil epitel atau stroma edema kornea. Kadar air kornea tergantung pada keseimbangan antara kekuatan pendorong air ke kornea dan yang mendorong air keluar. Kekuatan pendorong air ke dalam kornea termasuk tekanan pembengkakan stroma dan tekanan intraokular. Faktor-faktor yang menjaga kornea dari pembengkakan adalah fungsi penghalang dan pompa metabolik endotelium. Faktor yang kurang penting adalah penghalang epitel dan penguapan dari permukaan kornea. Jika faktor ini tidak fungsional atau rusak, edema kornea dan ketebalan kornea meningkat dapat mengembangkan, dengan keluhan penglihatan kabur yang paling parah di pagi hari dan membaik seiring berjalannya hari. Sebagai memburuk edema, microcyst epitel dan bula dapat terbentuk, menyebabkan tajam, menusuk nyeri, fotofobia, dan kemerahan. Edema berkepanjangan dapat menyebabkan jaringan parut membran Bowman dan stroma, serta vaskularisasi pannus dan stroma. A. Peningkatan TIO tidak langsung merusak endotelium tetapi mengganggu keseimbangan kekuatan transportasi di seluruh kornea. Glaukoma kongenital dapat hadir dan meningkatkan ketebalan kornea, diameter kornea, dan menghasilkan air mata linier horizontal membran Descemet itu. B. glaukoma akut dapat didiagnosis jika ada edema epitel, nyeri, sudut ruang tertutup, dan murid middilated tetap. Biasanya tekanan adalah> 60mm Hg. Pasien melihat lingkaran cahaya di sekitar objek terang. Begitu tekanan diobati, gejala umumnya jelas. Namun, tidak diobati, tekanan yang meningkat menyebabkan kerusakan ireversibel endotel dan edema kronis. C. Distrofi endotel adalah penyakit turun-temurun dari endotelium. Beberapa tampak pada saat lahir, yang lainnya muncul kemudian dalam hidup. Anomali Petrus diakui oleh leukoma kornea bilateral pusat, dengan edema di daerah yang terkena, yang disebabkan oleh cacat pada posterior stroma, membran Descemet, dan endotelium. Endotel distrofi kongenital herediter (CHED) dapat memiliki dua bentuk: dominan dan resesif. Resesif tersebut diakui pada saat lahir sebagai difus, edema kornea bilateral simetris dan umumnya tidak maju. Bentuk dominan tidak terlihat pada saat lahir. Edema berkembang pada tahun pertama dan dapat maju dalam hidup kemudian untuk edema parah, keratopathy band, dan erosi epitel. Distrofi Fuch endotel yang terjadi di kemudian hari dan dapat didiagnosis jika disertai edema kornea kornea guttae banyak dilihat posterior membran Descemet itu. Guttae kornea yang fokal, deposito kolagen bias. Dalam distrofi polymorphous posterior (PPD), lesi kecil yang dikelilingi oleh lingkaran cahaya beberapa samar atau kurang besar, lesi blisterlike dengan lingkaran cahaya padat terlihat pada membran Descemet itu. Guttae kornea yang tidak hadir. Sindrom endotel Iridocorneal (ICE) adalah spektrum gangguan utama proliferasi endotel, termasuk iris nevus sistem Cogan-Reese, sindrom Chandler, dan atrofi iris esensial. Gangguan ini ditandai dengan endotelium dilemahkan, lapisan kolagen yang luas posterior, dan pengembangan membran basement ektopik atas iris.Meskipun penyakit penyakit bentuk spektrum, mereka dapat dikenali secara individual. Dalam sindrom nevus iris, jaringan stroma iris herniates melalui membran basement ektopik. Dalam sindrom Chandler lapisan kolagen posterior berhubungan dengan edema kornea difus. Atrofi iris esensial ditandai oleh lapisan kolagen abu-abu posterior, sinekia anterior perifer, murid terdistorsi, dan lubang di iris. 52



D. Endotelium mungkin rusak selama atau setelah operasi. Intraoperatif kerusakan mungkin disebabkan oleh kontak dengan instrumen bedah kornea atau lensa intraokular atau efek toksik obat intraokular, pengawet, atau solusi mengairi. Kerusakan pasca operasi dapat disebabkan oleh perdarahan intraokuler, peningkatan TIO, dan kontak lensa-diinduksi hipoksia, serta melalui kontak endotel kornea dengan vitreous, lensa intraokular, atau jahitan nya. E. Perforasi kornea oleh benda asing dapat menyebabkan kerusakan endotel dan mengurangi jumlah sel, menghasilkan edema kornea. Kontak kuat dari badan asing dengan kornea dapat menyebabkan 0,5-0,1 mm berbentuk cincin berdiameter opacity pada permukaan kornea posterior. Cincin ini disebabkan oleh fibrin dan leukosit deposito dalam endotelium kornea dan menghilang dalam beberapa hari. F. Pada pasien dengan keratoconus maju, membran Descemet bisa istirahat terpusat. Aqueous humor bisa masuk dan menyebabkan edema. Namun, sel-sel endotel tumbuh, dan luka segera sembuh sehingga edema reda dalam beberapa bulan. Semua yang bertahan adalah bekas luka kecil. G. Pemecahan pada membran Descemet bisa terjadi pada kelahiran dari cedera tang dan biasanya muncul dalam orientasi vertikal atau miring. Tergantung pada luasnya cedera, edema kornea bisa jelas dan berulang di kemudian hari. H. Neuropati sensorimotor trigeminal, dari prosedur bedah, neoplasma, dan proses lainnya, dapat mempengaruhi hidrasi kornea dan mengakibatkan edema kornea selama paparan suhu lingkungan yang rendah. I. Keratopathy Diebetic dapat terjadi setelah operasi stres yang tidak semestinya intraokular atau fotokoagulasi. Endotelium kornea dari diabetes pameran kelainan pada morfologi sel, edema kornea sehingga cenderung untuk bertahan setelah operasi. J. Beberapa laporan telah menggambarkan kasus dekompensasi kornea setelah trauma kantong udara. Mikroskop elektron scanning mengungkap wilayah lokal dari kerusakan endotel yang lengkap terkait dengan bidang jumlah sel endotelium 95% mata berakhir dengan refraksi tertutup sampai emmetropia (antara +4D dan -4D dari kesalahan refraktif). Faktor-faktor yang menyebabkan nya masih banyak belum dimengerti. B. Megalocornea dihubungkan dengan myopia karena cornea lebih curam daripada normal. Telah dilaporkan bahwa hal ini diturunkan dan ketiga pola keturunan dari Mendelian terkena. Kondisi ini jarang terjadi tetapi dapat dihubungkan dengan glaucoma juvenil atau ectopia lentis. C. Ectopia lentis dapat menyebabkan myopia yang signifikan sebagai hasil dari kemiringan lensa. Pada beberapa tipe (sindrom Marfan, autosomal-resesive ectopia lentis et pupillae) panjang axial juga meningkat. Fluktuasi refraksi yang umum terjadi dihubungkan dengan perpindahan posisi lensa dan pasien mungkin akan menjadi myopia hingga hyperopia jika dislokasi lensa sempurna dan menhhilangkan axis visual. D. Lentiglobus posterior merupakan deformasi axial dari aspek posterior lensa. Ini dapat menyebabkan myopia melalui tengah lensa, walaupun perifernya bisa jadi emmetropik. E. Pembesaran diameter corneal dan peningkatan panjang axial melebihi pertumbuhan normal pada infant harus dicurigai kemungkinan adanya glaukoma kongenital. Gejala lain biasanya menunjukkan adanya pembesaran cup optik dan edema corneal. F. Pada retinopathy cicatrical sedang pada prematuritas, menunjukkan pigmentasi retina dan tarikan pembuluh darah retina dan makula, hampir selalu dihubungkan dengan myopia. G. Penelitian pada hewan dan penemuan pada pasien dengan hemangioma, ptosis yang parah, plexiform neurofibroma telah dilaporkan sebagai penyebab amblyopia yang parah, penutupan kelopak mata yang lama mungkin menyebabkan myopia sebagai hasil peningkatan panjang axis mata. H. Gambar yang sangat kabur pada fovea selama infan tidak hanya menyebabkan amblyopiogenic tetapi juga menyebabkan myopia. Penyebab spesifik lain nya diantara nya kekeruhan corneal yang disebabkan oleh trauma saat lahir, katarak atau perdarahan vitreus. I. Congenital hereditary endothelial dystrophy (CHED) suatu penyakit autosomal-resesif mengarah kepada kekeruhan korneal secara difus, yang selalu dihubungkan dengan myopia. Hal ini berbeda dengan glaukoma kongenital karena IOP normal atau tertutup hingga normal, korneamenebal dan diameter nya tidak membesar. J. Perdarahan vitreous yang berhubungan dengan kelahiran dapat menyebabkan myopia tinggi. Hal ini sering tidak diketahui karena pemeriksaan retina tidak dilakukan secara rutin pada semua bayi lahir.karena struktur vitreus pada infant tebal, perdarahan mengalir secara lambat dan pengaruh amblyopiogenic mungkin ada selama beberapa bulan. K. Suatu sindrom telah dilaporkan dimana adanya monocular yang myelinisasi serabut saraf retina dikombinasikan dengan myopia tinggi, amblyoplia dan strabismus. Patogenesis nya belum dapat dimenferti. 68



L. Ketidakmampuan untuk mencapai suatu titik yang jelas pada retinoscopy seharusnya dilakukan pemeriksaan slit-lamp. Bagian tengah kornea yang tipis dan bentuk yang kotor, iregular serta bulat terlihat dengan keratometry, keratoscopy, atau topographycal corneal, memastikan adanya keratoconus yang biasanya muncul manifestasi pada saat pubertas. M. Fluktuasi jarak pengelihatan sering menunjukkan gejala pada diabetes yang tidak terdiagnosis sebelumnya. Fluktuasi tersebut diduga disebabkan oleh hidrasi lensa, yang berhubungan dengan berbagai efek osmotik pada glukosa darah. Tanyakan gejala lain seperti penurunan berat badan, polidipsi dan poliuria. Test dipstik sederhana dapat memastikan adanya glucosuria dan harus segera dirujuk ke bagian internis atau endocrinologist. N. Episode pengelihatan ganda dan kabur dihubungkan dengan sakit kepala atau sakit mata yang mungkin disebabkan oleh spasme reflex dekat. Pemeriksaan harus mengkonvergensikan mata dan miosis selama serangan. Masalah ini sering dijumpai pada wanita remaja. Dan dapat sembuh sendiri. O. Pilocarpin juga mengganggu jika terdapat pada pasien transient, myopia pada usia muda. Miotics lain yang kadang-kadang digunakan pada penatalaksanaan esotropia akomodative (echothiophate;isoflurophate), juga dapat menyebabkan myopia. Banyak obat lain yang juga menyebabkan myopia. Hal ini diduga karena obat-obat tersebut menyebabkan edema badan siliar. P. Paada pasien yang sudah tua, secara bertahap peningkatan myopia hampir selalu terjadi karena adany aperubahan lensa.



3. ASTIGMATISMA Mata astigmat atau mata silindris adalah suatu keadaan dimana sinar yang masuk ke dalam mata tidak terpusat pada satu titik saja tetapi sinar tersebut tersebar menjadi sebuah garis. Astigmatisma merupakan kelainan pembiasan mata yang menyebabkan bayangan penglihatan pada satu bidang fokus pada jarak yang berbeda dari bidang sudut. Pada astigmatisma berkas sinar tidak difokuskan ke retina di dua garis titik api yang saling tegak lurus. Kelainan refraksi ini ditandai dengan anomali kurvatura media refrakta, bisa diakibatkan ulkus kornea, jaringan parut pada kornea, kertoconus, katarak, lenticonus Diagnosa ditegakkan berdasarkan pada pemeriksaan refraksi dan gambaran klinis yang tipikal. Penderita akan melihat benda tidak beraturan bentuknya atau berubah bentuk. Astigmat bisa diperiksa dengan cara pengaburan (fogging technique of refraction) yang menggunakan kartu snellen, bingkai percobaan, sebuah set lensa coba, dan kipas astigmat. Pemeriksaan juga bisa menggunakan keratoskop placid, videokeratoskop, Helmholtz atau Javal ophthalmometer. Deteksi dini dan koreksi yang segera sangat penting terutama pada penderita anak. Astigmatisma yang tidak terkoreksi dapat mengakibatkan ambliopia karena bayangan yang tajam tidak terproyeksikan ke retina. Koreksi untuk astigmatisma menggunakan lensa silinder. Kompetensi Dokter Umum 3A. Mampu membuat diagnosis klinis berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya pemeriksaan laboratorium sederhana atau Xray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat) Keterampilan Klinis Yang Harus Dimilki Tingkat kemampuan 4 mampu melakukan secara mandiri 69



Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik konsep, teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi dan sebagainya). Selama pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini dan pernah menerapkan keterampilan ini beberapa kali dibawah supervisi serta memiliki pengalaman untuk menggunakan dan menerapkan keterampilan ini dalam konteks praktik dokter secara mandiri. Keterampilan klinis tingkat 4 yang harus dimiliki untuk kasus astigmatism antara lain : • Pemeriksaan opthalmologis umum yang meliputi pemeriksaan visus, pemeriksaan refraksi subjektif.



Bagan algoritma pada mata astigmatisma Anamnesis Pemeriksaan refraksi:



Pasien dengan astigmatisma



• Pengaburan • Keratoskop placid • Videokeratoskop • Helm Holtz atau Javal ophthalmometer



kornea



lensa







Ulkus







Katarak







Jaringan parut







lenticonus



4. PRESBIOPIA



Presbiopia merupakan bagian dari proses penuaan yang secara alamiah dialami oleh semua orang. Penderita akan menemukan perubahan kemampuan penglihatan dekatnya pertamakali pada pertengahan usia empat puluhan. Pada usia ini, keadaan lensa kristalin berada dalam kondisi dimana elastisitasnya telah banyak berkurang sehingga menjadi lebih kaku dan menimbulkan hambatan terhadap proses akomodasi, karena proses ini utamanya adalah dengan mengubah bentuk lensa kristalin menjadi lebih cembung. Organ utama penggerak proses akomodasi adalah muskulus siliaris, yaitu suatu jaringan otot yang tersusun dari gabungan serat longitudinal, sirkuler, dan radial. Fungsi serat-serat sirkuler adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula, yang merupakan kapsul di mana lensa kristalin barada di dalamnya. Otot ini mengubah tegangan pada 70



kapsul lensa, sehingga lensa dapat mempunyai berbagai fokus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapangan pandang. Jika elastisitas lensa kristalin berkurang dan menjadi kaku (sclerosis), maka muskulus siliaris menjadi terhambat atau bahkan tertahan dalam mengubah kecembungan lensa kristalin. Presbiopia dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata monofocal maupun bifocal, fungsi kacamata monofocal hanya untuk kacamata baca, sedangkan kacamata bifocal dapat untuk mengkoreksi saat proses akomodasi. • Pemeriksaan opthalmologis umum yang meliputi pemeriksaan visus, pemeriksaan refraksi subjektif,



Bagan algoritma pada penderita presbiopia Pasien dengan presbiopia



Proses penuaan



Kekerasan lensa



Lensa sulit mengubah bentuk



Anamnesis:keluhan pada pengelihatan dekat Pemeriksaan refraksi: • Subjektif • objektif



Pengurangan kontraksi otot siliar Pengendoran zonula zinii tidak sempurna



5. ANISOMETROPIA



Anisometropia merupakan keadaan dimana didapatkan perbedaan refraksi yang besar, pada kedua mata. TRIKIASIS I.TUJUAN UMUM 71



Peserta didik mampu menjelaskan patofisiologi trikiasis, menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata, mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan sesuai kompetensi. II.TUJUAN KHUSUS Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil: ttt. Mampu menjelaskan gambaran klinis trikiasis uuu.



Mampu menginterpretasikan dan menjelaskan pemeriksaan mata pada kasus trikiasis



vvv.



Mampu menjelaskan dan melakukan diagnosis serta penanganannya



III.GAMBARAN UMUM Trichiasis Gangguan arah bulu mata ke arah bola mata



Apakah pasien merupakan ras asia (epiblepharon: gangguan kongenital dimana [retarsal orbicularis dan kulit menempati margin kelopak, sehingga bulu mata menjadi vertikal dan sering menyentuh kornea, apakah passien pernah mengalami infeksi mata berat atau pernah mengunjungi wilayag yang umum terdapat trachoma?, apakah pasien memiliki riwayat herpes zoster ophthalmicus, apakah terdapat riwajat SJS atau luka bakar kimia pada mata?, pakah ada riwayat trauma, operasi,alergi



Periksa kelopak atas dan bawah, untuk melihat arah bulu mata. Pemeriksaan ini mungkin memerlukan slitlamp apabila bulu mata yang mengarah ke bola mata fokal., lihat apakah ada simblepharon, involution entropion, trachoma Penatalaksaanaan primer untuk trichiasis adalah operasi, namun secara suportif dapat juga diberikan lubrukan seperti salep mata atau air mata buatan untuk mengurangi iritasi dari sentuhan bulu mata, jika penyebanya adalah pephigoid atau sjs, terapi harus diarahkan pada penyakit tsb, Kompetensi dokter umum 2, rujuk ke ahli mata bila kausanya memang di bidang mata



Terapi definitifnya adalah operasi yang dapat t dikategorikan: 1. Lash and follicle destruction Biiasanya untuk trikchiasis segmental atau fokal Simple epitation Electrolysis of lashes Cryosurgery Radiofrequency ablation of lashes 2. Lash/follicle repositioning Diarahkan ke penyebab anatomi dari masalah -entropion: lower lid retractor reattachment Posterior lamella scarring: graft, tarsoconjunctival advancement Surgery of conjunctiva Repositioning anterior lamella



72



MODUL ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN



PENYAKIT KULIT KARENA JAMUR DERMATOFITOSIS Definisi



: Merupakan penyakit jamur superficial yang disebabkan oleh kelompok dermatofita (Trichophyton sp., Epdermophyton sp. dan Microsporum sp.) Terminologi “tinea” atau ringworm secara tepat menggambarkan dermato-mikosis, dan dibedakan berdasarkan lokasi anatomi infeksi. Klasifikasi menurut lokasi • Tinea kapitis •



Tinea korporis







Tinea kruris







Tinea pedis







Tinea manum







Tinea unguium



• Tinea Kapitis



Bergantung pada etiologinya. Noninflammatory, human atau epidemic type (grey patch) Inflamasi minimal, rambut pada daerah terkena berubah warna menjadi abu-abu dan tidak berkilat, mudah patah di atas permukaan skalp.



Inflammatory type, kerion Biasa disebabkan oleh pathogen zoofilik atau geofilik. Spektrum inflamasi berkisar mulai dari folikulitis pustular sampai kerion. Sering terjadi alopesia sikatrisial. Lesi biasanya gatal, dapat disertai nyeri, limfadenopati servikal posterior, demam, dan lesi lain pada kulit glabrosa. 73



‘”Black dot” Disebabkan oleh organisme endotriks antropofilik. Rambut mudah patah pada permukaan scalp, meninggalkan kumpulan titik hitam pada daerah alopesia(black dot). Kadang masih terdapat sisa rambut normal di antara alopesia,dapat bervariasi, hanya skuama difus dengan sedikit rambut rontok.



Tinea korporis Mengenai kulit tidak berambut, keluhan gatal terutama bila berkeringat, dan secara klinik tampak lesi berbatas tegas polisiklik, tepi aktif karena tanda radang lebih jelas dan polimorfi yang terdiri atas eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di tepi, penyembuhan di tengah (central healing). Tinea kruris Lesi serupa tinea korporis, terletak di daerah inguinal dapat meluas ke suprapubis, perineum, dan bokong. Meskipun relatif jarang genital dapat terkena. Sering disertai gatal dengan maserasi atau infeksi sekunder. Tinea pedis • Tipe interdigital (chronic inteririginous type), bentuk klinis paling banyak. Dimulai dengan skuamasi, erosi dan eritema pada daerah interdigital dan subdigital kaki, terutama pada tiga jari lateral, pada kondisi tertentu, infeksi dapat menyebar ke telapak kaki yang berdekatan dan bagian telapak kaki, jarang mengenai dorsum kaki, ko-infeksi dengan bakteri segera menyebabkan maserasi, pruritus, dan malodor (dermatotitosis kompleks atau athlete’s foot). • Tipe hiperkeratotik kronik klinis tampak skuama difus atau setempat, bilateral, kulit menebal (telapak kaki, aspek lateral dan medial kaki), dikenal sebagai moccasin-type, dapat timbul sedikit vesikel, meninggalkan skuama kolaret dengan diameter kurang dan 2 mm, tinea manum unilateral umumnya terjadi berhubungan dengan tinea pedis hiperkeratotik sehingga terjadi two feet-one hand syndrorme. • Tipe vesikobulosa, klinis tampak vesikel tegang dengan diameter lebih dan 3 mm, vesikopustul, atau bula pada kulit tipis telapak kaki dan periplantar. Jarang dilaporkan pada anak-anak. • Tipe ulseratif akut - Terjadi ko-lnfeksi dengan bakteni gram negatif menyebabkan vesikopustul dan daerah luas dengan ulserasi purulen pada permukaan plantar. Sering dlikuti selulitis, limfarigitis, limfadenopati, dan demam. Tinea manum Biasanya unilateral, terdapat 2 bentuk: • Tipe dishidrotik, lesi segmental atau anular berupa vesikel dengan skuama di tepi pada telapak tangan, jari tangan, dan tepi lateral tangan. • Tipe hiperkeratotik: vesikel mengering dan membentuk lesi sirkular atau iregular, eritematosa, dengan skuama. Lesi kronik dapat mengenai seluruh telapak tangan dan jari disertai fisura. Tinea unguium Onikomikosis merujuk pada semua infeksi pada kuku yang disebabkan oeh jamur dermatofita, jamur nondermatofita, atau ragi (yeasts). Dapat mengenai kuku jari tangan maupun kuku kaki, dengan bentuk klinis: 1. Onikomikosis subungual proksimal 3. Onikomikosis subungual distal 4. Onikomikosis superfisial putih 5. Onikomikosis lateral distal 6. Distrofik totalis Klinis dapat ditemui distrofi, hiperkeratosis, onikolisis, debris subungual, perubahan warna kuku, dengan lokasi sesuai bentuk klinis



74



Diagnosis



a. Tinea kapitis Dermatitis seboroik, psoriasis, dermatitis atopik, liken simpleks banding kronik, alopesia areata b. Tinea pedis dan manum Dermatitis kontak, psoriasis, sifilis sekunder, keratoderma c. Tinea korporis Psoriasis, pitiriasis rosea d. Tinea kruris Eritrasma, kandidosis e Tinea unguium Onikolisis, nail dystrophy Pemeriksaan Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit atau kuku menggunakan mikroskop cahaya dan KOH 10 %- 20 %, bahan kerokan diletakkan penunjang pada objek kelas ditutup dengan kaca penutup kemudian panaskan sebentar di atas api kecil (tidak sampai mendidih),dilihat dibawah mikroskop tampak hifa panjang dan atau artrospora. Kultur dengan agar Sabouraud pada suhu 28° C selama 1-4 minggu. (tidak harus dikerjakan, kecuali pada tinea unguium) Lampu Wood hanya berfluoresensi pada tinea kapitis yang disebabkan Microsposrum. Penatalaksanaan Medikamentosa a. Topikal: - Obat pilihan: Golongan alkilamin sekali sehari selama 1 -2 minggu - Alternatif : Golongan azol Siklopiroksolamin Asam andesilinat Tolnaftat (1 - 2 kali sehari selama 2 -4 minggu) b. Sistemik: Bila lesi kronik atau luas 1. Griseofulvin oral 10 -25 mg/kgBB/hari, ketokonazol 200 mg/hari, atau itrakonazol 2 x 100 mg/hari, 2. Terbinafin oral 1 x 250 mg/hari hingga klinis membaik dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif. Pengobatan, khusus untuk: Tinea kapitis: • Sistemik:Obat pilihan: Griseofulvin fine particle. 10- 25 mg/kgBB/hari. 6-8 minggu Alternatif: Itrakonazol 3-5 mg/hari, 4-6 minggu Terbinafin, 62,5-250 mg/hari (bergantung berat badan) selama 2-4 minggu • Rambut dicuci dengan sampo antimikotik 2-4 x/minggu Tinea unguim: - Bila mengenai 1-2 kuku dengan keterlibatan < 2/3 bagian kuku: Obat pilihan: Siklopiroksolamin topikal (cat kuku) Alternatif: Obat golongan azol (tingtura/losio, krim) - Bila mengenai >2 kuku dan melibatkan >2/3 bagian kuku: Obat pilihan: Itrakonazol 2 x 200 mg/han selama seminggu setiap bulan selama 2-3 bulan Alterriatif: Terbinafin 1 x 250 mg/hari selama 3 bulan Tinea pedis Khusus bentuk mocassin foot: itrakonazol 2 x 100 mg/hari atau terbinafin 1 x 250 mg/hari selama 4 – 6 minggu. Kepustakaan



Wolff K, Goldsmith LA. Freedberg IM, Kazt Si, Gitchrest BA, Paller AS. Leffeil DJ. editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-7. New York Mc Graw-Hill, 2008. 75



KANDIDIASIS/ KANDIDOSIS Definisi



Diagnostik Klinis



: Kandidiasis (USA) atau kandidosis (Eropa) merupakan kelompok penyakit infeksi, yang dsebabkan oleh Candida albicans atau oleh spesies lain genus Candida. Organisme tersebut pada umumnya dapat menginfeksi kulit, kuku, membran mukosa, dan saluran cema, tetapi dapat juga menyebabkan penyakit sistemik. Klasifikasi: - Kandidiasis kutis - Kandidiasis mukokutan kronik : Kandidiasis kutis • Dapat ditemukan pada semua umur usia, mengenai daerah intertriginosa yang lembab dan mudah mengalami maserasi, misalnya: sela paha, ketiak, sela jari, infra mamae, atau sekitar kuku, dan juga dapat meluas ke bagian tubuh lainnya. • Kulit tampak bercak eritematosa berbatas tegas, bersisik, basah, dikelilingi oleh lesi satelit berupa papul, vesikel dan pustul kecil di sekitarnya. Kandidiasismukosa Merupakan infeksi oportunis, dapat berupa: Mukosa oral: • Kandidiasis pseudomembran akut (thrush): Bercak berwarna putih (pseudomembran) tebal, diskret atau konfluen pada mukosa bukal, lidah, palatum,dan ginggiva • Kandidiasis atrofik akut - (kandidiasis eritematosa): Bercak halus (papila Iidah menipis) tertutup oleh pseudomembran tipis pada permukaan dorsal lidah dapat disertai rasa panas atau nyeri. • Kandidiasis atrofik kronik (denture stomatitis): 76



Mukosa palatum yang kontak dengan gigi tampak edematosa dan entematosa, bersifat kronik, dapat dijumpai keilitis angularis • Keilosis kandidal (keilitis angularis/perleche): Pada sudut mulut tampak eritema, fisura, maserasi yang terasa nyeri. Mukosa genitalia: • Kandidiasis vulvovaginal: Keluhan duh vagina berwarna putih susu. disertai rasa gatal dan panas, kadang disuria Pemeriksaan tampak plak berwarna putih, dasar eritematosa, pada dinding vagina disertai edema di sekitarnya yang dapat meluas sarnpai ke labia dan perineum • Balanitis dan balanopostitis kandida: Keluhan: kulit penis tampak eritematosa, panas, disuria, muncul setelah hubungan seksual Pemeriksaan: Papul atau papulopustul rapuh pada glans penis atau sulkus koronarius penis Kandidiasis mukokutan kronik Merupakan suatu sindrom kandidosis kronik rekuren pada pasien yang ditandai dengan infeksi résisten terhadap terapi. Merupakan manifestasi akibat defek sistem imunologi, umumnya defek imunitas selular. Berupa infeksi yang erite atosa atau granulomatosa, pada membran mukosa, kulit dan kuku. Diagnosis Banding



Pemeriksaan Penunjang



Penatalaksanaan



Kandidiasis kutis lokalisata: eritrasrna, dermatitis intertriginosa dan dermatofitosis Kandidiasis vulvovagina: trikomoniasis vaginalis, gonore akut, leukoplakia, dan liken planus. Diperlukan jika klinis tidak khas, dilakukan di tingkat pelayanan lanjut Kandidiasis superfisialis: • Pewarnaan sediaan langsung kerokan kulit dengan KOH 10% atau Gram : ditemukan pseudohifa • Kultur dengan agar Saboraud: tampak koloni berwarna putih, tumbuh dalam 2-5 hari Kandidiais sistemik: • Jika ada lesi kulit dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit, histopatologi dan kultur. Nonmedikamentosa Menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi Medikamentosa Kandidiasis kutis: Topikal: Nistatin dan krim Imidazol Bedak mikonazol selanjutnya dapat untuk pencegahan Kandidiasis vulvovagina: Topikal: lmidazol: butokonazol, mikonazol, klotrimazol, tiokonazol, ekonazol selama 3-7 hari Aman untuk wanita hamil Sistemik: Flukonazol 150mg dosis tunggal Itrakonazol 2x100 mg, selama 3 hari Nystatin intravagina, l x sehari, selama 10 hari Untuk kandidiasis vulvovaginal rekuren ( kambuh 4x/th) Klotrimazol 500mg intravagina 1 x minggu Flukonazol 150 mg per oral l x 1minggu 77



• Balanopostitis kandida: Topikal : Klotrimazol krim Sistemik: Flukonazol 150 mg dosis tunggal • Paronikia kandida: Topikal: solusio imidazol Timol 4% dalam alkohol absolute kloroform Penatalaksanaan



Nonmedikamentosa Mengindari atau menghilangkan factor predisposisi Medikamentosa • Kandidiasis kutis : Topikal : Nistatin dan krim Imidazol Bedak mikonazol selanjutnya dapat untuk pencegahan • Kandidiasis vulvovagina: Topikal: butokonazol, mikonazol, klotrimazol. tiokonazol, ekonazol selama 3-7 hari Aman untuk wanita hamil Sistemlic Flukonazol 150 mg dosis tunggal Itrakonazol 2x100 mg, selama 3 hart Nystatin intravagina, 1 x/hari, selama 10 hari untuk kandidasis vulvovaginal rekuren Klotrimazol 500-mg intravagina I x1 minggu Flukonazol 150mg per oral lx/rninggu • Balanitis/Balanopostitis kandida: Topikal : Klotrimazol krim Sistemik: Flukonazol 150 mg dosis tunggal



Kepustakaan



Wolff K. Goldsmith LA, Freedberg 1M, Kazt Si, Gilchrest BA, Paller AS. Leffell DJ. editor. Dalarn: Fitzpatnck s Oematdogy in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc GrawzHill, 2008.



PIODERMA Definisi



: Pioderma merupakan penyakit infeksi yang terutama disebabkan oleh bakteri Gram positif pada lapisan kulit atau folikel rambut.



Etiologi



: Penyebab terbanyak adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus β-haemoliticus group A.



Bentuk Klinik



: Terdapat 2 bentuk pioderma : 78



1. Pioderma Superfisialis, lesi terbatas pada epidermis dan bagian atas dermis • Impetigo Non Bulosa • Impetigo Bulosa • Ektima • Folikulitis • Furunkel • Karbunkel 2. Pioderma profunda, mengenai epidermis dan dermis • Erisipelas • Selulitis • Abses multipel kelenjar keringat • Hidradenitis Pemeriksaan Penunjang



: Pemeriksaan laboratorik: -



Pulasan Gram dari serum/pus/spesimen lainnya



Biakan mikroorganisme dan uji sensitifitas serum/pus/lainnya Bila perlu dilakukan biakan mikroorganisme dan uji sensitifitas darah



Penatalaksanaan Penatalaksanaan umum



: Membatasi penularan: edukasi terhadap pasien dan keluarganya agar menjaga higiene perorangan yang baik. Mengatasi faktor predisposisi dan keadaan komorbid, misalnya infestasi parasit atau dermatitis atopik.



Penatalaksanaan khusus



: pasien berobat jalan, kecuali pada kasus infeksi berat Topikal: • Bila banyak pus atau krusta: kompres terbuka dengan permanganat kalsikus 1/5000, rivanol 1‰, larutan povidon 7,5 % dilarutkan 10 kali; dilakukan 3 kali sehari masing-masing 1 jam selama keadaan akut • Bila tidak tertutup pus atau krusta: salap/krim asam fusidat 2%, musipirosin 2%, neomisin dan basitrasin dioleskan 2-3 x sehari, selama 7-10 hari. Sistemik: minimal selama 7 hari First line: • Kloksasilin: dewasa 4 x 250-500 mg/hari per oral; anak-anak 50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis, selama 5-7 hari. • Amoksisilin dan asam klavulanat: dewasa 3 x 250-500 mg/hari; anak-anak 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, selama 5-7 hari. • Sefaleksin: 40-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis, selama 5-7 hari. • Sefaklor: 20 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis. Second line: 79



• • •



Azitromisin 1 x 500mg/hari (hari I), dilanjutkan 1 x 250 mg (hari II-V). Klindamisin 20 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, selama 10 hari Eritromisin: dewasa 4 x 250-500 mg/hari; anak-anak 20-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis, selama 5-7 hari.



Pada kasus berat dan keterlibatan organ vital (misal: wajah), pasien rawat inap dan pemberian antibiotik sistemik parenteral Apabila lesi besar, nyeri, disertai fluktuasi, dilakukan insisi dan drainase. Kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan hasil kultur dan resistensi. Tindakan: Bila ada abses, dapat dilakukan insisi Kepustakaan



: Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Swartz MN, Johnson RA. Superficial Cutaneous Infections and Pyodermas. Dalam : Wolf K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.Edisi 7. New York:Mc.Graw Hill Company; 2008.hal. 1694-1709 IMPETIGO NON BULOSA (KRUSTOSA) Definisi



: pioderma superfisialis terbatas pada lapisan epidermis



Etiopatogenesis



: peradangan pada kulit yang umum disebabkan StreptococcusB hemolyticus



Gambaran Klinik



: Lesi awal berupa vesikel atau pustul berdinding tipis yang mudah pecah membentuk krusta tebal kekuningan (honey colour). Lesi dapat melebar sampai 1-2 cm, disertai lesi satelit di sekitarnya pada tempat predileksi: wajah, terutama di sekitar nares dan mulut.



Diagnosis banding



: Ektima



Diagnosis : - Anamnesis: adanya lepuh yang pecah menjadi koreng dengan keropeng warna kuning kecoklatan pada sekitar hidung dan mulut - Pemeriksaan fisik: makula eritematosa, vesikel dan erosi dilapisi krusta kuning kecoklatan selapis - Pemeriksaan penunjang dari serum/pus: - Pulasan Gram : ditemukan bakteri Gram positif kokus - Biakan mikroorganisme: Streptococcus B hemolyticus



IMPETIGO BULOSA 80



Definisi



: bentuk impetigo terbatas pada lapisan epidermis berupa lepuh berisi cairan kekuningan



Etiopatogenesis



: proses peradangan pada kulit yang umum disebabkan Staphylococcus aureus



Gambaran Klinik



: Vesikel-bula kendur, berisi cairan jernih; dapat timbul bula hipopion, bila bula pecah meninggalkan skuama anular dengan bagian tengah eritematosa (kolaret) dan cepat mengering. Tanda Nikolsky negatif. Tempat predileksi : daerah intertriginos (aksila, inguinal, gluteal), dada dan punggung



Diagnosis banding



: varicela, pemfigus vulgaris, impetigenisasi



Diagnosis



: - Anamnesis: lepuh berisi cairan bening atau cairan berisi nanah yang pecah dengan dasar kemerahan dikelilingi dengan sisik - Pemeriksaan fisik: vesikel-bula kendur, bula hipopion dengan erosi dan skuama kolarete - Pemeriksaan manual dermatologi: Nickolsky negatif - Pemeriksaan penunjang dari serum/pus: -



Pulasan Gram : ditemukan bakteri Gram positif kokus



-



Biakan mikroorganisme: Staphylococcus aureus



EKTIMA Definisi



: pioderma yang menyerang epidermis dan dermis, membentuk ulkus dangkal yang dilapisi oleh krusta berlapis



Etiologi



: peradangan umumnya disebabkan Streptococcus B hemolyticus



Gambaran Klinik



: Ulkus dangkal tertutup krusta tebal dan lengket, berwarna kuning keabuan kotor. Apabila krusta diangkat, tampak ulkus bentuk punched out, tepi ulkus meninggi, indurasi, berwarna keunguan. Predileksi: ekstrimitas bawah atau daerah terbuka.



Diagnosis banding



: impetigo krustosa



Diagnosis



: - Anamnesis: awal dapat ditemukan lepuh atau lepuh berisi nanah yang dapat membesar, bila pecah menjadi koreng dan keropeng 81



- Pemeriksaan fisik: ulkus dangkal dengan permukaan diutupi krusta yang sulit dilepaskan dari dasar¸ tepi ulkus meninggi, indurasi, berwarna keunguan. - Pemeriksaan penunjang dari spesimen asal dasar ulkus: - Pulasan Gram : ditemukan bakteri Gram positif kokus - Biakan mikroorganisme: Streptococcus B hemolyticus



FOLIKULITIS Definisi



: Peradangan pada folikel rambut



Etiologi



: Umumnya disebabkan Staphylococcus aureus



Gambaran klinis



: Dibedakan menjadi 2 bentuk: 1. Folikulitis superfisialis (impetigo Bockhart/ impetigo folikular)



Predileksi: skalp (anak-anak), dagu, aksila, ekstrimitas bawah, bokong (dewasa). Terdapat rasa gatal dan panas. Kelainan berupa pustul kecil dome-shaped, mudah pecah, pada folikel rambut, multipel.



2. Folikulitis profunda Predileksi: dagu, atas bibir Nodus eritematosa dan teraba infitrat subkutan, hangat dan nyeri.



Diagnosis Banding



: akne vulgaris, folikulitis pitirosporum



FURUNKEL/KARBUNKEL Definisi



: Merupakan peradangan pada folikel rambut dan jaringan sekitarnya.



Etiologi



: Umumnya disebabkan Staphylococcus aureus



Gambaran klinis



: Predileksi: daerah berambut yang sering mengalami gesekan oklusif, berkeringat, misalnya leher, wajah, aksila, dan bokong. Furunkel: Lesi berupa nodus eritematosa, awalnya keras, nyeri tekan, dapat membesar 1-3 cm, setelah beberapa hari terdapat fluktuasi, bila pecah keluar pus. Karbunkel: timbul bila yang terkena beberapa folikel rambut. Karbunkel lebih besar, diameter dapat mencapai 3-10 cm, dasar lebih dalam. Nyeri, sering disertai gejala konstitusi. Pecahnya lebih lambat, sembuh dengan skar 82



Diagnosis Banding



: Akne vulgaris, hidradenitis supuratif, mikosis profunda (sporotrikosis, blastomikosis), skrofuloderma



ERISIPELAS



Definisi



: Merupakan peradangan kulit akut pada lapisan epidermis dan dermis



Etiologi



: Umumnya disebabkan Streptococcus β-haemoliticus group A.



Gambaran klinis



: Inspeksi: lesi eritem cerah, batas tegas, dan edema, dapat ditemukan vesikel atau bula Palpasi: nyeri tekan, panas Dapat disertai gejala konstitusi seperti febris dan malaise Predileksi: kaki, tangan dan wajah



Diagnosis Banding



: urtikaria, furunkulosis, selulitis



SELULITIS



Definisi



: Merupakan peradangan kulit pada epidermis, dermis sampai subkutan



Etiologi



: Umumnya disebabkan Streptococcus β-haemoliticus group A dan Staphylococcus aureus



Gambaran klinis



: Inspeksi: bercak atau infiltrat eritem sampai kehitaman, batas tidak tegas (difus), dan edema, dapat membentuk filstula Palpasi: nyeri tekan, panas. Dapat disertai gejala konstitusi seperti febris dan malaise. Predileksi: kaki, tangan dan wajah



Diagnosis Banding



: erisipelas, mikosis profunda



HIDRADENITIS SUPURATIVA Definisi



: Merupakan peradangan pada kelenjar apokrin dan sekitarnya



Etiologi



: penyebab tersering Staphylococcus aureus



Gambaran klinis



: • Cenderung diderita pada usia akil balik sampai dewasa muda • nodus, abses, fistel, abses atau sinus di daerah lipatan seperti ketiak, inguinal dan perineum • Gejala konstitusi demam dan malese



Diagnosis Banding



:skrofuloderma



PIONIKIA 83



Definisi



: Reaksi inflamasi yang terjadi pada kuku dan daerah sekitarnya



Etiologi



: penyebab tersering Staphylococcus aureus, Streptococus pyogenes, Pseudomonas spesies



Gambaran klinis



:



Diagnosis Banding



• ditandai dengan pembengkakan jaringan di sekitar kuku dengan pembentukan cairan purulen, abses dan nyeri tekan • faktor predisposisi: trauma : paronikia



KUSTA Definisi : Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh basil Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraseluler. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, selanjutnya dapat menyebar ke organ lain, kecuali susunan saraf pusat. Kriteria Diagnostik :  Timbul makula hipopigmentasi atau eritema dengan hipo atau anestesi  Dapat disertai keluhan kelemahan otot dan berkurangnya jumlah keringat  Riwayat kontak dengan penderita  Latar belakang keluarga dengan riwayat tinggal di daerah endemis  Riwayat pengobatan periksa seluruh tubuh dengan pencahayaan yang baik, sebaiknya sinar oblik  Pemeriksaan lesi kulit (lokasi,morfologi)  Pemeriksaan uji sensibilitas (raba, nyeri dan suhu)  Pemeriksaan saraf tepi (pembesaran, konsistensi, nyeri tekan, nyeri spontan) • Diagnosis banding



: Lesi kulit  Makula hipopigmentasi: leukoderma, vitiligo, tinea versikolor, pitiriasis alba, morfea dan parut  Plak eritem: tinea korporis, lupus vulgaris, lupus eritematosus, granuloma anulare, sifilis sekunder, sarkoides, leukimia kutis dan mikosis fungoides  Ulkus: ulkus diabetik, ulkus kalosum, frambusia, penyakit Raynaud & Buerger  Neuropati perifer: neuropati diabetik, amiloides saraf, trauma.



• Pemeriksaan penunjang : Laboratorik



   • Komplikasi



: 



Bakterioskopik: sediaan kerokan jaringan kulit dengan pewarnaan Ziehl Neelsen Biopsi/PA Lain-lain pemeriksaan serologi



Komplikasi imunologis : reaksi reversal, reaksi eritema nodosum leprosum 84







Penatalaksanaan



Komplikasi neurologis : ulkus, claw hand, drop hand, drop foot, kontraktur, mutilasi, absorbsi



: 1. Medikamentosa Pengobatan kusta adalah Multi Drug Treatment (MDT) standar WHO (1997) a. Tipe PB dengan 2-5 lesi • Rifampisin 600 mg setiap bulan • DDS 100 mg/hari Lama pengobatan : diberikan sebanyak 6 dosis yang diselesaikan dalam 6-9 bulan b. Tipe MB • Rifampisin 600 mg setiap bulan • DDS 100 mg/hari • Klofazimin 300 mg setiap bulan, diteruskan 50 mg sehari atau 100 mg selang sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu Lama pengobatan : diberikan sebanyak 12 dosis yang diselesaikan dala 12-18 bulan c. Tipe PB dengan lesi tunggal • Rifampisin 600 mg • Ofloksasin 400 mg • Minosiklin 100 mg Lama pengobatan : diberikan 1 kali sebagai dosis tunggal 2. Rawat Inap • Bila disertai reaksi reversal atau ENL berat • Pasien dengan keadaan umum buruk (ulkus, gangren) • Pasien dengan rencana tindakan operatif 3. Non Medikamentosa • Rehabilitasi medik, karya, sosial • Penyuluhan kepada pasien, keluarga dan masyarakat



REAKSI KUSTA Definisi



: Reaksi Kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik .



Klinis



: Reaksi kusta Identifikasi tipe reaksi (reaksi tipe I atau tipe II serta derajat reaksinya Gejala/tanda Keadaan umum Peradangan di kulit



Reaksi tipe 1 Umumnya baik, demam ringan (subfebris) atau tanpa demam Bercak kulit lama menjadi lebih meradang (merah). Dapat timbul bercak baru



Reaksi tipe 2 Ringan sampai berat disertai kelemahan umum san demam tinggi Timbul nodul kemerahan, lunak& nyeri tekan. Biasanya pada lengan & tungkai.Nodul dapat pecah 85



Neuritis Peradangan pada organ lain



Sering terjadi, berupa nyeri tekan syaraf atau gangguan fungsi syaraf Hampir tidak ada



Waktu timbulnya



Biasanya dalam 6 bulan pertama pengobatan



Tipe kusta



Dapat terjadi pada kusta tipe PB atau MB



(ulserasi) Dapat terjadi Terjadi pada mata,kelenjar getah bening, sendi, ginjal, testis,dll Biasanya setelah mendapatkan pengobatan yang lama, umumnya lebih dari 6 bulan Hanya pada kusta tipe MB



Reaksi hebat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut: • Adanya lagopthalmus baru terjadi dalam 6 bulan terakhir • Adanya nyeri raba saraf tepi • Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan teakhir • Adanya makula pecah atau nodul pecah • Adanya makula aktif (meradang) diatas lokasi saraf tepi Penatalaksanaan



1. Penanganan Reaksi Prinsip pengobatan reaksi ringan - Berobat jalan - Pemberian analgetik/ antipiretik, obat penenang bila perlu - MDT diberikan terus dengan dosis tetap - Menghindari/ menghilangkan faktor pencetus Prinsip pengobatan Reaksi Berat - Imbolisasi orgab tubuh yang terkena neuritis - Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu - Menghindari / menghilangkan faktor pencetus - Memberikan obat anti reaksi : Prednison, Lamprene, Thalidomide (kalau tersedia) - Bila ada indikasi rawat inap penderita dikirim ke rumah sakit 2.Obat anti reaksi terdiri dari: Prednison Cara pemberian 2minggu pertama : 40mg/hari (1xtab) pagi hari sesudah makan minggu kedua : 30mg/hari (1x6tab) pagi hari sesudah makan 2 minggu ketiga : 20mg/hari (1x4tab) pagi hari sesudah makan 2 minggu keempat : 15mg/hari (1x3tab) pg hari sesudah makan 2 minggu kelima: 10mg/hari (1x2tab) pagi hari sesudah makan 2minggu keenam : 5 mg/hari (1x1tab) pagi hari sesudah makan Bila diperlukan dapat digunakan steroid jenis lain dengan dosis yang setra dan penurunan dosis secara bertahap juga. Lamprene Obat yang dipergunnakan untuk penanganan/pengobatan reaksi ENL yang berulang-ulang. Cara pemberian : 3x100mg/hari selama 2 bulan 2x100mg/ hari selama 2 bulam 1x100mg / hari sealam 2 bulan Thalidomide. Bila obat ini tersedia (hanya untuk reaksi tipe2



86



BAGAN ALUR PENATALAKSANAAN PSORIASIS Bercak mati rasa, pembesaran saraf



Tidak ada



Ada



Ragu



Kusta



Tersangka



Jumlah bercak Penebalan saraf & ggn Fungsi, Pem.BTA Bercak ≤ 5 Saraf 1 BTA (-)



Bercak ≥ 5 Saraf >1 BTA (-)



PB



BTA/ Histopatolo gi



Bukan Kusta



Observasi 3-6 bulan Cardinal Sign



Ada



Tidak Ada



Ragu RUJUK Ke konsultan



MB



MDT PB/ MB Bila terdapat Kontraindikasi/ efek samping



Bila terdapat Reaksi



Bila terdapat Relaps



MDT Alternatif



Terapi reaksi



MDT ulang



TUBERKULOSIS KUTIS Definisi



: Infeksi pada kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis (jenis human) atau Mycobacterium atipik



Gejala Klinis



: Gambaran klinis yang paling sering terjadi Skrofuloderma Merupakan infeksi M. tuberkulosis pada kulit akibat penjalaran langsung organ di bawah kulit yang telah terkena tuberkulosis, tersering berasal dari KGB, tonsil atau paru. • Predileksi adalah tempat yang banyak kelenjar getah bening leher, ketiak, paling jarang lipat paha, kadang ketiganya diserang sekaligus. • Mulai sebagai limfadenitis, mula-mula beberapa kelenjar, kemudian makin banyak dan berkonfluensi. • Terdapat periadenitis, menyebabkan perlekatan dengan jaringan sekitarnya. • Kelenjar mengalami perlunakan tidak serentak sehingga konsistensi bermacam-macam: kerasm kenyal, lunak (abses dingin) • Abses akan memecah membentuk fistel yang kemudian menjadi ulkus khas: bentuk memanjang dan tidak teratur, sekitarnya livid, dinding 87



bergaung, jaringan granulasi tertutup pus seropurulen atau kaseosa yang mengandung M. tuberkulosis. • Ulkus dapat sembih spontan menjadi sikatriks/parut memanjang dan tidak teratur (cord like cicatrices), dapat ditemukan jembatan kulit (skin bridge) di atas sikatrik. Tuberkulosis kutis verukosa Merupakan kelainan reinfeksi M. tuberkulosis, terjadi inokulasi langsung ke kulit. • Tempat predileksi: tungkai bawah dan kaki, bokong, tempat yang sering terkena trauma. • Lesi biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran serpiginosa. • Terdiri atas papul berukuran lentikular di atas kulit eritematosa. Pada bagian yang cekung terdapat sikatriks. Lupus vulgaris Merupakan infeksi apda kulit yang disebabkan oleh M. tuberkulosis yang disebrkan secara hematogen atau limfogen dari focus tuberkulosis ekstrakutan (endogen maupun eksogen). • Tempat predileksi: muka, badan, ekstremitas, bokong • Kelompok nodus merah yang berubah warna menjdai kuning pada penekanan (apple jelly colour) • Bila nodus berkonfluensi terbentuk plak, bersifat destruktif, sering terjadi ulkus. • Pada involusi terjadi sikatriks. Tuberkulosis kutis orifisialis Merupakan inokulasi primer M. tuberkulosis yang terjadi secara autoinokulasi pada periorifisal dan membrane mukosa. • Terjadi pada pasien dengan tuberkulosis organ dalam • Predileksi sekitar mulut, orifisium uretra eksternum, perianal. • Lesi berupa ulkus hemoragik, purulen, dinding menggaung. • Prognosis buruk Diagnosis banding



: Lupus vulgaris : DLE, kusta, sarkoidosis Tuberkulosis kutis verukosa: Kromomikosis, veruka vulgaris, blastomikosis Skrofuloderma : Hidradenitis supurativa, limfogranuloma venereum Tuberkulosis kutis orifisialis : KSS, Stomatitis aphtosa



Pemeriksaan Penunjang



: Prinsip: 1. Pemeriksaan darah tepi dan LED 2. Tes tuberculin : PPD-5TU hasil postif > 10 mm 3. Pemeriksaan bekteriologik: sediaan apus ditemukan basil tahan asam (hasil lebih kurang delapan minggu). 4. Pemeriksaan histopatologik Skrofuloderma • Pengecatan Ziehl Neelsen dari pus: tampak BTA • Kultur dan PCR untuk identifikasi M. tuberkulosis 88



• Histopatologis bagian tengah lesi tampak massif nekrosis dan pembentukan abses/tepi abses/ dermis terdiri atas granuloma tuberkuloid Tuberkulosis kutis verukosa • Tes tuberculin, kulutur, atau PCR untuk identifikasi M. tuberkulosis • Histopatologis: hyperplasia pseudoepiteliomatosa, dengan infiltrate inflamasi neutrofil dan limfosit. Veruka vulgaris • Diaskopi: apple jelly • Tes tuberculin, kulutur, atau PCR untuk identifikasi M. tuberkulosis • Histopatologis: granuloma tuberkel denga sel epiteloid, sel raksasa Langhans, dan infiltrat mononuklear Tuberkulosis kutis orifisialis • Tes tuberkulin positif kuat • Histopatologis: bakteri tahan asamm banyak ditemukan pada tuberkel maupun dinding ulkus



Penatalaksanaan



: Medikamentosa 1. Topikal Pada bentuk ulkus kompres kalium permanganas 1/5000 2. Sistemik Tahap intensif (dua bulan) • INH dewasa: 5 mg/kgBB/hari, oral dosis tunggal • Rifampisin 10 mg/ kgBB/hari, oral, dosis tunggal pada saat lambung kosong (sebelum makan pagi) • Etambutol :15-25 mg/ kgBB/hari, oral, dosis tunggal • Pirazinamid: 20-30 mg/ kgBB/hari, oral, dosis terbagi Tindak lanjut (empat bulan berikut) o INH dewasa 5 mg/kgBB/hari anak 10 mg/kgBB/hari , oral dosis tunggal o Rifampisin 10 mg/ kgBB/hari, oral, dosis tunggal pada saat lambung kosong Kriteria penyembuhan Skrofuloderma • Fistel dan ulkus menutup • Kelenjar getah bening mengecil, berdiameter kurang dari 1 cm, dan konsistensi keras • Sikatriks eritematosa menjadi tidak merah lagi • Laju endap darah menurun dan normal kembali Tuberkulosis kutis verukosa • Tidak dijumpai lesi serpiginosa 89



• Dijumpai sikatriks tidak eritematosa • Laju endap darah menurun dan normal kembali Kepustakaan



: 1. Tappeiner G. Tuberculosis and Infections with Atypical Mycobacteria. In



: Wolf K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.7th ed. New York:Mc.Graw Hill Company; 2008.p. 1768-78



BAGAN ALUR Observasi tuberkulosis kutis



Pemeriksa an Penunjang (biopsi kulit)



Tidak



Ya



Rontgen paru 90



Negatif



Positif



Terapi Sesuai TB kulit



Terapi Sesuai TB kulit



PENYAKIT KULIT KARENA VIRUS VARISELA Definisi



Kriteria diagnostik Klinis



Infeksi akut oleh virus varisea-zoster yang menyerang kulit dan mukosa. kilnis terdapat geja’a konstitusi, kelainan kulit polimorfi terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Kelainan pada kulit dan mukosa yang disebabkan oteh infeksi primer virus varisela-zoster dengan karakateristik demarn, malese, dan vesikel yang tersebar generalisata : o Demam, nyeri kepala, dan lesu, sebelum timbul ruam kulit. o Lesi berupa makuta eritematosa yang dapat berubab menjadi vesikel “dewdrop on rose petal appearance” o Dalam beberapa jam sampal 1-2 hari lesi membentuk krusta dan mulai menyembuh. o Lesi biasanya mulai dan kepata atau badan berupa makuta eritematosa yang cepat berubah menjadi vesikel. o Lesi meniyebar sentrifugal (dan sentrat ke penifer) sehingga dapat ditemukan lesi barn di ekstremitãs, sedangkan di badan lesi sudah berkrusta. o Jumlah lesi bervariasi, mulai dan beberapa sampai ratusan. Umumnya pada anak-anak tesi lebih sedikit, biasanya lebih banyak pada bayi (usia Bayi/anak : 4 x 20-40 mg/kg (rnaks. 800 mglhr) selama 5-7 hari -> Dewasa: 5 x 800 mg/han selama 5-7 hari > Valasikiovir, untuk dewasa 3 x 1 gr/hari selama 7 hari • Simtomatik Antipiretik: diberikan bila demam, hindari salisitat karena dapat menimbulkan sindrom Reye Antipruritus : antihistamin yang rnempunyai efek sedatif atau non sedatif



Kepustakaan



1. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and Herpes Zooster. Dalam : Wolf K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.Edisi 7. New York:Mc.Graw Hill 92



Company; 2008.p. 1885-98 2. KSHI. Penatalaksanaan kelompok penyakit Herpes di Indonesia. Edisi revisi Jakarta: 2002. BAGAN ALUR



HERPES ZOSTER Definisi



Kriteria diagnostic Klinis



Herpes zoster (HZ) adalah penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela-zoster yang terjadi setelah infeksi primer. o o



o



o



o



Masa tunas 7-12 hari, lesi baru tetap timbul selama ± 1 minggu, masa resolusi berlangsung 1-2 minggu Gejala prodromal: Sistemik demam, pusing, malese Lokal: nyeri otot-tulang, gatal, pegal, dsb Timbul eritema yang segera menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit eritematosa dan edema. Vesike berisi jernih, kemudian menjadi keruh, dapat merijadi pustule dan krusta dengan lokasi unilateral dan bersifat dermatomal sesuai tempat persarafan Bentuk khusus: Herpes zoster oltalmikus: timbul kelainan pada mata dan di daerah persarafan cabang kesatu nervus trigeminus Sindrom Ramsay-Hunt: timbul gejala paralisis otot muka 93



(paralisis Bell), kelainan kulit, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea, juga gangguan pengecapan Neuralgia pasca herpes: Nyeri menetap di dermatom yang terkena setelah erupsi HZ menghilang Batasan waktunya adalah nyeri yang rnasih timbul 3 bulan setelah erupsi kulit menyembuh. Umumnya nyeri akan berkurang dan spontan menghilang setelah 1-6 bulan. Diagnosis banding



1. lnfeksi virus herpes simpleks 2. Bila terdapat di daerah setinggi jantung, dapat diagnosis dengan angina pekioris pada fase prodrornal 3. Dermatitis venenata



Pemeriksaan penunjang



Pemeriksaan laboratorik Tzanck dengan pewarnaan Giemsa



Penatalaksanaan



Medikamentosa: 1. Topikal: • Stadium vesikular: bedak salisil 2% atau bedak kocok kalamin untuk mencegah vesikel pecah Bila vesikel pecah dan basah dapat diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseplik • Jika agak basah atau berkrusta dapat diberikan antibiotik untuk mencegah iafeksi sekunder 2. Sistemik: • Usia 50tahun Perjalanan penyakit seringkali berat Terapi simtomatik asiklovir oral 5 x 800 mg/han selarna 7 — 10 hari, atau valasiklovir 3 x 1000 mg/hari atau famsiklovir 3 x 500 mg/hari bila lesi luas diberikan asikiovir intravena 3 x 10 mg/kgBB/hari selama 5 hari • Herpes zoster oftalmikus Asikiovir / valasikiovir sampai 10 hari pada semua pasien Rujuk ke dokter mata • Herpes zoster otikus dengan paresis nervus fasialis Asiklovir/valasiklovir oral 7-14 hari dan kortikosteroid 40-60 mg/hari selama 1 minggu pada semua pasien  Rujuk THT • Kemungkinan terjadi neuralgia pasca Herpes zoster Selain diberi asikiovir pada fase akut, dapat diberikan antidepresan trisikhk (amitriptilin 10— 75 mg/han) sampai 3 -6 bulan setelah rasa sakit berkurang atau Gababentin 300 mg- doselhani 4-6 minggu, atau Pregabalin 50-70 mg - doselhani 2-4 minggu 94



Kepustakaan



1. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and Herpes Zooster. Dalam : Wolf K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.Edisi 7. New York:Mc.Graw Hill Company; 2008.p. 1885-98



BAGAN ALUR



MOLUSKUM KONTAGIOSUM Definisi Moluskum kontagiosum (MK) ialah penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Poxvirus. Kriteria diagnostik Klinis



o Terutama menyerang anak dan kadang juga orang dewasa sebagai infeksi menular seksual o Masa inkubasi berlangsung satu sampai beberapa minggu. o Tidak ada keluhan. o Kelainan kulit berupa papul khas berbentuk kubah miliar, di tengahnya terdapat delle. Jika dipijat akan tampak keluar massa berwarna putih seperti riasi yang merupakan badan moluskum. Kadang berbentuk lentikular dan berwarna putih seperti lilin o Dapat terjadi infeksi sekunder sehingga timbul supurasi o Lokasi: muka. badan, dan ekstremitas.



Diagnosis banding



Veruka, granuloma piogenik. melanoma amelanotik, karsinoma set basal, varisela, epitelioma, papiloma. Pada pasien imunokompromais perlu dipikirkan inIeksi jamur yaitu kriptokokosis, histoplasmosis, dan penisilosis



Pemeriksaan penunjang



Biasanya tidak diperlukan. Pemeriksaan Giemsa terhadap bahan massa putih dan bagian tengah papul menunjukkan badan inklusi moluskum di dalam 95



sitoplasma. Pemenksaan histopatologik dilakukan apabila gambaran tesi tidak khas MK. Tampak gambaran epidermis hipertrofi dan hyperplasia. Di atas lapisan sel basal didapatkan sel membesar yang mengandung partikel virus disebut badan moluskum atau Henderson-Paterson bodies Penatalaksanaan



Nonmedikamentosa: Penjelasan/penyuluhan pada orangtua pasien: • Tanpa pengobatan, MK dapat sembuh sendin dalam beberapa bulan/tahun. Tetapi dalam kurun waktu tersebut dapat meluas ke seluruh tubuh dan menularkan ke orang lain, timbul infeksi sekunder, serta menimbulkan gangguan kosmetis. • Moluskum dapat diobati dengan obat topikal. tetapi memerlukan ketekunan dan kesabaran serta memakan waktu lama. Medikamentosa: 1. Tindakan bedah kuretase/enukleasi: • Lesi kulit dibersihkan dengari alkohol 70% • Bila perlu diberi anestesi krim EMLA 5% dioleskan pada tiap lesi, tutup plester dan dibiarkan 1-2 jam •



• •



Dengan memakai pinset mata, lesi motuskum dijepit agar isi keluar, atau dengan ujung skalpe no 11 untuk membuka papul dan mengeluarkan isi papul Luka diolesi dengan salep antibiotik Tindakan terapi beku/nitrogen cair diulang dengan interval 3 minggu



2. Terapi topikal: • Kantaridin (0,7% atau 0,9%) dioleskan pada lesi dan dibiarkan selama 3-4 jam, setelah itu dicuci. Dalam 1-2 hail tirnbut lepuh yang akan pecah menimbulkan erosilekskoriasi. Dapat diberikan salap antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat dilakukan sebulan sekali sampai tidak ada lesi lagi. • Podofilin (10%-25% dalam bentuk resin) atau (0,3% atau 0,5% dalam bentuk krim). Dioleskan pada tiap lesi seminggu sekali • Krim imikuimod 5% 3-5 kali/minggu • Gel retinoid 0,1% • Pasta perak nitrat • Asam trikoloroasetat (25% - 35%) • Sidovovir topikal (gel 1%, 3% atau krim 1%, 3%) • Kalium hidroksida (10%) 2 kali/hari selama 30 hari atau sampai terjadi inflamasi dan ulserasi di permukaan papul • Campuran asam salisilat dan asam laktat topikal • Krim adapaten 1% selama 1 bulan 3. Terapi Sistemik: Simetidin 20-40 mg/kg/han terbagi dalam 3 dosis dengan dosis maksimal 800 mg 3x/hari Terapi sistemik yang hanya diberikan untuk pasien imunokompromais: . - sidovovir oral - interferon-a sub kutan. 96



Kepustakaan



1. Torn W. Friedlander SF. Poxvirus Infections. Dalam : Wolf K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.Edisi 7. New York:Mc.Graw Hill Company; 2008.hal. 1899-13 2. Bron J, Jarilger CK, Scwartz RA, Silvei-berg NB. Childhood colluscum contagiosum. Review. InL J. Dermatol 2006;45:93-99 3. 5. Benton EC. Human papillornavirus infection and moltuscum contagiosum. Dalam: Harper J, Oranje A, prose N, editor. Textbook of pediatric dermatology. Edisi ke-1. Blackwell science, 2000.



BAGAN ALUR



VERUKA VULGARIS Definisi Kriteria diagnostik Klinis



Hiperplasi epidermis disebabkan oleh human papilloma virus (HPV) tipe 1, 2, 4, 7 (jarang tipe 26-29) o Terutama menyerang anak dan kadang juga orang dewasa o Lokasi lesi dapat di seluruh tubuh, terutama jari tangan dan



permukaan dorsal tangan, atau daerah yang mudah kena trauma seperti pada siku dan lutut. o Dapat terjadi autoinokulasi akibat garukan memberi gambaran lesi warts linier. o Dapat ditemukan fenomena Koebner. Diagnosis banding



granuloma piogenik, karsinoma set basal, papiloma.



Pemeriksaan penunjang



Biasanya tidak diperlukan. Bila gambaran klinis tidak jelas dapat dilakukan gambaran histopatologik 97



Penatalaksanaan



Nonmedikamentosa: Penjelasan/penyuluhan pada orangtua pasien: o Veruka vulgaris pada anak dapat regresi spontan dalam waktu dua tahun, kadang-kadang tidak membutuhkan pengobatan Veruka vulgaris dapat diobati dengan obat topikal. tetapi memerlukan ketekunan dan kesabaran serta memakan waktu lama.



o



Kepustakaan



Medikamentosa. Terapi topikal dan bedah: • Kantaridin (0,7% atau 0,9%) dioleskan pada lesi dan dibiarkan selama 3-4 jam, setelah itu dicuci. Dalam 1-2 hail tirnbut lepuh yang akan pecah menimbulkan erosilekskoriasi. Dapat diberikan salap antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat dilakukan sebulan sekali sampai tidak ada lesi lagi. • Podofilin (10%-25% dalam bentuk resin) atau (0,3% atau 0,5% dalam bentuk krim). Dioleskan pada tiap lesi seminggu sekali • Krim imikuimod 5% 3-5 kali/minggu • asam perak nitrat • Asam trikoloroasetat (25% - 35%) • Campuran asam salisilat dan asam laktat topikal • Bedah beku • Bedah skalpel • Bedah listrik • Bedah laser (rujuk) Terapi Sistemik: - Simetidin 20-40 mg/kg/han terbagi dalam 3 dosis dengan dosis maksimal 800 mg 3x/hari Terapi sistemik yang hanya diberikan untuk pasien imunokompromais: . - Zing sulfat 10mg/kg maksimal 600mg/hari 1. Androphy EJ. Lowy DR. Warts. Dalam : Wolf K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.Edisi 7. New York:Mc.Graw Hill Company; 2008.hal. 1914- 22



DERMATOSIS ERITROSKUAMOSA DERMATITIS SEBOROIK I.



Definisi



: Dermatitis seboroik (DS) ialah penyakit kulit yang didasari oleh faktor konstitusi dengan predileksi di daerah seboroik.



II.



Kriteria diagnostik



:



• Klinis



: • Riwayat perjalanan penyakit : dapat dimulai pada masa 98



bayi berusia 2 minggu, menyembuh sebelum usia 1 tahun. Kelainan umum berupa eritema dan papuloskuama, membentuk plakat eritroskuamosa di tempat predileksi (daerah sebore), yaitu wajah terutama di alis dan nasolabial, scalp, retroaurikular, sternal terutama daerah V, interskapula, aksila, umbilikus dan genitor-krural. • Pada bayi dan anak : relatif tidak gatal, dapat menyerupai dermatitis atopik atau dianggap sebagai awal dermatitis atopik (sebo-atopik), skuama dan krusta lebih berminyak (oleosa). Di scalp krusta dapat menebal dan menyerupai topi (cradle cap). Bila meluas dapat menjadi eritroderma, dapat merupakan bagian dari sindrom Leiner bila disertai anemia, diare dan muntah, serta infeksi sekunder bakteri. • Pada dewasa : kelainan kulit lebih kering, tempat predileksi terutama daerah berambut atau kepala (pitiriasis sika/dandruff). Gatal terutama bila berkeringat atau udara panas. • DS yang berat : kronik residif, meluas sehingga menjadi eritroderma, atau bentuk psoriasiformis (skuama yang tebal).



• Diagnosis banding



: • Pada pasien defisiensi imun pertimbangkan kemungkinan pengidap virus HIV/AIDS. 1. Pada bayi : dermatitis atopik, penyakit Letterer-Siwe 2. Pada dewasa : psoriasis 3. Di lipatan : dermatitis intertriginosa, kandidosis kutis.



• Pemeriksaan penunjang III. Penatalaksanaan



: Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk diagnosis.



: Nonmedikamentosa : • Hindari faktor pencetus dan faktor yang memperberat. • Perbaiki pola hidup, terutama makanan berlemak/pedas, hidup seimbang. Medikamentosa : • Prinsip : Menghilangkan dan membersihkan skuama dan krusta, menghambat kolonisasi jamur, mengontrol infeksi sekunder, mengurangi eritema dan gatal. • Topikal : Bayi : - Skalp untuk mengangkat krusta : asam salisilat 3% dalam minyak olive/kelapa atau vehikulum yang larut dalam air, kompres minyak olive/kelapa hangat; aplikasi steroid potensi lemah (hidrokortison 1%) krim atau lotion selama beberapa hari, sampo imidazol; sampo bayi; perawatan kulit umum dengan emolien, krim, atau pasta lunak. Daerah intertriginosa : kliokuinol 0,2 – 0,5% dalam 99



lotion atau minyak seng. Untuk kandidiasis, krim nistatin diikuti pasta lunak. Dermatitis basah : aplikasi gentian violet, 0,1 – 0,25% atau ketokonazol 2% krim, lotion atau pasta lunak. Dewasa : Skalp : Sampo selenium sulfide 1,0 – 2,5%, imidazol (kelokonazol 2%), zinc pyrithione, benzoil peroksida, asam salisilat, tar. Krusta atau skuama : aplikasi semalaman glukokortikoid atau asam salisilat dalam vehikulum yang larut dalam air, atau secara oklusif. • Wajah dan badan Hidrokortison 1% salap atau krim. • Dermatitis seboroik berat atau eritroderma : Kortikosteroid sistemik Pilihan terapi : • Antijamur : Topikal : imidazol. (ketokonazol 2%, itrakonazol, mikonazol, flukonazol, ekonazol, bifonazol, klimbazol, siklopiroks, siklopioksolamin, butenafin 1% krim. Oral : ketokonazol, itrakonazol, terbinafin Metronidazol : Topikal : metronidazol 1-2% (gel, krim), 0,75% (lotion), 1 atau 2 kali/hari • Inhibitor kalsineurin : Salap takrolimus atau krim pimekrolimus • Analog vitamin D3 : Kalsipotriol (krim, lotion, salap), takalsitol salap • Isotretinoin : Isotretinoin oral 0,05 – 0,10 mg/kg BB/hari selama beberapa bulan. Untuk yang berat/rekalsitran. • Fototerapi : Narrow-band UVB Psoralen dan UVA untuk yang luas (eritroderma) dan rekalsitran • Konsultasi : Bila ada stress ke psikolog atau psikiater. Bila ada kelainan sistemik ke dokter spesialis anak atau penyakit dalam. Tindak lanjut : Bila menjadi eritroderma atau bagian dari penyakit Leiner : perlu DIRUJUK ke Spesialis Kulit dan Kelamin



IV.



Bagan Alur



Riwayat bintik dan bercak kemerahan bersisik di daerah sebore



Gambaran klinis Papul-plak eritroskuamosa, krusta



100



Bayi



Skalp • Krim hidrokortis on 1% • Sampo ringan untuk bayi • Sampo anti jamur • Emolien • Asam salisilat 3% dalam minyak olive/kelap a



Dewasa



Intertriginosa • Minyak seng • Kliokuinol lotion/min yak 0,20,5% • Candida : Nystatin



Skalp : • Selenium sulfide 12,5% • Ketokonazol 2% sampo • Sampo seng pyrition • Benzoit peroksida • Asam salisilat • Coal tar



Wajah dan badan • Krim kortikostero id potensi lemah (hidrokarbo n 1%)



Kanalis otikus eksterna • Krim kortikosteroi d potensi lemah • Krim pimekrofern us untuk maintenance • Alumunium asetat solution 1-2z/hari



Seluruh tubuh (eritroderma) Sistemik : • Kortikosteroid • Antibiotik Topikal : • Kortikosteroid potensi lemah • Emolien



PALMOPLANTAR PUSTULOSIS I.



Definisi



: Palmoplantar pustulosis (PPP) adalah dermatosis pustular kronik yang terbatas hanya pada telapak tangan dan kaki.



II.



Kriteria diagnostik



: : • Lesi primer berupa pustul yang memiliki ukuran hampir sama dengan diameter sekitar 2 -4 mm, biasanya simetris. • Pustul kemudian berubah warna dari kuning menjadi cokelat tua, yang merupakan PPP yang tidak diobati, lesinya menunjukkan berbagai warna. Pustul kering terjadi kira-kira 8 sampai 10 hari. • Tidak terdapat gejala lain selain gatal atau rasa terbakar, dimana dapat menimbulkan lesi baru. : • Pada erupsi yang berat, nyeri dan



• Klinis



101



ketidakmampuan berdiri, berjalan atau melakukan pekerjaan sendiri menyebabkan penurunan kualitas hidup. • Saat terjadi remisi, beberapa pustul terbentuk, tapi kulit masih tetap eritem dan hiperkeratosis, menyerupai ekzema. Remisi terakhir dalam beberapa hari, minggu, atau bulan sampai terjadi pustulasi kembali.



• Diagnosis banding : • Pemeriksaan penunjang



1. Dermatitis dishidrotik dengan infeksi sekunder 2. Tinea pedis et manus dengan pustul 3. Skabies terinfeksi dengan pustulosis Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk diagnosis. III.



Penatalaksanaan



:



Nonmedikamentosa : • Berhenti merokok • Pasien dengan intoleransi gluten: diet bebas gluten Medikamentosa : Topikal : - Kortikosteroid poten dan superpoten. - Calcipotriol - Anthralin - Tazarotene Sistemik : - Acitretin: 0,5 mg/kgBB/hari - Metotreksat : 10 – 25 mg/minggu - Siklosporin: 3 – 5 mg/kg BB - Efalizumab: 1mg/kg BB/minggu



IV.



Bagan Alur Gatal, riwayat bercak dan bintik-bintik (scalp/leher (tengkuk) ekstremitas (ekstensor) pergelangan tangan/enogenital Papul-papul eritematosa, makula, edema



Antihistamin sedatif/nonsedatif Steroid topikal potensi sesuai derajat inflamasi



Sembuh



Stress psikis



Kambuh/kumat-kumatan



Kulit menebal, hiperpigmentasi , skuama



102



• Steroid topikal, biasanya



• Antidepresan trisiklik (doksepin) malam hari • Konsultasi psikiater bila diperlukan



potensi kuat, bila perlu diberi penutup impermeable, dapat dikombinasi dengan preparat tar/emolien. • KS intralesi (triamsinolon asetonid). • Antihistamin sedatif (hidroksizin)



PSORIASIS I.



Definisi



: Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit yang kronik residif ditandai oleh plak eritematosa, di atasnya terdapat skuama kasar, transparan, berlapis-lapis, disertai adanya fenomena tetsan llin, Auspitz, dan Koebner. Psoriasis dapat timbul pada semua usia, tetapi jarang pada usia kurang dari 10 tahun, sering muncul antara usia 15 dan 30 tahun.



II.



Kriteria diagnostik



:



• Klinis Tanda dan gejala



: Psoriasis tipe plak • Bentuk psoriasis yang paling banyak. • Plak eritematosa berbatas tegas dengan skuama berwarna keperakan adalah karakteristik tetapi tidak harus ada. • Daerah yang terkena biasanya : Siku, lutut, kepala, celah intergluteal, palmar dan plantar. Kadang-kadang genitalia juga terkena. Psoriasis guttata • Onset mendadak dan biasanya terjadi setelah infeksi streptokokal pada saluran pernafasan atas. • Bentuk seperti tetesan air, plak merah muda dengan skuama. • Biasanya ditemukan pada badan dan ekstremitas. Psoriasis pustulosis generalisata dan lokalisata Generalisata : • Juga disebut psoriasis von Zumbusch • Secara khas ditandai oleh pustul steril yang mengenai sebagian besar area tubuh dan esktremitas. • Pada kasus yang berat pustul dapat bergabung dan membentuk kumpulan pus (lake of pustules) : • Fungsi perlindungan kulit hilang dan pasien rentan 103



terhadap infeksi, hilangnya cairan dan nutrien. • Sering disertai dengan gejala sistemik misal demam dan malaise. • Dapat membahayakan kehidupan. Lokalisata • Pustul terlokalisasi pada palmar dan plantar. • Pustul dapat terletak di atas plak. • Sangat mengganggu karena kesulitan menggunakan tangan atau kaki. Psoriasis eritroderma • Generalisata, berat, eritema yang luas dengan skuama yang dapat mengenai sampai 100% luas permukaan tubuh. • Fungsi perlindungan kulit hilang dan pasien rentan terhadap infeksi, temperatur tubuh yang tak dapat terkontrol, hilangnya cairan dan nutrien. • Sering disertai dengan gejala sistemik yaitu demam dan malaise • Dapat membahayakan kehidupan. Diagnosis



Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Riwayat • Usia awitan bimodal : 16-22 tahun dan 57-60 tahun. • Infeksi, terutama streptokokus dapat memicu atau mengeksaserbasi penyakit. • Obat (misal litium, antimalaria, alkohol, β-bloker) dapat memicu penyakit. • Riwayat pengobatan dan pembedahan. • Review riwayat keluarga, sosial, dan gejala. Pemeriksaan fisik • Diagnosis biasanya dapat dibuat dari penampilan klinis berupa plak. • Inspeksi semua area tubuh terutama permukaan ekstensor, badan, perineum, kepala, kuku, sendi, serta daerah prominen lain. Tes diagnostik • Mungkin diperlukan untuk penyakit yang sulit atau atipik. • Tidak ada petanda serologis atau tes laboratorium yang patognomonik untuk psoriasis. • Biopsi kulit, studi serologis sifilis, kultur bakteri, HLA typing, pemeriksaan mikdspkopis (KOH), dsb dapat digunakan untuk membedakan psoriasis dari penyakit yang lain.



• Diagnosis banding



:



• Pemeriksaan penunjang



1. Sifilis psoriasiformis 2. Dermatitis seboroik 3. Parapsoriasis - Bila sangat perlu biopsi kulit 104



- Pemeriksaan ASTO - Pemeriksaan faktor rheumatoid - Foto rontgen tulang sendi. III. Penatalaksanaan - Topikal : preparat ter, antralin, kortikosteroid, kalsipotriol, PUVA. - Sistemik: metotreksat, retinoid, siklosporin. - RUJUK ke Spesialis Kulit dan Kelamin. PITIRIASIS ROSEA Definisi : Pitiriasis rosea adalah erupsi kulit yang akut dan sering dijumpai, bersifat swasirna, secara khas dimulai dengan plak oval berskuama halus pada badan (herald patch) dan tanpa diserrtai gejala. Lesi awal ini beberapa hari sampai beberapa minggu kemudian diikuti oleh lesi-lesi serupa yang lebih kecil di badan yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit (lines of cleavage).



I.



Kriteria Diagnostik



: o



o



o



Klinis : Dapat diawali dengan lesi pertama (herald patch) pada 50-90% kasus. Lesi ini berbatas tegas, diameter 2-4 cm, bentuk oval atau bulat, berwarna salmon/eritematosa atau hiperpigmentasi (terutama pada pasien dengan kulit gelap); dengan skuama halus di bagian dalam tepi perifer plak. Lesi primer ini biasanya terletak di bagian badan yang tertutup baju, tetapi kadang di leher atau ekstremitas proksimal. Jarang di wajah atau penis. Timbulnya lesi sekunder bervariasi antara 2 hari sampai 2 bulan setelah lesi awal, tetapi umumnya dalam 2 minggu setelah plak primer. Erupsi simetris terutama pada badan, leher, ekstremitas proksimal. Terdapat 2 tipe utama lesi sekunder: (1) plak kecil menyerupai plak primer tetapi berukuran kecil, sejajar dengan aksis panjang lines of cleavage dengan distribusi seperti pola pohon cemara dan (2) papul kecil, kemerahan, biasanya tanpa skuama, yang secara bertahap bertambah jumlahnya dan menyebar ke perifer. Kedua tipe lesi ini dapat terjadi bersamaan. Morfologi lesi sekunder dapat tidak khas, berupa makula tanpa skuama, papul folikuler, plak menyerupai psoriasis, maupun plak tidak khas. Daerah palmar dan plantar dapat terkena dengan gambaran klinis menyerupai erupsi eksematosa. Pitiriasis rosea tipe vesikular jarang dijumpai, biasanya pada anak dan dewasa muda. Dapat pula dijumpai varian pitiriasis rosea bentuk urtikaria, pustular, purpurik, atau menyerupai eritema multiformis.







Diagnosis banding: o Pitiriasis rosea tipe papular tanpa plak primer menyerupai sifilis sekunder. o Pitiriasis rosea yang hanya berupa plak primer atau bila letaknya di daerah inguinal dapat menyerupai tinea korporis.







Pemeriksaan penunjang: tidak diperlukan



Penatalaksanaan



: o o



Pitiriasis rosea adalah penyakit yang swasirna, tidak diperlukan terapi bila tanpa komplikasi. Kortikosteroid topikal potensi sedang dapat digunakan sebagai terapi simtomatik untuk pruritus. 105



Fototerapi efektif pada pitiriasis rosea, namun dapat terjadi hiperpigmentasi paska inflamasi.



o ERITRODERMA I. Definisi:



Eritroderma ialah kelainan kulit yang ditandai oleh eritema diseluruh tubuh atau hampir seluruh tubuh disertai skuama. Eritroderma bukan suatu entitas penyakit, tetapi merupakan presentasi klinis berbagai penyakit, sehingga untuk menentukan penatalaksanaan dengan tepat perlu dicari etiopatologinya. Penggolongan eritroderma berdasarkan penyebab dapat dilihat pada tabel 1. Manifestasi sistemik meliputi gangguan termoregulasi, edema perifer, hilangnya cairan, elektrolit dan albumin yang diikuti oleh takikardi dan gagal jantung. 1. Eritroderma akibat reaksi obat: •



perlu anemnesis teliti tentang obat yang dicurigai







biasanya akan membaik dalam waktu 2-6 minggu setelah obat yang dicurigai dihentikan



2. Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit: II Kriteria Diagnostik:







hampir selalu terdapat kelainan yang khas untuk penyakit kulit yang mendasarinya (misal plak psoriasis pada eritroderma psoriatika; gatal



• Klinis:



yang sangat, ekskoriasi, likhenifikasi, pada eritroderma karena dermatitis atopik) 3. Eritroderma akibat penyakit sistemik, termasuk keganasan : •



dapat dijumpai limfadenopati generalisata atau pembesaran organ dalam







dapat dijumpai tanda keganasan yang lain seperti lemah (fatique), cachexia



4. Eritroderma idiopatik •



tidak ditemukan penyebab spesifik (ditemukan pada 25% kasus)







biasanya pada laki-laki tua dengan pruritic erytroderma yang kronis kambuh-kambuhan disertai dengan limfadenopati dan keratoderma palmoplantar luas.



Eritroderma karena penyebab lain (misalnya AIDS, graft vs host disease) • Pemeriksaan darah lengkap • Pemeriksaan urine lengkap • Pemeriksaan gula darah • Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal • Diagnosis banding:



• Pemeriksaan foto torak



106



Nonmedikamentosa • Tirah baring sesuai indikasi • Diet tinggi kalori tinggi protein • Pemeriksaan penunjang: III Penatalaksanaan:



• Koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit • Cegah hipotermia • Terapi terhadap infeksi sekunder • Stop obat yang dicurigai apabila kemungkinan diagnosis adalah eritroderma karena reaksi obat Medikamentosa



III Kepustakaan



1. Topikal Emolien atau salap kortikosteroid potensi rendah (kortikosteroid topikal potensi tinggi harus dihindari karena terdapat peningkatan absorpsi transkutan) 2. Sistemik : - Kortikosteroid oral : o Bila penyebabnya reaksi obat atau eritroderma idiopatik : prednison dosis awal 1-3mg/kg BB/hari, dan dosis pemeliharaan 0,5 mg/kgBB/hari atau kurang - Antihistamin oral o Antihistamin oral bisa diberikan pada eritroderma idiopatik 1. Sterry W, Marcus Muche J. Erythroderma. Dalam: Dermatology. 2003. Editor: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP. Mosby: London. p. 165-74. 2. Sehgal VN, Srivastava G, Sardana K. Erythroderma/exfoliative



dermatitis: A synopsis. Int J Dermatol 2004; 43:39-7. ILMU KESEHATAN THT



MATERI MODUL BLOK THT I. ANATOMI TELINGA DAN FISIOLOGI PENDENGARAN Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan tinggi karena kompresi (pemampatan) molekul-molekul udara yang berselang seling dengan daerah-daerah bertekanan rendah akibat penjarangan molekul tersebut. Pendengaran seperti halnya indra somatik lain merupakan indra mekanoreseptor. Hal ini karena telinga memberikan respon terhadap getaran mekanik gelombang suara yang terdapat di udara.1 Proses pendengaran dimulai ketika gelombang suara mencapai membran timpani. Gelombang suara yang bertekanan tinggi dan rendah berselang seling menyebabkan gendang telinga yang 107



sangat peka tersebut menekuk keluar-masuk seirama dengan frekuensi gelombang suara. Ketika membran timpani bergetar sebagai respons terhadap gelombang suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak dengan frekuensi sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dari membran timpani ke jendela oval. Tulang stapes yang bergetar masuk-keluar dari tingkat oval menimbulkan getaran pada perilimfe di skala vestibuli. Oleh karena luas permukaan membran tympani 22 kali lebih besar dari luas tingkap oval, maka terjadi penguatan tekanan gelombang suara15-22 kali pada tingkap oval. Selain karena luas permukaan membran timpani yang jauh lebih besar, efek dari pengungkit tulang-tulang pendengaran juga turut berkontribusi dalam peningkatan tekanan gelombang suara.1,2



Gambar 1. Proses pendengaran1 Pada jalur pertama, gelombang tekanan mendorong perilimfe ke depan di kompartemen atas, kemudian mengelilingi helikoterma, dan ke kompartemen bawah, tempat gelombang tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar untuk mengkompensasi peningkatan tekanan. Ketika stapes bergerak mundur dan menarik jendela oval ke luar, perilimfe mengalir ke arah yang berlawanan mengubah posisi jendela bundar ke arah dalam.1 Pada jalur kedua, gelombang tekanan frekuensi yang berkaitan dengan penerimaan suara mengambil jalan pintas. Gelombang tekanan di kompartemen atas dipindahkan melalui membran vestibularis yang tipis, ke dalam duktus koklearis dan kemudian melalui membran basilaris ke kompartemen bawah, tempat gelombang tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol ke luarmasuk bergantian.1 Membran basilaris yang terletak dekat telinga tengah lebih pendek dan kaku, akan bergetar bila ada getaran dengan nada rendah. Hal ini dapat diibaratkan dengan senar gitar yang pendek dan tegang, akan beresonansi dengan nada tinggi. Getaran yang bernada tinggi pada perilimfe skala vestibuli akan melintasi membran vestibularis yang terletak dekat ke telinga tengah. Sebaliknya nada rendah akan menggetarkan bagian membran basilaris di daerah apeks. Getaran ini kemudian akan turun ke perilimfe skala timpani, kemudian keluar melalui tingkap bulat ke telinga tengah untuk diredam.1,2 Organ Corti yang menumpang pada membrana basilaris juga ikut mempengaruhi fisiologi pendengaran. Sewaktu membran basilaris bergetar, sel-sel rambut juga bergerak naik turun dan rambut-rambut tersebut akan membengkok ke depan dan belakang sewaktu membran basilaris menggeser posisinya terhadap membran tektorial. Perubahan bentuk mekanis rambut yang maju mundur ini menyebabkan saluran-saluran ion gerbang mekanis di sel-sel rambut terbuka dan tertutup secara bergantian. Sehingga terjadi perubahan potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi 108



yang bergantian. Sel-sel rambut berkomunikasi melalui sinaps kimiawi dengan ujung-ujung serat saraf aferen yang membentuk saraf auditorius (koklearis). Depolarisasi sel-sel rambut menyebabkan peningkatan kecepatan pengeluaran zat perantara mereka yang menaikan potensial aksi di serat-serat aferen. Sebaliknya, kecepatan pembentukan potensial aksi berkurang ketika selsel rambut mengeluarkan sedikit zat perantara karena mengalami hiperpolarisasi (sewaktu membrana basilaris bergerak ke bawah). Perubahan potensial berjenjang di reseptor mengakibatkan perubahan kecepatan pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Impuls kemudian dijalarkan melalui saraf otak statoakustikus (saraf pendengaran) ke medulla oblongata kemudian ke colliculus. Persepsi auditif terjadi setelah proses sensori atau sensasi auditif.2 Diperlihatkan bahwa serabut dari ganglion spiralis organ Corti masuk ke nukleus koklearis yang terletak pada bagian atas medulla oblongata. Pada tempat ini semua serabut bersinaps dan neuron tingkat dua berjalan terutama ke sisi yang berlawanan dari batang otak dan berakhir di nukleus olivarius superior. Beberapa serabut tingkat kedua lainnya juga berjalan ke nukleus olivarius superior pada sisi yang sama. Dari nukleus tersebut, berjalan ke atas melalui lemniskus lateralis. Beberapa serabut berakhir di nukleus lemniskus lateralis, tetapi sebagian besar melewati nukleus ini dan berjalan ke kolikulus inferior, tempat semua atau hampir semua serabut pendengaran bersinaps. Dari sini jaras berjalan ke nukleus genikulatum medial, tempat semua serabut bersinaps. Akhirnya, jaras berlanjut melalui radiasio auditorius ke korteks auditorik, yang terutama terletak pada girus superior lobus temporalis.1,2 Beberapa tempat penting harus dicatat dalam hubunganya dengan lintasan pendengaran. Impuls dari masing-masing telinga dihantarkan melalui lintasan pendengaran kedua batang sisi otak hanya dengan sedikit lebih banyak penghantaran pada lintasan kontralateral. Selain itu, banyak serabut kolateral dari traktus audiorius berjalan langsung ke dalam sistem retikularis batang otak sehingga bunyi dapat mengaktifkan keseluruhan otak.1 Setiap daerah di membran basilaris berhubungan dengan daerah tertentu di korteks pendengaran dalam lobus temporalis. Dengan demikian, setiap neuron korteks hanya diaktifkan oleh nada-nada tertentu. Neuron-neuron aferen yang menangkap sinyal auditorius dari sel-sel rambut keluar dari koklea melalui saraf auditorius. Jalur saraf antara organ corti dan korteks pendengaran melibatkan beberapa sinaps dalam perjalanannya, terutama sinaps di batang otak dan nukleus genikulatus medialis talamus. Batang otak menggunakan masukan pendengaran untuk kewaspadaan. Sinyal pendengaran dari kedua telinga disalurkan ke kedua lobus temporalis karena serabut sarafnya bersilangan secara parsial di otak. Karena itu, gangguan di jalur pendengaran pada salah satu sisi melewati batang otak tidak akan mengganggu pendengaran kedua telinga. Korteks pendengaran tersusun atas kolom-kolom. Korteks pendengaran primer mepersepsikan suara diskret sementara korteks pendengaran yang lebih tinggi di sekitarnya mengintegrasi suarasuara yang berbeda menjadi pola yang koheren. Proyeksi lintasan pendengaran korteks serebri menunjukan bahwa korteks pendengaran terletak terutama tidak hanya pada daerah supratemporal girus tempralis superior tetapi juga meluas melewati batas lateral lobus temporalis jauh melewati korteks insula dan sampai ke bagian paling lateral lobus parietalis.1,2 109



II. PEMERIKSAAN PENDENGARAN DENGAN MENGGUNAKAN GARPUTALA Terdapat 3 macam tes pendengaran dengan menggunakan garputala3 1. Test Rinne Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien. Cara melakukan tes Rinne: Garputala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan didepan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya



Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat terjadi baik berasal dari pemeriksa maupun pasien. Kesalah dari pemeriksa misalnya meletakkan garputala tidak tegak lurus, tangkai garputala mengenai rambut pasien dan kaki garputala mengenai aurikulum pasien. Juga bisa karena jaringan lemak planum mastoid pasien tebal. Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan garputala di planum mastoid pasien. Akibatnya getaran kedua kaki garputala sudah berhenti saat kita memindahkan garputala kedepan meatus akustukus eksternus. 2. Test Weber Tujuan kita melakukan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien.



110



Cara kita melakukan tes weber yaitu: membunyikan garputala 512 Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut pasien, telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien mendengar atau mendengar lebih keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau sam-sama mendengaar maka berarti tidak ada lateralisasi. Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh tengkorak, sehingga akan terdengar diseluruh bagian kepala. Pada keadaan ptologis pada MAE atau cavum timpani missal:otitis media purulenta pada telinga kanan. Juga adanya cairan atau pus di dalam cavum timpani ini akan bergetar, biala ada bunyi segala getaran akan didengarkan di sebelah kanan.



3. Test Swabach Tujuan tes ini adalah untuk membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa (normal) dengan penderita Cara kerjanya penguji meletakkan pangkal garputala yang sudah digetarkan pada puncak kepala probandus. Probandus akan mendengar suara garputala itu makin lama makin melemah dan akhirnya tidak mendengar suara garputala lagi. Pada saat garputala tidak mendengar suara garputala, maka penguji akan segera memindahkan garputala itu, ke puncak kepala orang yang diketahui



normal



ketajaman



pendengarannya



(pembanding).



Bagi



pembanding



dua



kemungkinan dapat terjadi : akan mendengar suara, atau tidak mendengar suara. Interpretasi Hasil Tes Pendengaran dengan menggunakan garputala



111



III. GANGGUAN PENDENGARAN3



Pengertian Gangguan Pendengaran dan Ketulian Menurut WHO pegertian gangguan pendengaran dan ketulian dibedakan berdasarkan ketentuan sebagai berikut Gangguan pendengaran : berkurangnya kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya, pada salah satu atau kedua telinga, baik derajat ringan atau lebih berat dengan ambang pendengaran rata lebih dari 26 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz. Ketulian : hilangnya kemampuan mendengar pada salah satu atau kedua sisi telinga , merupakan gangguan pendengaran sangat berat dengan ambang pendengaran rata-rata lebih dari 81 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz. Jenis Gangguan Pendengaran Dan Ketulian 1. Konduktif yang disebabkan oleh gangguan mekanisme hantaran di telinga luar atau telinga tengah 2. Sensorineural disebabkan oleh kelainan di kohlea, N.VIII dan pusat pendengaran di cortex cerebri 3. Campuran (mixed) yang disebabkan kelainan konduktif dan sensorineural Derajat gangguan pendengaran (pengukuran secara obyektif dgn alat) Grade 0 25 dB or less No/slight problems None Hears whispers Grade 1 Slight



26 - 40 dB



Hears/repeats words in normal voice at 1 m



Grade 2 Child 31 - 60 dB Moderate Adult 41 - 60 dB Grade 3 61 - 80 dB Severe



Hears/repeats words in raised voice at 1 m Hears words shouted into better ear



Grade 4 Profound



Cannot hear understand shouted voice



81 dB or more



(Average 0.5, 1, 2, 4, kHz in better ear)



112



Istilah – Istilah Keluhan Pendengaran : 1. Tinitus



: Persepsi abnormal akan adanya pendengaran



2. Autofoni 3. Displakusis



IV.



: Persepsi abnormal, suara sensori terdengar lebih keras : Gema pada setiap bunyi yang masuk.



4. Disakusis



: Nyeri bila ada suara yang melengking



5. Parakusis



: Mendengar suara percakapan lebih jelas pada suasana ramai.



ANATOMI SISTEM PENGHIDU Indera penghidu pada mamalia dipersarafi oleh beberapa sistem persarafan. Sistem tersebut



antara lain sistem saraf terminalis (saraf kranial 0/CN 0), sistem olfaktorius utama (saraf kranial I/CN I), sistem vomeronasal atau olfaktorius asesorius (vomeronasal organ/VNO), sistem somatosensoris trigeminus (saraf kranial V/CN V). Pada manusia dewasa minimal terdapat tiga buah sistem kemosensoris hidung yaitu sistem saraf terminalis, olfaktorius dan trigeminus. Sistem ini terdiri dari 40 kumpulan saraf atau fila dari epitel olfaktorius yang melalui foramen pada lempeng kribiformis menuju otak. Ujung bebas saraf trigeminus tersebar pada mukosa hidung dan memperantarai rangsangan kimia maupun nonkimia dari sensasi somatosensoris seperti iritasi, rasa terbakar, kedinginan dan rasa geli.4-6 Bagian anterior lubang hidung yang dikenal dengan vestibulum nasi diselimuti oleh epitel skuamosa berkeratin. Pada anterior kepala konka inferior epitel berubah menjadi tidak berkeratin kemudian menjadi epitel torak tidak bersilia, dan akhirnya menjadi bersilia. Oleh karena itu rongga hidung kita terdiri dari dua mukosa hidung, yaitu respiratorius dan olfaktorius. Mukosa olfaktorius merupakan area berukuran 100-500mm2 pada bagian superior dari septum nasi, konka superior dan konka media yang berdekatan dengan lempeng kribosa. Mukosa ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu bersilia yang tersusun dari sel silia, sel goblet, sel reseptor, sel penunjang dan sel basal.4-6



Gambar 1. Jaras nervus olfaktorius 4 Berbeda dengan silia respiratorius, silia epitel olfaktorius lebih panjang dan tidak memiliki lengan dinein. Silia olfaktorius berisi tujuh buah domain reseptor transmembran 113



yang berinteraksi dengan ligan bau-bauan. Aksi silia ini mendorong sekret mukus yang berasal dari sel goblet dan kelenjar nasal menuju nasofaring. Sel goblet mensekresi kelenjar yang juga berperan dalam penghantaran bau. Mukosa olfaktorius mengandung 10-20 juta sel olfaktorius bipolar. Sel olfaktorius ini memiliki dendrit dan akson yang terletak antara sel penunjang dan sel basal, kemudian berkumpul menjadi fila olfaktorius tanpa diselimuti oleh sel Schwan. Fila olfaktorius ini melalui foramen dari lempeng kribosa tulang etmoid masuk ke bagian atap lubang hidung. Fila olfaktorius ini membentuk nervus olfaktorius menuju bulbus olfaktorius yang merupakan pusat olfaktorius primer. Bulbus olfaktorius terletak pada dasar korteks frontalis fosa anterior. Bulbus olfaktorius terdiri dari dua lapis yaitu lapisan pertama merupakan lapisan sel glomerulus, sedangkan lapisan kedua terdiri dari sel mitral, sel granular dan sel tufted. Sel penunjang atau sel sustenkular memisahkan sel reseptor bipolar satu dengan yang lainnya. Sel ini mengakibatkan tidak aktifnya bau-bauan dan melindungi epitel dari benda asing, sedangkan sel basal merupakan sel yang terletak dekat membran basalis. Sel ini terdiri dari horisontal (gelap) dan globose (terang).4-6



Gambar 2 dan 3. Anatomi mukosa hidung5 V.



FISIOLOGI SISTEM PENGHIDU Secara fisiologi, proses penghidu diawali dari zat pembau yang terhirup. Dihidung zat ini bercampur dengan mukus olfaktorius. Mukus olfaktorius mempresentasikan zat pembau dengan dipengaruhi oleh daya serap, daya larut dan reaktivitas kimia. Protein pengikat yang bersifat mudah larut mempermudah akses zat pembau ke reseptor olfaktorius. Pada permukaan silia olfaktorius, informasi kimiawi berubah menjadi potensial aksi listrik. Aksi listrik terjadi pada saat zat pembau berinteraksi dengan protein reseptor yang disebut protein G. Protein G mengaktifkan adenylyl cyclase yang merubah ATP menjadi cyclic adenosine 3’ monophosphate (cAMP). cAMP membuka saluran ion yang menyebabkan masuknya ion natrium (Na2+) dan kalsium (Ca2+) serta mencetuskan potensial aksi sepanjang akson sel olfaktorius. Akson sel olfaktorius menembus lamina kribosa dan bersinaps dengan lapisan glomerulus di bulbus olfaktorius.4-6 Pada bulbus olfaktorius terjadi integrasi sinyal antara akson dengan dendrit sel mitral dan tufted. Setelah itu sinyal menuju sistem saraf pusat dengan mengikuti tiga jaras. Jaras pertama dari bulbus olfaktorius menuju ke tuberkulum olfaktorius, melewati bagian medial inti dorsalis talamus dan berahir pada korteks orbitofrontal. Jaras ini memberikan persepsi 114



bau secara sadar. Jaras kedua dari bulbus olfaktorius menuju ke korteks piriformis dilanjutkan ke amigdala dan korteks entorinal berahir pada hipotalamus, midbrain dan hipokampus. Jaras ini melewati sistem limbik sehingga memediasi aspek memori sistem penghidu. Jaras ketiga bersifat bilateral dimana jaras ini menghubungkan informasi dari dua sisi bulbus olfaktorius. Jaras dari bulbus olfaktorius dilanjutkan ke nukleus olfaktorius anterior ipsilateral dan diteruskan ke nukleus olfaktorius anterior kontralateral.4-6 VI.



GANGGUAN PENGHIDU Gangguan penghidu dapat dikelompokan menjadi gangguan secara kualitas maupun kuantitas. Secara kuantitas gangguan penghidu terdiri dari anosmia, hiposmia dan hiperosmia.Kehilangan kemampuan untuk menghidu dinamakan anosmia. Anosmia dapat berupa parsial, total dan spesifik. Anosmia total dinyatakan sebagai kehilangan kemampuan menghidu terhadap seluruh bau-bauan pada kedua sisi hidung. Anosmia parsial adalah ketidakmampuan untuk menghidu beberapa jenis bau-bauan. Anosmia spesifik adalah ketidakmampuan untuk menghidu satu atau beberapa bau-bauan dengan fungsi penghidu yang masih dikatakan normal. Hiposmia didefinisikan sebagai penurunan fungsi penghidu, sedangkan hiperosmia adalah kondisi hipersensitifitas terhadap zat pembau. Menurut kualitas, gangguan penghidu dikelompokkan menjadi parosmia dan pantosmia. Pada parosmia, terjadi persepsi yang salah terhadap rangsangan, sedangkan pantosmia terjadi persepsi penghidu tanpa adanya rangsangan zat pembau. Pantosmia dikenal sebagai halusinasi bau. Parosmia terjadi lebih sering dari pantosmia. Parosmia dapat terjadi hingga 60% dari gangguan penghidu, umumnya parosmia mencium bau yang tidak menyenangkan. Pantosmia dapat terjadi antara lain akibat adanya tumor otak, skizofrenia, alkoholisme, depresi, kelainan neurologi seperti epilepsi.7-9 Gangguan penghidu dapat disebabkan oleh proses-proses patologis disepanjang jalur olfaktorius. Gangguan penghidu dibedakan atas gangguan penghidu yang bersifat konduktif dan sensorineural. Pada beberapa kasus, sulit untuk mengklasifikasikan gangguan penghidu berdasarkan kedua kategori diatas karena sumbatan aliran udara ke reseptor pembau dan kerusakan saraf pada sistem olfaktorius biasanya terjadi bersamaan. Gangguan penghidu yang bersifat konduktif atau gangguan penghantaran bau menuju epitel olfaktorius yang disebabkan oleh sumbatan hidung. Gangguan penghidu yang bersifat konduktif umumnya dapat diobati. Gangguan penghidu yang bersifat konduktif dapat berupa inflamasi misalnya pada kasus rinitis, sinusitis, sumbatan oleh masa atau tumor yang menghalangi aliran bau ke epitel olfaktorius, seperti polip, papiloma inverted, keganasan dan gangguan pertumbuhan seperti kista dermoid yang menyebabkan sumbatan rongga hidung.4,10 Gangguan penghidu yang bersifat sensorineural disebabkan oleh kerusakan epitel olfaktorius, reseptor penghidu atau struktur saraf pusat yang menyebabkan gangguan tranduksi penghidu. Hal ini terjadi misalnya pada trauma kepala yang menyebabkan kerusakan halus dari akson olfaktorius setinggi lamina kribiformis, infeksi virus yang 115



menyebabkan kerusakan neuroepitelium, defisiensi gizi dan proses degeneratif. Gangguan penghidu yang bersifat sensorineural biasanya tidak dapat diobati. Gangguan penghidu yang bersifat sensorineural dapat diklasifikasikan menjadi sentral dan perifer misalnya (1) kerusakan saraf sensoris yang disebabkan oleh kerusakan langsung epitel olfaktorius yang disebabkan oleh paparan zat toksik atau virus; (2) kerusakan saraf olfaktorius yang menyebabkan degenerasi akson secara melintang dan degenerasi saraf; (3) kerusakan saraf pada bulbus olfaktorius dan struktur diatasnya (trauma dan penyakit neurodegeneratif) dan kelainan kongenital pada sistem saraf olfaktorius yang disebabkan oleh kelainan perkembangan sistem saraf pusat (pada sindrom Kallmann).4,11 VII. BENIGN VERTIGO POSITIONAL PAROKSISMAL3 Anatomi Organ Vestibuler Vestibuler perifer terdiri dari kanalis semisirkularis yang berjumlah 3 buah yaitu KSS Lateralis, KSS Anterior dan KSS Posterior serta 2 makula yaitu makula sakkuli dan makula utrikuli; masing-masing pada telinga kiri dan kanan. Pada setiap KSS terdapat bagian yang menggembung yang disebut Krista ampullaris yang terdiri dari epitel sensoris yang tertutup oleh kupula; suatu lapisan membran sejenis gelatin. Penonjolan epitel neural sensorik yang membentuk krista ditutupi oleh Kupula yang menonjol sampai keatap ampula. Ketiga KSS ini tersusun sedemikian rupa sehingga satu dengan yang lainnya terletak dalam satu bidang yang saling tegak lurus. Pada telinga sisi lainnya, KSS merupakan bayangan cermin dari KSS telinga disebelahnya. Dengan demikian terdapat 3 pasang KSS yang tiap pasangannya berada dalam bidang sejajar dan merupakan bayangan cermin dari sisi yang lainnya. Sakkulus dan utrikulus mempunyai reseptor yang masing-masing disebut makula sakkulus dan makula utrikulus. Sel-sel sensoris pada makula merupakan sel-sel rambut yang biasa disebut Kinosilium, diatas makula terdapat membran otolit ( membran mukopolisakarida yang serupa dengan gelatin ) yang akan merangsang sel rambut melalui silia / kinosilia oleh gaya linear akselerator. Dengan demikian setiap perubahan yang terjadi pada posisi membran otolit akan menghasilkan respon fisiologis yang berlawanan arah pada sel-sel rambut di kedua sisi triola, mekanisme percepatan linier didalam makula utrikulus dan makula sakkulus diatur oleh otokonia/otolit, yaitu butiran-butiran kristal kalsium karbonat yang terbenam didalam membran otolit. Fisiologi Organ Vestibuler. Reseptor KSS berfungsi memonitor gerakan angular, sedang makula sakkulus dan makula utrikulus berfungsi memonitor gerakan linear. Sesuai dengan kaidah fisika, maka pada gerakan rotasi kepala, cairan endolimfe didalam KSS akan bergerak (mengalir) kearah yang berlawanan dengan gerak rotasi dan hal ini paling maksimal terjadi pada pasangan KSS yang terletak dalam bidang yang sama atau terdekat dengan bidang arah gerak rotasi kepala. Aliran endolimfe akan menyebabkan deflesi kupula dalam krista ampullaris yang didalamnya terdapat silia dari sel-sel sensoris. Deflesi kupula kearah menjauhi utrikula ( utrikulofugal ) akan menyebabkan rangsangan 116



inhibisi sel-sel sensorik sehingga menyebabkan penurunan aktivitas impuls. Sebaliknya defleksi kupula kearah mendekati utrikula ( utrikulofetal ) yang menyebabkan rangsangan eksitasi sel-sel sensorik yang menyebabkan peningkatan aktivitas impuls.



Dengan demikian setiap gerakan rotasi akan mengakibatkan rangsangan eksitasi sel-sel sensorik pada satu KSS dan sekaligus rangsangan inhibisi pada sel-sel sensorik KSS pasangannya.



117



Patogenesis Ada dua pendapat yang berbeda mengenai patofisiologi terjadinya VPPJ yaitu teori cupulolitiasis dan teori kanalitiasis; 1. Teori kupulolitiasis Hipotesis ini menggambarkan adanyan debris-debris degeneratif atau fragmen otokonia dari utrikulus yang terlepas dan melekar pada permukaan kupula KSSP yang menghadap utrikulus, sehingga menjadi sensitif terhadap perubahan gravitasi.



2. Teori kanalitiasis Teori ini dipublikasikan oleh Epley pada tahun 1980, dasarnya adalah adanya partikel padat ( debris ) yang mengapung dan bergerak dalam KSSP. Ketika kepala tegak, partikel dalam KSS berada pada posisi sesuai gaya gravitasi. Ketika kepala dimiringkan, partikel tersebut bergerak berputar 90 derajat sepanjang arkus KSSP, setelah terjadi perlambatan , partikel akan berada pada bagian paling bawah sesuai dengan gaya gravitasi. Hal ini menyebabkan endolimfe mengalir menjauhi ampulla dan menyebabkan kupula mengalami deflesi dan menimbulkan nistagmus. Pembalikan arah posisi menyebabkan pembalikan deflesi kupula dan rasa pusing serta nistagmus keposisi yang berlawanan. Reposisi Kanalit Dengan Manuver Epley 1. Canalith Repositioning Procedur ( CRP ) 118



Tehnik ini di desain untuk menginduksi migrasi kanalit dengan menggunakan manuver kepala dan tambahan vibrasi. Manuver ini sangat baik dilakukan pada pasien dalam keadaan sedasi. Vibrasi mekanik pada tulang tengkorak secara rutin dan kepala pasien digerakkan secara berurutan melalui 5 posisi kepala yang terpisah.6 Perubahan posisi ini menggerakkan debris melalui krus ke utrikulus, yang mana tidak mempengaruhi pergerakan dinamik di KSS. Deflesi kupula, munculnya nistagmus dan vertigo diperkirakan terjadi selama kanalit bergerak melewati kanalis dan menyebabkan tahanan hidrodinamik yang cukup untuk mengatasi elastisitas kupula.



Prosedur : 1. Persiapan Pasien diberikan premedikasi dengan skopolamin transdermal pada malam sebelumnya atau diasepam oral 5 mg diberikan 1 jam sebelumnya. 2. Observasi Arah pergerakan bola mata secara terus menerus di observasi selama prosedur berlangsung untuk memonitor kemajuan kanalit. 3. Osilasi Suatu alat osilasi dipasang pada area mastoid telinga yang sakit dengan maksud untuk membantu proses mobilisasi kanalit. 4. Posisi KSS ditetapkan terlebih dahulu dengan manuver hallpike, selanjutnya telinga yang sakit diposisikan ke bawah pada posisi pertama, ketika kanalit telah dekat pada akhir penurunannya sebagaimana terindikasi dengan melambatnya nistagmus, kemudian kepala dimanuver kesisi selanjutnya dan seterusnya sampai melewati 5 posisi. Waktu untuk setiap posisi berkisar 6 – 20 detik. Ketika nistagmus tidak teramati lagi pada posisi yang diberikan. Adapun urutan pelaksanaannya adalah sebagai berikut :4 a.



Posisi S ( star ) pasien didudukkan , operator berada di belakangnya, kemudian



dipasangkan osilator pada telinga yang sakit. 119



b.



Posisi (1) kepala digerakkan ketepi meja, 45 derajat kearah telinga yang sakit



(kanalit bergerak ke pusat kanalis semisirkularis posterior ). c.



Posisi (2) pertahankan kepala di bawah putar 45 derajat kontralateral ( kanalit



mencapai krus ). d.



Posisi (3) putar kepala dan badannya sampai menghadap kebawah 135 derajat dari



posisi baring ( kanalit melewati krus ). e.



Posisi (4) pertahankan kepala pada posisi (4) lalu dudukkan pasien kembali keposisi



star ( hal ini menjaga kanalit dari pembalikan ). f.



Posisi (5) putar kepala ke depan, dagu turun 20 derajat (kanalit jatuh kedalam



utrikulus) 5. Follow up Pasien disarankan agar tetap mempertahankan kepalanya pada posisi tegak selama 24 jam, tidur dengan 2 bantal (posisi 45 derajat), sehingga kanalit tidak akan mengikuti gravitasi kembali ke krus dan masuk kembali ke KSS posrerior. Jika nistagmus tipikal masih ada maka manuver ini diulang tiap minggu.



120



Particle Repositioning Maneuver ( PRM ) Merupakan modifikasi dari CRP. Manuver ini terdiri dari 3 posisi manuver yang menghilangkan penggunaan sedasi dan vibrasi mastoid. Sebagian besar para ahli sekarang ini lebih menyukai menggunakan versi modifikasi CRP ini.



121



Teknik Pelaksanaan : 1. Dudukkan pasien diatas meja ( posisi A ) 2. Gerakkan pasien pada posisi Dix-Hallpike; yaitu pasien dibaringkan dengan kepala ekstensi dan tergantung bebas serta dimiringkan kearah telinga yang sakit. 3. Observasi gerakan nistagmus mata pada fase awal. 4. Pertahankan posisi ini selama 1-2 menit ( posisi B ) 5. Putar kepala 90 derajat berlawanan dengan posisi Dix-Hallpike sambil tetap mempertahankan leher dalam keadaan ekstensi penuh ( posisi C ). 6. Lanjutkan dengan memutar pasien sebesar 90 derajat sampai kepala berlawanan dengan posisi Dix-Hallpike pertama ( posisi D ). Perubahan dari posisi B ke C sampai posisi D harus tidak lebih dari 3 – 5 detik. 7. Mata harus segera diobservasi dan dilihat apakah ada nistagmus sekunder. Jika partikelpartikel terus bergerak kearah yang sama dengan arah ampullofetal, maka gerakan ini akan diteruskan ke krus hingga masuk kedalam utrikulus. Nistagmus sekunder yang timbul selayaknya sama dengan arah nistagmus primer. 8. Posisi ini dipertahankan selama 30 – 60 detik, lalu kemudian pasien disuruh duduk. Kalau manuver ini berhasil maka sewharusnya tidak ditemukan lagi adanya nistagmus maupun vertigo pada waktu pasien kembali keposisi duduk, oleh karena partikel-partikel tersebut sudah masuk kembali ke utrikulus. Biasanya PRM dilakukan selama kurang dari 5 menit hingga prosedur selesai. Pasien selanjutnya secara khusus disampaikan agar tidak melakukan gerakan menunduk selama 24 sampai 48 jam untuk memungkinkan otolit menetap dalam utrikulus dan mencegah terjadinya rekurensi dari BPPV.6 Reposisi kanalit BPPV kanal lateral. Epley juga mengajukan suatu manuver untuk reposisi kanalit pada BPPV kanal lateral dimana pertama-tama kepala dimiringkan dengan telinga yang sakit dibawah, kemudian kepala digerakkan 90 derajat menjadi terlentang, lalu dilanjutkan dengan memiringkan kepala kearah kontralateral sehingga telinga yang sakit berada diatas, kemudian menelungkup dan terakhir kembali keposisi awal dimana telinga yang sakit berada dibawah. Tehnik ini sering disebut dengan „barrel roll“ oleh karena pasien diputar hingga 360 derajat.



122



Pemeriksaan Fungsi Vestibuler Standing Test: Penderita diminta untuk berdiri tegak pada satu kaki dengan mata terbuka selama 30 detik dan selanjutnya dengan mata tertutup juga selama 30 detik.Kemudian dicatat arah jatuhnya. Test Romberg Penderita diminta untuk untuk berdiri tegak dengan kedua kaki sejajar, lengan lurus disamping dengan mata terbuka selama 30 detik kemudian selanjutnya dengan mata tertutup selama 30 detik. Apabila penderita dapat melakukan test ini tanpa jatuh maka dapat dilakukan test romberg yang lebih sensitif atau yang disebut “Sharpened Romberg Test”. Pada pemeriksaan ini penderita berdiri dengan tumit salah satu kaki berada di depan ujung jari kaki yang lain dengan kedua lengan dilipat di depan dada selama 30 detik dengan mata terbuka dan dilanjutkan dengan mata tertutup selama 30m detik. Pemeriksa harus memperhatikan dan mencatat gerakan dan arah jatuhnya badan penderita pada kedua test di atas. Interpretasi Dengan mata terbuka penderita masih dapat berkompensasi dengan ketidakseimbangan akan tetapi dengan mata tertutup sistem keseimbangan akan terganggu. Pada pasien yang menderita gangguan vestibuler perifer, penderita akan jatuh ke arah sisi yang sakit. Namun demikian ketidakstabilan tersebut dipengaruhi juga oleh penyebab sensoris, motoris atau serebellar dan penilaian tes romberg sering tidak jelas pada keadaan gangguan vestibuler subakut atau kronik. Pasien dengan lesi serebellar cenderung jatuh ke arah sisi yang sakit tetapi hanya sedikit perubahan pada saat mata tertutup. Pasien dengan gangguan vestibuler sentral sering jatuh ke arah yang berbeda pada pemeriksaan yang dilakukan berulang- ulang. Pasien dengan gangguan ekstrapiramidal kemungkinan akan jatuh ke arah depan atau belakang. Stepping Test Lingkaran dengan radius 0,5 m, 1 m, dan 1,5 m digambar pada lantai. Lingkaran ini dibagi dalam beberapa bagian dengan garis lurus yang melalui titik pusat dengan sudut 30 derajat. Penderita diminta untuk berdiri tegak pada titik pusat lingkaran. Penderita disuruh berjalan di tempat, dengan mata ditutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa. Sebelumnya dikatakan kepadanya bahwa ia harus berusaha untuk tetap ditempat, dan tidak beranjak dari tempatnya selama tes ini. Tes ini dapat mendeteksi gangguan sistem vestibuler. Hasil tes ini dianggap abnormal bila kedudukan akhir penderita beranjak lebih dari 1 meter dari tempatnya semula, atau badan berputar lebih dari 30 derajat. (1,6)



123



Stepping test



124



Tes – Tes Vestibulo-Okuler 1. Nistagmus lirikan (Gaze Nystagmus) Dilakukan dengan meminta pasien memandang titik fiksasi lurus lurus ke depan, 30 o ke kanan, 30o ke kiri, 30o ke atas, dan 30o ke bawah. Gerakan bola mata direkam selama 15 – 30 detik. Adanya nistagmus menunjukkan keadaan patologik. 2. Tes Saccadik Dilakukan dengan meminta pasien melihat 2 pasang titik yang dipisahkan oleh jarak tertentu (biasanya sudut visual 20o) dengan jarak garis khayal horizontal. Satu pasang titik yang lain dipisahkan oleh jarak yang sama dengan garis khayal vertical. Gerakan bola mata pasien direkam ketika ia melihat garis horizontal serta garis vertical tersebut.pada orang normal akan terlihat gerakan mata yang cepat dan berhenti pada target yang ditentukan. Pada keadaan abnormal akan terlihat kelebihan (overshoot) atau perlambatan dari target yang ditentukan tersebut. 3. Tes Nistagmus Spontan Dilakukan dalam keadaan mata terbuka dan mata tertutup. Nistagmus spontan horizontal dapat terjadi pada lesi perifer atau sentral. Jika terdapat nistagmus spontan dalam keadaan mata terbuka menjadi lebih nyata kemungkinan besar lesi terdapat pada system vestibuler sentral, apalagi dengan arah berubah (direction changing). Nistagmus vertical jelas menunjukkan lesi sentral. 4. Tes Posisi Tes posisi yang penting dilakukan pada pemeriksaan elektronistagmografi adalah posisi terlentang, terlentang dengan kepala miring ke kanan, kepala miring ke kiri, kepala tergantung 30o ke belakang, tidur miring ke kanan, tidur miring ke kiri, dan posisi duduk dengan kepala lurus ke depan. Perekaman dilakukan sekurang – kurangnya dalam waktu 20 detik untuk tiap – tiap posisi. 5. Tes Hallpike Dilakukan untuk melihat nistagmus posisi (positioning nyatagmus). Pasien digerakkan dengan cepat dari posisi ke posisi berbaring dengan kepala tergantung miring ke kanan, kepala menggantung miring ke kiri, serta posisi kepala lurus. Tiap posisi dipertahankan sekitar 45 detik. Dilihat apakah timbul nistagmus atau tidak. 6. Tes Kalori Dikerjakan dengan cara melakukan irigasi telinga kiri dan kanan masing – masing dengan air dingi 30o dan air panas 44o selama 40 detik dengan interval tiap – tiap tes sampai nistagmus atau vertigo hilang, biasanya 5 menit.



125



DIX HALLPIKE MANUVER (TES HALLPIKE)



Gambar 6.Dix Hallpike maneuvre Manuver hallpike ini pada garis besarnya terdiri dari dua gerakan. Perasat dix-Hallpike kanan pada bidang kanal anterior kiri dan



kanal posterior kanan , dan perasat Dix Hallpike kiri pada bidang



posterior kiri . Untuk melakukan perasat Dix –Hillpike kanan pasien duduk tegak pada meja pemeriksa dengan kepala menoleh 45º ke kanan. ( Gambar 6 A). Dengan cepat pasien dibaringkan dengan kepala tetap miring 45º ke kanan sampai kepala pasien menggantung 20 – 30 ºpada ujung meja pemeriksa, tunggu 40 detik sampai respon abnormal timbul( Gambar 6 B) Penilaian respon pada monitor dilakukan selama ± 1 menit atau sampai respon menghilang. Seelah tindakan



pemeriksaan ini dapat langsung dilanjutkan dengan Canalith Repositioning



Treatment Bila tidak ditemukan respon abnormal atau bila perasat tersebut tidak diikuti dengan CRT pasien secara perlahan–lahan didudukkan kembali. Kemudian dilanjutklan pemeriksaan dengan perasat Dix-Hillpike kiri dengan kepala pasien dihadapkan 45º kekiri, dengan demikian kanal posterior kiri dank anal anterior kanan berada dalam bidang sejajar dengan bidang sagital kemudian secara cepat tubuh direbahkan terlentang sampai kepala menggantung di tepi meja pemeriksa . Dengan gerak rebah terlentang maka kedua kanal vertical posterior kanal tidak terangsang , posisi ini di sebut Posisi Head Hanging Left ( HHL), tunggu maksimal 40 detik sampai respon abnormal hilang. Setelah gejala vertigo hilang pasien diminta duduk kembali dan diobservasi nistagmus yang timbul. 126



Respon Abnormal Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan prookasi kebelakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada pasien VPPJ setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbul lambat ± 40 detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari sau menit bila sebabnya kanalithiasis , pada kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari satu menit, biasanya serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus. Pemeriksa dapat



mengidentifikai jenis kanal yang terlibat dengan mencatat arah fase cepat



nistagmus yang abnormal denga mata pasien menatap lurus kedepan: ( Herdman SJ , 1999) 1.



Fase cepat ke atas, berputar kekanan , menunjukkan VPPJ pada kanalis semisirkularis



posterior kanan 2.



Fase cepat ke atas, berputar ke kiri menunjukkan VPPJ pada kanalis semisirkularis



posterior kiri 3.



Fase cepat ke bawah, berputar ke kanan, menunjukkan VPJ pada kanalis semisirkularis



anterior kanan. 4.



Fase cepatke bawah , berputar ke kiri ,menunjukkan VPPJ pada kanaiis semisirkularis



anterior kiri. Reposisi kanal dilakukan bersamaan dengan perasat Dix-Hallipke , bila pada tes ini diketahui bahwa terjadi nistagmus yang kuat pada tes reposisi kanal VIII. MENIERE’S DISEASE3 Definisi Gangguan pada telinga dalam dimana terjadi hydrops endolimfe yang disebabkan oleh keadaan abnormal cairan pada telinga dalam. Ruang lingkup Penyakit ini memiliki trias yaitu : hoyong, tinnitus (terutama pada high pitched), kurang pendengaran sebelah telinga. Dapat disertai rasa penuh pada telinga. Etiologi Penyebab pasti penyakit Meniere ini belum diketahui. Beberapa teori melaporkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit ini, adalah: 1.



Gangguan lokal keseimbangan garam dan air, yang menyebabkan edema endolimfe



2.



Gangguan regulasi otonom sistem endolimfe



3.



Alergi lokal telinga dalam yang menyebabkan edema dan gangguan kontrol otonom



4.



Gangguan vaskularisasi telinga dalam, terutama stria vaskularis



5.



Gangguan duktus atau sakus endolimfatik yang mengganggu absorbsi endolimfatik



6.



Perubahan hubungan dinamika. tekanan perilimf dan endolimfe yang mungkin



berhubungan dengan perubahan anatomik didalam pembuluh endolimfe dan akua duktus koklea.



127



7.



Manifestasi lokal labirin pada penyakit sistemik metabolik yang mengenai baik tiroid



maupun metabolisme glukosa atau keduanya. 8.



Berkaitan dengan beberapa kelainan os temporal termasuk berkurangnya



pneumatisasi dan mastoid. Pemeriksaan penunjang Laboratorium darah, audiometri, elektrokokhleografi, tes kalori, tes gliserol. Terapi Medikamentosa (sedatif, vasodilator), bedah (dekompresi endolimfatikus, endolimfatik shunt, sacculotomy, pemotongan nervus vestibularis, ultrasonic destruction of vestibular labyrinth, labirintektomi.



ILMU PENYAKIT SYARAF VERTIGO BENIGN PAROXISMAL POSITIONAL VERTIGO (BPPV) DEFINISI Vertigo adalah sensasi atau perasaan berputar, bisa ruangan di sekitarnya terasa berputar (vertigo objektif) atau perasaan dirinya yang berputar (vertigo subjektif) yang dipengaruhi perubahan posisi kepala. ETIOLOGI Idiopatik Infeksi (viral neuronitis) Trauma kepala Degenerasi end organ perifer Kerusakan labirin karena bedah INSIDENSI Perempuan : laki-laki = 2 : 1 GEJALA Pasien mengeluh serangan pusing yang berat dan mendadak Pusing berputar yang bertambah dengan perubahan posisi kepala, melihat ke atas atau ke bawah Mual muntah pucat Tidak ada berkurangnya pendengaran atau tinitus PATOGENESIS teori canalolithiasis: 128



otolith (calsiumcarbonate particle) yang normal menempel di membran dalam utricle dan saccule. Utricle dihubungkan dengan duktus semi sirkularis. Perubahan pososi kepala relatif karena gravitasi menyebabkan otolith bebas melewati canalis dan aliran endolimph mengstimulasi sel-sel rambut mempengaruhi canalis semisirkularis menyebabkan vertigo. DIAGNOSIS Ditegakkan dengan riwayat penyakit dan test manuver hallpike yaitu dengan meletakkan kepala tergantung di sudut meja dan disuruh menengok ke kiri akan menyebabkan nistagmus rotatoar ke satu sisi setelah periode laten sekitar 10 menit. Nistagmus meningkat sekitar 30 detik kemudian berkurang. Ketika pasien bangun nistsgmus yang mirip kembali terjadi di sisi yang berlawanan. Nistagmus dapat lemah dan menghilang setelah beberapa kali dilakukan manuver. Tidak ada tes laboratorium khusus untuk BPPV CT scan atau MRI kepala TERAPI 1. Farmakologi Pengobatan simptomatik vertigo Ca entry blocker ( mengurangi eksitatori SSP dengan menekan pelepasan glutamat, menekan aktivitas NMDA spesial channel, bekerja langsung sebagai depresor labirin) : flunarizin 5-10 mg/hr Antihistamin (efek antikolinergik dan merangsang inhibitory monoaminergik dengan akibat inhibisi n. Vestibularis): cinnarizin 3x25mg/hr, dimenhidrinat 3x50 mg/hr Histaminik (inhibisi neuron poisinaptik pada n. Vestibularis lateralis): betahistine 3x8 mg Fenotiazine (pada kemoreseptor trigger zone dan pusat muntah di medulla oblogata): CPZ 3x25 mg Benzodiazepin (diazepam menurunkan resting activity neuron pada n. Vestibularis) 3x2-5 mg Antiepileptik : carbamazepin 3x200 mg, fenitoin 3x100 mg (bila ada tanda kelainan epilepsi dan kelainan EEG) Pengobatan simptomatik otonom (mis muntah): Metoklopramid 3x10 mg 2. Terapi rehabilitasi : latihan visual-vestibular, metode Brandt-Daroff, Gait exercise Contoh latihan metode Brandt daroff: Penderita duduk di pinggir tempat tidur, kemudian merebahkan dirinya pada sisinya untuk membangkitkan vertigo, setelah vertigonya mereda, ia kembali ke posisi duduk semula. Gerakan ini diulangi lagi sampai vertigo melemah atau mereda. Biasanya sampai 2 atau 3 laki. Latihan ini dapat diulangi 2-3 kali dalam sehari, tiap hari sampai tidak lagi didapat respon vertigo. 3. Terapi kausal, terapi bedah PROGNOSIS - tergantung penyebab



129



VERTIGO SENTRAL DEFINISI Vertigo yang disebabkan kelainan sistem saraf pusat ( otak,batang otak, dan serebellum). ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Stroke Tumor SSP Infeksi Trauma Multipel sklerosis FAKTOR RESIKO Hipertensi Atrial fibrilasi Riwayat CVD Meningkatnya umur PATOFISIOLOGI Sensasi keseimbangan adalah hasil dari informasi yang terjalin antara vestibular, ocular dan reseptor sensori proprioseptif yang kemudian terintegrasi dalam serebellum dan batang otak. Vertigo sentral merupakan hasil dari gangguan pada integrator sentral (batang otak, serebellum) atau sensory information mismatch (dari cortex). Lesi pada nervus vestibular atau root entry zone ( CPA) menyebabkan ketidakseimbangan karena mengenai sensorik vestibular primer. EPIDEMILOGI Di AS 1,5% stroke iskemik terjadi di serebellum dan lebih dari 10% pasien dengan infark cerebellar dengan gejala hanya vertigo dan ketidak seimbangan saja. Insidens multiple sklerosis bervariasi 10-80 per 100.000/thn. Sekitar 3000 kasus neuroma akustik terdiagnosis pertahun di AS. GEJALA KLINIS vertigo yang disertai gejala seperti: bicara pelo, kesulitan menelan (disfagia), pengelihatan ganda, paresis wajah, kelemahan anggota gerak.



Beberapa pasien hanya mengeluhkan



ketidakseimbangan, atau sulit mempertahankan posisi berdiri. DIAGNOSIS Ct scan kepala MRI kepala Laboratorium ( untuk mencari faktor resko kelainan vaskular) THERAPI 130



therapi kausal, pertimbangakan konsul ke neurosurgery pada pasien dengan SOL atau hidrosefalus. Therapi simptomatik Terapi rehabilitasi/ terapi fisik PROGNOSIS Tergantung penyebab. Prognosis infark di arteri vertebralis atau basilaris jelek. Dimana 45% pasien dengan koma. Prognosis perdarahan di serebellum juga jelek. Intervensi bedah saraf kadang memperbaiki prognosis pada beberapa keadaan.



NEURO SENSORIS I (NEUROMUSCULAR DISEASE AND NEUROPATHY) CARPAL TUNNEL SYNDROME / SINDROMA TEROWONGAN KARPAL DEFINISI Kumpulan gejala akibat jebakan didalam terowongan karpal pada pergelangan tangan, yang menyebabkan penekanan N. Medianus oleh ligamentum carpi transversum ( flexor retinaculum ). EPIDEMIOLOGI Wanita 2-3 kali lebih sering daipada pria dan 57% pada usia 40-60 tahun ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI N. Medianus berada didalam terowongan karpal menghantar impuls sensorik dari kulit telapak tangan serta kulit bagian volar yang meliputi jari V, jari IV dan jari III. Penyakit atau peradangan apapun yang dapat mengakibatkan perubahan terowongan karpal menjadi sempit akan menyebabkan n. Medianus mengalami desakkan / tertekan dan timbul gejala. Sebagian besar tidak diketahui kausanya / idiopatik, ada yang mengaitkan dengan keadaan tertentu misalnya trauma berulang seperti mengetik, memeras pakaian. Kausa lain : arteritis rematoid, osteoartritis, diabetes melitus, tumor jinak ganglion - lipoma, malfomasi vaskuler GAMBARAN GEJALA KLINIK Mulai dari yang paling ringan ( gejalanya intermiten ) sampai berat ( gejalanya permanent ) : Diawali parestesi , nyeri sampai rasa tebal pada tangan dan jari daerah Kawasan persarafan N. Medianus. Setelah mengebas-ngebas tangan (Flick Sign) secara kuat atau memijat-mijat tangan keluhan akan berkurang / hilang lalu timbul lagi. Bertambah lama gejala menetap-makin berat dan timbul sepanjang hari. 131



Kemudian disusul kekuatan memegang dirasakan menurun atau tidak ada sama sekali, pergelangan tangan dikeluhkan terjadi pembengkakkan, tanpa diobat dapat terjadi atrofi otot-otot thenar. Keluhan tersebut terutama malam hari sehingga mengganggu tidur, dan pagi hari biasanya tangan dirasakan tebal / baal. Biasanya unilateral yaitu pada tangan yang Lebih banyak digunakan / dominan, namun juga bisa bilateral. PEMERIKSAAN / TES PROVOKASI 1. Tes Phalen Dorsoextensi atau volarflexi dari pergelangan tangan yang dipertahankan selama 5 menit timbul gejala. 2. Tes Tinnel / Hoffman-Tinnel Test Ketok N. Medianus ditempat kompresi akan menimbulkan perasaan seperti terkena aliran listrik yang menjalar dari tempat ketokan ke jari-jari. 3. Tes Durkan / Carpal Compression test Tekan dengan keras pada telapak tangan diatas saraf selama 30 detik akan timbul gejala. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Kecepatan Hantar Saraf / KHS ditemukan Masa latent distal / MLD/distal latency baik motorik maupun sensorik memanjang ( 90-98% ). DIAGNOSA BANDING Lesi plexus , radix atau medula spinalis cervicalis. Penyakit-penyakit Sendi, tulang atau tendon TERAPI - Kausa harus dihilangkan. - Terapi Konservatif : Obat oral kortikosteroid, NSAID, Metil-Kobalamin Obat suntikan Kortikosteroid Lokal - Terapi Operatif : Surgical release dari lig.carpi transversum Indikasi operasi bila terapi konservatif gagal selama 2-7 minggu TARSAL TUNNEL SYNDROME / SINDROMA TEROWONGAN TARSAL DEFINISI Kumpulan gejala akibat jebakan didalam terowongan tarsal pada daerah dimana cabang terminal N. Tibialis menyusup masuk menuju plantar kaki bagian medial dibawah flexor retnaculum yang menyebabkan penekanan N. Plantaris medialis. Biasanya unilateral. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI 132



Terowongan itu dibentuk oleh llig. Lansiniatum yaitu suatu lembar fasia yang terbentang antara : bagian belakang dan bawah maleolus medialis dengan tuber calcanei. Selain N. Tibialis cabang terminal terowongan itu juga berisi tendon ( tendon m.flexor digitorum longus & m.flexor halucis longus ), dan pembuluh darah. Sebenarnya bagian distal N. Tibialis setelah keluar dari terowongan baru menjandang nama N. Plantaris medialis dan lateralis. Kausa yang paling umum adalah Tenosinovitis (akibat trauma), arteritis rematoid, tumor , mixedema, neuropati diabetika (pada neurpati DM APR menurun/hilang dan simetris) GAMBARAN GEJALA KLINIK Pasien mengeluh rasa parestesi, nyeri, pegal/baal ditelapak kaki bagian medial sampai ujung kaki berikut jari-jarinya. Adakalanya dirasakan nyeri di tumit dan betis. Keluhan lebih terasa pada malam hari dan sering unilateral. Setelah berdiri/jalan lama keluhan makin berat, dan akan berkurang bila istirahat atau kaki di evaluasi. Subyektif ada rasa baal, pada pemeriksaan kenyataannya normal tapi Tes Tinel positif. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Kecepatan Hantar Saraf / KHS ditemukan Masa latent distal / MLD/distal latency memanjang, tapi kadang-kadang normal. DIAGNOSA BANDING Penyakit-penyakit Sendi, tulang, tendon dan tumor, mixedema, DM. TERAPI Suntik Kortison sebanyak 3kali dengan selang waktu 15-20 hari Oral NSAID Surgical decompression NEUROPATI DEFINISI: Suatu penyakit dengan gejala klinis yang timbul karena kelainan saraf perifer. Dapat mengenai akar saraf spinal, sel ganglion radiks dorsalis, semua saraf perifer dan cabang terminalnya , Susunan saraf otonom dan saraf otak kecuali saraf oprikus dan olfaktorius. EPIDEMIOLOGI: Dapat mengenai semua umur, terbanyak pada usia remaja & pertengahan, laki-laki lebih banyak daripada wanita. ETIOLOGI: Factor penyebab antara lain infeksi, gangguan metabolik, intoksikasi, defisiensi, gangguan vaskuler, kompesi, alergi dan remote effect tumor ganas. Trauma umumnya menimbulkan neuropati yang bersifat terbatas. TANDA DAN GEJALA: Dapat berupa gangguan



sensorik, motorik yang bersifat lower motor neuron, kadang-



kadang gangguan fungsi otonom. PEMERIKSAAN PENUNJANG: 133



Pemeriksaan c airan serebrospinal pada beberapa kasus ditemukan peningkatan kadar protein. Pemeriksaan EMNG terlihat tanda-tanda gangguan neurologic perifer. Umumnya kecepatan hantar saraf tepi menurun. TERAPI: Terapi ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab, kemudian koreksi terhadap keadaan-keadaan metabolic yang abnormal. Terapi simtomatis untuk menghilangkan nyeri dapat diberikan analgesik.



MIOPATI DEFINISI: Suatu kelainan yang ditandai dengan terdapatnya fungsi abnormal otot tanpa adanya bukti denervasi pada studi klinik, histologik atau elektrik. KLASIFIKASI: 1. Genetik: Distrofi muscular, miopati congenital, periodic paralisis familial. 2. Traumatik: Fisik, toksik, obat-obat. 3. Inflamasi: infeksi, imunologik. 4. Endokrin/ Metabolik: tirotoksikodis, miksedema, alkoholik, nutrisional dan gagal ginjal. 5. Paraneuplastik: Karsinomatosa, embolik. 6. Neoplastik : Rabdomioma. TANDA DAN GEJALA: - Yang sering dijumpai pada gangguan otot skeletal adalah kelelahan, kelemahan, kecil dan lembeknya otot, kedutan otot, kram otot, nyeri dan pegal pada otot. - Dapat disertai gejala sistemik berupa demam, tremor, takikardi dan sebagainya. - Pemeriksaan fisik didapat adanya kelemahan yang bersifat flaksid disertai dengan atrofi,



kelemahan otot proksimal lebih nyata dari yang distal. Refleks tendo menurun/ menghilang. Kadang dijumpai fasikulasi. - Tidak dijumpai adanya reflex patologis dan gangguan sensibilitas. TERAPI: - Disesuaikan dengan penyebab. Pengobatan dapat bersifat paliatif dan menghambat komplikasi.



134



PERONEAL



PALSY



DEFINISI : kelumpuhan saraf peroneal kommunis yang merupakan cabang saraf skiatik pada fossa poplitea dan menerima persarafan dari medulla spinalis L4-S1. ETIOLOGI kompresi saraf peroneal. Hilangnya berat badan akibat penyakit yang lama dapat menyebabkan tekanan saraf di kaput fibula dengan tempat tidur. fraktur kaput fibula karena trauma. Posisi litotomi pada saat pemeriksaan ginekologi. Tumor atau darah di fossa poplitea. TANDA DAN GEJALA Drop foot Kelemahan dan atropi otot-otot tungkai bawah anterior Hilangnya sensibilitas pada anterolateral tungkai bawah dan dorsum pedis PEMERIKSAAN PENUNJANG Foto polos pelvis, lutut. Elektroneuromiografi(ENMG) TATALAKSANA Konservatif dengan pemasangan pindai(brace) dan obat-obat simptomatik Operasi



GUILLAIN BARRE SYNDROME GBS termasuk Immune-mediated Demyelinating Disorder Berdasarkan progresifitas berat dan durasinya simptom klinik, terdapat 2 bentuk Klinik IDP ( Inflamatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy ) : 1. Bentuk Akut : AIDP (Acute Inflamatory Demyelinating Polyradiculopathy), yaitu : GBS ( Guillain-Barre Syndrome ). 2. Bentuk Khronis : CIDP (Chronic Inflamatory Demyelinating Polyradiculopathy) Ada 4 sub-type klinik , sehubungan dengan reaktifitas antibodies spesifik yang dibentuk, memberikan gambaran kliniko-patologi yang spesifik pula : 1. AIDP yaitu bentuk GBS yang paling sering dijumpai (80%) 2. AMAN / Acute Motor Axonal Neuropathy (10-15%) : Progresif-cepat, ascending-paralysis dengan Normal-Reflex kadangKadang hiperreflex, no deficit sensorik, umumnya terdapat respiratory Failure, prognosis baik, patologi terdapat kerusakan axon yg berat/luas. 135



3. AMSAN / Acute Motor and Sensory Axonal Neuropathy (jarang) : Progresif-cepat, ascending-paralysis dengan Areflexia, moderate to Severe sensory deficits, prognosis sangat jelek, patologi terdapat kerusakan axon yang sangat luas. Dikatakan sebagai bentuk Fulminant GBS. 4. MFS / Milller - Fisher Syndrome , relatif sering (5%) : - merupaka varian GBS, biasanya setelah infeksi tr.respiratorius bagian atas - sindroma-nya : acute onset oftalmoplegia, ataxia dan arefleksia, relatif berbarengan dengan defisit motorik, dan facial palsy / parese N.7 bilateral, dapat juga terkena saraf sensorik & bulbar palsy. - ada hubungan dengan terdapatnya Anti-GQ1b Immunoglobulin G antibodies 90% ( anti-GQ1b IgG antibodies ) - IVIG merupakan terapi efektif CIDP: - dikatakan merupakan varian/subtype dari GBS dalam bentuk khronis - gradual progresif , spontaneus relaps & remisi , gambaran klinik sensorimotor polineuropati – simetris, timbulnya > 4 minggu / beberapa bulan, sehingga sukar dibedakan apakah GBS yg relaps atau suatu CIDP - protein likuor serebrospinalis meningkat 80% - memberikan respon yang baik terhadap Immunomodulator terapi ( MMF / Mycophenolate Moftil = Cell Cept 500 mg ) , terapi steroid juga bermanfaat. - Juga dengan PE atau IVIG EPIDEMIOLOGI - Semua usia dapat terkena, sekitar 2 pasien per 100.000 population ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI - bukan penyakit herediter, melainkan suatu respon autoimmun. - 70% ( 2/3 pasien ) didahului Penyakit Infeksi-pendahulu 1-4 minggu sebelum onset GBS. Defisit neurologis sudah terlihat dalam 2 minggu onset ( puncaknya dalam 10 hari ). - Penyakit Infeksi-pendahulu tersebut adalah : 1. Infeksi Gastro-intestinal , . diare dengan penyebabnya adalah Campylobacter Jejuni . antibodies IgG terhadap GM 1 ( IgG Anti GM 1 antibodies ) . sub-type adalah GBS dengan defisit motorik berat 2. Infeksi traktus-urinarius ( cytomegalo virus ) Penyebab infeksi-pendahulu GBS : - terbanyak bakteri : campylobacter jejuni dan mycoplasma 136



pneumoniae - selanjutnya virus : cytomegalo, Epstein-barr, Hepatitis, HIV virus. - Untuk menerangkan hubungan antara Infeksi-pendahulu dengan terjadinya GBS adalah “ Konsep Molecular Mimicry “ - Patogenesis GBS : . penyakit infeksi-pendahulu . tubuh penderita GBS membentuk antibodies ( 30-40% ) yang bermacam-macam, yang kemudian akan menyerang terhadap glikolipid sistem saraf perifer. Glikolipid sistem saraf perifer ini merupakan target-serangan, menyebabkan demielinisasi. . terjadi Reaksi autoimmun yang menyebabkan sel imun kompeten ( sel makrofag , sel Limfosit T dan B ) secara selektif masuk Kedalam saraf perifer yang mengalami inflamasi, sehingga terjadi Kerusakkan myelin / terjadinya demielinisasi ( karena ikut peranan chemokine / cytokine ). Disebut cell-mediated immune mechanism. . dimana reaktivasi antibodies spesifik akan memberikan gambaran kliniko-patologis GBS yang spesifik pula. Disebut Antibody Mediated Mechanism dan merupakan pencetus Subtype GBS ( Respon imun yang menyimpang ) . Pada GBS sebagai patogenik faktor adalah anti-GQ1b antibodies. GAMBARAN KLINIK GBS 1. Merupakan Monophasic illness 2. Gejala Simetris, Progresif-cepat , berlangsung < 1 bulan (biasanya puncaknya 10 hari), berupa gangguan : Fungsi Motorik ( gejala yang harus ada ) : - ascending weakness yang progresif-cepat dalam beberapa hari ( biasanya 2 minggu dan < 4 minggu ) - mengenai otot-otot proksimal (lebih mencolok) dan distal - gangguan refleks tendo : hiporefleksia / arefleksia. Fungsi Sensorik : - gangguan sensorik biasanya minimal / ringan ( biasanya timbul sebelum/mengawali gangguan motorik ) berupa : . parestesi distal 50% atau . muscle pain 70% : back pain, LBP dan tungkai hebat, ini terutama dijumapi pada anak muda sebagai gejala-awal. N. Kranialis : - N. 7 relatif lebih sering ikut terkena (70%). Fungsi Respirasi : - respiratory failure didapat sekitar 30% 137



Fungsi Pharynx : - gangguan menelan Fungsi Otonom ( 60% ), berupa : - Cardiac arritmia - Fluktuasi tensi - Bladder dysfunction (retentio urin) , jarang (10-15%) & bersifat transient. - GI : Ileus 3. Infeksi - Pendahulu ( 70% ) : - paling sering diare & infeksi traktus urinarius ). Waktu onset bisa saja tidak dijumpai lagi gejala febris. 4. Pemeriksaan Penunjang : - CSF : . terdapat Albuminocytologic dissociation. - EMG : . sign of polyneuropathy : terdapat nerve conduction slowing / block ( menunjukkan adanya neuropati axonal & demielinisasi ) 5. penyembuhan 2-4 minggu setelah progresivitas berhenti. KRITERIA DIAGNOSTIK GBS 1. Gambaran yang harus ada : - Gejala simetris, progresif-cepat berupa gejala motorik / ascending weakness disertai hipo/a-Refleksia (sudah terlihat dalam 2 minggu tapi < 4 minggu dan biasanya diawali gangguan sensorik ) Gambaran yang dapat dipertimbangkan / membantu : - ada riwayat infeksi-pendahulu, meskipun saat onset febris sudah tidak ada lagi. - gangguan sensorik - defisit N.Kranialis - gangguan otonom 2. Pemeriksaan Penunjang : - Likuor serebrospinalis : . terdapat disosiasi-cytoalbumin ( protein tinggi setelah minggu I , paling sedikit 30/3 (mononuclear) cells/mm3. - EMG : . sign of polyneuropathy, berupa Demyelinating Polyneuropathy (tapi tidak selalu) . terdapat nerve conduction slowing / block ( ini menunjukkan adanya neuropati axonal & demielinisasi ) DIAGNOSA BANDING 138



1. Peripheral Neuropathy 2. Spinal cord compression / spinal cord lesion 3. Myasthenia gravis 4. Poliomyelitis Anterior Acute 5. Acquired hipokalemia / Periodic Paralysis hipokalemia 6. Polymyositis 7. Botulism TERAPI GBS Kunci keberhasilan terapi yang terpenting : 1. Management ICU terhadap Perawatan Respirasi : - Excellent general care & intensive care facilities - 25% pasien butuh artificial ventilation - monitoring & early treatment of autonomic disturbance - good nursing care 2. Terapi Andalan : - Terapi IVIG ( High-dose IV Immunoglobulin ) : . merupakan first-line therapy GBS . respon terapi sudah terlihat dalam 2 hari . dosis 0,4 gr / KgBB / hari selama 5 hari . Human IVIG komplikasinya lebih sedikit, meskipun relaps-rate-nya lebih tinggi dibandingkan PE - Plasma Exchange / PE Penilaian terhadap keberhasilan terapi dengan mengunakan Scale sbk : - Untuk GBS digunakan GBS Disability scale - Untuk CIDP digunakan Modified Rankin Disability Scale Catatan beberapa pendapat : - Terapi IVIG saja atau PE saja memberikan efek yang sama - Kombinasi IVIG & PE hasilnya tidak lebih efektif dibandingkan terapi IVIG saja atau PE saja, kecuali IgG terhadap GM1, GM1b, atau GaINAc-GDIa gangliosides maka Ivig lebih effektif. - Kombinasi IVIG & metilprednisolon ada manfaatnya yaitu mengurang kerusakkan. Dosis metilprednisolonnya 500mg / hari selama 5 hari juga. - Terapi metilprednisolon sebagai single drug tidak ada manfaatnya, dan biasanya dipakai pada keadaan khronik GBS PROGNOSIS - frekwensi kematian 3-4% karena pneumonia, iatrogenik hipotensi - 20% setelah 6 bulan dapat kembali bisa jalan tanpa bantuan, dapat Sampai 2 tahun. 139



- sisanya berupa sequale /gejala sisa kelemahan ringan selama betahuntahun (70-80%) MIASTENIA GRAVIS DEFINISI suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas dan pulih saat beristirahat, serta memberikan respon yang baik terhadap obat anti cholinesterase. EPIDEMIOLOGI - Terjadi pada berbagai usia, biasanya lebih sering pada usia 20-50 tahun. - Rasio perbandingan wanita : pria  6 : 4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu



sekitar



28 tahun, sedangkan pada pria usia 42 tahun - Tingkat kematian pada waktu lampau dapat sampai 90% - Remisi spontan dapat terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu ETIOLOGI



Kelainan Autoimun



GEJALA KLINIS - Kelemahan otot yang sifatnya fluktuasi lemah pada siang hari dan berkurang saat beristirahat. - Urutan gejala: 1. Gejala okuler : ptosis dan diplopia 2. Gejala bulbar : disfoni, disartria, dismassesi dan disfogia. 3. Kelemahan otot leher : posisi kepala kurang tegak. 4. Kelemahan otot wajah 5. Kelemahan otot lengan dan tungkai



140



KLASIFIKASI MIASTENIA GRAVIS, menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Klas l



Hanya ada kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata,



Klas ll



Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.



Klas lla



Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.



Klas llb



Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.



Klas lll



Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang



Klas llla



Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan



llllb



Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh



lV



Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.



lVa



Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan



lVb



Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan /keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.



V



Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik



DIAGNOSIS MIASTENIA GRAVIS Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :



Pengukuran kapastas vital ↓↓ setelah 5-10 kali test d ulang



Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes a.l. : 141



- Uji tensilon - Uji Prostigmin (neostigmin) - Uji kinin PEMERIKSAAN LABORATORIUM - Anti-asetilkolin reseptor antibodi - Antistriated muscle (anti-SM) antibody - Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. - Antistriational antibodies



IMAGING - Chest x-ray (foto roentgen thorak) - Chest Ct-scan - MRI ELEKTRODIAGNOSTIK - Repetitive Nerve Stimulation (RNS) - Single-fiber Electromyography (SFEMG) DIAGNOSIS BANDING - Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika) - Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring - Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii - Paralisis pasca difteri - Pseudoptosis pada trachoma - Sklerosis multipleks. - Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome) TERAPI - Bed rest - Antikolinesterase - Steroid - Azatioprin - Plasmaferesis - Timektomi KOMPLIKASI - Respiratory failure - Dysphagia - Complications secondary to drug treatment / long term steroid use : . Osteoporosis, cataracts, hyperglycemia, HTN . Gastritis, peptic ulcer disease . Pneumocystis carinii 142



PROGNOSIS - Untreated MG carries a mortality rate of 25-31% - Treated MG has a 4% mortalitiy rate - 40% have ONLY occular symptoms - Only 16% of those with occular symptoms at onset remain exclusively occular at the end of 2 years



NEURO SENSORIS II DISEASE OF SPINE AND SPINAL CORD PENDAHULUAN - Tulang belakang dari atas ke bawah di mulai dari tulang vertebra cervicalthoracal-lumbal-sacral dan os coccygeal. - Canalis spinalis berisikan medula spinalis dimana ujung akhirnya berada setinggi tulang vertebra lumbal 2. - Cedera tulang belakang dapat mengenai ligamentum, radiks atau medula spinalis. - Penyebabnya dapat trauma, infeksi, tumor, vaskuler atau proses degenerative - Simptom klinik cedera medula spinalis ditandai oleh terjadinya gangguan fungsi motorik, sensorik atau otonom. Tanda dan gejala klinik ini tergantung tipe, lokasi dan beratnya lesi/cedera yang dialami. Khusus untuk cedera medula spinalis dibedakan menjadi cedera medula spinalis Komplit dan Inkomplit Termasuk Disease of spine and spinal cord adalah : - Complete spinal transection - Neurogenic bladder - Myelopathy - Medulla compression acute - Radicular syndrome / HNP - Spondylitis TB COMPLETE SPINAL TRANSECTION DAN MEDULLA COMPRESSION ACUTE Complete Spinal Transection ( Lesi transversal medula spinalis komplit ) dan Medulla Compression Acute ( Kompresi medula akut ) adalah merupakan lesi medula spinalis / MIELOPATI yang dialami akibat : kerusakan langsung oleh kausa tertentu atau dampak cedera tulang belakang. EPIDEMIOLOGI 143



- Insiden cedera medula spinalis di setiap negara berbeda. Di Indonesia besarnya angka kejadian masih belum ada. - Umumnya laki-laki lebih banyak daripada wanita



ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Secara umum lesi medula spinalis ini dapat disebabkan oleh : 1. Trauma ( terbanyak ) - Kecelakaan Lalu-lintas , jatuh dari tempat yang tinggi - Sporting Accidents ( football, diving, gymnastic dll ) - Direct penetrating injury ( peluru, pisau ) Cedera yang ditimbulkan semuanya akibat medula spinalis mmengalami : - Compression - Sectioning - Hyperflexion, extension atau rotation 2. Infeksi, menyebabkan nekrosis neuron dan terkenanya traktustraktus. 3. Tumor ( Intrameduler / Ekstrameduler ), menyebabkan kompresi 4. Vaskuler, menyebabkan infark pada area yang diperdarahi a.spinalis anterior / Watershed T4 – T6 5. Heredodegeneratif, pengaruh genetik menyebabkan kerusakan neuron GAMBARAN KLINIK Gambaran Klinik cedera medula spinalis berdasarkan kepada : 1. Letak dan Luas - nya lesi / cedera : - Letak : bisa tingkat Cervical – Thoracal – Lumbal – Sacral - Luas : bisa Komplit atau Inkomplit Komplit , berarti ke 3 fungsi terganggu (motorik, sensorik & otonom) Inkomplit, berarti salah satu / dua fungsi terganggu 2. Sindroma Klinik - Gejala dan tanda klinik yang dijumpai pada pasien Gambaran Klinik Complete Spinal Transection ( = Lesi Transversal Medula Spinalis Komplit ) A. Stadium Akut , dinamakan Spinal Shock ( bbp jam s/d 3-6 minggu ) Gejala Defisit Neurologik : - Motorik



: paralise flaxid ( areflexia & atonia )



- Sensorik : gangguan extero & proprioseptif tingkat lesi kebawah 144



- Otonom : retensio urine, anhidrosis, pilo-arrector tidak bereaksi. Bila lesi di cervical bisa didapatkan Horner’s Syndrome ( ptosis, meiosis & anhidrosis homolateral ) - Disertai Tanda Neurogenic Shock (tensi - nadi - respirasi - suhu menurun, kulit jadi pink-warm-dry) B. Stadium Khronik ( lewat fase akut ) Gejala Defisit Neurologik : - Motorik ( ditandai Aktivitas Reflex yang meninggi ) : Diawali spasme flexion, yaitu Triple Reflex Flexor. ( bila seluruh tubuh disebut : Massal Reflex dari Riddock ) Dilanjutkan spasme extension, yaitu Triple Reflex Extensor - Sensorik : gangguan extero & proprioseptif tingkat lesi kebawah - Otonom : automatic bladder, hiperhidrosis, pilo arrector bereaksi Gambaran Klinik Medulla Compression Acute ( = Lesi Kompresi Medule Akut ) Berupa Gejala Meduler : - Tergantung pada mekanisme penyebab kompresi, bisa akut , subakut atau khronis progresif Gambaran gejala klinik tergantung pada : - Gejala dapat timbul stadium awal (pada kasus trauma) atau pada stadium lanjut ( pada penyakit yang bersifat progresif ) - Letak lesi ( setinggi C – T – L – S ) dan - Luas lesi ( komplit atau inkomplit ) PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK 1. Laboratorium : - untuk mencari kausa 2. Lumbal Pungsi - pemeriksaan Likwor serebrospinal 3. Rontgen Foto polos Vertebra - melihat kondisi tulang vertebra 4. CT Scan Vertebra / MRI - melihat kondisi medula spinalis 5. Myelografi - melihat adanya blok 6. EMNG 145



- untuk mengetahui adanya denervasi akut dan demielinisasi, serta setinggi mana lokasi lesi TATALAKSANA 1. Terapi darurat, mengacu pada ABC, cervical spine immobilisation dengan collar cervical 2. Atasi masalah gangguan : - Kardiovaskuler : pemberian vasopressor / sulfas-atropin, infus cairan - Respirasi : O2 (6-10 liter/menit), kalau perlu respiratory resuscitation - Gastrointestinal : pasang NGT - Gangguan miksi : pasang dauer kateter 3. Pemberian antibiotika bila terdapat tanda-tanda pulmonary atau urinary infection 4. Pemberian kortikosteroid : methyl prednisolon 30 mg / kgBB i.v. pada 3 - 8 jam pasca trauma ( hasil yang baik < 3jam ) 5. Perawatan umum : cegah dekubitus, retensi alvi beri laxantia 6. Terapi Rehabilitasi 7. Bila perlu tindakan operatif : - rujuk ke bagian bedah saraf dan bagian ortopedik - Perhatikan indikasi operatif - Perhatikan soal waktu ( < 24 jam pd pasien pasca trauma ) bermakna terhadap penurunan perburukan neurologis



NEUROGENIC



BLADDER



DEFINISI : NEUROGENIC BLADDER : Gangguan fungsi miksi disebabkan oleh kelainan pada sistem persarafannya, baik saraf sentral maupun perifer GANGGUAN MIKSI : Suatu keadaan dimana urin tidak dapat dikontrol untuk dikeluarkan dari kantong kemih. PATOFISIOLOGI : - Persarafan kandung kencing mempunyai 2 busur refleks : . Refleks Spinal / Intra-spinal  bersifat involunter . Refleks Supra-spinal (lobulus parasentralis)  bersifat volunter - Struktur-struktur yang memegang peranan utama pada waktu miksi 146



adalah : . Susunan Saraf : simpatis : mediolat.m.sp. L1-2 parasimpatis ( terpenting ) : mediolat. M.sp.S2-3-4 somatik / supraspinal : lobulus parasentralis . Vesica Urinaria dengan m. detrusor vesicae . M. Sphincter urethra Internus dan Externus - Struktur yang bekerja sebagai pembantu proses miksi adalah : . Otot dinding perut dan diafragma . M.Ischiocavernosus dan m. bulbocavernosus . Glottis - Sebagai “ trigger zone “ dalam proses miksi adalah : . M. detrusor vesicae dengan m. sphincter internus . Urethra proximalis . M. sphincter externus - Proses miksi : . V.U. kosong bekerja saraf Simpatis . V.U. penuh bekerja saraf Parasimpatis . V.U. penuh maksimal kerja saraf parasimpatis lebih dominan, disusul rangsangan via persarafan Somatik menuju korteks serebri (lobulus parasentralis), kemudian timbul proses miksi yang dikehendaki atau yang belum dikehendaki. Proses miksi yang dikehendaki, akan lobulus parasentralis memberi perintah : relaxasi m.Sph.ext disertai m.ischiocav. & m.bulbocav , kontraksi otot perut & diafragma serta glottis menutup, sehingga urine keluar / terjadilah proses miksi. KLASIFIKASI GANGGUAN MIKSI 1. RETENTIO URINE Suatu kead. dimana urine terkumpul di VU dan tidak dapat dikeluarkan baik secara dikehendaki maupun tidak . Terjadi pada : - Kerusakan parasimpatis shg.yg dominant adalah simpatis - Lesi tr. Corticospinalis menyebabkan



spasme m.sph.ext.



2. AUTOMATIC BLADDER Suatu kead.dimana miksi terjadi tanpa disadari & tidak bisa ditahan Terjadi pada : - Std lanjut dari lesi med.sp.saraf simpatis & parasimpatis, dimana kead.spasme dari m.sph.ext dpt diabaikan,karena adanya / terjadinya paralise & atrofi m.sph.ext kmd, sebagai 147



mekanisme miksi melulu dikuasai secara otomatis. - Kerusakan parasimp.std lanjut (bbp.minggu) dimana spasme m.sph.int suatu saat melemah karena atrofi & paralise, sehingga tekanan V.U dapat melampaui tonusnya secara mekanis. 3. ATONIC BLADDER Suatu keadaan yang serupa dengan Automotic bladder dengan perbedaan hanya pada residual urine yaitu : lebih banyak Terjadi karena sudah terjadinya atoni & atrofi m.detr.vesicae 4. INCONTINENTIA URINE : suatu keadaan dimana miksi berlangsung terus oleh karena urin selalu keluar menetes Terjadi pada : - Std lanjut dari gangguan miksi - Std shock pada lesi sus.saraf Gangguan Miksi yg terjadi pd seseorang penderita tergantung letak lesi, apakah: : Lesi suprspinal atau spinal ( bisa di saraf simpatis atau parasimpatis )



RADICULAR SYNDROME



/ HNP



Radicular Syndrome, adalah akibat radikulopati yang bisa dijumpai pada daerah:



Cervical ,



Thoracal dan Lumbal . Nyeri radikuler dapat dicetuskan oleh batuk, bersin atau straining, akibat prolapsus diskus ( HNP ) menekan radiks. HNP adalah penonjolan diskus intervertebralis yaitu protusi nukleus melalui anulus fibrosus yang robek, lig. longitudinalis posterior kedalam canalis vertebralis Prolapsus diskus paling sering dijumpai adalah kearah posterolateral GAMBARAN KLINIK . LESI CERVICAL : - Referred pain pada lengan disebabkan irritasi / penekanan pada radix daerah cervical yang disebut Brachialgia. - Initial symptom : . Sensorik : tingling , burning pada daerah distribusi / dermatom, dilanjutkan dengan nyeri radikular dimulai dari kuduk pundak - lengan – tangan sampai jari-jari. . Motorik : parese , gangguan refleks - Simptom klinik tergantung radikulopati setinggi cervical mana : - C3-4 : . Sensorik : nyeri daerah kuduk . Motorik : parsial parese diafragma untuk fungsi respirasi 148



- C5 : . Sensorik : nyeri pada area otot deltoideus dan bahu . Motorik : parese otot deltoid (fungsi abduksi lengan) , dan otot biceps brachii (fungsi fleksi lengan bawah) Refleks biceps menurun - C6 : . HNP cervical paling sering terjadi disini . Sensorik : nyeri bagian lateral lengan bawah , ibu jari dan jari ke II . Motorik : parese otot brachioradialis (fungsi supinator) Refleks supinasi menurun - C7 : . Sensorik : nyeri bagian dorsal lengan bawah , jari ke III . Motorik : parese otot triceps (extensi lengan bawah) Refleks triceps menurun - C8 : . Sensorik : nyeri pada bahu, bagian medial lengan bawah , jari IV-V . Motorik : parese otot fleksor ibu jari , otot-otot intrinsik tangan LESI THORACAL : - Prolapsus diskus disini jarang terjadi ( < 1% dari semua disc prolaps ), kalaupun terjadi biasanya setinggi T11-12. - Simptom klinik : . Sensorik : nyeri lokal / radikuler / nocturnal recumbent pain typical, dan nyeri dirasakan setinggi tempat lesi. . Motorik : paraparese inferior spastik ( jarang onoparese). Brown-Sequard Syndrome juga jarang dijumpai. LESI LUMBAL : - Nyeri lumbal lokal ( 95% pada L4-5 dan L5-S1 sedangkan Sciatic pain jarang hanya 2% ), kemudian dilanjutkan dengan nyeri radikuler dimulai dari lumbal - bokong - tungkai - kaki sampai jari-jari.(disebut Ischialgia ) - Lasseque sign (+) - Penyebabnya adalah HNP - Simptom klinik HNP Lumbal ( paling sering pada L4-5 & L5-S1 ) : . Sensorik : Nyeri lokal disusul nyeri radikuler sepanjang n.ischiadikus sampai : - kulit dorsal pedis ( HNP L4-5 ) - kulit maleolus lat.- jari IV & V (HNP L5-S1) Nyeri dapat diprovokasi dengan : - angkat berat - fleksi/rotasi, batuk - bersin , 149



- Kemp Test, Naffziger test, Lasseque sign/ Straight-leg raise, Lasseque silang . Motorik



: Parese ringan, dimana penderita tidak dapat berdiri diatas jari-jari kakinya Refleks : KPR (-) , untuk HNP L4-5 APR (-) , untuk HNP L5-S1



- Radikulopati : . L2 (jarang) : terasa nyeri di paha . L3



: parese knee-extension ( m.Quadrceps femoris ), Refleks KPR



. L4



: parese foot dorsoflexion ( m.tibialis anteror )



. L5



: parese great toe dorsoflexion ( m.ext.hallucis longus )



. S1



: parese plantar fleksi ( m.Gastrocnemius), Refleks APR



. L2-3-4 : Femoral Stretch test ( hip extension with maximal knee flexion ) : (+). - Cauda Equina Syndrome : . Nyeri radikuler dini & hebat sepanjang daerah Sciatic nerve dan nyeri vesica urinaria . Gangguan otonom : jarang & temporer ( Inkontinentia urine ) . Gangguan motorik : parese tungkai flaksid ( biasanya unilateral, kadang-kadang bilateral ) & atrofi otot . Kausa utama: tumor ependynoma , lipoma Bedakan dengan Conus Medullaris Syndrome : . Gangguan sensorik berupa Sadle Anestesi ( sangat mencolok ) . Gangguan otonom berupa inkontinensia urine et alvi, juga impotensi ( ereksi & ejekulasi ). . Gangguan motorik biasanya tidak ada , APR (-) karena lesi L5-S2, KPR (+) , bila epiconus kena didapat pula parese ringan-flaksid . Kausa utama: Trauma T-L junction, tumor Intra-meduler / metastase. ETIOLOGI. - Trauma - Tumor : extradural tumor , tumor metastase - Infeksi : Spondilitis tbc ( sering daerah thoracal ) 150



PENUNJANG DIAGNOSTIK : - MRI di tempat lesi merupakan pilihan utama untuk diagnostik herniasi, sedangkan CT Scan / CT Myelogram merupakan alternatif.



TATALAKSANA : - Acute back pain 85% sembuh dalam 6-8 minggu dengan terapi konservatif. - Bed rest segera dengan mobilisasi secepat mungkin - Hindari membongkok, angkat berat atau duduk lama - Atasi nyeri dengan adekuat analgesik : Asetaminofen , ASA , NSAID - Dapat diberi muscle relaxan : esperison , tizanidin atau diazepam - Pertimbangkan lokal Nerve root block. Bila intractable / progresif atau significant myelopati ( terdapat disfungsi sfingter ) merupakan indikasi operasi.



SPONDYLITIS TUBERCULOSIS ( POTT’S DISEASE ) Penyakit ini mengenai kolumna vertebralis. Urutan bagian kolumna vertebralis yang paling sering terkena adalah : - corpus vertebra bagian depan-dekat diskus ( paling sering ), - kemudian arcus vertebra, - selanjutnya prosesus spinosus vertebra. Yang paling sering adalah pada kolumna vertebralis Thoracalis, dapat juga Cervicalis, jarang pada Lumbalis. Penyakit ini tidak pernah primer, selalu sekunder ( via hematogen ) dari tbc paru - kelenjar - tulang. Sering dijumpai pada anak usia 4 tahun, dan dewasa muda pada usia 15-30 tahun. PATOLOGI Infeksi dimulai sebagai Single-Focus berupa Caries pada satu korpus vertebra, berbentuk jaringan granulasi berupa perkijuan & nekrosis yang berlangsung lambat / slowly progressive, yang kemudian menyebabkan perlunakkan tulang sehingga dapat mengakibatkan deformitas tulang belakang, berupa : . Gibbus / Kifosis akibat terjadi collaps / destruksi vertebra ( jarang membentuk Scoliosis ). Trauma bisa sebagai faktor pencetus. . terbentuknya Sequester / serpihan tulang. Jaringan granulasi kearah belakang akan menekan Lig.longit. posterior, lalu menjebol masuk ke ruang epidural, menonjol kearah canalis vertebralis sehingga lumen jadi menyempit, . penonjolan dapat mengenai radiks, timbul gejala Radikuler. 151



. penonjolan dapat menekan medulla spinalis, terjadi kompresi medulla spinalis, terjadi mielopati , timbul Gejala Meduler. Dari Caries sampai terjadinya kompresi meduler kadangkala bisa sampai berbulan-bulan / tahun ( artinya tanpa gejala meduler ). . lapisan duramater ditempat ini ikut mengalami peradangan, menebal, mengeras, terjadi Pachymeningitis Lokal yang dapat meluas keatas-kebawah tetapi tidak dapat masuk keruang subdural med.spinalis.



Kadangkala dari proses perkijuan terjadi pembentukkan Absces, yang mana Absces Thoracal dapat : . kedepan kiri-kanan sebagai Paravertebral Absces . turun kebawah timbul Psoas Absces / cold absces . kebelakang kearah canalis vertebralis, menimbulkan gejala Neurologis ( gejala radikuler & meduler ) Absces dapat juga terbentuk : . Substernocleidomastoideus Absces , Retrofaringeal Absces, Mediastinal Absces Kadangkala tuberkel tsb. dapat makin membesar sebagai Tuberculoma (biasanya kemudian mengalami perkapuran). Mirip tumor med.spinalis. GAMBARAN KLINIK ( Sign & Symptom ) : 1. Gejala Caries : - Nyeri Lokal / back pain , menyebabkan pembatasan gerak, Sehingga timbul Gejala Kekakuan-gerak / rigiditas. - Progresifitas proses inflamasi pada akhirnya menyebabkan terjadinya destruksi medulla-spinalis, dengan ditemukannya tanda /sign dari defomitas Kolumna Vertebralis ( Gibbus / Kifosis ). 2. Gejala Radikuler ( dapat bilateral ) , berupa : - Oksipital neuralgia - Brachialgia - Intercostal neuralgia - Femoral neuralgia / Ischialgia 3. Gejala Kompresi Meduler ( timbulnya pada fase lanjut ) - Gejala simetris, terjadinya bisa Akut ( faktor trauma sebagai pencetus ) Subakut atau Progresif. - Gejala ditentukan oleh luas lesi ( lesi transversal partiel atau total ) dan



tinggi lesi : . Motorik : Parese flaksid setinggi lesi 152



Parese spastik dibawah tinngkat lesi Gangguan Refleks . Sensorik : Gangguan dibawah tingkat lesi . Otonom : Gangguan miksi & defekasi pada awalnya retensio kemudian jadi inkontinensia - Bila letak lesi pada : C8 :



. akan didapatkan pula gejala Horner Sympathetic Syndrome ( bila disertai pula atrofi m.interossei maka dikenal sebagai lumpke-Dejerine Paralise )



T8-12 : . akan didapatkan pula paralise otot abdominal - Pada kompresi medule berat didaerah thoracal & cervical bisa didapatkan pula gejala Priapism 4. Bila terbentuk Absces - dapat terlihat pada pemeriksaan Radiologi DIAGNOSTIK 1. Gejala klinik ( berdasarkan urutan khronologis ) : Nyeri Lokal - kekakuan gerak tubuh / rigit - deformitas Kolumna vertebralis ( kifosis/gibbus , jarang skoliosis ) - Nyeri Radikuler Gejala Meduler. 2. Tuberculin Test 3. Rontgen Foto kol.-vertebralis , yang karakteristik ditemukan : - Gibbus - Kadangkala Costae sekitar gibbus tampak seperti karangan bunga atau dijumpainya paravertebral absces 4. Lumbal Pungsi - Warna likwor xanthochrom - Queckenstedt test, menunjukkan adanya blok partiel/total, tercermin terdapatnya Froin Syndrome / disosiasi sitoalbumin ( protein naik ). DIAGNOSIS BANDING 1. Infeksi : osteomielitis vertebra 2. Tumor : Keganasan pada vertebra (primer / metastasis) atau tumor Medula spinalis 3. Aneurisma Aorta : aneurisma ini menyebabkan erosi vertebra, yang kemudian bisa timbul gejala kompresi medule. TATALAKSANA 1. Terapi Konservatif : 153



- Analgesik - Tuberculostatika ( kombinasi 3 macam obat ) - Fiksasi & Dekompresi , yaitu immobilisasi kolumna vertebralis dengan Gibs bed / gibs korset - Perawatan terhadap blader 2. Terapi Operatif : - Operasi bila terapi konservatif gagal atau progresivitas gejala - Spinal fusion / bone graft ( dekompresi ) - Dalam tindakan operatif sekalian dibersihkan Absces , pengangkatan sequester ( bila ada ) 3. Fisioterapi PROGNOSIS - Tergantung kondisi kesehatan pasien - Kematian umumnya akibat dekubitus / cystitis - Lebih dari 50% pasien pada akhirnya akan meninggal dunia.



154