Modul Jatuh Geriatri [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SKENARIO Laki-laki, 68 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan menurut keluarganya tiba-tiba terpeleset dan jatuh terduduk di depan kamar mandi tadi pagi. Setelah itu, kedua tungkai tak dapat digerakkan tetapi kalau diraba atau dicubit masih dirasakan oleh penderita. Sejak seminggu penderita terdengar batuk-batuk dan agak sesak napas serta nafsu makan sangat berkurang tetapi tidak demam. Penderita selama ini mengidap dan minum obat penyakit kencing manis dan tekanan darah tinggi, kedua mata dianjurkan untuk dioperasi tetapi penderita selalu menolak. I. KATA SULIT 1. Jatuh: 2. Penyakit kencing manis: 3. Tekanan darah tinggi: II. KALIMAT KUNCI 1. Laki-laki, 68 tahun 2. MRS, keluhan menurut keluarga tiba-tiba terpeleset dan jatuh terduduk di depan kamar mandi 3. Kedua tungkai tak dapat digerakkan tetapi kalau diraba atau dicubit masih dirasakan 4. Batuk-batuk dan agak sesak napas, nafsu makan berkurang, tidak demam 5. Riwayat mengidap dan meminum obat penyakit kencing manis dan tekanan darah tinggi 6. Dianjurkan untuk operasi mata tetapi penderita menolak III. PERTANYAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Jelaskan proses penuaan! Jelaskan etiologi jatuh pada lansia! Jelaskan faktor-faktor resiko terjadinya jatuh! Apa hubungan penyakit-penyakit yang ada pada skenario dengan jatuh? Apa hubungan riwayat minum obat pada skenario dengan jatuh? Apa komplikasi yang dapat terjadi akibat jatuh pada skenario? Jelaskan langkah-langkah diagnosis untuk skenario!



1



8. Tentukan skala prioritas dan penatalaksanaan untuk skenario! 9. Bagaimana penanganan awal dan pencegahan yang dilakukan untuk skenario! 10. Tuliskan perspektif islam terkait skenario! IV. JAWABAN 1. Jelaskan proses penuaan !(1) Jawab : Definisi Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Dibawah ini merupakan teori-teori yang membahas mengenai proses menua sebagai berikut : 1. Teori Keterbatasan Hayflick (Hayflick Limit Theory)  Bahwa sel-sel mengalami perubahan kemampuan reproduksi sesuai dengan bertambahnya usia. 2. Teori Kesalahan (Error Theory)  Peningkatan usia mempengaruhi perubahan sel dimana sel-sel Nukleus menjadi lebih besar tetapi tidak diikuti dengan peningkatan jumlah substansi RNA/DNA.  Proses menua adalah akibat kesalahan pada saat transkripsi sel (reproduksi dari enzim dan



rantai peptida protein) berdampak pada penurunan



kemampuan kualitas (daya hidup) sel atau bahkan sel-sel baru relatif sedikit terbentuk, akhirnya dapat merubah komposisi yang berbeda dari sel awal (Sonneborn, 1979). 3. Teori Pakai dan Usang (Wear & Tear Theory)



2



 Bahwa proses menua merupakan proses pra – program yaitu proses yang terjadi akibat akumulasi stress dan injuri dari trauma.  Menua dianggap sebagai “Proses fisiologis yang ditentukan oleh sejumlah penggunaan dan keusangan dari organ seseorang yang terpapar dengan lingkungan. 4. Teori Imunitas (Immunity Theory)  Ketuaan disebabkan oleh adanya penurunan fungsi sistem immun (pada Limposit –T dan Limposit-B).  Berdampak pada semakin meningkatnya resiko terjadinya penyakit yang berhubungan dengan autoimmun. 5. Teori Ikatan Silang (Cross Linkage Theory)  Akibat adanya struktur molekular dari sel berikatan secara bersama-sama membentuk



reaksi



kimia,



membentuk



jaringan



baru,



yang



akan



bersinggungan dengan jaringan yang lama dan membentuk ikatan silang kimiawi.  Hasil akhirnya adalah peningkatan densitas kolagen dan penurunan kapasitas untuk transport nutrient serta untuk membuang produk-produk sisa metabolisme dari sel. 6. Teori Replikasi DNA  Teori ini mengemukakan bahwa proses penuaan merupakan akibat akumulasi bertahap kesalahan dalam masa replikasi DNA, sehingga terjadi kematian sel.  Kerusakan DNA akan menyebabkan pengurangan kemampuan replikasi ribosomal DNA (rDNA) dan mempengaruhi masa hidup sel.  Sekitar 50% rDNA akan menghilang dari sel jaringan pada usia kira-kira 70 tahun.



3



7. Teori Kelainan Alat  Terjadinya proses penuaan adalah karena kerusakan sel DNA yang mempengaruhi pembentukan RNA sehingga terbentuk molekul molekul RNA yang tidak sempurna. Ini dapat menyebabkan terjadinya kelainan enzim-enzim intraselular yang mengganggu fungsi sel dan menyebabkan kerusakan atau kematian sel/organ yang bersangkutan.  Pada jaringan yang tua terdapat peningkatan enzim yang tidak aktif sebanyak 30% - 70%.  Bila jumlah enzim menurun sampai titik minimum, sel tidak dapat mempertahankan kehidupan dan akan mati. 8. Teori Pace Maker/Endokrin  Teori ini mengatakan bahwa proses menjadi tua diatur oleh pace maker, seperti kelenjar timus, hipotalamus, hipofise, dan tiroid yang menghasilkan hormon-hormon, dan secara berkaitan mengatur keseimbangan hormonal dan regenerasi sel-sel tubuh manusia.  Proses penuaan terjadi akibat perubahan keseimbangan sistem hormonal atau penurunan produksi hormon-hormon tertentu 9. Teori Telomere  Telomere : sekuen pendek DNA nontranskripsi yg dpt dulang berkali-kali (TTAGGG) di setiap ujung kromosom, saat pembelahan somatik telomere memendek secara progresif. Akhirnya



pada pemebelahan



sel multipel,



telomere yg terpotong parah akan mensinyal proses penuaan sel.  Pemendekkan telomere dpt menjelaskan batas replikasi sel. Hal ini didukung oleh penemuan bahwa panjang telomere berkurang sesuai umur individu. 10. Teori Radikal Bebas (Free Radical Theory)



4



 Teori radikal bebas mengasumsikan bahwa proses menua terjadi akibat kekurang-efektifan fungsi kerja tubuh dan hal itu dipengaruhi oleh adanya berbagai radikal bebas dalam tubuh 2. Jelaskan etiologi jatuh pada lansia !(2) Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa faktor, antara lain: 1. Kecelakaan: merupakan penyebab jatuh yang utama (30-50% kasus jatuh pada lansia)  Murni kecelakaan misalnya terpeleset, tersandung  Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-kelainan akibat proses menua misalnya karena mata kurang awas, benda-benda yang ada di rumah tertabrak, lalu jatuh. 2. Nyeri kepala dan atau vertigo 3. Hipotensi orthostatic:  Hipovolemia/curah jantung rendah  Disfungsi otonom  Penurunan kembalinya darah vena ke jantung  Terlalu lama berbaring  Pengaruh obat-obat hipotensi  Hipotensi sesudah makan 4. Obat-obatan  Diuretik/antihipertensi  Antidepresan tetrasiklik  Sedative  Antipsikotik  Obat-obat hipoglikemik  Alkohol 5. Proses penyakit yang spesifik Penyakit-penyakit akut seperti:  Kardiovaskuler: o Aritmia o Stenosis aorta o Sinkope sinus carotis  Neurologi: o TIA o Stroke



5



o Serangan jantung o Parkinson o Kompresi saraf spinal karena spondilosis o Penyakit cerebellum 6. Idiopatik (tak jelas sebabnya) 7. Sinkope: kehilangan kesadaran secara tiba-tiba  Drop attack (serangan roboh)  Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba  Terbakar matahari 3. Jelaskan faktor-faktor resiko terjadinya jatuh!(3) Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh : A. SISTEM SENSORIK Yang berperan di dalamnya adalah : visus ( penglihatan ), pendengaran, fungsi vestibuler, dan proprioseptif. Semua gangguan atau perubahan pada mata akan menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga akan menimbulkan gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lansia yang diduga karena adanya perubahan fungsi vertibuler akibat proses menua. Neuropati perifer dan penyakit degenaritf leher akan mengganggu fungsi proprioseptif. Gangguan sensorik tersebut menyebabkan hampir sepertiga penderita lansia mengalami sensasi abnormal pada saat dilakukan uji klinik. B. SISTEM SARAF PUSAT ( SSP ) SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson, hidrosefalus tekanan normal sering diderita oleh lansia dan menyebabkan gangguan gungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input sensorik. C. KOGNITIF Pada beberapa penelitian, dementia diasosiasikan dengan meningkatnya resiko jatuh. D. MUSCULOSKELETAL



6



Faktor ini disebutkan oleh beberapa oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang benar – benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya jatuh. Gangguan musculoskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan ( gait ) dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain disebabkan oleh :  Kekakuan jarungan penghubung  Berkurangnya masa otot  Perlambatan massa otot  Perlambatan konduksi saraf  Penurunan visus / lapangan pandang  Kerusakan proprioseptif Yang kesemuanya menyebabkan :  Penurunan range of motio ( ROM ) sendi  Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan ekstremias bawah  Perpanjangan waktu reaksi  Kerusakan persepsi dalam  Peningkatan postural sway ( goyangan badan ) Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah pendek, penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang gouah. Perlambatan reaksi mengakibatkan seorang lansia susah / terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung, kejadian tiba – tiba, sehingga memudahkan jatuh. Secara singkat faktor risiko jatuh pada lansia dibagi dalam dua golongan besar, yaitu : 1. Faktor – faktor intrinik ( faktor dari dalam )  Kondisi fisik dan neuropsikiatrik  Penurunan visus dan pendengaran  Perubahan neuro muskuler, gaya berjalan, dan refleks postural karena proses menua 2. Faktor – faktor ekstrinsik ( faktor dari luar )



7



 Obat – obatan yang diminum  Alat – alat bantu berjalan  Lingkungan yang tidak mendukung ( berbahaya ) 4. Apa hubungan penyakit-penyakit yang ada pada skenario dengan jatuh?(4,5,6) Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor yang berperan didalamnya, baik faktor intrinsik dari diri lansia tersebut seperti gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkope dan dizziness, serta faktor ekstrinsik seperti lantai yang licin dan tidak rata, tersandung benda-benda, penglihatan kurang karena cahaya kurang terang, dan sebagainya. Selain itu, ada faktor situasional yang mungkin mempresipitasi jatuh antara lain penyakit akut. Eksaserbasi akut dari prnyakit kronik yang diderita lansia juga sering menyebabkan jatuh, misalnya sesak napas akut, nyeri dada tiba-tiba pada penderita penyakit jantung iskemik, dan lainlain. Pada skenario disebutkan bahwa pasien menderita penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit mata (suspek katarak). Selain itu dipaparkan beberapa gejala yang mengarah ke penyakit pneumonia seperti, batuk-batuk, agak sesak napas, nafsu makan berkurang tetapi tidak demam. Penyakit di atas dapat menimbulkan gejala klinik yang menjadi faktor resiko jatuhnya pasien pada skenario. Berikut penjelasan antara hubungan masing-masing penyakit dengan jatuh: A. Diabetes Melitus Sama dengan sel lain, kelenjar endokrin dapat mengalami kerusakan yang bersifat age-related cell loss,fibrosis, infiltrasi limfosit dan sebagainya. Perubahan karena usia pada reseptor hormon, kerusakan permeabilitas sel dan sebagainya, dapat menyebabkan perubahan respon inti-sel terhadap kompleks hormone-reseptor.



Menurunnya



toleransi



glukosa



pada



usia



lanjut



berhubungan dengan berkurangnya sensitivitas sel perifer terhadap efek insulin (resistensi insulin). Pasien-pasien dengan diabetes tidak mampu mempertahankan kadar glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikeminya berat maka timbul glukosuria. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang



8



meningkatkan pengeluaran urin (polyuria) dan timbul rasa haus (polydipsia). Dari gejala klinik yang didapatkan pada pasien diabetes seperti polyuria, dapat menyebabkan pasien akan sering keluar masuk kamar mandi. Apabila hal tersebut didukung oleh lingkungan yang rentan dalam hal ini kamar mandi yang licin dengan penerangan yang tidak terlalu baik maka akan meningkatkan resiko jatuh pada geriatri. B. Hipertensi Penderita hipertensi biasanya tidak menimbulkan gejala, kenaikan tekanan darah baru diketahui sewaktu pemeriksaan skrining kesehatan. Gejala umum hipertensi yaitu sakit kepala, pusing, dan tinnitus. Gejala klinik yang timbul pada pasien hipertensi khususnya sakit kepala dan pusing dapat menjadi faktor resiko jatuh pada pasien geriatri. C. Infeksi Infeksi dalam hal ini mengarah ke pneumonia berdasarkan gejala klinik yang disebutkan pada skenario. Pada usia lanjut, apabila menderita penyakit akut, onset penyakit berlangsung pelan-pelan, tidak mendadak seperti pada usia muda. Keluhan utamanya adalah demam ringan, batuk dengan produksi sputum pada 60% kasus. Pada 30% kasus keluhan permulaannya hanya berupa kelemahan dan anoreksia, tanpa demam yang nyata. Infeksi tanpa demam yang nyata pada pasien dengan usia lanjut dihubungkan dengan penurunan fungsi termoregulator di hipotalamus dan penurunan efek fisiologik lekosit dalam melawan infeksi. Gejala klinik pada pasien pneumonia seperti kelemahan akan menjadi faktor resiko jatuh pada lansia yang diperberat oleh kerentanan lingkungan (licin dengan penerangan yang tidak baik). D. Suspek Katarak Pada usia lanjut, terjadi kekeruhan pada lensa mata yang dapat menyebabkan penglihatan menjadi kabur. Keadaan tersebut dapat menjadi faktor resiko jatuh bagi pasien geriatri. 5. Apa hubungan riwayat minum obat pada skenario dengan jatuh?(7,8,9,10) Terapi farmakologis hipertensi Golongan obat



9



Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid (misalnya bendroflumetiazid), beta‐bloker, (misalnya propanolol, atenolol,) penghambat angiotensin converting enzymes (misalnya captopril, enalapril), antagonis angiotensin II (misalnya candesartan, losartan), calcium channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin) dan alphablocker (misalnya doksasozin). Yang lebih jarang digunakan adalah vasodilator dan antihipertensi kerja sentral dan yang jarang dipakai, guanetidin, yang diindikasikan untuk keadaan krisis hipertensi. Diuretik tiazid Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 12‐24 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada dosis tinggi. Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya, oleh karena itu tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek samping Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan hipokalemia, hiponatriemi, dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi karena penurunan ekskresi kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat mengakibatkan hiperurisemia, sehingga pewnggunaan tiazid pada pasien gout harus hati‐hati. Diuretik tiazid juga dapat mengganggu toleransi glukosa (resisten terhadap insulin) yang mengakibatkan peningkatan resiko diabetes mellitus tipe 2. Efek samping yang umum lainnya adalah hiperlipidemia, menyebabkan peningkatan LDL dan trigliserida dan penurunan HDL. 25% pria yang mendapat diuretic tiazid mengalami impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika pemberian tiazid dihentikan.



10



Beta-blocker Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system renninangiotensin‐ aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Beta blocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective beta‐blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hatihati. Beta‐blocker yang non‐selektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta‐1 dan beta‐ 2. Beta‐blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol, bekerja sebagai stimulan‐beta pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga). Hal ini menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa beta‐ blocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek adrenoseptoralfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek agonis beta‐2 atau vasodilator. Beta‐ blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid. Obat‐obat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Beta‐



11



blocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat terjadi fenomena rebound. Efek samping Blokade reseptor beta‐2 pada bronkhi dapat mengakibatkan bronkhospasme, bahkan jika digunakan beta‐bloker kardioselektif. Efek samping lain adalah bradikardia, gangguan kontraktil miokard, dan tanga‐kaki terasa dingin karena vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta‐2 pada otot polos pembuluh darah perifer. Kesadaran terhadap gejala hipoglikemia pada beberapa pasien DM tipe 1 dapat berkurang. Hal ini karena beta‐blocker memblok sistem saraf simpatis yang bertanggung jawab untuk “memberi peringatan“ jika terjadi hipoglikemia. Berkurangnya aliran darah simpatetik juga menyebabkan rasa malas pada pasien. Mimpi buruk kadang dialami, terutama pada penggunaan beta‐blocker yang larut lipid seperti propanolol. Impotensi juga dapat terjadi. Beta‐blockers non‐selektif juga menyebabkan peningkatan kadar trigilserida serum dan penurunan HDL. ACE inhibitor Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari precursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II merupakan vaso‐konstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin iI ini akan menurunkan tekanan darah. Jika system angiotensin‐renin aldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat. Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis pertama ACEii harus diberikan



12



pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah. Antagonis Angiotensin II Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya. Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas. Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok system renin‐angitensin melalui jalur antagonis reseptor AT1 dengan pemberianantagonis reseptor angiotensin II mungkin bermanfaat. Antagonis reseptor angiotensin II (AIIRA)mempunyai banyak kemiripan dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena efeknya pada ginjal, ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan pada stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu. Efek samping ACEi dan AIIRA Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal dan kadar elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan selama terapi karena kedua golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEi dan AIIRA dapat menyebabkan hiperkalemia karena menurun‐kan produksi aldosteron, sehingga suplementasi kalium dan penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat terapiACEI atau AIIRA. Perbedaan anatar ACEi dan AIIRA adalah batuk kering yang merupakan efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang mendapat terapi ACEi. AIIRA tidak menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin. Calcium channel blocker Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel‐sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung



13



pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan dugunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina. Semua CCB dimetabolisme di hati. Efek samping Pemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering dijumpai, karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan mual juga sering terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks ion kalsium, oleh karena itu CCB sering mengakibatkan gangguan gastro‐intestinal, termasuk konstipasi. Alpha-blocker Alpha‐blocker (penghambat adreno‐septor alfa‐1) memblok adrenoseptor alfa‐1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten. Efek samping Alpha‐blocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi pada pemberian dosis pertama kali. Alpha‐blocker bermanfaat untuk pasien laki‐laki lanjut usia karena memperbaiki gejala pembesaran prostat. Golongan lain Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah. Antihipertensi kerja sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha‐2 atau reseptor lain pada batang otak, menurunkan aliran simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal, sehingga efek ahirnya menurunkan tekanan darah. Efek samping Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi hati harus dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui hati. Hidralazin



juga



diasosiakan



dengan



sistemiklupus



eritematosus.



Minoksidil



diasosiasikan dengan hipertrikosis (hirsutism) sehingga kkurang sesuai untuk pasien



14



wanita. Obat‐obat kerja sentral tidak spesifik atau tidak cukup selektif untuk menghindari efek samping sistem saraf pusat seperti sedasi, mulut kering dan mengantuk, yang sering terjadi. Metildopa mempunyai mekanisme kerja yang mirip dengan konidin tetapi dapat memnyebabkan efek samping pada system imun, termasuk pireksia, hepatitis dan anemia hemolitik Terapi farmakologi Diabetes 1. Insulin Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel. Efek samping jika dosis pemberian tidak terkontrol dapat menyebabkan hipoglikemi 2. Obat Antidiabetik Oral Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat a. Golongan Sulfonilurea Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat berproduksi Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat golongan ini merupakan pilihan untuk diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya Sulfonilurea generasi pertama Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati. Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung, 2002). Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal



15



Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi, masa paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1hidroksilheksamid



yang



ternyata



lebih



kuat



efek



hipoglikemianya



daripada



asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-hidroksilheksamid juga memperlihatkan masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat albumin, masa paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa hari setelah pengobatan dihentikan Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam Sulfonilurea generasi kedua Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali lebih kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak efektif lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya berlainan dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama makan) (Tjay dan Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme dalam hati menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan melalui ginjal. Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya waktu paruh 5 jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak aktif Efek samping pada pengobatan ini dapat menyebabkan hipoglikemi dan vertigo. Sehinga harus di control dalam pemberian obat b. Golongan Biguanida



16



Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang overweight c. Golongan Tiazolidindion Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel β pankreas. Contoh: Pioglitazone, Troglitazon. 6. Apa komplikasi yang dapat terjadi akibat jatuh pada skenario?(11,12) Pada kasus ini pasien dinyatakan jatuh terpeleset. Seseorang yang jatuh terpeleset kemungkinan bisa ke depan atau ke belakang. Jika jatuh ke depan maka kemungkinan akan mengalami trauma capitis atau cidera ekstremitas atas sebagai akibat menahan tubuh dengan tangan. Sedangkan jika jatuh ke belakang maka kemungkinan akan mengalami trauma capitis atau cidera ekstremitas atas atau cidera tulang belakang (vertebra). Pada kasus ini tidak dikeluhkan adanya trauma capitis atau cidera ekstremitas atas, cidera yang terjadi hanya berupa tungkai yang tidak dapatdigerakkan tapi masih bisa merasakan ketika diraba dan dicubit. Ini berarti bahwa kemungkinan yang mengalami gangguan adalah persarafan motorik tungkai tersebut sementara saraf sensoriknya masih berfungsi dengan baik. Secara anatomis tungkai (ekstremitas bawah) dipersarafi oleh serabut saraf dari vertebra segmen lumbal dan sacral. Jadi kemungkinan besar ketika terjatuh, pasien tersebut mengalami trauma vertebra segmen lumbosakral yang mengakibatkan tertekannya ramus-ramus saraf di cornu anterior atau bagian dari kornu anterior dari segmen lumbosakral tersebut yang



17



tertekan yang berfungsi sebagai



saraf



motorik



pada



kedua



tungkai



yang



mengakibatkan tungkai tidak dapat digerakkan.



komplikasi-komplikasi lain dari jatuh adalah : a.Perlukaan mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot, robeknyaarteri/vena, patah tulang atau fraktur misalnya fraktur pelvis, femur,humerus, lengan bawah, tungkai atas. b.Disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang berhubungandengan perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat jatuh yaitukehilangan kepercayaan diri dan pembatasan gerak. c.Neurologis kelemahan otot , gangguan saraf perifer (terutama sensasi posisi ) dan adanya gangguan keseimbangan dan cara berjalan . d.Mati 7. Jelaskan langkah-langkah diagnosis untuk skenario!(13) Pendekatan diagnostik Pada pasien geriatri/ usia lanjut kita harus melakukan pemeriksaan secara berkesinambungan. Dengan maksud agar dapat meninjau keseluruhan dari gangguan fisinya, psikososial dan juga gangguan fungsional sehingga nantinya dapat mengidentifikasikan masalah tersebut termasuk mengidentifikasikan faktor resiko yang berperan serta kemudian merencanakan penatalaksanaan menyeluruh dengan penekanan



18



pada kemampuan fungsional pasien atu setidaknya memberikan perhatian yang sama dengan diagnosis dan pengobatan penyakit sebab kompleksitas masalah pada usia lanjut dapat meningkatkan resiko iatrogenik. Pemeriksaan yang dilakukan: a. Anamnesis Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata jatuh atau keluarganya. Anamnesis meliputi:  Seputar jatuh : mencari



penyebab



jatuh



misalnya



terpelesat,



tersandung, berjalan, perubahan posisi badan, waktu mau berdiri dari jongkok, sedang makan, sedang buang air kecil atau besar, sedang batuk 



atau bersin, sedang menoleh tiba – tiba atau aktivitas lain Gejala yang menyertai : nyeri dada, berdebar – debar, nyeri kepala







tiba – tiba, vertigo, pingsan, lemas, konfusio, inkontinens, sesak nafas Kondisi komorbid yang relevan : pernah stroke, Parkinsonism, osteoporosis, sering kejang, penyakit jantung, rematik, depresi, defisit







sensorik, hipertensi, diabetes melitus Review obat – obatan yang diminum : antihipertensi, diuretik, autonomik







bloker, antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik, psikotropik Riview keadaan lingkungan : tempat jatuh, rumah maupun tempat –



tempat kegiatannya. b. Pemeriksaan fisik  Mengukur tanda vital : tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu 



badannya Kepala dan leher



: apakah terdapat penurunan visus, penuruan



pendengaran, nistagmus, gerakan yang menginduksi ketidakseimbangan, 



bising Pemeriksaan jantung : kelainan katup, aritmia, stenosis aorta, sinkope







sinus carotis Neurologi







perifer, kelemahan oot, instabilitas, kekakuan, tremor Muskuloskeletal : perubahan sendi, pembatasan gerak sendi,



: perubahan status mental, defisit lokal, neuropati



problem kaki (podiatrik), deformitas c. Assesmen fungsional



19



Seharusnya dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebiasaan pasien dan aspek fungsionalnya dalam lingkungannya, ini sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan. Pada assesmen fungsional dilakukan observasi atau pencarian terhadap: 1. Fungsi gait dan keseimbangan : observasi pasien ketika bangkit dan duduk dikursi, ketika berjalan, ketika membelok atau berputar badan, ketika mau duduk dibawah 2. Mobilitas : dapat berjalan sendiri tanpa bantuan, menggunakan alat bantu (kursi roda, tripod, tongkat) atau dibantu berjalan oleh keluarganya. 3. Aktifitas kehidupan sehari – hari : mandi, berpakaian, berpergian, kontinens. Terutama kehidupannya dalam keluarga dan lingkungan sekitar (untuk mendeteksi juga apakah terdapat depresi dll) d. Pemeriksaan tambahan 1. Radiologi : melihat adanya fraktur, perlu juga foto thoraks untuk melihat ada tidaknya pneumonia 2. Laboratorium : pemeriksaan darah rutin, GDS, elekrolit, urin, albumin, SGOT dan SGPT, fraksi lipid, fungsi tiroid 8.Tentukan skala prioritas dan penatalaksanaan untuk skenario!(14,15,16,17,18) Penanganan Cedera Spinal Penatalaksaan sesuai kemampuan dokter layanan primer dapat dilakukan dengan: 1. 2. 3. 4. 5.



Semua fraktur dikelola secara emergensi Lakukan penilaian awal akan adanya cedera lain yang dapat mengancam jiwa. Pasang cairan untuk mengantisipasi kehilangan darah yang tidak terlihat Lakukan stabilisasi fraktur Rujuk segera ke layanan sekunder. Prinsip terapi cedera spinal traumatika ditujukan untuk meminimalkan



kemungkinan tejadinya defisit neurologis, mengembalikan intergritas kolum spinalis semaksimal mungkin, mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi, dan optimalisasi rehabilitasi fungsional. Hasil penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa defisit neurologis akibat cedera medulla spinalis dapat dikurangi secara bermakna dengan pemberian metil-prednisolon intravena dalam delapan jam pertama. Dosis awal yang



20



diberikan di dalam penelitian tersebut adalah 30 mg/kg berat badan diberikan dalam 15 menit pertama, dan diikuti dengan 5,4 mg/kg/jam. Pada penderita di mana obat diberikan dalam 3 jam pertama setelah cedera, infus intravena harus dilanjutkan selama 24 jam . Sementara bila terjadi antara 3-8 jam, maka harus dilanjutkan sampai 48 jam, kecuali bila ada komplikasi. Penanganan operasi pada cedera spinal terutama ditujukan untuk stabilisasi yaitu dengan prosedur instrumentasi dengan memakai berbagai bahan. Sumber: Infeksi (Pneumonia ) Penaganan dan rehabilitas. Pengobatan ISPA/ pneumonia dilakukan dengan pemberian kemoterapi dan pengobatan umum ( terapi oksigen, terapi hidrasi dan fisioterapi ). Kemoterapi merupakan kunci utama pengobatan pneumoni. Tujuan pemberian kemoterapi adalah untuk membasmi kuman penyebab pneumonia. Pemberian kemoterapi harus berdasarkan petuunjuk penemuan kuman terhadap antibiotika ). Berhubung satu dan lain hal, misalnya : penyakit penderita sangat serius , dan perlu pengobatan segera , kuman penyebab infeksi belum dapat diketahui pasti menjelang terapi, sehingga antibiotic pemberiannya dilakukan secara empirik. Bila penyakitnya ringan atau sedang , antibiotic diuberikan secara oral , sedangkan bila berat diberikan secara parenteral. Pengobatan umumnya diberikan selama 7-10 hari pada kasus tanpa komplikasi atau antibiotic diteruskan sampai 3 hari bebas panas. Hidrasi penderita harus diperhatikan . pada keadaan penyakit yang ringan rehidrasi dapa dilakukan secara oral, sedangkan pada penyakit yang berat, rehidrasi dilakukan secara parenteral, menggunakan larutan elektrolit. Pada pneumonia usia lanjut , fisioterapi harus diberikan.penderita perlu tirah baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk menghindari timbulnya pneumonia hipostatik, kelemahan dan dekubitus.



21



Diabetes Melitus Terapi untuk Diabetes Melitus dilakukan dengan modifikasi gaya hidup dan pengobatan ( algoritma pengelolaan DM tipe 2 ) Cara pemberian OHO, terdiri dari : 1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan tingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal. 2. Sulfonilurea : 15-30 menit sebelum makan. 3. Repaglinid , nateglinid : sesaat sebelum makan 4. Metformin : sebelum/ pada saat/sesudah makan. 5. Penghambat glukosidase ( Acarbose ) : bersama makan suapan pertama 6. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan 7. DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama mkan dan atau sebelum makan. Pemantauan dan tindak lanjut 1. Edukasi dan manajemen nutrisi Berat badan : diukur setiap kali kunjungan Penilaian rutin : kandungan , kuantitas, dan pengaturan waktu supan makanan. Disesuaikan dengan kebutuhan Targe : penurunan berat badan menuju berat badan ideal dan control gula darah tercapai. 2. Latihan fisik Penilaian aktivitas fisik : paling sedikit setiap tiga bulan sekali Rencana latihan : penggabungan dengan pilihan aktivitas sekarang ini dan level ativitas : ditingkatkan sampai batas toleransi . 3. Perawatan kaki



22



Setiap kali pasien berkunjung dilakukan pemeriksaan visual kaki, sensibilitas, dan vasularisasi 4. Monitoring kemajuan dan hambatan penatalaksanaan 5. Pencegahan retinopati/ pengobatan 5 pencegahan retinopati Pemrerisaan retino mata dilakukan segera setelah diagnosis DM dilakukan dan diulang satu tahun sekali dan lebih sering adanya rentinopati. Hipertensi Seperti dikemukakan diatas penatalaksanaan hipertesi pada usia lanjut, dilakukan setelah



semua



masalah



mendapat



perhatian



secara



seksama



dan



perlu



mempertimbangkan berbagai aspek.pedoman dari JNC –VII perlu diperhatikan betul, diantaranya mengenai jenis-jenis obat yang dianjurkan seperti diketahui salah satu pesan dari JNC VII adalah : 



Obat yang pertama diberikan saebaiknya adalah diuretik golongan tiasid







Apabila tekanan darah > 160 mmHg, biasanya diperlukan lebih dari 1 macam anti-hipertensi , dimana obat kombinasi ini sebaiknya termasuk diuretika tiasid







Pertimbangan jenis obat yang lain sebaiknya dengan mempertimbangkan “ compelling-indication” atau indikasi keadaan lain yang menyertai.



Suspek katarak Penatalaksanaan dengan pembedahan .untuk menentukan waktu katara dapat dibedah ditentukan oleh keadaan tajam penglihatan dan bukan hasil pemeriksaan. Operasi katara terdiri dari pengangkatan sebagian besar lensa dan penggantian lensa dengan implant plastic . saat ini pembedahan semakin banyak dilakukan dengan anestesi local daripada anestesi umum. Ananstesi local diinfiltrasikan disekitar bola mata dan



23



kelopak mata atau diberikan secara topical. Operasi dilakukan dengan insisi luas pada perifer kornea atau sclera anterior, diikuti oleh ekstraksi ( lensa diangkat dari mata ) katarak ekatrakasular. Insisi harus dijahit. Likuifikasi lensa menggunakan probe ultrasonografi yang dimasukkan melalui insisi yang lebih kecil dari kornea atau sclera anterior 9. Bagaimana penanganan awal dan pencegahan yang dilakukan untuk skenario!(19) PENANGANAN Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang dan menerapi komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik, dan mengembalikan kepercayaan diri penderita. The Panel on fall telah merekomendasikan penanganan jatuh pada masyarakat, sesduah melakukan asistment secara menyeluruh,mengidentifikasikan anormalitas dari komponen kontrol postural dan performen fisik secara menyeluruh dari keseimbangan dan cara berjalan,juga masalah kesehatan, status fungsional, dan cara mendapatkan bantuan. Penyebab yang potensial berpengaruh dicatat dan direncanakan strategi penanganan baik intervensi secara farmakologi/pembedahan & rehabilitasi seperti yang tercantum pada appendik F. Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau eliminasi faktor resiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus terspadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik,dll), sosialworker, arsitek, dan keluarga penderita. Penatalaksanaan bersifat individualis, artinya berbeda untuk setiap kasus karena perbedaan faktor-faktor yang bersama-sama mengakibatkan jatuh. Bila penyebab merupakan penyait akut penanganannya menjadi lebih mudah, sederhana, dan langsung bisa menghilangkan penyebab jatuh serta efektif. Tetapi lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi, perbaikan lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lansia itu. Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan bepergian/aktifitas fisik, penggunaan alat bantu gerak.



24



• Pengelolaan gangguan penglihatan Peresepan lensa kaca mata harus dapat mengoreksi dengan tepat gangguan ketajaman penglihatan. Kacamata dengan lensa tunggal lebih dipilih dibandingkan dengan lensa multifokal karena menimbulkan gangguan persepsi kedalaman dan kontras bagian tepi yang meningkatkan resiko jatuh. Katarak yang dilakukan ekstraksi akan menurunkan resiko jatuh meskipun katarak tunggal. Untuk gangguan adaptasi gelap terapi dengan mengganti terapi glaukoma yang tidak menyebabkan miosis. Intervensi gangguan penglihatan ini umumnya tidak efektif sebagai intervensi tunggal. Penglihatan dapat berperan menurunkan resiko jatuh sebagai bagian program penurunan resiko secara multifaktorial. • Pengelolaan gangguan keseimbangan Latihan merupakan komponen yang paling berhasil dari program penurunan resiko jatuh dan merupakan intervensi tunggal yang efektif berdasarkan meta analisis. Pada lansia yang memiliki resiko tinggi untuk jatuh, kebutuhan dan lama latihan keseimbangan sangat individual. Penelitian terkini menyarankan latihan kelompok juga efektif. Latihan keseimbangan pada pasien lansia dapat dilihat pada appendik F. • Intervensi obat-obatan Terapi obat-obatan pada pasien harus dikaji lebih lanjut. Obat-obatan yang diberikan harus benar-benar diperlukan, obat-obatan yang terlalu banyak akan meningkatkan resiko jatuh. Apabila memungkinkan terapi nonfarmakologi harus dilakukan pertama kali. Benzodiasepin baik yang kerja panjang maupun yang kerja pendek meningkatkan resiko jatuh demikian juga trisiklik antidepresan dan golongan selective serotonin reuptake inhibitor khususnya pada dosis tinggi. Obat-obat psikotropika harus dimulai dengan dosis rendah dan kemudian dinaikkan perlahan. Pemberian obat-obat penghiang sakit kronik secara terjadwal lebih efektif dibandingkan pemberian bila diperlukan. Terapi ekstrapiramidal dengan levodopadan obat yang lain dapat memperbaiki imobilitasi tetapi sering tidak dapat memperbaiki instabilitas postural. Postural hipertensi dapat dikontrol dengan penyesuaian dosis obat, kaus kaki



25



kompresi, perubahan perilaku misalnya menghindari perubahan posisi yang mendadak, latihan ROM (Range of Motion) aktif pada ekstremitas bawah untuk meningkatkan venous return sebelum posisi berdiri. • Intervensi lingkungan Intervensi tunggal pada penelitian terkontrol mengatakan bahwa modifikasi lingkungan akan meningkatkan keamanan, namun tidak menurunkan resiko jatuh. Bagaimana pun intervensi lingkungan merupakan bagian dari program multifaktorial, keamanan lingkungan difikirkan berpengaruh menurunkan resiko yang paling mudah dilakukan. • Pemakaian alas kaki Berjalan dengan menggunakan kaus kaki sebaiknya dicegah. Sepatu harus sesuai dengan ukuran kaki, kuat, dan mempunyai bentuk yang baik dengan sol yang tidak licin, dan hak yang rendah. Alas kaki dengan tali sepatu sering menyebabkan slip. Sepatu olahraga kurang menyebabkan jatuh pada orang tua. • Intervensi pendidikan/pengetahuan yang berhubungan jatuh Data-data intervensi ini sedikit tersedia. Satu penelitian acak terkontrol yang dilakukan oleh Reinsch dan kawan-kawan yang mengikutkan 230 lansia yang hidup di masyarakat membandingkan tentang peningkatan pengetahuan tentang jatuh yang dilakukan seminggu sekali dengan peningkatan pengetahuan kesehatan yang tidak ada hubungan dengan jatuh. Kedua intervensi ini setelah diikuti selama 1 juta tahun mendapatkan bahwa pengetahuan tentang jatuh saja tidak memberikan pengaruh terhadap angka kejadian jatuh. PENCEGAHAN Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena bila sudah terjadi jatuh pasti terjadi komplikasi, meskipun ringan tetap memberatkan. Ada 3 usaha pokok untuk pencegahan ini, antara lain : • Identifikasi faktor resiko Pada setiap lansia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya faktor intrinsik resiko jatuh, perlu dilakukan asessment keadaan sensorik, neurologik, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering mendasari/menyebabkan jatuh.



26



Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat. Peralatan rumah tangga sudah tidak aman (lapuk, dapat bergeser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat aktifitas lansia. Kamar mandi dibuat tidak licin, sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding. Banyak obat-obatan yang berperan terhadap jatuh. Mekanisme tersering termasuk sedasi, hipotensi ortostatic, efek ekstrapiramidal, miopati dan gangguan adaptasi visual pada penerangan yang redup. Obat-obatan yang menyebabkan sedasi diantaranya golongan benzodiasepin (Diazepam, chlordiazepoxide, flurozepam, desmethy-diazepam, oxazepam, lorazepam, nitrazepam, triazolam, alprazolam), antihistamin bersifat sedatif, narkotik analgesik, trisiklik antidepresan (Amitryptiline, Imipramine), SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) misalnya fluoxetine, setraline, antipsikotik, antikonvulsan dan etanol. Obatobat yang menyebabkan hipotensi orthostatic seperti antihipertensi, antiangina, obat antiparkinson, trisiklik antidepresan dan anti psikotik. Obat-obat yang menyebabkan efek ekstrapiramidal misalnya metokloperamide, anyipsikotik, SSRI. Obat-obatan yang menyebabkan miopati misalnya "kortikosteroid, colchisine, statin dosis tinggi terutama apabila dikombinasi dengan fibrat, interferon. Obat yang menyebabkan miosis seperti pilocarpine untuk pengobatan glaukoma. Dosis, waktu pemberian, dan ketaatan minum obat juga mempengaruhi terjadinya jatuh. Pasien dengan obat yang banyak/polifarmasi rentan pula mempengaruhi keseimbangan. Alat bantu berjalan yang dipakai lansia baik berupa tongkat, tripoid, kruk atau walker harus dibuat dari bahan yang kuat tetapi ringan, aman tidak mudah bergeser serta sesuai dengan ukuran tinggi badan lansia. • Penilaian cara berjalan (GAIT) dan keseimbangan - Penilaian pola berjalan secara klinis



27



Salah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah pola jalan. Keseimbangan, kekuatan dan flesibilitas diperlukan untuk mempertahankan postur yang baik. Ketiga elemen itu merupakan dasar untuk mewujudkan pola jalan yang baik pada setiap individu. Pola jalan yang normal dibagi 2 fase yaitu: • Fase pijakan (stance phase) Fase ini adalah fase dimana kaki bersentuhan dengan pijakan. Fase ini 60 persen dari durasi berjalan yang dibagi menjadi 3 yaitu:  Heel stroke yaitu saat tumit salah satu kaki menyentuh pijakan.  Mid stance yaitu saat kaki menyentuh pijakan.  Push off yaitu saat kaki meninggalkan pijakan. • Fase dimana kaki tidak menyentuh pijakan (swing phase) Fase ini 40 persen dari durasi berjalan yang dibagi menjadi 3 yaitu:  Acceleration yaitu saar kaki ada di depan tubuh.  Swing through yaitu saat kaki berayun ke depan.  Deselerasi yaitu saat kaki kembali bersentuhan dengan pijakan Dalam pola jalan lansia ada beberaa perubahan yangmungkin terjadi, diantaranya sebagai berikut: • Sedikit ada rigiditas pada anggota gerak terutama anggota gerak atas dari anggota gerak bawah. Rigiditas akan hilang apabila tubuh bergerak. • Gerakan otomatis menurun, amplitudo dan kecepatan berkurang seperti hilangnya ayunan tangan saat berjalan. • Hilangnya kemampuan untuk memanfaatkan gravitasi sehingga kerja otot meningkat. • Hilangnya ketepatan dan kecepatan otot, khususnya otot penggerak sendi panggul. • Langkah lebih pendek agar merasa lenih aman. • Penurunan perbandingan antara fase mengayun terhadap



28



fase menumpu. • Penurunan rotasi badan terjadi karena efek sekunder kekakuan sendi. • Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun • Penurunan sudut antara tumit dan lantai • Penurunan irama jalan • Penurunan rotasi gelang bahu dan panggul • Penurunan kecepatan ayunan lengan dan tungkai - Penilaian keseimbangan Pemeriksaan keseimbangan seharusnya dilakukan saat berdiri secara statis dan dinamik, termasuk pemeriksaan kemampuan untuk bertahan terhadap ancaman baik internal maupun eksternal. Pemeriksaan statis termasuk lebar cara berdiri sendiri dan cara berdiri sempit dengan kedua kaki yang nyaman tanpa dukungan ekstremitas atas, diikuti oleh berdiri dengan mata tertutup untuk menghilangkan pengaruh visual untuk penderita gangguan keseimbangan. Penghilang input visual saat berdiri dengan kaki menyempit (Tes Romberg) membutuhkan informasi somatosensorik dan vestibuler, sehingga meningkatnya goyangan menandakan adanya masalah sensori perifer vestibuler. Bagi lansia yang dapat melakukan tes Romberg dengan baik, tes statis yang lebih sulit seperti semitandem, tandem dan satu kaki yang terangkat dapat dilakukan. Kemampuan untuk mempertahankan postur berdiri sebagai respon dari gangguan internal dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk melakukan tes pencapaian fungsionaltes dinamik respon tubuh untuk gangguan eksternal dapat dilakukan jika penderita lansia telah mampu untuk melakukan tes keseimbangan statis lebar tanpa menggunakan alat bantu atau bantuan ekstremitas atas. Tes refleks yang benar (The test of righting reflexes), pemeriksa berdiri dibelakang pasien yang diminta untuk menarik atau mendorong, dan bereaksi untuk mempertahankan tetap berdiri. Pemeriksa kemudian secara cepat mendorong pelvis pasien pada bagian belakang sambil menjaga pasien secara dekat. Kekuatan dorongan dengan amplitudo yang cukup untuk mengubah pusat massa keluar dari dasar landasan pasien. Respon yang kas, satu kaki akan berpindah ke belakang secara cepat tanpa bantuan ekstremitas atas atau



29



bantuan pemeriksa. Respon yang abnormal disebut reaksi balok kayu/timber reaction yang mana tidak ada usaha untuk menggerakkan kaki dan diperkirakan adanya defisit sistem nervous sentral, sering bersama dengan komponen ekstrapiramidal. • Mengatur/ mengatasi faktor situasional Faktor situasional yang bersifat serangan akut/eksaserbasi akut penyakit yang diderita lansia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lansia secara periodik. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan seperti tersebut di atas. Faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan penderita. Perlu diberitahukan pada penderita aktifitas fisik seberapa jauh yang aman bagi penderita, aktifitas tersebut tidak boleh melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasi pemeriksaan kondisi fisik, maka dianjurkan lansia tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi untuk terjadinya jatuh. 10. Tuliskan perspektif islam terkait skenario! Persfektif Islam Surah Ar Ruum ayat 54-55: Kekuasaan Allah dalam penciptaan-Nya terhadap manusia dari sejak lahir hingga matinya kemudian dibangkitkan-Nya. ‫ضلعةفءا عوعشلميعبةة عيلخلممق عمءا عيعشءامء عومهييعو اللعِللميييم‬ ‫ضلع ٍةف مقوو ة مثوم عجعععل ِلملن عبلعِلد مقوو ٍةة ع‬ ‫ضلع ٍةف مثوم عجعععل ِلملن عبلعِلد ع‬ ‫اولم الوِلذ ي عخلععقمكلم ِلملن ع‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫ع‬ (٥٥) ‫(عوعيلوعم عتقوم الوسءاععة ميقِلسم الملجِلرمموعن عمءا لِلبثوا عغلميعر عسءاعع ٍةة عكعذِللك عكءامنوا ميلؤعفكوعن‬٥٤) ‫العقِلديمر‬ Terjemah Surat Ar Ruum Ayat 54-55 54.Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Yang Maha Mengetahui lagi Mahakuasa. 55. Dan pada hari (ketika) terjadinya Kiamat, orang-orang yang berdosa bersumpah, bahwa mereka berdiam (dalam kubur) hanya sesaat (saja). Begitulah dahulu mereka dipalingkan (dari kebenaran).



30



Surah Al Hajj ayat 5 “Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim, menurut kehendak kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah kami turunkan air hujan di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah”. (Q.S. Al-Hajj: 5) AL-isra` ayat 23-24



Arti nya : "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-sekali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik".



Artinya : "Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah.'Wahai Tuhanku!' Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil."



DAFTAR PUSTAKA 1. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat



31



Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; p. 1346 2. Referensi: Buku Ajar Boedhi-Darmojo, Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Edisi ke-4, Balai Penerbit FK-UI, Jakarta, Hal. 178-179, 2011. 3. Martono, H.Hadi, Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut, Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2009. Hal 176-177 4. Martono, Hadi. 2013. Buku Ajar Geriatri Edisi 5. Jakarta: FK-UI. Hal. 180-184, 488, 527-528. 5. Gray, Huon dkk. 2005. Lecture Notes Kardiologi Edisi 4. Jakarta: Erlangga. Hal. 59 6. Price, Sylvia A. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC. Hal 1263. 7. British National Formulary (52). London: British Medical Association and Royal Pharmaceutical Society of Great Britain; 2006. 8. National Institute for Health and Clinical Excellence. Hypertension. Management of hypertension in adults in primary care. London:NICE;2006. 9. Hawkins M, Rossetti L. Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of Type 2 Diabetes. In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson AM, Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes Mellitus. Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 425-448, 2007 10. Diabetes Control and Complications Trial Research Group : The effect of intensive diabetes treatment on the development progression of long-term complications in insulin-dependent diabetes mellitus: the Diabetes Control and Complication Trial. N Engl J Med 1993;329:978-986. 11. Baehr, M and Frotscher, M. 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS : Anatomi,Fisiologi, Tanda, Gejala. Jakarta : Penerbit EGC 12. Buku Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi V. hal 819 13. 13.Martono, H.Hadi , Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi 5.Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI; 2014. Halaman 190 – 191 14. Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Jakarta: Gramedia. Hal. 402-403 15. Buku Ajar Boedhi-Darmojo geriatric, Edisi 5. Badan penerbit fakultas kedoteran universitas Indonesia, Jakarta. hal 529-530



32



16. Faqih, Daeng M dkk. 2013. Panduan Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi I. Jakarta: IDI. Hal. 251-252. 475-479. 17. Buku Ajar Boedhi-Darmojo geriatric, Edisi 5. Badan penerbit fakultas kedoteran universitas Indonesia, Jakarta. hal 548-549 18. Vaughan, Asbury.2013. General Opthalmologi Edisi 17.Jakarta: Penerbit Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. Hal 157 19. Boedhi, Darmojo, R. 2009. Buku Ajar Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ) edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI hal.185-189,191-193



33