Ushul Fiqh [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

USHUL FIQH Wadhih Al-Lafdzi, Zhahir, Nash, Mufassar, Dan Muhkam Dosen Pengampu : Zuhri Humaidi, M.S.I



Oleh : Nama : Nur Rohmat Luthfi H. Nim



: 933402919



PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM FAKULTAS USHULUDIN DAN DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) KEDIRI 2019



Kata Pengantar Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR................................................................................................ i DAFTAR ISI............................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 1 1.1............................................................................................ Latar Belakang



1



1.2....................................................................................... Rumusan masalah



1



1.3.........................................................................................Tujuan Penulisan



1



BAB II PEMBAHASAN............................................................................................ 2 2.1....................................................................................... Pengertian Wadhih



2



2.2........................................................................................................... Zhâhir



3



2.3............................................................................................................. Nash



5



2.4....................................................................................................... Mufassar



7



2.5....................................................................................................... Muhkam



9



BAB III PENUTUP.................................................................................................... 11 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 12



ii



BAB I PENDAHULUAN 1.1.



Latar Belakang



Wadhih atau Kejelasan dalalah nash ialah makna yang ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa memperhatikan faktor luar. Jika nash itu menandung takwil, dan yang dimaksudkan bukan tujuan asal susunan katanya, disebut al-dhahir, jika mengandung takwil, bila yang dimaksudkan adalah tujuan asal susunan katanya, disebut al-nash, bila tidak mengandung takwil dan hukumnya menerima nash dinamakan al-mufassar (yang ditafsirkan). Dasar perbedaan tingkatan-tingkatan kejelasan itu ialah mengenai ada atau tidak adanya kemungkinan mentakwilkannya. Nash yang maknanya dapat dipahami dari bentuk nash itu sendiri, dan tidak ada kemungkinan dapat dipahami arti lainnya, maka nash itu lebih jelas dalalahnya dari pada nash yang maknanya dapat dipahami, tapi ada kemungkinan dapat dipahami arti yang lainnya. Dalam konteks ini, penguasaan bahasa Arab beserta kaidah-kaidahnya merupakan hal yang mutlak, sebab al-Qur’an dan hadis sebagai sumber material hukum islam menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu setiap usaha memahami dan menggali hukum dari teks kedua sumber hukum tersebut sangat tergantung kepada kemampuan memahami bahasa Arab. Para ahli ushul fiqh menetapkan bahwa pemahaman teks dan penggalian hukum harus berdasarkan aqidah. 1.2.



Rumusan Masalah 1. 2. 3. 4.



1.3.



Apa yang dimaksud dengan lafadh Dzahir? Apa yang dimaksud dengan lafadh Nash ? Apa yang dimaksud dengan lafadh Mufassar ? Apa yang dimaksud dengan lafadh Al-Muhkam ? Tujuan Penulisan



1. Agar memahami Lafadh Dzahir. 2. Agar mengetahui Lafadh Nash 3. Mengetahui serta memahami Mufassar dan Al-Muhkam.



BAB II PEMBAHASAN



2.1.



Pengertian Wadhih Secara garis besar wadhih atau lafaz dari segi kejelasan artinya, terbagi kepada dua



macam: 



Lafaz yang telah terang artinya dan jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud, sehingga atas dasar kejelasan itu beban hukum dapat ditetapkan tanpa memerlukan penjelasan dari luar.







Lafaz yang belum terang artinya dan belum jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu.



Lafadz yang terang artinya terbagi menjadi empat tingkatan yang kekuatan dari segi kejelasan berbeda. Hal ini dapat dikategorikan kedalam jelas, lebih jelas, sangat jelas dan paling jelas.Para ulama berbeda pendapat dalam mengatasi tingkatan dilalah lafadz dari segi kejelasan artinya. Lafaz yang terang artinya terbagi kepada 4 tingkat yang kekuatan dari segi kejelasan artinya berbeda. Hal ini dapat dikategorikan ke dalam: jelas, lebih jelas, sangat jelas dan paling jelas. Urutan keempat tingkat itu adalah: a. Zhâhir (‫)الظاهر‬ b. Nash ( ‫)النص‬ c. Mufassar ( ‫)المف ّسر‬ d. Muhkam (‫) المحكم‬ Ulama ushul berbeda pendapat dalam hal pembedaan tingkat antara zhâhir dan nash, yaitu: a. Kalangan ulama Hanafiyah membedakan antara tingkatan zhâhir dengan nash. b. Sebagian ulama Malikiyah, Syafi‘iyah, dan Hanabilah tidak membeda kan antara tingkatan nash dengan zhâhir. Keduanya dipandang dalam kekuatan yang sama.



2



c. Sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah membedakan keduanya, yaitu nash adalah tidak mengandung kemungkin ankemungkin an dalam penunjukannya, sedangkan zhahir dalam penunjukan terhadap artinya mengandung beberapa ke mungkinan Berikut uraian tentang zhâhir, nash, mufassar, muhkam : 2.2.



Zhâhir Zhahir adalah lafal yang menunjukkan suatu pengertian secara jelas tanpa memerlukan



penjelasan dari luar, namun bukan pengertian itu yang menjadi maksud utama dari pengucapannya, tetapi bukanlah makna itu yang dimaksud oleh siyaq al-kalam dan lafaz itu sendiri masih dapat di-ta'wil-kan, ditafsirkan dan dapat pula di-nasakhkan pada masa Rasulullah Saw. Karena terdapat pengertian lain yang menjadi maksud utama dari pihak yang mengucapkannya. Jadi, pada redaksi tertentu terdapat dua pengertian, salah satunya pengertian yang diitunjukkan oleh redaksi tersebut tetapi bukan merupakan tujuan utama dari pengucapan- nya dan makna inilah yang dikenal dengan makna zhahir, dan makna yang satu lagi adalah makna yang menjadi tujuan utama dari ucapan itu yang dikenal dengan nash. Lafaz zhahir itu wajib diamalkan sesuai dengan makna yang dikehendakinya, selama tidak ada dalil yang menafsirkan, men-ta'wil-kan atau me-nasakh-kannya. Oleh karena itu apabila lafaz zhahir itu a. Dalam keadaan mutlaq, maka tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang meng-taqyid-kannya (membatasi kemutlakannya). Bila ada dalil yang meng -taqyid-kannya, diamalkan dalil yang meng-taqyid-kannya. b. Dalam keadaan umum ('am) maka ia tetap dalam keumumannya, selama tidak adadalil yang men-takhshish-kannya. Jika ada dalil yang men-takhshishkannya, hendaklah diamalkan sesuai dengan mukhashish-nya. c. Mempunyai arti hakikat, hendaklah diartikan menurut arti yang haqiqi itu, selama tidak ada qarinah yang memaksa untuk dialihkan kepada arti yang majazi. d. Pada masa pembinaan hukum syari'at, yaitu pada zaman Rasulullah Saw., lafaz zhahir itu dapat di nasakh dalalahnya. Artinya hukum yang dipetik dari lafaz zhahir dapat diganti dengan hukum yang berlainan, apabila hukum tersebut berkairan dengan hukum furu' (cabang) yang dapat berubah menurut kemaslahatannya.1 1 2



Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana Permada Media Group, 2009), halaman 4 Satriya Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Permada Media Group, 2008) halaman 203



3



Dalam memberikan definisi terhadap lafaz zhahir terdapat rumusan yang berbeda di kalangan ulama ushul. 1. Al-Sarkhisi secara sederhana memberi definisi : Dari apa-apa yang didengar meskipun tanpa pemahaman yang mendalam dapat diketahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh pembicara dengan lafaz itu.Mudahnya memahami sesuatu yang bersifat zhahir itu adalah karena penggunaan bahasa memang ditujukan untuk itu. Hal ini dapat dilihat dari definisi yang dikemukakan al-Amidi berikut ini. 2. Al-Amidi memberikan definisi : Lafaz zhâhir adalah apa yang menunjuk kepada makna yang dimaksud adalah berdasarkan apa yang digunakan oleh bahasa menurut asal dan kebiasaannya, serta ada kemungkinan dipahami dari lafaz itu adanya maksud lain dengan kemungkinan yang lemah. 3. Qadhi Abi Ya’la merumuskan definisi : Lafaz yang mengandung dua kemungkinan makna, namun salah satu di antara keduanya lebih jelas. 4. Definisi yang tampaknya lebih sempurna dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf : Lafaz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan apa yang dimaksud tanpa tergantung pemahamannya kepada lafaz lain, tetapi bukan maksud itu yang dituju dalam ungkapan, serta ada kemungkinan untuk ditakwilkan (dipahami dengan maksud lain). Contoh ayat yang menjelaskan definisi tersebut



‫َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ بَا‬ padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan (Q.S Al-Baqarah [2]: 275). Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram, karena makna inilah yang lebih mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang tanpa memerlukan



qarînah



yang menjelaskannya. Meskipun demikian



ungkapan ayat tersebut bukanlah sekadar untuk menyatakan halalnya jual beli dan haramnya riba sebagaimana yang dapat dipahami dengan mudah. Arti menurut konteksnya adalah pembedaan jual beli dengan riba, karena ayat tersebut adalah sebagai jawaban atas pernyataan orang musyrik yang menyamakan jual beli dengan riba yang dijelaskan dalam penggalan ayat sebelumnya : 4



‫ك بِأَنَّهُ ْم قَالُوا إِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ِّربَا‬ َ ِ‫ٰ َذل‬ Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,,,, Q.S Al-Baqarah [2]: 275). Kaidah yang berlaku di sini adalah wajib mengamalkan pengertian zhahir dari suatu ayat atau Hadis selama tidak ada dalil atau qarinah yang memalingkannya kepada pengertian yang lain. Jika ada qarinah yang menunjukkan pengertian lain, lafal zhahir bisa di ta’wil (dipalingkan pengertian lafal itu dari maknanya yang zhahir kepada makna lain yang tidak zhahir atau tidak cepat dapat ditangkap). 2.3.



Nash Nash secara bahasa berarti al-zuhur (jelas). Secara istilah, meskipun arti dari suatu lafaz



sudah cukup jelas, namun masih mengandung kemungkinan adanya makna lain walaupun tingkat kejelasan makna lain itu agak lemah. nash bisa memiliki 2 pengertian yaitu pengertian umum dan pengertian khusus. Pengertian pertama sebagaimana dikemukakan oleh imam Syafi’i, nas adalah teks al-Qur’an dan hadis Rasulullah baik yang tegas maupun yang tidak tegas. Berdasarkan pengertian ini, maka istilah nas diperuntukkan untuk al-Qur’an dan hadis. Nas dalam pengertian kedua (khusus), dan pengertian kedua inilah yang akan menjadi pokok pembahasan, yaitu lafaz yang menunjukkan arti yang asli yang mucul dari lafaz itu secara jelas. Tidak mungkin mengandung makna lain, pengertiannya cepat ditangkap ketika mendengar lafaz itu. Seperti kata sepuluh (asyaratun) dalam ayat berikut ini :



‫ك‬ َ ِ‫ك َع َش َرةٌ َكا ِملَةٌ ۗ ٰ َذل‬ َ ‫صيَا ُم ثَاَل ثَ ِة أَي ٍَّام فِي ْال َحجِّ َو َس ْب َع ٍة إِ َذا َر َج ْعتُ ْم ۗ تِ ْل‬ ِ َ‫فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬ ‫ْج ِد ْال َح َر ِام‬ ِ ‫لِ َم ْن لَ ْم يَ ُك ْن أَ ْهلُهُ َح‬ ِ ‫اض ِري ْال َمس‬ Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). (QS. al-Baqarah /2:196) Kata “asyaratun” dalam ayat diatas adalah nas karena maknanya jelas dan pasti tidak mungkin sembilan atau sebelas.



5



‫َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا‬ padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan (Q.S Al-Baqarah [2]: 275). Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan nyata antara jual beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap pendapat orang yang menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut. Meskipun maksud ayat ini sudah sangat jelas, namun dari ayat ini dapat pula dipahami maksud lain bahkan dalam arti yang lebih jelas, yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya hukum riba. Contoh adalah surah al-Hasyr 59:7



‫َو َما آتَا ُك ُم ال َّرسُو ُل فَ ُخ ُذوهُ َو َما نَهَا ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهُوا‬ Ayat ini secara nash bertujuan untuk menyatakan keharusan mengikuti petunjuk Rasul tentang pembagian harta rampasan, baik yang dibolehkan maupun yang tidak. Karena untuk maksud inilah ayat tersebut diturunkan menurut “asalnya”, yang dapat dipahami dari ungkapan ayat itu sendiri. Namun dari ayat ini pula dapat dipahami artinya secara zhahir, bahwa kita wajib mengerjakan apa yang disuruh Rasul dan menghentikan apa yang dicegah Rasul untuk mengerjakannya. Nash itu dalam penunjukannya terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan dengan zhâhir, karena penunjukan nash lebih terang dari segi maknanya. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan “asal”, sedangkan zhâhir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu, makna yang dituju secara langsung itu lebih mudah untuk dipahami dibandingkan dengan makna lainnya yang tidak langsung. Atas dasar itu, apabila terdapat pertentangan makna antara nash dengan zhâhir dalam penunjukannya, maka didahulukan yang nash. Sehubungan dengan ini bila terdapat pertentangan antara arti umum dengan arti khusus, maka yang harus didahulukan pengamalannya adalah yang berdasarkan arti khusus, karena arti khusus inilah yang dimaksud menurut asal mulanya, sedangkan arti yang umum, meskipun memang dimaksud pula, tetapi di dalam kerangka pengamalan seluruh satuan arti (afrad)-nya. Contoh firman Allah



6



‫َوأُ ِح َّل لَ ُك ْم َما َو َرا َء ٰ َذلِ ُك ْم‬ Dihalalkan untukmu selain yang disebutkan bagimu.(QS.an-Nisa [4]:24) Ayat ini disebutkan setelah menyebutkan perempuan-pe- rempuan yang tidak boleh dikawini laki-laki. Hal ini berarti tidak haramnya semua perempuan yang tidak tersebut dalam zhâhir ayat tersebut, termasuk kawin yang kelima. Namun zhâhir ayat tersebut bertentangan dengan nash ayat 3 surat an-Nisa (4):



َ ‫اب لَ ُك ْم ِم َن النِّ َسا ِء َم ْثنَ ٰى َوثُاَل‬ ‫ث َو ُربَا َع‬ َ َ‫فَا ْن ِكحُوا َما ط‬ Nikahilah prempuan-perempuan baik yang kamu sukai, dua, tiga atau empat. Ayat ini secara tegas membatasi perkawinan itu sampai empat orang. Dengan demikian, perkawinan yang kelima sebagaimana dapat dilakukan berdasarkan zhâhir ayat sebelumnya menjadi batal menurut nash ayat ini. Perbedaan antara nas dengan zhahir : a. Dalalah nas lebih jelas dibanding dalalah zhahir. b. Makna nas adalah makna asli yang dikehendaki dari lafaz nas sedangkan zahir bukan makna yang dikehendaki. c. Kemungkinan untuk di ta’wil, nas lebih jauh dibandingkan dengan zhahir. d. Ketika terjadi pertentangan antara nas dan zhahir maka harus kembali kepada makna nas. 2.4.



Mufassar Dengan ditempatkannya al-mufassar ini pada urutan ketiga, menunjukkan ia lebih jelas



dari dua lafaz sebelumnya. Ada beberapa definisi tentang mufassar, di antaranya: 1. Al-Sarkhisi memberi definisi:Nama bagi sesuatu yang terbuka yang dikenal dengannya secara terbuka dalam bentuk yang tidak ada kemungkinan mengandung makna lain. 2. Abdul Wahab Khalaf memberi definisi : Suatu lafaz yang dengan sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci, begitu terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafaz tersebut.



7



3. Al-Uddah merumuskan definisi yang sederhana namun jelas, yaitu: Sesuatu lafaz yang dapat diketahui maknanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarinah yang menafsirkannya. Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa hakikat lafaz mufassar adalah: a. Penunjukannya terhadap maknanya jelas sekali. b. Penunjukannya itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa memer- lukan qarînah dari luar. c. Karena jelas dan terinci maknanya, maka tidak mungkin dita’wîl-kan. Mufassar itu ada dua macam: 1. Menurut asalnya, lafaz itu memang sudah jelas dan terinci se- hingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Umpamanya firman Allah dalam surat an-Nur (24): 4:



ً‫ين َج ْل َدة‬ ›ِ ‫صنَا‬ َ ِ‫ت ثُ َّم لَ ْم يَأْتُوا بِأَرْ بَ َع ِة ُشهَ َدا َء فَاجْ لِ ُدوهُ ْم ثَ َمان‬ َ ‫ين يَرْ ُم‬ َ ‫َوالَّ ِذ‬ َ ْ‫ون ْال ُمح‬ Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik (berzina) kemudian mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali. Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh kali dera, tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu. 2. Asalnya lafaz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan ke- mungkinan beberapa pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Lafaz seperti itu. Umpamanya firman Allah dalam surat an-Nisa (4): 92:



‫َو َم ْن قَتَ َل ُم ْؤ ِمنًا َخطَأ ً فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة َو ِديَةٌ ُم َسلَّ َمةٌ إِلَ ٰى أَ ْهلِ ِه‬ Orang-orang yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja, hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada keluarganya.



8



Ayat ini menyangkut keharusan menyerahkan diyat kepada keluarga korban, tetapi tidak dijelaskan mengenai jumlah, bentuk, dan macam diyat yang harus diserahkan itu. Sesudah turun ayat ini datang penjelasan dari Nabi dalam sunnah yang merinci keadaan dan cara membayar diyat itu sehingga ayat di atas menjadi terinci dan jelas artinya. Ketentuan beramal dengan lafaz mufassar bila menyangkut pelaksanaan hukum adalah kewajiban beramal menurut yang telah dirinci secara jelas dan tidak mungkin dialihkan kepada maksud lain (di-ta’wil). Lafaz mufassar itu dari segi penunjukannya terhadap makna yang dimaksud lebih jelas dari lafaz nash dan lafaz zhahir, karena lafaz-nya memang lebih jelas dibandingkan dengan nash dari segi tafsirannya yang terinci, sehingga menjadikan mufassar tidak mungkin untuk di-takwil dan apa yang dituju menjadi terang. Karena penjelasan mufassar itu lebih kuat dari nash atau zhahir, bila terjadi perbenturan pemahaman antara keduanya, maka harus didahulukan yang mufassar. 2.5.



Muhkam (‫)المحكم‬ Lafaz muhkam ialah suatu lafaz yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada



maknanya sesuai dengan pembentukan lafaznya secara penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan pembatalan, penggantian maupun ta’wil. Lafaz muhkam berada pada tingkat paling atas dari segi kejelasan artinya, karena lafaz ini menunjukkan makna yang dimaksud sesuai dengan kehendak dalam ungkapan si pembicara. Tidak menerimanya lafaz muhkam itu akan pembatalan atau nasakh, terkadang disebabkan oleh teks lafaz itu sendiri yang menghendaki demikian. Umpamanya firman Allah dalam surat an-Nur (24): 4:



‫َواَل تَ ْقبَلُوا لَهُ ْم َشهَا َدةً أَبَدًا‬ Jangan kamu terima dari mereka kesaksian selama-lamanya. Kata ‫( أَبَدًا‬selama-lamanya) yang tersebut dalam ayat itu menunjukkan bahwa tidak diterima kesaksiannya itu berlaku untuk selamanya, dalam arti tidak dapat dicabut. Contoh lain adalah sabda nabi : Jihad itu berlaku sampai hari kiamat.



9



Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin berlakunya pembatalan dari segi waktu. Tidak menerimanya muhkam terhadap kemungkinan nasakh, terkadang karena Nabi (pembawa syara’) telah meninggal dan tidak ditemui keterangan bahwa hukum yang berlaku itu telah di-nasakh. Dari uraian di atas jelas bahwa muhkam itu ada dua macam, yaitu: 1. Muhkam lizâtihi atau muhkam dengan sendirinya bila tidak ada kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul dari lafaz-nya dan diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam lafaz itu tidak mungkin di-nasakh. 2. Muhkam lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak dapatnya lafaz itu dinasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash yang me- nasakh-nya. Lafaz dalam bentuk ini dalam istilah Ushul disebut lafaz yang qath‘i penunjukannya terhadap hukum Ketentuan tentang lafaz muhkam bila menyangkut hukum, adalah wajib hukum itu secara pasti dan tidak mungkin dipahamidari lafaz tersebut adanya alternatif lain, serta tidak mungkin pula di-nasakh oleh dalil lain. Penunjukan lafaz muhkam atas hukum lebih kuat dibandingkan dengan tiga bentuk lafaz sebelumnya, sehingga bila berbenturan pemahaman antara lafaz muhkam dengan bentuk lafaz yang lain, maka harus didahulukan yang muhkam dalam pengamalannya.



BAB III PENUTUP



10



Zhâhir adalah lafaz yang menunjukkan maknanya dengan menggunakan sighatnya sendiri tanpa memerlukan qarînah dari luar, tetapi memiliki maksud lain dari maksud ungkapan tersebut yang merupakan pokok pembicaraannya serta ada kemungkinan untuk ditakwilkan. Nash adalah lafaz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara asli dan langsung sesuai dengan apa yang diungkapkannya, dan ada kemungkinan ditakwilkan. Mufassar adalah lafaz yang penunjukannya terhadap maknanya jelas sekali, dan penunjukannya itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarînah dari luar, serta tidak mungkin ditakwilkan. Muhkam adalah lafaz yang menujukkan kepada makna yang jelas dan tidak memerlukan qarînah dari luar sehingga tertutup kemungkinan untuk ditakwilkan, diganti maupun dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan Rasul-Nya.



11



DAFTAR PUSTAKA



Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009. Shidiq, Sapiudin, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2011. Suyatno, Dasar – Dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011 Uman, Khairul dan A. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqh II, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001. Yasin, Achmad. 2017 . Ilmu Ushul Fiqh. Jurnal Dasar- Dasar Istinbat Hukum Islam. Wahab, Khallaf A, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.



12