Morbus Hansen [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit kronik granulomatosa yang secara primer menyerang saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotel, mata, otot, tulang, dan testis. Penyebab kusta adalah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat.. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980 dimana program Multi Drug Treatment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi. Pengobatan Kusta pada wanita hamil dan anak-anak harus sangat di perhatikan. Baik dari dosis sampai pemilihan jenis obat. Agar dapat menghindari efek samping yang tidak di kehendaki. 1.2 Tujuan dan Manfaat Dalam menyusun referat ini, penulis memiliki tujuan-tujuan yang diharapkan dapat tercapai, sebagai berikut Bagi penulis Melalui penyusunan referat ini, penulis berharap mampu menerapkan ilmu-ilmu yang dimiliki dan menambah bekal pengetahuan yang dapat berguna kelak dalam memasuki dunia kerja di masa depan. Manfaat yang diharapkan adalah agar bagi penulis maupun pembaca lebih memahami mengenai proses terjadinya penyakit Morbus Hansen, penyebab, klasifikasi, dan pengobatan yang tepat dan rasional terlebih pengobatan lepra pada ibu hamil dan anak-anak.



BAB II 1



PEMBAHASAN



I.



DEFINISI : Kusta atau Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1



II.



EPIDEMIOLOGI: Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. 1 Masa tunas nya sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. 1 Kelompok umur terbanyak yang menderita penyakit ini adalah usia 25-35 tahun. Frekuensi pada jenis kelamin pria atau pun wanita adalah sama. 2



III.



ETIOLOGI: Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia



1



.Kuman ini bersifat obligat



intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro , berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 -8μm x 0,5μm, bersifat tahan asam dan alkohol.Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune response , yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik. 3



2



Sumber :http://www.ciriscience.org/Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microsc opy IV.



PATOFISIOLOGI: 3 Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik. Penularan penyakit kusta sebenarnya belum dapat diketahui pasti dan masih berdasarkan anggapan klasik. Sarana utama penularan adalah dengan penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut terbuka. Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh, meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan. Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk kusta lepromatosa. Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit, selaput lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis. Daerah-daerah tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh mana imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya penyebaran bacillary dan perkalian, penampilan yang merusak jaringan



3



komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan pengembangan kerusakan saraf dan gejala sisa. M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, gram positif basil dengan afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada khususnya, mengikat mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya ditemukan di saraf perifer) dalam lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya merangsang respon kekebalan yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan kronis. Akibatnya, pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan kematian aksonal. Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari penyakit ini. Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas seluler (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. 1



4



Patofisiologi Lepra , sumber : http://mmbr.asm.org/content/74/4/589.full



5



Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta:



Sumber : http://mmbr.asm.org/content/74/4/589/F2.expansion.html



V.



KLASIFIKASI: Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit lepra yang terdiri berbagai tipe, yaitu : TT : tuberkuloid polar, bentuk yang stabil Ti : tuberkuloid indefinite BT : borderline tuberculoid BB : Mid borderline Bl : borderline lepromatous Li : lepromatosa indefinite LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL. 6



Menurut WHO (1981), lepra dibagi 2 menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, yaitu tipe LL,BL, dan BB pada klasifikasi RidleyJoping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari 2+, yaitu tipe TT,BT, dan I. 1 Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kulit, yaitu tipe TT,BT, dan I, sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,BL,LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif ,harus diobati dengan rejimen MDT-MB. 1 Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 ) 1



1. Lesi kulit (makula datar, papul yang meninggi, nodus)



2. Kerusakan



saraf



PB -



1-5 lesi Hipopigmentasi/eritema Distribusi tidak simetris Hilangnya sensasi jelas



-



Hanya satu cabang saraf



MB - > 5 lesi - Distribusi



lebih



simetris Hilangnya



sensasi



-



(menyebabkan



-



kurang jelas Banyak cabang saraf



hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)



Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 1 Sifat 



Lesi Bentuk







Jumlah 7



Lepromatosa (LL)



Borderline Lepromatosa (BL)



Mid (BB)



Makula Infiltrat difus Papul Nodus Tidak terhitung, praktis



Makula Plakat Papul



Plakat Dome-shape (kubah) Punched-out



Sukar



Borderline



dihitung, Dapat dihitung, kulit



 



Distribusi Permukaan



 



Batas Anestesia BTA  Lesi kulit  Sekret hidung Tes Lepromin



tidak ada kulit sehat Simetris Halus berkilat



masih ada kulit sehat Hampir simetris Halus berkilat



Tidak jelas Biasanya tidak jelas



Agak jelas Tak jelas



sehat jelas ada Asimetris Agak kasar, agak berkilat Agak jelas Lebih jelas



Banyak (ada globus) Banyak (ada globus)



Banyak Biasanya negatif



Agak banyak Negatif



Negatif



Negatif



Negatif



Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB) 1 Karakteristik 



Tuberkuloid (TT)



Lesi Tipe



Borderline Tuberculoid (BT)







Jumlah







Distribusi







Permukaan



Makula ; makula Makula dibatasi dibatasi infiltrat infiltrat saja; infiltrat saja Satu atau dapat Beberapa atau satu beberapa dengan lesi satelit Terlokalisasi & Asimetris asimetris Kering, skuama Kering, skuama







Batas



Jelas



Jelas







Anestesia



Jelas



Jelas







BTA lesi kulit



Hampir selalu Negatif atau hanya 1+ negative Positif kuat (3+) Positif lemah



Tes lepromin



Indeterminate (I) Hanya Infiltrat Satu atau beberapa Bervariasi Dapat halus agak berkilat Dapat jelas atau dapat tidak jelas Tak ada sampai tidak jelas Biasanya negatif Dapat positif lemah atau negatif



VI. DASAR DIAGNOSIS VI.1 Gejala klinis



Diagnosis



penyakit



kusta



didasarkan



gambaran



klinis,



bakterioskopis,



histopatologis dan serologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang 8



terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau memeungkinkan dapat dilakukan tes lepromib (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkab terapi yang sesuai. Bila kuman M. Leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloud, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. Agar proses selanjutnya lebih jelas lihat bagan patogenesis ini.



Kontak



Infeksi



Subklinis 95% sembuh 9



non infeksi



70%



Indeterminate (I)



Intermediate (I) 30 % Determinate Determinate



I



TT



Ti



BT



BB



BL



Li



LL



Ridley dan Joping memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas pelbagai tipe atau bentuk, yaitu : TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil Ti : Tuberkuloid indefinite BT : Borderline tuberculoid BB : Mid Borderline BL : Borderline Lepromatous Li : Lepromatosa indefinite LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil



Tipe I (Indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkoloid polar, yakni tuberkuloid 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan 50% lepromatoda. BT dan Ti lebih banyak



10



tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe capuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe ke arah TT maupun ke arah LL. KLASIFIKASI



ZONA SPEKTRUM KUSTA



Ridley & Jopling



TT



Madrid



Tuberkuloid



Borderline



WHO



Pausibasilar (PB)



Multibasilar (MB)



Puskesmas



PB



MB



BT



BB



BL



LL Lepromatosa



Multibasilar berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL, dan BB. Sedangkan pausibasilar berarti mengandung sedikit kuman, yakni tipe TT, BT, dan I. Menurut WHO pada tahun 1981 kusta dibagi menjadi multibasilar dan paubasilar. Yang termasuk multibasilar adalah tipe LL, BB, dan BL. Pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari positif 2, sedangkan Pausibasilar adalah tipe I, BT dan TT dengan IB kurang dari 2. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif. Pada pemeriksaan kerokam jaringan kulit, yaitu tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita tipe BB, LL, dan BL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif harus diobati dengan regimen MDT MB. Pada tahun 1995, WHO menyederhanakan klasifikasi kusta menurut gejala klinis menjadi dua yaitu PB dan MB. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat saja atau campuran. Penyakit kulit yang perlu diperhatikan sebagai diagnosa banding antara lain adalah dermatofitosis, tinea vesikolor, ptiriasis rosea, ptiriasi alba, dermatitis seboroik, psoriasi, neurofibromatosis, granula anulare, xantomatosa,



11



skleroderma, leukemia kutis, tuberkulosis kutis verukosa dan birth mark. Pada pemeriksaan inspeksi dapat dijumpai keadaan mirip penyakit lain, namun ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu dalam menegakan diagnosis meskipun belum terlalu jelas dan hal ini dapat dengan mudah dilakukan dengan pemeriksaan mengunakan jarum sebagai rangsang nyeri, kapas sebagai rangsang raba, atau pengujian rasa suhu (panas dingin) dengan mengunakan tabung reaksi. Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi otonom, perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas ataupun tidak yang dipertegas dengan menggunakan pensil, tinta (tanda Gunawan). Cara menggoreskannya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal maka goresan akan lebih tebal daripada tengah lesi. Alopesia kadang dapat ditemukan pada area lesi. Gangguan motorik dapat dinilai dengan Voluntary Muscle Test (VMT). Saraf perifer yang dapat terkena dapat dinilai dari pembesaran, konsistensi, ada tidaknya nyeri spontan, atau nyeri tekan. Beberapa saraf yang perlu diperiksa antara lain N. Fasialis, N.Aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Deformitas yang terjadi dibagi dua yaitu deformitas primer yang diakibatkan oleh granuloma yang dibentuk M.leprae yang mendesak dan merusak jaringan sekitar seperti kulit, mukosa dan jari, sedangkan deformitas sekunder yang diakibatkan deformitas primer yang dibentuk sebelumnya seperti kerusakan kontraktur sendi hingga mutilasi. Alopesia yang terjadi seringkali disebabkan karena infiltrasi granuloma ke dalam jaringan adneksa kulit hingga ke folikel rambut. Sedangkan ginekomastia dapat timbul karena



12



inflitrasi granuloma yang pada tubulus seminiferus testis yang mengakibatkan gangguan hormonal. Untuk membuat diagnosa klinis perlu diperhatikan kedua bentuk polar dari TT dan LL dibawah ini.



Bentuk campuran mempunyai sifat campuran antara kedua bentuk polar tersebut. Pada gambar diatas kita dapat melihat hubungan masing-masing antara spektrum kusta dengan pemeriksaan bakterioskopik, SIS, dan tes Mitsuda.



VI.2 Pemeriksaan fisik 4 1.Tuberculoid Leprosy (TT, BT) Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih mampu melokalisir sehingga didapatkan gambran batas yang tegas. Mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plak,dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central clearing.Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak dapat sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran 13



hipopigmentasi,kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan asimetris.



Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular



Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy



Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular inkomplit dengan papul satelit



2. Borderline Leprosy Pada tipe BB borderline,meruapakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga



bentuk



dimorfik.



Lesi



kulit



berbentuk



antara



tuberculoid



dan



lepromatous.Terdiridari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang khas. Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.



14



Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy



3. Lepromatous Leprosy Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dengancepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya.Distr -ibusi lesi hampir simetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti punched out. Tandatanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,hipopigmentasi, keringat



dan



hilangnya



rambut



berkurangnya



lebih



cepat



muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat predileksi. Tipe LL,jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm, simetris,permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi Dematofibroma-like



multipel,



batas



tegas,



nodul,



eritem.Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif membentuk facies leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia



.



Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy



Deformitas pada kusta Deformitas dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap 15



M.Leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan saraf, umumnya deformitas terjadi diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. 1 Gejala-gejala kerusakan pada saraf : 1. N.ulnaris ◦



Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis







Clawing kelingking dan jari manis







Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial



2. N. medianus ◦



Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah







Tidak mampu aduksi ibu jari







Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah







Ibu jari kontraktur







Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral







Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk







Tangan gantung (wrist drop)







Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan



3. N. radialis



4. N. poplitea lateralis ◦



Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis







Kaki gantung (foot drop)







Kelemahan otot peroneus



5. N. tibialis posterior 16







Anestesia telapak kaki







Claw toes







Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis







Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus







Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan



6. N. fasialis



ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir 7. N. trigeminus ◦



Anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata



Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang dapat membuat paralisis



N.Orbicularis



palpebrarum



sebagian



atau



seluruhnya,



mengakibatkan



lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. 1 Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus semineferus testis. 1



Kusta histoid Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relapse resistent. 1



17



Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi karena kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat, baik dosis maupun pemberiannya,disebut juga resisten sekunder. 1 Relaps resistents terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang sama karena kuman telah resisten terhadap obat MDT, disebut juga resisten primer. 1



Pemeriksaan saraf tepi 4 a. N. auricularis magnus Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya. b. N. ulnaris Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan merasakan adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya. c. N. peroneus lateralis Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya. d. N. tibialis posterior Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan, meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya. Pemeriksaan Fungsi Saraf 4 a. Tes sensorik 18



Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin. - Rasa raba Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien. Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti, tes kembali dilakukan -



dengan mata pasien tertutup. Rasa tajam Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah disentuhkan bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya, kemudia pasien diminta menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan



-



seperti pemeriksaan rasa raba. Suhu Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin. Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan pasien diminta menentukan panas atau dingin.



b. Tes Otonom Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu : 1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan) 2. Tes Pilokarpin 3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis, dan n. peroneus4 VI.3 Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaaan bakterioskopik, Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling 19



aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae1. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP). 1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP 2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP 3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP 4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP 5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP 6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid. IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan. 2. Pemeriksaan histopatologi, Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggu, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat 20



menghancurkan M.Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 1 Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.



3. Pemeriksaan serologik: Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.Leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi antilipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis. Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA



(Enzyme



Linked



Immuno-Sorbent



Assay)



dan



ML



dipstick



(Mycobacterium Leprae dipstick). 1 4.Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan



21



eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis3. Reaksi kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. 1. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral. 4



a. Reaksi tipe 1 Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading) seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun selular yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil. Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal. Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan. Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain sehingga disebut reaksi borderline. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif 22



singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup 4. b. Reaksi tipe II Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral , yaitu reaksi hipersnsitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi tipe II sering disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus, mengkilap, tampak nodul atau plakat, ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi, testis, dan limfe. 4



Tabel perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2 4 No. Gejala/tanda 1 Kondisi umum 2



Peradangan kulit



Tipe I (reversal) Baik atau demam ringan



Tipe II (ENL) Buruk, disertai malaise dan



febris di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan, lebih



meradang



(merah), lunak, dan nyeri tekan.



dapat timbul bercak baru



Biasanya pada lengan dan tungkai. Nodul dapat pecah



3



Waktu terjadi



Awal pengobatan MDT



(ulserasi) Setelah pengobatan yang lama, umumnya lebih dari



4 23



Tipe kusta



PB atau MB



6 bulan MB



5



Saraf



Sering terjadi Umumnya berupa tekan



6



Keterkaitan



7



organ lain Faktor pencetus



saraf



dan



Dapat terjadi nyeri atau



gangguan fungsi saraf Hampr tidak ada  



Melahirkan Obat-obat



Terjadi pada mata, KGB, sendi, ginjal, testis, dll  Emosi yang  Kelelahan dan stress



meningkatkan kekebalan tubuh







fisik lainnya kehamilan



Tabel Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 4 No Gejala/tanda 1.



Kulit



2



Saraf tepi



3



Keadaan umum Keterlibatan organ lain



4



Tipe I Ringan Berat Bercak : Bercak : merah, merah, tebal, tebal, panas, panas, nyeri nyeri yang bertambah parah sampai pecah Nyeri Nyeri pada pada perabaan perbaan (+) (-) Demam Demam (+) (-) -



Tipe II Ringan Berat Nodul : Nodul : merah, panas, merah,panas,nyeri nyeri yang bertambah parah sampai pecah



Nyeri pada Nyeri pada perabaan perabaan (-) (+)



Demam (+)



Demam (+)



-



+ Terjadi peradangan pada :  mata : iridocyclitis   



24



testis : epididimoorchitis ginjal : nefritis kelenjar limpa limfadenitis



:







gangguan pada tulang, hidung, dan tenggorokan *bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi berat



Fenomena Lucio Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut. Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. 1 VII. DIAGNOSIS BANDING: 2 Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:  Ada Makula hipopigmentasi  Ada daerah anestesi  Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam  Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya.



1.



Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea,



2.



atau dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis,



3.



psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas atau psoriasis.



25



4.



Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau erupsi obat



VIII.



PENATALAKSANAAN Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yang dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita4 Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. 4 Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (Diaminodifenil sulfon) kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan resistensi obaat sedangkan MDT untuk kusta baru dimulai tahun 1971.1



Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui Kusta diperburuk selama kehamilan, sehingga sangat penting bahwa terapi multidrug standar dilanjutkan selama kehamilan. Program Aksi untuk Penghapusan Kusta, WHO, Jenewa telah menyatakan bahwa rejimen MDT standar dianggap aman, baik untuk ibu dan anak, dan karena itu, harus dilanjutkan berubah selama kehamilan. Sebuah jumlah kecil obat anti-lepra diekskresikan melalui ASI, tetapi tidak ada laporan efek samping sebagai akibat dari ini kecuali untuk perubahan warna kulit ringan dari bayi karena klofazimin. Perlakuan dosis tunggal untuk pasien kusta lesi tunggal paucibacillary harus ditunda sampai setelah melahirkan. 6



26



Hormonal dan imunologi perubahan dalam penumpasan kehamilan menyebabkan sel-dimediasi kekebalan dan memburuknya gejala. Bayi yang lahir dari ibu dengan berat lahir rendah memiliki kusta dan peningkatan risiko terserang penyakit itu. WHO merekomendasikan MDT karena itu dilanjutkan selama kehamilan .Namun, obat yang digunakan dalam pengobatan kusta tidak tanpa risiko dan pengobatan harus di bawah pengawasan spesialis5 .Rifampisin mengurangi efektivitas kontrasepsi hormonal, saran kontrasepsi sehingga alternatif harus ditawarkan. Dosis tinggi dari rifampisin mungkin teratogenik dan tidak dianjurkan untuk digunakan selama trimester pertama. Dapson dapat menyebabkan hemolisis neonatal dan methaemoglobinamea. Jika perlu harus diresepkan untuk wanita hamil dalam kombinasi dengan asam folat. Klofazimin dapat menyebabkan perubahan warna pada kulit bayi yang disusui. Penggunaan thalidomide tetap ketat kontra-ditunjukkan pada wanita usia subur. 5 DDS Ada dua jenis relaps pada kusta yaitu relaps sensitive (persisten) dan relaps resisten. Pada relaps persisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Tetapi setelah dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit, ternyata M.Leprae yang semula dorman, sleeping, atau persisten bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan sebelumnya, basil dorman sukar dihancurkan dengan obat atau MDT apapun. Pada relaps resisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik yang khas dapat dibuktikan dengan percobaan dan inokulasi pada mencit, bahwa M.Leprae resisten terhadap DDS. Resisten hanya terjadi pada kusta multibasilar tetapi tidak pada pausibasilar, oleh karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relative singkat. Pengertian MDT pada saat ini adalah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan obat-obat lain. Dosis DDS ialah 1-2 mg/kg BB setiap hari. Efek sampingnya antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom



DDS,



nekrosis



methemoglobinemia. 1 27



epidermal



toksik,



hepatitis,



hipoalbuminemia,



dan



Rifampicin Kombinasi DDS dengan dosis 10mg/kg BB, diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampicin tidak bileg diberikan sebagai monoterapi karena dapat memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi. Efek Samping yang harus di perhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit. 1 Klofazimin (lamprene) Dosis sebagai antikusta ialah 50mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari atau 3x100mg setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300 mg/hari namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu. Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan pada sclera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat diberikan. 1 Ofloksasin Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium Leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya., berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness,



28



nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukkan dan biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati. Selain ofloksasin dapat pula digunakan levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari. Obat tersebut lebih baru, jadi lebih efektif. 1 Minosiklin Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampicin. Dosis standar harian 100 mg. Efek sampingna adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simptom saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizzines dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak di anjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan1 Klaritromisin Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99 % kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering di temukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg. 1 Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap negative dan klinis tidak ada keaktivan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control (RFC). 1 MDT untuk pausibasilar ( I, TT, BT ) adalah rifampicin 600 mg setiap bulan dan DDS 100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan. Selama pengobatam, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan 29



pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakn RFC. 1 WHO pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus Multibasilar menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus Pausibasilar dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. 1 Penderita multibasilar yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal ini rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, dilanjutkan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 8 bulan. 1 Bagi penderita MB yang menolak klofazimin dapat di berikan ofloksasin 400 mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain ialah diberikan rifampicin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24 bulan. 1 WHO Recommended treatment regimens 6 6 month regimen for Paucibacillary (PB) Leprosy



Dewasa



Dapson 100 mg



Rifampisin 600 mg



50-70 kg



Setiap hari



Sebulan sekali di bawah



Anak



50 mg



pengawasan 450 mg



10-14 tahun *



Setiap hari



Sebulan sekali di bawah pengawasan



*



Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg



setiap hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan



30



12 month regimen for Multibacillary (MB) Leprosy



Dewasa



Dapsone 100 mg



Rifampisin 600 mg



Clofazimin 50 mg DAN 300 mg



50-70 kg



Setiap Hari



Sebulan sekali Setiap hari



Sebulan sekali di



di



bawah



bawah



Anak



50 mg



pengawasan 450 mg



10-14 tahun *



Setiap hari



Sebulan sekali Setiap hari



Sebulan sekali di



di



bawah



50 mg



bawah



pengawasan



pengawasan DAN 150 mg



pengawasan



*



Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg



sehari, rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan, klofazimin, 50 mg diberikan dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan Single Lesion Paucibacillary (SLPB) Leprosy (one time dose of 3 medications taken together)



Dewasa



Rifampisin 600 mg



Ofloxasin 400 mg



Minosiklin 100 mg



50-70 kg Anak



300 mg



200 mg



50 mg



5- 14 tahun * * Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahun



Tipe PB4 Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT (released from treatment)



31



Anak Hari 1 : diawasi petugas



Rifampisin



Dewasa 2caps Rifampisin



2caps



(300mg+150mg) + DDS 1 (2x300mg) + DDS 1 tab Hari 2-28 : di rumah



tab (50mg)



(100mg)



DDS 1 tab (50mg)



DDS 1 tab (100mg)



*Anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB Tipe MB4 Mengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Setelah selesai minum 24 dosis maka dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Anak Hari 1 : diawasi petugas



Rifampisin



Dewasa 2caps Rifampisin



2caps



+ (2x300mg)



+



3caps klofazimin



3caps



(300mg+150mg) Klofazimin



(3x50mg) + DDS 1 tab (3x100) + DDS 1 tab (50mg) Hari 2-28 : di rumah



(100mg)



Klofazimin 1 tab (50mg) Klofasimin + DDS 1 tab (50mg)



(100mg) + DDS 1 tab (100mg)



* anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB



32



1cap



Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/File:MDTRegimens.jpg Pengobatan Reaksi Kusta: Pengobatan E.N.L : Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain prednison. Dosisnya tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. 1 Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada orang hamil atau masa subur. Jika hal ini tidak mungkin, adalah penting bahwa kehamilan dikeluarkan sebelum perawatan ini dimulai. Kontrasepsi yang efektif harus digunakan selama 4 minggu sebelum dan setelah pengobatan serta selama masa pengobatan. Haruskah kehamilan terjadi meskipun tindakan pencegahan ini, ada risiko tinggi kelainan berat janin. 1 Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi E.N.L, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Khasiatnya lebih lambat dari kortikosteroid. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. 1 Pengobatan reaksi reversal Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 4060 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya



33



dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. 1 Anggoata gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin dan thalidomid untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang dipakai. 1 Pencegahan Cacat Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. 1



IX.



KOMPLIKASI 4



Gangguan saraf tepi .



Tangan/kaki kurang rasa



sensorik



motorik



anestesi



kelemahan



Kornea mata anestesi, reflek kedip ↓



Tangan/kaki lemah atau lumpuh



otonom



Gangguan kel. Keringat, minak, aliran darah



Mata lagoftalmus



infeksi



luka



kebutaan



infeksi



34 luka mutilasi



infeksi kebutaan



Jari bengkok/kaku



mutilasi luka



Kulit kering/pecah



X.



PROGNOSIS Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis kurang baik. 4



BAB III KESIMPULAN Kusta merupakan penyakit yang di sebablan oleh kuman Mycobacterium leprae. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Klasifikasi bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunologis, yaitu tipe tuberculoid (TT), tipe borderline tuberculoid(BT), tipe mid borderline (BB), tipe borderline lepromatosa (BL) , dan tipe lepromatosa (LL).



35



Program MDT dimulai pada tahun 1981,yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat DDS, Rifampisin, dan Klofazimin. Kusta diperburuk selama kehamilan, sehingga sangat penting bahwa terapi multidrug standar dilanjutkan selama kehamilan. Program Aksi untuk Penghapusan Kusta, WHO, Jenewa telah menyatakan bahwa rejimen MDT standar dianggap aman, baik untuk ibu dan anak, dan karena itu, harus dilanjutkan berubah selama kehamilan. Sebuah jumlah kecil obat anti-lepra diekskresikan melalui ASI, tetapi tidak ada laporan efek samping sebagai akibat dari ini kecuali untuk perubahan warna kulit ringan dari bayi karena klofazimin. Pemakaian Thalidomide pada pengobatan E.N.L harus dihindari karena mempunyai efek teratogenik. Perlakuan dosis tunggal untuk pasien kusta lesi tunggal paucibacillary harus ditunda sampai setelah melahirkan.



36



DAFTAR PUSTAKA 1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam : Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2015;73-88 2. Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003 : 124-126 3. Lewis. S.Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall 4. Bonarz. 2011. Kusta dalam http://id.scribd.com/doc/52132089/referat-MH-indah diunduh tanggal 4 Februari 2011 5. Willacy Hayley. Update Apr 20, 2010. Available at : http://www.patient.co.uk/doctor/Leprosy.htm 6. WHO.1998 Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy. Available at: http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html



37