Referat Morbus Hansen [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT MORBUS HANSEN



Oleh: Rafika Assegaf 14061192065



Pembimbing : dr. Lindayani Halim, Sp.KK



KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA RSUD DR SOEDARSO PONTIANAK 2021



BAB I PENDAHULUAN Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah M. Leprae yang bersifat intraseluler obligat. M. Leprae merupakan basil tahan asam (BTA), alkohol, dan gram positif.1 Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kecuali susunan saraf pusat.1 Insiden kusta di dunia pada tahun 2016 berdasarkan data WHO mengalami peningkatan, yakni dari 211.973 pada tahun 2015 menjadi 214.783 di tahun 2016. Sebesar 94% dari insiden kusta ini dilaporkan oleh 14 negara dengan >1000 kasus baru tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan masih banyak wilayah yang menjadi kantong endemisitas tinggi kusta di dunia. Asia Tenggara merupakan regional dengan insiden kusta tertinggi yakni 161.263 kasus tahun 2016. Indonesia merupakan negara dengan penyumbang insiden kusta ke-3 tertinggi di dunia, yakni sebanyak 16.286 kasus, setelah Brazil (25.218 kasus) & India (145.485 kasus).2 Penyakit kusta bukanlah penyakit yang menyebabkan kematian yang seketika, seperti penyakit menular lainnya. Melainkan penyakit kronis sehingga menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang sangat kompleks, bukan hanya dari segi medis tetapi juga dari segi mental sosial ekonomi dan budaya penderita. Terutama akibat cacat yang ditimbulkan penyakit tersebut.3 M. Leprae dapat mengakibatkan kerusakan syaraf sensori, otonom, dan motorik. Kerusakan pada syaraf sensori akan terjadi anastesi sehingga terjadi luka tusuk, luka sayat, dan luka bakar. Kerusakan pada saraf otonom akan terjadi kekeringan kulit yang dapat mengakibatkan kulit mudah retakretak dan dapat terjadi infeksi sekunder. Kerusakan pada syaraf motorik akan terjadi paralisis sehingga terjadi deformitas sendi. Selain kondisi aktif sebagai penderita, maka keadaan cacat ini juga yang biasanya menyebabkan penderita kusta ditolak dan diabaikan masyarakat. Tidak jarang mereka dikucilkan oleh masyarakat atau



bahkan oleh keluarganya sendiri. Sebagian dari mereka mereka kehilangan pekerjaannya.3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.



Definisi Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh basil Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraselular. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, kemudian selanjutnya dapat menyerang kulit, lalu menyebar ke organ lain (mukosa mulut, traktus respiratorius bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis), kecuali susunan saraf pusat.1



2.2.



Etiologi Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang merupakan obligat intraseluler berbentuk basil dengan ukuran 3-8 μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol serta gram.positif. Mycobacterium leprae mereproduksi secara maksimal pada 27oC-30oC. Organisme ini tidak dapat dibiakkan secara in vitro. Menginfeksi kulit dan saraf kulit (sel Schwann lamina basal). Pada pasien yang tidak diobati, hanya 1% dari organisme dapat hidup. Tumbuh paling baik di jaringan yang lebih dingin (kulit, saraf tepi, ruang anterior mata, saluran pernapasan bagian atas, testis), hematarea kulit yang lebih hangat (ketiak, selangkangan, kulit kepala, dan garis tengah punggung).4



2.3.



Epidemiologi Insiden kusta di dunia pada tahun 2016 berdasarkan data WHO mengalami peningkatan, yakni dari 211.973 pada tahun 2015 menjadi 214.783 di tahun 2016. Sebesar 94% dari insiden kusta ini dilaporkan oleh 14 negara dengan >1000 kasus baru tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan masih banyak wilayah yang menjadi kantong endemisitas tinggi kusta di dunia. Asia Tenggara merupakan regional dengan insiden kusta tertinggi yakni 161.263 kasus tahun 2016. Indonesia merupakan negara dengan



penyumbang insiden kusta ke-3 tertinggi di dunia, yakni sebanyak 16.286 kasus, setelah Brazil (25.218 kasus) & India (145.485 kasus).2 2.4.



Patogenesis Cara penularan belum diketahui secara pasti hanya beranggapan dari anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah secara inhalasi, sebab M. Leprae dapat hidup beberapa hari didalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, rata-rata 3,5 tahun. Sebenarnya M. Leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan derajat infeksi dan derajat penyakit, tidak lain disebabkan karena respon imun yang berbeda, yang mencetuskan timbulnya granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu, kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.4 Kerusakan jaringan tergantung pada sistem simunitas selular, tipe penyebaran bakeri, adanya komplikasi reaksi lepra, dan kerusakan saraf. Afinitas pada sel Schwann, mycobacteria berikatan dengan Domain G rantai alpha laminin 2 yang ditemukan di saraf perifer di lamina basal. Replikasi di dalam sel ini menyebabkan respon sistem imunitas selular yang menyebabkan reaksi inflamasi, yang menyebabkan pembengkakan perineureum, iskemia, fibrosis, dan kematian akson.4 Pada kusta tipe LL, terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman bermultiplikasi dengan bebas dan merusak jaringan.Pada kusta tipe TT terjadi sebaliknya, kemampuan imunitas selular tinggi, sehingga makrofag mampu menghancurkan kuman. Namun setelah kuman difagositosis, makrofag berubah menjadi sel epiteloid dan kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Massa epiteloid dapat menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.5



Munculnya gejala kusta terjadi karena perkembangan granuloma, dan pasien mungkin mengalami reactional state, yang dapat terjadi pada sekitar >50% pasien tertentu. Spektrum granuloma lepra terdiri dari 1) a highresistance tuberculoid response (TT), 2) a low- or absent-resistance lepromatous pole (LL), 3) a dimorphic or borderline region (BB), 4) borderline lepromatous (BL), dan 5) borderline tuberculoid (BT). Berdasarkan dari yang paling tinggi resistensinya hingga ke yang paling rendah resistensinya, yaitu TT, BT, BB, BL, LL1. Respon imun terhadap M. leprae dapat menghasilkan beberapa tipe reaksi yang berhubungan dengan status klinis. Reaksi lepra tipe 1 (downgrading and reversal reactions), atau reaksi non-nodular terjadi pada tipe borderline ( Li, BL, BB, BT, B ), inflamasi terjadi diantara lesi kulit yang sudah ada. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Gejala neuritis akut paling penting diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian obat kortikosteroid, sebab tanpa neuritis, pemberian kortikosteroid fakultatif. Reaksi tipe 2 (Erythema Nodosum Leprosum, ENL) terjadi pada sebagian individu dengan LL, biasanya timbul setelah pemberian terapi antilepra. Gejala klinis berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti idiosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut dengan proteinuria. Dapat disertai gejala konstitusi dari riingan sampai berat bergantung status imunologik. Terdapat juga raksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non-nodular difus, yang disebut fenomena Lucio. Reaksi lucio merupakan rekasi yang terjadi pada individu dengan LL yang meluas. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah muda, berbentuk tidak teratur dan nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai purpura, dan bula kemudian dengan cepat terjadi



nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirna terbentuk jaringan parut.1,5 2.5.



Klasifikasi Berbagai klasifikasi penyakit kusta dibuat dengan tujuan tertentu, namun yang banyak digunakan adalah klasifikasi menurut WHO



dan klasifikasi Ridley-Jopling. Untuk kepentingan pengobatan,



WHO pada tahun 1987 membuat klasifikasi kusta menjadi 2 tipe, yaitu tipe Pausibasiler (PB) dengan sedikit atau tidak ditemukan bakteri dan tipe Multibasiler (MB) dengan jumlah bakteri yang banyak. Tipe PB menurut WHO adalah tipe TT dan BT menurut Ridley dan Jopling, sedangkan tipe MB adalah tipe BB, BL dan LL, atau tipe apapun dengan BTA positif. Pada umumnya pemeriksaan kerokan jaringan kulit untuk pemeriksaan BTA tidak tersedia di lapangan, maka pada tahun 1995 WHO mengubah klasifikasi menjadi lebih sederhana berdasarkan hitung lesi kulit dan jumlah saraf perifer yang terkena.1



Klasifikasi



kusta



menurut



Ridley



dan



Jopling



dibuat



berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis menjadi 5 tipe. Klasifikasi menurut Ridley-Jopling ini lebih ditujukan pada penelitian ketimbang pelayanan, yang lebih sesuai dengan klasifikasi WHO. Pembagian 5 tipe tersebut sebagai berikut: a. TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil b. BT: Borderline tuberculoid c. BB: Mid borderline d. BL: Borderline lepromatous e. LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil Berikut ini



perbedaan



imunologik berbagai tipe kusta.7



gambaran klinis, bakteriologik dan



Gambar Morbus Hansen tipe tuberkuloid. Makula dan papula berbatas tegas, hipopigmentasi, sedikit mengelupas dan terdapat anestesi pada tubuh bagian posterior.4



Gambar Morbus Hansen tipe borderline. Plakat berbentuk geografis dengan batas indurasi meninggi dan bagian tengah terdapat kulit sehat pada bokong (kiri) dan kaki (kanan).4 Bentuk kusta lain: 1) Kusta neural Kusta tipe neural murni atau disebut juga pure neural leprosy atau primary neuritic leprosy merupakan infeksi M. leprae yang menyerang saraf perifer disertai hilangnya fungsi saraf sensoris pada area distribusi dermatomal saraf tersebut, dengan atau tanpa keterlibatan fungsi motoris, dan tidak ditemukan lesi pada kulit. 2) Kusta histoid Merupakan bentuk kusta lepromatosa dengan karakteristik klinis, histopatologis, bakterioskopis, dan imunologis yang berbeda. Faktor yang berpengaruh antara lain: pengobatan ireguler dan inadekuat, resistensi dapson, relaps setelah release from treatment (RFT), atau adanya organisme mutan Histoid bacillus serta dapat juga meripakan kasus denovo.6 2.6.



Manifestasi Klinis a. Kulit Kelainan kulit dapat berbentuk makula atau bercak hipopigmetasi dengan anestesi, atau makula hipopigmetasi disertai



tepi



yang menimbul



dan



sedikit eritematosa, atau



berupa infiltrat/plak eritematosa, atau dapat pula berbentuk papul dan nodul. Kelainan kulit ini menyerupai berbagai penyakit kulit lain, sehingga adanya gangguan sensibilitas berupa anestesi atau hipoestesi sangat membantu dalam menegakkan diagnosis kusta. Gambaran klinis kulit yang beragam ini dapat digunakan untuk menentukan tipe kusta, karena khas untuk tipe tertentu. b. Saraf Perifer Manifestasi neurologis terbanyak pada kusta ialah adanya kerusakan saraf perifer yang menyertai lesi kulit, terutama pada serabut saraf kulit dan trunkus saraf. Gambaran dan distribusi kerusakan saraf yang terjadi dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang menginfiltrasi saraf, serta respons imunologis penderita terhadap saraf yang terinfeksi. Berdasarkan hal tersebut, manifestasi klinis kerusakan saraf



perifer dapat digolongkan menjadi gangguan sensorik,



gangguan motorik dan gangguan otonom. Ketiga gangguan ini dapat terjadi pada saraf perifer di ekstremitas maupun saraf kranial. Neuropati perifer paling sering bermanifestasi sebagai mononeuropati, polineuropati atau mononeuropati multipleks. Saraf perifer yang sering terkena ialah N.ulnaris, N.radialis, N.medianus, N. poplitea lateralis, N. tibialis posterior, N. fasialis, N. trigeminus serta N.auricularis magnus. Gangguan pada saraf perifer tersebut meliputi gangguan pada cabang saraf sensorik, otonom dan motorik, seperti yang diuraikan berikut ini. 1) N. ulnaris Gangguan saraf sensorik berupa anestesi pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis. Sedangkan gangguan



saraf motorik



kelingking



dan



jari



menyebabkan clawing jari



manis, atrofi hipotenar dan otot



interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.



2) N. medianus Gangguan saraf sensorik berupa anestesi pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah. Pada gangguan saraf motorik dapat menyebabkan ibu jari tidak mampu aduksi, serta terjadi kontraktur ibu jari. Selain itu, juga terjadi clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah. Otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral mengalami atrofi 3) N. radialis Gangguan saraf sensorik berupa anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk. Pada gangguan saraf motorik, pergelangan tangan maupun jari-jari tangan tak mampu ekstensi, sehingga menyebabkan paresis, disebut sebagai tangan gantung (wrist drop). 4) N. poplitea lateralis Gangguan saraf sensorik menyebabkan anestesi tungkai bawah bagian lateral dan dorsum pedis. Gangguan pada saraf motorik menyebabkan kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus. 5) N. tibialis posterior Gangguan saraf sensorik dapat menyebabkab anestesi telapak kaki. Sedangkan gangguan motorik berupa claw toes, paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. 6) N. fasialis Gangguan pada cabang temporal dan zigomatik dapat menyebabkan lagoftalmos. Sedangkan gangguan pada cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan bibir mencong, sudut mulut asimetris, dan kegagalan mengatupkan bibir, yang disebut sebagai parese fasialis. 7) N. trigeminus Gangguan saraf sensorik menyebabkan anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva.



8) Kusta saraf murni Kusta saraf murni atau yang dikenal sebagai pure neural leprosy (PNL) merupakan penyakit kusta yang hanya mengenai saraf, dengan gambaran klinis hipoestesi atau anestesi tidak berbatas tegas, dan tanpa lesi di kulit. Angka kejadian PNL berkisar antara 8% dari kejadian kusta, dan sebagian besar penderitanya adalah laki-laki. Keluhan terbanyak ialah gangguan sensorik pada dermatom yang dipersarafi oleh saraf yang terlibat, dan deformitas atau kelemahan akibat keterlibatan saraf motorik. Umumnya PNL mengenai saraf pada ekstremitas atas. Nervus ulnaris, merupakan yang paling banyak terkena, diikuti dengan nervus poplitea lateralis, nervus tibialis posterior, dan



nervus suralis. Pada pemeriksaan fisik, dapat



ditemukan adanya penebalan dan pembesaran saraf yang dapat didahului nyeri neuropatik (sering dikaitkan dengan neuritis)



beberapa



bulan sebelum diagnosis klinis



ditegakkan. c. Mata Kerusakan mata pada penyakit kusta dapat terjadi intraokular maupun ekstraokular. Kerusakan intraokular berupa episkleritis, skleritis, serta



iridosiklitis,



penurunan sensibilitas



keratitis,



kornea.



ulkus



Sedangkan



kornea, kerusakan



ekstraokular yang dapat terjadi berupa madarosis, lagoftalmus, dakriosistisis, serta mata kering. Lebih lanjut, kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan padahal penderita kusta sangat bergantung



pada



penglihatannya untuk mencegah tangan dan



kakinya yang kebas mengalami cedera. Proses kerusakan mata bahkan dapat terus berjalan meskipun pengobatan lepra sudah tuntas. Risiko kematian pada pasien lepra yang buta lebih besar dibandingkan populasi normal



di usia yang sama. Dengan demikian continuum of care pada tata



laksana penyakit kusta penting untuk dilakukan, sehingga



usaha pencegahan kebutaan serta penanganan kebutaan yang sifatnya masih reversibel harus diperhatikan. d. Gangguan Psikiatrik Kusta



merupakan



penyakit



fisik



yang



sangat



erat



hubungannya dengan dampak psikososial yang dialami oleh pasien. Deformitas dan stigma yang terkandung pada penyakit inilah yang membuat kehidupan bagi penderita kusta menjadi semakin sulit. Tidak jarang pasien akan mengalami perceraian, kehilangan pekerjaan, atau bahkan dijauhi oleh lingkungannya karena ketakutan akan gambaran penularan penyakit tersebut. Menurut sebuah penelitian di Brazil pada 120 pasien dengan kusta, ditemukan bahwa sebanyak 71,66% pasien memiliki setidaknya satu diagnosis psikiatri dengan risiko rendah-tinggi untuk bunuh diri. Hasil penelitian tersebut didukung oleh Jindal dkk. pada populasi kusta yang tinggal di komunitas terpisah menunjukkan bahwa diagnosis psikiatri yang tersering adalah distimia,



diikuti



oleh depresi sedang, gangguan cemas



menyeluruh, dan skizofrenia



Komorbiditas ini dipengaruhi oleh



usia, status keluarga, durasi penyakit, dan ada atau tidaknya deformitas.7 2.7.



Diagnosis



a. Klinis6 Diagnosis didasarkan pada temuan tanda kardinal (tanda utama) menurut WHO, yaitu: 1. Bercak kulit yang mati rasa Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, suhu, dan nyeri.



2. Penebalan saraf tepi Dapat/tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu:  Gangguan fungsi sensoris: mati rasa  Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis  Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu. 3. Ditemukan kuman tahan asam Bahan pemeriksaan berasal dari apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi saraf. Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, disebut tersangka/suspek kusta, dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang 3 sampai 6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan. Selain tanda kardinal di atas, dari anamnesis didapatkan riwayat berikut: 1. Riwayat kontak dengan pasien kusta. 2. Latar belakang keluarga dengan riwayat tinggal di daerah endemis, dan keadaan sosial ekonomi. 3. Riwayat pengobatan kusta. Pemeriksaan fisik meliputi: 1. Inspeksi Dengan pencahayaan yang cukup (sebaiknya dengan sinar oblik), lesi kulit (lokasi dan morfologi) harus diperhatikan. 2. Palpasi  Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan kaki.  Kelainan saraf: pemeriksaan saraf tepi (pembesaran, konsistensi, nyeri tekan, dan nyeri spontan).



3. Tes fungsi saraf 



Tes sensoris: rasa raba, nyeri, dan suhu







Tes otonom : test pinsil Gunawan, test pilocarpin







Tes motoris: voluntary muscle test (VMT)



b. Pemeriksaan bakterioskopik1 Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit). Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwamai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (STA), antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M. leprae. Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Mengenai jumlah lesi juga ditentukan oleh tujuannya, yaitu untuk riset atau rutin . Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung kuman paling banyak. Perlu diingat bahwa setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan ditempat yang sama pada pengamatan pengobatan untuk dibandingkan hasilnya. Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah lesi tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah yang akan mengganggu gambaran sediaan. lrisan yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan



banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung kuman M. leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwamai dengan pewamaan yang klasik, yaitu Ziehl Neelsen. Untuk pewarnaan ini dapat digunakan modifikasi Ziehl Neelsen dan cara-cara lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya disesuaikan dengan keadaan setempat. M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular) . Bentuk solid adalah kuman hidup, sedang fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Secara teori penting untuk membedakan antara bentuk solid dan nonsolid, berarti membedakan antara yang hidup dan yang mati, sebab bentuk yang hidup itulah yang lebih berbahaya, karena dapat berkembangbiak dan dapat menularkan ke orang lain. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP). 1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP 2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP 3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP 4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP 5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP 6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP Penilaian dilanjutkan dengan perhitungan indeks morfologi (IM) yaitu persentase basil yang hidup, sebagai berikut: IM = jumlah solid jumlah solid + non solid



x 100%



c. Histopatologis1 Histiosit merupakan bentuk makrofag yang berada di kulit



dan beperan



dalam



proses



fagositosis.



Proses



ini



ditentukan oleh sistem imun seluler (SIS) orang tersebut. Pada orang dengan SIS tinggi, histiosit akan berpindah ke tempat kuman



berada



dan terlibat proses imunologik dengan adanya



faktor kemotaktik. Sisa makrofag yang berlebihan saat kuman sudah di fagosit akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak. Adanya masa epiteloid dalam jumlah banyak yang dikelilingi limfosit akan membentuk tuberkel yang selanjutnya akan



merusak



jaringan. Sehingga



ditemukan



gambaran



histologik pada tipe tuberkuloid yaitu berupa tuberkel serta diikuti dengan kerusakaan saraf, tanpa adanya kuman atau hanya dalam jumlah yang sedikit. Sedangkan pada orang dengan SIS yang rendah atau lumpuh, histiosit tidak



mampu menghancurkan kuman, dan



bahkan dijadikan tempat berkembang bakteri M.leprae, yang selanjutnya disebut dengan sel Virchow atau sel lepra atau sel busa. Pada tipe lepromatosa, ditemukan area di bawah epidermis yang bebas radang, disebut supepidermal clear zone. Selain itu ditemukan banyak sel Virchow pada tipe ini. d. Serologi1 Pemeriksaan



serologi



dilakukan



dengan



mengamati



keberadaan antibodi pada orang yang terinfeksi M. leprae. Beberapa antibodi spesifik dapat diperiksa, seperti antibody anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) serta antiprotein 16 kD dan 53 kD. Selain itu didapati pula antibodi nonspesifik seperti antibodi antilipoa rabinomaan (LAM).



Antibodi



tersebut akan dideteksi



dengan menggunakan beberapa macam pemeriksaan, seperti: uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), ELISA (Enzyme



Linked



Immunosorbent



Asay),



ML



dipstick



(Mycobacterium leprae dipstick) dan ML flow (Mycobacterium leprae flow test). 2.8.



Diagnosis Banding



Kusta disebut sebagai the greatest imitator, karena secara klinis menyerupai berbagai penyakit kulit lain. Beberapa kelainan kulit yang mirip dengan penyakit kusta, antara lain: a. Lesi eritem bersisik: psoriasis, pitiriasis rosea, dermatitis seboroik, dermatofitosis b. Lesi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi tanpa skuama: vitiligo, birth marks. c. Lesi hipopigmentasi dengan skuama halus: pitirasis versikolor, pitiriasis alba d. Papul, plak atau nodul: neurofibromatosis, sarkoma kaposi, veruka vulgaris, leukemia kutis, granuloma anulare, tuberculosis kutis verukosus, xanthomatosis.7 Tatalaksana6



2.9.



1. Medikamentosa Pengobatan dengan multidrug therapy (MDT) WHO (1998, 2012) Pengobatan dengan MDT disesuaikan dengan indikasi sebagai berikut:



Pemakaian regimen MDT-WHO pada pasien dengan keadaan khusus a) Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui. Kusta seringkali mengalami eksaserbasi pada masa kehamilan, oleh karena itu MDT harus tetap diberikan. Menurut WHO, obat-obatan MDT standar aman dipakai selama masa kehamilan dan menyusui baik untuk ibu maupun bayinya. Tidak diperlukan perubahan dosis pada MDT. Obat dapat melalui air susu ibu dalam jumlah kecil, belum ada laporan mengenai efek simpang obat pada bayi kecuali pewarnaan kulit akibat klofazimin. b) Pengobatan kusta pada pasien yang menderita tuberkulosis (TB) saat yang sama. c) Bila pada saat yang sama pasien kusta juga menderita TB aktif, pengobatan harus ditujukan untuk kedua penyakit. Obat anti TB tetap diberikan bersamaan dengan pengobatan MDT untuk kusta.  Pasien TB yang menderita kusta tipe PB. Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson 100 mg karena rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap sesuai dengan jangka waktu pengobatan PB.  Pasien TB yang menderita kusta tipe MB. Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren karena rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan dengan jangka waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah selesai, maka pengobatan kusta kembali sesuai blister MDT. d)



Pengobatan kusta pada penderita yang disertai infeksi HIV pada saat yang sama. Manajemen pengobatan pasien kusta yang disertai infeksi HIV sama dengan menajemen untuk penderita non HIV.



Regimen U-MDT untuk kusta PB dan MB.



Obat ini diberikan pada MH-PB dan MB selama 6 bulan, terdiri atas: rifampisin 600 mg 1 kali/bulan, dapson 100 mg/hari, serta klofazimin 300 mg/bulan pada hari pertama dilanjutkan dengan 50 mg/hari.8 Regimen ini efektif dan ditoleransi baik untuk tipe PB tetapi kurang adekuat untuk tipe MB Pengobatan kusta dengan regimen alternatif Bila MDT-WHO tidak dapat diberikan dengan berbagai alasan, antara lain:  Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin Penyebabnya mungkin alergi obat, menderita penyakit penyerta hepatitis kronis, atau terinfeksi dengan kuman yang resisten dengan rifampisin. Pasien dengan kuman resisten terhadap rifampisin, biasanya resisten juga terhadap DDS. Oleh sebab itu digunakan regimen berikut.  Pasien yang menolak klofazimin Bila pasien menolak mengonsumsi klofazimin, maka klofazimin dalam MDT 12 bulan dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari atau minosiklin 100mg/hari selama 12 bulan8 atau rifampisin 600 mg/bulan, ofloksasin 400 mg/bulan dan minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan.10 (A,1)  Pasien yang tidak dapat mengonsumsi DDS Bila dapson menyebabkan terjadinya efek simpang berat, seperti sindrom dapson (sindrom hipersensitivitas obat), obat ini harus segera dihentikan. Tidak ada modifikasi lain untuk pasien MB, sehingga MDT tetap dilanjutkan tanpa dapson selama 12 bulan. Sedangkan untuk pasien PB, dapson diganti dengan klofazimin dengan dosis sama dengan MDT tipe MB selama 6 bulan.



Rawat inap Rawat inap diindikasikan untuk pasien kusta dengan:  Efek samping obat berat  Reaksi reversal atau ENL berat  Keadaan umum buruk (ulkus, gangren), atau terdapat keterlibatan organ  tubuh lain dan sistemik  Rencana tindakan operatif. 2. Non medikamentosa  Rehabilitasi medik, meliputi fisioterapi, penggunaan protese, dan terapi okupasi.  Rehabilitias non-medik, meliputi: rehabilitasi mental, karya dan sosial.  Edukasi kepada pasien, keluarga dan masyarakat: menghilangkan stigma dan penggunaan obat.  Setiap kontrol, harus dilakukan pemeriksaan untuk pencegahan disabilitas. a) Saat mulai MDT  Kusta, disebabkan oleh kuman kusta dan dapat disembuhkan dengan MDT, bila diminum teratur tiap hari sesuai dosis dan lama terapi yang ditentukan.



 Penjelasan tentang efek samping obat MDT seperti urin berwarna merah, bercak kulit gatal, berwarna kekuningan dan perubahan warna kulit.  Penjelasan tentang gejala dan tanda reaksi kusta.  Cacat baru dapat timbul saat atau setelah pengobatan dan dapat diobati.  Penyembuhan cacat yang sudah ada sebelumnya, tergantung pada lamanya cacat diderita.  Cari dan periksa kontak untuk konfirmasi dan pengobatan.  Perawatan diri harus dilakukan tiap hari secara teratur. b) Saat RFT  Beri selamat karena telah menyelesaikan pengobatan dan berarti telah sembuh sehingga tidak memerlukan MDT lagi.  Bercak kulit yang masih tersisa memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang sebagian menetap selamanya.  Mati rasa, kelemahan otot karena kerusakan saraf akan menetap.  Lapor segera apabila timbul gejala dan tanda reaksi kusta.  Walaupun sangat jarang terjadi, beri penjelasan tentang gejala dan tanda relaps.  Tetap melaksanakan kegiatan rawat-diri seperti biasanya. Reaksi Kusta1,3 Reaksi Morbus Hansen adalah Interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi Morbus Hansen ini tergolong didalamnya. Dalam klasifikasi yang bermacam-macam itu, yang tampaknya paling banyak dianut pada akhir-akhir ini, yaitu: • ENL (Eritema Nodusum Leprosum) dan • Reaksi reversal atau reaksi upgrading



Reaksi ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae + antibodi (IgM, IgG) + komplemen -> kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karma salah satu protein M. leprae bersifat antigenik maka antibodi dapat terbentuk. Kadar imunoglobulin penderita Morbus Hansen lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada saat pengobatan, dapat terjadi karena banyak kuman Morbus Hansen yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks Imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala sepertl iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatlf singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. Adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan, karena sangat menentukan



pemberian pengobatan kortikosteroid, sabab tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah fakultatif. Pengobatan Reaksi Kusta6 1. ENL  Prednison tablet 15-30 mg/hari. Bila reaksi ringan, tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosis diturunkan secara bertahap.  Talidomid. Obat pilihan pertama. Kontra indikasi pada orang hamil atau masa subur, karena bersifat teratogenik. Obat ini tidak terdapat di indonesia.  Klofazimin. Digunakan dengan dosis yang lebih tinggi, 300 mg/hari. Diberikan selama 2-3 bulan. Bila ada perbaikan, diturunkan menjadi 200 mg/hari selamaa 2-3 bulan. Jika ada perbaikan, diturunkan menjadi 100 mg/hari selama 2-3 bulan, dan selanjutnya kembali ke dosiss klofazimin semula, 50mg/hari. Pada saat yang sama, dosis prednison diturunkan secara bertahap. 2. Reaksi reversal  Tanpa neuritis : tidak perlu pengobatan tambahan.  Dengan neuritis akut : Prednison tablet 40mg/hari, diturunkan perlahan. Pengobatan harus dimulai secepatnya untuk menghindari kerusakan saraf secara mendadak. Anggota gerak yang terkena neuritis harus diistirahatkan. Deformitas Pencegahan cacat Penderita Morbus Hansen yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi Morbus Hansen, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.



Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Semua keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan dapat mengobati sekurangnya mencegah kerusakan menjadi berlanjut. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini Morbus Hansen. Pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengepali gejala dan tanda reaksi Morbus Hansen yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka, atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.1,4 WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan mata bagi penderita Morbus Hansen sebagai berikut:1  Cacat pada tangan dan kaki Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat



Tingkat 1: ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau defonmitas yang terlihat Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.  Cacat pada mata Tingkat 0 : tidak ada kelainan/kerusakan pada mata (termasuk visus) Tingkat 1 : ada kelainan/kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos, iritis, kekemhan kornea) dan atau visus sangat terganggu 2.10.Prognosis6 Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : dubia ad bonam hingga dubia ad malam Quo ad sanactionam : dubia ad bonam hingga dubia ad malam 1. Cenderung ke dubia ad bonam: a) Diagnosis dini b) Tanpa kerusakan saraf pda saat awal diagnosis c) Pengobatan cepat dan tepat dan adekuat d) Melaksanakan kegiatan perawatan diri. 2. Cenderung ke dubia ad malam: a) Tanpa pengobatan, pasien tipe-B akan downgrading ke kutub lepromatosa dan mempunyai konsekuensi menularkan penyakit dan berisiko mengalami reaksi tipe-1 yang akan menyebabkan kerusakan saraf b) Komplikasi berhubungan dengan hilangnya sensasi pada anggota tubuh dan jari-jari, menyebabkan pasien mengabaikan luka atau luka bakar kecil sampai terjadi infeksi. Luka terutama pada telapak kaki menimbulkan problematik



c) Kerusakan



saraf



dan



komplikasinya



mungkin



menyebabkan



terjadinya cacat, terutama apabila semua alat gerak dan ke dua mata terkena d) Sering terjadi neuritis dan reaksi yang mungkin menyebabkan kerusakan permanen, walaupun telah diobati dengan steroid e) Tidak melakukan perawatan diri.



BAB III KESIMPULAN Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Insidensi puncak pada usia 10-20 tahun dan 30-50 tahun. Berdasarakan Ridley aand Jopling kusta dibagai menjadi TT,BT,BB,BI,LL, dan menurut WHO dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler. Diagnosis Kusta dilakukan berdasarkam pemeriksaan klinis, bakteriologis, histopatologis dan serologis. Penatalksanaan kusta dengan terapi regimen Multi Drug Treatment mulai diterapkan untuk mencegah kemungkinan timbul resistens



DAFTAR PUSTAKA 1. Menaldi, Sri Linuluh SW, dkk. Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh 2016. Jakarta: Badan Penerbit FKUI 2. Donadeu, M., Lightowlers, M. W., Fahrion, A. S., Kessels, J., & Abela-Ridder, B. (2017). Global leprosy update. 2016: accelerating reduction of disease burden. Weekly Epidemiological Record, 92(35), 501–520. 3. Nugroho, Susanto. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kecatatan penderita kusta [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada; 2006. 4. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 17889-1796 5. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5 Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88. 6. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI; 2017. 7. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Kusta (PNPK-KUSTA 2019). Keputusan



Menteri



Kesehatan



HK.01.07/MENKES/308/2019. 2019.



Republik



Indonesia



Nomor