Nasakh Ushul Fiqh [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Diah
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

http://www.mistamajahp.com/pengertian-nasakh/#z,



A. Pengertian Nasakh Langsung saja didalam Pengertian Nasakh secara istilah sendiri adalah sesuatu ungkapan yg memiliki arti membatalkan sesuatu, kemudian menempatkan hal lainnya sebagai pengganti, dengan cara menghapus semuanya atau memindahkan. Adapun perlu kalian ketahui bahwa Pengertian Nasakh didalam Al Qur’an sendiri terbagi menjadi 2, yakni : Nasikh dan Mansukh. Pengertian Nasikh ialah menghapus (pengganti), dan Pengertian Mansukh ialah yg dihapus (diganti). Hanya saja terdapat beberapa pendapat lainnya mengenai Pengertian Nasakh ini, kurang lebih terdapat 4 Pengertian Nasakh yang perlu kalian ketahui yg antara lain : 1. Nasakh merupakan membatalkan hukum yg diperoleh dari nash (dalil) yg pertama, dibatalkan dgn ketentuan nash (dalil) yg datang kemudian. 2. Nasakh merupakan menghapus hukum syara’ dgn menggunakan dalil syara’ pula. 3. Nasakh merupakan menghapus hukum syara’ dgn menggunakan dalil syara’ pula dgn adanya tenggat waktu, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasakh itu hukum yg pertama akan tetap berlaku. 4. Nasakh ialah membatasi keumuman nash yg terdahulu maupun yg mengqayidi (menentukan) arti dari lafad mutlak-nya dgn nash.



B. Macam – Macam Nasakh di Ajaran Islam Kemudian untuk Macam dan Jenis Nasakh sendiri dibedakan menjadi Empat Macam Nasakh yang antara lain : 1. Nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an, 2. Nasakh Al Qur’an dengan Al Sunnah Dalam hal ini bisa kalian lihat didalam Firman Allah SWT yg berbunyi : ” Diwaijbkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang diantara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiatlah utk kedua orang tua serta karib kerabat dgn cara yg baik, sebagai kewajiban bagi orang – orang yg bertakwa (QS. Al-Baqarah ayat 180) ”. 3. Nasakh Sunnah dengan Al Qur’an Macam Nasakh ini menghapus ketetapan yg didasarkan pada sunnah, dan digantikan dg hukum yg didasarkan pada Al Qur’an. Seperti di Naskh nya arah Kiblat Shalat Baitul Maqdis yg berdasarkan sunnah dengan firman Allah SWT berikut:



” Kami melihat wajah-mu (Muhammad) sering menegadah ke-arah langit, maka akan kami palingkan engkau ke kiblat yg engkau senangi. maka hadapkan-lah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja km berada, hadapkan-lah wajahmu ke arah itu…. (QS. Al Baqarah ayat 144) ”. 4. Nasakh Sunnah dg Sunnah Nasakh ini sendiri terbagi menjadi 4 bagian, yakni: – Nasakh sunnah yg mutawatir dengan – Nasakh sunnah yg ahad dengan yg – Nasakh sunnah yg ahad dengan yg – Nasakh sunnah yg mutawatir dengan yg ahad.



mutawatir. ahad. mutawatir.



C. Hikmah – Hikmah Nasakh Sedangkan didalam Hikmah dan Keutamaan Nasakh yg bisa didapatkan oleh seorang Muslim – Muslimah antara lain. 1. Bisa memelihara kemaslaha’tan hamba dgn syariat yg lebih bermanfaat untuk mereka, kpd agama serta dunianya sepanjang zaman. 2. Masa perkembangan dlm pembentukan tasyri’, sehingga mencapai kesempurnaan. 3. Sebagai bentuk ujian serta cobaan dgn melaksanakan serta meninggalkan. 4. Menjaga agar perkembangan hukum Islam senantiasa terkait dengan perkembangan zaman. 5. Memberikan keringanan kepada umat Islam. Nasakh dapat diketahui melalui riwayat yg tegas dari Rasulullah SAW ataupun dari seorang shahabi yg mengatakan : Ayat ini menasakhkan ayat itu. Terkadang dgn nasakh ini pertentangan antara dua ayat dapat terselesaikan, tentunya saja dgn mengetahui sejarah sehingga dpt diketahui mana yg lebih awal ataupun akhir turunnya, dan didalam mengetahui nasakh tidak boleh berandar kdp para mufassirin atau ijtihad para mujtahidin tanpa didasarkan kpd nash yg sahih. Mungkin seperti itu saja pembahasan mengenai Pengertian Nasakh, Macam Nasakh dan Contoh Nasakh. Semoga saja apa yang dituliskan oleh Penulis disini bisa berguna dan bermanfaat bagi kalian Para Pembaca Muslim – Muslimah karena sekali lagi perlu ditekankan disini bahwa Materi Nasakh ini cukup penting sehingga sudah sangat bijak sekali bagi kalian Para Pembaca untuk mengetahui dan memahami Materi Islam Nasakh ini.



https://www.scribd.com/doc/94176153/Makalah-Nasikh-Mansukh, 4 BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang masalah Salah satu tema dalam ulum AlQur‟an yang mengundang perdebatan para ulama adalah mengenai nasikh-mansukh.Perbedaan pendapat para ulama dalammenetapkan ada atau tidak adanya ayat-ayat mansukh(dihapus) dalam Alqur‟an,antara lain disebabkan adanya ayat -ayat yang tampak kontradiksi biladilihat dari lahirnya.Sebagian ulama berpendapat bahwa diantara ayat-ayat tersebut, adayang tidak bisa dikompromikan.Oleh karena itu,mereka menerima teori nasikh(penghapusan)dalam Alqur‟an.Sebaliknya,bagi para ulama yang berpendapat bahwa ayat-ayattersebut keseluruhannya bisa dikompromikan,tidak mengakui teori penghapusanitu.Ulama-ulama klasik yang menerima penhapusan dalam Alqur‟an ternyata tidak sepakat dalam menentukan mana ayat yang menghapus (nasikh) dan manaayat yang dihapus(mansukh). B.Rumusan Masalah 1.Apa yang dimaksud dengan Naskh?2. Apa saja rukun dan Syarat Naskh?3. Apa perbedaan antara Naskh,Takhsish,dan Bada‟? 4.Bagaimana dasar-dasar penetapan Nasikh-Mansukh?5. Bagaimana perbedaan pendapat tentang adanya ayat-ayat Mansukh dalamAlqur‟an? C.TUJUAN PENULISAN



1.Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah agar kita bisa lebih mengenaltentang 2. silsilah nasikh mansukh dan lebih memudahkan kita untuk mempelajarilebih jauh lagi sehingga dalam proses mempelajarinya kita tidak menemukan kesulitan BAB IIPEMBAHASAN A.ASAS Andaikan al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti salingbertentangan ([4]) . Ungkapan ini sangat penting dalam rangka memahami danmenafsirkan ayat-ayat serta ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur'an.Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Didalamnyaterkandung antara lain nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan,keimanan, ajaran budi luhur, perintah dan larangan. Masalah-masalah yangdisebutkan terakhir ini, tampak jelas dengan adanya ciri-ciri hukumdidalamnya. Semua jenis masalah ini terkait satu dengan lainnya dan salingmenjelaskan.Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip tersebut. Mereka mencatat adanya pendapat yang memandangadanya tiap ayat atau kelompok ayat yang berdiri sendiri. Tapi semuanyaberpendapat bahwa antara satu ayat dengan ayat lainnya dari al-Qur'an tidak adakontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran untuk meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak salingbertentangan. Adanya gejala pertentangan (ta'arudl) yang demikian merupakanasas metode penafsiran dimana Nasikh-Mansukh merupakan salah satubagiannya ([5]). 2.1 Pengertian Naskh Secara lughawi, ada empat makna naskh yang sering diungkapkan ulama,yaitu secara berikut :a. Menghilangkan (Izalah) yaitu mengganti ayat sebelumnya.b. Mengganti (Tabdil) yaitu mengoreksi dan meralat kalimat dengan yanglain yang lebih baik, namun kandungannya tetap.c. Memalingkan (Tahwil) yaitu ayat yang di mansukh diperbaharui 6 kandungan-kandungannya sehingga lebih jelas.d. Menukil (memindahkan) yaitu memindahkan peletakan kata dalam suatuayat agar lebih baik arti dan maknanya.e. Mengkhususkan (Tahshish)



yaitu mengkhususkan/ menspesifikkanpembahasan ayat menjadi lebih terperinci sehinga lebih mudah dipahami. Dari segi terminologi, para ulama mendefinisikan naskh, dengan “raf‟u Al -hukm Alsyari‟bi Al -Khitab Alsyar‟i (me nghapuskan hukum syara dengan dalilsyara yang lain). Maksud menghapuskan disini adalah terputusnya hubunganhukum yang dihapus dari seorang mukallaf, dan bukan terhapusnya substansihukum itu sendiri.Ulama-ulama mutaqaddimin memperluas arti naskh, mencakup:1. Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkankemudian2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian3. Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius4. Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian gunamembatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnyamasaberlakunya hukum yang terdahuluMenurut ahli ushul fiqh menyatakan bahwa naskh bisa dibenarkan bilamemenuhi kriteria berikut:1. Pembatalan harus dilakukan melalui tuntutan syara‟ yang me ngandunghukum dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut nasikh (yang menghapus).2. Yang dibatalkan adalah syara‟ yang disebut mansukh (yang dihapus) 3Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh 2.2 Rukun dan Syarat Naskh Rukun-rukun naskh adalah:1.Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalanhukum yang telah ada 2.Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. 7 3.



Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.4. Mansukh „anh, yaitu orang yang dibebani hukum.Syarat-syarat naskh adalah:1. Yang dibatalkan adalah hukum syara‟. 2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara‟. 3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktupemberlakuan hukum.4. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.Ada dua lapangan yang tidak menerima nasakh, yaitu:1. Seluruh khabar/aqidah baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.2. Hukum-hukum yang disyariatkan secara abadi. 2.3 Perbedaan antara Naskh, Takhsish, dan Bada’ Ibnu Katsir dan Al-Maraghi menetapkan adanya pembatalan hukum dalam Al-Quran. Sedangkan Al-Ashfhani menyatakan bahwa Al-Quran tidak pernah disentuh “pembatalan”, tetapi dia sepakat tentang: 1.



Adanya pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yangspesifik yang datang kemudian.2.



Adanya penjelasan susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigius.3.



Adanya penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belumbersyarat.Ibnu Katsir dan AlMaraghi memandang ketiga hal di atas sebagai naskh,sedangkan Al-Ashfahani memandangnya



sebagai takshish.Al-Ashfahaniberpendapat bahwa tidak ada naskh dalam Al-Quran. Menurut AlAshfahani takhshish diartikan “ mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafadz „amm” .Perbedaan prinsipil antara naskh dan takhshish, dijelaskan sebagai berikut: 8 NASKH TAKHSISH Satuan yang terdapat dalam naskhbukan merupakan bagian satuan yangterdapat dalam mansukhSatuan yang terdapat dalam takhshishmerupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam lafazh „amm Naskh adalah menghapuskan hukumdari seluruh satuan yang tercakupdalam dalil mansukhTakhshish merupakan hukum darisebagian satuan yang tercakup dalam dalil „amm Naskh hanya terjadi dengan dalil yangdatang kemudianTakhshish dapat terjadi baik dengandalil yang kemudian maupun menyertaidan mendahuluinyaNaskh adanya menghapuskanhubungan mansukh dalam rentangwaktu yang tidak terbatasTakhshish tidak menghapuskan hukum „amm sama sekali. Hukum „amm tetap berlaku meskipun sudah dikhususkanSetelah terjadi naskh, seluruh satuanyang terdapat dalam nasikh tidak terikatdengan hukum yang terdapat dalammansukhSetelah terjadi Takhshish, sisa satuan yang terdapat pada „amm tetap terikatoleh dalil „amm Bada‟ menurut sumber -sumber kamus yang mashyur, adalah azhzhuhur ba‟da Alkhafa‟ (menampakkan setelah bersembunyi). Firman Allah:Artinya:



“Dan nyatalah bagi mereka keburukan -keburukan dari apa yang mereka kerjakandan mereka diliputi oleh (azab) yang mereka selalu memperolokolokkannya”(QS. Al -Jatsiyah : 33). 9 Arti bada‟ yang lain adalah „nasy‟ah ra‟yin jadid lam yaku maujud” (munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Definisi ini puntersirat dalam firman Allah pada surat Yusuf ayat 35: Artinya: “ Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaranYusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu ” (QS. Yusuf :35). Dalam bada‟ timbulnya hukum yang baru disebabkan oleh ketidaktahuan sang pembuat hukum akan kemungkinan munculnya hukum baru itu. Sedangkandalam naskh, bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah mengetahuinasikh dan mansukh sejak zaman azali, sebelum hukum-hukum itu diturunkankepada manusia. 2.4 Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh Manna Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatuayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus), yaitu: 1Melalui pentransmisian yang jelas (An-naql Al-Sharih) dari Nabi atau parasahabatnya. 2.Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh. 3.Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehinnggadisebut nasikh, dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh.Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melaluiprosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapadalil apabila dilihat dari lahirnya, atau latar belakang keislaman salah seorangdari pembawa riwayat



10 Ibnu Al-Hisar mengemukakan:Persoalan naskh dikembalikan pada pernyataan yang jelas dari RasulullahSAW, atau dari seorang sahabat yang mengatakan sebuah ayat ini di-naskh olehyang ini. Dalam masalah naskh, tidak diperkenankan memegangi ijtihad paramujtahid tanpa pernyataan yang sahih, dan sanggahan yang jelas, sebab naskhmengandung arti menghapuskan dan menetapkan hukum yang sudah ditetapkanpada masa Nabi SAW, yang dipegangi dalam masalah ini adalah pernyataan dansejarah, bukan pendapat dan ijtihad. 2.5Perbedaan Pendapat tentang Adanya Ayat-ayat Mansukh dalam Al-Quran Perbedaan di kalangan ulama tentang eksistensi naskh dalam Al-Quran:1. Menerima keberadaan naskh dalan Al-QuranMayoritas ulama menerima keberadaan naskh, mereka mngemukakanargumentasi naqliah dan aqliah. Firman Allah:



Artinya: ”Ayat mana saja yang Kami nasakh -kan, atau Kami jadikan (manusia) lupakepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebandingdengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [QS. Al -Baqarah : 106].Artinya: 11 “ Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Diakehendaki), dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh) ” (QS. Ar Ra‟ad: 39). Artinya: “



Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagaipenggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, merekaberkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkankebanyakan mereka tiada mengetahui ” (QS . An-Nahl: 101).Berpijak pada ayat-ayat di atas, para ulama berpendapat bahwa revisi Al-Quran telah terjadi. Adapun dalil-dalil yang dikemukakan para ulama adalahsebagai berikut:a.



Dalil pertamaNaskh tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran dan setiap yang tidak dilarang berarti boleh.Mu‟tazilah menambahkan bahwa hukum Allah itu wajib membawa maslahat bagi hamba-Nya. Sedangkan ahlisunnah mengatakan bahwa tidak ada yang wajib bagi Allah terhadaphamba-Nya. Kalaupun Allah me-naskh-kannya tidak akan membawa akibatkepada hukum-Nya. Semua hukum Allah dan perbuatan-Nya adalahhimmah balighah, ilmu yang luas dan Mahasuci dari sifat jahat dan aniaya.b.



Dalil kedua Seandainya naskh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi, syar‟I tidak boleh memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya dengan perintah sementara danmelarangnya dengan larangan sementara.Akan tetapi, para penentang naskhberkata bahwa perintah dan larangan itu dapat terjadi.c. Dalil ketiga 12 Seandainya naskh itu tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut sam‟iyat, tidak akan ditetapkan risalah Muhammad SAW kepada seluruh alam, sedangkan semuanya mengakui bahwa risalah itu semua berlakuuntuk seluruh alam dengan dalil yang pasti. Syariat yang terdahulu dengansendirinya aka kekal, tetapi akan dinaskh-kan oleh syariat yang terakhir.d. Dalil keempat Naskh terjadi menurut nash. Keadaan “terjadi (Al -



Wuqu‟)” memberikan pengertian boleh bertambah (aj-jawaz wa ziyadah). 2. Menolak keberadaan naskh dalam Al-Quran Menurut para ulama yang masuk dalam kelompok ini, naskh diberi pengertianbukan sebagai pembatalan, tetapi sebagai pergantian,perngalihan, dan pemindahanayat hukum disuatu tempat kepada ayat hukum ditempat lain.Terhadapargumentasi mayritas ulama yang didukung oleh surat An-nahl ayat 101,Al-Ashfahani membantahnya dengan mengjukan ayat 42 surat AlFushilatArtinya: ” Yang tidak datang kepadanya (Al Quraan) kebatilan baik dari depan maupun daribelakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi MahaTerpuji. ”(QS.Fushilat:42). Mayoritas ulama merasa keberatan terhadap pendapat Al-ashfahani sebab bagi mereka,ayat diatas tidak berbicara tentang”pembatalan”,tetapi tenta ng “kebatilan” yang berarti lawan dari”kebenaran”. Hukum Tuhan yang dibatalkanya tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil, sebab sesuatu yangdibatalkan penggunaanya ketika terdapat perkembangaan dan kemaslahatan padasuatu wakyu,bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.Quraish Shihabmenyimpulkanbahwa semua ayat Alqur‟an pada dasarnya berlaku. Ayat hukum 13 yang tidak kondusip pada suatu waktu, Pada waktu yang berlainanakan tetapberlaku bagi orangorang yang memiliki kesesuaian kondisi dengan apa yangditunjuk oleh ayat yang bersangkutan. 2.6. Bentuk-bentuk dan Macam-macam Naskh dalam Al-Quran Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Quran dibagi menjadiempat macam, yaitu:1. Naskh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapatpada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang pada ayat 65 surat Al-Anfal yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir:



Naskh Sharih



Naskh Dhimmi



Naskh Kulli



Naskh Juz’i Cakupan



Naskh Sharih



Naskh Dhimmi



Naskh Kulli



Naskh Juz’i Macam-macamNaskhCakupan



Naskh Sharih



Naskh Dhimmi



Naskh Kulli



Naskh Juz’i Macam-macamNaskhCakupanHukumBacaanOtoritas



Naskh Al-Quran dengan Al-Quran



Naskh Al-Quran dengan As-sunnah



Naskh As-Sunnah dengan Al-Quran



Naskh As-Sunnah denganAs-Sunnah



Naskh terhadap hukum bacaan dan ayat



Naskh terhadap hukum saja



Naskh terhadap bacaannya saja



Naskh Sharih



Naskh Dhimmi



Naskh Kulli



Naskh Juz’i



Macam-macamNaskhCakupanHukumBacaanOtoritas



Naskh Al-Quran dengan Al-Quran



Naskh Al-Quran dengan As-sunnah



Naskh As-Sunnah dengan Al-Quran



Naskh As-Sunnah denganAs-Sunnah



Naskh terhadap hukum bacaan dan ayat



Naskh terhadap hukum saja



Naskh terhadap bacaannya saja



Naskh Sharih



Naskh Dhimmi



Naskh Kulli



Naskh Juz’i Macam-macamNaskhCakupan



14 Artinya: ” Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min untuk berperang. Jika ada duapuluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkandua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu,niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir,disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti



”.(QS.al -Anfal:65).Menurut jumhur ulama, ayat ini di naskh oleh ayat yang mengharuskan satuorang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:Artinya: ” Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwapadamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar,niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jikadiantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapatmengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orangorangyang sabar ”. (QR.Al-Anfal:180).



15 2.



Naskh Dhimmi, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan, dantidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yangsama, serta kedua-duanya diketahui waktu turunnya, ayat yang kemudianmenghapus ayat yang terdahulu. Misalnya ketetapan Allah yangmewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan meninggal:artinya: ” Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orangyang bertakwa ”(QS.Al -Baqarah:180).Menurut pendukung teori naskh, ayat ini di-naskh oleh hadis la washiyyah liwaris (tidak ada wasiat bagi ahli waris).3.



Naskh kulli, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara



keseluruhan. Contohnya ketentuan „iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234 dinaskh oleh ketentuan „iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.Artinya: ” Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulansepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu



16 (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri merekamenurut yangpatut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”(QS.AI -Baqarah:234).Artinya: “ Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkanisteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hinggasetahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jikamereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yangmeninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. DanAllah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana ”(QS.Al -Baqarah:240).



4.



Naskh juz‟i, yaitu mengahapus hukum umum yang berlaku bagi semua



individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, ataumenghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad.Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpaadanya saksi pada surat An-Nur ayat 4, dihapus oleh ketentuan li‟an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika si penuduh suami yang tertuduh,pada ayat 6 surat yang sama.Artinya:



17 “ Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yangmenuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksianmereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik ” .(QS.An-Nur: 4)Artinya: “ Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak adamempunyai saksisaksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialahempat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar ” (QS. An-Nur: 6).Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, naskh dibagi menjadi tiga macam yaitu:1.



Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secarabersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dantidak dibenarkan diamalkan.2.



Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada.contohnya ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepadaumat islam untuk saling bergantian dalam beribadah.Artinya:



“ Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".(QS.Al-Kafirun:6).Contoh lainnya adalah ayat tentang mendahulukan sedekah:



18 Artinya: “ Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khususdengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnyaAllah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”.(QS.Al -Mujadilah:12).Ayat ini di-naskh oleh ayat 13:



Artinya: “ Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekahsebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiadamemperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlahshalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah MahaMengetahui apa yang kamu kerjakan ” . (QS.Al-Mujadilah:13).3.



Penghapusan terhadap bacaannya saja,sedangkan hukumnya tetap berlaku.



19 Adapun dari sisi otoritas ,para ulama membagi naskh ke dalam 4 macam,yaitu:1.Naskh AlQur‟an dengan Al Qur‟an 2. Naskh AlQur‟an dengan As -Sunnah3. Naskh As-Sunnah dengan AlQur‟an 4. As-Sunnah dengan As-Sunnah 2.7 Hikmah Keberadaan Naskh 1. Menjaga kemaslahatan hamba.2. Pengembangan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan seiringdengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.3. Menhuji kualitas keimanan mukalaf dengan cara adanya suruhan yangkemudian dihapus.4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat.



20 BAB IIIKESIMPULAN Al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satudengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-uba'dhuhu ba'dha. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan danpersoalan.Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnyaal-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya.Dengan mengetahui, memahami ilmu nasikh mansukh dalam AlQur‟an kita akansemakin yakin bahwa alQur‟an diturunkan dari Allah SWT. Dan semakin kuatpula keyakinan bahwa Al-



Qur‟an merupakn mukjizat yang paling agung. B. Saran Demikian makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan baik dalampenjelasanmaupun dalam penulisan kami mohon maaf . kami mengharap kritik dan saranyang membangun agar dapat menjadi sumber rujukansehinggamenjadika apayang kami buat ini lebih baik di masa mendatang. Semogamakalah ini dapatbermanfaat bagi kita semua. Amiin..



http://afifulikhwan.blogspot.com/2010/01/nasakh-mansukh.html, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dari awal hingga akhir, al-Qu’an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur’an yufassir-u ba’dhuhu ba’dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya.al-Qur’an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hokum. Hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dan undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan teologi dan teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang, yang biasa dikenal “interpretasi historis.” Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qu’an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah kita membicarakan masalah nasikh-mansukh. B. RUMUS MASALAH 1. Apa pengertian nasikh mansukh? 2. Apa pengertian nasikh mansukh dalam al-Qur’an ? 3. Apa pengertian nasikh mansukh dalam hadits ? 4. Apa pengertian klasifikasi nasik mansuk dan cara mengetahui nasikh mansuh? C. TUJUAN PEMBAHASAN 1. Agar mengetahui pentingnya nasikh mansukh. 2. Agar mengetahui nasikh mansukh dalam al-Qur’an. 3. Agar mengetahui nasikh mansukh dalam hadits. 4. Agar mengetahui klasifikasi nasikh mansukh. BAB II PEMBAHASAN A. PEGERTIAN NASIKH MANSUKH Secara bahasa nasakh adalah menghapus, sedangkan mansukh adalah yang dihapus. Dengan demikian ada dua hal yang terkait yakni Nasikh dan Mansukh. Sedangkan menurut istilah yang dimksud dengan Nasaikh adalah meñghapuskan suatu ketentuan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datangnya kemudian. Atau Iebih jelasnya Nasikh adalah menghapus/membatalkan berlakunya sesuatu hukum syara’ yang telah ada oleh hokum syara’ yang datang kemuudian. Sedangkan Mansukh adalah sesuatu ketentuan hukum syara yang dihapuskan oleh hukum yang dating kemudian itu. Jadi Nasikh berarti mnghapus sedangkan Mansukh berarti dihapus. Dari definisi tersebut dapat diambil pemahaman bahwa antara yang merusak dengan yang dirusak itu terdapat suatu masa yang di dalam masa berlaku hukum yang dinasakhkan, artinya jika na.sakh yang merusakkan itu tidak datang, maka secara pasti hukum yang telah ada itu tetap saja berlaku. Jadi yang dibatalkan itu dikenal dengan sebutan Mansukh sedang yang membatalkan dikenal dengan sehutan Nasikh. Para Ulama berbeda pendapat perihal adanya Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an. Ditinjau daei segi akal maupun dari riwayat, maka perihal Nasikh Mansukh itu bisa saja terjadi. Hal ini sudah disepakati para Ualarua’, kecuali nasikh mansukh terhadap dalam AlQur’an ataupun al-Qur’an dengan Al Hadits para ulama masih berbeda pendapat. Menurut akal, bisa difahami bahwa setiap ummat itu memiliki kepentingan yang berbeda antara waktu yang satu dengan waktu yang lain, antara satu situasi dengan situasi yang lain. Sehingga terkadang pada suatu waktu dan situasi tertentu, karena adanya kepentingan tertentu ditetapkan adanya aturan hukum tertentu, akan tetapi pada situasi yang lain, karena adanya perubahan situasi dan kepentinan, maka ketentuan hukum



yang telah ditetapkan itu dirobahnya, disesuaikan dengan situasi dan kepentingan itu. Misalnya ketentuan tentang boleh tidaknva berziarah kubur. Semula ziarah kubur itu dilarang oleh Nabi SAW, tetapi kemudian oleh beliau dianjurkannya. Hal ini karena situasi pada waktu dilarangnya dan pada waktu dianjurkannya itu sudah berbeda, yakni semula orang Arab Jahiliyah masih kuat sekali kemusyrikannya, setelah syirik itu terkikis oleh Nabi SAW maka mereka dianjurkan untuk ziarah kubur, karena tidak lagi ditakutkan menjadi musyrik. Misalnya riwayat lain perihal ketentuan kiblat sholat, semula nabi SAW sholat menghadap ke Baitul Maqdis kemudian dinasakh dengan menghadap ke Masjidil Haram. Jadi secara riwayat ternyata ketentuan nasakh iyu pernah dipraktekkan oleh Nabi SAW. Golongan ke-1 menyatakan bahwa ada nasikh mansukh dalam al-Qur’an, artinya ada ayat atau ketentuan hokum dalam al-Qur’an yang dihapuskan. Yang termasuk golongan ini adalah : Imam Syafi’I, Imam As Suyuti, Imam Asy Syaukani. Alas an mereka adalah: a. Berdasarkan dalil al-Qur’an sendiri, antara lain: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.(al-Baqoroh, 106) Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya (An Nahl, 101) Dua ayat itu mengindikasikan pembéritahuan Alloh bahwa: ada ayat yang diganti oleh ayat lain, baik yang sepertinya atau yang lebih baik daripadaaya. Karena adanya kenyataan memperlihatkan, beberapa ayat memperlihatkan perlawanan antara lahiriah ayat yang satu dengan lainya. Misal firman Allah. Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S Al-Baqarah: 240) Sedangkan pada firman lain. Al Baqoroh 234 Allah menyatakan: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka147 menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Q.S Albaqarah:234) b. Dengan melihat contoh dua ayat itu, tentu salah satunya berperan menghapuskan ketentuan ayat yang lainnya, yakni menahan dirinya itu setahun apa empat bulan sepuluh hari. 2. Golongan ke-2 menyatakan tidak ada Nasikh Mansukh dalam al-Qur’an. Termasuk golongan mi adalah : Ubay Bin Ka’ab, Abu Muslim Al Isfahan, Muhammad Abduh, Rosyid Ridlo dll. Alasan mereka adalah: a. Tidak ada keterangan yang spesifik dan tegas dari Al Qur’an sendiri bahwa ayat ini dimansukh dan ayat yang ini memansukh (menghapus), yakni keterangan ayat apa yang dihapus dan ayat apa yang menghapuskan. b. Tidak ada keterangan Hadits yang shorih/jelas yang menjadi nash qoth’i (meyakinkan) perihal adanya ayat apa yang dimansukh itu dan ayat apa yang memansukh. c. Melihat pendapat para ulama’ yang menyatakan adanya Nasikh Mansukh ternyata tidak kompak (ada perbedaan pendapat perihal jumlah berapa ayat yang di mansukh itu), sehingga pendapat mereka itu tidak meyakinkan. d. Setelah direnungkan ternyata ayat yang nampaknya berlawanan itu masih bias dikompromikan. Perlu diketahui bahwa karena tidak adanya penjelasan Nabi SAW secara rinci mana ayat yang Mansukh, maka para ulama berbeda pendapat tentang jumlah ayat yang masukh. Misalnya menurut An Nahhas jumlah ayat yang mansukh adalah 100 ayat, sedangkan menurut Imam As Suyuti jumlahnya 20 ayat, sedangkan menurut Asy Syaukani jumlahhnya 8 ayat. Misalnya ayat Q.S. Al Baqoroh 184: (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia



berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui. (Q.S al-baqarah:184) [114] maksudnya memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari. Menurut ulama golongan pertama bahwa ayat ini dimansukh oleh surat al-Baqoroh, 185: 185. (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.(Q, S albaqarah:185) Sebaliknya bagi golongan kedua yang menyatakan tidak ada nasakh mausukh dalam Al Quran, kedua ayat tersebut bisa dikompromikannya, yakni bagi siapa saja yang melihat bulan hendaknya berpuasa, kecuai bagi yang tidak mampu melaksanakan puasa, mereka yang sangat tua atau lemah ini bila dikehendaki dapat berbuka puasa dengan menggantinya dengan fidyah. B. NASAKH MANSUKH DALAM AL-QUR’AN 106. Ayat mana saja[81] yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? · [81] para Mufassirin berlainan pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat. (QS. Al-Baqarah : 106) Asy sa’dy berhujjah untuk orang yang memakai makna ini dengan firman Allah: “Inna kunna nastansikhu makuntum ta’malun-bahwasanya Kami menukilkan apa yang kamu kerjakan (QS. 45, Al Jatsiyah:29) yang dipautkan dengan firman Allah “Wa innahu fiummil kitabi ladaina la’aliyyun hakim = Sesungguhnya dia, yang berada di ummul kitab di sisi kami sungguh tinggi lagi kokoh”. (QS. 43, Az-Zukhruf: 4). Al-Kitab menurut Asy Sa’dy tidak lain adalah Lauh Mahfuz atau AlKitabul Maknun. Penasikh Al-Qur’an yang menukilkannya telah mendatangkan lafal yang dimansukh, dinukil dan diturunkan kepada rasul. Sumber perbedaan pendapat dalam mendefinisikan lafal nasakh kembali kepada pembatasan makna kata secara lughah secara istilah, supaya penggunaan lafal nasakh yang telah digunakan Al-Qur’an dalam firman Allah ayat 106 S. 2, Al-Baqarah, berlaku menurut uslub bahasa Arab dalam menerangkan sesuatu peristiwa yang mempunyai kedudukan yang besar. Pendapat Beberapa Ulama Mengenai Nasakh-Mansukh Menurut pendapat sebagian ulama ahli tahqiq, Al-Qur’an menggunakan lafal nasakh di segala tempat, sesuai dengan makna yang asli (hakiki) yang hanya itulah makna yang terguris di dalam dada masing-masing manusia. Oleh karenanya, mentakrifkan nasakh dengan perkataan raf’ul hukmisy syar’iyi bi dalilin syar’iyin = mengangkat sesuatu hukum syara’ dengan dalil syara’, adalah tahdid istilahy yang paling tepat bagi lafal ini, yang sesuai dengan bahasa Arab yang menetapkan bahwasanya nasikh itu, bermakna “menghilangkan dan mengangkat ketempat yang lain”. Nash-nash syara’ mengangkat sebagian hukumnya dengan dalil-dalil yang kuat dan tegas pada peristiwaperistiwa yang tertentu, karena mengandung rahasia-rahasia dan hikmah-hikmah yang hanya diketahui oleh ulama-ulama yang kuat ilmunya. Yang lainnya berpendapat bahwasanya nasakh hanya di dalam AlQur’an sendiri. Maka tidak salah al Quran dinasakhan oleh al-Quran,sepertimenasakhan puasa hari



asyura dengan ayat shiyam. Diantara tindakan dari para ulama yang berlebihan ialah mereka telah membagi sebuah ayat kepada dua bagian, lalu mereka mengat akan bahwa permulaannya dimansukhan oleh akhirnya. Seperti firman Allah ayat 105 Surah Al-Maidah. Akhir ayat itu menyeru kita supaya menyuruh makruf dan mencegah munkar. Maka akhir ayat ini, menurut pendapat Ibnu Araby menasakhkan permulaannnya. Bahkan Ibnu Araby mengatakan, bahwa permulaan ayat 199 Surah Al A’raf dan demikian pula akhirnya mansukh. Hanya pertengahannya saja yang muhkam. Kegemaran mereka menyingkap mana yang mansukh dalam ayat-ayat Al-Qur’an, menjerumuskan mereka kedalam berbagai kesalahan yang selayaknya mereka jauhi. Mereka memandang nasakh dalam al quran terbagi menjadi tiga macam: · Menasakhan hukum, tetapi tidak tilawahnya. · Menasakhan tilawah, tetapi tidak hukumnya. · Menasakhan hukum dan tilawah. Bahkan ada lagi golongan yang mengatakan bahwa ayat yang nasikh itu bisa menjadi mansukh pula. Mereka berkata : “Ayat ke-6 dari surah Al-Kafirun dimansukhan oleh ayat ke-5 surah At-Taubah, kemudian ayat ke-5 surah At-Taubah itu, dimansukhan oleh ayat 29 surah At -Taubah.” Sikap berlebih-lebihan sebagian ulama tentang nasakh dan mansukh itu jelas tidak masuk akal, dan seolah-olah meragukan eksistensi Al-Qur’an itu sendiri. C. NASAKH MANSUKH DALAM HADITS Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. telah menghilangkan segala keaiban (nasakh dan mansukh) dari Agama Islam setelah beliau diutus. Beliau telah membuktikan dengan dalildalil bahwa Al-Qur’an itu petunjuk terakhir Allah swt. Al-Qur’an terpelihara dari kemansukhan. Segala sesuatu yang terkandung di dalamnya wajib diamalkan oleh orang-orang Islam. Tiada satu bagianpun yang bertentangan dengan bagian lainnya dan patut dianggap mansukh. Barang siapa melihat pertentangan didalamnya, ia sendirilah yang jahil, dan ia menuduhkan ketunaan pengetahuannya kepada Al-Qur’an Suci. Didalamnya tidak sedikitpun terjadi perubahan. Kata demi katanya dan huruf demi hurufnya utuh seperti dahulu ketika diturunkan kepada junjungan kita Rasulullah saw. Allah Ta’ala sendirilah yang menjadi penjaganya. Dia mengadakan sarana-sarana penjagaan rohani maupun jasmani baginya sedemikian ketatnya sehingga campur tangan manusia tidak dapat memberi bekas kepadanya.2 Jadi, mengatakan adanya pembatalan di dalamnya adalah keliru. Begitu pula mempercayai ada perubahan didalamnya merupakan suatu tuduhan keji. Dalil yang sering digunakan olah para ulama berkenaan dengan nasakh dan mansukh adalah firman Allah swt. Dalam Surah Al-Baqarah : 106 ; “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”. Ada kekeliruan dalam mengambil kesimpulan dari ayat ini. bahwa, beberapa ayat Al-Qur’an telah dimansukhan (tidak berarti lagi). Kesimpulan itu jelas salah dan tidak beralasan. Tiada sesuatupun dalam ayat ini yang menunjukan bahwa, kata ayah itu maksudnya ayat-ayat Al-Qur’an. Padahal kata ayah itu sendiri memiliki banyak arti diantaranya pesan, tanda, perintah atau ayat Al-Qu’ran. Dan yang tepat dalam konteks ini adalah diartikan dengan perintah. Karena dalam ayat sebelum dan sesudahnya telah disinggung mengenai Al-Kitab dan keirian mereka terhadap wahyu baru yang menunjukan bahwa ayah yang dikatakan mansukh dalam ayat ini, menunjuk kepada wahyu-wahyu terdahulu. Dijelaskan bahwa ayat-ayat suci terdahulu mengandung dua macam perintah: • Yang menghendaki peghapusan karena keadaan sudah berubah dan karena keuniversalan wahyu baru itu (Al-Qur’an), menghendaki penghapusan. • Yang mengandung kebenaran kekal-abadi, atau memerlukan penyegaran kembali sehingga orang dapat diingatkan kembali akan kebenaran yang terlupakan. Karena itu, perlu sekali menghapuskan bagian-bagian tertentu dari kitab-kitab suci itu dan mengganti dengan perintah-perintah baru dan menegakkan kembali perintah-perintah yang sudah



hilang. Maka, Tuhan menghapuskan beberapa bagian wahyu terdahulu, dan menggantikannya dengan yang baru dan lebih baik, dan disamping itu memasukkan lagi bagian-bagian yang hilang dengan yang sama. Itulah arti yang sesuai dan cocok dengan konteks (letak) ayat ini dan dengan jiwa umum ajaran AlQur’an.3 Jadi jelaslah bahwa pengertian tentang nasakh yang menghilangkan sebagian ayat-ayat dalam Al-Qur’an adalah suatu kesalahan dan tidak ada relevansinya dengan apa yang sedang dibahas dalam ayat (Al-Baqarah : 107) ini. Karena yang dimaksud dengan nasakh dalam ayat ini adalah berkenaan dengan hukum-hukum/perintah-perintah yang terdapat dalam kitab suci terdahulu. Yang di maksud dengan Nasikh Mansukh ialah Ilmu pengetahuan yang membahas tentanghadist yang datang terkemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan hukum yang berlawanandengan kandungan hadist yang datang terlebih dahulu, ada juga yang memberi Pengertian(ta'rif)ilmu nasikh mansukh sebagai berikut :"Ilmu yang menerangkan hadist-hadist yang sudah di mansukhkan dan yang menasikhkanya".Para Muhaddisin memberikan penjelasan tentang nasikh Mansukh secara lengkap yaitu:"Ilmu yang membahas hadist-hadist yang serting berlawanan maknanya yang tidak mungkindapat dikompromikan dari segi hokum yang terdapat pada sebagianya,karena ia sebagai nasikh(penghapus) terhadap hokum yang terdapat pada sebagian lainya,karena ia sebagaimansukh(yang dihapus).karena itu yang mendahului adalah sebagai mansukh dan hadist yangterakhir adalah sebagai nasikh".sejarah perkembangan sumber Ilmu Nasikh Mansukh itu sudah ada sejak pendiwanan(kodifikasi) pada awal abadpertama,akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri. Kehadiranya sebagaiilmu di promotori oleh Qatadah bin Di"amar As-sudusi (61-118 H.) dengan tulisan beliau yangdiberi judul "An-nasikh wal-mansukh", Namun sangat disayangkan bahwa kitab tersebut tidakbisa kita manfaatkan ,lantaran tiada sampai hidup kita.Urgensi dari pada ilmu ini adalah : · Mengetahui Ilmu Nasikh Mansukh adalah tertmasuk kewjiban yang penting bagi orang-orang yang memperdalam ilmuilmu syari"at. Karena seorang pembahas syari"at tidakakan dapat memetik hokum dari dalil-dalil naskh (hadits), tanpa mengetahui dalil-dalilnash yang sudah di nasakh dan dalil-dalil yang menasakhnya. · Memahami khitob hadits menurut arti yang tersurat adalah mudah dan tidak banyakmengorbankan waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah mengistimbatkanhukum dari dalil-dalil nash (hadits) yang tidak jelas penunjukanya. Diantara jalan untuk · Mentahqiq (mempositipkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat ialah denganmengetahui mana hadits yang terdahulu dan mana pula hadits yang terkemudian danlain sebagainya dari segi makna. Ilmu nasikh mansukh ini bermanfaat untuk pengamalan hadits,Apabila ada dua haditsmaqbul (Diterima) yang tanaaqud (bertentangan) yang tidak dapat dikompromikan ataudijama" (di kumpulkan). Apabila dapat di kompromikan,hanya sampai pada tingkatMukhtalif Al-hadits,maka kedua hadits tersebut dapat diamalkan. Namun jika tidak bisadijama" (Di kompromikan), maka hadits maqbul yang tanaaqud tadi di tarih atau dinasakh. D. KLASIFIKASI NASIKH MANSUKH DAN CARA MENGETAHUI NASIKH MANSUKH a) Klasifikasi Nasikh Para ahli ushul yang mengakui keberadaan nasakh itu, membagi nasakh menladi beberapa bagian, yaitu: 1. Nasakh yang gantinva tidak ada, seperti nasakh terhadap keharusan orang yang akan berbicara dengan Nabi SAW untuk bersedekah kepada orang miskin. 2. Nasakh yang gantinya ada, seperfi kewajiban shalat yang asalya sebanyak 50 kali sehari semalam, menjadi hanya 5 kali seharisemalam. 3. Nasakh bacaannya, tetapi hukumnva tetap berlaku, seperti hukum ranjam bagi laki-laki dan wanita tua yang telah menikah dan ini dinasakh dengan ayat lain. 4. Nasakh hukumnya, tetapi bacaannva masih ada. seperti nasakh terhadap kewajiban sedekah kepada orang miskin. 5. Nasakh hukumnya dan bacaannya sekaligus, seperti hukurn haramnya menikahi saudara sesusuan dengan



batasan 10 kali menjadi hanya 5 (Hadis riwayat Bukhari-Muslim dari ‘Aisvah) 6. Penambahan hukum dari hukum yang pertama. Dalam masalah ini yang dipersoalkan adalah Ø Apakah tambahan itu dianggap menasakh nash atau hanya sebagai penjelas terhadap nash. Para ahli berbeda pandangan, yaitu: · Kelompok Hanafiyyah berpendapat bahwa tambahan itu termasuk menasakh. Maksudnya jika nash tersebut bersifat qath’iy maka tidak dapat menasakh dengan hadis ahad. Jika tambahan terdapat hadis ahad, maka berakibat tambahan tersebut ditinggalkan dan tidak boleh dipakai. · Jumhur Ulama, dan kelompok Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tambahan itu merupakan penjelas (bayan) dari nash, bukan menasakh’. Sekalipun mereka tetap memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Ø Jika hukum tambahan tidak terkait dengan hukum yang ditambah, hal itu tidak termasuk nasakh, karena keduanya terpisah, seperti penambahan kewajiban shalat pada ayat yang menerangkan kewajiban zakat, sehigga perintah shalat tidak berpengaruh pada zakat. Ø Jika hukum yang di nasakh itu berkaitan dengan hukum yang ditambah, maka tambahan itu namanya nasakh, seperti penambahan rakaat pada shalat shubuh yang hanya dua rakaat. Hal ini berarti mengubah esensi dari shalat itu sendiri. Ø Jika penambahan itu mempengaruhi pada bilangan tetapi tidak mempengaruhi esensi hukum semula, seperti hukuman dera bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina adalah 80 dera dan ditambah dengan 20 pukulan. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat, yaitu: · Jumhur berpendapat tidak dinamakan nasakh, karena esensinya masih tetap. · Kelompok Hanafiyah berpendapat termnasuk nasakh, karena hukum asalnya sudah berubah. b) Cara Mengetahui Nasakh dan Mansukh. Adapun tatacara untuk mengetahui dan melaak ada dan tidaknya nasakh- mansukh adalah sebagai berikut: · Adanya penjelasan langsung dari nash al-Qur’an dengan menggunakan ayat yang menjelaskan nasakh · Adanya penjelasan langsung dan Rasulullah, seperti masalah berziarah, Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, tetapi sekarang berziarahlah. (Hadis riwayat Muslim) · Adanya tindakan Nabi saw sendiri, seperti dera 100 kali bagi pezina, diantaranya: o Al-Qur’an, surat: an-nur:2, yaitu: pezina harus di dera 100 kali dera : (èpu‹ÏR#¨“9$# ’ÎT#¨“9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7‰Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps•($ÏB ;ot$ù#y_ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera(Q, S, an nuur,2) o al-Hadis, yaitu: pezina bujang atau gadis didera 100 kali dan diasingkan 1 tahun. Pengasingan 1 tahun sebagai tambahan. · Adanya penjelasan dan para sahabat bahwa nash ini dinasakh dan nash yang ini yang menasakh (mansukh), · Adanya keterangan dan periwayatan hadis yang menyatakan bahwa satu hadis dikeluarkan tahun sekian dan hadis lain tahun sekian, seperti ucapan ayat ini turun setelah ayat ini dan sebagainya. Contoh : § AI-Qur’an surat AI-muzammil:20, Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. § Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa penentuan surat alfatihah dalam hadis merupakan penjelas terhadap segala sesuatu yang dikatakan sebagai ayat-ayat yang mudah. § Kelompok Hanafiyah berperidapat bahwa bacaan yang diwajibkan di dalam shalat adalah sembarang ayat al-Qur’an dan tidak harus surat al-Fatihah. c) Cara Mengetahui Nasakh dan MacamMacamnya Manna’ al-Qatthan menetapkan 3 cara untuk mengetahui bahwa suatu dikatakan nasikh, dan ayat lain dikatakan mansükh, yaitu: 1. Keterangan tegas dan Nabi. 2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan mansukh. 3. Melalui study sejarah. Adapun pembagian nasikh ada 4 bagian yaitu: 1. Nasikh Al-Qur’an dengan-Al-Qur’an. Contohnya: ayat tentang iddah 4 bulan 10 hari. 2. Nasikh Qur’an dengan sunah. Dalam hal ini dibagi menjadi 2 macam: · Nasakh Qur’an dengan hadis ahad · Nasakh Qur’an dengan hadis mutawatir 3. Nasakh sunah dengan Qur’an. Contohnya kewajiban puasa pada hari Asyura yang ditetapkan berdasarkan sunah, dinasakh oleh firman Allah: “Maka barangsiapa



menyaksikan bulan Ramadlan hendaknya ia berpuasa”. (Q.S. AI-Baqarah: 185). 4. Naskh sunnah dengan sunnah. Dalam kategori ini terdapat 4 bentuk: · Naskh mutawatir dengan mutawatir. · Naskh ahad dengan ahad · Naskh ahad dengan mutawatir BAB III KESIMPULAN Nasikh adalah memindahkan, merubah, menggantikan, atau menghilangkan. Sedangkan sesuatu yang dihilangkan, digantikan, diubah, dipimdahkan, disebut mansukh. Dasar-dasar penetapan nasikh mansukh yaitu melalui pentransmisian yang jelas dari nabi atau para sahabatnya melalui kesepakatan umat melalui studi sejarah. Ada tiga macam nasikh diantaranya menghapus terhadap hokum dan bacaan secara bersamaan. Nasikh dalam alQur’an ada empat; nasikh shirih, nasikh dhimmy, nasikh kully, nasikh juz’i. hikmah keberadaan nasikh yaitu menjaga kemaslahatan umat, mengembangkan pengertian hukum sampai pada tingkat kesempurnaan menjadi kualitas keimanan mukallaf, kebaikan dan keburukan umat.



Pengertian Nasikh dan Mansukh, Macam-macam, dan Bentuk-bentuk Nasikh dalam AlQur'an pengertian nasikh dan mansukh, macam-macam nasikh dan mansukh, Ciri-ciri naṣh yang tidak dapat diNaskh, Syarat naṣ yang dapat di-Naskh, bentuk-bentuk nasikh dalam Al-Qur'an dan Hikmah adanya Nasikh Mansukh. 1. Pengertian Naskh secara etimologi (bahasa). Naskh adalah ism fa’il (bentuk subyek) dari kata kerja nasakha dan maṣdar-nya adalah naskh Terdapat beberapa arti kata naskh, diantaranya adalah al-izalah َ ‫ش ْي‬ َ ‫ّللا يحْ كِمُ ث َُم ال‬ artinya “menghapus” Dalam al-Qur`an disebutkan: ُ‫سخ‬ َُ ‫طانُ ي ْلقِي َما‬ َُ ‫ّللا ۗ آيَاتِ ُِه‬ َُ ‫علِيمُ َو‬ َ ُ‫َحكِيم‬ َ ‫ّللا فَيَ ْن‬ Artinya: “Allah (menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Ḥajj : 52) Diartikan juga at-tabdil artinya “menukar”. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Naḥl ayat 101: ‫بَد َْلنَا َوإِذَا‬ ُ‫ّللا ۗ آيَةُ َمكَانَُ آيَة‬ َُ ‫ل ۗ م ْفت َرُ أ َ ْنتَُ إِنَ َما قَالوا ين َِزلُ بِ َما أ َ ْعلَمُ َو‬ ُْ َ‫ل أ َ ْكثَره ُْم ب‬ َُ َُ‫ يَ ْعلَمون‬Artinya: "Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui." Selain itu, naskhu juga dapat berarti al-taḥwīl artinya “mengubah”, selain itu juga dapat diartikan al-naql artinya “memindahkan”. 2. Pengertian Naskh secara terminologi (istilah). Secara terminologi Nasikh adalah mengangkat (menghapuskan) dalil hukum syar‘i dengan dalil hukum syar’i yang lain. Nasikh adalah dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan Mansūkh ialah hukum syara’ yang telah dihapus. Sebagaimana hadis Nabi: Artinya: "Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah." (HR. atTirmidzi) Hukum syara’ larangan ziarah kubur kini telah Mansukh (telah dihapus) dengan kebolehan berziarah kubur, berdasarkan hadis ini. 3. Macam-macam Nasikh. Karena sumber atau dalil-dalil syara’ ada dua yaitu al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.., maka ada empat jenis Nasikh, yaitu: a. Naskh sunnah dengan sunnah. Suatu hukum yang dasarnya sunnah kemudian di-Naskh dengan dalil syara’ dari sunnah juga. Contohnya: larangan ziarah kubur yang di-Naskh menjadi boleh, seperti pada hadis di atas. b. Naskh sunnah dengan al-Qur`an. Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian di-Naskh atau dihapus dengan dalil al-Qur`an, seperti ayat tentang ṣalat yang semula menghadap Baitul Maqdis diganti dengan menghadap ke Kiblat setelah turun QS. al-Baqarah ayat 144: ‫ب ن ََرىُ قَ ُْد‬ َُ ُّ‫فِي َوجْ ِهكَُ تَقَل‬ ْ ‫ام ْال َمس ِْج ُِد ش‬ ُِ‫س َماء‬ ُِ ‫َط َُر َوجْ َهكَُ فَ َو‬ ُِ ‫ ْال َح َر‬Artinya: "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu َ ‫ضاهَا ِق ْبلَةُ فَلَن َو ِل َينَكَُ ۗ ال‬ َ ‫ل ۗ ت َْر‬ menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.... c. Naskh al-Qur`an dengan al-Qur`an. Ada beberapa pendapat ulama tentang Naskh al-Qur`an dengan alQur`an ada yang mengatakan tidak ada Nāsikh dan Mansūkh dalam ayat-ayat al-Qur`an karena tidak ada yang batil dari al-Qur`an, diantaranya adalah Abu Muslim al-Isfahani, berdasarkan firman Allah Swt: ‫ل‬ َُ ْ ْ ْ ْ ْ َ ْ ْ َ ‫ن البَاطِ لُ يَأتِي ُِه‬ ُ ِ‫ْن م‬ ُِ ‫ل يَ َد ْي ُِه بَي‬ ُ ‫ن َو‬ ُ ِ‫ن تن ِزيلُ ۗ خَل ِف ُِه م‬ ُ ِ‫ َحمِ يدُ َحكِيمُ م‬Artinya: "yang tidak datang kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji." (QS. Fuṣṣilat : 42 )



Pendapat kedua mengatakan bahwa ada Nasikh Mansukh dalam ayat-ayat al-Qur`an tetapi bukan menghapus atau membatalkan hukum, yang berarti hanya merubah atau mengganti dan keduanya masih berlaku. Contoh QS. al-Anfal ayat 65 yang menjelaskan satu orang muslim harus bisa menghadapi 10 orang kafir, di-naskh dengan ayat 66 yang menjelaskan bahwa satu orang muslim harus dapat menghadapi dua orang kafir. Ayat 66 me-naskh ayat sebelumnya akan tetapi bukan menghapus kandungan ayat 65. Kedua ayat ini masih berlaku menyesuaikan dengan kondisi dan situasi. Demikian menurut beberapa ulama. 4. Bentuk-bentuk Naskh dalam al-Qur`an. Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi Naskh menjadi tiga macam yaitu: a. Penghapusan terhadap hukum (ḥukm) dan bacaan (tilāwah) secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan lagi. Misal, sebuah riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah: Artinya: “Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-Qur`an) adalah sepuluh kali susuan yang diketahui, kemudian di-nasakh dengan lima susuan yang diketahui. Setelah Rasulullah Saw. wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian alQur`an” b. Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada. Misalnya, ayat tentang mendahulukan sedekah pada QS. Mujadilah : 12: ْ َ ‫ن ۗ َوأ‬ ‫ل نَا َجيْتمُ ِإذَا آ َمنوا الَذِينَُ أَيُّ َها َيا‬ َُ ‫الرسو‬ ُْ ‫ص َدقَةُ نَجْ َواك ُْم َي َد‬ ُْ ِ ‫ن ت َِجدوا لَ ُْم فَإ‬ َُ ِ ‫ّللا فَإ‬ ََُ ُ‫ َرحِ يمُ غَفور‬Artinya: َ ‫ي َبيْنَُ فَقَدِموا‬ َ ۗ َُ‫ط َهرُ لَك ُْم َخيْرُ ذَلِك‬ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang“ Ayat ini di-Naskh oleh ayat selanjutnya (ayat 13): ‫ن أَأ َ ْشفَ ْقت ُْم‬ ُْ َ ‫ي بَيْنَُ تقَدِموا أ‬ ُْ ‫ص َدقَاتُ نَجْ َواك ُْم يَ َد‬ َُ ‫ّللا َوت‬ َُ ‫علَيْك ُْم‬ َ َ ۗ ‫َاب ت َ ْف َعلوا لَ ُْم فَإ ُِْذ‬ َ َ َ ‫ّللا َوأطِ يعوا‬ ‫ص ََلُة َ فَأقِيموا‬ ََُ ُ‫ّللا ۗ َو َرسولَه‬ َُ ‫ ت َ ْع َملونَُ بِ َما َخبِيرُ َو‬Artinya: “Apakah kamu takut akan (menjadi َ ‫الزكَاُة َ َوآتوا ال‬ miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang anda kerjakan.” c. Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini adalah ayat rajam. Mula-mula ayat rajam ini termasuk ayat al-Qur`an. Ayat ini dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah: Artinya: “Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya”. Cerita tentang orang tua yang berzina dan kemudian di-Naskh di atas diriwayatkan oleh Ubay ibn Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl. 5. Ciri-ciri naṣh yang tidak dapat di-Naskh. Tidak semua naṣ (dalil) dalam al-Qur`an maupun hadis dapat di-naskh, diantara yang tidak dapat di-naskh antara lain yaitu: a. Naṣh yang berisi hukum-hukum yang tidak berubah oleh perubahan keadaan manusia, baik atau buruk, atau dalam situasi apapun. Misalnya kepercayaan kepada Allah Swt, Rasul, kitab suci, hari akhirat, dan yang menyangkut pada pokok-pokok akidah dan ibadah lainnya, termasuk juga pada pokok-pokok



keutamaan, seperti menghormati orang tua, jujur, adil dan lain-lain. Demikian pula dengan naṣ yang berisi pokokpokok keburukan atau dosa, seperti syirik, membunuh orang tanpa dasar, durhaka kepada orang tua, dan lain-lain. b. Naṣh yang mencakup hukum-hukum dalam bentuk yang dikuatkan atau ditentukan berlaku selamanya. Seperti tidak diterimanya persaksian penuduh zina (kasus li’an) untuk selamanya (Q.S. anNur : 4). َُ‫ت يَ ْرمونَُ َوالَ ُِذين‬ ُِ ‫صنَا‬ َُ ‫ش َها َدةُ لَه ُْم ت َ ْقبَلوا َو‬ َ ‫" ْالفَاسِقونَُ همُ َوأولَئِكَُ ۗ أَبَدا‬Dan َ ‫ل َج ْل َدةُ ث َ َمانِينَُ فَاجْ لِدوه ُْم ش َه َدا َُء بِأ َ ْربَعَ ُِة يَأْتوا لَ ُْم ث َُم ْالم ْح‬ orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik." c. Naṣh yang menunjukkan kejadian atau berita yang telah terjadi pada masa lampau. Seperti kisah kaum ‘Ad, kaum Ṡamūd, dan lain-lain. Me-naskh-kan yang demikian berarti mendustakan berita tersebut. 6. Syarat naṣ yang dapat di-Naskh. Jika dilihat dari segi syarat-syarat naṣh-naṣh yang dapat di-naskh menurut Abu Zahrah seperti yang dikutip Nasiruddin Baidan, ada beberapa kriteria, yaitu: a. Hukum yang mansūkh (dihapus) tidak menunjukkan berlaku abadi. b. Hukum yang mansūkh bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal sehat tentang baik dan buruknya. c. Ayat nāsikh (yang menghapus) datang setelah yang di-mansukh (dihapus) dan keadaan kedua naṣ tersebut sangat bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. 7. Hikmah adanya Nasikh Mansukh. Diantara hikmah adanya nasikh mansukh adalah: a. Meneguhkan keyakinan bahwa Allah tidak akan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah Swt. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis. Tetapi Allah Swt akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nyalah yang akan terjadi, bukan kehendak kita. Sehingga diharapkan dari keberadaan nāsikh dan mansūkh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah Swt, bahwa Dia-lah yang Maha Menentukan. b. Kita semakin yakin bahwa Allah Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, karena memang pada kenyataannya hukum-hukum naskh dan mansūkh tersebut semuanya untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia. c. Mengetahui proses tasyri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta ‘illatul ḥukmi (alasan ditetapkannya suatu hukum). d. Mengetahui perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat Islam. e. Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak. f. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat



tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.



Nasakh, Nasikh dan Mansukh HSR Monday, June 27, 2016 Artikel, Ulumul Qur'an Pendahuluan



Al-Qur’an sebagai poros utama sumber hukum Islam merupakan kitab suci yang didalamnya termuat dua bentuk tatanan hubungan universal, vertikal (hubungan manusia dengan Allah) dan horizontal (hubungan manusia dengan manusia dan alam semesta). Lebih dari 80 persen kandungan alQur’an secara teoritis membahas tentang permasalahan sosial yang mencakup perdata, mu’amalah, pidana dan berbagai tata aturan hubungan manusia dengan alam sekitar. Selebihnya al-Qur’an membahas yang berkenaan dengan akhirat, yaitu kepatuhan penuh (‘ubudiyah). Setelah al-Qur’an ada al-hadits yang juga memiliki peran signifikan dalam perumusan hukum Islam. Di samping sekaligus sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, al-hadits juga berperan sebagai “penerjemah” bahasa al-Qur’an. Karena al-hadits muncul dari prototype kesempurnaan manusia yaitu Muhammad saw. yang membawa risalah Islam yang mana sabda beliau bukan berasal dari nafsu humani, melainkan wahyu dari Allah swt. Al-Qur’an sebagai dasar utama pijakan hukum Islam, sarat akan wahana keilmuan yang teramat luas, yang hingga sampai saat ini, kajian keilmuan tentang al-Quran masih terus berlanjut. Dan hingga akhir zaman, baik pembahasan maupun kritikan terhadap al-Qur’an tidak akan pernah berhenti. Nasakh, nasikh dan mansukh, termasuk salah satu kajian keilmuan Islam yang sering diperdebatkan tentang keberadaannya dalam al-Qur’an. Dalam tulisan ini, sedikit akan dipaparkan beberapa pembahasan seputar nasakh, nasikh dan mansukh, meliputi; pengertian, syarat dan obyek, pembagian, pro-kontra ulama seputar nasikh-



mansukh, dan hikmah nasikh-mansukh. Dan pada akhir tulisan ini sedikit dipaparkan tentang contoh analisis tentang keberadaan nasikh-mansukh.



Pengertian Nasakh, Nasikh dan Mansukh Nasakh atau naskh dalam teks Arab, secara harfiah berarti penghapusan (ar-raf'u/al-izalah), penyalinan atau penukilan (an-naqlu)1[1], penggantian (al-ibdal/at-tabdil), penghilangan atau dan pembatalan (al-ibthal)2[2], dan pemindahan (at-tahwil)3[3]. Adapun nasakh dalam terminologi, sebagaimana yang diformulasikan oleh Muhammad Abdul Adzim az-Zarqoni dalam bukunya Manahilul Irfan (2003:367) berarti penghapusan hukum syar'i berdasarkan dalil syar'i (raf'ul hukmi asy-syar'iyyi bidalilin syar'iyyin). Sedangkan menurut pandangan Abu Zahrah yang mereferensikan kalangan ushuliyyin, mendefinisikan naskh dengan raf'ul syari'i hukman syar'iyyan bidalilin muta'akhkhirin (penghapusan hukum syar'i oleh Syari' [Allah swt.] dengan dalil [syar'i] yang datang kemudian)4[4]. Dari sini dapat dipahami bahwa nasakh berarti penghapusan/pembatalan hukum syar'i yang lama dengan hukum syar'i yang baru berdasarkan dalil syar'i yang datang kemudian. Dalam proses nasakh yang terjadi jelas akan memunculkan dua aspek, yaitu subyek penghapus (dalil hukum yang menghapus yang kemudian dikenal dengan istilah nasikh), obyek penghapusan (dalil hukum yang dihapus yang kemudian dikenal dengan mansukh).



Dan dari pengertian nasakh di atas dapat dipahami juga bahwa dalil nasikh datang lebih akhir dibandingkan dengan dalil mansukh, dan hukum yang terdapat dalam dalil nasikh dan dalil mansukh terdapat kontradiksi hukum yang keduanya tidak mungkin untuk digunakan secara bersamaan5[5].



Syarat dan Obyek Nasakh Az-Zarqoni menyebutkan bahwa ada empat syarat dalam nasakh: 1. Hukum yang di-nasakh adalah hukum syar'i. 2. Dalil hukum syar'i yang me-nasakh juga berupa hukum syar’i. 3. Dalil hukum syar’i yang me-nasakh datang lebih akhir daripada dalil hukum syar'i yang di-nasakh, serta tidak di-ta’qit (dibatasi waktu/temporal). 4. Antara dalil nasikh dan dalil mansukh terdapat kontradiksi hukum.6[6] Manna' al-Qoththon juga memaparkan bahwa obyek atau sasaran nasakh adalah ayat yang berisikan amar (perintah) dan nahi (larangan) baik bersifat shorih (transparan) maupun ayat yang berupa kalimat berita (khobar) yang menyimpan makna amar dan nahi7[7].



Pembagian Nasakh Jika ditinjau dari terjadinya nasakh antara al-Qur'an dan sunnah, maka nasakh terbagi menjadi:



1. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Nasakh jenis ini oleh beberapa ulama disepakati keberadaannya dalam al-Qur'an. Seperti dinasakhnya ayat 'iddah yang semula satu tahun (haul) (QS. al-Baqoroh:240) menjadi empat bulan sepuluh hari (QS. al-Baqoroh:234). 2. Nasakh al-Qur’an dengan hadits, yang kemudian terbagi menjadi 2 bentuk: a. b.



Nasakh al-Qur’an dengan sunnah ahad, yang oleh jumhur ulama’ ditolak keabsahannya. Nasakh al-Qur’an dengan sunnah yang mutawatiroh. Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad memperbolehkan nasakh jenis ini dengan argumen bahwa sunnah juga merupakan wahyu. Sedangkan Imam Syafi’i, dan kalangan Dhohiriyah, bahkan menurut suatu riwayat Imam Ahmad juga menentang keberadaan nasakh jenis ini, mereka berargumen bahwa kedudukan sunnah tidaklah lebih baik daripada al-Qur’an.



3. Nasakh sunnah dengan al-Qur’an. Seperti arah kiblat (yang telah ditetapkan oleh hadits) yang semula ke Baitul Maqdis, kemudian di-nasakh dengan QS. al-Baqoroh ayat 144. 4. Nasakh sunnah dengan sunnah, yang kemudian terbagi menjadi 4 macam, yaitu; 1) nasakh mutawatir dengan mutawatir, 2) nasakh ahad dengan ahad, 3) nasakh ahad dengan mutawatir, dan 4) nasakh mutawatir dengan ahad (akan tetapi Jumhur ulama tidak memperbolehkannya).8[8] Jika ditinjau dari segi terjadinya nasakh dalam al-Qur'an sendiri, maka nasakh terbagi menjadi: 1. Nasakh bacaan dan hukumnya, sebagaimana hadits Aisyah ra. tentang ayat al-Qur’an yang menjelaskan jumlah susuan (rodho’) yang semula 10 susuan kemudian dinasakh menjadi 5 susuan.



‫ فتوفي رسول هللا‬،‫ فنسخن بخمس معلومات‬،‫كان فيما أنزل عشر رضعات معلومة‬ .‫ رواه الشيخان‬،‫ وهن مما يقرأ من القرآن‬،‫صلى هللا عليه وسلم‬ 2. Nasakh hukum dan menetapkan bacaannya. Seperti dinasakhnya hukum ayat ‘iddah selama satu tahun (haul), dan menetapkan bacaannya. Bentuk nasakh ini dalam al-Qur’an sangat sedikit. Diantaranya tentang dinasakhnya arah kiblat yang semula Masjidil Aqsho ke arah Masjidil Haram. QS. al-Baqoroh ayat 115:



‫للاَ َوا ّس ٌع َع ّلي ٌم‬ ‫للاّ إّن ه‬ ‫ب فَأ َ ْينَ َما ت ُ َولُّواْ فَثَم َو ْجهُ ه‬ ُ ‫َو ّ هلِلّ ْال َم ْش ّر ُق َو ْال َم ْغ ّر‬ QS. al-Baqoroh ayat 144:



ْ ‫ضاهَا َف َو ّهل َو ْج َه َك ش‬ ‫َط َر ْال َم ْس ّج ّد‬ َ ‫ب َو ْج ّه َك فّي الس َماء فَلَنُ َو ّلهيَن َك قّ ْبلَة ت َ ْر‬ َ ُّ‫قَ ْد ن ََرى تَقَل‬ ْ ‫ْث َما ُكنت ُ ْم فَ َولُّواْ ُو ُج ّو َه ُك ْم ش‬ ُ ‫ْال َح َر ّام َو َحي‬ ‫اب لَيَ ْعلَ ُمونَ أَنهُ ْال َح ُّق‬ َ َ ‫َط َرهُ َو ّإن الذّينَ أ ُ ْوتُواْ ْال ّكت‬ ‫ّمن ر ّبه ّه ْم َو َما ه‬ َ‫للاُ ّبغَافّ ٍل َعما َي ْع َملُون‬ 3. Nasakh bacaan dan menetapkan hukumnya. Bentuk nasakh ini cukup banyak. Diantaranya:



‫الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة نكاال من هللا وهللا عزيز حكيم‬



9[9]



Sedangkan pembagian nasikh-mansukh jika ditinjau dari ada tidaknya nasakh dalam surat-surat alQur’an terbagi menjadi: 1. Surat yang tidak terdapat nasikh-mansukh didalamnya. Yang berjumlah 43 surat, yaitu surat al-Fatihah, Yusuf, Yasin, al-Hujurot, ar-Rohman, al-Hadid, ash-Shof, al-Jum’ah, at-Tahrim, al-Mulk, al-Haaqqoh, Nuh, al-Jin, al-Mursilat, ‘Amma, an-Nazi’at, al-Infithor dan tiga surat sesudahnya, al-Fajr dan seterusnya sampai akhir al-Qur’an kecuali surat al-‘Ashr dan al-Kafirun. 2. Surat yang terdapat nasikh-mansukh didalamnya. Yang berjumlah 25 surat, yaitu surat al-Baqoroh dan tiga surat sesudahnya, al-Hajj, an-Nur dan surat sesudahnya, al-Ahzab, Saba’, al-Mukmin, asy-Syuro, adzDzariyat, ath-Thur, al-Waqi’ah, al-Mujadalah, al-Muzammil, al-Muddatsir, surat Kuwwirot, dan al-‘Ashr. 3. Surat yang didalamnya hanya terdapat dalil nasikh saja. Yang berjumlah 6 surat, yaitu surat al-Fath, alHasyr, al-Munafiqun, at-Taghabun, ath-Tholaq, al-A’la. 4. Surat yang didalamnya hanya terdapat dalil mansukh saja. Yang berjumlah 40 surat selain surat-surat yang telah disebutkan di atas.10[10]



Pro Kontra Ulama Seputar Nasakh Dalam masalah nasakh para ulama berbeda pendapat apakah nasakh itu ada atau tidak. Jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh menurut logika boleh saja dan secara syara’ telah terjadi. Alasan Jumhur ulama adalah: 1. Surat al-Baqoroh ayat 106:



‫ّير‬ َ ‫ى ُك ّهل‬ ‫ت ّب َخي ٍْر ّ هم ْن َها أ َ ْو ّمثْ ّل َها أَلَ ْم ت َ ْعلَ ْم أَن ه‬ ّ ْ ‫س ْخ ّم ْن آيَ ٍة أ َ ْو نُن ّس َها نَأ‬ ٌ ‫ش ْيءٍ قَد‬ َ َ‫للا‬ َ ‫َما نَن‬ َ َ‫عل‬ “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” 2. Surat ar-Ra’du ayat 39:



‫ب‬ ‫يَ ْم ُحو ه‬ ّ ‫للاُ َما يَشَا ُء َويُثْبّتُ َو ّعندَهُ أ ُ ُّم ْال ّكتَا‬ “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisiNya-lah terdapat Umul Kitab (Lohmahfudz)” 3. Surat an-Nahl ayat 101:



‫َوإّذَا بَد ْلنَا آيَة م َكانَ آيَ ٍة َو ه‬ َ‫نت ُم ْفت َ ٍر بَ ْل أ َ ْكث َ ُر ُه ْم الَ يَ ْعلَ ُمون‬ َ َ ‫للاُ أ َ ْعلَ ُم بّ َما يُن ّ هَز ُل قَالُواْ إّن َما أ‬ “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja’. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui”. Jumhur ulama juga beralasan dengan kesepakatan para ulama dalam menyatakan bahwa syari’at sebelum Islam telah dinasakhkan oleh syara’ Islam. Demikian juga telah terjadi nasakh dalam beberapa hukum Islam, seperti: pemalingan Kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram (al-Baqoroh:144). Akan tetapi, Abu Muslim al-Isfahani (259-322 H./Mufassir), berpendapat bahwa nasakh tidak berlaku dalam syari’at Islam dan tidak ada bukti yang menunjukkan adanya nasakh itu. Menurutnya apabila hukum-hukum syara’ boleh dinasakhkan, maka ini berarti terdapat perbedaan kemaslahatan sesuai dengan pergantian zaman. Hal ini akan membawa akibat bolehnya seseorang mengubah keimanannya, karena tuntutan zaman. Hal ini menurutnya sama sekali tidak mungkin dan tidak diterima akal. Kemudian



apabila nasakh diterima, maka hal ini menunjukkan ketidaktahuan Allah terhadap kemaslahatan umat di suatu zaman, sehingga Ia harus mengganti sesuatu hukum dengan hukum yang lain. Perbuatan itu mustahil bagi Allah dan sia-sia. Firman Allah swt. dalam surat Fushshilat ayat 42:



‫نزي ٌل ّ هم ْن َح ّك ٍيم َح ّمي ٍد‬ ّ َ‫َال يَأْتّي ّه ْالب‬ ّ َ ‫اط ُل ّمن بَي ّْن يَدَ ْي ّه َو َال ّم ْن خ َْل ّف ّه ت‬ “Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”. Ayat ini menurutnya menegaskan bahwa al-Qur’an tidak disentuh oleh pembatalan. Dengan demikian, jika nasakh diartikan sebagai pembatalan, maka tidak akan terdapat dalam al-Qur’an. Muhammad Abduh (1265-1323 H./1849-1905) sebagai mufassir dan tokoh pembaharu dari Mesir, setelah menganalisis ayat-ayat yang mengandung nasakh yang dikemukakan jumhur ulama di atas, berpendapat bahwa nasakh lebih tepat diartikan sebagai penggantian, pengalihan (pemindahan) ayat hukum di tempat ayat hukum lainnya. Oleh sebab itu, nasakh berarti penggantian atau pemindahan satu wadah ke wadah yang lain. Dengan demikian, menurut M. Quraish Shihab, mufassir Indonesia, pengertian ini akan membawa kepada kesimpulan bahwa semua ayat-ayat al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada yang kontradiktif, hanya saja terjadi pergantian hukum bagi masyarakat (orang tertentu), karena adanya kondisi yang berbeda. Namun ayat hukum yang tidak berlaku lagi bagi masyarakat (orang lain) yang kondisinya sama dengan kondisi ketika hukum ayat-ayat yang diganti itu berlaku.11[11]



Nasakh Antar Agama (al-Bada’) Pengertian harfiah dari kata nasakh di atas pada satu sisi tampak mengisyaratkan ruang lingkup obyek (kajian) nasikh-mansukh yang cukup luas di satu pihak, dan sejarah panjang nasikh-mansukh di pihak lain. Memiliki ruang lingkup yang luas, ketika nasikh-mansukh tidak semata-mata dipahami dalam konteks internal ajaran Islam, akan tetapi juga merambah pada pendekatan eksternal antar agama; atau



tepatnya antara syari'at nabi/rasul Allah yang satu dengan yang lain. Sedangkan memiliki sejarah panjang, artinya karena persoalan nasikh-mansukh tidak sebatas dengan sejarah penurunan al-Qur'an, akan tetapi jauh melampaui masa-masa sebelum itu yakni dalam hubungan penurunan kitab suci alQur'an di satu pihak serta penurunan kitab Taurat (Perjanjian Lama) dan Injil (Perjanjian Baru) di pihak lain. Nasikh-mansukh dalam konteks eksternal agama —yang lazim dengan sebutan al-bada'—memang diperselisihkan oleh para pemeluk agama itu sendiri tentang kemungkinannya. Bagi kalangan Islam, nasikh-mansukh eksternal agama sangat dimungkinkan keberadaannya baik secara nalar (al-dalil annaqly) maupun berdasarkan pendengaran/periwayatan (al-dalil al-'aqly). Sedangkan kelompok Nasrani, secara mutlak menafikan kemungkinan al-bada' antar agama itu, baik menurut logika akal maupun periwayatan (teks kitab suci) yang mereka yakini. Adapun menurut paham orang-orang Yahudi, konsep al-bada' harus ditentang berdasarkan teks (kitab) suci, meskipun kemungkinannya secara nalar sangat bisa dibenarkan12[12]. Penolakan Yahudi dan Nasrani terhadap kemungkinan al-bada' dan penerimaan kaum muslimin terhadap kebenaran nasakh antar agama, pada dasarnya timbul karena perbedaan paham ketiga agama ini terhadap konsep kenabian dan sekaligus kitab sucinya. Berlainan dengan kaum muslimin (pengikut Muhammad sallallahu ‘alaihi wa-sallam) yang sudah pasti mengakui kenabian Musa dan Isa ‘alaihissalam berikut kitab suci masing-masing yang disampaikannya, yakni Taurat dan Injil, orang-orang Yahudi menolak kenabian Isa dan kenabian Muhammad sekaligus. Sama halnya dengan orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani juga menolak kenabian Muhammad saw. berikut kitab sucinya (al-Qur'an), meskipun pada saat yang bersamaan, mereka mengimani kenabian Musa dan terutama pengakuannya kepada Isa yang tidak sebatas nabi akan tetapi lebih dari itu mereka menaikkan kedudukannya sebagai "tuhan". Sebutan Tuhan Yesus dan Tuhan Anak yang mereka sematkan kepada nabi Isa, bagaimanapun menjadi petunjuk kuat tentang penuhanan Isa bin Maryam oleh pemeluk-pemeluk Nasrani. Bila orang-orang Yahudi dahulu menerima keberadaan al-bada’, maka dengan sendirinya mengakui nabi Isa dengan Injilnya, dan pada gilirannya juga automatically menerima kehadiran Muhammad sallahu ‘alaihi wa-sallam dengan al-Qur’annya. Konsekuensinya, mereka harus melepas kitab Tauratnya.



Demikian pula dengan orang-orang Nasrani dahulu, jika sekiranya mereka menerima al-bada’ atau tepatnya nasakh eksternal agama, maka dengan sendirinya akan menanggalkan kitab Injil dan mengimani kenabian Muhammad sallahu ‘alaihi wa-sallam berikut kitab suci al-Qur’annya. Sebaliknya, karena kaum muslimin mengimani Muhammad sallahu ‘alaihi wa-sallam sebagai nabi, maka otomatis mereka menerima konsep nasakh antar agama itu sebagaimana yang kita saksikan sekarang13[13].



Hikmah Nasakh Di antara hikmah-hikmah nasakh, sebagaimana dipaparkan Manna’ al-Qoththon adalah sebagai berikut: 1. Menjaga kemaslahatan umat manusia. 2.



Perkembangan syari’at bisa mencapai derajat kesempurnaan, serta sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi masyarakat.



3. Sebagai suatu bentuk ujian bagi orang mukallaf. 4. Sebagai suatu bentuk kebaikan dan kemudahan bagi umat manusia, karena ketika suatu hukum yang dinasakh menjadi lebih berat, maka pahala dari hukum tersebut akan bertambah. Sebaliknya, ketika suatu hukum yang di-nasakh menjadi lebih ringan, maka hal ini merupakan suatu bentuk kemurahan bagi manusia14[14]. Muhammad Alwi memaparkan bahwa hikmah nasakh hukum dan menetapkan bacaannya adalah sebagai berikut: 1. Agar hukum yang telah di-nasakh dapat diketahui, dan pahala dari membaca ayat tersebut masih tetap berlaku.



2. Agar nikmat atas di-nasakh-nya suatu hukum masih bisa diingat, karena nasakh pada dasarnya bertujuan untuk meringankan hukum (lit-takhfif)15[15].



Analisa Atas Dalil-dalil Nasikh Mansukh Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa terjadi nasakh di dalam al-Qur’an sendiri. Namun tidak semua ulama menyepakatinya, karena tidak mungkin al-Qur’an mengalami penghapusan atau pembatalan. Firman Allah swt. QS. al-Baqoroh ayat 240:



َ ‫اج ّهم متَاعا إّلَى ْال َح ْو ّل‬ ّ ‫َوالذّينَ يُت َ َوف ْونَ ّمن ُك ْم َويَذَ ُرونَ أ َ ْز َواجا َو‬ ّ ‫صية ّهل َ ْز َو‬ ٍ‫غي َْر إّ ْخ َراج‬ ٌ ‫للاُ َع ّز‬ ‫يز َح ّكي ٌم‬ ‫ي أَنفُ ّس ّهن ّمن م ْع ُروفٍ َو ه‬ َ ّ‫فَإ ّ ْن خ ََر ْجنَ فَالَ ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فّي َما فَ َع ْلنَ ف‬ “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Menurut beberapa riwayat hadits ayat ini dinasakh dengan QS. al-Baqoroh ayat 234:



َ‫صنَ بّأَنفُ ّس ّهن أ َ ْربَعَةَ أ َ ْش ُه ٍر َو َع ْشرا فَإّذَا بَلَ ْغن‬ ْ ‫َوالذّينَ يُت َ َوف ْونَ ّمن ُك ْم َويَذَ ُرونَ أ َ ْز َواجا يَت َ َرب‬ ‫ير‬ ‫وف َو ه‬ ّ ‫أ َ َجلَ ُهن فَالَ ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فّي َما فَ َع ْلنَ فّي أَنفُ ّس ّهن ّب ْال َم ْع ُر‬ ٌ ‫للاُ ّب َما ت َ ْع َملُونَ َخ ّب‬ “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Dan Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. Dari kedua ayat ini didapatkan beberapa persoalan, yaitu: 1. Mengenai wasiat



Dalam Islam ketika seorang akan meninggal dunia boleh berwasiat untuk orang yang ditinggalkan, dengan batasan tidak lebih dari 1/3 harta tirkah (tinggalan mayit). Akan tetapi, hukum ini dihapus dengan ayat waris. 2. Mengenai warisan Ketika seorang istri ditinggal mati suaminya dan tidak meninggalkan wasiat, maka dia mendapat bagian warisan sebagai berikut: -



Jika tidak memiliki anak, maka bagian istri adalah 1/4 dari harta tirkah.



-



Jika memiliki anak, maka bagian istri adalah 1/8 dari harta tirkah. Hal ini merujuk pada Q.s. an-Nisa‘ ayat 12:



‫الربُ ُع ّمما‬ ْ ّ‫َولَ ُك ْم ن‬ ُّ ‫ف َما ت َ َر َك أ َ ْز َوا ُج ُك ْم ّإن ل ْم يَ ُكن ل ُهن َولَدٌ َفإّن َكانَ لَ ُهن َولَدٌ َفلَ ُك ُم‬ ُ ‫ص‬ ‫الربُ ُع ّمما ت َ َر ْكت ُ ْم ّإن ل ْم َي ُكن ل ُك ْم َولَدٌ فَإّن‬ ُّ ‫وصينَ ّب َها أ َ ْو دَي ٍْن َولَ ُهن‬ ّ ُ‫صي ٍة ي‬ ّ ‫ت َ َر ْكنَ ّمن َب ْع ّد َو‬ ‫صونَ ّب َها أ َ ْو دَي ٍْن َو ّإن َكانَ َر ُج ٌل‬ ُ ‫صي ٍة تُو‬ ّ ‫َكانَ لَ ُك ْم َولَدٌ فَلَ ُهن الث ُّ ُم ُن ّمما ت َ َر ْكتُم ّ همن َب ْع ّد َو‬ ُ ‫ور‬ ٌ ‫ث َكالَلَة أَو ْام َرأَة ٌ َولَهُ أ َ ٌخ أ َ ْو أ ُ ْخ‬ ‫ُس فَإّن َكانُ َواْ أ َ ْكث َ َر ّمن‬ ُّ ‫اح ٍد ّ هم ْن ُه َما ال‬ ّ ‫ت فَ ّل ُك ّهل َو‬ ُ ‫سد‬ َ ُ‫ي‬ ُ ‫ذَ ّل َك فَ ُه ْم‬ ‫صية ّ همنَ ه‬ ّ ُ‫ش َر َكاء فّي الثُّل‬ ‫ض ٍه‬ ّ‫للا‬ َ ‫صى بّ َها أ َ ْو دَي ٍْن َغي َْر ُم‬ ّ ‫آر َو‬ ّ ‫ث ّمن بَ ْع ّد َو‬ َ ‫صي ٍة يُو‬ ‫للاُ َع ّلي ٌم َح ّلي ٌم‬ ‫َو ه‬ “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.



3. Mengenai ‘iddah istri yang ditinggal mati suaminya. -



Jika istri ditinggal mati dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan (bisa mencapai 1 tahun sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Baqoroh ayat 240)



-



Jika istri ditinggal mati tidak dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya adalah selama 4 bulan 10 hari (sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Baqoroh ayat 234) Sedangkan mengenai kewajiban istri yang ditinggal mati suaminya untuk berada di dalam rumah, terdapat khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama.16[16] Demikian halnya dengan arah kiblat yang semula menghadap Baitul Maqdis (Palestina) kemudian dipindah ke Masjidil Haram (Mekah), dengan bukti ayat sebagai berikut: QS. al-Baqoroh ayat 115 (dalil mansukh):



‫للاَ َوا ّس ٌع َع ّلي ٌم‬ ‫للاّ ّإن ه‬ ‫ب فَأ َ ْينَ َما ت ُ َولُّواْ فَثَم َو ْجهُ ه‬ ُ ‫َو ّ هلِلّ ْال َم ْش ّر ُق َو ْال َم ْغ ّر‬ “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”. QS. al-Baqoroh ayat 144 (dalil nasikh):



ْ ‫ضاهَا فَ َو ّهل َو ْج َه َك ش‬ ‫َط َر ْال َم ْس ّج ّد‬ َ ‫ب َو ْج ّه َك فّي الس َماء فَلَنُ َو ّلهيَن َك قّ ْبلَة ت َ ْر‬ َ ُّ‫قَ ْد ن ََرى تَقَل‬ ْ ‫ْث َما ُكنت ُ ْم فَ َولُّواْ ُو ُج ّو َه ُك ْم ش‬ ُ ‫ْال َح َر ّام َو َحي‬ ‫اب لَيَ ْعلَ ُمونَ أَنهُ ْال َح ُّق‬ َ َ ‫َط َرهُ َو ّإن الذّينَ أ ُ ْوتُواْ ْال ّكت‬ ‫ّمن ر ّبه ّه ْم َو َما ه‬ َ‫للاُ ّبغَافّ ٍل َعما يَ ْع َملُون‬ “Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”.



Hukum ayat yang pertama (al-Baqoroh ayat 115) tidak dihapus dengan ayat yang kedua (al-Baqoroh ayat 114), akan tetapi dialihkan atau dipindah hukumnya pada ayat yang kedua. Yaitu yang semula arah kiblat itu Baitul Maqdis di Palestina, kemudian dipindah ke arah Masjidil Haram di Mekah. Dari analisa singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak semua ayat al-Qur’an yang tampak kontradiktif tidak dapat disinkronkan (QS. al-Baqoroh ayat 240 dan 234). Sebaliknya, tidak semua ayat yang tampak kontradiktif dapat disinkronkan (QS. al-Baqoroh ayat 115 dan 144). Sehingga juga dapat disimpulkan bahwa pengertian nasakh yang lebih tepat adalah adalah pemindahan atau pengalihan, bukan pembatalan atau penghapusan sebagaimana dipaparkan oleh beberapa ulama.



Kesimpulan 1.



Nasakh adalah pemindahan/pengalihan hukum syar'i yang lama dengan hukum syar'i yang baru berdasarkan dalil syar'i yang datang kemudian.



2. Syarat nasakh, yaitu; 1) dalil nasikh syar'i, 2) dalil mansukh syar'i, 3) dalil nasikh datang setelah dalil mansukh, 4) adanya kontradiksi antara dalil nasikh dan dalil mansukh. 3. Obyek atau sasaran nasakh adalah ayat yang berisikan amar (perintah) dan nahi (larangan) baik bersifat shorih (transparan) maupun ayat yang berupa kalimat berita (khobar) yang menyimpan makna amar dan nahi. 4. Jika ditinjau dari terjadinya nasakh antara al-Qur'an dan sunnah, maka nasakh terbagi menjadi: 1. Nasakh al-Qur'an dengan al-Qur'an 2. Nasakh al-Qur'an dengan sunnah, yang kemudian terbagi menjadi 2 bentuk, yaitu; a) Nasakh alQur'an dengn sunnah ahad, b) Nasakh al-Qur'an dengan sunnah yang mutawatiroh 3. Nasakh sunnah dengan al-Qur'an 4. Nasakh sunnah dengan sunnah, yang kemudian terbagi menjadi 4 macam, yaitu; 1) nasakh mutawatiroh dengan mutawatiroh, 2) nasakh ahad dengan ahad, 3) nasakh ahad dengan mutawatiroh, dan 4) nasakh mutawatiroh dengan ahad. 5. Jika ditinjau dari segi terjadinya nasakh dalam al-Qur'an sendiri, maka nasakh terbagi menjadi; 1) nasakh bacaan dan hukumnya, 2) nasakh hukum dan menetapkan bacaannya, dan 3) nasakh bacaan dan menetapkan hukumnya.



6. Nasikh-mansukh jika ditinjau dari ada tidaknya nasakh dalam surat-surat al-Qur'an terbagi menjadi; 1) surat yang tidak terdapat nasikh-mansukh didalamnya, 2) surat yang terdapat nasikh-mansukh didalamnya, 3) surat yang didalamnya hanya terdapat dalil nasikh saja, 4) surat yang didalamnya hanya terdapat dalil mansukh saja. 7. Terjadi perbedaan pendapat tentang keberadaan nasikh-mansukh dalam al-Qur'an, baik secara teoritis maupun aplikatif. Demikian halnya dengan konsep nasikh-mansukh antar agama yang lazim disebut dengan al-Bada'. 8. Hikmah-hikmah nasakh, antara lain: 1. Menjaga kemaslahatan umat manusia. 2. Perkembangan syari'at bisa mencapai derajat kesempurnaan, serta sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi masyarakat. 3. Sebagai suatu bentuk ujian bagi orang mukallaf. 4. Sebagai suatu bentuk kebaikan dan kemudahan bagi umat manusia.



https://almanhaj.or.id/3087-nasikh-dan-mansukh.html, Nasikh Dan Mansukh NASIKH DAN MANSUKH Oleh Ustadz Muslim Al-Atsari Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan; menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam: Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda. Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan : “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya”. [1] Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan: “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya”. [2]



Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah”. [3] Kedua : Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin. Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan diri”. [4] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) naasikh dan mansukh terkadang adalah: menghapuskan hukum sekaligus, dan ini merupakan istilah muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus penunjukkan dalil ‘am, [5] mutlaq, [6] zhahir, [7] dan lainnya, kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyiid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbiih (mengingatkan). Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna’ (pengecualian), syarath, dan sifat dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhahir dan menjelaskan yang dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah: menjelaskan yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang di luarnya. Barangsiapa memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu apa-apa yang tidak dapat dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena membawa perkataan mereka pada istilah baru yang akhir”. [8] Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakekatnya naasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla. Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan. PENUNJUKKAN ADANYA NASKH DALAM SYARI’AT Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’. Dalil Naql Firman Allah Azza wa Jalla. ‫س ْخ ِم ْن َءايَة‬ َ ‫َما نَن‬ Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)… [Al Baqarah:106] Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran Salafush Sholih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat



Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir [Lihat Taffsir Ibnu Katsir, surat Al-Baqarah: 106] Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mu’jizat”, sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A.Hassan rahimahullah, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas. Wallohu a’lam. Firman Allah Azza wa Jalla. ‫َوإِذَا بَد َّْلنَآ َءايَةً َّم َكانَ َءايَة‬ Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain. [An Nahl:101] Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Alloh jadikan pengganti adalah naasikh, ayat yangdigantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Alloh. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih. Dalil Akal. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) miliknya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Maalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hambanya apa yang dituntut oleh hikmahNya dan rahmatNya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki? Kemudian bahwa kandungan hikmah Allah dan rahmatNya terhadap hamba-hambaNya adalah Dia mensyari’atkan untuk mereka apa-apa yang Allah mengetahui bahwa padanya terdapat mashlahat-mashlahat agama dan dunia mereka. Sedangkan mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan zaman. Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba pada satu waktu atau satu keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan yang lain lebih mashlahat. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. [Ushul Fiqih, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin] Dalil Ijma’. Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan AsSunnah. Al-Baji rahimahullah berkata: “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara’”. [9] Al-Kamal Ibnul Humam rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at)”. [10]



Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa tiga bentuk ini (yaitu naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Mutawatir; dan naskh Sunnah Ahad dengan Ahad) tidak ada perselisihan padanya di antara ulama yang dipercaya, sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya ijma’ padanya. Maka penyelisihan orang yang menyelisihi dalam hal ini tidak dihitung dan tidak ada dalil untuknya”. [hal: 148] Dr. Ali berkata: “Mereka (para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dan seluruh Salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus seluruh syari’at yang telah lalu. Sebagaimana mereka juga telah ijma’ bahwa naskh telah terjadi pada banyak hukum-hukum syari’at Islam. Dan terjadinya hal itu cukup sebagai dalil untuk menetapkan bolehnya/mungkinnya (naskh menurut akal-red)”. [Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 425, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi] Syaikh Tsanaulloh Az-Zahidi berkata: “Ahli fiqih dan ushul telah sepakat atas kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas terjadinya menurut syara’. Kecuali apa yang dinukilkan dari Abu Muslim Muhammad bin Bahr Al-Ashfahani seorang Mu’tazilah yang mati tahun 322 H”. [11] MACAM-MACAM NASKH Pertama : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian: [12] 1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap. Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap. Hikmah naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan. Contohnya firman Allah Azza wa Jalla. َ‫صا ِب ُرونَ َي ْغ ِلبُوا ِمائَتَي ِْن َو ِإن َّي ُكن ِم ْن ُك ْم ِمائَةٌ َي ْغ ِلبُوا أَ ْلفًا ِمن‬ ِ ‫ي َح ِر‬ َ َ‫ض ْال ُمؤْ ِمنِينَ َعلَى ْال ِقت َا ِل ِإن َي ُكن ِمن ُك ْم ِع ْش ُرون‬ ُّ ‫َيآأ َ ُّي َها النَّ ِب‬ َ َّ َ‫الذِينَ َكفَ ُروا بِأنَّ ُه ْم قَ ْو ٌم الَ يَ ْفقَ ُهون‬ Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Al Anfal :65] Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orangorang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang kafir. Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya. ُ‫ف يَ ْغ ِلبُوا أَ ْلفَي ِْن بِإِذْ ِن هللاِ َوهللا‬ ٌ ‫صابِ َرة ٌ يَ ْغ ِلبُوا ِمائَتَي ِْن َوإِن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم أَ ْل‬ َ ‫ف هللاُ َعن ُك ْم َو َع ِل َم أ َ َّن فِي ُك ْم‬ َ ٌ‫ض ْعفًا فَإِن يَ ُكن ِمن ُكم ِمائ َة‬ َ َّ‫ْالئَانَ َخف‬ َ‫صابِ ِرين‬ َّ ‫َم َع ال‬



Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. [Al Anfal :66] Abdullah bin Abbas berkata: ْ ‫لَ َّما نَزَ َل‬ ‫احدٌ ِم ْن‬ ِ ‫ض َعلَ ْي ِه ْم أ َ ْن َال َي ِف َّر َو‬ َ ‫صا ِب ُرونَ َي ْغ ِلبُوا ِمائَتَي ِْن ( ش ََّق ذَلِكَ َع َلى ْال ُم ْس ِل ِمينَ ِحينَ فُ ِر‬ َ َ‫ت ) ِإ ْن َي ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِع ْش ُرون‬ ٌ َ ْ َّ ‫ف‬ ‫صابِ َرة ٌ يَ ْغ ِلبُوا ِمائَتَي ِْن ( قَا َل فَلَ َّما‬ ُ ‫َّللاُ َع ْن ُك ْم َو َع ِل َم أ َّن فِي ُك ْم‬ ُ ‫َعش ََرة فَ َجا َء الت َّ ْخ ِف‬ َ ‫ض ْعفًا فَإ ِ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِمائ َة‬ َ َّ‫يف فَقَا َل ) اْلنَ َخف‬ ْ َّ ْ ُ َ َ َّ َّ َ ‫ف َع ْن ُه ْم‬ ‫ف‬ ‫خ‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ْر‬ ‫د‬ ‫ق‬ ‫ب‬ ‫ْر‬ ‫ب‬ ‫ص‬ ‫ال‬ ‫م‬ ‫ص‬ ‫ق‬ ‫ن‬ َ ‫ة‬ ‫د‬ ‫ع‬ ‫ال‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫َّللا‬ ‫ف‬ ‫ف‬ ‫خ‬ َ‫ن‬ َ‫ن‬ ِ ِ ِ ِ ُ ِ َ ُْ َ َ َ َ ِ ِ ِ َّ Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh” (Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (Al-Anfal: 66) Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi-red), kesabaranpun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka”. [HR. Bukhari, no: 4653] Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’, ‘Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya. [13] Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran mereka. 2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap. Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Mu’tazilah. [14] Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam. [15] Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajm di dalam Taurat”. [16] Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajm [17] Umar bin Al-Khathab berkata:



ُ َ‫لَقَدْ َخ ِشيتُ أ َ ْن ي‬ ٌ ‫اس زَ َم‬ َّ ‫ضة أ َ ْنزَ لَ َها‬ َّ ‫ب‬ ‫الرجْ َم‬ َّ ‫َّللاُ أَ َال َو ِإ َّن‬ َّ ُ ‫ان َحتَّى يَقُو َل قَائِ ٌل َال ن َِجد‬ ِ َّ‫طو َل ِبالن‬ َ ‫ضلُّوا ِبت َْر ِك فَ ِري‬ ِ ‫الرجْ َم فِي ِكت َا‬ ِ َ‫َّللاِ فَي‬ ْ ْ ْ َ َ َ ُ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ َّ ‫سو ُل‬ ِ ‫صنَ إِذا قا َم‬ ُ ‫سفيَانُ َكذا َح ِفظتُ أال َوقدْ َر َج َم َر‬ ُ ‫اف قا َل‬ ُ ‫ت البَيِنَة أ ْو َكانَ ال َحبَ ُل أ ِو ِاال ْعتِ َر‬ ِ‫َّللا‬ َ ‫َح ٌّق َعلَى َم ْن زَ نَى َوقدْ أ ْح‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ‫سلَّ َم َو َر َج ْمنَا بَ ْعدَه‬ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajm adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan”. Sufyan berkata: “Demikianalh yang aku ingat”. “Ingatlah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan rajm, dan kita telah melakukan rajm setelah beliau”. [HR. Bukhari, no: 6829; Muslim, no: 1691; dan lainnya] Adapun lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi: َّ ‫ش ْي ُخ َوال‬ َّ ‫ال‬ ‫ار ُج ُمو ُه َما ْالبَتَّةَ نَكَاالً ِمنَ هللاِ َو هللاُ َع ِزي ٌْز َح ِك ْي ٌم‬ ْ َ‫ش ْي َخةُ إِذَا زَ نَيَا ف‬ Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. [Lihat Fathul Bari, 12/169, Darul Hadits, Kairo, cet: 1, th: 1419 H / 1998 M, syarh hadits no: 6829] 3. Nash Yang Mansukh Hukumnya Dan Lafazhnya. Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata: ْ ‫ض َعات َم ْعلُو َمات يُ َح ِر ْمنَ ث ُ َّم نُس‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو ُل‬ ‫سلَّ َم‬ ُ ‫ي َر‬ َ ‫آن َع ْش ُر َر‬ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬ ِ ‫َكانَ فِي َما أ ُ ْن ِز َل ِمنَ ْالقُ ْر‬ َ ِ‫ِخنَ ِب َخ ْمس َم ْعلُو َمات فَت ُ ُوف‬ ُ ْ ْ ُ ‫آن‬ ِ ‫َوه َُّن فِي َما يُق َرأ ِمنَ الق ْر‬ Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452] Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah: • Yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak. • Atau : Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya. [18] Kedua : Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus) –secara ringkas- ada empat bagian: 1. Al-Qur’an Dimansukh Dengan Al-Qur’an. Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. [19] Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal, sebagaimana telah kami sampaikan di atas. Contoh lain: firman Allah Azza wa Jalla.



ْ َ‫صدَقَةً ذَلِكَ َخي ُْرُُ لَّ ُك ْم َوأ‬ ُُ‫ور‬ ُ ‫الر‬ َّ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ِإذَا نَا َج ْيت ُ ُم‬ ُ ُ‫ط َه ُر فَإِن لَّ ْم ت َِجد ُوا فَإِ َّن هللاَ َغف‬ َ ‫ي نَجْ َوا ُك ْم‬ ْ َ‫سو َل فَقَ ِد ُموا بَيْنَ يَد‬ ‫َّر ِحي ٌم‬ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Mujadilah :12] Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla firmanNya: َّ ‫صالَة َ َو َءاتُوا‬ ُ‫سولَه‬ ُ ‫الزكَاة َ َوأ َ ِطيعُوا هللاَ َو َر‬ َّ ‫َاب هللاُ َعلَ ْي ُك ْم فَأَقِي ُموا ال‬ َ ‫صدَقَات فَإِذْ لَ ْم ت َ ْفعَلُوا َوت‬ َ ‫ي نَجْ َوا ُك ْم‬ ْ َ‫َءأ َ ْشفَ ْقت ُ ْم أَن تُقَ ِد ُموا َبيْنَ يَد‬ َ‫ير ِب َما تَ ْع َملُون‬ ٌ ‫َوهللاُ َخ ِب‬ Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan RasulNya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadilah:13] 2. Al-Qur’an Dimansukh Dengan As-Sunnah. Pada jenis ini ada dua bagian: a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir. Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…”. Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat AlKhulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya”. [20] b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad. Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan terjadi. Contohnya: Firman Allah Azza wa Jalla. ْ َ‫طا ِعم ي‬ َ ‫ي ُم َح َّر ًما َعلَى‬ ‫س أَ ْو فِ ْسقًا‬ ِ ُ ‫قُل ْل أ َ ِجد ُ فِي َمآ أ‬ ٌ ْ‫نزير فَإِنَّهُ ِرج‬ ِ ‫ط َع ُمهُ ِإالَّ أَن يَّ ُكونَ َم ْيتَةً أ َ ْو دَ ًما َم ْسفُو ًحا أَ ْو لَحْ َم ِخ‬ َّ َ‫ي إِل‬ َ ‫وح‬ ‫أ ُ ِه َّل ِلغَي ِْر هللاِ بِ ِه‬ Katakanlah:”Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang disembelih atas nama selain Allah. [Al An’am :145]



Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat ini diturunkan- hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat AlAn’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijroh, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khoibar. َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو َل‬ َّ ‫ضي‬ ‫ت ْال ُح ُم ُر‬ ِ َ‫ت ْال ُح ُم ُر ث ُ َّم َجا َءهُ َجاء فَقَا َل أ ُ ِكل‬ ِ َ‫سلَّ َم َجا َءهُ َجاء فَقَا َل أ ُ ِكل‬ ُ ‫َّللاُ َع ْنهُ أ َ َّن َر‬ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ِ ‫َع ْن أَن َِس ب ِْن َما ِلك َر‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ْ ْ َ َ ُ ْ ْ َ َّ ‫اس إِ َّن‬ ‫وم ال ُح ُم ِر اْل ْه ِليَّ ِة فَإِنَّ َها‬ ِ َ‫ث ُ َّم َجا َءهُ َجاء فَقَا َل أفنِي‬ ُ ‫َّللاَ َو َر‬ ِ َّ‫ت ال ُح ُم ُر فَأ َم َر ُمنَا ِديًا فَنَادَى فِي الن‬ ِ ‫سولهُ يَ ْن َهيَانِ ُك ْم َع ْن ل ُح‬ ‫ور ِباللَّحْ ِم‬ ِ َ ‫س فَأ ُ ْك ِفئ‬ ُ ُ‫ُور َو ِإنَّ َها لَتَف‬ ُ ‫ت ْالقُد‬ ٌ ْ‫ِرج‬ Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian beliau memerintahkan seorang penyeru, lalu dia menyeru di kalangan orang banyak: “Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kamu dari daging keledai jinak, sesungguhnya ia kotor/najis”. Maka periuk-periuk dibalikkan, sedangkan periuk-periuk itu mendidih (berisi) daging (keledai jinak). [21] Antara ayat di atas dengan hadits yang mengharamkan daging keledai jinak tidak bertentangan, karena waktu keduanya berbeda. Di saat ayat di atas turun, daging keledai jinak halal, karena yang diharamkan hanyalah empat jenis makanan. Kemudian setelah itu datang pengharaman daging keledai jinak. [Mudzakiroh, hal: 153-155] 3. As-Sunnah Dimansukh Dengan Al-Qur’an. Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla. ْ ‫ْث َما ُكنت ُ ْم فَ َولُّوا ُو ُجو َه ُك ْم ش‬ ْ ‫ضاهَا فَ َو ِل َوجْ َهكَ ش‬ ُ ‫َط َر ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام َو َحي‬ َّ ‫ب َوجْ ِهكَ فِي ال‬ ِ ‫س َم‬ ُ‫َط َره‬ َ ‫آء فَلَنُ َو ِل َينَّكَ قِ ْبلَةً ت َْر‬ َ ُّ‫قَدْ ن ََرى تَقَل‬ Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al Baqarah :144] 4. As-Sunnah Dimansukh Dengan As-Sunnah. Contoh: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‫وروهَا‬ ُ ‫ُور فَ ُز‬ َ َ‫نَ َه ْيت ُ ُك ْم َع ْن ِزي‬ ِ ‫ارةِ ْالقُب‬ Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur). [HR. Muslim, no: 977] Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya.



http://mahad-aly.sukorejo.com/2014/05/17/pendapat-ulama-tentang-nasikh-mansukh-dandalil-dalilnya.html



Nasikh dan Mansukh Diposting oleh Scar's Blog di 19.12



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Al Qur’an merupakan sumber ilmu yang takkan habis-habisnya untuk dikaji dan diteliti. Banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang digali dari Al-Qur’an. Dalam makalah ini kami mencoba sedikit membahas tentang ilmu Nasikh Mansukh yang cukup panjang pembahasannya, namun kami telah berusaha untuk lebih teliti dan jeli dalam mempelajarinya. Dengan harapan sebagai seorang muslim yang taat dan paham kita semakin memahami isi kandungan Al-Qur’an secara benar dan baik. Di samping itu, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu huum syara’ dengan huku syara’ yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya tentang yang pertama dan yang berikutnya.



B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan nasikh dan mansukh ? 2. Bagaimana pendapat ulama mengenai nasikh dan mansukh ?



3. Apa urgensi mempelajari nasikh dan mansukh ? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian nasikh dan mansukh. 2. Untuk mengetahui pendapat ulama mengenai nasikh dan mansukh. 3. Untuk mengetahui urgensi mempelajari nasikh dan mansukh.



BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Nasikh Mansukh Nasikh secara etimologi yaitu menghapus / mengganti / memindahkan / mengutip. Sedangkan secara terminologi, nasikh berarti menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku.[1] Seperti terlihat dalam surat Al-Baqarah ayat 106 sebagai berikut :[2]



Artinya : “Ayat mana saja[3] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” Mansukh secara etimologi yaitu sesuatu yang diganti. Sedangkan secara terminologi, mansukh berarti hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian. Arti nasikh mansukh dalam istilah fuqaha’ antara lain: 1. Membatalkan hukum yang telah diperoleh dari nas yang telah lalu dengan suatu nas yang baru datang. Seperti cegahan terhadap ziarah kubur oleh Nabi, lalu Nabi membolehkannya. 2. Mengangkat nas yang umum, atau membatasi kemutlakan nas seperti : a. Surat Al-Baqarah ayat 228;



Artinya : “wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' ”[4] b. Surat Al-Ahzab ayat 49;



Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak



wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah[5] dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.” Nas



yang



pertama



umum;



termasuk



didalamnya



istri



yang



sudah



didukul (dicampuri) dan yang belum. Sedang nas yang kedua khusus tertuju pada istri yang belum didukhul. Terjadinya Nasikh-Mansukh mengharuskan adanya syarat-syarat berikut : 1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.[6] 2. Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh) harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama (mansukh). 3. Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus ada pertetangan yang nyata (kontradiktif). 4. Dalil yang mengganti (nasikh) harus bersifat mutawatir.



B. Pendapat Ulama Mengenai Nasikh Mansukh Timbulnya sikap ulama menanggapi isu nasikh dan mansukh sebenarnya dalam rangka merespon surat An-Nisa’ ayat 82 ;



Artinya : “kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” Berikut sikap pro dan kontra dari para ulama tentang tepri nasikh-mansukh : 1. Pendukung teori nasikh-mansukh. Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syafi’i (204 H), An Nahas (388 H), As Suyuti (911 H) dan Asy Syukani (1250 H). Dasar teori nasikh-mansukh dalam konteks makna tersebut antara lain : [7] a. Surat Al-Baqarah ayat 106 :



Artinya : “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”



b. Surat An-Nahl ayat 101 :



Artinya : " Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui."



c.



Adanya kenyataan bahwa beberap ayat ada yang menunjukkan gejala kontradiksi. Misalnya dalam penelitian an-Nahas (388 H) terdapat ayat yang berlawanan dengan ayat-ayat yang lain berjumlah 100 ayat, menurutnya realitas yag diteukan tersebut, mengindikasikan adanya ayat-ayat yang di-mansukh. Kemudian jauh sesudahnya As Suyuti (911 H) hanya menemukan 9 ayat saja. Selanjutnya Asy Syukani (1250 H), bahkan hanya menemukan 8 ayat saja yang tidak mampu dikompromikan.



2. Penolak teori nasikh-mansukh. Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini adalah antara lain : Abu Muslim Al Ashfahany (322 H), Imam Al Fakhrur Razy-Syafi’i Mazhaban (605H), Muhammad Abduh (1325 H), Sayyid Rasyid Ridla (1354 h), Dr, Taufiq Shidqy dan Ustadz Khudhaybey. Alasan mereka antara lain : a.



Jika di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang mansukh berarti membatalkan sebagian isinya. Membatalkan isinya berarti menetapkan bahwa di dalam al-Quran ada yang batal (yang salah). Padahal Allah telah menerangkan ciri al-Quran antara lain dala surat Fussilat ayat 42 :



ž Artinya : “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” b.



Al-Quran adalah syariat yang diabadikan hingga ahir zaman dan menjadi hujjah bagi manusia sepanjang zaman.



c.



Kebanyakan ayat-ayat yang tertuang di dalam al-Quran bersifat kulliyah bukan juz’iy-khas, dan hukumhukumnya di dalam al-Quran diterangkan secara ijmaly bukan secara khas.



d. Al-Quran surat al-Baqarah ayat :106 tidak memastikan kepada adanya naskh ayat al-Quran. e. Adanya ayat-ayat yang sepintas nmpk kontradiksi, tidak memastikan adanya naskh.



C. Urgensi Mempelajari Nasikh dan Mansukh Ilmu nasikh-mansukh dalam penggalian ajaran dan hukum Islam dalam al-Quran sangat penting untuk mengetahui proses tshri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakatnya yang selalu berubah, sejuhmana elastisitas ajaran dan hukumnya, serta sejauhmana perubahan hukum itu berlaku. Disamping itu untuk menelusuri tujuan ajaran, dan illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum), sehingga suatu hukum dan ajarannya boleh diberlakukan secara longgar dan ketat sebagaimana hukum asalnya sesuai kondisi yang mengitarinya atas dasar tujuan ajaran dan illat hukum tersebut.



BAB III PENUTUP



A. Simpulan Nasikh yaitu menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Sedangkan mansukh yaitu hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.



Ada dua pendapat para ulama tentang teori nasikh-mansukh yaitu ada yang mendukung atau setuju dan ada yang menolak atau tidak setuju jika terdapat nasikh dan mansukh didalam al-Quran. Urgensi mempelajari nasikh dan mansukh adalah untuk mengetahui proses tashri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum).



B. Saran Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.