Panduan Igd [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A. DEFINISI Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah suatu unit integral dalam satu rumah sakit dimana semua pengalaman pasien yang pernah datang ke IGD tersebut akan dapat menjadi pengaruh yang besar bagi masyarakat tentang bagaimana gambaran Rumah Sakit itu sebenarnya. Fungsinya adalah untuk menerima, menstabilkan dan mengatur pasien yang menunjukkan gejala yang bervariasi dan gawat serta juga kondisi-kondisi yang sifatnya tidak gawat. IGD adalah salah satu unit di rumah sakit yang harus dapat memberikan pelayanan darurat kepada masyarakat yang menderita penyakit akut dan mengalami kecelakaan, sesuai dengan standar. Pelayanan yaitu pelayanan keramahan petugas rumah sakit, kecepatan dalam pelayanan. Rumah sakit dianggap baik apabila dalam memberikan pelayanan lebih memperhatikan kebutuhan pasien maupun orang lain yang berkunjung di rumah sakit. Kepuasan muncul dari kesan pertama pasien masuk terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan. Misalnya : pelayanan yang cepat, tanggap dan keramahan dalam memberikan pelayanan keperawatan. Standar operasional prosedur dan alur pelayanan : •



Pelayanan triase







Ruang resusitasi







Ruang observasi







Pelayanan rekam medik 24 jam



1







Standar fasilitas medic







Standar tenaga kerja yang kompeten Pasal 23 Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 : Gawat Darurat harus ada selama



24 jam. Semua fasilitas yang tersedia di IGD sesuai dengan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan emergency.



B. PELAYANAN INSTALASI GAWAT DARURAT 1. Jenis pelayanan emergency yang paling sering dilakukan • Tindakan penyelamatan jiwa pada pasein henti nafas dan henti jantung • Penanganan pasien sesak nafas • Penanganan serangan jantung / payah jantung • Penanganan pasien tidak sadar • Penanganan pasien kecelakaan • Penanganan pasien cedera, misalnya cedera tulang, cedera kepala dan lain-lain • Penanganan pasien dengan pendarahan • Penanganan kasus stroke • Penanganan pasien kejang dan kejang deman pada anak • Penanganan pasien keracunan • Penanganan pasien dengan sakit perut hebat • Penanganan medis korban bencana / disaster 2. Pelayanan 24 jam Ambulans Gawat Darurat • Untuk transfortasi pasien dengan perawat ambulans sebagai pendamping



2



• Untuk medivac (medical evacution) yaitu transfortasi pasien dengan tim medivac (dokter dan perawat) sebagai pendamping • Ambulans stand by 3. Fasilitas gawat darurat yang tersedia meliputi : • Ruang tunggu •



Ventilasi mekanik



• Defibrillator • Bedsite monitor • Pulse oxymetri • Monitor tekanan darah • Elektrikardiografi • Peralatan resusitasi



3



BAB II RUANG LINGKUP



A. RUANG LINGKUP PELAYANAN INSTALASI GAWAT DARURAT a. Pasien dengan kasus true emergency Yaitu pasien yang tiba-tiba dalam keadaan darurat dan terancam nyawanya atau anggota badannya bila tidak mendapat pertolongan segera b. Pasien dengan kasus fals emergency Yaitu pasien dengan : • Keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat • Keadaan gawat tetapi tidak mengancam nyawa atau anggota badannya • Keadaan tidak gawat dan tidak darurat B. KRITERIA PASIEN YANG DITANGANI Dalam pelayanan IGD tidak diperbolehkan untuk menolak pasien gawat darurat karena keluarga pasien tidak sanggup membayar. IGD harus menerima semua pasien dan menangani sesuai klasifikasi sebagai berikut : • Pasien Gawat Darurat Pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut • Pasien Gawat Tidak Darurat Pasien



berada



dalam



keadaan



gawat



tetapi



tidak



memerlukan



tindakan



darurat, misalnya kanker stadium empat • Pasien Tidak Gawat Tapi Darurat Pasien yang harus mendapatkan pertolongan segera tapi tidak mengancam nyawa



4



• Pasien Tidak Gawat Tidak Darurat Pasien dengan ulcus pepticum C. ALUR PELAYANAN GAWAT DARURAT RSUD SUBANG



5



BAB III TATA LAKSANA



Setiap IGD rumah sakit harus mempunyai Standar Operasional Prosedur (SOP) mengenai penatalaksanaan pasien di IGD. Penanganan penderita gawat darurat harus mengikuti prinsip dasar yang sudah berlaku umum, yaitu berdasar prioritas A (airway), B (breathing), C (circulation). Untuk langkah berikutnya yaitu D-E dan seterusnya dapat berlainan sesuai kasus yang dihadapi. Pada penderita gawat darurat, waktu sangat penting karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai Initial assessment (penilaian awal) lalu kita harus melakukan



primary survey,



secondary survey, dan terapi cairan. A. INNISIAL ASSESSMENT (PENILAIAN AWAL) 1. Persiapan a. Fase Pra-Rumah Sakit • Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas lapangan • Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum penderita mulai diangkut dari tempat kejadian • Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat penderita. b. Fase Rumah Sakit • Perencanaan sebelum penderita tiba • Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakan di tempat yang mudah dijangkau



6



• Cairan Kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan diletakan pada tempat yang mudah dijangkau • Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi apabila sewaktuwaktu dibutuhkan • Pemakaian alat-alat proteksi diri 2. Triase a.



Definisi Triage Triage berasal dari bahasa Perancis ‘trier’ , yang memiliki arti “menseleksi”, yaitu teknik untuk menentukan prioritas penatalaksanaan pasien atau korban berdasarkan derajat kegawatannya. Triage adalah suatu sistem pembagian/klasifikasi prioritas pasien berdasarkan berat ringannya kondisi klien/kegawatannya yang memerlukan tindakan segera. Dalam triage, perawat dan dokter mempunyai batasan waktu (respon time) untuk mengkaji keadaan dan memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit.



b. Tujuan Triage Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa. Tujuan triage selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang memerlukan pertolongan kedaruratan. Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu : 



Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien







Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan lanjutan







Memfasilitasi



alur



pasien



melalui



unit



gawat



darurat



dalam



proses



penanggulangan/pengobatan gawat darurat 7



Sistem Triage dipengaruhi : 



Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan







Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien







Denah bangunan fisik unit gawat darurat







Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis



c. Prinsip Triage Triage mempunyai 2 komponen : 1) Menyeleksi pasien dan menyusun prioritas berdasarkan beratnya penyakit 2) Alokasi dan rasionalisasi sumber daya yang ada Prinsip dasarnya adalah “melakukan yang terbaik untuk sebanyak-banyaknya korban”. Perhatian dititikberatkan pada pasien atau korban dengan kondisi medis yang paling gawat - darurat dan paling besar kemungkinannya untuk diselamatkan. d. Ruang Lingkup Triase Triage Pasien dilakukan di IGD, dengan menggunakan 5 Sistem pelevelan sebagai berikut : LEVEL I (Resusitasi)



RESPON Segera



KETERANGAN Pasien kritis nyawa



dalam dan atau



JENIS KASUS



keadaan Cardiac



arrest/henti



mengancam jantung anggota Anafilaksis



badannya menjadi cacat Trauma



multipel



/



bila tidak segera mendapat kompleks / cedera berat pertolongan atau tindakan yang darurat.



membutuhkan



resusitasi, syok,



8



(Gawat Darurat)



Pasien tidak sadar (GCS 39),



over



dosis,



kejang,



cedera kepala). Obstruksi jalan nafas berat II



≤ 15 menit



(Emergensi)



Pasien



berada



dalam Nyeri dada akut, aritmia



keadaan



gawat,



menjadi



kritis



mengancam tidak



akan jantung



cedera



dan kepala (GCS 10 - 13),



nyawa



segera



hebat,



bila Gangguan pernafasan berat



mendapat (PO2 < 85%)



pertolongan atau tidakan Nyeri



hebat,



darurat.



sengatan/gigitan binatang



(Gawat Tidak Darurat)



berbisa Overdosis (sadar) Gangguan psikiatri berat Perdarahan Fraktur luas Pasien dengan suhu > 39oC



III (Urgensi)



≤ 30 menit



Pasien



berada



dalam Cedera kepala (GCS 14-15)



keadaan tidak stabil, dapat Nyeri abdomen sedang berpotensi



menimbulkan Fraktur tertutup



masalah serius tetapi tidak Penyakit-penyakit akut memerlukan darurat,



tindakan Trauma dan



dengan



nyeri



tidak sedang



9



mengancam nyawa. (Darurat Tidak Gawat)



IV



≤ 60 menit



(less urgent)



Pasien keadaan



datang stabil,



dengan Cedera



kepala



ringan



tidak (tanpa muntah dan tanda-



mengancam nyawa, dan tanda vital normal), nyeri tidak memerlukan tindakan ringan segera. (Tidak



Nyeri kepala ringan gawat



tidak Sakit ringan



darurat) V (Rutin)



≤ menit



120 Pasien keadaan



datang stabil,



dengan Ganti verban tidak Permintaan rujukan



mengancam nyawa, tidak Kontrol ulang memerlukan segera,



tindakan Medical cek up hanya



membutuhkan perawatan lanjutan.



Penilaian dalam triage meliputi : 1.



Primary survey (C,A,B) untuk menghasilkan prioritas I dan seterusnya



2.



Secondary survey (Head to Toe) untuk menghasilkan prioritas I, II, III,dan selanjutnya



3.



Monitoring korban akan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan pada C, A, B, derajat kesadaran dan tanda vital lainnya.



4.



Perubahan prioritas karena perubahan kondisi korban



10



Menurut Brooker (2008), dalam prinsip triage diberlakukan sistem prioritas, prioritas adalah penentuan mana yang harus didahulukan mengenai penanganan dan pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul.: 1) Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan menit. 2) Dapat meninggal dalam hitungan jam. 3) Trauma ringan. 4) Sudah meninggal. Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Prioritas (Labeling) KLASIFIKASI Prioritas (Merah)



KETERANGAN



I Mengancam



jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi dan tindakan bedah segera,



mempunyai kesempatan hidup yang besar. Penanganan dan pemindahan bersifat segera yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Contohnya sumbatan jalan nafas, tension pneumothorak, syok hemoragik, luka terpotong pada tangan dan kaki, combutio (lukabakar) tingkat II dan III > 25%



Prioritas



II Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani dalam jangka



(Kuning)



waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat jangan terlambat. Contoh: patah tulang besar, combutio (luka bakar) tingkat II dan III < 25 %, trauma thorak / abdomen, laserasi luas, trauma bola mata.



Prioritas III Perlu penanganan seperti pelayanan biasa, tidak perlu segera. Penanganan dan (Hijau) Prioritas (Hitam)



pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka superfisial, luka-luka ringan 0 Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh henti jantung kritis, trauma kepala kritis



11



Gambar 1.1 Skema triage rumah sakit



e. Penatalaksanaan Triase Proses triage dimulai ketika pasien masuk ke pintu IGD. Perawat triage harus mulai memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayatsingkat dan melakukan pengkajian, misalnya melihat sekilas kearah pasienyang berada di brankar sebelum mengarahkan ke ruang perawatan yang tepat. Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan cepat, tidak lebih dari 5 menit karena pengkajian ini tidak termasuk pengkajian perawat utama. Perawat triage bertanggung jawab untuk menempatkan pasien di area pengobatan 12



yang tepat; misalnya bagian trauma dengan peralatan khusus, bagian jantung dengan monitor jantung dan tekanan darah, dll. Tanpa memikirkan dimana pasien pertama kali ditempatkan setelah triage, setiap pasien tersebut harus dikaji ulang oleh perawat utama sedikitnya sekali setiap 60 menit. Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau gawat darurat, pengkajian dilakukan setiap 5 - 15 menit / lebih bila perlu. Setiap pengkajian ulang harus didokumentasikan dalam rekam medis. Informasi baru dapat mengubah kategorisasi keakutan dan lokasi pasien di area pengobatan. Misalnya kebutuhan untuk memindahkan pasien yang awalnya berada di area pengobatan minor ke tempat tidur bermonitor ketika pasien tampak mual atau mengalami sesak nafas, sinkop, atau diaforesis. (Iyer, 2004). Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda - tanda objektif bahwa ia mengalami gangguan pada airway, breathing, dan circulation, maka pasien ditangani terlebih dahulu. Pengkajian awal hanya didasarkan atas data objektif dan data subjektif sekunder dari pihak keluarga. Setelah keadaan pasien membaik, data pengkajian kemudian dilengkapi dengan data subjektif yang berasal langsung dari pasien (data primer). Alur dalam proses triage : 1) Pasien datang diterima petugas / paramedis IGD. 2) Di ruang triage dilakukan anamnese dan pemeriksaan singkat dan cepat(selintas) untuk menentukan derajat kegawatannya oleh perawat. 3) Bila jumlah penderita/korban yang ada lebih dari 50 orang, maka triage dapat dilakukan di luar ruang triage (di depan gedung IGD).



13



4) Penderita dibedakan menurut kegawatannya dengan memberi kode warna: a) Segera - Immediate (merah) Pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya: Tension pneumothorax, distress pernafasan (RR< 30x/mnt),perdarahan internal, dsb. b) Tunda - Delayed (kuning) Pasien memerlukan tindakan defintif tetapi tidak ada ancaman jiwa segera. Misalnya : Perdarahan laserasi terkontrol, fraktur tertutup pada ekstrimitas dengan perdarahan terkontrol, luka bakar < 25% luas permukaan tubuh, dsb. c) Minimal (hijau). Pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan dan menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya : Laserasi minor, memar, lecet dan luka bakar superfisial. d) Expextant (hitam) Pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal meski mendapat pertolongan. Misalnya : Luka bakar derajat 3 hampir diseluruh tubuh, kerusakan organ vital, dsb. 5) Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna : merah, kuning, hijau, hitam. 6) Penderita / korban kategori triage merah dapat langsung diberikan pengobatan diruang tindakan IGD. Tetapi bila memerlukan tindakan medis lebih lanjut, penderita / korban dapat dipindahkan ke ruang operasi atau dirujuk ke rumah sakit lain.



14



7) Penderita dengan kategori triage kuning yang memerlukan tindakan medis lebih lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran setelah pasien dengan kategori triage merah selesai ditangani. 8) Penderita dengan kategori triage hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan, atau bila sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka penderita/korban dapat diperbolehkan untuk pulang. 9) Penderita kategori triage hitam dapat langsung dipindahkan ke kamar jenazah. (Rowles, 2007).



B. PRIMARY SURVEY (ABCDE) Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan, tandatanda vital dan mekanisme trauma. Tanda vital penderita harus dinilai secara cepat dan efisien. Tujuan : untuk mengetahui kondisi pasien yang mengancam jiwa dan kemudian dilakukan tindakan life saving. 1. Airway ( Jalan Nafas ) a. Pemeriksaan Jalan Nafas L = Look / Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga, warna mukosa / kulit dan kesadaran. L = Listen / Dengar aliran udara pernafasan F = Feed / Rasakan adanya aliran udara pernafasan b. Pengelolaan Jalan Nafas  Pengertian : tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan nafas dengan tetap memperhatikan kontrol servikal.



15



 Tujuan : membebaskan jalan nafas untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenasi tubuh.  Pengelolaan Jalan Nafas tanpa alat :  Membuka jalan nafas dengan proteksi servikal Chin Lift : dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan. Caranya : gunakan jari tengah dan telunjuk untuk memegang tulang dagu pasien kemudian diangkat. Head Tilt : dilakukan bila jalan nafas tertutup oleh lidah pasien. Caranya : letakkan satu telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah sehingga kepala menjadi tengadah dan penyangga leher tegang dan lidah pun terangkat ke depan. Jaw Thrust Caranya : dorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah depan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas. Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan teknik Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah. Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari. Kegagalan membuka nafas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya henti nafas (apnea)



16



Bila hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan peniupan udara melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan adanya sumbatan pada jalan nafas dan dilakukan maneuver Heimlich.  Membersihkan jalan nafas Sapuan Jari (finger sweep) Dilakukan apabila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga mulut belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya sehingga hembusan nafas hilang. Caranya : • Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot rahang lemas. • Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan sarung tangan / kassa / kain untuk membersihkan rongga mulut dengan gerakan menyapu.



 Mengatasi sumbatan nafas parsial Dapat digunakan teknik manual thrust : • Abdominal Thrust Caranya : penolong harus berdiri dibelakang korban, lingkari pinggang korban dengan kedua lengan penolong, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut korban, sedikit diatas pusar dan di bawah ujung tulang sternum. Pegang erat kepalan tangan



17



dengan tangan lainnya. Tekan kepalan tangan ke perut dengan hentakan yang cepat ke atas. Setiap hentakan harus terpisah dan gerakan yang jelas. • Chest Thrust Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antara kedua putting susu pasien). Bila penderita tidak sadar, tidurkan terlentang, lakukan chest thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan. • Back Blow Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak efektif atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada punggung korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung / vertebrae).  Pengelolaan dengan alat Cara ini dilakukan bila pengelolaan jalan nafas tanpa alat tidak berhasil dengan sempurna dan fasilitas tersedia. Peralatan dapat berupa :  Pemasangan Pipa (tube) • Dipasang dalan nafas buatan dengan pipa, bisa berupa pipa orofaring (mayo) pipa nasofaring atau pipa endotrakea tergantung kondisi korban • Penggunaan pipa orofaring dapat digunakan untuk mempertahankan jalan nafas tetap terbuka dan menahan pangkal lidah agar tidak jatuh kebelakang yang dapat menutup jalan nafas terutama bagi penderita tidak sadar 18



• Pemasangan pipa endotrakea akan menjamin jalan nafas tetap terbuka, menghindari aspirasi dan memudahkan tindakan bantuan pernafasan  Pengisapan benda cair (suctioning) • Bila terdapat sumbatan jalan nafas oleh benda cair. Pengisapan dilakukan dengan alat bantu pengisap (pengisap manual atau dengan mesin) • Pada penderita basis kranii maka digunakan suction yang keras untuk mencegah suction masuk ke dasar tengkorak  Membersihkan benda asing padat dalam jalan nafas • Bila pasin tidak sadar terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaringmaka tidak mungkin dilakukan sapuan jari, maka digunakan alat bantu berupa laringoskop, alat penghisap, alat penjepit  Membuka jalan nafas • Dapat dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi • Cara ini dipilih pada kasus yang manapemasangan pipa endotrakeal tidak mungkin dilakukan, dipilih tindakan krikotirotomi dengan jarum, untuk petugas medis yang terlatih, dapat melalukan krikotirotomi dengan pisau atau trakeostomi  Proteksi servikal • Dalam pengelolaan jalan nafas, jangan sampai melakukan control servikal terutama pada multiple trauma atau tersangkan cedera tulang leher. • Dipasang di tempat kajadian. Usahakan leher jangan banyak bergerak. Posisi kepala harus in line (segaris dengansumbu vertical tubuh).



19



2. Breating Memperbaiki fungsi ventilasi dengan cara memberikan pernafasan bantuan untuk menjamin kebutuhan oksigen dan pengeluaran gas karbon dioksida. Tujuan : menjamin pertukaran udara di paru-paru secara normal. Tindakan : a. Tanpa alat : memberikan nafas buatan dari mulut ke mulut atau dari mulut ke hidung sebanyak 2 tiupan awal dan di selingi ekshalasi b. Dengan alat : memberikan nafas buatan dengan menggunakan alat ”AMBU” bag yang dapat pula di tambahkan oksigen, dapat juga diberikan dengan menggunakan ventilator / respirator. 3. Circulation (perdarahan) Tindakan yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi tubuh yang tadinya terhenti atau terganggu. Tujuan : agar sirkulasi darah kembali berfungsi normal Gangguan sirkulai ditandai dengan : a. Tingkat kesadaran Bila volume darah menurun, perfusi otak berkurang yang akan menyebabkan penurunan kesadaran, tetapi penderita yang sadar belum tentu normovolemik. b. Warna kulit Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemi. Pasien tampak pucat, ekstremitas dingin, berkeringat dingin dan capillary refill time lebih dari 2 detik. c. Nadi Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda dari hipovolemik



20



4. Disability (status neurologis) Tindakan a. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS Metode Penilaian Derajat Skala Koma Glasgow GCS (Glasgow Coma Scale- Score) :  Eye-SCORE (kemampuan membuka mata/eye opening responses) • Nilai 4 : membuka mata spontan (normal) • Nilai 3 : dengan kata-kata akan membuka mata bila diminta • Nilai 2 : membuka mata bila diberikan rangsangan nyeri • Nilai 1 : tidak membuka mata walaupun dirangsang nyeri  Verbal-SCORE (memberikan respon jawaban secara verbal/verbal responses) • Nilai 5 : memiliki orientasi baik karena dapat memberi jawaban dengan baik dan benar pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan (nama, umur, dll) • Nilai 4 : memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawabannya seperti bingung (confused conservation) • Nilai 3 : memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawabannya hanya berupa kata-kata yang tidak jelas (inappropriate words) • Nilai 2 : memberikan jawaban berupa suara yang tidak jelas bukan merupakan kata (incomprehensible sounds) • Nilai 1 : tidak memberikan jawaban berupa suara apapun  Motor-SCORE (menilai respon motorik ekstremitas/motor responses) • Nilai 6 : dapat menggerakkan seluruh ekstremitas sesuai dengan permintaan • Nilai 5 :dapat menggerakkan ekstremitas secara terbatas karena nyeri (localized pain) • Nilai 4 : respon gerakan menjauhi rangsang nyeri (withdrawal) 21



• Nilai 3 : respons gerak abnormal berupa fleksi ekstremitas • Nilai 2 : respons gerak abnormal berupa gerak ekstensi • Nilai 1 : tidak ada respons berupa gerak b. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi. c. Evaluasi dan Re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi dan circulation. 5. Exposure Pasien harus benar-benar buka pakaian, biasanya dengan memotong pakaian. Kita harus menutupi pasien dengan selimut hangat untuk mencegah hipotermia. Cairan infuse harus dihangatkan dan lingkungan yang hangat dipertahankan. 6. Tambahan terhadap primery survey a. Monitoring EKG b. Kateter urin dan lambung c. Monitor saturasi, nadi dan tekanan darah d. Pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan tambahan lainnya



C. SECONDARY SURVEY Ketika survei primer selesai dan tanda-tanda vital normal, survei sekunder dapat dimulai. Survey sekunder adalah mencari perubahan yang dapat berkembang menjadi gawat dan mengancam jiwa harus segera diatasi dengan pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe). Survei sekunder seperti pemeriksaan fisik, X-ray dan termasuk penilaian ulang dari semua tandatanda vital. Setiap daerah tubuh harus benar-benar diperiksa.



22



• Secondary survey meliputi anamnesis (riwayat alergi, obat yang diminum sebelumnya, penyakit sebelumnya dan lingkungan yang berhubungan dengan kegawatan) dan pemeriksaan fisik lengkap. • Tujuan : Untuk mendeteksi penyakit atau trauma yang diderita pasien sehingga dapat ditangani lebih lanjut • Tambahan terhadap secondary survey: 1. Sebelum dilakukan pemeriksaan tambahan, periksa keadaan penderita dengan teliti dan pastikan hemodinamik stabil 2. Selalu siapkan perlengkapan resusitasi di dekat penderita karena pemeriksaan tambahan biasanya dilakukan di ruangan lain 3. Pemeriksaan tambahan yang biasanya diperlukan :  CT scan kepala, abdomen  USG abdomen,  Foto ekstremitas  Foto vertebra tambahan  Urografi dengan kontras • Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan 1. Penilaian ulang terhadap penderita, dengan mencatat dan melaporkan setiap perubahan pada kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi. 2. Monitoring tanda-tanda vital dan jumlah urin. 3. Pemakaian analgetik yang tepat diperbolehkan.



23



D. TERAPI CAIRAN 1. Pengertian : Tindakan yang dilakukan dengan pemberian cairan untuk mengatasi syok dan menggantikan volume cairan yang hilang akibat perdarahan atau dehidrasi. 2. Tujuan : Ketika terjadi gangguan homeostasis, harus segera diberikan terapi untuk mengembalikan keseimbangan air dan elektrolit. 3. Penilaian klinis kebutuhan cairan :1  Nadi ada dan penuh berarti volume sirkulasi adekuat  Ekstremitas (telapak tangan/kaki) kemerahan/pink dan Capillary Refill Time kembali cepat < 2 detik berati sirkulasi adekuat  Edema perifer dan ronki paru mungkin terjadi hipervolumia  Takikardi saat istirahat, tekanan darah menurun bisa jadi sirkulasi abnormal  Turgor kulit menurun, mukosa mulut kering dan kulit tampak keriput : defisit cairan berat  Produksi urin yang rendah bisa jadi karena hipovolumia 4. Jalur masuk Cairan :  Enteral : oral atau lewat pipa nasogastric  Parenteral : lewat jalur pembuluh darah vena  Intraoseous : pada pasien balita 5. Jenis-jenis cairan  Enteral : oralit (oral rehidration solution), larutan gula garam, dll.  Parenteral : kristaloid, koloid dan transfuse 6. Cairan parenteral Kristaloid :  Kelompok cairan non ionik yang kebanyakan bersifat iso-osmolar 24



 Tidak mengandung partikel onkotik sehingga tidak menetap di intravascular  Cairan ini baik untuk tujuan mengganti kehilangan volume terutama kehilangan cairan interstisial.  Harganya murah, tidak menyebabkan reaksi anafilaksis  Pemberian berlebih akan menyebabkan edema paru dan edema perifer.  Untuk resusitasi digunakan Ringer Laktat (RL), Ringer Asetat (RA) dan NaCl 0,9% Koloid :  Cairan yang mengandung partikel onkotik yang dapat menyebabkan tekanan onkotik  Sebagian besar menetap di intravaskuler  Koloid yang bersifat plasma ekspander akan menarik cairan ekstravaskuler ke intravaskuler  Dapat menyebabkan reaksi anafilaksis  Harganya mahal  Pemberian berlebih dapat menyebabkan edema paru tetapi tidak akan menyebabkan edema perifer.  Untuk resusitasi digunakan Dekstran, HES, gelatin 7. Pemberian Cairan a. Dehidrasi ringan atau sedang • sejumlah cairan dibagi dalam waktu 24 jam pertama sambil diawasi perubahan gejala klinis yang terjadi, perubahan Ht, plasma elektrolit dan perubahan tekanan vena sentral



25



b. Dehidrasi berat • Tahap I: rehidrasi cepat diberikan cairan 20-40 ml/KgBB dalam 1 – 2 jam. • Tahap II : setengah sisa defisit tahap I diberikan dalam waktu 6 jam. • Tahap III : sisa defisit diberikan selama 16 – 17 jam 8. Monitoring dalam Pemberian Cairan Menjaga



supaya



pemberian



cairan



tidak



mengalami



kelebihan



atau



kekurangan,meliputi : a. Perubahan gejala klinis yang mencerminkan fungsi susunan saraf pusat, misalnya: penurunan kesadaran b. .Perubahan sistem kardiovaskuler, meliputi : Nadi, tekanan darah, hilangnya kolaps vena perifer. c. Perubahan turgor. d. Perubahan produksi urine. e. Perubahan-perubahan haematokrit, elektrolit dan lain sebagainya



E. Transfusi darah • Penyediaannya membutuhkan golongan darah donor dan resipien serta cross check darah • Agar aman diperlukan pemeriksaan darah yang lengkap seperti malaria, hepatitis, HIV dan lain-lain • Dapat menyebabkan reaksi tranfusi • Untuk resusitasi biasanya dalam bentuk Whole Blood Concentrate (WBC).



26



• Merupakan pilihan terakhir oleh karena bersifat RED ( Rare Expensive Dangers). Rare = penyediaannya terbatas, Expensive = harganya mahal, Dangers = berbahaya karena bisa menyebabkan reaksi transfusi dan penyebaran penyakit. Dalam penatalaksanaan transfusi darah, kita harus melihat gejala klinis dan tingkat perdarahan.  Minimal : 10-15% EBV (Estimated Blood Volume).  Shock ringan, akral mulai dingin, kehilangan darah : 15-25% EBV.  Shock sedang (Tensi 120 kali per menit), kehilangandarah : 25-35% EBV.  Shock berat, perfusi sangat buruk, tensi tidak terukur, nadi tidak teraba, gangguan kesadaran, kehilangan darah : > 35% EBV. Cara Pemberian :  Perdarahan sampai dengan 10% EBV, tubuh masih dapat mentolerir dengan baik.  Perdarahan 10-15% EBV : diganti dengan cairan kristaloid sebanyak 2,5-3 kali perkiraan jumlah darah yang hilang.  Perdarahan 15-25% EBV : diganti dengan cairan koloid sejumlah darah yang hilang.  Perdarahan >25% EBV : diganti darah sejumlah darah yang hilang. Kehilangan darah 30-50% EBV masih dapat diatasi sementara dengan cairan sampai transfusi darah tersedia. Pergantian cairan sesuai perkiraan jumlah darah yang hilang (Estimate Blood Loss) : a. Kristaloid (Ra, NaCl 0,9 %, RA) : 2 – 4 kali EBL b. Koloid • Gelatin : 2 kali EBL • Dekstran, HES : 1 kali EBL 27



BAB IV DOKUMENTASI



Dokumen adalah suatu catatan yang dapat dibuktikan atau dijadikan bukti dalam persoalan hukum, sedangkan pendokumentasian adalah pekerjaan mencatat atau merekam peristiwa dan objek maupun aktifitas pemberian jasa (pelayanan) yang dianggap berharga dan penting. Dokumentasi asuhan dalam pelayanan keperawatan adalah bagian dari kegiatan yang harus dikerjakan oleh perawat setelah memberi asuhan kepada pasien. Dokumentasi merupakan suatu informasi lengkap meliputi status kesehatan pasien, kebutuhan pasien, kegiatan asuhan keperawatan serta respons pasien terhadap asuhan yang diterimanya. Dengan demikian dokumentasi keperawatan mempunyai porsi yang besar dari catatan klinis pasien yang menginformasikan faktor tertentu atau situasi yang terjadi selama asuhan dilaksanakan. Disamping itu catatan juga dapat sebagai wahana komunikasi dan koordinasi antar profesi (Interdisipliner) yang dapat dipergunakan untuk mengungkap suatu fakta aktual untuk dipertanggung-jawabkan. Dokumentasi asuhan keperawatan merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan yang dilaksanakan sesuai standar. Dengan demikian pemahaman dan ketrampilan dalam menerapkan standar dengan baik merupakan suatu hal yang mutlak bagi setiap tenaga keperawatan agar mampu membuat dokumentasi keperawatan secara baik dan benar. Dokumentasi yang berasal dari kebijakan yang mencerminkan standar nasional berperan sebagai alat manajemen resiko bagi perawat IGD. Hal tersebut memungkinkan peninjau yang objektif menyimpulkan bahwa perawat sudah melakukan pemantauan dengan tepat dan mengkomunikasikan perkembangan pasien kepada tim kesehatan. Pencatatan, baik dengan komputer, catatan naratif, atau lembar alur harus menunjukkan 28



bahwa perawat gawat darurat telah melakukan pengkajian dan komunikasi, perencanaan dan kolaborasi, implementasi dan evaluasi perawatan yang diberikan, dan melaporkan data penting pada dokter selama situasi serius. Lebih jauh lagi, catatan tersebut harus menunjukkan bahwa perawat gawat darurat bertindak sebagai advokat pasien ketika terjadi penyimpangan standar perawatan yang mengancam keselamatan pasien. Pada tahap pengkajian proses triage, mencakup dokumentasi : 



Informasi dasar : nama, umur, jenis kelamin, cedera, penyebab cedera, pertolongan pertama yang telah diberikan







Tanda-tanda vital : tensi, nadi, respirasi, kesadaran







Diagnosis singkat tapi lengkap







Kategori triage







Urutan tindakan preoperatif secara lengkap Rencana perawatan lebih sering tercermin dalam instruksi dokter serta dokumentasi



pengkajian dan intervensi keperawatan daripada dalam tulisan rencana perawatan formal (dalam bentuk tulisan tersendiri). Oleh karena itu, dokumentasi oleh perawat pada saat instruksi tersebut ditulis dan diimplementasikan secara berurutan, serta pada saat terjadi perubahan status pasien atau informasi klinis yang dikomunikasikan kepada dokter secara bersamaan akan membentuk “landasan” perawatan yang mencerminkan ketaatan pada standar perawatan sebagai pedoman. Dalam implementasi perawat gawat darurat harus mampu melakukan dan mendokumentasikan tindakan medis dan keperawatan, termasuk waktu,sesuai dengan standar yang disetujui. Perawat harus mengevaluasi secara kontinu perawatan pasien berdasarkan hasil yang dapat diobservasi untuk menentukan perkembangan pasien ke arah hasil dan tujuan dan harus mendokumentasikan respon pasien terhadap intervensi 29



pengobatan dan perkembangannya. Standar Joint Commision (1996) menyatakan bahwa rekam medis menerima pasien yang sifatnya gawat darurat, mendesak, dan segera harus mencantumkan kesimpulan pada saat terminasi pengobatan, termasuk disposisi akhir, kondisi pada saat pemulangan, dan instruksi perawatan tindak lanjut. Komunikasi dan dokumentasi dalam pelaksanaan Triase pasien menggunakan metode SBAR yaitu :



30



Format pendokumentasian model SBAR adalah sebagai berikut :



S B A R



• Diagnosa Medis • Masalah Keperawatan • Sign and symptome dari masing-masing masalah keperawatan: • Data subjektif • Data Objektif • Analisa dari data-data yang ada di background ( B ) sesuai masalah keperawatan • Mengacu kepada tujuan dan kriteria hasil masing-masing diagnosa keperawatan. • Intervensi mandiri/ kolaborasi yang prioritas dikerjakan • Hal-hal khusus yang harus menjadi perhatian



31



BAB V KESIMPULAN



IGD adalah salah satu unit di rumah sakit yang harus dapat memberikan pelayanan daruratkepada masyarakat yang menderita penyakit akut dan mengalami kecelakaan, sesuai dengan standar. Standar operasional prosedur dan alur pelayanan : Pelayanan triase, Ruang resusitasi, Ruang observasi, Pelayanan rekam medik 24 jam, Standar fasilitas medic, Standar tenaga kerja yang kompeten. Dalam melakukan penatalaksanaan penderita gawat darurat, kita menggunakan prinsip “Time saving is life saving” yang berarti diperlukan penanganan secara cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa pasien serta mencegah kecacatan. Penderita gawat darurat harus dievaluasi dengan cepat dan tepat agar dapat dilakukan prioritas terapi. Baik primary survey maupun secondary survey harus dilakukan secara terus menerus sehingga bisa memantau perubahan kondisi pasien agar dapat memberikan terapi yang sesuai. Ketika penderita datang ke IGD, penderita akan memasuki area triase di mana dokter akan dengan cepat dan tepat menilai kondisinya sehingga dapat menentukan tindakan yang harus diambil.



32



DAFTAR PUSTAKA



1. Instalasi



Gawat



Darurat.



Available



from



:



http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28926/4/Chapter%20II.pdf. Diunduh pada tanggal 29 Desember 2012. 2. Herkutanto. Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 57, Nomor: 2, 2007. 3. Instalasi



Gawat



Darurat.



Available



from



:



http://www.medistra.com/index.php?



option=com_content&view=article&id=54. Diunduh pada tanggal 29 Desember 2012. 4. Wijono,DJ. Manajemen Mutu Pelayanan Rumah Sakit. Surabaya: Airlangga University Press, 1994. 5. Alur Pelayanan Pasien. Available from: http://www.scribd.com/doc/79491521/Aplikasi-IGD. Diunduh pada tanggal 29 Desember 2012. 6. Husain, F.W., dkk. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Depkes RI. Jakarta. 1992. 7. Burstein, Jonathan L., dkk. Disaster medicine. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. 2007. 20-7 8. The Glasgow Coma Scale: Clinical Application in Emergency Departments. Emergency Nurse. 2006. 30-5. 9. TRIASE.



Available



from:



http://innecomcreative.blogspot.com/2011/03/pelaksanaan-



triagemetode- start-pada.html. Diunduh pada tanggal 29 Desember 2012. 10. Green, S. M. Cheerio, Laddie! Bidding Farewell to the Glasgow Coma Scale. Annals of emergency medicine, Elsevier Inc. 2011. 427-30. 11. Bouillon, Kanz KG, dkk,. The Importance of Advanced Trauma Life Support (ATLS) in the emergency room (in German). Unfallchirurg. 2004. 844–50. 12. Amal Mattu, Deepi Goyal, dkk,. Emergency medicine: avoiding the pitfalls and improving the outcomes. Malden, Mass: Blackwell Pub./BMJ Books. 2007. 55-6 33



13. Guyton AC. Buku Teks Fisiologi Kedokteran. Terjemahan Dharma A, Lukmanto P, CV EGC. Penerbit Buku Kedokteran Jakarta, 1981 14. Mangku G., Senapathi TGA., Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reaminasi. Jakarta:PT. Macanan Jaya Cemerlang. 2010. 15. Ery Leksana. Terapi Cairan dan Elektrolit. Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2004.



34