Paper Kelompok 1 (PPN Dan PPNBM) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Bahan Mewah (PPnBM) Aldya Shafa Diba1, Anisa Haura Ladiba2, Erlinda Deviana3, Humaira Nadya4, Marisa Adela Angelia5, Suci Latifah6 1Undergraduate



Student of Tax Accounting, Padjadjaran University



Abstract Value Added Tax (VAT) is a relatively new type of tax and is considered a modern form of taxation (Liam Ebrill, 2001). Before the implementation of VAT, the imposition of taxes on indirect consumption was only limited to certain products. The ideas and concepts that emerged in the 1920s eventually form the conclusion that taxes which constitute "Revised Circulation Taxes" are taxes that are levied and collected at each stage of production and distribution of goods and services at the time of the transaction. VAT was first applied in France in 1948 in the form of taxation at the manufacturing stage. In 1954, France then changed the imposition of VAT from the manufacturing stage to taxation for all stages of production and distribution. The legal basis for PPnBM is Law Number 8 of 1983 concerning Mining Tax for Value of Goods and Services Sales Tax on Luxury Goods (PPnBM) which has been amended several times, most recently by Law Number 42 of 2009. The legal basis for PPnBM is more specifically regulated in Regulation of the Minister of Finance (PMK) and later downgraded to the Regulation of the Director General of Taxes (PER) and Circular (SE) of the Director General of Taxes. Keywords:, Value Added Tax, Tax, Services Sales Tax on Luxury Goods



Abstrak Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan jenis pajak yang relatif baru dan dianggap sebagai bentuk pemajakan modern (Liam Ebrill, 2001). Sebelum diterapkannya PPN, pengenaan pajak atas konsumsi yang bersifat tidak langsung hanya dilakukan terbatas pada produk-produk tertentu. Gagasan serta konsep yang muncul di Tahun 1920-an tersebut akhirnya membentuk kesimpulan bahwa pajak yang merupakan “Perbaikan Pajak Peredaran” adalah pajak yang dikenakan dan dipungut pada setiap tahap produksi dan distribusi dari barang dan jasa saat terjadinya transaksi. PPN pertama kali diterapkan di Prancis pada tahun 1948 dalam bentuk pengenaan pajak di tahap pabrikan. Pada tahun 1954, Prancis kemudian mengubah pengenaan PPN yang semula hanya di tahap pabrikan menjadi pengenaan pajak di selurh tahapan produksi dan distribusi. Dasar hukum PPnBM adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambangan Nilai Barang dan Jasa Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang sudah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Dasar hukum PPnBM yang lebih spesifik diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan kemudian diturunkan menjadi Peraturan Direktur Jendral Pajak (PER) serta Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pajak.



Kata Kunci: PPN, Pajak, PPnBM



PENDAHULUAN Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan jenis pajak yang relative baru dan dianggap sebagai bentuk pemajakan modern (Liam Ebrill, 2001). Sebelum diterapkannya PPN, pengenaan pajak atas konsumsi yang bersifat tidak langsung hanya dilakukan terbatas pada produk-produk tertentu. Gagasan serta konsep yang muncul di Tahun 1920an tersebut akhirnya membentuk kesimpulan bahwa pajak merupakan “Perbaikan Pajak Peredaran” adalah pajak yang dikenakan dan dipungut pada setiap tahap produksi dan distribusi dari barang dan jasa saat terjadinya transaksi. PPN pertama kali diterapkan di Pranics pada tahun 1948 dalam bentuk pengenaan pajak di tahap pabrikan. Pada tahun 1954, Prancis kemudian mengubah pengenaan PPN yang semula hanya di tahap pabrikan menjadi pengenaan pajak di seluruh tahapan produksi dan distribusi. Dasar hukum PPnBM adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambangan Nilai Barang dan Jasa Pajak Penjualan dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Dasar hukum PPnBM yang lebih spesifik diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan kemudian diturunkan menjadi Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) serta Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pajak. SEJARAH PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) Dalam sejarahnya, PPN merupakan suatu inovasi fiscal terbaru. Bahkan Sijbern Cnossen mengklaim bahwa pengenalan PPN secara universal dapat dianggap sebagai peristiwa terpenting dalam evolusi struktur pajak yang terjadi pada paruh terakhir di abad ke-20 (Kathryn James, 2015). Sebelum diterapkannya PPN, pengenaan pajak atas konsumsi yang bersifat tidak langsung hanya dilakukan terbatas pada produk-produk tertentu. Misalnya, pengenaan cukai atas alcohol dan tembakau. Selain cukai, dikenal juga jenis pajak tidak langsung lainnya, yaitu pajak penjualan dan pajak peredaran. Namun, distorsi yang dihasilkan dari pajak penjualan dan pajak peredaran karena adanya pajak atas pajak (cascading effect) dari penerapan kedua jenis pajak tersebut serta ditambah dengan adanya tuntutan peningkatan penerimaan, memberikan dorongan bagi pemerintah untuk mencari alternatif bentuk pajak lainnya. Gagasan dasar mengenai PPN pertama kali muncul dari seorang pengusaha Jerman bernama Dr. Wilhelm von Siemens yang



menyadari adanya masalah yang ditimbulkan dari penerapan pajak peredaran. Pada tahun 1920-an, melalui tulisannya von Siemens kemudian mengembangkan gagasannya tersebut, yang Ia namakan “Perbaikan Pajak Peredaran” atau “Penyempurnaan Pajak Peredaran” (Alan Schenk dan Oliver Oldman, 2007). Gagasan serta konsep yang muncul di tahun 1920-an tersebut akhirnya membentuk kesimpulan bahwa pajak yang merupakan “Perbaikan Pajak Peredaran” adalah pajak yang dikenakan dan dipungut pada setiap tahap prodksi dan distribusi dari barang dan jasa saat terjadinya transaksi. Akan tetapi, walaupun dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi, dengan adanya metode pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran maka pajak yang dikenakan hanya atas pertambahan nilai yang timbul pada setiap tahapan tersebut. Gagasan dan konsep inilah yang menjadi asal muasal lahirnya PPN. Banyak negara Eropa memberlakukan PPN pada Tahun 1960-an dan 1970-an. Sementara itu, negara berkembang mengikuti penerapan PPN pada Tahun 1980-an dan sesudahnya. Dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, PPN telah menjadi salah satu instrument penerimaan yang paling dominan di berbagai negara. Sampai 1 Januari 2016, menurut OECD (2016), terdapat 167 negara di dunia yang telah menerapkan PPN sebagai bentuk pajak atas konsumsi di negaranya. Setelah Periode Pajak Pembangunan I (PPb I), Periode Pajak Peredaran 1950 (PPe 1950), dan Periode Pajak Penjualan 1951 (PPn 1951), kelas pajak kali ini akan memberikan penjabaran mengenai Periode Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Periode ini merupakan bagian terakhir dari empat periode sejarah dan perkembangan pemungutan PPN di Indonesia. Pada akhir 1983, Pemerintah Indonesia mencanangkan reformasi perpajakan yang kedua setelah reformasi perpajakan 1970 sebagai langkah mengoptimalkan penerimaan pendapatan dari sector pajak. Untuk mencapai sasaran kebtuhan pembangunan yang dikehendaki, seperti meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, serta pemerataan beban pajak, sistem PPN dianggap perlu diganti. Akan tetapi, penggantian sistem yang baru ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menghilangkan sisi negatif dari sistem PPN yang selama ini berlaku, yaitu menghulangkan efek pajak atas pajak (cascading effect) dari penerapan PPN. Atas dasar alas an tersebut diatas, UU PPN dianggap tidak dapat digunakan lagi untuk memenuhi kebutuhan dan diganti dengan sistem PPN yang diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah (UU PPN Nomor 8 Tahun 1983). Dalam pelaksanaannya, UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1983 yang pada awalnya akan diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1984. Namun, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1984 (Perppu),



Pemerintah memutuskan untuk menangguhkan pelaksanaan UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 menjadi selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 1986. Pelaksanaan UU PPN yang ditangguhkan, telah mulai diberlakukan pada 1 April 1985. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985 sebagai penganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 38 1983 (Soerjono Sastrohadikoesoemo, 2004). Dalam kurun waktu 35 tahun sejak disahkan pada tanggal 31 Desember 1983, UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 telah mengalami tiga kali perubahan : 1. Perubahan pertama dilakukan dengan UU Nomor 11 Tahun 1994 ( UU PPN Nomor 11 Tahun 1994), mulai berlaku pada 1 Januari 1995; 2. Perubahan kedua dilakukan dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 (UU PPN Nomor 18 Tahun 2000), mulai berlaku pada 1 Januari 2001; dan 3. Perubahan yang ketiga dilakukan dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN Nomor 42 Tahun 2009), mulai berlaku pada 1 April 2010. Dalam konsiderans “Menimbang” UU Nmoor 42 Tahun 2009 mencantumkan dasar pertimbangan perubahan ketiga UU PPN sebagai berikut : 1. Lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan; 2. Menciptakan sistem perpajakan yang sederhana; 3. Mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri. DASAR HUKUM PPN PPnBM dan PPN diatur dalam UndangUndang yang sama, karena PPnBM tidak dapat dikenakan tersendiri tanpa pengenaan PPN. PPN merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dalam peredarannya dan produsen ke konsumen. Hampir semua barang konsumsi dikenakan PPN, maka PPN ditetapkan bertarif tunggal 10% dari harga jual. Sedangkan PPnBM lebih spesifik lagi, dikenakan hanya pada saat penyerahan Barang Kena Pajak yang berkategori mewah, denga tarif beragam, sesuai jenis barang. A. Dasar Hukum PPN UU Nomor 8 Tahun 1983 Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 mengatur tentang daerah pabean, barang berwujud dan BKP.



Penyerahan BKP dalam peraturan tentang PPN ini adalah penyerahan BKP karena suatu perjanjian, pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli (leasing) dan penghasilan hasil produksi dalam keadaan bergerak. Sedangkan yang dimaksud penyerahan JKP meliputi pemberian JKP yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan/untuk kepentingan sendiri. Tarif PPN ditetapkan sebesar 10% dan tarif atas ekspor BKP/JKP sebesar 0% dengan ketentuan dapat diubah serendahrendahnya menjadi 5% dan setinggi-tingginya 15%. Undang-undang ini berlaku sejak 1 Januari 1984 bersamaan dengan UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Indonesia serta UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Namun, dasar hukum PPN ini baru disahkan pada 1 April 1985. B. Dasar Hukum PPN UU Nomor 11 Tahun 1994 Beberapa poin penting dari kebijakan ini adalah penjelasan, PPN sebagai pajak tidak langsung yang dihitung oleh penjual tetapi dibayar oleh orang lain (pembeli). Selanjutnya, dasar hukum PPN ini menjelaskan adanya sistem Muli Stage Tax sebagai pajak yang dikenakan secara bertingkat, pada rantai produksi dan distribusi. UU No. 11 Tahun 1994 ini juga membahas mengenai consumption type VAT sebagai pajak yang dipungut atas nilai tambah, penerapan Non cumulative Tax yaitu sistem pengenaan pajak pada barang/jasa yang telah dikenakan terhadap barang/jasa yang telah dikenakan pajak daerah. Penerapan tarif tunggal 10% diberlakukan untuk pungutan PPN dan pajak objektif sebagai pajak yang dikenakan atas barang/jasa tanpa melihat orang/adan yang melakukan transaksi. C. Dasar Hukum PPN UU Nomor 42 Tahun 2009 UU No. 42 tahun 2009 adalah perubahan ketiga atas UU PPN. Dengan kata lain, peraturan ini merupakan dasar hukum terbaru yang mengatur tentang PPN. Undangundang yang menjadi dasar hukum PPN ini membahas sejumlah perubahan dari undang-undang sebelumnya seperti mengenai status KPK sebagai pihak yang wajib menyetor melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang, hingga kewajiban pengusaha kecil yang sudah memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Berdasarkan peraturan ini, PPN dkenakan atas penyerahan JKP dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha, impor BKP, penyerahan JKP dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha, pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, ekspor BKP berwujud oleh PKP, ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP dan ekspor JKP oleh PKP. UU No. 43 tahun 2009 juga mengatur bahwa PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan (sebagian/seluruhnya) dapat dikurangkan dari PPN terutang yang terjadi dalam masa pajak terjadinya pembatalan.



D. Dasar Hukum PMK No. 197/PMK.03/2013 Peraturan mengenai pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN diatur melalui PMK No. 197/PMK.03/2013 yang juga mengatur PKP sebagai pihak yang wajib melaporkan pajaknya karena jumlah penjualan barang dan jasa yang sudah melebihi Rp 4.800.000.000. Pelaporan dilakukan pada akhir bulan berikutnya setelah jumlah penjualan berhasil melebihi Rp 4.800.000.000. DASAR HUKUM PPnBM Sebagai dasar hukum, UU PPN hanya menjabarkan mengenai ketentuan umum terkait PPnBM. Sementara, dasar hukum PPnBM yang lebih spesifik diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan kemudian diturunkan menjadi Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) serta Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pajak. Sama dengan UU PPN, dasar hukum PPnBM dalam bentuk PMK juga selalu mengalami pembaharuan, mengacu pada perubahan kondisi yang terjadi dalam praktek. Bahkan, PER dan SE telah merinci berbagai hal mengenai PPnBM, hingga saat terutangnya PPnBM dan PPnBM atas penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya. Namun PER dan SE ini tidak bisa dikatakan sebagai dasar hukum, melainkan merupakan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis PPnBM Sementara yang dikatakan sebagai dasar hukum PPnBM yang akan menjadi pembahasan tulisan ini adalah PMK, baik PMK untuk kendaraan bermotor dan non kendaraan bermotor. A. Dasar Hukum PPnBM Kendaraan Bermotor PMK Nomor 64/PMK.011/2014 merupakan dasar hukum PPnBM kendaraan bermotor yang secara rinci menjabarkan tarif PPnBM yang dikenakan atas beberapa klasifikasi kendaraan bermotor serta penghitungan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPnBM BKP yang tergolong mewah. PMK Nomor 64/PMK.011/2014 sebagai dasar hukum PPnBM kendaraan bermotor juga mengatur mengenai jenis-jenis penyerahan dan impor kendaraan bermotor yang mendapatkan fasilitas tidak dikenakan PPnBM, serta penyerahan dan impor kendaraan bermotor yang mendapatkan fasilitas pembebasan dari pungutan PPnBM. Hal ini diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 PMK Nomor 64/PMK.011/2014. Pasal 7 PMK Nomor 64/PMK.011/2014 menyebutkan bahwa, pungutan PPnBM tidak dikenakan pada barangbarang berikut:



1. 2. 3. 4.



Kendaraan CKD Kendaraan sasis Kendaraan pengangkutan barang Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 250 cc 5. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 16 orang atau lebih termasuk pengemudi Sementara, Pasal 8 menyebutkan kendaraan bermotor yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pungutan PPnBM adalah kendaraan bermotor yang memenuhi kriteria berikut ini: 1. Kendaraan bermotor berupa kendaraan ambulance, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, dan kendaraan pengangkutan umum. 2. Kendaraan protokoler kenegaraan. 3. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 orang sampai dengan 15 orang, termasuk pengemudi, yang digunakan untuk kendaraan dinas Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). 4. Kendaraan patroli TNI atau Polri. PMK Nomor 64/PMK.011/2014 ini mengalami perubahan kecil menjadi PMK 33/PMK.010/2017. Namun, perubahan yang terjadi hanya pada rincian kendaraan bermotor yang terkena pungutan PPnBM. PPnBM mobil mewah adalah pajak penjualan yang dikenakan pada kendaraan jenis mobil tertentu sebagaimana telah diatur oleh PP 22 Tahun 2014 dan PMK-64/PMK.011/2014. Tarif PpnBM mobil, khususnya mobil mewah mengacu pada beberapa peraturan diantaranya :  PP Nomor 41 Tahun 2013 tentang kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.  PMK/PMK.010/2017.  PP Nomor 22 Tahun 2014. Dalam PP Nomor 22 Tahun 2014 tercantum beberapa peraturan yang dapat Anda jadikan acuan untuk menghitung PPnBM mobil mewah. Berikut ini penjelasannya: 1. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM dengan tarif 10%:  Kendaraan bermotor untuk mengangkut 1 sampai 15 orang termasuk pengemudi.  Kendaraan dengan motor diesel/ semi diesel untuk semua kapasitas silinder.  Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 orang, termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon dengan motor diesel atau semi diesel.  Memiliki sistem satu gardan penggerak 4×2 dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.



2. Kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM sebesar 20%:  Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 orang termasuk pengemudi.  Kendaraan selain sedan/ station wagon dengan motor diesel/ semi diesel dengan sistem satu gardan penggerak (4×2) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc.  Mobil dengan kabin ganda dalam bentuk kendaraan bak terbuka. 3. Kendaraan bermotor yang dikenai tarif PPnBM 30%:  Kendaraan bermotor yang mengangkut kurang dari 10 orang termasuk pengemudi.  Kendaraan bermotor sedan/station wagon dengan motor diesel atau semi diesel dengan kapasitas isi silinder sampai 1.500 cc.  Kendaraan bermotor selain sedan/ station wagon dengan motor diesel/semi diesel.  Memiliki sistem dua gardan penggerak (4×4) dengan kapasitas isi silinder 1500 cc. 4. Kelompok kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM dengan tarif 40%:  Kendaraan bermotor selain sedan/ station wagon.  Memiliki sistem satu gardan penggerak (4×2).  Kapasitas silinder lebih dari 2.500 cc sampai 3.000 cc. 5. Kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM tarif 50%:  Semua jenis kendaraan khusus yang dimanfaatkan untuk golf. 6. Kendaraan Bermotor yang dikenai PPnBM 60%:  Kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, pantai, gunung dan kendaraan semacam itu. 7. Kendaraan Bermotor dengan PPnBM 125%  Mengangkut kurang dari 10 orang termasuk pengemudi.  Sedan/station wagon.  Kendaraan selain sedan atau station wagon dengan sistem 1 gardan penggerak 4×2.  Kendaraan yang memiliki sistem 2 gardan penggerak 4×4 dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3.000 cc.  Kendaraan bermotor untuk



pengangkutan kurang dari 10 orang termasuk pengemudi dengan mesin diesel/semi diesel berupa sedan/ station wagon.  Kendaraan selain sedan atau station wagon dengan sistem satu gardan penggerak (4×2) dengan sistem 2 gardan penggerak (4×4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2.500 cc.  PPnBM mobil mewah 125% juga dikenakan atas trailer, semi trailer, dan tipe karavan. B. Dasar Hukum PPnBM Non Kendaraan Bermotor PMK Nomor 35/PMK.010/2017 merupakan dasar hukum PPnBM untuk BKP yang tergolong mewah yang masuk kelompok non kendaraan bermotor. Untuk kelompok BKP tergolong mewah yang bukan kendaraan bermotor, yang terutama diatur adalah jenis BKP dan tarif yang dikenakan. Jenis barang mewah yang terkena pungutan PPnBM ini tertera dalam lampiran PMK Nomor 35/PMK.010/2017, misalnya rumah mewah, town house, apartemen hingga pengenaan PPnBM pada kapal pesiar dan yacht. Secara rinci, barang mewah selain kendaraan bermotor yang terkena pungutan PPnBM adalah sebagai berikut: 1. Tarif PPnBM untuk non kendaraan bermotor sebesar 20% diberlakukan pada:  Rumah dan town house dari jenis nonstrata title dengan harga jual sebesar Rp 20 miliar atau lebih.  Apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title dan sejenisnya dengan harga jual sebesar Rp 10 miliar atau lebih. 2. Tarif PPnBM untuk non kendaraan bermotor sebesar 40% diberlakukan pada:  Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak.  Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara, yang terdiri dari peluru dan bagiannya, tidak termasuk peluru senapan angin. 3. Tarif PPnBM untuk non kendaraan bermotor sebesar 50% diberlakukan pada:  Kelompok pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga yang terdiri dari helokopter, pesawat udara dan kendaraan udara lainnya, selain helikopter.  Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara yang terdiri dari senjata artileri, revolver dan pistol, senjata api (selain senjata artileri, revolver dan pistol) dan peralatan semacam itu yang dioperasikan dengan penembakan bahan peledak.



4. Tarif PPnBM untuk non kendaraan bermotor sebesar 75% diberlakukan pada:  Kapal pesiar, kapal ekskursi, dan kendaraan air



semacam yang dirancang untuk pengangkutan orang, kapal feri dari semua jenis, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum.  Yacht, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum. Pendahulu PMK Nomor 35/PMK.010/2017 sebagai dasar hukum PPnBM adalah PMK Nomor 106/PMK.010/2015 yang di dalamnya juga hanya mengatur mengenai jenis barang mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai pungutan PPnBM. CIRI-CIRI DAN KRITERIA PPN DI INDONESIA Pertanyaan yang paling umum tentang PPN adalah barang atau jasa apa saja yang dikenakan kewajiban pajak ini? Perlu diketahui bahwa ada banyak jenis barang atau jasa yang dikenai PPN. Oleh karena itu untuk memudahkan, maka pembedanya bisa diketahui dari beberapa ciri barang atau jasa yang tidak dikenakan PPN tersebut. Berikut ini merupakan kriteria untuk barang yang tidak berkewajiban dikenakan PPN:  Barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya  Barang dan bahan kebutuhan pokok yang umum digunakan masyarakat banyak untuk kehidupan sehari-hari  Makanan dan minuman yang disediakan di hotel, restoran, rumah makan, katering, dan sejenisnya.  Uang, surat berharga, dan emas batangan. Sedangkan untuk jasa, kriteria yang tidak terkena kewajiban PPN adalah jasa pelayanan sosial, pelayanan medis dan kesehatan, keuangan, keamanan, pengiriman surat berperangko, asuransi, keagamaan, pendidikan, seni dan hiburan, angkutan umum, tenaga kerja, perhotelan, penyiaran bukan iklan, penyedia tempat parkir, telepon umum dengan uang logam, pengiriman uang dengan wesel pos, katering atau boga, serta jasa yang disediakan pemerintah untuk keperluan umum. Selain kriteria barang/jasa yang dikenakan PPN, perlu diketahui pula bahwa PPN memiliki beberapa kriteria atau ciri-ciri khusus dibandingkan dengan pajak jenis lainnya. Berikut kriteria atau ciri-ciri lengkap dari PPN tersebut:



1. PPN Merupakan Pajak atas Konsumsi PPN adalah bagian dari pajak yang dikenakan atas konsumsi suatu barang atau jasa. Ini artinya, pajak ini dibebankan kepada pembeli atau konsumen yang tidak akan menjual kembali barang yang sudah dibelinya. Pembayaran PPN dari konsumen akhir ini dilakukan melalui penambahan biaya beli dan nantinya akan disetorkan oleh produsen. 2. PPN Merupakan Pajak Tidak Langsung Pajak disebut tidak langsung karena pajak ini tidak disetorkan langsung oleh si pembayar dan penyetor dari pihak berbeda. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, pajak dibayarkan oleh konsumen melalui pembayaran barang yang sudah dikenai PPN oleh produsen, lalu yang berkewajiban menyetorkan PPN tersebut adalah produsen. 3. PPN Merupakan Pajak Objektif PPN merupakan pajak objektif artinya bahwa pajak ini dinilai berdasarkan objek pajaknya (barang atau jasa) bukan subjek pajaknya (pembayar). Jadi, siapapun yang membeli barang atau jasa kena pajak yang dimaksud, maka nilai pajaknya akan sama saja. 4. PPN Merupakan Pajak Atas Konsumsi Barang/Jasa di Dalam Negeri Perlu diketahui pula bahwa PPN hanya dikenakan untuk Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) yang transaksinya terjadi di dalam negeri saja. Sebagai contoh transaksi impor juga dikenai PPN karena konsumsi berada di dalam negeri. 5. PPN Menggunakan Tarif Tunggal Sesuai peraturan perundang-undangan pajak, tarif dasar PPN bersifat tunggal untuk semua BKP atau JKP yaitu 10%. Ini artinya pajak ini akan bersifat regresif karena besar kecilnya nilai pajak sangat relatif antara satu orang dengan orang lainnya. 6. PPN bersifat Multi Stage Levy Hal yang dimaksud Multi Stage Levy adalah PPN tidak menimbulkan efek pemungutan pajak ganda atau berulang. Padahal PPN ini sendiri dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi muali dari pabrik, pedagang besar, grosir, hingga ke pengecer. Tidak bersifat pemungutan pajak ganda tersebut terjadi lantaran mekanismenya yang menggunakan sistem pengkreditan Pajak Keluaran dan Pajak Masukan. 7. PPN Menggunakan Metode Indirect Subtraction Dalam perhitungannya, mekanisme PPN menggunakan metode pengurangan secara tidak langsung (indirect substraction method). Metode ini berarti Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat mengkreditkan pajak masukan atas BKP dan JKP yang berbeda. Misalnya pajak masukan didapat dari pembelian BKP sedangkan pajak keluaran dari penjualan jasa.



CIRI-CIRI DAN KRITERIA PPnBM DI INDONESIA Berbeda dengan PPN, besaran PPnBM yang ditetapkan menurut Pasal 8 UU No.42 Tahun 2009 adalah paling rendah 10% dan paling tinggi hingga 200%. Hal ini berlaku untuk semua transaksi berkaitan barang mewah kecuali untuk ekspor. Dalam upaya menggenjot angka ekspor maka pemerintah menetapkan pajak 0% untuk barang mewah tersebut. Berikut 4 kriteria barang yang terkena PPnBM:  Barang yang bukan dikategorikan sebagai kebutuhan pokok  Barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu saja  Barang yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi  Barang yang menunjukkan status atau kelas sosial tinggi Ciri dan Keriteria PPnBM: 1. PPnBM Merupakan pungutan tambahan di samping PPN Ini artinya, PPnBM terpisah dengan kewajiban PPN. Barang yang sudah terkena PPN dan tergolong mewah maka terkena pula PPnBM sehingga nilai pajaknya menjadi lebih besar. 2. PPnBM Hanya Dikenakan Satu Kali Pemungutan PPnBM hanya diberlakukan satu kali yaitu pada saat impor Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah tersebut. Selain itu bisa juga saat penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak atau pabrikan yang membuatnya. 3. PPnBM Tidak Dapat Dikreditkan dengan PPN PPnBM memiliki ciri tidak dapat dikreditkan dengan PPN. Hal ini lantaran BKP yang terkena PPnBM bersifat konsumtif. Selain itu hal ini dilakukan sebagai upaya penerapan keadilan antara orang kaya dan miskin. 4. PPnBM untuk Eksportir bisa Melakukan Restitusi Meskipun tidak dapat dikreditkan, khusus PKP yang mengekspor BKP yang tergolong mewah bisa meminta restitusi (permohonan pengembalian pembayaran) PPnBM yang sudah dibayar. SISTEM PEMUNGUTAN PPN DAN PPnBM Secara umum, mekanisme pemungutan PPN merupakan rekanan menerbitkan faktur pajak dan menerbitkan SSP atas setiap penyerahan BKP/JKP ke pemungut PPN. Dengan demikian, pembeli atas BKP/JKP yang terkait wajib membayar ke PKP penjual sebesar harga jual ditambah PPN terutang. Tarif PPN sebesar 10%.



Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012 tentang Penunjukan Badan Usaha Milik Negara untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya, mekanisme pemungutan PPN adalah: 1. Rekanan memiliki kewajiban dalam membuat faktur pajak dan Surat Setoran Pajak (SSP) atas tiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 2. Faktur pajak dibuat sesuai ketentuan di bidang perpajakan. 3. Mencantumkan NPWP dan identitas rekanan dan melakukan penandatanganan SPP yang dilakukan oleh BUMN sebagai penyetor atas nama rekanan tersebut. 4. Atas penyerahan BKP, selain terutang PPN, yakni terutang pula PPnBM, maka rekanan mencantumkan pula jumlah PPnBM terutang pada faktur pajak. 5. Faktur pajak dibuat rangkap 3. Lembar pertama untuk BUMN, lembar kedua untuk rekanan, dan ketiga untuk BUMN yang dilampirkan pada SPT Masa PPN. 6. SSP dibuat rangkap 5. Lembar pertama untuk rekanan, kedua untuk KPPN lewat bank persepsi atau kantor pos, ketiga untuk rekanan yang dilampirkan pada SPT Masa PPN, keempat untuk bank persepsi atau kantor pos, kelima untuk BUMN yang dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi pemungut PPN. 7. Melakukan pemungutan wajib menyertakan cap “Disetor tanggal ……….” dan menandatanganinya pada faktur pajak. 8. Faktur pajak dan SSP adalah bukti pemungutan dan penyetoran atas PPN dan PPnBM. Mekanisme pemungutan PPnBM oleh pemungut PPN/PPnBM, yakni bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh PKP atas penyerahan BKP kepada pemungut PPN/PPnBM, terdiri atas tiga yakni: 1. Mekanisme pemungutan PPN oleh bendaharawan pemerintah dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Mekanisme pemungutan PPnBM oleh bendaharawan pemerintah dan KPPN adalah sebagai berikut: 1. PKP rekanan pemerintah membuat faktur pajak dan Surat Setoran Pajak (SSP) pada saat menyampaikan tagihan kepada bendaharawan Pemerintah atau KPKN baik untuk sebagian maupun seluruh pembayaran. 2. Rekanan menerbitkan faktur pajak dengan kode transaksi 02. 3. Apabila pembayaran diterima sebelum penagihan atau sebelum penyerahan BKP, faktur pajak wajib diterbitkan pada saat pembayaran diterima.



4. PKP rekanan mencantumkan jumlah PPnBM yang terutang pada faktur pajak. Pada lembar faktur pajak oleh bendaharawan pemerintah yang melakukan pemungut wajib dibubuhi cap yang menunjukan tanggal penyetoran PPnBM dan ditandatangani bendaharawan pemerintah. Sementara, apabila pemungutan oleh bendaharawan Pemerintah, SSP dibuat dalam rangka 5. Setelah PPnBM disetor di bank persepsi atau kantor pos, lembar-lembar SSP tersebut diperuntukkan sebagai berikut: 1. Lembar ke-1, untuk PKP rekanan 2. Lembar ke-2, untuk KPP melalui KPPN 3. Lembar ke-3, untuk PKP rekanan guna dilampirkan pada SPT masa pajak 4. Lembar ke-4, untuk bank persepsi atau kantor pos atau pertinggal untuk KPPN 5. Lembar ke-5, untuk arsip bendahara Apabila pemungutan oleh KPKN, SSP dibuat 4 rangkap yang masing-masing diperuntukkan sebagai berikut: 1. Lembar ke-1 untuk PKP rekanan pemerintah. 2. Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melalui KPKN. 3. Lembar ke-3 untuk PKP rekanan pemerintah dilampirkan pada SPT masa pajak. 4. Lembar ke-4 untuk KPKN. KPPN kemudian membubuhkan cap “TELAH DIBUKUKAN” pada SSP lembar ke-1 dan lembar ke-2. Selain itu, KPPN yang melakukan pemungutan harus mencantumkan nomor dan tanggal advis SPM pada setiap lembar Faktur Pajak dan SSP. Untuk pengisian SSP, menggunakan kode akun pajak 411211 dengan kode jenis setoran 910. 2. Mekanisme pemungutan PPN oleh bendaharawan pemerintah dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Mekanisme pemungutan PPnBM oleh kontraktor kontrak kerja sama adalah sebagai berikut: 1. Rekanan membuat faktur pajak pada saat pemungutan 2. Rekanan membuat faktur pajak dengan kode faktur 030 3. Faktur pajak dibuat dalam tiga rangkap, masing-masing untuk kontraktor atau pemegang kuasa, untuk rekanan dan untuk kontraktor atau pemegang kuasa yang akan dilampirkan dalam SPT masa pajak. Pada faktur pajak tersebut, kontraktor atau pemegang kuasa yang melakukan pemungutan wajib membubuhkan cap yang menunjukan tanggal penyetoran PPnBM dan kemudian menandatangani.



Sementara, untuk SSP diisi dengan membubuhkan NPWP dan identitas rekanan, namun yang menandatangani SSP adalah kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin selaku penyetor PPN/PPnBM atas nama rekanan. SSP-nya sendiri dibuat lima rangkap dengan peruntukan sebagai berikut: 1. Lembar kesatu untuk rekanan. 2. Lembar kedua untuk KPPN melalui bank persepsi atau kantor pos 3. Lembar ketiga untuk rekanan yang dilampirkan pada SPT masa pajak. 4. Lembar keempat untuk bank persepsi atau kantor pos. 5. Lembar kelima untuk kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin yang dilampirkan pada SPT masa pajak bagi pemungut PPN/PPnBM. 3. Mekanisme Pemungutan PPnBM oleh BUMN Rekanan BUMN membuat faktur pajak dan SSP saat penyerahan BKP yang tergolong mewah kepada BUMN. Faktur pajak yang dibuat oleh rekanan BUMN menggunakan kode faktur 03. Ketentuan mengenai faktur pajak terkait mekanisme pemungutan PPnBM oleh BUMN adalah sebagai berikut: 1. Faktur pajak dibuat saat penyerahan. 2. Faktur pajak dibuat dua rangkap, untuk BUMN dan rekanan BUMN. 3. Pada faktur pajak yang dibuat, dibubuhi cap yang menunjukan tanggal penyetoran dan ditandatangani oleh BUMN. Sementara, ketentuan mengenai SSP adalah sebagai berikut: 1. Rekanan mengisi SSP dengan membubuhkan NPWP serta identitas rekanan BUMN, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh BUMN sebagai penyetor atas nama rekanan 2. SSP dibuat 4 rangkap, masing-masing untuk:  Rekanan BUMN  Untuk KPPN melalui bank persepsi atau kantor pos.  Untuk rekanan yang dilampirkan pada SPT masa pajak.  Untuk bank persepsi atau kantor pos. DAERAH PABEAN Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya. serta tempat tertentu Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan. Kemudian, berdasarkan pasal yang telah disebutkan tadi, dapat pula disimpulkan yang termasuk dalam daerah pabean adalah yang meliputi: 1. Wilayah darat Indonesia; Wilayah darat Indonesia berbatasan dengan Wilayah Negara Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara pada Pasal 6 ayat 1 huruf a.



2. Wilayah perairan Indonesia;



Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, yang ditetapkan sebagai wilayah perairan Indonesia adalah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia. 3. Ruang udara di atas Indonesia; Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara pada Pasal 6 ayat 1 huruf c diatur bahwa batas ruang udara di Indonesia mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut, dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional. 4. Tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan ZEE diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE, yang mengatur bahwa ZEE adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. 5. Landas Kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia mengatur bahwa landas kontinen merupakan dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, di mana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Adapun batas luar landas kontinen suatu negara diatur berdasarkan Pasal 76 ayat 6 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu tidak boleh melebihi 350 (tiga ratus lima puluh) mil dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur. BARANG KENA PAJAK (BKP), JASA KENA PAJAK (JKP), PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP) Barang Kena Pajak adalah barang yang bergerak ataupun barang yang tidak bergerak, atau tidak berwujud yang didalamnya terkena pajak berdasarkan undang-undang tersebut. Barang tersebut akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan atau pajak khusus pada barang mewah yang disesuaikan dengan adanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 terkait PPN dan juga PPnBM. Barang Kena Pajak terjadi karena pihak yang menjual Barang Kena Pajak adalah pihak yang terkena wajib pajak dan sudah mengantongi



NPWP. Apabila penjual belum mendaftarkan dirinya sebagai pengusaha wajib pajak, maka tentu saja barang yang dijualnya tidak akan dikenakan pajak. Yang akan menanggung PPN adalah pihak pembeli,tarif pajak akan ditambahkan pada faktur pajak sebesar 10% dari seluruh total harga barang. Maka yang termasuk ke dalam pengertian Barang Kena Pajak adalah sebagai berikut:  Penyerahan Barang Ke Pedagang Perantara atau Pihak Supplier atau Juru Lelang  Adanya Penyerahan Hak Atas Suatu Barang Kena Pajak  Penyerahan Barang Kena Pajak secara Konsinyasi  Penyerahan Barang Kena Pajak Antar Cabang Perusahaan  Pengalihan Barang Kena Pajak karena adanya suatu perjanjian PPN Barang kena Pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, yang isinya adalah: 1. Adanya tarif PPN 0% bisa diberlakukan pada ekspor barang kena pajak berwujud ataupun tidak berwujud dan pada ekspor jasa kena pajak. 2. Tarif PPN 10% bisa diberlakukan pada seluruh produk yang beredar secara bebas di dalam negeri, termasuk pada daerah Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya diberlakukan undangundang tertentu yang mengatur terkait kepabeanan. 3. Paling rendah, PPN yang ditetapkan pada PPN barang mewah adalah 10% dan paling besar adalah 200%. 4. Pada produk barang dan jasa yang terkena PPN 10%, maka tarifnya bisa diturunkan menjadi minimal 5% dan paling tinggi adalah 20% dengan tetap mengikuti peraturan yang berlaku. Terdapat dua jenis BKP yaitu barang berwujud dan tidak berwujud, barang kena pajak berwujud adalah suatu barang yang bisa digunakan secara fisik sedangkan, barang kena pajak tidak berwujud adalah suatu barang yang manfaatnya bisa dirasakan dan mempunyai nilai tapi tidak bisa dirasakan secara fisik. Di dalam laporan keuangan, BKP berwujud ini terbagi lagi menjadi dua, yakni BKP berwujud bergerak dan juga BKP berwujud tidak bergerak. Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 2007 tentang impor dan penyerahan barang kena pajak yang sifatnya lebih strategis dan bisa dibebaskan dari pengenaan PPN, adalah:  Mesin dan alat pabrik yang terpasang ataupun terurai tanpa mencakup suku cadang di dalamnya.  Bahan baku atau makanan untuk unggas, ikan, dan makanan ternak.  Barang hasil tani, kebun, ternak, dan hasil perhutanan yang dipotong dan diambil langsung dari sumbernya.  Bibit ataupun benih dari setiap produk dari hasil perkebunan, pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, atau penangkaran.  Bahan baku perak dalam bentuk butir atau dalam bentuk batangan.







Bahan baku pembuatan uang kertas serta uang logam  Air bersih yang disalurkan dengan menggunakan pipa oleh pihak PT Perusahaan Air Minum  Listrik, terkecuali untuk perumahan dengan daya yang tidak melebihi 6600 watt. Jasa Kena Pajak dalam Pasal 1 angka 5 UU PPN adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak sedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Didalam Pasal 4c ayat 1 huruf c UU PPN menentukan bahwa konsumsi/penyerahan jasa yang dapat dikenakan PPN adalah penyerahan jasa kena pajak yang dilakukan di dalam daerah pabean oleh pengusaha. Penyerahan JKP yang terutang PPN harus memiliki syarat sebagai berikut :  Jasa yang dikenakan merupakan JKP  Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean  Penyeraha dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Sesuai ketentuan pasal tersebut, penentuan suatu penyerahan jasa kena pajak didasarkan kepada tempat terjadinya/dilakukannya penyerahan jasa atau tempat kegiatan/aktivitas/pengerjaan pelayanan (jasa) tersebut oleh pemberi jasa, dan tidak didasarkan kepada tempat kedudukan/domisili penerima jasa. PPN yang dikenakan atas JKP yang dilakukan di dalam daerah pabean oleh Pengusaha Kena Pajak kepada pihak manapun,termasuk kepada wajib pajak orang pribadi maupun badan. Menurut Pasal 1 UU PPN, PKP atau yang merupakan singkatan dari Pengusaha Kena Pajak merupakan Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN), tidak termasuk Pengusaha Kecil. Batasan ini ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dianggap sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197/PMK.03/2013 yang sudah secara efektif berlaku mulai per tanggal 1 Januari 2014, Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku telah melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang memiliki jumlah peredaran bruto atau penerimaan bruto sebanyak tidak lebih dari Rp4.800.000.000,- (empat milyar delapan ratus



juta rupiah). Syarat untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak 1. Memiliki pendapatan bruto (omzet) dalam 1 tahun buku mencapai Rp 4,8 miliar. Tidak termasuk pengusaha atau perusahaan dengan pendapatan bruto kurang dari Rp 4,8 miliar, kecuali pengusaha tersebut memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. 2. Melewati proses survei yang dilakukan oleh KPP atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP). 3. Melengkapi dokumen dan persyaratan pengajuan PKP atau pengukuhan PKP. CONTOH KASUS 1 (PPN & PPnBM) PT Mitsubishi merupakan produsen mobil. Dalam menghasilkan mobil, PT Mitsubishi juga membeli AC pada mobil yang diproduksinya. Atas perolehan AC tersebut, PT Mitsubishi telah membayar PPnBM sebesar Rp500.000. Harga produksi mobil sebesar Rp350.000.000 dan tariff PPnBM sebesar 30%. PT Mitsubishi berencana mengambil keuntungan sebesar Rp70.000.000 atas mobil tersebut. Berapa besaran PPN dan PPnBM yang seharusnya dibayarkan PT Mitsubishi? Jawaban: : DPP : Rp350.000.000 + Rp70.000.000 + Rp500.000 (PPnBM): Rp420.500.000 PPN = 10% x Rp420.500.000 = Rp42.050.000 PPnBM = 30% x Rp420.500.000 = Rp126.150.000 Jadi, berdasarkan perhitungan di atas maka besaran PPN dan PPnBM PT Mitsubishi adalah Rp42.050.000 dan Rp126.150.000 CONTOH KASUS 2 (PPnBM) Leo merupakan seorang pengusaha muda di bidang teknologi, suatu hari Leo membeli pesawat jet pribadi dengan harga Rp280.000.000.000. Berdasarkan DPP, mobil tersebut terkena tariff PPnBM sebesar 50%. Lalu berapa yang harus dibayarkan Leo untuk membawa masuk mobilnya ke Indonesia? Jawaban: PPnBM = 50% x Rp280.000.000.000 = Rp140.000.000.000 PPN = Tarif PPN x (Harga Barang – PPnBM) = 10% x (Rp280.000.000.000 – Rp140.000.000.000) = 10% x Rp140.000.000.000 = Rp14.000.000.000



Jadi, total harga pesawat jet pribadi yang harus dibayar Leo adalah : Harga Barang + PPN + PPnBM=Rp434.000.000.000 CONTOH KASUS 3 (PPN) PT Boss adalah PKP yang menjual elektronik di Jakarta. Selama Januari 2021, PT Boss melakukan transaksi sebagai berikut: 1. Penjualan secara langsung kepada konsumen sebesar Rp. 1.500.000.000 2. Penyerahan BKP yaitu barang elektronik kepada Pemerintah Kota Jakarta sebesar Rp. 880.000.000. Harga tersebut sudah termasuk PPN 3. PT Boss membangun sebuah Gedung elektonik seluas 500m2 di Kawasan pergudangan sendiri dengan biaya sebesar Rp. 550.000.000 4. Menyumbang ke sebuah yayasan panti jompo sebesar Rp. 20.000.000 Selain transaksi di atas, terdapat tambahan transaksi selama bulan Januari sebagai berikut: 1. Membeli sebuah mobil box untuk mengangkut barang dengan harga Rp.440.000.000 dan harga tersebut sudah termasuk PPN Dari transaksi-transaksi yang terjadi diatas, berapakah PPN dari transaksi tersebut? Berapa total PPN yang harus PT Boss setorkan? Jawaban: Transaksi ke-1 : PPN = 10% x Rp1.500.000.000 = Rp150.000.000 (Pajak Keluaran) Transaksi ke-2 : DPP = 100/10 x Rp880.000.000 = Rp800.000.000 PPN = 10% x Rp800.000.000 = 80.000.000 (Pajak Keluaran) Transaksi ke-3 : DPP = 20% x Rp550.000.000 = Rp110.000.000 PPN = 10% x Rp110.000.0000 = Rp11.000.000 (Pajak Keluaran) Transaksi ke-4 : Tidak dikenakan PPN karena uang tidak termasuk BKP Transaksi ke-1 : DPP = 100/110 x Rp550.000.000 = Rp500.000.000 PPN = 10% x Rp500.000.000 = Rp50.000.000 (Pajak Masukan) PPN Keluaran = Rp150.000.000 + Rp80.000.000 + Rp11.000.000 Rp241.000.000 PPN Masukan = Rp50.000.000



PPN yang harus disetorkan = PK – PM = Rp241.000.000 – Rp50.000.000 = Rp191.000.000 Jadi, total PPN yang perlu PT Boss setorkan atas transaksi yang dilakukan selama Januari 2021 adalah sebesar Rp191.000.000



DAFTAR PUSTAKA http:/news.ddtc.co.id/ini-sejarah-dan-perkembanganppn-di-indonesia-bagian-terkahir19703?page_y=3454 https://news.ddtc.co.id/awal-mula-ppn11412?page_y=1713 https://ukirama.com/blogs/ciri-ciri-lengkap-ppnpajak-pertambahan-nilai-dan-ppnbm-pajak-penjualanatas-barang-mewah https://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_Penjualan_Atas_ Barang_Mewah#cite_note-devitap7-1 https://www.online-pajak.com/tentang-ppnefaktur/dasar-hukum-ppn https://www.online-pajak.com/tentang-ppnefaktur/ppnbm-mobil-mewah



https://www.online-pajak.com/tentang-ppnefaktur/dasar-hukum-ppnbm https://www.online-pajak.com/tentang-ppnefaktur/mekanisme-pemungutanppnbm#:~:text=Telah%20dijelaskan%20sebelumnya%2 C%20bahwa%20mekanisme,dilakukan%20dalam%20S PT%20masa%20pajak. https://www.pajak.go.id/id/pemungutan-pajakpertambahan-nilai https://www.online-pajak.com/tentang-ppnefaktur/mekanisme-pemungutan-ppn https://blog.pajak.io/apa-itu-daerah-pabean-dalamkonteks-ppn/