Tinjauan Pustaka Morbus Hansen [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Morbus Hansen disebut juga dengan penyakit kusta atau penyakit lepra. Istilah kusta berasal dari bahasa sanskerta, yakni “kushtha” yang berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penamaan Morbus Hansen sesuai dengan nama orang yang menemukan kuman penyakit ini yaitu Dr.Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1873, sehingga penyakit ini disebut juga Hansen’s Disease.1 Penyakit Morbus Hansen dapat menyerang kulit yang akan menyebabkan luka pada kulit, sistem saraf perifer yang menyebabkan kerusakan syaraf, melemahkan otot dan menimbulkan efek mati rasa, serta dapat menyerang selaput lendir pada saluran nafas atas dan juga mata.2 2.2. Etiologi Morbus Hansen merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae, suatu organisme intrasitoplasma pada makrofag dan sel schwann, bersifat intraseluler obligat yang primer. Kuman ini dapat tumbuh subur pada bagian tubuh yang bersuhu lebih dingin seperti tangan, wajah, kaki, dan lutut.3 Patogen ini bersifat obligat intraseluler, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berukuran 3-8 μm x 0,5 μm, tahan asam dan alkohol, serta merupakan bakteri basil Gram positif.4 M. leprae bereplikasi dengan



pembelahan biner



dengan waktu yang sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Bentuk bakteri ini sedikit melengkung, bereplikasi optimal pada suhu antara 27°C - 30°C secara in vivo, dan tumbuh baik pada jaringan yang lebih dingin tiba-tiba karena efek pengobatan atau perubahan status imunitas sehingga menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf serta jaringan lainnya. Hal ini disebut sebagai reaksi kusta (tipe 1 dan 2).5



Gambar Mycobacterium leprae 2.3. Epidemiologi Masalah epidemiologi Morbus Hansen belum terpecahkan dan tidak diketahui secara pasti kapan penyebaran penyakit ini dimulai. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa penyakit Morbus Hansen berasal dari Asia Tengah kemudian menyebar ke Mesir, Eropa, Afrika dan Amerika. Di Indonesia pada tahun 1997 tercatat ada 33.739 orang yang terkena penyakit Morbus Hansen dengan prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk.4 Morbus Hansen dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan perempuan dengan jumlah perbandingan 2 : 1. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun demikian jarang dijumpai pada umur yang sangat muda. Frekuensi terbanyak adalah pada usia 25-35 tahun. Terdapat perbedaan baik dalam hal ras maupun dalam hal geografis. Ras Cina, Eropa, dan



Myanmar lebih rentan terhadap bentuk lepromatosa dibandingkan dengan ras Afrika, India dan Melanesia.5 Morbus Hansen masih merupakan masalah kesehatan pada 55 negara di dunia, tetapi sekitar 16 negara terbanyak di dunia dimana Indonesia merupakan negara urutan ketiga dengan penyakit Morbus Hansen terbanyak dibawah India dan Brazil. Kapan penyakit ini masuk ke Indonesia juga belum diketahui secara pasti. Namun, dalam buku tentang Historische Studie Over Morbus Hansen dikatakan bahwa penduduk pertama dari Jawa mungkin berasal dari Hindia, negeri yang terkenal dengan sarang penyakit Morbus Hansen. Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah pasien Morbus Hansen tertinggi (sebanyak 30% kasus). Menurut laporan dinas kesehatan tahun 2008, Indonesia masih memiliki 14 Provinsi dan 155 Kabupaten yang belum mencapai eliminasi penyakit kusta.5 Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan hanya menderita karena penyakitnya saja namun juga karena dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya yang diakibatkan karena kerusakan saraf irreversibel yang sering terjadi opada daerah wajah dan ekstremitas, kerusakan saraf motorik dan sensorik serta adanya kerusakan berulang pada daerah anestetik disertai atrofi dan paralisis otot.5 2.4. Patogenesis Pada tahun 1960 Shepard menginokulasikan M.leprae pada kaki mencit dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai macam spesimen, bentuk lesi maupun negara asal penderita ternyata tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M.leprae yang disuntikkan dan jika



melampaui



jumlah



maksimum



tidak



berarti



meningkatkan



perkembangbiakan.6 Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi 900 r, sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan menghasilkan granuloma penuh kuman terutama di bagian tubuh yang relative dingin, yaitu hidung, cuping



telinga, kaki dan ekor. Kuman tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu postulat Koch meskipun belum seluruhnya dapat dipenuhi.6 Sebenarnya M.leprae mempunyai pathogenesis dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derjat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitasnya infeksi.7 2.5. Reaksi Imunologi Respon imunologi terhadap M. leprae tidak hanya menentukan perjalanan penyakit, tetapi juga menentukan tipe kusta yang akan bermanifestasi. Secara imunologis, kusta lepromatosa ditandai dengan respon imun sel Th2 (interleukin4 [IL-4] dan IL-10), pembentukan kompleks antibodi, tidak adanya granuloma, dan kegagalan untuk mengendalikan pertumbuhan M. leprae. Kusta tuberkuloid menunjukkan respon sitokin sel Th1 (interferon gamma [IFN-] dan IL-2), respon sel T yang kuat terhadap antigen M. leprae, dan terkendalinya infeksi M. leprae yang ditandai dengan adanya granuloma yang terbentuk dengan baik.8 Lesi kusta lepromatosa ditandai dengan kurangnya sel T CD4, banyaknya sel T CD8, dan makrofag berbusa, sedangkan lesi kusta tuberkuloid memiliki banyak sel T CD4 dan granuloma yang terbentuk dengan baik. Pada kusta lepromatosa, pembentukan antibodi yang kuat terjadi tetapi tidak protektif, dan imunitas yang diperantarai sel jelas tidak ada. Sebaliknya, pada kusta tuberculoid relatif dipertahankan, dan hanya ada sedikit bukti pembentukan imunitas humoral spesifik M. Leprae. Namun, sebagaimana disebutkan di atas, sebagian besar penderita tidak ditemukan di kutub spektrum kusta melainkan pada kategori



intermediet penyakit BL, BB, dan BT, yang secara klinis “tidak stabil”. Imunologi tipe-tipe peralihan ini masih kurang dipahami.8 Reaksi Kusta. Reaksi reversal (RR), juga dikenal sebagai reaksi tipe 1, merupakan aktivasi tiba-tiba dari respons inflamasi Th1 terhadap antigen M. leprae. Reaksi reversal merupakan reaksi kusta yang paling sering terjadi, terutama pada tipe peralihan (kategori BL, BT, atau BB), sering muncul setelah dimulainya pengobatan, dan mencerminkan adanya peralihan dari Th2 menuju respons yang dominan Th1.8,9 Erythema nodosum leprosum (ENL), juga dikenal sebagai reaksi tipe 2, adalah kondisi inflamasi akut yang melibatkan faktor nekrosis tumor (TNF) dalam jumlah banyak, infiltrasi jaringan oleh sel CD4 dan neutrofil, dan deposit kompleks imun dan komplemen yang pada akhirnya mengakibatkan vaskulopati kompleks terkait imun, panniculitis, dan uveitis. ENL terjadi pada pasien LL atau BL dan lebih sering terlihat pada pasien dengan indeks bakteri tinggi10 Kerusakan pada saraf merupakan ciri khas infeksi kusta progresif dan melibatkan saraf bermyelin dan tidak bermyelin. Mekanisme terjadinya kerusakan pada saraf masih belum jelas namun diduga berkaitan dengan dilepaskannya sitokin inflamasi atau aktivitas sel T sitotoksik, iskemia akibat edema pada selubung perineural, apoptosis, atau demyelinasi.11



Spektrum kusta dan mekanisme yang diduga berperan dalam menyebabkan kerusakan jaringan saraf



2.6.Klasifikasi



Dikenal beberapa jenis klasifikasi kusta, yang sebagian besar didasarkan pada tingkat kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman. Beberapa klasifikasi MH diantaranya adalah:12,13,14 a. Klasifikasi Madrid (1953) Pada klasifikasi kusta ini penderita kusta di tempatkan pada dua kutub, satu kutub terdapat kusta tipe tuberculoid (T) dan kutub lain tipe lepromatous (L). Diantara kedua tipe ini ada tipe tengah yaitu tipe borderline (B). Di samping itu ada tipe yang menjembatani yaitu disebut tipe intermediate borderline (B) b. Klasifikasi Ridley Jopling (1962) Berdasarkan gambaran imunologis, Ridley dan Joplingnmembagi tipe MH menjadi 5 kelas yaitu: tuberculoid tuberculoid (TT), borderline tuberculoid (BT), borderline borderline (BB), borderline lepromatous (BL), lepromatous lepromatous (LL). Klasifikasi Ridley ini bermanfaat untuk mengelompokkan pasien terutama berdasarkan imunitas. c. Klasifikasi WHO (1997) Pada pertengahan tahun 1997 WHO Expert Committee menganjurkan klasifikasi MH menjadi pausi basiler (PB) dan multi basiler (MB). Klasifikasi WHO inilah yang diterapkan dalam program pemberantasan penyakit MH di Indonesia. Tanda dan Gejala Utama



Pausi Basiler Multi Basiler (MB)



(PB) Bercak Kusta Jumlah 1-5 Jumlah>5 Penebalan saraf tepi yang Hanya 1 Lebih dari 1 saraf disertai dengan gangguan saraf fungsi (kurang/mati rasa, kelemahan otot) Serangan



Menyerang



Menyerang banyak saraf



Sediaan apusan



1 saraf BTA negatif



BTA positif



Kelainan kulit dan hasil pemeriksaan 1. Bercak (macula)



mati rasa a. Ukuran



Kecil



b. distribusi



besar Unilateral/



dan Kecil-kecil Bilateral simetris



bilateral c. konsistensi



asimetris Kering dan Halus, berkilat



d. batas e. kehilangan



kasar Tegas Selalu



rasa



Kurang tegas ada Biasanya tidak jelas, jika ada



pada dan jelas



bercak f. kehilangan kemampuan



Selalu



terjadi biasanya pada kasus yang sudah lanjut. ada Biasanya tidak jelas, jika ada



dan jelas



berkeringat,



terjadi biasanya pada kasus yang sudah lanjut.



rambut rontok pada bercak g. rasa baal 2. Infiltrat a. Kulit b. membrane



Jelas



Tidak Jelas



Tidak ada Tidak ada



Ada, kadang-kadang tidak ada. Ada, kadang-kadang



mukosa/hidung tersumbat/perdara han dihidung c. Ciri-ciri



Central



Puched out lesion



heading



(lesi



(penyembuh



seperti donat)



an ditengah)



d. Nodulus e. Deformitas



-



Tidak ada Terjadi dini



berbentuk



-



Madarosis



-



Ginekomasti



-



Hidung pelana



- Suara sengau Kadang-kadang ada Biasanya simetris, terjadi lambat



2.7. Manifestasi Klinis Pada kusta, didaptakan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada, sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni: lesi kulit yang anestesi, penebalan saraf perifer, dan ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif. Masa inkubasinya 2 – 40 tahun (rata- rata 5 – 7 tahun). Onset terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri.15 a. Kulit Kelainan kulit dapat berbentuk macula atau bercak hipopigmentasi dengan anestesi, atau macula hipopigmentasi disertai tepi yang menimbul dan sedikit eritematosa, atau berupa infiltrate/plak eritematosa, atau dapat pula berbentuk papul dan nodul.16 b. Saraf Perifer Manifestasi neurologis terbanyak pada kusta ialah adanya kerusakan saraf perifer yang menyertai lesi kulit, terutama pada serabut saraf kulit dan trunkus saraf. Gangguan pada saraf perifer tersebut meliputi gangguan pada cabang saraf sensorik, otonom dan motoric seperti berikut :16,17,18 1. Nervus Ulnaris -



Anesthesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis



-



Clawing kelingking dan jari manis



-



Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial



2. Nervus Medianus -



Anesthesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah.



-



Tidak mampu aduksi ibu jari



-



Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah



-



Ibu jari kontraktur



-



Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.



3. Nervus Radialis -



Anesthesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk



-



Tangan gantung (wrist drop)



-



Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.



4. Nervus Poplitea Lateralis -



Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis



-



Kaki gantung ( foot drop)



-



Kelemahan otot peroneus



5. Nervus tibialis posterior -



Anesthesia pada telapak kaki



-



Claw toes



-



Paralisis otot instrinsik kaki dan kolaps arkus pedis



6. Nervus Facialis -



Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus



-



Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir



7. Nervus Trigeminus -



Anesthesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.



-



Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.



c. Mata Kerusakan mata pada penyakit kusta dapat terjadi intraocular maupun ekstraokular. Kerusakan intraocular berupa episkleritis, skleritis, iridosiklitis, keratitis, ulkus kornea, serta penurunan sensibilitas kornea. Sedangkan kerusakan ekstraokular yang dapat terjadi berupa madarosis, lagoftalmus, dakriosistisis, serta mata kering. Lebih lanjut, kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan padahal penderita kusta sangat bergantung pada penglihatannya



untuk



mengamalami cedera.17 d. Gangguan Psikiatrik



mencegah



tangan



dan



kakinya



yang



kebas



Kusta merupakan penyakit fisik yang sangat erat hubungannya dengan dampak psikososial yang dialami oleh pasien. Deformitas dan stigma yang terkandung pada penyakit inilah yang membuat kehidupan bagi penderita kusta menjadi semakin sulit. Tidak jarang pasien akan mengalami perceraian, kehilangan pekerjaan, atau bahkan dijauhi oleh lingkungannya karena ketakutan akan gambaran penularan.18 Gejala Klinis berdasarkan klasifikasi Ridley Jopling :19,20 1. Tipe Tuberkuloid (TT) Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta. 2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT) Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal. 3. Tipe Mid Borderline (BB) Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.



4. Tipe Bordrrline Lepromatosus (BL) Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. 5. Tipe Lepromatous-Leprosy (LL) Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki. 2.8. Pemeriksaan Fisik A. Pemeriksaan Sensorik 1. Rasa Raba Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan



mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya.20 2. Rasa Nyeri Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.20 3. Suhu Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas (sebaiknya 40ºC), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20ºC). Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah tersebut pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.20 B. Perabaan (Palpasi) Saraf Tepi Berikut adalah prosedur umum pemeriksaan perabaan saraf :21 1. Pemeriksa berhadapan dengan pasien 2. Perabaan dilakukan dengan tekanan ringan sehingga tidak menyakiti pasien. Pada saat meraba saraf, perhatikan : -



Apakah ada penebalan / pembesaran ?



-



Apakah saraf kiri dan saraf kanan besarnya sama atau berbeda



-



Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf.



Pemeriksaan Saraf Tepi Morbus Hansen a. Pemeriksaan Nervus Ulnaris Pemeriksaan dilakukan dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksaan mencari sambil meraba saraf Ulnaris dalam sulkus nelvi ulnaris yaitu lekukan diantara tonjolan tulang siku dan tonjolan tulang siku kecil dibagian medial (epicondilus)



Pemeriksaan Nervus Ulnaris b. Pemeriksaan Nervus Pcroncus Komunis/Nervus Tibialis Lateral -



Pemeriksa duduk di depan pasien dengan tangan kanan



memeriksa kaki kiri pasien dan tangan kiri memeriksa kaki kanan. -



Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada



pertengahan betis bagian luar pasien sambil pelan-pelan meraba keatas sampai menemukan benjolan tulang (caput fibula). -



Setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba



saraf peroneus 1 cm ke arah belakang. -



Dengan ringan saraf tersebut digulirkan bergantian ke kanan &



ke kiri sambil melihat mimik/reaksi pasien. c. Pemeriksaan Nervus Tibilais Posterior -



Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf



tibialis posterior dibagian belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam (maleolus medialis) dengan tangan menyilang -



Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat



reaksi pasien.



Pemeriksaan Nervus Tibialis Posterior d. Pemeriksaan Nervus Auricularis Magnus Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bisa terlihat bila saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Jangan lupa membandingkan antara yang kiri dan yang kanan



Pemeriksaan Nervus Auricularis Magnus C. Pemeriksaan Fungsi Motorik 1. Pemeriksaan Nervus Facialis21  Pasien diminta untuk memejamkan mata  Lihat dari depan samping apakah mata menutup sempurna / tidak ada celah  Bagi mata yang tidak menutup rapat ukur lebarnya, bila lagopthalmus +3mm mata kiri atau kanan.



Lagopthalmus pada penderita morbus Hansen 2. Pemeriksaan Motorik Nervus Ulnaris21  Minta pasien adduksi dan abduksi kelingking dan jari-jari lainnya.  Bila pasien dapat melakukannya, minta ia menahan kelingkingnya pada posisi jauh dari jari yang lainnya dan kemudian jari telunjuk pemeriksa mendorong pada bagian pangkal kelingking. Penilaian : -



Bila jari kelingking pasien dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa, berarti kekuatan ototnya tergolong kuat



-



Bila jari kelingking pasien tidak dapat menahan dorongan pemeriksa berarti kekuatan ototnya tergolong sedang



-



Bila jari kelingking pasien tidak dapat mendekat atau menjauh dari jari lainya berarti sudah lumpuh.



Pemeriksaan Motorik Nervus Ulnaris



3. Pemeriksaan Motorik Nervus Medianus21  Ibu jari pasien ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap telapak tangan pasien dan pasien diminta untuk mempertahankan posisi tersebut.  Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari pasien yaitu dari bagian batas antara punggung dan telapak tangan mendekati telapak tangan Penilaian : -



Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kekuatan ototnya tergolong kuat



-



Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti kekuatan ototnya tergolong sedang



-



Bila tidak ada gerakan berarti sudah lumpuh



Pemeriksaan Motorik Medianus 4. Pemeriksaan Motorik Nervus Radialis21  Pasien diminta menggerakkan pergelangan tangan kanan yang terkepal keatas.  Pasien diminta bertahan pada posisi ekstensi lalu dengan tangan kanan pemeriksa menarik tangan pasien ke arah pemeriksa. Penilaian : -



Bila pasien mampu menahan tarikan berarti ototnya tergolong kuat



-



Bila ada gerakan tapi pasien tidak mampu menahan tarikan berarti kekuatan ototnya tergolong sedang



-



Bila tidak ada gerakan berarti Lumpuh (Pergelangan tangan



Pemeriksaan Motorik Nervus Radialis 5. Pemeriksaan Motorik Nervus Peroneus Communis21  Dalam keadaan duduk pasien diminta mengangkat ujung kaki dengan tumit tepat terletak dilantai/ekstensi max  Pasien diminta bertahan pada posisi ekstensi, lalu pemeriksa dengan kedua tangan menekan punggung kaki pasien ke bawah Penilaian : - Bila ada gerakan dan pasien mampu menahan tekanan pemeriksa berarti kekuatan otot pasien tergolong kuat - Bila ada gerakan namun pasien tidak mampu menahan tekanan berarti kekuatan otot tergolong sedang - Bila tidak ada gerakan berarti Lumpuh (ujung kaki tidak bisa ditegakkan ke atas)



Pemeriksaan Motorik Nervus Peroneus Communis 2.9.



Pemeriksaan Penunjang A. Pemeriksaan Bakteriologi Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).22,23 1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP 2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP 3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP



4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP 5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP 6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid IM + Jumlah solid x 100% / Jumlah solid + Nonsolid Syarat perhitungan IM adalah : Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, IB 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan Mulai IB 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan. B. Pemeriksaan Histopatologi Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans.23 Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.24 Tampakan histopatologi MH :19 1. Tipe Tuberkuloid Tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim



sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. 2. Tipe Borderline Tuberkuloid Pada pemeriksaan borderline tuberkoloid terdapat epiteloid akan tetapi mantel limfositiknya lebih sedikit dibandingkan dengan tipe TT. Sel raksasa tipe langhans tidak konstan dan juga terdapat epidermal eksositosis fokal. 3. Tipe Mid Borderline Pada pemeriksaan histopatologi tipe BL ditemukan granuloma makrofag, beberapa sel menunjukkan perubahan menjadi foamy cell, ditemukan banyak limfosit. Beberapa sel epiteloid kadangkadang dapat ditemukan. Saraf-saraf dermis berisi beberapa infiltrat



selular



dan



kadang-kadang



perineurium



memiliki



gambaran seperti kulit bawang. Zona papillary jernih, banyak bakteri yang tersebar tunggal atau berkelompok. 4. Tipe Borderline Tuberkuloid Pada tipe ini respon kulit yang muncul infiltrat limfosit padat yang relatif. Terbatas pada rongga yang ditempati sama makrofag, pada repson tipe BL tampak laminas perinum dengan infiltrasi sel radang. Bisa terdapat sel plasma dan bakteri basil yang mudah ditemukan. 5. Tipe Lepromatous Leprosy Pada tipe LL lesi nodular dengan makrofag yang tidak berdiferensiasi digantikan oleh dermis dan menghilangnya adneksa kulit. Epidermis ditekan oleh nodul dan terdapat lapisan dermis (grenz zone) yang memisahkan. Pada kulit terjadi infiltrat padat seperti busa.



C. Pemeriksaan Serologi Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.23 D. Tes Lepromin Tes lepromin adalah tes nonspesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam / 2 hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkulosis.24 Reaksi Mitsuda bernilai: 0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang + 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm + 2Papul berdiameter 7 – 10 mm + 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi 2.10.



Diagnosis Banding25 A. Lesi Eritem Bersisik: psoriasis, pitiriasis rosea, dermatitis seboroik, dermatofitosis. B. Lesi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi tanpa skuama: vitiligo C. Lesi hipopigmentasi dengan skuama halus: pitirasis versikolor, pitiriasis alba D. Papul, plak atau nodul: neurofibromatosis, sarkoma kaposi, veruka vulgaris, leukemia kutis, granuloma anulare, tuberculosis kutis verukosus, xanthomatosis



2.11.



Tata Laksana26 Tatalaksana Morbus Hansen menyesuaikan tipenya. A. Tipe PB Jenis dan obat untuk orang dewasa : Pengobatan bulanan: Hari pertama (diminum didepan petugas) 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang) 1 tablet dapson (DDS 100 mg) 1 Blister untuk 1 bulan Lama pengobatan : Selama 6-9 bulan. B. Tipe MB Jenis dan dosis untuk orang dewasa : Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas) 1) 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg) 2) 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg) 3) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) Pengobatan Bulanan: Hari ke 2-28 1) 1 tablet Lampren 50 mg 2) 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) Lama Pengobatan : Selama 12-18 Bulan



2.12.



Reaksi Kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik.Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang



peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral.27,28, A. Reaksi Reversal atau Reaksi Upgrading Reaksi ini terjadi karena adanya peningkatan hebat dan tiba-tiba dari respons imun seluler, yang menyebabkan respons inflamasi atau peradangan kulit atau saraf pada pasien tipe borderline (BT, BB, dan BL). Walaupun pencetus utama belum diketahui, tetapi diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan peningkatan sel tumor necrosis factor (TNF) di kulit dan saraf selama reaksi tipe 1 dibandingkan dengan kontrol. Pada penelitian di India, didapatkan respons antibodi ke antigen 18kDa secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan reaksi tipe 1 dibandingkan pasien TT atau borderline tanpa reaksi tipe 1.27 Gejala klinis reaksi reversal yaitu sebagian atau seluruh lesi yang telah ada menjadi lebih banyak dan aktif dalam waktu singkat. Lesi hipopigmentasi menjadi lebih eritema, lesi eritema menjadi semakin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, dan lesi lama bertambah luas. Umumnya gejala konstitusi lebih ringan daripada ENL.27 B. Eritema Nodusum Leprosum (ENL) Reaksi tipe 2 adalah komplikasi imunologis paling serius pada pasien BL dan LL. Pada reaksi ini terjadi peningkatan deposit kompleks imun di jaringan. Lebih jauh, pada ENL terjadi peningkatan sementara respons im unitas yang diperantarai sel dengan ekspresi pada sitokin tipe Th1. Sel T mayor pada ENL adalah CD4+; TNF dan IL-6 juga muncul pada lesi kulit ENL, sementara kadar IL-4 yang rendah mendukung peran Th1 pada reaksi ini.3,14 Kejadian ini umumnya timbul pada tipe lepromatosa polar dan BL, makin tinggi tingkat multibasilernya, makin besar risiko terjadinya ENL. Gejala konstitusional yang muncul berupa demam, menggigil, nyeri sendi, mual, sakit saraf, dan otot dari ringan sampai berat. Pada reaksi tipe 2 perubahan efloresensinya berupa nodus eritema



dan nyeri dengan tempat predileksi lengan dan tungkai. Pada kasus berat dapat menyerang sistemik, sehingga menyebabkan iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut dengan proteinuria.28 2.13.



Tatalaksana Reaksi Kusta27,28 A. Reaksi Reversal atau Reaksi Upgrading Tanpa neuritis: tidak perlu pengobatan tambahan. Dengan neuritis akut: Prednison tablet 40mg/hari, diturunkan perlahan. Pengobatan harus dimulai secepatnya untuk menghindari kerusakan saraf secara mendadak. Anggota gerak yang terkena neuritis harus diistirahatkan. B. Eritema Nodusum Leprosum 1. Prednisone Tablet 15-30mg/hari Bila reaksi ringan, tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosis diturunkan secara bertahap. 2. Talidomid Obat pilihan pertama. Kontraindikasi pada orang hamil atau masa subur, karena bersifat teratogenik. Obat ini tidak terdapat di indonesia. 3. Klofazimin Digunakan dengan dosis yang lebih tinggi, 300 mg/hari. Diberikan selama 2-3 bulan. Bila ada perbaikan, diturunkan menjadi 200 mg/hari selama 2- 3 bulan. Jika ada perbaikan, diturunkan menjadi 100 mg/hari selama 2-3 bulan, dan selanjutnya kembali ke dosiss klofazimin semula, 50mg/hari. Pada saat yang sama, dosis prednison diturunkan secara bertahap.



2.14.



Relaps Relaps adalah kembalinya penyakit secara aktif pada pasien yang sesungguhnya telah menyelesaikan pengobatan yang telah ditentukan dan karena itu pengobatannya telah dihentikan oleh petugas kesehatan yang berwenang. Gejala klinis relaps adalah:29



a. Meluasnya lesi yang telah ada, menebal, eritematosa atau terjadinya infiltrat pada lesi yang sebelumnya telah menghilang, atau terbentuknya lesi yang baru. b. Penebalan atau kekakuan saraf, atau adanya saraf baru yang terkena. c. Ditemukan bakteri pada tempat yang sebelumnya negatif dan atau positif pada lesi yang baru. 2.15.



Pencegahan Cacat Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko tersebut.30 Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan dini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan berlanjut.30 Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan syaraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila



bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit seharihari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.30 WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan mata bagi penderita kusta. Berikut adalah klasifikasi cacat pada penderita kusta:30 Cacat pada tangan dan kaki Tingkat 0



Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan



Tingkat 1



atau deformitas yang terlihat. Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau



Tingkat 2



deformitas yang terlihat. Terdapat kerusakan atau deformitas.



Cacat pada mata Tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus) Ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang. Ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos, iritis, kekeruhan kornea) dan atau visus sangat terganggu. 2.16.



Rehabilitasi Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan)31



2.17.



Komplikasi Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari-jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.32



2.18.



Prognosis Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.33