Paper Kebijakan Evaluasi Pelaksanaan Redistribusi Tanah Pertanian [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Paper Kebijakan Evaluasi Pelaksanaan Redistribusi Tanah Pertanian



DITERBITKAN OLEH: PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL 2014



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional 2014



Ringkasan Eksekutif



A.



Pentingnya Situasi Permasalahan



Tanah untuk petani merupakan suatu syarat mutlak untuk keberhasilan suatu program landreform terutama bagi Indonesia, suatu pemerataan yang sudah merupakan kehendak politik pemerintah (Parlindungan, 1987:92). Sehingga Landreform merupakan kegiatan yang berkaitan langsung dengan upaya “pemerataan”, sangat strategis posisinya dan dapat berperan besar dalam melaksanakan penataan penguasaan tanah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sasaran kegiatan Landreform ini meliputi Redistribusi tanah pertanian, luas maksimum penguasaan tanah pertanian, Tanah Absentee/ Guntai, ganti rugi tanah pertanian, bagi hasil tanah pertanian, dan gadai tanah pertanian. Redistribusi tanah pertanian merupakan kegiatan Landreform yang paling menonjol dan merupakan kegiatan utama Landreform yang bersumber dari tanah obyek landreform (TOL). Kegiatan ini dilaksanakan sejak 1961, merupakan usaha pemerintah untuk meningkatkan kepemilikan tanah petani yang tidak mempunyai tanah pertanian dan petani yang mempunyai tanah pertanian sempit (“petani gurem”). Kegiatan ini merupakan inisiasi pemerintah untuk membagikan TOL secara adil dan merata kepada penerima tanah pertanian yang memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kesejahteraannya, baik bagi petani yang belum mempunyai tanah pertanian maupun petani yang mempunyai luasan tanah yang sempit (“petani gurem”), dimana hasil pertaniannya belum cukup untuk menopang kehidupan keluarga petani. Oleh karena itu Redistribusi tanah pertanian diharapkan akan menjadi sistem koreksi terhadap permasalahan ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian (Direktorat Landreform, 2014). Redistribusi tanah pertanian yang dilaksanakan sejak 1962 sampai dengan 2009, telah meredistribusikan tanah pertanian seluas 1,58 juta hektar kepada 1,74 juta keluarga petani dengan ratarata luas tanah pertanian 0,91 hektar per Kepala Keluarga (Direktorat Landreform, Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, 2009:4-11). Sejak masa orde baru, pelaksanan landreform, termasuk kegiatan redistribusi tanah berjalan lambat. Peningkatan tajam kegiatan redistribusi tanah terlihat ketika kembali digiatkannya



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



iii



redistribusi tanah sebagai bagian pelaksanaan Reforma Agraria. Kegiatan tersebut dikenal dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Berdasarkan data dari Direktorat Landreform tahun 2014, pelaksanaan redistribusi tanah dari tahun 1961 hingga 2014 tersebut telah mencapai 2.305.804 ha. Pelaksanaan redistribusi tanah pertanian bersentuhan langsung dengan masyarakat, khususnya masyarakat petani. Namun masyarakat masih mengganggap hasil dan pelaksanaan redistribusi tanah pertanian belum seperti yang diharapkan. Sorotan masyarakat terhadap hasil dan pelaksanaan redistribusi tanah pertanian tersebut meliputi: 1. Adanya sinyalemen bahwa tanah yang diterima diperjualbelikan, 2. Pelaksanaan redistribusi yang lambat, dan 3. Penerima tanah yang tidak sesuai ketentuan Sorotan ini menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap manfaat redistribusi tanah pertanian yang selama ini telah dilaksanakan (BPN RI, 2013: 6). Sedangkan permasalahan yang mengemuka dalam pelaksanaan redistribusi tanah pertanian meliputi: 1. Tanah Obyek Landreform (TOL) yang semakin terbatas, 2. Subyek tidak tepat sasaran atau tidak sesuainya pekerjaan subyek Redistribusi TOL dengan yang dipersyaratkan (petani), 3. Tanah redistribusi diperjualbelikan, karena tidak patuh terhadap larangan pengalihan hak atas tanah selama 10 tahun, 4. Timbulnya kepemilikan tanah absentee baru, 5. Timbulnya kepemilikan tanah di atas batas kepemilikan maksimum 5 ha, dan 6. Akses Reform masih ada yang tidak dilaksanakan Keenam permasalahan tersebut merupakan permasalahan dalam pelaksanaan redistribusi



tanah



yang



bertentangan



dengan



peraturan



perundangan.



Pertanyaannya, apakah peraturan perundangan yang berlaku saat ini perlu untuk



iv



dirubah atau cukup direvisi saja, karena sudah tidak relevan dengan perkembangan masyarakat atau hanya memerlukan penegakan hukum terhadap implementasi



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



peraturan perundangan? Permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaan redistribusi tanah pertanian perlu dicarikan solusinya agar pelaksanaan redistribusi tanah dapat berjalan dengan baik sesuai dengan harapan. Solusi yang dihasilkan diharapkan dapat memperlancar pelaksanaan redistribusi tanah pertanian, sehingga dapat memperbaiki penguasaan dan pemilikan tanah petani agar luasan tanah pertaniannya dapat layak baik secara ekonomi, sosial dan budaya dan meningkatkan kesejahteraan petani. B.



Highlight Analisis Alternatif



Alternatip kebijakan untuk mengatasi permasalahan dalam pelaksanaan Redistribusi tanah pertanian dapat dilakukan melalui dua cara yaitu: 1. Mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah serta Pemberian Ganti Kerugian Pasal-pasal yang perlu dirubah dalam PP No. 224 Tahun adalah sebagai berikut: a. Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa sumber-sumber tanah obyek landreform (TOL) adalah: 1) tanah kelebihan batas maksimum 2) tanah-tanah absentee 3) tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja 4) tanah-tanah negara lainnya yang ditegaskan Sumber-sumber TOL poin 1,2,3 saat ini sangat terbatas jumlahnya, sehingga perlu diperluas. b. Pasal 8 dan 9 PP 224 Tahun 1961 mengatur mengenai prioritas penerima TOL adalah petani. Namun kondisi saat ini TOL yang akan dibagikan sudah digarap secara terus menerus baik oleh yang bersangkutan maupun pendahulunya sehingga pada prakteknya yang mendapatkan redistribusi TOL adalah petani dan bukan petani murni. Namun pasal 10 UUPA menyatakan bahwa tanah pertanian pada azasnya diwajibkan/ mengusahakan sendiri secara aktif, sehingga untuk menyatakan seorang



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



v



sebagai petani dapat juga dilihat dari waktu yang digunakan untuk mengerjakan tanah pertanian secara aktif, agar subyek redistribusi tanah menjadi tepat sasaran. c.



Pasal 3 PP 224 Tahun 1961 dan SE.No 381/19.1-100/II/2014) yang memberikan batasan bahwa penerima redistribusi tanah harus bertempat tinggal di kecamatan letak tanah yang berbatasan. Ketentuan tanah absentee yang didasarkan atas wilayah administratif hendaknya ditinjau kembali dan diusulkan didasarkan pada Jarak tempuh sesuai dengan kondisi daerah.



d. Pasal 17 PP 224 Tahun 1961 mengenai pembentukan koperasi pertanian. Namun pada kenyataannya koperasi pertanian ini tidak terbentuk. Pasal 18 mengenai pembentukan bank koperasi tani untuk memberikan kredit kepada petani yang baru mendapat TOL untuk menggarap pertama kali dan mencegah tanah jatuh kembali ke tuan-tuan tanah. Sehingga perlu adanya bank yang berpihak kepada petani (Bank Koperasi Petani). Bank tersebut akan memberikan kemudahan dalam kredit pertanian dengan bunga yang rendah dan menyalurkan saprodi. Selain itu perlu dibentuk asuransi pertanian (Crop Insurance) untuk memberikan asuransi atas keberlangsungan tanah pertanian (Amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013). Pasal 17 dan 18 diubah menjadi ketentuan untuk melaksanakan akses reform Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, agar petani dapat memperoleh akses reform, sehingga petani dapat mengakses seluruh kebutuhan yang diperlukannya baik modal atau ketrampilan dan lainnya. 2. Mengubah seluruh peraturan yang terkait dengan Landreform a. UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Pasal 1 ayat 2 bahwa selama ini mengatur batas maksimum tanah seluas 5 hektar yang dapat dikuasai dan bukan berarti dimiliki oleh RTP. Mengingat



vi



kepadatan penduduk semakin meningkat maka batas maksimum bisa ditetapkan kurang dari 5 ha (sesuai SE Nomor 381/19.1-100/II/2014) tentang mekanisme penyelesaian subjek dan/atau objek redistribusi tanah



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



yang tidak sesuai dengan ketentuan. Kepemilikan tanah perlu ditetapkan sesuai kondisi dimasing-masing daerah. b. Pasal 8 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang menyatakan bahwa Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar setiap RTP memiliki tanah pertanian minimum 2 ha. c.



Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 263 Tahun 1964 Tentang Penyempurnaan Panitia Landreform sebagaimana termaksud dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 1961 jo Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 1961 Tentang Organisasi Penyelenggaraan Landreform. Berdasarkan Keppres 34 Tahun 2003 bahwa kewenangan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota kecuali jika wilayahnya melintasi kabupaten/kota maka kewenangannya penetapan subyek dan obyek reditribusi tanah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi. Panitia Pertimbangan Landreform (PPL) terdiri dari PPL Pusat, PPL Tingkat I, PPL Tingkat II, PPL Kecamatan dan PPL Desa. PPL yang aktif saat ini hanya PPL Kabupaten/Kota yang seharusnya PPL Pusat dan PPL Tingkat I, PPL Kecamatan dan PPL Desa tetap aktif.



d. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pasal 55 bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memberikan ketersedian lahan pertanian yang dilakukan melalui konsolidasi lahan pertanian. Sesuai dengan kewenangannya pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan perluasan lahan pertanian melalui penetapan tanah terlantar. Instrumen untuk melaksanakan kewenangan tersebut melalui redistribusi tanah. e. Keppres No. 34 Tahun 2003 kewenangan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee telah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/ Kota. Redistribusi sebagai bagian dari Landreform dan Reforma Agraria seharusnya merupakan Grand Design nasional. Untuk itu perlu dilakukan



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



vii



peninjauan kembali Keppres 34 Tahun 2003, karena kewenangan tersebut masih dilaksanakan atau menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Kabupaten/Kota



sesuai



dengan



Keppres



tersebut.



Berdasarkan



Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia pada Pasal 17 menyatakan bahwa Deputi Bidang Hak Tanah, Pendaftaran Tanah dan Pemberdayaan Masyarakat menyelenggarakan fungsi pelaksanaan pengaturan dan penetapan penguasaan dan kepemilikan tanah (Landreform). Terjadi paradoks antara Keppres No. 34 Tahun 2003 dengan Perpres No. 63 Tahun 2013 dalam hubungannya dengan pelaksanaan fungsi landreform C.



Rekomendasi Kebijakan



Alternatip kebijakan yang direkomendasikan untuk mengevaluasi pelaksanaan redistribusi tanah pertanian adalah tidak hanya mengubah PP No. 224 Tahun 1961, tetapi juga mempertimbangkan secara komprehensif peraturan yang terkait dengan Landreform atau berupa payung hukum baru yang komprehensif.



viii



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



ix



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



Kata Pengantar



P



uji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas perkenanNya “Paper Kebijakan Evaluasi Pelaksanaan Redistribusi Tanah Pertanian” dapat tersusun. Paper kebijakan ini bertujuan untuk melihat permasalahan



dalam pelaksanaan redistribusi tanah guna menghasilkan rekomendasi bagi perbaikan kebijakan redistribusi tanah dalam konteks reforma agraria. Redistribusi tanah merupakan suatu upaya untuk mencapai kesejahteraan petani terutama bagi petani yang belum memiliki tanah pertanian. Upaya ini dimaksudkan untuk pemerataan dan keadilan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian dan memperkecil kesenjangan sosial. Redistribusi tanah sebagai bagian dari pelaksanaan Landreform telah dilaksanakan Pemerintah sejak tahun 1961. Namun dalam pelaksanaan redistribusi tanah ternyata banyak kendala dan permasalahan. Permasalahan tersebut baik terkait konsep redistribusi tanah dan pelaksanaannya, subyek, obyek maupun mekanisme redistribusi tanah. Paper kebijakan ini membahas segala permasalahan tersebut yang diangkat dari hasil penelitian, pendapat para praktisi pertanahan di BPN Pusat dan Daerah, maupun dari pakar dan pengamat pertanahan. Hasil dari paper kebijakan ini berupa rekomendasi terhadap permasalahan redistribusi tanah terkait perlunya penyesuaian pasal-pasal dalam peraturan redistribusi tanah dan pelaksanaan redistribusi tanah yang “feasible” di masa depan. Pada akhirnya, tim penyusun paper kebijakan ini berharap agar rekomendasi dari paper kebijakan ini dapat bermanfaat untuk memberikan masukan terhadap penyusunan revisi kebijakan redistribusi tanah.



Penyusun,



Tim Paper Kebijakan



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



xi



Daftar Isi







Ringkasan Eksekutif A. Pentingnya Situasi Permasalahan B. Highlight Analisis Alternatif C. Rekomendasi Kebijakan



ii iii v viii



Kata Pengantar



x



Daftar Isi



xii







BAB I



Pendahuluan



1







BAB II



Permasalahan Pelaksanaan Redistribusi Tanah A. Pendekatan Masalah B. Permasalahan dalam Pelaksanaan Redistribusi Tanah



11 12 12







BAB III



Langkah-Langkah Yang Telah Ditempuh Untuk Memecahkan Masalah



31







BAB IV



Alternatif Kebijakan



47



Daftar Pustaka



xiii



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



1



BAB I Pendahuluan PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



Tanah merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraannya, sehingga Pemerintah menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Amanat ini kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Untuk mencapai kemakmuran rakyat terutama petani, maka UUPA membatasi penguasaan dan pemilikan tanah pertanian. Ketentuan pasal 17 UUPA jo pasal 7 UUPA tentang pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah (pertanian dan non pertanian) perlu diatur lebih lanjut dalam perundangundangan Landreform, yaitu UU No. 56 prp tahun 1960, PP No. 224 Tahun 1961, PP No. 4 Tahun 1997 tentang, UU No. 2 Tahun 1960 dan lainnya, khususnya untuk luas maksimum tanan non pertanian yang diperintahkan oleh pasal 12 UU No. 56 prp 5/1960 akan diatur lebih lanjut dengan peraturan PP sampai saat ini belum ada. Untuk itu Peraturan No. 56 prp 1960 direvisi. Pasal 7 UUPA yang menyatakan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Sehingga tanah-tanah yang merupakan tanah kelebihan dari batas maksimum diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 17 UUPA ayat 3). UU Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 merupakan salah satu



tonggak



utama pelaksanaan Landreform di Indonesia paska kemerdekaan Indonesia. UU ini sendiri merupakan salah satu dari rangkaian undang-undang yang memang dicanangkan untuk melaksanakan perubahan struktur agraria yang memang timpang paska kolonialisme. Di masa kolonial, penguasaan, pemilikan dan pengelolaan sumber daya agraria praktik dikuasai oleh negara, yang dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan swasta yang diberi kewenangan



2



untuk itu. Tidak hanya dari segi struktur penguasaan dan pemilikan tanah, namun juga ada ketimpangan dari sisi pengelolaan, seperti sistem bagi hasil (tenancy) yang sangat eksploitatif dan merugikan pihak penggarap. Bahkan UU Bagi Hasil dikeluarkan terlebih dahulu dibandingkan UU Pokok Agraria melalui UU No. 2 Tahun 1960 (Mulyani dkk, 2011:67).



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



Boedi Harsono sebagaimana dikutip Hutagalung (2011) menyebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan Landreform sebagai bagian dari perombakan kebijakan agraria paska kemerdekaan, setidaknya ada 5 (lima) program atau lebih dikenal dengan “Panca Program” yang harus dilaksanakan. 1.



Pembaharuan hukum agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum;



2.



Penghapusan terhadap segala macam hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;



3.



Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;



4.



Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta berbagai hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan pengusahaan atas tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan;



5.



Perencanaan persediaan, peruntukan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya serta penggunaannya secara terencana sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.



Landreform merupakan amanat pada tanggal 17 Agustus 1960 sebagai bagian mutlak dari Revolusi. Landreform dinyatakan dalam TAP MPRS No. II/1960, Pasal 4 ayat (3) adalah basis pembangunan Semesta. TAP MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan pada masa ini yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh manusia (Iâ exploitation de Iâ homme per Iâ homme); kemandirian ekonomi; dan anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda pokoknya. Untuk itu pada tanggal 1 Januari 1961, pada upacara pengayunan cangkul Pembangunan Semesta Nasional Berencana, Presiden Soekarno memerintahkan supaya Landreform mulai dilaksanakan. Dengan demikian, keberadaan Landreform tidak terlepas dari UUPA sebagai salah satu agenda perombakan dan pembentukan struktur agraria pada saat itu. Paket perundang-undangan Landreform dimulai dengan diterbitkannya UU No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir, UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil dan UU No. 56/prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. PP ini diterbitkan dalam



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



3



rangka mengidentifikasi dan memberikan kepastian hukum hak atas tanah sesuai dengan jenis hak atas tanah dalam UUPA. Adapun untuk mendukung pelaksanaan pemberian ganti kerugian atas tanah-tanah yang ditetapkan sebagai tanah obyek Landreform maka diterbitkan PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Sejak pelaksanaan landreform. ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah terutama di pedesaan masih tinggi. Petani mempunyai tanah yang sempit (petani gurem), sehingga hasil pertaniannya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan banyak petani yang tidak mempunyai tanah dan menjadi buruh tani. Berdasarkan sensus pertanian 2003 - 2013, selama kurun waktu 10 tahun terakhir terjadi pengurangan lima juta rumah tangga petani (RTP) atau 16,19 persen RTP. Jumlah petani gurem atau RTP yang memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar berkurang, bahkan khusus petani yang memiliki tanah 0,1 ha berkurang lebih dari 53 persen. RTP yang memiliki tanah lebih dari 1 sampai dengan 1,9 hektar bertambah 1,76 persen (Nata Menggala, 2014). Kemiskinan menurut Kartika (2014) terjadi melalui proletarisasi di pedesaan sebagai hasil dari konsentrasi penguasaan tanah oleh unit-unit usaha pertanian skala besar dan laju konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Pada tahun 2012, 76 % orang miskin bekerja di sektor pertanian di pedesaan (45,87 % atau 2,838 juta orang berada di Jawa), sementara itu lahan pertanian untuk orang miskin semakin menyempit. Antara 2003-2013, terjadi penurunan 5,04 juta petani yg menguasai dibawah 0,1 ha. Sementara itu, pertumbuhan perusahan pertanian dari 4011 (2003) menjadi 5486 (2013). Hal ini tidak disertai dengan meningkatnya luasan lahan yang digarap oleh rumah tangga petani miskin, tetapi ditandai pula dgn terjadinya alih profesi/migrasi petani ke sektor lain (sektor informal, buruh lepas, TKI, dll). Terjadinya percepatan konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Dalam periode 1992–2002, laju tahunan konversi lahan baru 110.000 hektar. Selanjutnya, pada periode 2002-2006 melonjak menjadi



4



145.000 hektar per tahun. Artinya, selama 15 tahun laju penyusutan lahan pertanian mencapai 1,935 juta ha atau 120.000 ha/tahun (Khudori). Erizal, 2014, mengungkapkan bahwa berkaitan dengan tanah pertanian di Indonesia :



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



1.



Total luas lahan pertanian 70 juta ha, yang efektif untuk produksi pertanian adalah 45 juta ha.



2.



Produk pangan utama dihasilkan dari lahan sawah seluas 7,9 juta ha dan di lahan kering seluas 15,6 juta.



3.



Untuk ketahanan pangan secara lestari, diperlukan lahan pertanian sekitar 1200m2/kapita, saat ini rata-rata baru sekitar 765 m2/kapita



4.



Luas lahan sawah cenderung berkurang sebagai akibat alih fungsi lahan (50-70 ribu ha per tahun) sementara pencetakan sawah 20-40 ribu ha per tahun.



5.



Fenomena terbaru, alih fungsi lahan sawah ke perkebunan (sawit). Selama tahun 2002-2010 tercatat sebanyak 20.069 hektar areal persawahan di Riau beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.(Bappeda Riau, 2011).



Bila dilihat dari luasan tanah pertanian per kapita Indonesia terhadap negaranegara lainnya maka luasannya termasuk yang kecil dengan 337 m2/orang, masih kalah luas dengan India yang penduduknya lebih banyak 5 kali lipatnya dari Indonesia. Ini menunjukkan bahwa penurunan tanah pertanian di Indonesia sangat tajam dan pengembaliannya melalui program redistribusi tanah menjadi salah satu solusi penting.



Negara 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.



Luas Lahan Pertanian (ribuan ha)



Argentina Australia Banglades Brazil Canada China India Thailand USA Vietnam Indonesia



33.700 50.304 8.085 58.865 45.740 143.625 161.750 31.839 175.209 7.500 7.750 (LS) 9.788/17.538 (+LK)



Jumlah Penduduk (ribuan orang) 37.074 119.153 123.408 171.796 30.769 1.282.172 1.016.938 60.925 285.003 78.137 230.000



Luas Lahan Pertanian per Kapita (m2/orang) 9.100 26.100 655 3.430 14.870 1.120 1.290 5.230 6.150 960 337 428/765



Sumber : Erizal, Kementan 2014



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



5



Proyeksi kebutuhan atas tanah pertanian : 1.



Berdasarkan Proyeksi Kebutuhan bahan pangan sd th 2025 diperlukan tambahan luas sawah 2,295 juta hektar dan sampai dengan tahun 2050 seluas 6,083 juta hektar.



2.



Tambahan lahan kering utk pangan: 5,875 juta hektar.



3.



Untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi khususnya komoditas ekspor (perkebunan dan hortikultura) dibutuhkan tambahan lahan 250350 ribu hektar/tahun atau 4-6 juta hetar sampai th 2025.



Tanah untuk petani merupakan suatu syarat mutlak untuk keberhasilan suatu program landreform terutama bagi Indonesia, suatu pemerataan yang sudah merupakan kehendak politik pemerintah (Parlindungan, 1987:92). Sehingga Landreform merupakan kegiatan yang berkaitan langsung dengan upaya “pemerataan”, sangat strategis posisinya dan dapat berperan besar dalam melaksanakan penataan penguasaan tanah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sasaran kegiatan Landreform ini meliputi Redistribusi tanah pertanian, luas maksimum penguasaan tanah pertanian, Tanah Absentee/Guntai, ganti rugi tanah pertanian, bagi hasil tanah pertanian, dan gadai tanah pertanian. Kegiatan-kegiatan Landreform tersebut yang paling menonjol sampai saat ini adalah Redistribusi Tanah Pertanian. Redistribusi tanah merupakan suatu upaya untuk mencapai kesejahteraan petani terutama bagi petani yang belum memiliki tanah pertanian. Kegiatan ini akan memberikan tanah kepada petani, agar petani dapat memiliki tanah garapan untuk hidup dan kehidupannya. Upaya ini dimaksudkan untuk pemerataan dan keadilan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian guna memperkecil kesenjangan sosial petani golongan ekonomi lemah dengan kelompok masyarakat ekonomi lainnya. Redistribusi tanah pertanian bertujuan untuk memperbaiki penguasaan dan pemilikan tanah petani agar luasan



6



tanah pertaniannya dapat layak baik secara ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini disebabkan permasalahan mendasar dari penguasaan dan pemilikan tanah pertanian adalah sebagian kecil petani menguasai tanah pertanian yang amat luas, sedangkan di sisi lain sebagian besar petani harus hidup dari tanah pertanian yang sempit.



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



Redistribusi tanah sebagai bagian dari pelaksanaan Landreform telah dilaksanakan Pemerintah sejak tahun 1961. Sejak masa orde baru, pelaksanan landreform, termasuk kegiatan redistribusi tanah berjalan lambat. Peningkatan tajam kegiatan redistribusi tanah terlihat ketika kembali digiatkannya redistribusi tanah sebagai bagian pelaksanaan Reforma Agraria. Kegiatan tersebut dikenal dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Berdasarkan data dari Direktorat Landreform tahun 2014, pelaksanaan redistribusi tanah dari tahun 1961 hingga 2014 tersebut telah mencapai 2.305.804 ha. Terlihat pada Tabel 1 berikut bahwa pelaksanaan redistribusi tanah meningkat tajam sejak dicanangkannya Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) tahun 2007. Pada tahun 2006, redistribusi tanah hanya seluas 7.527 ha dan kemudian tahun 2007 menjadi seluas 91.969 ha. Peningkatan tajam ini tentu saja sejalan dengan PPAN yang dijadikan sebagai agenda Reforma Agraria di Indonesia. Jumlah redistribusi setelah tahun 2007 cukup konstan walaupun terjadi naik dan turun namun memperlihatkan peningkatan yang sangat signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelum dicanangkannya PPAN. Tabel 1 Pelaksanaan Redistribusi Tanah Obyek Landreform Tahun 1961 - 2013



7 Sumber: Direktorat Landreform tahun 2014



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



Adapun rencana redistribusi tanah obyek landreform 2014-2015 dapat dilihat sebagai berikut :



2014



• 154.750 Bidang • Tersebar pada 26 provinsi



2015



• 107.150 Bidang • Tersebar pada 27 provinsi



Tanah-tanah pertanian yang diredistribusikan kepada petani yang tidak memiliki tanah berasal dari tanah yang dijadikan obyek landreform (TOL). Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961, tanah-tanah yang akan dibagikan tersebut berasal dari: 1.



Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagai dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada negara, karena pemiliknya melanggar ketentuan-ketentuan UndangUndang tersebut;



2.



Tanah-tanah yang diambil pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal di luar daerah, sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat 5 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961;



3.



Tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih kepada negara sebagai yang dimaksudkan dalam Diktum ke empat hurup A. UUPA; dan



4.



Tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.



Pada pelaksanaan redistribusi tanah ternyata banyak kendala dan permasalahan



8



yang dijumpai para petugas pelaksana. Ketentuan pada Pasal 8 dan Pasal 9 mengenai petani serta ketentuan mengenai Absentee dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 makin sulit diterapkan di lapangan. Pembuktian pekerjaan sebagai petani di KTP sudah sulit ditemukan, karena masyarakat lebih banyak mencantumkan profesinya sebagai swasta atau wiraswasta. Realita dalam masyarakat menunjukkan pula bahwa orang yang



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



berprofesi sabagai PNS atau TNI/POLRI di samping bekerja dalam pekerjaan pokoknya, yang bersangkutan masih mengerjakan secara aktif tanah pertanian yang dimilikinya. Demikian pula ketentuan Absentee/Guntai, saat ini jarak tempuh antara domisili dengan letak tanah sudah semakin relatip, karena mudahnya sarana transportasi. Tanah Absentee baru banyak terjadi akibat pemekaran wilayah karena adanya pembentukan desa, kecamatan bahkan kabupaten baru. Di samping itu sistem pewarisan berdasarkan Hukum Waris Adat di daerah tertentu mewariskan tanah pertanian kepada ahli waris yang berdomili di luar kecamatan bahkan kabupaten letak tanah persen (Nata Menggala, 2014). Permasalahan dalam pelaksanaan Redistribusi Tanah pertanian menurut Direktorat Landreform meliputi enam masalah yaitu: 1.



Timbulnya kepemilikan tanah absentee baru



2.



Tidak sesuainya pekerjaan subyek Redistribusi TOL dengan yang dipersyaratkan (petani)



3.



Timbulnya kepemilikan tanah di atas batas kepemilikan maksimum 5 Ha



4.



Kepatuhan terhadap larangan pengalihan hak atas tanah selama 10 tahun



5.



Akses Reform masih ada yang tidak dilaksanakan



6.



Obyek Redistribusi Tanah yang semakin terbatas



Berdasarkan beberapa masalah yang terungkap tersebut, apakah peraturan terkait pelaksanaan redistribusi tanah perlu penyesuaian saja untuk beberapa pasal ataukah pada kenyataannya sudah tidak feasible dalam kenyataan Indonesia saat ini? Paper kebijakan ini menganalisa aransemen konsep, desain dan kebijakan. Menganalisa bagaimana skema redistribusi tanah itu bekerja, berpengaruh pada perbaikan struktur agraria dan keberlanjutan hasil redistribusi serta pengurangan kemiskinan, yang melingkupi empat kegiatan utama sebagai berikut: [1] penetapan obyek, [2] penetapan subyek, [3] sistem mekanisme dan delivery system, dan [4] pengembangan access reform. Hasil dari paper kebijakan ini diharapkan menghasilkan rekomendasi yang layak bagi perbaikan kebijakan tentang desain dan kerja redistribusi tanah dalam konteks reforma agraria.



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



9



10



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



BAB II Permasalahan Pelaksanaan Redistribusi Tanah PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



11



A.



Pendekatan Masalah



Permasalahan dalam pelaksanaan redistribusi tanah dilakukan melalui analisis kebijakan. Analisis kebijakan bersifat deskriptif, evaluatif dan normatif. Analisis kebijakan diharapkan untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi tentang nilai-nilai, fakta-fakta, dan tindakan-tindakan. Ketiga macam tipe informasi itu dihubungkan dengan tiga pendekatan analisis kebijakan, yaitu empiris, evaluatif, dan normatif. Metodologi analisis kebijakan mempunyai beberapa karakteristik utama : perhatian yang tinggi pada perumusan dan pemecahan masalah, komitmen kepada pengkajian baik yang sifatnya deskriptif maupun kritik nilai dan keinginan untuk meningkatkan efisiensi pilihan di antara sejumlah alternatif lain. B.



Permasalahan dalam Pelaksanaan Redistribusi Tanah



Redistribusi tanah pertanian dilaksanakan berkaitan dengan masih banyaknya petani yang tidak memiliki tanah sebagai areal pertaniannya, namun keinginan untuk memberikan tanah pertanian kepada petani tersebut dihadapkan pada terbatasnya tanah obyek landreform (TOL). Arah kebijakan BPN RI tidak lepas dari bagaimana upaya untuk memperoleh tanah yang dapat dijadikan obyek landreform baik tanah yang berasal dari HGU yang sudah tidak dimanfaatkan lagi oleh bekas pemegang haknya maupun tanah-tanah yang berasal dari penertiban tanah terlantar, penyelesaian win-win solution atas sengketa dan konflik pertanahan atau tanah Negara lainnya (BPN RI, 2013:4). Arah kebijakan BPN RI ini merupakan inisiatip baru untuk mengatasi terbatasnya tanah obyek landreform. Inisiatip ini dimulai pada tahun 2006, karena kesulitan dalam mencari tanah-tanah untuk diredistribusikan. Redistribusi tanah pertanian merupakan kegiatan pelaksanaan Landreform yang paling menonjol. Pelaksanaan kegiatan tersebut diketahui sebagai berikut:



12



1.



TOL mencakup tanah-tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, tanah bekas swapraja, tanah bekas partikelir, tanah bekas erfpacht dan tanah Negara bebas,



2.



TOL ditegaskan melalui prosedur tertentu yang sudah cukup baik,



3.



Sebagian besar TOL berasal dari tanah bekas erfpacht dan tanah Negara bebas,



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



4.



Sebagian besar TOL yang sudah ditegaskan telah diredistribusikan,



5.



Penerima redistribusi tanah sebagian besar adalah penggarap tanah yang sudah mengerjakan tanah yang bersangkutan sebelumnya,



6.



Pelaksanaan redistribusi tanah menghadapi berbagai permasalahan yaitu masalah sertipikasi tanah, kekurangan tenaga, dana, sarana/prasarana dan organisasi/ kelembagaan,



7.



Untuk mengurangi permasalahan yang muncul ada provinsi yang telah mengambil kebijakan yang tidak sesuai dengan ketentuan, tetapi dianggap paling sesuai untuk kondisi daerahnya,



8.



Data tentang redistribusi tanah pertanian pada masing-masing provinsi sangat beragam dalam hal ketersediaan informasinya. Hal ini akan menimbulkan kesulitan dalam penggunaan data yang bersangkutan bagi kepentingan evaluasi yang pada gilirannya akan menimbulkan kerancuan dalam penyusunan rencana kegiatan dan penyusunan kebijakan.



Hambatan dalam pelaksanaan redistribusi lainnya adalah: 1.



Ketersediaan dana, sarana (kendaraan dinas) dan tenaga terampil,



2.



Pengarsipan yang kurang baik di desa sehingga Kepala Desa tidak mengetahui secara pasti penerima tanah redistribusi,



3.



Penerima tanah redistribusi tidak ada di tempat (pindah)



4.



Struktur organisasi pelaksana belum begitu terarah



Upaya yang dilakukan sehubungan dengan keterbatasan dana dan fasilitas diatasi dengan mengkaitkan kegiatan ini dengan kegiatan rutin. Upaya lain yang terkait dengan pengarsipan data yang kurang baik di tingkat desa dilakukan dengan melakukan penyuluhan kepada aparat desa untuk melakukan pencatatan dan penyimpanan data secara lebih baik. Arsip data yang hilang atau kurang baik disarankan untuk mengutipnya di Kantor Kecamatan setempat. Redistribusi tanah pertanian merupakan kegiatan utama Landreform yang bersumber dari tanah obyek landreform (TOL) yang dilaksanakan sejak 1962, merupakan usaha pemerintah untuk meningkatkan kepemilikan tanah petani yang tidak bertanah dan petani yang mempunyai tanah pertanian sempit (“petani gurem”). Kegiatan ini merupakan inisiasi pemerintah untuk



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



13



membagikan TOL secara adil dan merata kepada penerima tanah yang memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kesejahteraan petani yang belum mempunyai tanah atau yang sudah mempunyai tanah, namun luasannya kecil sehingga belum cukup untuk menopang kehidupannya. Oleh karena itu akan menjadi sistem koreksi terhadap permasalahan ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah (Direktorat Landreform, 2014). Sejak 1962 sampai dengan 2009 telah diredistribusikan tanah pertanian seluas 1,58 juta hektar kepada 1,74 juta keluarga petani dengan rata-rata luas 0,91 hektar per Kepala Keluarga (Direktorat Landreform, Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, 2009:4-11). Luas tanah pertanian yang diredistribusikan berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kisaran luas tanah pertanian yang diredistribusikan tersebut antara kurang dari satu hektar sampai dengan dua hektar. Hal ini dapat diketahui dari luas tanah redistribusi yang diterima oleh penerima redistribusi tanah sebagai berikut: 1.



Sumatera Utara, Jawa dan Sulawesi Selatan rata-rata luasnya kurang dari satu hektar per kepala keluarga,



2.



Provinsi lainnya antara satu sampai dengan dua hektar per kepala keluarga. Penerima redistribusi tanah tersebut sebanyak 10 persennya merupakan petani yang mempunyai tanah pertanian sempit (“petani gurem”).



TOL yang telah diredistribusikan berasal dari tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, tanah Negara, dan tanah eks swapraja. Hal ini dapat diketahui dari TOL yang diredistribusikan di Sulawesi Selatan sebagian besar berasal dari tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, tanah Negara, dan sebagian kecil tanah eks swapraja, TOL di Kalimantan Timur hampir keseluruhannya berasal dari tanah Negara, dan TOL di Nusa Tenggara Barat sebagian besar berasal dari tanah Negara, tanah kelebihan maksimum dan sebagian kecil tanah absentee dan tanah eks swapraja. Sehingga dapat diketahui bahwa TOL yang diredistribusikan



14



sebagian besar merupakan tanah Negara. Beberapa permasalahan dikemukakan Erizal, 2014 berkaitan dengan redistribusi tanah bahwa: 1.



Penerima : batasan kita tentang Petani dan Petani yang layak menerima tanah redistribusi



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



2.



Status Hukum Tanah yang dibagi, bila itu berupa Hak Milik atau HGB, cenderung untuk dialihtangankan dan dibagi dalam pewarisan



3.



Agar petani penerima bisa mengelola lahan dengan baik (manajemen, dukungan akses terhadap modal, input produksi dan lainnya)



4.



Perlu juga menyatukan kepentingan-kepentingan dari berbagai instansi terkait redistribusi tanah, seperti : •



Kementan : Tanah Pertanian harus di tingkatkan dan rata-rata luasan lahan yang diusahakan harus meningkat, untuk menjamin kesejahteraan petani.







BPN redistribusi tanah objek landreform dan tanah lain, persoalannya subjek tidak tepat sasaran, objek tidak sesuai ketentuan







Bagaimana Dalam pelaksanaan pembangunan di level kabupaten, Indikator kinerjanya seberapa jauh terjadi peningkatan rata-rata luas yang diusahakan petani.



Jumlah petani yang mempunyai tanah pertanian sempit (petani gurem) sampai saat ini masih banyak, sehingga hasil dari usahataninya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan banyak pula petani yang tidak mempunyai tanah garapan untuk penghidupannya sehingga menjadi buruh tani. Redistribusi tanah merupakan suatu kegiatan agar petani tersebut menjadi petani yang mempunyai tanah garapan yang cukup untuk kehidupannya, namun keinginan untuk memberikan tanah pertanian kepada petani tersebut dihadapkan pada terbatasnya TOL. Oleh karena itu arah kebijakan BPN RI tidak lepas dari bagaimana upaya untuk memperoleh tanah yang dapat dijadikan obyek landreform (BPN RI, 2013:4). Pelaksanaan redistribusi tanah pertanian bersentuhan langsung dengan masyarakat, khususnya masyarakat petani, sehingga masyarakat mengganggap hasil dan pelaksanaannya belum seperti yang diharapkan. Sorotan masyarakat terhadap hasil dan pelaksanaan redistribusi tanah pertanian tersebut sebagai berikut: 1.



Adanya sinyalemen bahwa tanah yang diterima diperjualbelikan,



2.



Pelaksanaan redistribusi yang lambat, dan



3.



Penerima tanah yang tidak sesuai ketentuan



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



15



Hal ini menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap manfaat redistribusi tanah pertanian (BPN RI, 2013: 6). Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai kinerja pelaksanaan Redistribusi Tanah pertanian memperoleh temuan sebagai berikut: 1.



Subyek tidak tepat sasaran karena domisili subyek diluar lokasi Kecamatan dan pekerjaan subyek bukan petani tetapi pengusaha, anggota DPRD dan PNS;



2.



Obyek tidak sesuai dengan ketentuan, karena luasnya lebih dari 5 hektar dan bukan tanah pertanian;



3.



Pembiayaan ganda, karena pengukuran redistribusi di lokasi IP4T;



4.



Honor PPL belum diserahkan;



5.



Tidak mengikuti tahapan kegiatan, karena kegiatan pengukuran bidang mendahului kegiatan seleksi subyek;



6.



Perencanaan pembiayaan kegiatan yang tidak sesuai, karena pengalokasian anggaran pembuatan peta tematik potensi tanah dibebankan pada anggaran redistribusi tanah;



7.



Penyerahan sertipikat belum dimonitoring, karena tidak termonitor jumlah sertipikat yang sudah diserahkan dan Berita Acara Penyerahan Sertipikat belum diterima oleh Kantor Pertanahan;



8.



Administrasi, berkas, warkah dan peta-peta hasil kegiatan tidak terdokumentasi dengan baik;



9.



Realisasi fisik dan serapan dana relatif rendah;



10. Pengawasan terhadap kegiatan Redistribusi Tanah rendah, karena tidak tertib perencanaan disebabkan terdapat Kantor Pertanahan yang tidak mengetahui berapa target kegiatan Redistribusi Tanah, tidak tertib anggaran, dan tidak tertib laporan (BPN RI, 2012).



16



Temuan-temuan BPK ini menunjukkan adanya permasalahan dalam pelaksanaan redistribusi tanah. Berdasarkan hasil penelitian Puslitbang BPN RI Tahun 2007 tentang Kondisi Awal Sosial Ekonomi Masyarakat Penerima Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) bahwa:



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



1.



Gambaran potensi peningkatan usahatani dan pendapatan penerima PPAN pada tahun awal pelaksanaan PPAN umumnya potensi peningkatan usahatani dan pendapatan penerima PPAN bukan dari penambahan luasan tanah usahatani dari hasil redistribusi tanah tetapi dapat dicapai dari peningkatan produktivitas usahatani dan peningkatan harga pasar komoditas usahatani serta terbukanya akses ekonomi masyarakat (agroindustri). Hal ini dikarenakan bahwa tanah-tanah yang diredistribusi tersebut merupakan tanah-tanah negara yang sudah dikuasai masyarakat. Konsep redistribusi tanah lebih cenderung ke penguatan hak, belum bersifat menata ketimpangan penguasan dan pemilikan tanah pertanian.



2. Untuk mendukung peningkatan sosial ekonomi penerima PPAN dan untuk membuat tanah redistribusi tidak kembali terkonsentrasi ke tangan kapital, maka perlu segera mendorong terlaksananya akses reform bagi masyarakat dengan : a) peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat melalui jalur edukasi petani berupa pelatihan, alih teknologi, peningkatan motivasi dan budaya usahatani serta layanan informasi usahatani b) pembentukan dan penguatan organisasi dan jaringan usahatani serta LSM pertanian dan peran advokasinya untuk petani c) membuka akses permodalan dengan mendorong peran lembaga keuangan, penguatan modal kolektif petani dan membangun kemitraan. Dalam Penelitian Puslitbang Tahun 2011 tentang Model-Model Access Reform di Wilayah Perkebunan memperlihatkan bahwa : 1.



Faktor Kendala dalam melaksanakan program access reform : (i) Kebijakan Reforma Agraria yang belum ada, (ii) Lemahnya koordinasi dan sinergitas dengan para stakeholders terkait, (iii) Kurangnya pendanaan Access Reform, (iv) Belum adanya keberlanjutan Model Access Reform dan Pemberdayaan Masyarakat, (v) Kurangnya jumlah dan kompetensi SDM di bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat, (vi) Kendala sosial ekonomi dan budaya masyarakat, (vii) Lainnya, seperti kebijakan HGU yang belum menggariskan keharusan memberdayakan masyarakat di sekitar perkebunan.



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



17



2.



Faktor pendukung dalam melaksanakan program access reform: (i) dukungan pemerintah daerah, (ii) dukungan masyarakat, (iii) dukungan sosial ekonomi dan budaya masyarakat, (iv) dukungan lembaga penelitian/ pengkajian di daerah, (v) dukungan para stakeholder terkait, seperti NGO pemberdayaan, dll.



3.



Berdasarkan pelaksanaan access reform yang masih terkendala tersebut apapun model access reform yang dikembangkan, yang perlu



maka



menjadi perhatian adalah : (i) model tersebut mewujudkan kemandirian petani, (ii) tidak bersifat exploitatif terhadap petani, (iii) petani mempunyai negotiating power, (iv) mentransformasi struktur sosial ekonomi petani ke arah yang lebih baik. 4.



Untuk mengatasi kendala pelaksanaan access reform maka : a.



PP Reforma Agraria sebagai kebijakan pelaksanaan access reform perlu segera diterbitkan. PP ini diharapkan akan memuat : -



penyelenggara access reform selain BPN RI adalah pemangku kepentingan yang terkait



-



pendanaan



-



kegiatan access reform berupa sosialisasi/penyuluhan, penguatan kelembagaan



lokal,



pemberdayaan



dan



pendampingan,



monitoring dan evaluasi pelaksanaan access reform -



prinsip-prinsip



pelaksanaan



perekonomian



dalam



access



reform sesuai UUD 1945 dan UUPA yang mengedepankan asas kekeluargaan



18



b.



Peraturan mengenai pemberdayaan perlu segera diterbitkan. Dalam peraturan tersebut hendaknya akan memuat : - -



teknik pemberdayaan dan pendampingan model-model access reform yang dapat dikembangkan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelaksanaan access reform



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



-



tata cara dan bentuk peran serta masyarakat dalam pemberdayaan.



Permasalahan dalam pelaksanaan redistribusi tanah menurut Direktorat Landreform (2014) sebagai berikut: 1.



Timbulnya kepemilikan tanah absentee baru







PP 224/1961 pasal 1 dan 3 telah memberikan batasan bahwa penerima redistribusi tanah harus bertempat tinggal di kecamatan letak tanah/yang berbatasan. Hal yang sama juga telah diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Landreform. Dalam pelaksanaan redistribusi tanah selama ini masih ditemui adanya penerima tanah yang tidak berdomisili di kecamatan letak tanah/yang berbatasan. Pasal 3 PP 224/1961 telah memberikan ketentuan bahwa pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut. Hal ini juga telah diatur kembali melalui SE Nomor 381/19.1-100/II/2014 tentang Mekanisme penyelesaian Subyek dan/atau Obyek Redistribusi Tanah yang tidak sesuai ketentuan dengan jangka waktu yang lebih lama yaitu 12 bulan.







Kepemilikan tanah absentee dikhawatirkan akan melanggar ketentuan redistribusi TOL lainnya yaitu persyaratan mengenai ketentuan bawah penerima tanah wajib mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif sebagaimana diuraikan dalam Bagian Penjelasan II angka (7) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Terkait dengan kepemilikan tanah absentee, alasan jarak tempuh sering dikemukakan, namun saat ini dengan adanya kemajuan teknologi transportasi, alasan tersebut tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Karena dengan adanya kemajuan teknologi alat transportasi, petani dapat tetap mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif walaupun domisilinya di luar kecamatan.



2.



Tidak sesuainya pekerjaan subyek Redistribusi TOL dengan yang dipersyaratkan (petani)



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



19







Pasal 8 dan 9 PP 224/1961 memberikan batasan bahwa yang dapat menerima redistribusi tanah obyek landreform adalah petani. Hal ini diatur kembali dalam petunjuk pelaksanaan redistribusi tanah mengenai ketentuan mengenai subyek penerima redistribsui TOL yang salah satunya mensyaratkan bahwa penerima tanah harus berprofesi sebagai penggarap tanah pertanian baik secara terus menerus atau tidak terus menerus;







Fakta saat ini di lapang banyak petani yang tidak mau mencantumkan pekerjaannya sebagai petani dalam KTP nya. Mereka lebih memilih mencantumkan diri sebagai pegawai swasta atau wiraswasta. Tahun 2014 ini ada SE menteri dalam negeri bahwa dengan adanya e-KTP maka e-KTP ini wajib digunakan sebagai dasar dalam setiap program pemerintah termasuk redistribusi TOL. Surat pernyataan dari yang bersangkutan dan dikuatkan oleh kepala desa setempat sebagaimana diatur dalam petunjuk pelaksanaan redistribusi tanah akan lemah posisinya bahkan sudah tidak dapat digunakan lagi.







Fakta di lapang juga masih ditemui penerima tanah yang berprofesi sebagai PNS/TNI/Polri/Anggota DPR/DPRD/Hakim/ pejabat negara lainnya yang tentu saja tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan ketentuan pasal 8 dan 9 PP 224/1961.



3. Timbulnya kepemilikan tanah di atas batas kepemilikan maksimum 5 Ha



UU nomor 56 Prp Tahun 1960 mengatur secara umum mengenai pembatasan luas penguasaan tanah pertanian dalam satu keluarga. Secara khusus di dalam petunjuk pelaksanaan kegiatan landreform Tahun 2012 yang juga menjadi klausul dalam diktum Surat Keputusan Penegasan Tanah Negara menjadi Obyek Landreform yang diterbitkan oleh Kanwil diatur dan ditegaskan agar bidang-bidang tanah yang luasnya lebih dari 5 hektar yang dikuasai satu keluarga harus dikeluarkan/dikecualikan dari pemberian hak



20



milik obyek Redistribusi TOL. Dalam praktek pelaksanaan redistribusi tanah masih ditemui sebagian penerima redistribusi TOL yang memperoleh tanah melebihi ketentuan luasan maksimum yang dapat dibagikan per KK (5Ha).



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



4. Kepatuhan terhadap larangan pengalihan hak atas tanah selama 10 tahun



Dalam petunjuk pelaksanaan redistribusi tanah terdapat ketentuan bahwa ada kewajiban untuk mencantumkan pada Sertipikat larangan pengalihan hak atas tanah selama 10 tahun kecuali ada ijin kepala kantor. Hal ini bertujuan untuk mencegah penerima tanah yang merupakan petani miskin untuk mengalihkan hak atas tanahnya (melalui jual beli) dan menjadi miskin kembali karena modal tanah yang diberikan oleh negara sudah tidak dipunyai lagi. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan bahwa petani harus mengusahakan sendiri tanahnya secara aktif.







Namun demikian, dalam pelaksanaan di lapang masih ada yang tidak mau mencantumkan ketentuan tersebut dalam buku tanah dan sertipikat. Ketentuan ini sebenarnya masih mempunyai celah karena tidak ada aturan lebih lanjut mengenai alasan-alasan/hal-hal/kondisi apa saja sehingga kepala kantor dapat/tidak dapat memberikan ijin pengalihan hak atas tanah. Di beberapa tempat penerima redistribusi tanah juga tidak mengindahkan larangan pengalihan hak atas tanah selama 10 tahun. Secara diam-diam atau dibawah tangan sebagian penerima tanah memperjualbelikan tanahnya. Bahkan di Jawa Tengah disinyalir adanya penerima tanah yang mengagunkan tanah hasil redistribusi TOL kepada lembaga keuangan (bank) walaupun tidak punya kemampuan untuk membayar cicilannya. Hal ini berakibat tanah akan disita oleh bank (secara tidak langsung berpindah tangan)



5.



Akses Reform masih ada yang tidak dilaksanakan







Bagian Penjelasan II angka (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria memberikan arahan bahwa untuk mewujudkan “tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri” perlu dibarengi dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain.







Dalam petunjuk pelaksanaan juga telah diatur mengenai pelaksanaan akses reform dengan nama bina petani penerima tanah. Pokok kegiatannya



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



21



adalah untuk membantu pembentuakan kelembagaan petani dan memberikan bantuan untuk petani dapat mengakses seluruh kebutuhan yang diperlukannya baik modal atau ketrampilan sehingga akan dapat meningkatkan penggunaan dan pemanfatan tanahnya serta meningkatkan produksinya.



Saat ini masih ada yang tidak melaksanakan akses reform karena : a.



Sebagian besar akses reform baik itu permodalan, bibit, sarana dan prasarana kewenangannya ada di Kementerian/Lembaga/dinas lainnya.



b. Perlu koordinasi untuk mempertemukan aset reform dan akses reform c. Fungsi dan kewenangan koordinasi ada di Bappenas 6.



Obyek Redistribusi Tanah yang semakin terbatas







Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah serta Pemberian Ganti Kerugian mengatur bahwa sumber-sumber tanah yang dapat diredistribusi kepada masyarakat yaitu:







a.



tanah kelebihan maksimum;



b.



tanah absentee;



c.



tanah swapraja atau bekas swapraja; serta



d.



tanah negara lainnya yang ditegaskan.



Saat ini sumber tanah dari kelebihan maksimum, absentee dan tanah swapraja atau bekas swapraja sangat terbatas jumlahnya. Selain jumlahnya yang terbatas terdapat permasalahan dalam meredistribusikan tanah kelebihan maksimum. Saat ini nilai ganti rugi tanah kelebihan maksimum hanya bernilai Rp. 3.500.000/ha. Hal ini menyebabkan bekas pemilik tanah menolak untuk diganti rugi sehingga redistribusinya pun tidak dapat



22



dilakukan. Untuk itu diperlukan adanya perubahan peraturan terkait nilai ganti kerugian.



Permasalahan redistribusi tanah dari tanah absentee adalah selain sulitnya mencari data sebenarnya (biasanya KTP bisa dipesan/menyesuaikan) juga



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



bila pemilik tanah absentee adalah orang-orang kaya dikota besar baik karena investasi maupun karena urbanisasi (masyarakat desa yang menjadi kaya di kota, dan membeli tanah-tanah pertanian di desanya) sangat sulit untuk ditertibkan.



Tanah negara lainnya sekarang ini banyak yang tidak ditegaskan dan disertipikatkan melalui program selain redistribusi tanah. Hal ini mengakibatkan obyek redistribusi tanah semakin bekurang.







Dengan semakin terbatasnya obyek TOL yang dapat diredistribusikan, maka diharapkan bahwa setiap legalisasi asset yang : a.



Tanahnya berasal dari Tanah Negara



b.



Penggunaan Tanahnya Pertanian



c.



RUTRW adalah Pertanian



d.



Calon subyek haknya sesuai ketentuan PP 224/1961



e.



Pemberian Hak Atas Tanahnya Melalui Kegiatan Redistribusi TOL.



Berdasarkan permasalahan dalam pelaksanaan redistribusi tanah pertanian tersebut, maka permasalahan yang mengemuka adalah: 1.



Timbulnya kepemilikan tanah absentee baru



2.



Tidak sesuainya pekerjaan subyek Redistribusi TOL dengan yang dipersyaratkan (petani)



3.



Timbulnya kepemilikan tanah di atas batas kepemilikan maksimum 5 Ha



4.



Kepatuhan terhadap larangan pengalihan hak atas tanah selama 10 tahun



5.



Akses Reform masih ada yang tidak dilaksanakan



6.



Obyek Redistribusi Tanah yang semakin terbatas



Keenam hal di atas merupakan permasalahan dalam pelaksanaan redistribusi tanah yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku saat ini dan perlu untuk didiskusikan pemecahannya. Apakah kemudian peraturan perundangan yang berlaku perlu untuk dirubah/direvisi karena sudah tidak relevan dengan perkembangan masyarakat saat ini, atau hanya memerlukan penegakan terhadap implementasi peraturan perundangan yang berlaku. Adapun untuk nilai ganti kerugian dan ketegasan sumber tanah yang berasal dari tanah negara lainnya diperlukan adanya perubahan peraturan.



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



23



Pelaksanaan



redistribusi



tanah



masih



mengalami



hambatan



dalam



pelaksanaannya, antara lain karena keterbatasan tanah obyek landreform, subyek yang kurang tepat. Namun demikian konsep redistribusi tanah dalam landreform perlu ditinjau kembali bahwa tidak sekedar membagi tanah tetapi menata kembali sebaran penguasaan dan pemilikan tanah untuk mengurangi ketimpangan dalam rangka kesejahteraan masyarakat. Permasalahan dalam peraturan-peraturan yang terkait landreform sebagai berikut: 1.



PP 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian a. Sumber-sumber tanah obyek landreform (TOL) pasal 1 PP 224 Tahun 1961 Tanah-tanah yang dalam rangka pelaksanaan Landreform akan dibagikan: 1) tanah kelebihan batas maksimum 2) tanah-tanah absentee 3) tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja 4) tanah-tanah negara lainnya yang ditegaskan



Sumber-sumber TOL saat ini yang berasal dari poin 1,2,3 sangat terbatas jumlahnya (Direktorat Landreform BPN RI, 2014).







Terbatasnya TOL karena belum ada grand desain Reforma Agraria (RA) sehingga landreform belum menjadi landasan dasar pembangunan. Terbatasnya obyek TOL juga disebabkan belum terbangunnya database penguasaan dan pemilikan tanah diseluruh Indonesia karena tidak dilaksanakannya pemetaan desa lengkap.



24



b.



Tanah absentee (pasal 3 PP 224 Tahun 1961 dan SE.No 381/19.1100/II/2014) yang berbunyi antara lain memberikan batasan bahwa penerima redistribusi tanah harus bertempat tinggal di kecamatan letak tanah yang berbatasan. Apabila pemilik tanah bertempat tinggal di luar kecamatan dalam waktu lebih 6 bulan maka mengalihkan hak atas tanah kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut. Saat ini banyak pemilik tanah bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanah pertaniannya. Apakah peraturan ini masih relevan terkait sarana transportasi sudah tidak menjadi masalah. Ketentuan tanah absentee yang didasarkan atas wilayah administratif hendaknya ditinjau kembali dan diusulkan didasarkan pada Jarak tempuh sesuai dengan kondisi daerah (contoh: India). c.



Pemberian ganti kerugian (pasal 6 PP 224 Tahun 1961). Pemerintah memberi ganti kerugian terhadap tanah kelebihan maksimum. Besarnya ganti kerugian kepada pemilik tanah hanya sebesar 3,5 jt/ha, sehingga pemilik tanah menolak untuk diganti rugi tanahnya akibatnya sulit mendapatkan TOL.



d.



Pasal 8 dan 9 PP 224 Tahun 1961 mengatur mengenai prioritas penerima TOL adalah petani. Namun kondisi saat ini TOL yang akan dibagikan sudah digarap secara terus menerus baik oleh yang bersangkutan maupun pendahulunya sehingga pada prakteknya yang mendapatkan redistribusi TOL adalah petani dan bukan petani murni. Penyelesaiannya untuk yang bukan petani murni (mempunyai mata pencaharian selain petani) maka diarahkan kepada bagi hasil sesuai UU no. 2 Tahun 1960. Untuk yang bukan petani dan tidak aktif mengerjakan tanah pertaniannya maka tidak mendapatkan redistribusi TOL.







Apabila ditemukan petani yang menguasai tanah pertanian melebihi dari batas maksimum maka kepemilikan dapat dipecah ke anaknya sepanjang anak yang bersangkutan telah menikah, karena batas maksimum diberlakukan untuk rumah tangga petani (RTP). Berdasarkan pasal 10 UUPA menyatakan bahwa tanah pertanian pada azasnya diwajibkan/mengusahakan sendiri secara aktif, sehingga untuk menyatakan seorang sebagai petani dapat juga dilihat dari waktu yang digunakan untuk mengerjakan tanah pertanian secara aktif.



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



25



e.



Pasal



17 PP 224 Tahun 1961 mengenai pembentukan koperasi



pertanian. Petani yang mendapatkan pembagian tanah diwajibkan menjadi anggota koperasi pertanian (dalam menyediakan pupuk, bibit, sarana produksi).



Dinyatakan pula tanah-tanah petani diatur pengusahaannya dengan jalan bekerja sama dalam bentuk koperasi. Dalam koperasi pertanian tersebut hak milik atas tanah petani tidak dihapuskan. Koperasi mengatur tentang mengusahaan tanah penggarapan kredit yang berupa bibit, pupuk dan lainnya serta memberi petunjuk tentang pengolahannya. Namun pada kenyataannya koperasi pertanian ini tidak terbentuk.



f.



Pasal 18 mengenai pembentukan antara lain bank koperasi tani untuk memberikan kredit kepada petani yang baru mendapat TOL untuk menggarap pertama kali dan mencegah tanah jatuh kembali ke tuan-tuan tanah. Hal ini disebabkan sebagaian besar petani memilik tanah yang sempit yang hasilnya tidak cukup untuk hidup sehingga memerlukan pinjaman untuk produksi dan kebutuhan hidup. Maka terbentuklah bank untuk pertani yaitu BRI. Namun pada saat ini BRI sudah berobah menjadi bank umum. Oleh karena itu perlu dihidupkan kembali bank yang berpihak kepada petani (Bank Koperasi Petani). Bank tersebut akan memberikan kemudahan dalam kredit pertanian dengan bunga yang rendah dan menyalurkan saprodi. Selain itu perlu dibentuk asuransi pertanian (Crop Insurance) untuk memberikan asuransi atas keberlangsungan tanah pertanian (Amanat UndangUndang Nomor 19 Tahun 2013).



2. UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian a. Pasal 1 ayat 2 bahwa selama ini mengatur batas maksimum tanah



26



seluas 5 hektare yang dapat dikuasai dan bukan berarti dimiliki oleh RTP. Mengingat kepadatan penduduk semakin meningkat maka batas maksimum bisa ditetapkan kurang dari 5 ha (sesuai SE Nomor 381/19.1-100/II/2014) tentang mekanisme penyelesaian subjek dan/atau objek redistribusi tanah yang tidak sesuai dengan



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



ketentuan. Kepemilikan tanah perlu ditetapkan sesuai kondisi dimasing-masing daerah. Zona LP2B untuk penggunaan tanah pertanian sudah ditetapkan diberbagai daerah tetapi lokasi tanahnya belum ditegaskan (UU no 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan) mengingat luasan zona pertanian di pulau jawa luasannya sangat kecil (petani gurem), maka pembagian tanah kepada petani: 1) bisa dibawah 2 ha 2) apabila masing-masing petani wajib mendapatkan 2 ha (sesuai ketentuan peraturan yang berlaku) maka harus ada petani yang tereksklusi dengan diberikan ganti rugi baik dalam bentuk uang ataupun tanah pertanian ditempat lain. b.



Pasal 8 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang menyatakan bahwa Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar setiap RTP memiliki tanah pertanian minimum 2 Ha.



3.



Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 263 Tahun 1964 Tentang Penyempurnaan Panitia Landreform sebagaimana termaksud dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 1961 jo Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 1961 Tentang Organisasi Penyelenggaraan Landreform.







Berdasarkan Keppres 34 Tahun 2003 bahwa kewenangan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota kecuali jika wilayahnya melintasi kabupaten/kota maka kewenangannya penetapan subyek dan obyek reditribusi tanah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi.Panitia Pertimbangan Landreform (PPL) terdiri dari PPL Pusat, PPL Tingkat I, PPL Tingkat II, PPL Kecamatan dan PPL Desa. PPL yang aktif saat ini hanya PPL Kabupaten/Kota yang seharusnya PPL Pusat dan PPL Tingkat I, PPL Kecamatan dan PPL Desa tetap aktif.



4.



Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.







Berdasarkan Pasal 55 bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



27



dengan kewenangannya berkewajiban memberikan ketersedian lahan pertanian yang dilakukan melalui konsolidasi lahan pertanian. Sesuai dengan kewenangannya pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan perluasan lahan pertanian melalui penetapan tanah terlantar. Instrumen untuk melaksanakan kewenangan tersebut melalui redistribusi tanah. 5. a. Berdsarkan Keppres No. 34 Tahun 2003 kewenangan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee telah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Redistribusi sebagai bagian dari Landreform dan Reforma Agraria seharusnya merupakan Grand Design nasional. Untuk itu perlu dilakukan peninjauan kembali Keppres 34 Tahun 2003, karena kewenangan tersebut masih dilaksanakan atau menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan Keppres tersebut. b. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia pada Pasal 17 menyatakan bahwa Deputi Bidang Hak Tanah, Pendaftaran Tanah dan Pemberdayaan Masyarakat menyelenggarakan fungsi pelaksanaan pengaturan dan penetapan penguasaan dan kepemilikan tanah (Landreform). c. Terjadi paradoks antara Keppres No. 34 Tahun 2003 dengan Perpres No. 63 Tahun 2013 dalam hubungannya dengan pelaksanaan fungsi landreform. 6.



Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan







28



Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan terhadap Lahan Pertanian Pangan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang berada di dalam atau di luar kawasan pertanian pangan (pasal 6). Penetapan Rencana Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



Tahunan baik nasional melaluiRencana Kerja Pemerintah (RKP), provinsi, maupun kabupaten/kota. (Pasal 17).



Tindaklanjut dari uu tersebut oleh Pemerintah Daerah : •



Telah diterbitkan beberapa peraturan pemerintah terkait dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan ini.







Dari lebih 500 kabupaten di Indonesia, baru sekitar 124 kabupaten yang mengeluarkan PERDA terkait dengan Undang-undang ini







Bila pelaksanaan LP2B ini bisa didorong maka sebenarnya bisa pula redistribusi tanah dilakukan pada LP2B terhadap tanah-tanah yang bukan tanah pertanian. Tentu saja ini berdampak pada pemberian ganti kerugian bagi masyarakat yang memiliki tanah non pertanian di kawasan LP2B.







Peran/fungsi tata ruang untuk mempertahankan peruntukan kawasan pertanian (kawasan pertanian berkelanjutan) yang membuat kawasan tersebut tidak dapat beralih fungsi menjadi kawasan peruntukan non pertanian (exmp di Prancis).



Permasalahan-permasalahan tersebut diharapkan dapat dicarikan solusinya, agar pelaksanaan redistribusi tanah berjalan baik, sehingga dapat mencapai tujuan redistribusi tanah pertanian yaitu untuk memperbaiki penguasaan dan pemilikan tanah petani agar luasan tanah pertaniannya dapat layak baik secara ekonomi, sosial dan budaya.



29



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



30



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



BAB III Langkah-langkah Yang Telah Ditempuh Untuk Memecahkan Masalah PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



31



Redistribusi tanah pertanian dilaksanakan berkaitan dengan masih banyaknya petani yang tidak memiliki tanah sebagai areal pertaniannya, namun keinginan untuk memberikan tanah pertanian kepada petani tersebut dihadapkan pada terbatasnya tanah obyek landreform (TOL). Arah kebijakan BPN RI tidak lepas dari bagaimana upaya untuk memperoleh tanah yang dapat dijadikan obyek landreform baik tanah yang berasal dari HGU yang sudah tidak dimanfaatkan lagi oleh bekas pemegang haknya maupun tanah-tanah yang berasal dari penertiban tanah terlantar, penyelesaian win-win solution atas sengketa dan konflik pertanahan atau tanah Negara lainnya (BPN RI, 2013:4). Arah kebijakan BPN RI ini merupakan inisiatip baru untuk mengatasi terbatasnya tanah obyek landreform. Inisiatip ini dimulai pada tahun 2006, karena kesulitan dalam mencari tanah-tanah untuk diredistribusikan. Menurut Puslitbang BPN dan Fakultas Pertanian IPB, 1995:87, redistribusi tanah pertanian merupakan kegiatan pelaksanaan Landreform yang paling menonjol. Pelaksanaan kegiatan tersebut diketahui sebagai berikut: 1.



TOL mencakup tanah-tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, tanah bekas swapraja, tanah bekas partikelir, tanah bekas erfpacht dan tanah Negara bebas,



2.



TOL ditegaskan melalui prosedur tertentu yang sudah cukup baik,



3.



Sebagian besar TOL berasal dari tanah bekas erfpacht dan tanah Negara bebas,



4.



Sebagian besar TOL yang sudah ditegaskan telah diredistribusikan,



5.



Penerima redistribusi tanah sebagian besar adalah penggarap tanah yang sudah mengerjakan tanah yang bersangkutan sebelumnya,



6.



Pelaksanaan redistribusi tanah menghadapi berbagai permasalahan yaitu masalah sertipikasi tanah, kekurangan tenaga, dana, sarana/prasarana dan organisasi/ kelembagaan,



32



7.



Untuk mengurangi permasalahan yang muncul ada provinsi yang telah mengambil kebijakan yang tidak sesuai dengan ketentuan, tetapi dianggap paling sesuai untuk kondisi daerahnya,



8.



Data tentang redistribusi tanah pertanian pada masing-masing provinsi sangat beragam dalam hal ketersediaan informasinya. Hal ini akan



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



menimbulkan kesulitan dalam penggunaan data yang bersangkutan bagi kepentingan evaluasi yang pada gilirannya akan menimbulkan kerancuan dalam penyusunan rencana kegiatan dan penyusunan kebijakan. Hambatan dalam pelaksanaan redistribusi menurut Puslitbang BPN dan Fakultas Pertanian IPB, 1995:35 adalah: 1.



Ketersediaan dana, sarana (kendaraan dinas) dan tenaga terampil,



2.



Pengarsipan yang kurang baik di desa sehingga Kepala Desa tidak mengetahui secara pasti penerima tanah redistribusi,



3.



Penerima tanah redistribusi tidak ada di tempat (pindah)



4.



Struktur organisasi pelaksana belum begitu terarah



5.



Upaya yang dilakukan sehubungan dengan keterbatasan dana dan fasilitas diatasi dengan mengkaitkan kegiatan ini dengan kegiatan rutin. Upaya lain yang terkait dengan pengarsipan data yang kurang baik di tingkat desa dilakukan dengan melakukan penyuluhan kepada aparat desa untuk melakukan pencatatan dan penyimpanan data secara lebih baik. Arsip data yang hilang atau kurang baik disarankan untuk mengutipnya di Kantor Kecamatan setempat.



Berdasarkan hasil penelitian Puslitbang BPN mengenai Kondisi Awal Sosial Ekonomi Masyarakat Penerima Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) Tahun 2007 dihasilkan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut : 1.



Gambaran Umum Kondisi Awal sosial ekonomi Penerima PPAN secara umum belum berkembang namun demikian masih terdapat peluang untuk dilakukan peningkatan kesejahteraannya. Kondisi awal yang dapat diutarakan: a.



Aksesibilitas daerah dan tanah responden cukup baik terhadap daerah sekitar maupun pusat-pusat perekonomian;



b. Kharakteristik responden umumnya serupa dengan jumlah keluarga 4-6 anggota, berusia 40-60 tahun dan tingkat pendidikan rendah; c.



Struktur penguasaan tanah responden di Pulau Jawa cenderung sempit (< 0,5 ha/kk) dan luar Pulau Jawa cenderung lebih luas (≥1 Ha/KK);



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



33



d. Sebagian besar responden belum membentuk organisasi tani; e. Budaya usahatani masih rendah; f.



Akses permodalan belum ada;



g. Struktur pendapatan responden sangat tergantung dari usahatani basis tanah, walaupun pendapatan dari usahatani terkait tanah dan luar usahatani juga diperoleh; h. Dengan meningkatnya harga input produksi usahatani dan harga barang-barang konsumsi, maka pengeluaran untuk biaya produksi dan konsumsi menjadi tinggi sehingga peluang untuk berinvestasi menjadi semakin kecil; i.



Kontribusi usahatani terhadap pemenuhan kebutuhan hidup minimum untuk luasan tanah sempit belum tercapai sehingga perlu dukungan sumber-sumber luar usahatani.



2. Gambaran potensi peningkatan usahatani dan pendapatan penerima PPAN serta implikasinya, antara lain : a.



Pada tahun awal pelaksanaan PPAN umumnya potensi peningkatan usahatani dan pendapatan penerima PPAN bukan dari penambahan luasan tanah usahatani tetapi dapat dicapai dari peningkatan produktivitas usahatani dan peningkatan harga pasar komoditas usahatani serta terbukanya akses ekonomi masyarakat (agroindustri).



b.



Adapun implikasi kebijakannya dengan manajemen terpadu asset dan akses reform yang didukung kebijakan lokal/regional dari hulu ke hilir yang mendukung iklim usahatani yang kondusif.



3. Untuk mendukung peningkatan sosial ekonomi penerima PPAN maka perlu segera mendorong terlaksananya akses reform bagi masyarakat dengan : a. peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat melalui jalur edukasi petani berupa pelatihan, alih teknologi, peningkatan motivasi dan



34



budaya usahatani serta layanan informasi usahatani, b.



pembentukan dan penguatan organisasi dan jaringan usahatani serta LSM pertanian dan peran advokasinya untuk petani,



c.



membuka akses permodalan dengan mendorong peran lembaga keuangan, penguatan modal kolektif petani dan membangun kemitraan.



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



4. Untuk mencapai peningkatan usahatani dan pendapatan penerima PPAN serta implikasinya dapat ditempuh dengan : a. perencanaan akses reform yang benar-benar terintegrasi antar berbagai sektor terkait : pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun peran serta swasta (investor) dengan berbagai bentuk pola pengusahaan usahatani baik secara perorangan, kolektif maupun kemitraan. b.



menggariskan kebijakan untuk mendukung manajemen terpadu asset dan akses reform berupa payung hukum/kebijakan penyelenggaraan PPAN dalam bentuk UU atau PP, kebijakan yang mendukung usahatani seperti harga dasar input produksi yang murah, harga pasar komoditas yang terkendali, serta insentif-insentif lainnya bagi petani.



Penelitian Model-Model Access Reform di Wilayah Perkebunan Tahun 2011 oleh Puslitbang BPN RI dihasilkan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut : 1.



Dari hasil penelitian ditemukan bahwa :







Model access reform di daerah penelitian adalah : (i) model access reform mandiri (non kemitraan), (ii) model access reform kemitraan dengan sistem kontrak. a.



Model access reform mandiri (non kemitraan) 1) Pada model ini para petani mengelola tanahnya sendiri dengan mendapatkan bantuan teknis maupun permodalan (input ataupun sarana/prasarana produksi) dengan pemasaran bersifat individual maupun dikerjasamakan dengan perusahaan tanpa kontrak. 2) Model ini ditemukan antara lain : -



Desa Sei Balai, Kecamatan Sei Balai dan Desa Lubuk Palas, Kecamatan Air Joman, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara;



-



Desa Kuripan,Kecamatan Subah,Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah;



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



35



-



Desa Caruy dan Desa Kutasari, Kecamatan Cipari, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah;



-



Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah;



-



Desa Andomesinggo, Kecamatan Besulutu, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara.



3) Kelebihan model mandiri (non kemitraan) antara lain : (i) Tidak tergantung kepada perusahaan (mandiri), (ii) Bebas menentukan pasar, (iii) Bebas menentukan komoditas yang ditanam, (iv) Tidak perlu membagi hasil produksi, (v) Memiliki pengalaman dan pengetahuan bertani. 4) Kelemahan model mandiri (non kemitraan) antara lain: (i) Menanggung seluruh permodalan untuk bertani, (ii) Harga input menjadi komponen yang seringkali memberatkan, (iii) Harga produksi tergantung, (iv) Harus mencari pasar dengan harga sesuai harga kesepakatan ataupun ditetapkan sepihak oleh pembeli, (v) Bimbingan teknis hanya tergantung kepada Dinas Terkait. b.



Model access reform kemitraan 1) Pada model ini pengelolaan tanah di tangan petani (small scale farming) dengan berbagai variasi kerjasama ataupun diserahkan pengelolaan kepada perusahaan seluruhnya (large scale farming) berdasarkan kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak tertulis. 2) Model kemitraan dengan large scale farming ditemukan, antara lain : -



36



Desa Sumber Agung dan Desa Cepuak, Kecamatan Talisayan, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur;



-



Kecamatan Kembang Janggut, Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur;



-



Desa Popalia, Kecamatan Tanggetada, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara,



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



3) Model kemitraan dengan small scale farming ditemukan, antara lain : -



Desa Sesait, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat;



-



Desa Suela, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat;



4) Kelebihan model kemitraan : (i) Permodalan ditanggung perusahaan, (ii) Input pertanian terjamin, (iii) Pemasaran hasil terjamin, (iv) Membuka lapangan kerja, (v) Meningkatkan perekonomian. 5) Kelemahan model kemitraan : (i) Kedudukan petani dalam kontrak seringkali tidak setara, (ii) Masyarakat tidak mengelola secara aktif tanah yang diterimanya, (iii) Masyarakat menjadi buruh di tanahnya sendiri, (iv) Transfer teknologi dan pengetahuan pertanian terjadi atau tidak terjadi sama sekali, (v) Kemandirian petani tidak terwujud, (vi)



Bagi hasil belum



ada pengaturan, (vii) Kurang menyerap tenaga kerja, (viii) Rawan sengketa kepemilikan setelah berakhirnya kontrak. 2.



Faktor kendala dan pendukung pelaksanaan access reform, yakni : a.



Faktor Kendala dalam melaksanakan program access reform : (i) Kebijakan Reforma Agraria yang belum ada, (ii) Lemahnya koordinasi dan sinergitas dengan para stakeholders terkait, (iii) Kurangnya pendanaan Access Reform, (iv) Belum adanya keberlanjutan Model Access Reform dan Pemberdayaan Masyarakat, (v) Kurangnya jumlah dan kompetensi SDM di bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat, (vi) Kendala sosial ekonomi dan budaya masyarakat, (vii) Lainnya, seperti kebijakan HGU yang belum menggariskan keharusan memberdayakan masyarakat di sekitar perkebunan. Awal program dilaksanakan SDM di daerah (Kantor Pertanahan) tidak dibekali dengan pemahaman mengenai Reforma Agraria, Jadi masing-masing Kantor Pertanahan Berinovasi sendirisendiri.



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



37



b.



Faktor pendukung dalam melaksanakan program access reform: (i) dukungan pemerintah daerah, (ii) dukungan masyarakat, (iii) dukungan sosial ekonomi dan budaya masyarakat, (iv) dukungan lembaga penelitian/pengkajian di daerah, (v) dukungan para stakeholder terkait, seperti NGO pemberdayaan, dll.



3.



Berdasarkan pelaksanaan access reform yang masih terkendala tersebut maka



apapun model access reform yang dikembangkan, yang perlu



menjadi perhatian adalah: (i) model tersebut mewujudkan kemandirian petani, (ii) tidak bersifat exploitatif terhadap petani, (iii) petani mempunyai negotiating power, (iv) mentransformasi struktur sosial ekonomi petani ke arah yang lebih baik.



Di lokasi penelitian ditemukan model pertanian dengan kontrak yang dikenal dengan istilah contract farming. White (1989:13-14) walaupun mungkin saja tidak merupakan “pertanian kapitalis” secara murni, tetapi tentu saja merupakan “suatu bentuk khusus dari penerobosan kapitalis ke dalam pertanian (capitalist penetration of agriculture)“1 sehingga sangat belum tentu bahwa kepentingan petani plasma akan menjadi “kepentingan bersama”. Sekalipun kemitraan dilaksanakan oleh BUMN yang selain mempunyai kepentingan sosial, juga bertujuan mencari keuntungan maka menurut White keadaan dan kepentingan mereka tidak akan jauh berbeda dengan perusahaan kapitalis di atas. Kemitraan dengan koperasi (menurut teori White) akan lebih baik dimana keuntungan-keuntungan yang diperoleh koperasi bagaimanapun akan dikembalikan ke para anggota secara langsung ataupun tidak langsung. Namun inipun memungkinkan menurut White sebuah koperasi (atau pengurusnya) untuk menjadi predator terhadap anggotanya sehingga apapun model yang dipilih maka



38



monitoring dan evaluasi harus dilaksanakan untuk memperbaiki model access reform di masa depan. 4. 1



Untuk mengatasi kendala pelaksanaan access reform maka : Wilson (1987:47) dalam bukunya “the Political Economy of Contract Farming”, Review of Radical Political Economics 18, No. 4:47-70.



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



a.



PP Reforma Agraria sebagai kebijakan pelaksanaan access reform perlu segera diterbitkan. PP ini diharapkan akan memuat : -



penyelenggara access reform selain BPN RI adalah pemangku kepentingan yang terkait



-



pendanaan



-



kegiatan access reform berupa sosialisasi/penyuluhan, penguatan kelembagaan



lokal,



pemberdayaan



dan



pendampingan,



monitoring dan evaluasi pelaksanaan access reform -



prinsip-prinsip



pelaksanaan



perekonomian



dalam



access



reform sesuai UUD 1945 dan UUPA yang mengedepankan asas kekeluargaan b.



Peraturan mengenai pemberdayaan perlu segera diterbitkan. Dalam peraturan tersebut hendaknya akan memuat : -



teknik pemberdayaan dan pendampingan



-



model-model access reform yang dapat dikembangkan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelaksanaan access reform



-



tata cara dan bentuk peran serta masyarakat dalam pemberdayaan.



Permasalahan dalam pelaksanaan Redistribusi Tanah pertanian menurut Direktorat Landreform meliputi enam masalah yaitu: 1.



Timbulnya kepemilikan tanah absentee baru



2.



Tidak sesuainya pekerjaan subyek Redistribusi TOL dengan yang dipersyaratkan (petani)



3.



Timbulnya kepemilikan tanah di atas batas kepemilikan maksimum 5 Ha



4.



Kepatuhan terhadap larangan pengalihan hak atas tanah selama 10 tahun



5.



Akses Reform masih ada yang tidak dilaksanakan



6.



Obyek Redistribusi Tanah yang semakin terbatas



Sehingga mekanisme koreksi untuk mengatasi permasalahan tersebut telah dilakukan oleh Direktorat Landreform. Mekanisme koreksi untuk mengatasi permasalahan dalam pelaksanaan Redistribusi tanah yang telah dilakukan oleh Direktorat Landreform adalah sebagai berikut:



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



39



1.



Timbulnya kepemilikan tanah absentee baru







PP 224/1961 pasal 1 dan 3 telah memberikan batasan bahwa penerima redistribusi tanah harus bertempat tinggal di kecamatan letak tanah/yang berbatasan. Hal yang sama juga telah diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Landreform. Dalam pelaksanaan redistribusi tanah selama ini masih ditemui adanya penerima tanah yang tidak berdomisili di kecamatan letak tanah/yang berbatasan. Pasal 3 PP 224/1961 telah memberikan ketentuan bahwa pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut. Hal ini juga telah diatur kembali melalui SE Nomor 381/19.1-100/II/2014 tentang Mekanisme penyelesaian Subyek dan/atau Obyek Redistribusi Tanah yang tidak sesuai ketentuan dengan jangka waktu yang lebih lama yaitu 12 bulan.







Kepemilikan tanah absentee dikhawatirkan akan melanggar ketentuan redistribusi TOL lainnya yaitu persyaratan mengenai ketentuan bawah penerima tanah wajib mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif sebagaimana diuraikan dalam Bagian Penjelasan II angka (7) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Terkait dengan kepemilikan tanah absentee, alasan jarak tempuh sering dikemukakan, namun saat ini dengan adanya kemajuan teknologi transportasi, alasan tersebut tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Karena dengan adanya kemajuan teknologi alat transportasi, petani dapat tetap mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif walaupun domisilinya di luar kecamatan.



40







Mekanisme koreksi terhadap timbulnya kepemilikan tanah absentee baru :







Perlunya peninjauan kembali terhadap ketentuan kepemilikan tanah absentee yang membatasi berdasarkan wilayah administrasi kecamatan/ yang berbatasan, dapat diganti dengan formulasi lainnya, sebagai contoh satuan jarak dari tempat tinggal ke lokasi tanah garapannya dengan mempertimbangkan kemajuan teknologi transportasi.



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



2. Tidak sesuainya pekerjaan subyek Redistribusi TOL dengan yang dipersyaratkan (petani)



Pasal 8 dan 9 PP 224/1961 memberikan batasan bahwa yang dapat menerima redistribusi tanah obyek landreform adalah petani. Hal ini diatur kembali dalam petunjuk pelaksanaan redistribusi tanah mengenai ketentuan mengenai subyek penerima redistribsui TOL yang salah satunya mensyaratkan bahwa penerima tanah harus berprofesi sebagai penggarap tanah pertanian baik secara terus menerus atau tidak terus menerus2;







Fakta saat ini di lapang banyak petani yang tidak mau mencantumkan pekerjaannya sebagai petani dalam KTP nya. Mereka lebih memilih mencantumkan diri sebagai pegawai swasta atau wiraswasta. Tahun 2014 ini ada SE menteri dalam negeri bahwa dengan adanya e-KTP maka e-KTP ini wajib digunakan sebagai dasar dalam setiap program pemerintah termasuk redistribusi TOL. Surat pernyataan dari yang bersangkutan dan dikuatkan oleh kepala desa setempat sebagaimana diatur dalam petunjuk pelaksanaan redistribusi tanah akan lemah posisinya bahkan sudah tidak dapat digunakan lagi.







Fakta di lapang juga masih ditemui penerima tanah yang berprofesi sebagai PNS/TNI/Polri/Anggota DPR/DPRD/Hakim/ pejabat negara lainnya yang tentu saja tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan ketentuan pasal 8 dan 9 PP 224/1961.







Mekanisme koreksi terhadap subyek yang tidak sesuai ketentuan :







Telah diatur melalui SE Nomor 381/19.1-100/II/2014 tentang Mekanisme penyelesaian Subyek dan/atau Obyek Redistribusi Tanah yang tidak sesuai ketentuan. Dalam SE tersebut disebutkan bahwa penerima redistribusi tanah yang tidak memenuhi persyaratan diminta untuk mengalihkan tanahnya (hibah/jual beli) kepada subyek yang memenuhi syarat dalam kurun waktu 12 bulan.



2



Dibuktikan dengan bukti Kartu Tanda Penduduk. Bilamana profesi subyek di dalam KTP mencantumkan diri swasta atau wiraswasta, sementara dalam kenyataannya yang bersangkutan secara terus menerus atau tidak terus menerus menggarap/mengerjakan tanah pertanian maka harus dilengkapi dengan surat pernyataan dari yang bersangkutan dan dikuatkan oleh kepala desa setempat.



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



41







Berdasarkan hal hal tersebut di atas (contoh: petani tidak lagi mau disebut petani) dan dengan mempertimbangkan bahwa masih banyak rakyat miskin yang tidak berprofesi sebagai petani namun memerlukan pembagian tanah untuk keberlangsungan hidupnya maka perlu dipikirkan redistribusi tanah non pertanian yang ditujukan untuk subyek non petani. Hal ini pernah dikemukakan dalam rancangan RPP Reforma Agraria.



3. Timbulnya kepemilikan tanah di atas batas kepemilikan maksimum 5 Ha



UU nomor 56 Prp Tahun 1960 mengatur secara umum mengenai pembatasan luas penguasaan tanah pertanian dalam satu keluarga. Secara khusus di dalam petunjuk pelaksanaan kegiatan landreform Tahun 2012 yang juga menjadi klausul dalam diktum Surat Keputusan Penegasan Tanah Negara menjadi Obyek Landreform yang diterbitkan oleh Kanwil diatur dan ditegaskan agar bidang-bidang tanah yang luasnya lebih dari 5 hektar yang dikuasai satu keluarga harus dikeluarkan/dikecualikan dari pemberian hak milik obyek Redistribusi TOL. Dalam praktek pelaksanaan redistribusi tanah masih ditemui sebagian penerima redistribusi TOL yang memperoleh tanah melebihi ketentuan luasan maksimum yang dapat dibagikan per KK (5Ha).







Mekanisme koreksi sebagian penerima redistribusi TOL memperoleh tanah melebihi ketentuan luasan maksimum yang dapat diterima per KK (5Ha):







Sebagaimana diuraikan dalam SE Nomor 381/19.1-100/II/2014 tentang Mekanisme penyelesaian Subyek dan/atau Obyek Redistribusi Tanah yang tidak sesuai ketentuan yaitu diperbaikinya luas pemilikan tanah penerima redistribusi TOL menjadi sebanyak-banyaknya 5 (lima) hektar terdiri dari satu bidang atau lebih dan sisa tanah akan dialihkan kepada subyek lain yang memenuhi syarat. Ketentuan mengenai batas maksimum pembagian tanah ini masih relevan dengan kondisi saat ini.



42



4. Kepatuhan terhadap larangan pengalihan hak atas tanah selama 10 tahun



Dalam petunjuk pelaksanaan redistribusi tanah terdapat ketentuan bahwa ada kewajiban untuk mencantumkan pada Sertipikat larangan pengalihan hak atas tanah selama 10 tahun kecuali ada ijin kepala kantor. Hal ini bertujuan untuk mencegah penerima tanah yang merupakan petani miskin



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



untuk mengalihkan hak atas tanahnya (melalui jual beli) dan menjadi miskin kembali karena modal tanah yang diberikan oleh negara sudah tidak dipunyai lagi. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan bahwa petani harus mengusahakan sendiri tanahnya secara aktif.



Namun demikian, dalam pelaksanaan di lapang masih ada yang tidak mau mencantumkan ketentuan tersebut dalam buku tanah dan sertipikat.







Ketentuan ini sebenarnya masih mempunyai celah karena tidak ada aturan lebih lanjut mengenai alasan-alasan/hal-hal/kondisi apa saja sehingga kepala kantor dapat/tidak dapat memberikan ijin pengalihan hak atas tanah. Di beberapa tempat penerima redistribusi tanah juga tidak mengindahkan larangan pengalihan hak atas tanah selama 10 tahun. Secara diam-diam atau dibawah tangan sebagian penerima tanah memperjualbelikan tanahnya. Bahkan di Jawa Tengah disinyalir adanya penerima tanah yang mengagunkan tanah hasil redistribusi TOL kepada lembaga keuangan (bank) walaupun tidak punya kemampuan untuk membayar cicilannya. Hal ini berakibat tanah akan disita oleh bank (secara tidak langsung berpindah tangan)



5. Akses Reform masih ada yang tidak dilaksanakan



Bagian Penjelasan II angka (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria memberikan arahan bahwa untuk mewujudkan “tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri” perlu dibarengi dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain.







Dalam petunjuk pelaksanaan juga telah diatur mengenai pelaksanaan akses reform dengan nama bina petani penerima tanah. Pokok kegiatannya adalah untuk membantu pembentuakan kelembagaan petani dan memberikan bantuan untuk petani dapat mengakses seluruh kebutuhan yang diperlukannya baik modal atau ketrampilan sehingga akan dapat meningkatkan penggunaan dan pemanfatan tanahnya serta meningkatkan produksinya.



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



43







Saat ini masih ada yang tidak melaksanakan akses reform karena : a.



Sebagian besar akses reform baik itu permodalan, bibit, sarana dan prasarana kewenangannya ada di Kementerian/Lembaga/dinas lainnya.



b. Perlu koordinasi untuk mempertemukan aset reform dan akses reform c. Fungsi dan kewenangan koordinasi ada di Bappenas



Saat ini telah ada inisiasi kegiatan pilot project Reforma Agraria yang menyatukan antara BPN (aset reform), K/L (akses reform) dan Bappenas sebagai koordinator. Pilot projectnya di dua provinsi yaitu di Jawa Tengah dan



Bangka Belitung. Namun demikian peraturan mengenai



pelaksanaannya perlu dibuat. 6. Obyek Redistribusi Tanah yang semakin terbatas



Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah serta Pemberian Ganti Kerugian mengatur bahwa sumber-sumber tanah yang dapat diredistribusi kepada masyarakat yaitu:







a)



tanah kelebihan maksimum;



b)



tanah absentee;



c)



tanah swapraja atau bekas swapraja; serta



d)



tanah negara lainnya yang ditegaskan.



Saat ini sumber tanah dari kelebihan maksimum, absentee dan tanah swapraja atau bekas swapraja sangat terbatas jumlahnya. Selain jumlahnya yang terbatas terdapat permasalahan dalam meredistribusikan tanah kelebihan maksimum. Saat ini nilai ganti rugi tanah kelebihan maksimum hanya bernilai Rp. 3.500.000/ha. Hal ini menyebabkan bekas pemilik tanah menolak untuk diganti rugi sehingga redistribusinya pun tidak dapat dilakukan. Untuk itu diperlukan adanya perubahan peraturan terkait nilai



44



ganti kerugian.



Permasalahan redistribusi tanah dari tanah absentee adalah selain sulitnya mencari data sebenarnya (biasanya KTP bisa dipesan/menyesuaikan) juga bila pemilik tanah absentee adalah orang-orang kaya dikota besar baik



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



karena investasi maupun karena urbanisasi (masyarakat desa yang menjadi kaya di kota, dan membeli tanah-tanah pertanian di desanya) sangat sulit untuk ditertibkan.



Tanah negara lainnya sekarang ini banyak yang tidak ditegaskan dan disertipikatkan melalui program selain redistribusi tanah. Hal ini mengakibatkan obyek redistribusi tanah semakin bekurang.







Dengan semakin terbatasnya obyek TOL yang dapat diredistribusikan, maka diharapkan bahwa setiap legalisasi asset yang : a. Tanahnya berasal dari Tanah Negara b. Penggunaan Tanahnya Pertanian c. RUTRW adalah Pertanian d. Calon subyek haknya sesuai ketentuan PP 224/1961 Pemberian Hak Atas Tanahnya Melalui Kegiatan Redistribusi TOL.







Keenam hal di atas merupakan permasalahan dalam pelaksanaan redistribusi tanah yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku saat ini dan perlu untuk didiskusikan pemecahannya. Apakah kemudian peraturan perundangan yang berlaku perlu untuk dirubah/ direvisi karena sudah tidak relevan dengan perkembangan masyarakat saat ini, atau hanya memerlukan penegakan terhadap implementasi peraturan perundangan yang berlaku. Adapun untuk nilai ganti kerugian dan ketegasan sumber tanah yang berasal dari tanah negara lainnya diperlukan adanya perubahan peraturan.



Dasar hukum kebijakan landreform adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) sebagai induk ketentuan landreform, UndangUndang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 (LN 1960 Nomor 174) tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 (LN 1961 Nomor 280) tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



45



46



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



BAB IV Alternatif Kebijakan



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



47



Permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan redistribusi tanah obyek landreform (TOL) meliputi: 1.



Tanah Obyek Landreform (TOL) yang semakin terbatas,



2.



Subyek tidak tepat sasaran atau tidak sesuainya pekerjaan subyek Redistribusi TOL dengan yang dipersyaratkan (petani),



3.



Tanah redistribusi diperjualbelikan, karena tidak patuh terhadap larangan pengalihan hak atas tanah selama 10 tahun,



4.



Timbulnya kepemilikan tanah absentee baru,



5.



Timbulnya kepemilikan tanah di atas batas kepemilikan maksimum 5 ha, dan



6.



Akses Reform masih ada yang tidak dilaksanakan



Alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui dua cara yaitu: 1. Mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah serta Pemberian Ganti Kerugian 2. Mengubah seluruh peraturan yang terkait dengan Landreform, sehingga perlu payung hukum atau aturan baru tentang redistribusi tanah yang komprehensif dalam konteks reforma agraria Alternatif-alternatif tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah serta Pemberian Ganti Kerugian



Pasal-pasal yang perlu dirubah dalam PP No. 224 Tahun 1961 yang terkait dengan permasalahan dalam pelaksanaan redistribusi tanah adalah sebagai berikut: a)



48



Tanah Obyek Landreform (TOL) yang semakin terbatas, 1) Pasal 1 ayat (1)







Sumber-sumber tanah obyek landreform (TOL) pasal 1 PP 224 Tahun 1961 Tanah-tanah yang dalam rangka pelaksanaan Landreform akan dibagikan: (1) tanah kelebihan batas maksimum



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



(2) tanah-tanah absentee (3) tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja (4) tanah-tanah negara lainnya yang ditegaskan



Sumber-sumber TOL saat ini yang berasal dari poin 1, 2, 3 sangat terbatas jumlahnya (Direktorat Landreform BPN RI, 2014).







Terbatasnya TOL karena belum ada grand desain Reforma Agraria (RA) sehingga landreform belum menjadi landasan dasar pembangunan. Terbatasnya obyek TOL juga disebabkan belum terbangunnya database penguasaan dan pemilikan tanah diseluruh Indonesia karena tidak dilaksanakannya pemetaan desa lengkap.







Akibat terbatasnya TOL maka perlu diperluas sumber-sumber TOL tersebut dengan tanah-tanah sebagai berikut: (1) Tanah-tanah Hak Guna Usaha tertentu. Tanah hak guna usaha yang dapat dijadikan TOL meliputi: i.



Tanah Hak Guna Usaha yang tidak diusahakan sesuai dengan peruntukan dan tujuan pemberian haknya.



ii. Tanah Hak Guna usaha yang telah berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang. iii. Tanah lebih dari luas tanah yang tercantum dalam Surat Keputusan Pemberian Hak Guna Usaha yang bersangkutan. iv. Tanah Hak Guna Usaha yang telah diduduki/digarap oleh masyarakat lebih dari 5 tahun sebelum berlakunya peraturan ini. v. Tanah Hak Guna Usaha yang diserahkan secara sukarela oleh pemegang haknya. vi. Tanah-tanah ulayat atau tanah masyarakat hukum adat tertentu, vii. Tanah-tanah kehutanan di luar kawasan Budi Daya Kehutanan tertentu,



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



49



viii. Tanah-tanah bengkok atau tanah kas desa tertentu, ix. Tanah-tanah gogolan/pekulen/sanggan atau sejenisnya, x. Tanah-tanah timbul, xi. Tanah-tanah lain yang tidak termasuk tanah-tanah tersebut diatas yang akan ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional; (2) Tanah-tanah Ulayat atau tanah masyarakat hukum adat tertentu



Tanah ulayat/adat yang telah dilepaskan dan diserahkan secara tertulis dengan sukarela tanpa tekanan dari pihak manapun oleh para Tetua Ulayat/adat dan seluruh anggota masyarakat ulayat/ adat.



(3) Tanah-tanah kehutanan di luar kawasan Budi Daya Kehutanan tertentu. Tanah-tanah kehutanan yang telah dikuasai atau digarap oleh masyarakat untuk non kehutanan secara terus menerus, dan di luar kawasan lindung. (4) Tanah-tanah bengkok atau tanah kas desa tertentuTanah bengkok atau tanah kas desa yang dikuasai oleh Desa yang statusnya telah berubah menjadi Kelurahan. (5) Tanah-tanah gogolan/pekulen/sanggan atau sejenisnya



Tanah gogolan/sanggan/pekulen dan sejenisnya, baik yang penguasaannya bersifat tetap dan tidak tetap dan yang telah dilepaskan haknya oleh pemegang gogol/sanggan/pekulen menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara



(6) Tanah–tanah timbul



Tanah timbul sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Huruf i terjadi karena proses alamiah seperti endapan lumpur di muara



50



sungai, di pantai atau badan sungai yang kering karena tidak lagi dialiri air. (7). Tanah–tanah lain yang tidak termasuk tanah-tanah tersebut diatas yang akan ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional;



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional







Tanah-tanah lain adalah tanah–tanah milik Pemerintah/ Pemerintah Daerah yang diperoleh melalui pembelian dan atau melalui proses pengadaan tanah, tanah-tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya dan tanah-tanah yang diserahkan oleh pemiliknya secara sukarela. Terbatasnya TOL disebabkan pula pemberian ganti kerugian (pasal 6 PP 224 Tahun 1961) terhadap tanah kelebihan maksimum hanya sebesar 3,5 juta/ha (Juklak Landreform, sehingga pemilik tanah menolak untuk diganti rugi tanahnya, sehingga mengakibatkan sulit mendapatkan TOL.



b) Subyek tidak tepat sasaran atau tidak sesuainya pekerjaan subyek Redistribusi TOL dengan yang dipersyaratkan (petani)



Pasal 8 dan 9 PP 224 Tahun 1961 mengatur mengenai prioritas penerima TOL adalah petani. Namun kondisi saat ini TOL yang akan dibagikan sudah digarap secara terus menerus baik oleh yang bersangkutan maupun pendahulunya sehingga pada prakteknya yang mendapatkan redistribusi TOL adalah petani dan bukan petani murni. Berdasarkan pasal 10 UUPA menyatakan bahwa tanah pertanian pada azasnya diwajibkan/mengusahakan sendiri secara aktif, sehingga untuk menyatakan seorang sebagai petani dapat juga dilihat dari waktu yang digunakan untuk mengerjakan tanah pertanian secara aktif, agar subyek redistribusi tanah menjadi tepat sasaran.







Bagi tanah pertanian yang dibagikan untuk pekarangan, urutan prioritas penerima pembagian tanah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Rumah tangga miskin yang tidak memiliki tanah. 2. Rumah tangga miskin yang hanya memiliki tanah pekarangan meliputi: buruh tani, pekerja pada perkebunan dengan Hak Guna Usaha, pemegang gogol, penggarap tanah kehutanan, penggarap tanah bengkok, penggarap tanah ulayat/ adat, rumah tangga yang tidak bekerja di lapangan pertanian.



c)



Tanah redistribusi diperjualbelikan, karena tidak patuh terhadap larangan pengalihan hak atas tanah selama 10 tahun,



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



51







Larangan pengalihan hak atas tanah selama 10 tahun tercantum dalam Surat Keputusan, pencantuman ijin peralihan hak atas tanah dari Kepala Kantor Pertanahan untuk jangka waktu sepuluh tahun (10 tahun), baik sebagian atau seluruhnya. Ketentuan ini hanya terdapat dalam Juklak Landreform saja, tidak dalam PP 224 tahun 1961.



d)



Timbulnya kepemilikan tanah absentee baru,







Tanah absentee (pasal 3 PP 224 Tahun 1961 dan SE.No 381/19.1100/II/2014) yang berbunyi antara lain memberikan batasan bahwa penerima redistribusi tanah harus bertempat tinggal di kecamatan letak tanah yang berbatasan. Apabila pemilik tanah bertempat tinggal di luar kecamatan dalam waktu lebih 6 bulan maka mengalihkan hak atas tanah kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut. Saat ini banyak pemilik tanah bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanah pertaniannya. Apakah peraturan ini masih relevan terkait sarana transportasi sudah tidak menjadi masalah. Ketentuan tanah absentee yang didasarkan atas wilayah administratif hendaknya ditinjau kembali dan diusulkan didasarkan pada Jarak tempuh sesuai dengan kondisi daerah (contoh: India).



e)



Timbulnya kepemilikan tanah di atas batas kepemilikan maksimum 5 ha







Pembatasan kepemilikan maksimum 5 ha diatur dalam petunjuk pelaksanaan landreform. Pelaksanaan Redistribusi tanah yang menyangkut luas kepemilikan maksimum mengacu kepada Juklak tersebut, tidak mengacu kepada UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan



Luas Tanah Pertanian. Pembatasan luas ini



bertujuan untuk keadilan dan pemerataan kepemilikan tanah. Oleh karena itu perlu adanya perubahan UU Nomor 56 Prp Tahun 1960,



52



agar sesuai dengan kondisi luas tanah saat ini. f)



Akses Reform masih ada yang tidak dilaksanakan







Pasal



17 PP 224 Tahun 1961 mengenai pembentukan koperasi



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



pertanian. Petani yang mendapatkan pembagian tanah diwajibkan menjadi anggota koperasi pertanian (dalam menyediakan pupuk, bibit, sarana produksi).



Dinyatakan pula tanah-tanah petani diatur pengusahaannya dengan jalan bekerja sama dalam bentuk koperasi. Dalam koperasi pertanian tersebut hak milik atas tanah petani tidak dihapuskan. Koperasi mengatur tentang mengusahaan tanah penggarapan kredit yang berupa bibit, pupuk dan lainnya serta memberi petunjuk tentang pengolahannya. Namun pada kenyataannya koperasi pertanian ini tidak terbentuk.







Pasal 18 mengenai pembentukan antara lain bank koperasi tani untuk memberikan kredit kepada petani yang baru mendapat TOL untuk menggarap pertama kali dan mencegah tanah jatuh kembali ke tuan-tuan tanah. Hal ini disebabkan sebagaian besar petani memilik tanah yang sempit yang hasilnya tidak cukup untuk hidup sehingga memerlukan pinjaman untuk produksi dan kebutuhan hidup. Maka terbentuklah bank untuk pertani yaitu BRI. Namun pada saat ini BRI sudah berobah menjadi bank umum. Oleh karena itu perlu dihidupkan kembali bank yang berpihak kepada petani (Bank Koperasi Petani). Bank tersebut akan memberikan kemudahan dalam kredit pertanian dengan bunga yang rendah dan menyalurkan saprodi. Selain itu perlu dibentuk asuransi pertanian (Crop Insurance) untuk memberikan asuransi atas keberlangsungan tanah pertanian (Amanat UndangUndang Nomor 19 Tahun 2013).







Bagian Penjelasan II angka (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria memberikan arahan bahwa untuk mewujudkan “tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri” perlu dibarengi dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain.



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



53







Dalam petunjuk pelaksanaan juga telah diatur mengenai pelaksanaan akses reform dengan nama bina petani penerima tanah. Pokok kegiatannya adalah untuk membantu pembentukan kelembagaan petani dan memberikan bantuan untuk petani dapat mengakses seluruh kebutuhan yang diperlukannya baik modal atau ketrampilan sehingga akan dapat meningkatkan penggunaan dan pemanfatan tanahnya serta meningkatkan produksinya.







Pasal 17 dan 18 diubah menjadi ketentuan untuk melaksanakan akses reform Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, agar petani dapat memperoleh akses reform, sehingga petani dapat mengakses seluruh kebutuhan yang diperlukannya baik modal atau ketrampilan dan lainnya. Adanya akses reform tersebut diharapkan dapat meningkatkan penggunaan dan pemanfatan tanahnya serta meningkatkan produksinya.



2. Mengubah seluruh peraturan yang terkait dengan Landreform, sehingga perlu payung hukum atau aturan baru tentang redistribusi tanah yang komprehensif



Peraturan yang terkait dengan Landreform perlu diubah agar pelaksanaan redistribusi berjalan dengan baik. a.



Perubahan tersebut meliputi PP 224 Tahun 1961, UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian







Pasal 1 ayat 2 bahwa selama ini mengatur batas maksimum tanah seluas 5 hektar yang dapat dikuasai dan bukan berarti dimiliki oleh RTP. Mengingat kepadatan penduduk semakin meningkat maka batas maksimum bisa ditetapkan kurang dari 5 ha (sesuai SE Nomor 381/19.1-100/II/2014) tentang mekanisme penyelesaian subjek dan/



54



atau objek redistribusi tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan. Kepemilikan tanah perlu ditetapkan sesuai kondisi dimasingmasing daerah. Zona LP2B untuk penggunaan tanah pertanian sudah ditetapkan diberbagai daerah tetapi lokasi tanahnya belum ditegaskan (UU no 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan) mengingat luasan zona pertanian di



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



pulau jawa luasannya sangat kecil (petani gurem), maka pembagian tanah kepada petani: 1) bisa dibawah 2 ha 2) apabila masing-masing petani wajib mendapatkan 2 ha (sesuai ketentuan peraturan yang berlaku) maka harus ada petani yang tereksklusi dengan diberikan ganti rugi baik dalam bentuk uang ataupun tanah pertanian ditempat lain. b.



Pasal 8 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang menyatakan bahwa Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar setiap RTP memiliki tanah pertanian minimum 2 Ha.



c.



Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 263 Tahun 1964 Tentang Penyempurnaan Panitia Landreform sebagaimana termaksud dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 1961 jo Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 1961 Tentang Organisasi Penyelenggaraan Landreform.







Berdasarkan Keppres 34 Tahun 2003 bahwa kewenangan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota kecuali jika wilayahnya melintasi kabupaten/kota maka kewenangannya penetapan subyek dan obyek reditribusi tanah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi. Panitia Pertimbangan Landreform (PPL) terdiri dari PPL Pusat, PPL Tingkat I, PPL Tingkat II, PPL Kecamatan dan PPL Desa. PPL yang aktif saat ini hanya PPL Kabupaten/Kota yang seharusnya PPL Pusat dan PPL Tingkat I, PPL Kecamatan dan PPL Desa tetap aktif.



d.



Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.







Berdasarkan Pasal 55 bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai



dengan



kewenangannya



berkewajiban



memberikan



ketersedian lahan pertanian yang dilakukan melalui konsolodisi lahan pertanian. Sesuai dengan kewenangannya pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan perluasan lahan pertanian



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



55



melalui penetapan tanah terlantar. Instrumen untuk melaksanakan kewenangan tersebut melalui redistribusi tanah. e.



Berdasarkan Keppres No. 34 Tahun 2003 kewenangan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee telah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Redistribusi sebagai bagian dari Landreform dan Reforma Agraria seharusnya merupakan Grand Design nasional. Untuk itu perlu dilakukan peninjauan kembali Keppres 34 Tahun 2003, karena kewenangan tersebut masih dilaksanakan atau menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan Keppres tersebut.







Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia pada Pasal 17 menyatakan bahwa Deputi Bidang Hak Tanah, Pendaftaran Tanah dan Pemberdayaan Masyarakat menyelenggarakan fungsi pelaksanaan pengaturan dan penetapan penguasaan dan kepemilikan tanah (Landreform).







Terjadi paradoks antara Keppres No. 34 Tahun 2003 dengan Perpres No. 63 Tahun 2013 dalam hubungannya dengan pelaksanaan fungsi landreform.



f.



Berdasarkan permasalah-permasalahan tersebut diatas maka perlu disusun Grand Desain Reforma Agraria (RA) sehingga landreform dapat menjadi dasar pembangunan pertanian. Adanya Grand Desain Reforma Agraria (RA) diharapkan pembangunan pertanian dapat terarah dalam pencapaiannya.







56



Wiradi (2014) menyampaikan mengenai perubahan secara komprehensif seluruh peraturan perundangan terkait Landreform ini sebagai berikut landasan hukum yang dipakai adalah UUPA 1960, UU No. 56, Prp tahun 1960, dan PP 224/1961. Ini semua tentu saja tidak salah, yang tidak diungkapkan, karena mungkin kurang dipahami menurut Wiradi adalah apa yang melatarbelakangi lahirnya ketiga peraturan tersebut, serta



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



konteks jamannya. Memang, biasanya orang membuat evaluasi dengan cara membandingkan hasil yang diperoleh dengan “target” yang ingin dicapai, dan mencoba mengatasi hambatan-hambatan ataupun masalahmasalah baru yang timbul. Namun dalam persoalan tanah, dan agraria pada umumnya, khususnya di Indonesia, masalahnya tidak sesederhana itu. Oleh karena itu, maka menurut Wiradi dengan melihat kepada tiga hal pokok yang perlu dicermati dan dipahami, yaitu : a. Pandangan pandangan dasar dan kebijakan politik agraria nasional yang melandasi lahirnya tiga aturan hukum tersebut di atas.



“Founding Fathers” kita sudah menyadari bahwa karena pada dasarnya Indonesia adalah berciri “agraris”, maka begitu merdeka, langkah pertama yang paling mendasar adalah menata ulang masalah agraria. Karena itu, pada awal tahun 1946, belum setahun Indonesia merdeka, pemerintah sudah melaksanakan “land reform” kecil-kecilan di daerah Banyumas, dan sukses. Kemudian di tahun 1948, pemerintah menghapuskan hak-hak istimewa 40 perusahaan gula tebu di daerah Solo dan Yogya. Atas dasar langkah percobaan itu, maka di tahun 1948 dibentuklah “Panitia Agraria” yang bertugas melakukan persiapan untuk menyusun Undang-Undang Agraria Nasional guna menggantikan Undang-Undang Agraria Kolonial 1870. Tujuannya jelas, yaitu memberi landasan hukum bagi suatu kebijakan “Reforma Agraria”, yaitu merombak tata penguasaan tanah, warisan stelsel feodal dan kolonial, menjadi susunan yang berkeadilan.







Tahun 1945-1949 adalah masa revolusi fisik, perang dan damai silih berganti. Status pemerintahan pun berubah-ubah. Karena itu kerja Panitia Agraria pun tersendat-sendat, dan mengalami pergantian Ketua Panitia beberapa kali. Pada tahun 1958, RUU Agraria, yang dikenal sebagai rancangan Panitia Soenaryo diserahkan kepada Presiden, tetapi ditolak dengan alasan agar isinya diuji dulu di universitas. Maka DPR kemudian bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada. Pertanyaan pokok yang muncul adalah; “Bagi bangsa Indonesia, tanah itu apa, dan milik siapa?”. Ringkas kata, akhirnya disepakati bahwa bagi bangsa Indonesia, “tanah adalah milik bersama seluruh bangsa”.



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



57



Tanah adalah sumber penghidupan, karena itu tidak boleh dijadikan barang dagangan yang semata-mata untuk mencari keuntungan. Konsep “milik bersama” atau komunalisme ini diangkat dari tradisi pedesaan di berbagai daerah ke tingkat nasional. Pertanyaannya, pada tingkat desa, mengatur milik komunal itu relatif mudah, tapi pada tingkat nasional, bangsa yang terdiri dari jutaan rumah tangga, bagaimana mengaturnya? Implikasinya pada sistem ketatanegaraan kita. Yang mengatur adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Karena itu, MPR adalah “Lembaga Tertinggi Negara!” (celakanya, di era pasca Orde Baru ini, MPR dikerdilkan statusnya menjadi hanya Lembaga Tinggi Negara, sehingga kehilangan fungsi aslinya!).



Sebelum berlanjut ada baiknya disini diingatkan kembali bagaimana atau apa sebenarnya yang dimaksud dengan Reforma Agraria (RA) yang “genuine”? Dari sejarahnya yang panjang ribuan tahun, pada awalnya pembaruan agraria adalah semata-mata masalah sosialpolitik, dan barulah pada akhir abad ke-19 aspek ekonomi masuk pertimbangan. Jadi dalam pengertian kontemporer, definisinya adalah “Pembaruan Agraria adalah penataan ulang susunan pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah (dan sumber agraria lainnya) untuk kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani, tuna kisma, dll) secara menyeluruh dan komprehensif” (Cf. Russel King, 1977). Menyeluruh dan komprehensif artinya, pertama, sasarannya bukan hanya tanah pertanian, tapi juga tanah-tanah kehutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan, dan sumber-sumber agraria lainnya. Kedua, program “penataan ulang” (atau “land reform”) itu harus disertai dengan program penunjangnya seperti, penyuluhan, pendidikan, teknologi produksi, perkreditan, pemasaran, dll. Singkatnya, Reforma Agraria adalah Land Reform plus program penunjang. Intinya memang land reform (LR). Artinya LR tanpa program penunjang masih bisa disebut



58



sebagai RA tapi belum lengkap. Tetapi jika hanya program penunjang, tanpa LR, tidak dapat disebut RA.



Reforma Agraria (RA) yang “genuine” adalah; 1) Sifatnya “drastic” (tegas), programnya punya jangka waktu



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



tertentu, “fixed in time” (menurut Christodoulou, 1990). 2) Lembaga pelaksananya, atau status programnya bersifat “ad hock” (menurut Peter Dorner, 1972). 3) Proses operasionalnya “rapid” (cepat) (menurut Elias Tuma, 1965).



Tujuan RA; 1) Secara makro adalah mengubah struktur masyarakat, dari susunan warisan feodal kolonial menjadi susunan masyarakat yang lebih adil dan merata. 2) Secara mikro, tujuannya agar sedapat mungkin semua (atau sebagian besar) rakyat mempunyai aset produksi, lebih produktif, dan pengangguran dapat diperkecil.







Prinsip utama yang harus dipegang; 1) Tanah untuk mereka yang benar-benar menggarapnya/ mengerjakannya. 2) Tanah tidak dijadikan komoditi komersial. 3) Tanah mempunyai fungsi sosial.







Menurut Wiradi (2014), pengertian-pengertian dasar tersebut di atas perlu dipahami benar, sebab kalau tidak, sadar atau tidak sadar, sengaja atau tak sengaja, yang dilakukan adalah “quasi reform” atau “pseudoreform” (Christodoulou, ibid).



b. Perubahan rezim pemerintahan dari “Orla” ke “Orba” dan “pasca Orba”, serta latar belakang lahirnya Badan Pertanahan Nasional (BPN)



Kita semua tahu bahwa sejak lahirnya Orde Baru, pemerintah tidak lagi mengambil kebijakan dasar bahwa RA sebagai basis pembangunan. Bahkan UUPA 1960 di “peti es kan”. Artinya, walaupun tidak dicabut tetapi tidak dilaksanakan sebagaimana yang dicita-citakan. Bahkan untuk sekitar 10 tahun diberi “citra” bahwa UUPA 1960 adalah “komunis”. Barulah pada tahun 1978, secara resmi dinyatakan bahwa UUPA 1960 adalah produk nasional, dan bukan produk PKI. Namun



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



59



stigma yang ditancapkan ke pikiran masyarakat sudah terlanjur melekat secara mendalam (bahkan sampai sekarang?).



Kebetulan lahirnya Orde Baru bersamaan dengan lahirnya Revolusi Hijau (RH) di Asia. Karena itu, kebijakan dasarnya adalah RH tanpa RA! Ini berimplikasi pada masalah kelembagaan.







Dahulu, sampai dengan pertengahan tahun 1966, ada Menteri Agraria yang bersama lima Menteri lainnya (Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, PMD, dan Pengairan) berada di bawah Menko (Menteri Kompartemen) Pertanian dan Agraria. Tetapi sejak presiden Soeharto berkuasa, tidak ada lagi Menteri Agraria. Urusan agraria kemudian ditangani oleh Direktorat Jendral Agraria yang diletakkan di bawah Menteri Dalam Negeri. UUPA 1960 tidak dicabut, tetapi “dimanfaatkan” sesuai selera kebijakan dasar Orde Baru.







Sementara itu, pada tahun 1979 oleh FAO diselenggarakan Konferensi Internasional tentang Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan di Roma, yang oleh sejumlah pakar dari berbagai negara ditindaklanjuti dengan studi banding ke negara-negara Asia dan Amerika Latin. Hasil studi banding itu kemudian dibahas dalam “International Policy Workshop on Agrarian Reform in Comparative Perspective” yang berlangsung di Selabintana, Sukabumi, Jawa Barat tahun 1981. Oleh pemerintah Orde Baru, peristiwa Selabintana ini dilarang untuk diliput baik oleh media cetak, radio, maupun televisi, walaupun secara resmi dibuka oleh Wakil Gubernur Jawa Barat.







Salah satu rekomendasi dari hasil lokakarya tersebut adalah; “Jika Indonesia memang benar-benar mempunyai kemauan politik untuk melaksanakan Reforma Agraria, maka sebaiknya pertama-tama perlu dibentuk sebuah lembaga, Badan Otorita Reforma Agraria (BORA)



60



yang berfungsi untuk menyusun “Grand Design” RA, mengkoordinir semua sektor, mempercepat semua proses, dan menangani konflik.



Untuk lebih dari 5 tahun lamanya, tanggapan dari pemerintah Orde Baru tak kunjung datang. Barulah pada tahun 1988, Direktorat Jendral



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



Agraria dicabut dari Departemen Dalam Negeri, dan ditransformasikan menjadi Badan Pertanahan Nasional (BPN). Semula para pakar, baik Indonesia maupun asing, mengira bahwa BPN adalah lembaga yang akan menjadi BORA seperti direkomendasikan oleh hasil Selabintana. Ternyata harapan itu sama sekali meleset. c. Gambaran umum dinamika sosial yang ada sekarang mengenai masalah agraria



Gambaran saat ini, yaitu; a. Konflik agraria merebak dimana-mana meliputi hampir semua wilayah, dan menyangkut berbagai sektor. Selama 30 tahun konflik agraria bukannya mereda, melainkan meningkat, dan disertai kekerasan. b. Ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah, semakin parah. c. Sumber-sumber agraria dikuasai korporasi asing.







Posisi RA saat ini menurut Iwan Nurdin, Sekjen KPA : a. Gagasan Reforma Agraria saat ini terus berkembang baik di level Internasional dan Nasional. Pembahasan Post MDGs atau SDGs 2015 di PBB gagasan reforma agraria mengalir di dalam bab mengenai konflik SDA, ketimpangan, hingga pertanian. b. Di level nasional gagasan ini juga terus berkembang di kalangan CSOs, akademisi, parlemen, dan pemerintahan. Bahkan secara politis, dalam Pilpres mendatang para kandidat gencar membicarakan RA. Sementara itu, pada sisi legislasi, RA terurai dalam RUU-Pertanahan yang sedang digodok di DPR. c. Dalam RPJMN dan RKP Pemerintah sekarang, RA masih menjadi program yang tertinggal jauh dibandingkan isu lain. Bahkan dalam White Paper Pertanahan Bappenas.







Wiradi (2014) mengungkapkan sejak tahun 2006/2007, BPN melancarkan PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional). Namun program ini hanya difokuskan pada “redistribusi” tanah secara



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



61



parsial dan sertifikasi. Sertifikasi inilah langkah yang menyesatkan pengertian jika klaimnya adalah “Reforma Agraria” (RA). Sebab, RA yang “genuine” meletakkan program sertifikasi itu sebagai langkah terakhir



Belajar dari masa lalu. Ketika kita memprogramkan landreform adalah Wolf Lagenskie (penasihat agraria) – penasihat Jenderal Mc.Arthur yang melaksanakan landreform di Jepang, yang saat itu menjadi konsultan Indonesia. Jadi landreform bukan dari komunis tetapi justru dari Amerika. Dia datang 3x ke Indonesia. Tahun 19601965 mempersiapkan kelembagaan landreform. Dahulu yang ada: 1) panitia pengukuran desa lengkap, 2) panitia landreform yang anggotanya terdiri dari seluruh golongan (partai tani, dll) --- ini untuk registrasi dahulu bukan sertipikasi. LR yang genuine adalah tata guna tanah dahulu dan sertipikasi langkah terakhir. Sebelum adanya tata guna tanah maka sertipikasi malah menyebabkan ketidakadilan. Orang yang bersertipikat yang memiliki tanah 3000 ha akan kuat dibandingkan yang tidak memiliki sertipikat yang lebih mudah digusur.







Berbagai “masalah” dalam pelaksanaan redistribusi tanah menurut Wiradi (2014), seperti tanah yang diterima diperjualbelikan, subjek tidak tepat sasaran, objek tak sesuai ketentuan, dan sebagainya, dan seterusnya, itu semua wajar saja, karena PPAN tidak dirancang dalam kerangka RA yang sejati, melainkan hanya menjadi penyokong atau program penyerta (complementary program) dari program “Revitalisasi pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan”. Menurut Wiradi, BPN hanya merupakan instrumen dari kebijakan dasar pimpinan nasional. Sedangkan kebijakan dasar tersebut sejak lengsernya Orde Baru, tidak jelas. Apalagi dengan ditiadakannya



62



GBHN, kebijakan nasional seolah-olah menjadi tanpa arah. Perlu grand design RA. Grand design RA itu maksudnya sebagai berikut (Wiradi). Pada tingkatan desa – tanah komunal diatur badan permusyawaratan desa. Tanah komunal digarap oleh A. A meninggal maka dirapat apakah diberikan ke anak A atau ke yang lainnya. Musyawarah yang



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



akan menentukan siapa dan bagaimana mengelola tanah tersebut. Adapun level negara maka tidak rinci sekali tetapi digariskan dalam GBHN. Grand design RA akan menetapkan desain/model. Bila menetapkan redistribusi maka misal : 1) tanah tersedia untuk petani berapa, 2) untuk kelerengan sekian maka persentasenya ditentukan ----- proporsi penggunaannya (tata guna tanah) dipetakan dahulu. Untuk melaksanakan itu, kelembagaannya gimana. Koordinasi kelembagaannya seperti apa. Rumusannya adalah landasan filosofis yang tidak ke barat dan timur (non kapitalis dan non sosialis). Negara tidak bisa menyewakan tanah karena negara bukan pemilik tanah. India menyatakan grand design RA : 1) menghapuskan perantara, 2), land distribution, 3) security of tenancy, 4) konsolidasi tanah. Berdasarkan ke dua alternatif tersebut, maka direkomendasikan untuk tidak hanya mengubah PP No. 224 Tahun 1961, tetapi juga mempertimbangkan secara komprehensif peraturan yang terkait dengan Landreform atau berupa payung hukum baru yang komprehensif.



63



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



64



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



Daftar Pustaka



PAPER KEBIJAKAN EVALUASI PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN



65



Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 2012. Bahan Rakernas Direktorat Landreform. Hotel Mercure Ancol Jakarta 27-29 Februari 2012, Jakarta. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 2005. Buku Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Redistribusi Tanah Obyek Land Reform. Direktorat Land Reform Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, Jakarta. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 2013. Materi Sidang Komisi Rapat Kerja Nasional, Term of Reference Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar dan Peningkatan Redistribusi Tanah untuk Kesejahteraan Rakyat. Rapat Kerja Nasional BPN RI, Jakarta. Boedi Harsono, 2003. Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Penerbit Djambatan, Jakarta. Direktorat Landreform, Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, 2009. Laporan Akhir Kajian Pengembangan Kebijakkan Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Tanah. Jakarta. Direktorat Landreform BPN RI, 2014. Permasalahan Pelaksanaan Redistribusi Tanah Obyek Landreform:Ditinjau Dari Peraturan Perundangan Yang Berlaku. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2013. Laporan Akhir Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional 2015 – 2019. Nata Menggala, Hasan Basri, 2014. Tinjauan Ketentuan Landreform (Redistribusi Tanah Obyek Landreform) dan Pelaksanaannya. Parlindungan, AP, 1987. Landreform di Indonesia suatu studi perbandingan. Penerbit Alumni, Bandung.



66



Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN dan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 1995. Penelitian Pelaksanaan Landreform Pedesaan, Jakarta. Wilson, 1987. “The Political Economy of Contract Farming”, Review of Radical Political Economics 18, No. 4:47-70. Wiradi, Gunawan, 2014. Evaluasi Kebijakan Pelaksanaan Redistribusi Tanah Pertanian. Makalah disampaikan pada acara “Konsinyering Penyusunan Draft Paper Kebijakan Evaluasi Pelaksanaan Redistribusi Tanah Pertanian”. Hotel Oria Jakarta, 25 September 2014.



PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional



Peneliti Muda/Koordinator Ketua



Ir. Eliana Sidipurwanty, M.Si INDRIAYATI Indriayati merupakan peneliti muda di Puslitbang-BPN RI. Pendidikan S1 diselesaikan dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta pada tahun 2001 dan meraih master dalam bidang Administrasi Publik dari STIA-LAN Jakarta tahun 2011. Beberapa penelitian yang pernah dilaksanakan diantaranya, pengembangan SDM dalam mendukung pelayanan pertanahan (2009), penataan kebijakan pertanahan di kawasan bekas pertambangan (2010), model access reform dan pemberdayaan masyarakat di wilayah perkebunan (2011), pelimpahan kewenangan di BPN (2012) dan peluang peningkatan optimalisasi penggunaan CORS dalam mendukung pelayanan pertanahan (2013).



Sekretaris



Anggota



Pembantu Peneliti MELIA YUSRI, SP



ASEP DINDIN HAERUDIN, ST



DR. ASLAN NOOR, SH, MH, SP.1



ROMI NUGROHO, S.SI



Dra. RATNA DJUITA



SURYALITA, A.PTNH



INDRIAYATI S.SiT., M.AP.