Ushul Fiqh Lanjutan [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Wahyu
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

“SEJARAH PERTUMBUHAN QAWAAIDUL FIQH”



Disusun Oleh: Kelompok 2 Adjie Farhan Panggestu



:1830103162



Aidil Fitr



:1830103165



Wahyu Pratama



:183010319



Dosen Pengampuh: Syaiful Aziz, S.H..I. M..H.I



PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG 2019



KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillah, senantiasa kita ucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga penulis diberi kesempatan yang luar biasa ini yaitu kesempatan untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah ini, dari mata kuliah Ushul Fiqh Lanjutan yang berjudul “Sejarah Pertumbuhan Qawaaidul Fiqh ” . Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi agung kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita semua. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini menjadi lebih baik lagi. Demikianlah tugas makalah ini yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca dan kita semua.



Palembang, September 2019



Penulis



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sejarah Qawaaidul Fiqiah (Kaidah-Kaidah Fiqih) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belom mengerti sama sekali bagaimana Sejarah pertumbuhan Qawaaidul Fiqiah. Maka dari itu kami selaku penulis mencoba untuk menjelaskan tentang sejarah Qawaaidul Fiqh, mulai dari pertumbuhan dan perkembangan dari Qawaaidul Fiqh. Dengan mengetahui sejarah pertumbuhan Qawaaidul Fiqh kita akan mengetahui bagaimana pertumbuhan dan perkembangan dalam Qawaaidul Fiqh itu sendiri.



B. RUMUSAN MASALAH 1.1Bagaimanakah Sejarah Pembentukan Qawaaidul Fiqh ? 1.2 Bagaimanakah ? 1.3 Bagaimanakah? 1.4 Bagaimanakah?



C. TUJUAN PEMBAHASAN 2.1 Untuk Mengetahui Sejarah Umum Qawaaidul Fiqh 2.2 Untuk Mengetahui 2.3 Untuk Mengetahui 2.4 Untuk Mengetahui



BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Qawaaidul Fiqhiyyah Menurut Ali ahmad al-nadwi, secara garis besar ada tiga periode penyusunan Qawaaidul Fiqhiyyah yaitu periode kelahiran, pertumbuhanpembukuan, dan penyempurnaan 1. Kelahiran Qawaaidul Fiqh Pada awalnya cikal bakal kemunculan Qawaaidul Fiqhiyyah bersamaan dengan hadirnya Rasulullah SAW melalui Hadist-hadistnya yang menjelaskan dan merinci ajaran islam yang bersumber dari Wahyu Allah. Bahkan tak jarang beliau menetapkan suatu hukum yang belum disebutkan ketentuannya secara eksplisit dalam Al-Qur’an. Rasulullah muhammad SAW sebagai insan pilihan, membawa risalah islam yang menyempurnakan ajaran-ajaran nabi dan rasul sebelumnya, dikaruniai kemampuan bahasa yang singkat, padat, bermakna, mencakup, dan mudah untuk dipahami (jawami’ al kalim). Beberapa sabda beliau sangat gampang untuk dihapal dan mampu menjawab beberapa masalah sekaligus yang terjadi pada zamannya. Diantara sabda-sabda beliau misalnya : “Hak menerima hasil karena harus menerima resiko”. “Tidak boleh membahayakan atau membuat kerusakan pada orang lain dan diri sendiri” “Bukti harus dihadirkan oleh penggugat dan sumpah dapat dilakukan oleh tertuduh” “(Perjanjian antara) orang-orang islam tergantung dari syarat-syarat yang mereka sepakati.” “Orang memiliki hak, memiliki kesempatan berbicara.” Dan lain-lain. Hadist-hadist diatass berbentuk jawami’ al kalim (kalimat singkat padat) dan disampaikan nabi dalam bentuk kaidah. Inilah cikal bakal dari Qawaaidul Fiqhiyyah. Terpengaruh gaya ucapan rasul yang ringkas sederhana dan bermakna tersebut maka para sahabat pun banyak diantara mereka yang mencoba meneladaninya dengan menggunaakan gaya bahasa yang singkat, padat, bisa mencakup dan menyelesaikan beberapa masalah sekaligus yang mempunyai kesamaan karakter. Hal ini tergambar dalam ucapan-ucapan mereka ketika memutuskan beberapa perkara, diantaranya : Perkataan Umar bin Khattab : “Penerimaan hak berdasarkan pada syarat-syarat.”



Perkataan Ali bin Abi Thalib : “Orang yang membagi keuntungan, tidak harus menanggung kerugian.” Perkataan Abdullah bin Abbas : “Setiap pernyataan dalam Al-Qur’an yang memakai kata “aw” bermakna pilihan, dan setiap pernyataan yang memakai kata “fain lam tajidu” bermakna berurutan.” Demikian juga pada masa Tabi’in banyak dijumpai ungkapan-ungkapan yang berbentuk kaidah fiqih. Pada masa tabi’in dan para imam mazhab gaya jawami’ al kalim nabi semakin banyak dicontoh dan menginspirasi mereka untuk berlomba-lomba membuat faedah yang dapat memudahkan mereka dalam mengelompokkan masalah-masalah fiqih sehingga dapat cepat merespon problematika kasus-kasus hukum yang semakin banyak bermunculan. Beberapa kaedah yang muncul pada masalah ini mislanya : Perkataan Qadhi Suraih bin Haris al Qindi : “Siapa yang menanggung pengelolaan harta, (maka) ia berhak mengambil keuntungan tersebut.” Perkataan Khair bin Nu’man : “Siapa yang mengaku memiliki sesuatu, kami membebankan sesuatu itu padanya.” Sedangkan dikalangan mazhab, Qawaaidul Fiqh ini banyak dimunculkan oleh pengikut mazhab Hanafi dan Syafi’i. Dalam mazhab Hanafi, dipelopori oleh murid Imam Abu Hanifah yang bernama Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim dan Muhammad bin al Hasan al syaibani. Abu Yusuf yang pernah menjadi hakim, mengeluarrkan pernyataan hukum ta’zir diserahkan kepada penguasa sesuai kadar besar kecilnya kesalahan. Demikian juga Muhammad Hasan al Syaibani pernah menyatakan bahwanya “keyakinan tidak dapat hilang karena keraguan.” 2. Pertumbuhan dan Perkembangan Qawaaidul Fiqh Qawaaidul Fiqhiyyah menjadi satu disiplin ilmu tersendiri pada abad 4 H, dan dimatangkan pada abad-abad sesudahnya. Ketika ruh taklid menyelimuti abad ini (IV H dan sesudahnya), ijtihad mengalami masa stadnasi dan para ulama menjadi kurang kreatif. Hal ini ditambah dengan adanya kekayaan fiqih yang melimpah, dan dibubukannya hukum-hukum fiqih dan dalil-dalinya, juga banyaknya mazhab, membuat mereka cenderung hanya melakukan tarjih (menyeleksi pendapat-pendapat ulama terdahulu yang paling kuat argumennya).



Kaidah ini membawa sejumlah dampak terutama menguatnya semangat terhadap mazhab. Namun demikian, sisi positif yang diakibatkan kondisi ini juga terlihat, teutama pada muculnya usaha-usaha penghimpunan masalah-masalah juz’iyah furu’iyah yang berserakan itu kedalam kaedah-kaedah Kondisi ini mendorong para ulama saat itu untuk membahas hukum suatu peristiwa baru hanya dengan berpegang dengan fiqih mazhab saja. Ibnu Khaidun (wafat 808 H / 1406 M) juga telah mengisyaratkan hal ini. Menurutnya, ketika mazhab setiap imam menjadi disiplin ilmu khusus bagi pengikutnya, dan mereka (para pengikut) tidak mempunyai kesempatan atau tidak mampu berijtihad dan melakukan qiyas maka mereka memandang perlu melihat masalah-masalah yang serupa dan memilah-milahnya. Ini mereka lakukan ketika mengalami kesulitan dalam mengembalikan hukum furu’ kepada usul imam mazhabnya. Pemecahan masalah dengan menggunakan ushul para imam mujtahid membuat ruang lingkup dan masalah-masalah fiqih menjadih berkembang. Para fuqaha membuat metode-metode baru dalam fiqih. Mereka menamakan metodemetode tersebut dengan istilah Qaidah’, Dhabit, Furuq, Alghaz, Mutharat, Ma’rifatal afrad, dan hiyal. Dengan panjang lebar, para Fuqaha mengkaji para furuq, Qaidah, dan Dhabit. Seiring dengan banyaknya persoalan, para ulama mempunyai inisiatif untuk membuat Qaidah dan Dhabit yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa para ulama tersebut dari kesemrawutannya. Hal inilah yang dilakukan oleh Abu hasan Al Karkhi (w. 340 H) dalam risalahnya (ushul al karkhi), dan abu zayid al dabbusi (w. 430 H) dalam kitabnya la’sis al nazhar dengan memakai istilah ushul apabila ushul tersebut mencakup berbagai fiqih, maka disebut qaidah sedangkan kalau hanya mencakup satu masalah fiqih, disebut dhabit. Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa fuqaha hanafiyah menjadi kelompok pertama yang mengkaji Qawaaidul Fiqhiyah ini karena luasnya furu’ yang mereka kembangkan. Disamping itu, dalam membentuk ushul mazhab, fuqaha hanafiyah mendasarkan pemikirannya kepada hukum furu’ para imam mazhabnya. Misalnya, Muhammad bin hasan al syaidani (w. 189 H) dalam kitabnya al ushul menyebutkan satu permasalahan, lalu darinya ia membuat banyak hukum furu’ yang sulit dihafal dan didentifikasi. Kondisi ini mendorong fuqaha hanafiyah untuk membuat qaidah dan dhabit pengumpulan qawaaidul fiqhiyah dalam mazhab hanafi dilakukan pertama kali oleh Abu Thahir al dabbaz al hanafi, seorang ulama yang hidup pada abad III dan IV H. Demikian pendapat al’alai (W. 761 H), alsuyuthi (W. 911 H), dan ibnu mujaim (w. 970 H)10 dalam masing-masing kitab Qa’idahnya. Abu Thahir al dabbaz, fuqaha abad IV H telah mengumpulkan qa’idah yang paling penting dalam mazhab hanafi kedalam tujuh belas qa’idah kuliyyah. Abu Thahir al dabbaz, seorang yang buta, sering mempelajari dan menghafal kembali qaidah-qaidah tersebut setiap malam di masjid. Ia melakukannya setelah orang-orang pulang. Kemudian Abu Sa’id al-



Harawi al-Syafi’i(w.488 H) mengunjunginya dan mengambil beberapa qaidahqaidah dasar darinya. Qaidah-qaidah dasar itu ada 5 qaidah pokok yang populer yaitu : Qawaidul fiqhiyyah yang di tunjukkan oleh Abu Thahir al-dabbas tiadak mudah untuk diidentifikasi, kecuali beberapa kaidah dasar yang populer tersebut. Al kharkhi, teman Abu Thahir Al Dabbas, diduga telah mengumpulkan kaidahkaidah tersebut dalam kitabnya ushul al karkhi. Dalam kitab tersebut, Al Karkhi mengumpulkan 37 kaidah. Kitab ini dianggap sebagai kaidah pertama yang mengkaji ilmu Qawaaidul Fiqiyyah. Disamping kitab yang sangat populer tersebut Muhammad bin Haris Al Khasyani Al Maliki (w. 361 H) juga telah menyusun kitab Ushul Al Futya yang menghimpun sejumlah besar kaidah kuliyyah dan kuliyyat fiqhiyyah. Pada abad IV H, Abu Zaid Al Dabbasi (w. 430 H). Telah melakukan kajian ilmiah tentang Qawaidul Fiqhiyyah, dan menggabungkan dengan kaidah Al Kharkhi. Kajian al dabbusi ini dapat dilihat dalam karya besarnya ta’sis al nazhar. Dengan demikian, abad IV H dapat dikatakan sebagai abad / fase perkembangan dan pengkoditifikasian qawaaidul fiqh. Karena abad IV H merupakan awal penyusunan kitab-kitab kaidah. Maka abad ini dapat dianggap sebagai awal kelahiran pengkoditifikasian ilmu kaidah. Pada abad V H tidak ditemukan kitab secara khusus mengkaji masalah qawaaidul fiqhiyyah selain kitab ta’sis al nazhar karya Al Dabbusi. Begitu juga pada abad VI H, tidak ditemukan kitab yang secara khusus mengkaji masalah qawaaidul fiqhiyyah selain kitab idhah al qawaaid karya Alauddin Muhammad bin Ahmad Al Samarqandi (w. 540 H). Hal ini tidak berarti bahwa dalam 2 abad ini kreatifitas para ulama terputus dalam mengkaji ilmu qawaaidul fiqh, tetapi kemungkinan perjalanan sejarah tidak dapat melacaknya, seperti halnya juga menimpa sejumlah besar ilmu-ilmu lainnya. Pada abad VII H, ilmu qawaaidul fiqh mengalami masa keemasan, ditandai dengan banyak bermunculannya kitab-kitab qawaaidul fiqh. Dalam hal ini, ulama syafi’iyah termasuk ulama paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang munccul dalam abad ini adalah sebagai berikut : 1. AL-Asybah wa Al Nazhair karya Ibnu Al Wakil Al Syafi’i (w. 716 H) 2. Kitab Qawaaid karya Al Maqqari Al Maliki (w. 758 H) 3. Al Majmu’ Al Muzhab fi Dhabi Qawaaid Al Mazhab karya Al ‘alai Al Syafi’i (w. 761 H) 4. Al Asybah wa Al Nazhair karya Al Subki Al Syafi’i (w. 771 H) 5. Al Asybah wa Al Nazhair karya Al Isnawi (w. 772 H)



6. Al Mantsur fil qawaid karya Al Zarkasih Al Syafi’i (w. 794 H) 7. Qawaaid fil Fiqh karya Ibnu Rajab Al Hambali (w. 795 H) dan 8. Al Qawaaid fil furu’ karya Al Ghazzi (w. 799 H) Pada abad IX H, perkembangan ilmu Qawaaidul Fiqiyyah terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya ulama sebelumnya, khususnya dikalangan ulama Syafi’iyyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kiitab Al Mulaqqin (w. 804 H) dan Taqiyuddin Al Hishnih (w. 829 H). Karya-karya besar yang mengkaji qawaaidul fiqiyyah yang disusun pada abad IX H ini banyak mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Diantara karya-karya tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kitab Al Qawaaid karya Ibnu Al Mulaqqin (w. 804 H) 2. Asnal Maqashith fi Tahrir Al Qawaaid karya Muhammad bin Muhammad Al Zubairi (w. 808 H). 3. Al Qawaaid Al Mandhumah karya Ibnu Al Haim Al Maqdisi (w. 815 H). Disampung itu koma, ia juga mengomentari (mentahrir) kitab Al Majmu’ Al Muzhab fi Qawaaid karya Al ‘alai (w. 761 H), yang diberi tahrir Al Qawaaid Al Alaiyah Watahmid Al Masalik Al Fiqhiyyah. 4. Kitab Al Qawaaid karya Taqiyuddin Al Hishni (w. 829 H) 5. Nadhm Al Dzakhair fil Asybah wal Nazair karya Abdurrahman bin Ali Al Maqdisi, yang populer dengan nama syuqhair (w. 876 H) 6. Al Qawaaid Wal dhawabid karya Ibnu ‘Abdul hadi (w. 880 H). Pada abad X H pengkoditifikasian Qawaaidul fiqh semakin berkembang. Imam As Syuuthi (w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan qawaaidul fiqh yang paling pentting dari karya Al ‘Alai, Al Subki dan Al Zarkasyih. Ia mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya Al Asyhah wal Nazhair. Kitab-kitab karya ketiga ulama tersebut masih mencakup Qawaaid Ushuliyyah dan Qawaaid Fiqhiyyah, kecuali kitab karya Al Zarkasih (w. 794 H). Pada abad X H ini Abu al Hasan Al Zaqqaq Al Tujibi Al Maliki (w. 916 H) telah berusaha menyusun kitab Qawaaidul fiqh dengan mengambil rujukan dari kitab-kitab Ulama sebelumnya seperti Al Furuq karya Al Qarafi dan Al Qawaaid karya Al Maqqari. Kitab Qawaaidul fiqh hasil karya Al Zaqqaq ini mempunyai tempat yang istimewa dikalangan fuqaga malikiyyah. Begitu juga Ibnu Jaim Al hanafi (w. 970 H) telah berusaha menyusun kita Qawaaidul Fiqiyyah dengan nama Al Asybah Wal mazair. Ibnu Jaim menyusun kitab ini dengan menggunakan metode yang dipakai oleh Al Syubki dan Al Suyuthi. Karya Ibnu jaim ini merupakan langkah maju dalam mazhab hanafi,



karena dalam masa ini panjang mazhab hanafi mengalami kemandegan dalam ilmu Qawaaidul Fiqh. Oleh sebab itu, kemudian kalangan ulama Hanafiyyah berusaha mengkaji dan mensyarah kitab ini. Pada abad XI dan XII H, Ilmu Qawaaidul Fiqh terus berkembang. Dengan demikian fase kedua dari ilmu Qawaaid Fiqh adalah fase perkembangan dan pembukuan (pengkoditifikasian). Fase ini ditandai dengan munculnya Al Kharkhi (2. 340 H) dan Al Dabbusi (w. 430 H). Para ulama yang hidup dalam rentang waktu ini (abad IV – XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu Qawaaidul Fiqh. 3. Penyempurnaan Qawaaidul Fiqh Pengkoditifikasian Qawaaidul Fiqh mencapai puncaknya ketika disusun Majalat Al Ahkam Al’Adliyyah oleh komite (lajnah) fuqaha pada masa sultan Al Ghazzi abdul Aziz Khan Al Utsmani (1861 – 1876 M) pada akhir abad XIII H (1292 H). Majalat Al Akham Al’Adliyyah ini menjadi rujukan (referensi) lembaga-lembaga peradilan pada masa itu. Ini menandai sebagai era kematangan Qawaaidul Fiqh. Para fuqaha memasukkan qawaaidul fiqh pada Majalat Al Akham Al’Adliyyah ini setelah terlebih dahulu mempelajari sumber-sumber Fiqh dan beberapa karya tulis tentang Qawaaidul Fiqh, seperti Al Asybah Wal Nazhair karya Ibnu Nujaim (w. 970 H) dan Majami Al Haqqaiq karya Al Khadimi (w. 1176 H) mereka sangat teliti dalam menyeleksi kaidah yang akan dimasukkan kedalam majalah Al Akham Al’Adliyyah. Mereka menyusun majalah ini dengan menggunakan redaksi yang singkat padat seperti undang-undang (qanun). Majalat Al Akham Al’Adliyyah ini merupakan undang-undang Hukum perdata tertulis yang dalam Muqaddimah tercantum 100 butir ketentuan umum. Ketentuan pasal 1 tentang definisi fiqh, sedang pasal 2 sampai 100 berisi 99 kaidah fiqh yang menjadi landasan dari pasal-pasal pada bagian batang tubuhnya dan muqqadimah itu pula, setiap kaidah fiqh disertai dengan nomor-nomor pasal dan batang tubuh yang menjadi rinciannya. Eksistensi majalah ini telah mengangkat kedudukan dan popularitas kaidah Majalat Al Akham Al’Adliyyah ini pula yang kemudian memberikan banyak kontribusi bagi perkembangan fiqh dan perundang-undangan didunia islam lainnya.



B. Kitab-kitab kaidah Fiqih 1) Kitab-Kitab kaidah Fiqih Mazhab Hanafi a) Ushul Al Karkhi (260 – 340) yang lebih dikenal dengan Abu hasan Al Karkhi yang didalamnya memuat 37 Kaidah fiqh. b) Ta’sis Al Nazhar , karangan Abu Zaid Al Dabussi. Didalam kitab tersebut dicantumkan 86 kaidah fiqih. c) Al Asybah Wal Nazhar, karangan Ibnu Nuzaim (w. 970 H). Terdapat 25 kaidah fiqih.



d) Majami’ Al Haqaiq, karangan Abi Said Al Khadimi seorang faqih mazhab Hanafi yang memuat 154 kaidah. Kaidahnya disusun berdasarkan abjad huruf hijaiyah. e) Majalah Al Akham Al’Adliyyah, yang disusun oleh ulama-ulama terkemuka Turki Utsmani diketuai oleh Ahmad Udat Basya, seorang ulama ahli hukum islam terkenal pada waktu itu. Didalamnya terdapat 99 kaidah dibidang fiqih muamalah dengan 1851 pasal. 2) Kitab-Kitab Kaidah Fiqih Mazhab Maliki a) Ushul Al Futiya fil Fiqh ‘ala mazhab Imam malik karangan Ibnu Haris Al Husni (w. 361 H) meskipun dalam kitab ini lebih banyak dhabit daripada Kaidah Fiqih b) Al Furuq, karangan Al Kurafi (w. 684 H) nama lengkapnya Abu Abbas bin Idris bin Abdurrahman Syihabuddin Al Qurafi. Dalam kitab ini tercantum tidak kurang dari 548 kaidah, meskipun Al Qurafi mencampurkan antara kaidah, dhabit bahkan bahasan fiqih. c) Al Qawaaid karangan Al Maqri (w. 758 H) nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, kitab ini memuat kurang lebih 100 kaidah. d) Iddah Al Masalik ila Qawaaid Al Imam Malik, karangan Ahmad bin Yahya bin Muhammad Alwinsyarisih (w. 914 H). Kitab tersebut mengandung 118 kaidah. 3) Kitab-Kitab Kaidah Fiqih Mazhab Al Syafi’i a) Qawaaid Al Ahkam fil Mashalih Al Anam karangan Izzuddin bin Abd Assalam (577 – 660 H) yang digelari dengan Sultanun Ulama. Kitab ini mengembalikkan seluruh kaidah kepada Jalb Al Mashalih wa daf’ul Mafasid (meraih maslahat dan menolak mafsadah). b) Al Asybah Wal Nazhair karangan Ibnu Wakil, nama lengkapnya Abdullah bin Al murahilih. c) Al Majmu Al Mudzhab fi Qawaidun karangan Abu said Al Ala’i (w. 761 H) seringpula disebut Salahuddin. d) Al Asybah wal Nazhair, karangan Taj Al din Ibnu Al Syubqi (w. 771 H). Yang menarik dari kitab As Syubqi antara lain : kaidah disusun dengan menyebut kaidah kaidah pokok ( kaidah asasi). Kemudian disusul dengan kaidah fiqih yang penting dan disebutnya dengan al-qawa’id al-ammah, karena tidak hanya berlaku pada bab-bab tertentu. Kemudian disusul Al Dhawabith al-Fiqhiyah yang disebutnya dengan Al-Qawaaid AlKhashshah,kemudian membahas sebagian masalah-masalah fikih yang dicakup oleh kaidah-kaidah tadi. e) Al-Mansur fi Tartib al-Qawa’id al-Fiqhiyyah atau al-Qawa’id fi Al Furu’’. Karangan al-Zarkasyi (w. 794 H) nama lengkapnya adalah Muhammad bin Bahadir bin Abdullah Badrudin al Mishri al-Zarkasyi. Kitab ini



menghimpun sekitar 100 kaidah, yang dirinci dengan dhhabith-nya. Kitab ini kemudian diberi syarah (komentar) oleh sirajuddin Al-Ibadi (947 H). f) Al-Asybah wa al-Nazhair. Karangan imam al-Sayuthi (w. 911 H). Nama lengkapnya adalah Abd al-Rahman bin Abi Bakar bin Muhammad, yang diberi gelar Jalaluddin dan terkenal dengan nama al-Saythiy al-Syafi’i. Dimulai dengan menjelaskan lima kaidah pokok. Kemudian dijelaskan kaidah-kaidah fiqih yang masih ikhtilafkan ulama yang terdiri dari 20 kaidah. g) Al-istighna fi al-Faraqi wa al-istisna, karangan Badruddin al-Bakri.dalam kitab tersebut dijelaskan tentang kaidah dan dhabbitnyanserta kekecualiannya, yaitu masalah fikih yang tidak termasuk di dalam kaidah atau dhabith tersebut. 4) Kitab-Kitab Kaidah Fikih Mazhab Hambali a) Al-Qawa’id al-Nuraniyah al-Fiqhiyyah, karangan Ibnu taimiyah (661-728 H)> nama lengkapnya adalah imam taqiyuddin Abu Abas Ahmad bin Abd al-Salam bin Abdullah bin taimiyah. Dalam pembahasannya, Ibnu Taimiyah menyebut Qawa’id dan Dhawabith. Demikian pula didalam kitab fikihnya, Al-Fatawa b) Al-Qawa’id Al-Faqhiyah, karangan Ibnu Qadhi al-jabal (w. 771 H)> nama lengkapnya Ahmad bin al-Hasan bin Abdullah. c) Taqrir al-Qawa’id wa Tahrir al-Fawaid. Karangan Ibnu rajab al-Rahman bin Syihab bin Ahmad bin Abi Ahmad Rajab. Dalam kitab ini ada 160 kaidah. d) Al-Qawa’id al-Kulliyah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah, karangan Ibnu Abd Al-Hadi (w. 909 H). Nama lengkapnya Yusuf bin Hasan bin Ahmad bin ‘Abd Al-Hadi. Pada masa sekarang banyak kitab-kitab yang ditulis para peminat kaidah fiqih, seperti al-Qawa’id al-Fiqhiyyah oleh Ali Ahmad al-Nadwi, Syarah alQawa’id al-Fiqhiyyah oleh Syekh Ahmad bin Syekh Muhammad Zarqa. Al-Wajiz fi idhah Qawa’id a;-Fiqh al-Kulliyah oleh Muhammad Shddieqy bin Ahmad alBurnu. Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Syekh Abdullah bin Said Muhammad Ibadi. Dalam bahasa Indonesia antara lain kaidah-kaidah fikih oleh Asymuni A.Rahman, kaidah Fiqih oleh Jain Mubarok, dan lain-lain. C. Kehujjahan Qawaidul Fiiqh Al-Hariri, seorang ahli ilmu hukum islam mengatakan: “sebagai kesimpulan, dapat di katakan bahwa jika ada dalil yang jelas dari sumber-sumber yang berurusan langsung dengan perjara tertentu, maka penyandaran hukumnya harus dengan dalil tersebut, Tapi jika tidak ada dalil apapun terhadap perkara tersebut, tidak ada masalah jika kaidah-kaidah fiqih menjadi dalil dalam perkara



tersebut, asal saja kaidah-kaidah tersebut tidak melenceng dari Al-Qur’an, AlHadits, dan Sumber Hukum Islam lainnya”.



PENUTUP Bahwa Qawa’id Fiqhiyyah adalah sebuah metamorfosa ilmu hukum yang tumbuh dan berkembang hingga sempurna itu tidak terlepas dari para pendahulu kita yang berawal dari Nabi Muhammad SAW. Para sahabat Nabi, Tabi’in dan hingga Tabi’in at-tabi’in yang sangat berjasa dalam pengadaan dan penyempurnaannya. Kaidah Fiqh ini tumbuh dan berkembang setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Jika pada masa Nabi suatu masalah yang terjadi waktu itu. Oleh para sahabat langsung di hadapkan pada beliau akan tetapi setelah beliau wafat, banyak bermuculan persoalan-persoalan baru yang tidak ada pada masa Nabi. Disinilah mulai muncul ijtihad dan penalaran-penalaran para mujtahid dalam memecahkan persoalan hukum yang tentu dalam metode pengambilan hukumnya disandarkan kepada al-Qur’an dan Al-Sunnah.



DAFTAR PUSTAKA Suwarjin, MA., Ushul Fiqh, Teras,Yogyakarta, 2012, Cet.1. Dr. H. Toha Andika, M.Ag, Ilmu Qowaid Fiqhiyah,Teras , Yogyakarta, 2011, Cet. 1. Prof. H, A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, kencana, Jakarta, 2011, Cet. 4.