PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PEDOMAN TATALAKSANA CEDERA OTAK (Guideline for Management of Traumatic Brain Injury)



Editor: Joni Wahyuhadi Wihasto Suryaningtyas Rahadian Indarto Susilo Muhammad Faris Tedy Apriawan Tim Neurotrauma RSU Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, 2014



Tim Neurotrauma dan Kontributor Prof. Dr. dr. Abdul Hafid Bajamal, SpBS Prof. Dr. dr. Nancy Margarita Rahatta, SpAn. KIC Dr. dr. M. Arifin Parenrengi, SpBS Dr. dr. Agus Turchan, SpBS Dr. dr. Hamzah, SpAn. KNA Dr. dr. Joni Wahyuhadi, SpBS dr. Eko Agus Subagio, SpBS dr. Wihasto Suryaningtyas, SpBS dr. Rahadian Indarto Susilo, SpBS dr. Muhammad Faris, SpBS dr. Achmad Fahmi, SpBS dr. Nur Setiyawan Suroto, SpBS dr. Irwan Barlian Immadoel Haq, SpBS dr. Tedy Apriawan, SpBS dr. Alfan Syah Putra Nasution dr. Yusuf Hermawan dr. Mohammad Kamil dr. Geizar Arsika Ramadhana dr. Yusnita Rahman dr. Fendi Fatkhurrohman Gozi dr. Mochamad Rizki Yulianto dr. Yudhistira Kaysa Karim dr. Adi Wismayasa dr. Gibran Aditiara Wibawa dr. Fatkhul Adhiatmadja dr. Krisna Tsaniadi Prihastomo dr. Wisnu Baskoro



Sekretariat Neurotrauma: SMF/ Departemen Ilmu Bedah Saraf RSU dr. Soetomo – FK Universitas Airlangga Jl. Mayjen Prof. Drg. Moestopo 6 – 8 Surabaya Telp: 031-5501325/ 5501304 Fax: 031-5025188 e-mail: [email protected]



SAMBUTAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SOETOMO, SURABAYA Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat Nya, Tim Neurotrauma RSUD Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, dapat menerbitkan buku “Pedoman Tatalaksana Cedera Otak” edisi kedua tahun 2014. Penyusunan buku pedoman ini adalah langkah maju untuk menjawab tantangan di bidang pelayanan, pendidikan, penelitian dan pengembangan. Di bidang pelayanan, pedoman ini dapat dimanfaatkan di setiap institusi yang berhubungan dengan penanganan cedera otak, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan menurunkan angka kecacatan dan kematian akibat cedera otak. Rumah sakit dr. Soetomo selain memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, juga merupakan tempat pendidikan baik bagi tenaga medis maupun paramedis, mulai dari jenjang diploma hingga spesialisasi. Besar harapan kami bagi seluruh peserta didik untuk dapat memanfaatkan pedoman ini dengan baik sehingga proses pendidikan dapat berjalan sinergis dengan pelayanan yang prima. Pedoman ini berdasar evidence base medicine dan disusun sedemikian rupa sehingga memberi peluang besar untuk pengembangan dan penelitian lebih lanjut. Beberapa fenomena kasus cedera otak masih mengundang pertanyaan yang saat ini belum semuanya terjawab dengan jelas. Kami berharap hasil kerja kerja keras ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi para klinisi yang memberi pelayanan, para konsultan, dan peserta didik dokter spesialis, dokter muda serta paramedis dalam memberikan pelayanan terbaik dan kemajuan di masa mendatang. Wassalamualaikum Wr. Wb



Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya



dr. Dodo Anondo, MPH



SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA Assalamualaikum Wr. Wb. Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya Tim Neurotrauma RSU Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya dapat menerbitkan buku “Pedoman Tatalaksana Cedera Otak”, edisi kedua yang disusun berdasarkan Evidence Base Medicine (EBM). Pesatnya kemajuan ilmu dan tehnologi di bidang ilmu kedokteran, membawa perubahan yang mendasar pada pelayanan dan pendidikan khususnya bidang bedah syaraf. Cedera Otak adalah salah satu kasus emergency bidang bedah syaraf yang membutuhkan penanganan yang cepat, tepat, dan akurat. Pelayanan yang bermutu, yang didukung dengan pedoman baku yang ilmiah, merupakan bagian dari proses pendidikan yang sangat bermanfaat bukan hanya bagi pasien tetapi juga bagi peserta didik. Dalam sinergisme sistim pelayanan dan pendidikan yang terpadu ini, dipastikan akan muncul hal baru yang memberi lahan bagi pengembangan dan penelitian terutama di bidang neurotrauma. Besar harapan saya bahwa buku pedoman ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mahasiswa kedokteran, dokter, peserta didik pendidikan spesialis, dokter spesialis, perawat, peserta didik keperawatan dan semua pihak yang terkait dalam proses pelayanan dan pendidikan. Pengembangan dan penyempurnaan ilmu yang telah ada selalu saya harapkan dan saya dukung untuk memperluas khazanah dan wawasan keilmuan. Kepada semua pihak yang telah bekerja keras menyiapkan dan menerbitkan buku pedoman ini, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya. Semoga bermanfaat dan terus berupaya mengembangkan keilmuan yang dimiliki demi kemanusiaan. Terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya



Prof. Dr. Agung Pranoto, dr., M.Sc., Sp. PD-KEMD FINASIM



KATA PENGANTAR



Cedera otak sampai saat ini masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian para dokter, khususnya yang berkecimpung dalam bidang neurotrauma dan perawatan gawat darurat. Problem utama pada cedera otak adalah tingginya angka kecacatan dan kematian. Angka kematian di RSUD,Dr.soetomo tahun 2002 s/d 2006 berkisar antara 6 % sampai 12 % keadaan ini lebih tinggi dibanding dibeberapa senter di luar negeri yaitu antara 3-8 %. Hal yang mengembirakan angka mortalitas ini terus menurun dari tahun ke tahun dan pada tahun 2013 sebesar 7,1 %. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, cedera otak banyak terjadi pada usia produktif yang tentu akan sangat mempengaruhi produktfitas dan kemajuan bangsa. Upanya memberikan pelayanan yang prima dan meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan bagi para klinisi, sejawat dokter bedah saraf di pusat pelayanan kesehatan di daerah dan para peserta didik program spesialis bedah umum, bedah saraf, saraf dan aneatesi serta para dokter muda dan tenaga para medis, maka kami susun buku pedoman ini yang berbasis ilmiah, dengan sistematika yang mudah dipahami. Buku ini dapat sebagai acuan dalam mengambil keputusan yang cepat dan tepat pada saat yang tepat dalam menangani penderita cedera otak. Kecepatan dan ketepatan adalah faktor utama untuk menurunkan angka kecacatan dan kematian akiba cedera pada susunan saraf. Semoga ALLAH SWT memberikan hidayah dan rahmadNYA sehingga tujuan mulya penyusunan pedoman ini dapat tercapai dan dapat memberikan manfaat demi kemanusiaan.



Ketua Tim Neurotrauma RSUD.Dr.Soetomo-FK.Unair Surabaya.



Prof. Dr. Abdul Hafid Bajamal, dr., Sp.BS.



DAFTAR ISI SUSUNAN TIM NEUROTRAUMA SAMBUTAN Direktur RSU. Dr Soetomo Surabaya Dekan Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN I. PENDAHULUAN



1



II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN



3



III. ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM (GENERAL MEASURES)



6



III.1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage



6



III.2. Langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat



6



III.2.1 Perlindungan Umum (General precaution)



6



III.2.2 Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (ABC) dan Disabilitas



8



III.2.3 Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak



8



III.3 Survey Sekunder



9



III.3.1 Anamnesis



9



III.3.2 Pemeriksaan Fisik Umum



9



III.3.3 Pemeriksaan Neurologis



10



III.4 Observasi



11



III.5 Pemeriksaan Foto Polos Kepala



11



III.6 Pemeriksaan CT Scan



12



III.7 Kriteria Masuk Rumah Sakit



12



III.8 Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala



13



III.9 Lembar Pesanan Saat Pulang



13



III.10 Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif ( ROI)



13



III.11 Kriteria Masuk Ruang High Care Unit ( HCU ) / Ruang F1



14



IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA KEPALA



15



IV.1. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Ringan



15



IV.2. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Sedang



16



IV.3. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Berat



17



V. REKOMENDASI TATALAKSANA PERAWATAN MEDIKAMENTOSA



18



V.1. Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang



18



V.2. Rekomendasi Penggunaan Manitol dan Hipertonik Saline



22



V.3. Rekomendasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pemasangan Kateter



26



Ventrikel V.4. Rekomendasi Penggunaan Analgetik



28



V.5. Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid



31



V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer



33



V.7. Rekomendasi Pemberian Nutrisi



37



V.8. Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid Suppresor Agent



40



V.9. Rekomendasi Penggunaan Citicoline



42



V.10. Rekomendasi Penggunaan Piracetam



44



V.11. Rekomendasi Penggunaan Neuropeptide



47



V.12. Rekomendasi Penggunaan sel punca (Stem Cell)



49



VI. REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA PEMBEDAHAN



50



(GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT) VI.1. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH)



50



VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural (SDH)



52



VI.3. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak



56



VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Massa di Fosa Posterior



58



VI.5. Rekomendasi Pembedahan Pada Fraktur Basis Cranii



60



VI.6. Rekomendasi Pembedahan Pada Diffuse Axonal Injury (DAI)



63



VII. REKOMENDASI ACUAN PENGENDALIAN TEKANAN INTRAKRANIAL (GUIDELINE FOR



65



INTRACRANIAL PRESSURE MONITORING AND TREATMENT) VII.1. Indikasi Pemasangan Alat Pantau Tekanan Intrakranial – ventrikulostomi



65



VII.2. Manajemen Tekanan Intrakranial



66



VIII. ACUAN TATALAKSANA CEDERA OTAK TRAUMATIKA PADA ANAK



72



VIII.1. Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi



72



VIII.2. Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial



75



VIII.3. Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat



80



VIII.4. Penggunaan Terapi Hyperosmolar untuk Mengendalikan Tekanan Intrakranial



83



VIII.5. Peran Pengeluaran LCS pada Pengendalian TIK



87



VIII.6. Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan COB



89



VIII.7. Pembedahan untuk Hipertensi Intrakranial pada Pediatri



91



IX. CEDERA OTAK TERKAIT OLAHRAGA



99



IX. PENUTUP



103



Cover dalam : Operasi Kepala. Dikutip dari Wilkins RH dan Rengachary SS (Eds). Neurosurgery. 2nd edition. McGraw-Hill. New York, 1996



DAFTAR SINGKATAN CBF



: Cerebral Blood Flow



CMRO2



: Cerebral Metabolic Rate of O2



COB



: Cedera Otak Berat



COR



: Cedera Otak Ringan



COS



: Cedera Otak Sedang



CPP



: Cerebral Perfusion Pressure



CSF



: Cerebro Spinal Fluid



CSS



: Cairan Serebro Spinal



CT Scan



: Computed Tomography Scanning



EDH



: Epidural Hematoma



EVD



: External Ventricular Drainage



GCS



: Glasgow Coma Scale



HCU



: High Care Unit



ICP



: Intracranial Pressure



IRD



: Instalasi Rawat Darurat



KRS



: Keluar Rumah Sakit



LCT



: Long Chain Triglycerides



LCU



: Low Care Unit



MAP



: Main Arterial Pressure



MCT



: Medium Chain Triglycerides



MRS



: Masuk Rumah Sakit



NSAID



: Non Steroidal Anti Inflamatory Drugs



PPI



: Proton Pump Inhibitor



RCT



: Randomized Control Trial



ROI



: Ruang Observasi Intensif



SDH



: Sub Dural Hematoma



SRMD



: Stress Related Mucosa Damage



TBI



: Traumatic Brain Injury



TIK



: Tekanan Intra Kranial



AAN



: American Academy of Neurology



I. PENDAHULUAN Cedera otak masih merupakan problem yang banyak dihadapi oleh ahli bedah saraf, dan di Indonesia masih menjadi penyebab utama dari kecacatan, kematian dan biaya tinggi. Perkembangan pengetahuan mengenai patofisiologi dan tatalaksana cedera otak, sangat pesat pada dekade terakhir ini. Salah satu konsep sentral yang didasarkan pada penelitian laboratorium, klinis dan biomolekuler serta genetika, bahwa kerusakan neurologis tidak hanya terjadi pada saat terjadinya impak cedera, melainkan berkembang pada jam-jam dan hari-hari berikutnya. Kerusakan



sistim



syaraf dipengaruhi juga oleh kerentanan pasien terhadap cedera. Perkembangan patofisiologi ini memacu berkembang metode penanganan yang komprehensif, metode neurorestorasi dan rehabilitasi, dalam rangka meningkatkan outcome dari pasien cedera otak.



Cedera otak atau sering disebut neurotrama, masih merupakan masalah yang serius di RSUD dr Soetomo. Dari data pasien cedera otak yang datang ke RSUD Dr. Sutomo sejak tahun Januari 2002 hingga Desember 2013, didapatkan data: Data Penderita Cedera Otak RSU Dr. Soetomo Th. 2002 - 2013 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013







Ʃ penderita CO 2005 1910 1621 1670 1588 1231 1339 1487 916 1050 1026 1411



Ʃ penderita COB 455 467 275 199 195 159 196 209 126 145 173 166



Total Kematian 225 210 134 103 98 75 81 76 123 124 106 101



% 11.22 10.99 8.27 6.17 6.17 6.09 6.05 5.11 13.4 11.8 9.96 7.1



Total kematian COB 169 127 81 65 49 30 38 29 98 96 72 80



% 37.14 27.19 29.45 32.66 25.13 18.85 19.34 13.87 77.7 66.2 41.6 48.1



Angka kematian pada semua tingkat keparahan cedera kepala berkisar antara 6,171 % hingga 11,22 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar literatur internasional, yaitu berkisar antara 3-8 %.



1







Berdasarkan tingkat keparahannya, mortalitas pasien cedera otak berat masih tinggi, berkisar antara 25,13% hingga 37,14%, dengan kecenderungan menurun. Angka ini relatif tinggi dibanding dengan literatur yaitu 22 %.







Angka operasi berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasien cedera otak yang datang ke IRD.



Tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan cedera otak di RSU Dr. Soetomo menunjukkan



bahwa cedera otak



memerlukan



penanganan



yang



komprehensif. Prehospital care dan Hospital care merupakan faktor yang sangat penting untuk dibenahi dan ditingkatkan dalam rangka menurunkan morbiditas dan mortalitas. Pembenahan Hospital Care meliputi: 1. Pembenahan tatalaksana, dengan cara: a. Pembuatan guideline yang merupakan pedoman praktek kedokteran (PPK) yang juga berisi algoritma tatalaksana cedera otak. b. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (provider) c. Pemenuhan sarana dan prasarana gawat darurat d. Pemenuhan sarana dan prasarana perawatan high care unit (HCU) e. Penelitian dan pengembangan klinis dan laboratoris 2. Pembenahan tatalaksana Pre-Hospital care, dengan cara: a. Sosialisasi Guideline b. Peningkatan sistem rujukan c. Peningkatan



kemampuan



sumber



daya



manusia



dengan



cara



pendidikan berkelanjutan. 3. Kerjasama dengan pusat neurotrauma lain 4. Evaluasi berkala



Target pencapaian adalah menurunnya mortalitas dan morbiditas sebesar 1% per tahun di RSUD Dr. Sutomo, sehingga pada lima tahun pertama tercapai angka morbiditas dan mortalitas yang sama dengan pusat neurotrauma internasional. Langkah awal adalah tersusunnya pedoman ini.



2



II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN Proses pembuatan guideline atau Pedoman Praktek klinik cedera otak, diawali pada tahun 2004 di SMF/ Lab. Bedah Saraf RSUD Dr. Soetomo – FK Universitas Airlangga dengan membentuk tim



neurotrauma yang terdiri dari para ahli bedah saraf,



anestesi, peserta didik spesialis bedah saraf dan anestesi serta paramedis di Instalasi Rawat Darurat dan Instalasi Rawat Inap Bedah. Tim neurotrauma melakukan pengumpulan data,



identifikasi masalah, opini, pengalaman praktis dan studi



literatur serta penelitian yang berkaitan dengan cedera otak.



Pedoman ini terdiri dari dua bagian besa, yaitu algoritma tatalaksana cedera otak di RSUD Dr. Soetomo dan rekomendasi untuk perawatan dan terapi baik dengan intervensi pembedahan maupun tanpa pembedahan.



Pembuatan pedoman ini berdasarkan evidence based medicine dengan membagi tingkat terapi maupun intervensi menjadi tiga kategori rekomendasi yaitu A, B dan C (Adelson 2003; Mod. SIGN / Scottish Intercollegiate Guideline Network 2011) : A.



Didapat dari level pembuktian klas I, adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat prospektif randomized controlled trial (RCT) atau meta analisis dari penelitian yang bersifat RCT. Metode ini merupakan gold standard atau standard (high degree of clinical certainty).



B.



Didapat dari level pembuktian klas II, adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat analisis baik prospektif maupun retrospektif (studi observasional, kohort, kasus-kontrol, dan studi prevalensi). Metode ini merupakan guideline (moderate clinical certainty).



C.



Didapat dari level pembuktian klas III, adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian retrospektif, serial case, dari data registrasi pasien, laporan kasus, review kasus, dan pendapat ahli (level pembuktian IV). Metode ini merupakan option (unclear clinical certainty).



3



Level of Evidence (pembuktian klas)



Mod. SIGN ( Scottish Intercollegiate Guideline Network ) 2011 No



level of



Evidence finding



Evidence 1.



I-a



Evidence diperoleh berdasar



hasil metaanalisis atau



sistemik review dari berbagai uji klinik acak dengan kontrol/kelola (randomized controlled trials Study / RCT) 2.



I -b



Evidence berasal dari minimal satu uji klinik acak dengan kontrol/kelola ( RCT)



3.



II - a



Evidence berasal dari paling sedikit satu uji klinik dengan pembanding, tapi tanpa randomisasi



4.



II - b



Evidence berasal dari paling sedikit satu hasil penelitian dengan rancangan quasi-eksperimental



5.



III



Evidence



berasal



dari



penelitian



deskriptif



non



eksperimental (studi komparatif, korelasi dan studi kasus) 6.



IV



Evidence berasal dari laporan komite ahli atau opini, maupun pengalaman klinik ahli yang diakui.



KLASIFIKASI REKOMENDASI ( EBM-HTA ) Adelson, 2003 : (Diagnostik maupun Tindakan) 1. Gold Standard (High degree of clinical certainty) > ( I-a, I-B ) Rekomendasi : A 2. Guideline (Moderate clinical certainty) > ( II-a, II-b) Rekomendasi : B 3. Option (Unclear clinical certainty) > ( III- IV ) Rekomendasi : C



4



Sistematika penulisan dan isi dari pedoman adalah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kondisi di RSUD Dr. Soetomo sebagai rumah sakit tersier tipe A pendidikan. Diharapkan



secara mudah para klinisi, konsultan, peserta didik program dokter



spesialis dan mahasiswa kedokteran serta paramedis dapat menggunakannya. Acuan dan rekomendasi yang disarankan, diperoleh dari penelitian klinis dan laboratorium



serta eksplorasi jurnal atau referensi, sehingga sangat mungkin



berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.



Secara berkala pedoman ini akan dilakukan evaluasi dan dilakukan penelitian pendukung sehingga dihasilkan acuan dan rekomendasi dengan tingkat kepercayaan klinis (clinical certainty) yang lebih tinggi.



Editor



5



III.



ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM ( GENERAL MEASURES )



III. 1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage IRD Triage atau penapisan, bertugas memeriksa tanda vital dan memberi label sesuai kegawatan. Semua pasien cedera otak segera dikonsultasikankan pada dokter jaga bedah saraf.



III.2. Langkah-langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat 1. General precaution 2. Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (Airway, Breathing, Circulation) 3. Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari anamnesa dan pemeriksaan fisik seluruh organ) 4. Pemeriksaan neurologis 5. Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan 6. Menentukan diagnosis pasti 7. Menentukan tatalaksana III.2.1. Perlindungan Umum (General precaution ) Perlindungan umum (General precaution) terdiri dari : a. Informed to Consent dan Informed Consent b. Perlindungan diri No 1.



2.



3.



4.



Jenis Perlindungan Mencuci tangan dengan antiseptik - setelah terkena darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda yang terkontaminasi - segera setelah melepas sarung tangan - diantara pemeriksaan 2 pasien yang berbeda Pemakaian sarung tangan - jika akan menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda – benda yang terkontaminasi - jika bersentuhan dengan mukosa atau kulit yang tidak intak Pemakaian Masker, dan goggles - untuk melindungi mukosa mata, hidung dan mulut ketika akan berhadapan dengan darah atau cairan tubuh Pemakaian Jubah Pelindung ( gowns) - untuk melindungi kulit dari darah atau cairan tubuh 6



5.



6.



7.



8.



10.



11.



mencegah pakaian terkena kotoran selama prosedur pemeriksaan yang melibatkan kontak dengan darah dan cairan tubuh



Linen - hindari kontak kulit dan mukosa dengan linen kotor yang terkontaminasi - jangan mencuci linen kotor di daerah perawatan pasien Alat perawatan pasien - hindari kontak kulit dan mukosa dengan alat yang telah terkontaminasi dan jangan sampai mengenai baju yang dipakai serta lingkungan sekitarnya - alat yang telah dipakai harus dicuci sebelum digunakan kembali Kebersihan lingkungan - area perawatan pasien harus dibersihkan secara rutin dengan menggunakan desinfektan Benda tajam - jangan menutup ulang jarum suntik yang telah digunakan - jangan melepas jarum suntik bekas dari syringnya - jangan membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum bekas dengan tangan - buang benda tajam di dalam kontainer anti tembus. Resusitasi pasien - hindari resusitasi dari mulut ke mulut. Gunakan mouthpiece, resusitation bags, atau alat bantu ventilasi lain. Penempatan pasien - pasien yang dapat menimbulkan kontaminasi pada lingkungan ditempatkan pada ruangan khusus



Tabel 3.1 Perlindungan Umum (General Precaution) ( Dikutip dari Guidelines for Healthcare Facilities with Limited Resources )



c. Persiapan alat dan sarana pelayanan



Sebelum melakukan tindakan maka dokter bertanggung jawab dalam kelengkapan dan keberfungsian dari alat dan sarana kesehatan yang diperlukan dalam tindakan yang akan dilakukan. Sebelum melakukan tindakan medik maka dokter yang akan melakukan tindakan harus melakukan persiapan dan mejamin bahwa alat dan sarana yang akan dipakai lengkap dan terjamin keselamatannya.



7



III.2.2 Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (ABC) dan Disabilitas Pemeriksaan



Evaluasi



Perhatikan, catat, dan perbaiki



A. Airway



Patensi saluran napas ?



Obstruksi ?



Suara tambahan ? B. Breathing



Apakah oksigenasi



Rate dan depth



Efektif…. ?



Gerakan dada Air entry Sianosis



C. Circulation



Apakah perfusi Adekuat …..?



Pulse rate dan volume Warna kulit Capilarry return Perdarahan Tekanan darah



D. Disability ( status neurologis )



Apakah ada kecacatan



Tingkat kesadaran-



neurologis …?



menggunakan sistem GCS atau AVPU. Pupil (besar, bentuk, reflek cahaya, bandingkan kanan-kiri)



E. Exposure



Cedera organ lain… ?



(buka seluruh pakaian)



Jejas, deformitas, dan gerakan ekstremitas. Evaluasi respon terhadap perintah atau rangsang nyeri



Tabel 3.2 Survei Primer Pasien cedera otak



III.2.3. Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak 1.



Penanganan cedera otak primer



2.



Mencegah dan menamgani cedera otak sekunder



3.



Optimalisasi metabolisme otak



4.



Rehabilitasi 8



III.3. Survey Sekunder III.3.1 Anamnesis Informasi yang diperlukan adalah: –



Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat







Keluhan utama







Mekanisma trauma







Waktu dan perjalanan trauma







Pernah pingsan atau sadar setelah trauma







Amnesia retrograde atau antegrade







Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo







Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala







Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah



III.3.2 Pemeriksaan fisik Umum Pemeriksaan



dengan



inspeksi,



palpasi,



perkusi,



dan



auskultasi,



serta



pemeriksaan khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode: –



Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,







Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)



Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah: 1. Pemeriksaan kepala Mencari tanda : a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka tembus dan benda asing. b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius. c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita dan fraktur mandibula d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata. 9



e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang berhubungan dengan diseksi karotis 2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang. Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan cedera pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status motorik, sensorik, dan autonomik.



III.3. 3 Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan status neurologis terdiri dari : a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS). Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC diklasifikasikan: GCS 14 – 15



: Cedera otak ringan (COR)



GCS 9 – 13



: Cedera otak sedang (COS)



GCS 3 – 8



: Cedera otak berat (COB)



b. Saraf kranial, terutama: •



Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya, reflek konsensuil  bandingkan kanan-kiri







Tanda-tanda lesi saraf VII perifer.



c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal detachment. d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari tanda lateralisasi. e. Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani.



10



III.4 Observasi Menggunakan lembar observasi umum ( tanda vital: tensi, nadi, pernafasan, dan suhu) dan lembar observasi neurologis khusus bedah saraf. Contoh lembar observasi neurologis sebagai berikut:



Gambar 3.1 Lembar observasi status neurologis. Data menunjukkan penurunan tingkat kesadaran disertai dilatasi pupil dan hemiparesis. GCS menurun dari 15 menjadi 5 menunjukkan bahwa telah terjadi keterlambatan penanganan. Data ini menggambarkan penanganan yang kurang tepat



III.5 Pemeriksaan Foto Polos Kepala Indikasi pemeriksaan foto polos kepala : 1. Kehilangan kesadaran, amnesia 2. Nyeri kepala menetap 3. Gejala neurologis fokal 4. Jejas pada kulit kepala 11



5. Kecurigaan luka tembus 6. Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga 7. Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba 8. Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, anak 9. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko : benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasienusia > 50 tahun.



III.6. Pemeriksaan CT Scan Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala : 1. GCS< 13 setelah resusitasi. 2. Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis, kejang. 3. Nyeri kepala, muntah yang menetap 4. Terdapat tanda fokal neurologis 5. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur 6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus 7. Evaluasi pasca operasi 8. pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ ) 9. Indikasi sosial



III.7 Kriteria Masuk Rumah Sakit Pasien cedera kepala akan dirawat di rumah sakit dengan kriteria sebagai berikut: 1. Kebingungan atau riwayat pingsan / penurunan kesadaran 2. Keluhan dan gejala neurologik, termasuk nyeri kepala menetap dan muntah 3. Kesulitan dalam penilaian klinis, misalnya pada alkohol, epilepsi 4. Kondisi medik lain : gangguan koagulasi, diabetes mellitus 5. Fraktur tengkorak 6. CT scan abnormal



12



7. Tak ada yang dapat bertanggung jawab untuk observasi di luar rumah sakit 8. Umur pasien diatas 50 tahun 9. Anak-anak 10. Indikasi sosial



III.8 Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala Kriteria pasien cedera kepala dapat dipulangkan dengan pesan : -



Sadar dan orientasi baik, tidak pernah pingsan



-



Tidak ada gejala neurologis



-



Keluhan berkurang, muntah atau nyeri kepala hilang



-



Tak ada fraktur kepala atau basis kranii



-



Ada yang mengawasi di rumah



-



Tempat tinggal dalam kota



III.9 Lembar Pesanan saat Pulang Pasien cedera kepala yang pulang diberi lembar peringatan. Harap segera dibawa ke IRD bila : -



Muntah makin sering



-



Nyeri kepala atau vertigo memberat



-



Gelisah atau kesadaran menurun



-



Kejang



-



Kelumpuhan anggota gerak



III.10 Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif (ROI) Kriteria pasien cedera otak yang memerlukan perawatan di ROI : -



GCS < 8



-



GCS < 13 dg tanda TIK tinggi



-



GCS < 15 dengan lateralisasi



-



GCS < 15 dengan Hemodinamik tidak stabil.



-



Cedera kepala dengan defisit neurologis belum indikasi tindakan operasi. 13



-



Pasien pasca operasi



Kriteria pasien pindah dari ROI ke Ruang HCU / F1 -



pasien cedera kepala yang tidak memerlukan ventilator dan transportable ( layak transport ).



-



III.11



Telah dilakukan koordinasi dengan ruang HCU / F1



Kriteria masuk Ruang High Care Unit (HCU) / Ruang F1 -



Pasien dengan CT scan abnormal yang belum indikasi operasi



-



Pasien COR dan COS yang tidak memenuhi kriteria masuk ROI dan memerlukan observasi ketat.



-



Pasien yang memerlukan perawatan dengan observasi ketat paska pindah dari ICU/ROI IRD.



14



IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA OTAK



IV.1 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Ringan Pasien



1. Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC) 2. Anamnesis, fisik diagnostik 3. Pemeriksaan radiologis, sesuai indikasi 4. Pemeriksaan lab : DL dan GDA + Lab lain sesuai indikasi 5. Tx. Simtomatik + Antibiotik sesuai indikasi 6. Lapor jaga bedah saraf



IRD



MRS di ruang HCU - F



OPERASI



ICU - ROI



• Infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam (anak < 2 tahun: D5 0.25 NS) • Puasa 6 jam • Obat simptomatik IV atau supp • Observasi ketat sebagai pasien cidera otak • Catat keadaan vital dan neurologis bila akan dikirim ke ruangan perawatan • Serah terima penderita serta informasi lengkap keadaan penderita



VS. Stabil Neurologis Stabil



Cepat memburuk



R. Perawatan ( LCU )



Resusitasi + Rediagnosis



KRS



ICU ROI - 1



Operasi



15



IV.2 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Sedang



Penderita



• Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang collar brace • Lapor jaga bedah saraf • Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya • Pemeriksaan darah (DL, BGA, GDA, cross match) • Bila tensi stabil, infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam • Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis • Obat simptomatik IV atau supp • Bila telah stabil  CT scan kepala, foto leher lat, thorak foto AP Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi • Pasang kateter, evaluasi produksi urine



IRD



Operatif



MRS di ruang HCU - F



ICU-ROI



Membaik



VS. Stabil Neurologis Stabil



Memburuk



• Stabilisasi + Resusitasi • Rediagnosis cito



ICU - ROI



Operasi



Ruang Perawatan (LCU)



16



IV.3 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Berat



Penderita



IRD



Lapor jaga bedah saraf



• Resusitasi airway, breathing dan sirkulasi • Bersihkan lendir, benda asing, jawthrust bila perlu, kepala tidak boleh hiperextensi, hiperflexi atau rotasi, pasang orofaring atau nasofaring tube bila perlu. Bila ada sumbatan jalan nafas akut dilakukan cricothyrotomi dan persiapan intubasi atau tracheostomi • Intubasi + kontrol ventilasi ( PCO2 35 – 40 mmhg,, PaO2 : 80 – 200 atau Spo2 >97 % ), pasang pipa lambung • Pasang collar brace • Lihat gerakan nafas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tandatanda pneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costa.. • Bila shock, berikan cairan isotonis (RL, NaCl, atau koloid atau darah). Cari penyebab, atasi, pertahankan tensi > 90 mmHg. • Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal ginjal dan atau gagal jantung,  manitol 20% 200 ml bolus dalam 20 menit atau 5 ml/kgBB, dilanjutkan 2 ml/ kgBB dalam 20 menit setiap 6 jam, jaga osmolalitas darah < 320 mOsm. • Bila kejang : Diazepam 10 mg iv pelan, dapat ditambah hingga kejang berhenti. Awasi depresi nafas, dilanjutkan phenitoin bolus10-18 mg/kgBB encerkan dengan aqua steril 20 ml iv pelan, dilanjutkan 8 mg/kgBB • Bila telah stabil Infus cairan isotonis (NaCl 0,9 %) 1,5 ml/kgBB/jam pertahankan euvolume,pemasangan CVP atas indikasi. . Pemeriksaan lab  DL, BGA, GDA, cross match • Anamnesis  pemakaian obat-obatan, sedasi, narkotika, intake terakhir, alergi • Pemeriksaan fisik umum dan neurologis • Obat simptomatik IV atau supp dan antibiotika sesuai indikasi • Pasang kateter, catat keadaan dan produksi urine • Tanda vital stabil  CT scan kepala, foto leher lat, thorak fot AP, • Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi • Pemeriksaan refleks batang otak. Hati-hati pada pemeriksaan reflek oculocephalik • Pasang ICP monitor, pertahankan tekanan 65 tahun



berhubungan dengan timbulnya kejang pasca trauma 4



Temkin



Penelitian



II/B



Tidak didapatkan perbedaan



et al., 1999



randomized double-



yang signifikan untuk terjadinya



blind untuk



kejang pasca trauma lanjut



mengetahui



pada pasien yang mendapatkan



efektifitas fenitoin



terapi fenitoin selama 1 minggu



yang diberikan



dibandingkan dengan yang



selama 1 minggu



mendapatkan terapi asam



dibandingkan asam



valproat selama 1 atau 6 bulan



valproat yang diberikan selama 1 atau 6 bulan sebagai profilaksis kejang pasca trauma 5



Chang SB,



Meta analisis



II/B



Pengobatan profilaksis dengan



Lowenstein



beberapa penelitian



Fenitoin, dimulai dengan dosis



DH, 2003



level l,ll untuk



loading segera setelah trauma 20



mengetahui peranan



efektif menurunkan resiko



profilaksis obat anti



kejang dini pasca trauma.



epilepsi pada



Profilaksis tidak efektif untuk



penderita cedera



kejang fase lanjut. Faktor resiko



otak berat



terjadinya kejang : cedera otak berat, amnesia atau tidak sadar berkepanjangan, hematom intrakranial atau kontusio serebri, dan fraktur depress.



6



Torbic H



Meta analisis



II/B



Profilaksis anti kejang efektif



et al., 2013



penelitian level I



diberikan pada 1 minggu



dan II untuk



pertama pasca trauma.



mengetahui



Alternatif obat yang efektif



efektivitas obat-



adalah phenytoin dan



obatan anti kejang



levetiracetam.



dan faktor risikonya Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research



Referensi Algattas H and Huang JH. Traumatic brain injury pathophysiology and treatments: early, intermediate and late phases post injury. Int. J. Mol. Sci. 2014, 15, 309-41; doi: 10.3390/ijms 15010309. Annegers JF et al. A Population Based Study of Seizure After Traumatic Brain lnjuries. TheNEJM 1998 Chang S, Bemard and Lowenstein H Daniel. Practice parameter: Antiepileptic drug prophylaxis insevere traumatic brain injury : Report of the Qua|ity Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurotogy 2003; 60:10-6. Golden N. Pengaruh Faktor Resiko terhadap Angka Kejadian Epilepsi Pasca Trauma Dini di RSUD Dr Soetomo. Karya Tulis Akhir PPDS I llmu Bedah Saraf, Lab AJPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1996 21



Temkin et al. A randomized double blind study of phenytoin for prevention of post traumaticseizures. The NEJM 1990; 323 :497-502. Temkin et al. Valproate therapy for prevention of post traumatic seizures: a randomized trial. J Neurosurg 1999;91:593–600. Torbic H et al. Use of antiepileptics for seizure prophylaxis after traumatic brain injury. Am J Health-Syst Pharm. 2013; 70:759-66



V2. Rekomendasi penggunaan manitol dan Sodium Laktat Hipertonis Standard



Terapi dengan menggunakan larutan sodium laktat hiperosmolar lebih efektif dalam menurunkan TIK bila dibandingkan dengan manitol



Guideline



Manitol



membantu



menurunkan



TIK



pada



pasien



COB.



Pemberian secara bolus dengan dosis 0,25–1 gr/kgBB lebih dianjurkan dibandingkan pemberian secara terus menerus Option



1) Pemberian manitol dapat dilakukan sebelum pemasangan ICP



Monitor



jika



didapatkan



tanda-tanda



transtentorial atau terjadi penurunan



herniasi



kesadaran yang



progresif. Serum osmolaritas harus dibawah 320 mmol/l untuk mencegah terjadinya gagal ginjal. Pasien harus dipertahankan dalam kondisi euvolemia dan dipasang katater urine untuk memonitor produksi urine. 2) Terapi



dengan



menggunakan



larutan



sodium



laktat



hiperosmolar lebih efektif dalam menurunkan TIK bila dibandingkan dengan manitol Penjelasan Rekomendasi : Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK yang meningkat. Manitol dapat menurunkan TIK dengan cara menarik cairan ke dalam ruangan Intra vaskular (TIK me↓→ CBF dan CPP me↑). Manitol secara bermakna menurunkan mortalitas COB tipe “non surgical mass lesion” bila tidak ada episode hipotensi atau hipoksia selama perawatan pada GCS 3–5 atau CT Scan menunjukkan kontusio serebri grade III Sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan 20%. Manitol diberikan bolus 0,25 – 1 gr/KgBB dalam 10 – 20 menit, setiap 4 – 8 jam. Sebelum memberikan manitol 22



harus dilakukan pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, gula darah, dan elektrolit darah. Penghitungan osmolaritas awal darah dilakukan sebelum pemberian manitol. Dan harus terpasang foley kateter untuk pengukuran diuresis. Osmolaritas = 2(Na+ + K+) + Glukosa/18 + BUN/2,8 Dalam menggunakan manitol maka harus dilakukan observasi ketat untuk menjaga pasien agar tetap dalam keadaan euvolemia dan osmolaritas serum 40 tahun b. TDS < 90 mmHg c. Postural bilateral atau unilateral



Metode: Metode monitoring TIK adalah melakukan pemasangan drainase intraventrikuler, dengan lokasi insersi pada titik kocher.



Penjelasan Rekomendasi



:



Tujuan utama Intensif Management Protocol adalah untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak secara adekuat untuk menghindari cedera otak sekunder. Perfusi otak yang menurun dan outcome yang buruk berhubungan dengan hipotensi sistemik dan hipertensi intrakranial. Satu-satunya jalan untuk menentukan CPP adalah dengan memonitor TIK dan tekanan darah sistemik secara kontinyu.



65



Pasien dengan cedera kepala berat dengan tekanan intra kranial 20 mm Hg atau lebih rendah memberikan outcome yang signifikan dinilai dari status kognitif.



Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1



Penulis



Deskripsi penelitian



TP/DR



Kesimpulan



II/B



Pasien dengan cedera kepala



Randall M.



Monitoring tekanan



et al., 2012



intrakranial



berat dengan tekanan intra



dipertimbangkan



kranial 20 mm Hg atau lebih



sebagai terapi standar



rendah memberikan outcome



untuk pasien cedera



yang signifikan dinilai dari



kepala berat



status kognitif.



Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research



Referensi Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore, Maryland, USA. Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC Grow Hill Comp, New York. Palmer JD. HEAD TRAUMA in Manual of Neurosurgery Churchil Livingstone, New York 1997. pp 499-580 Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Randall M, Chesnut, M.D, Temkin N, A trial of Intravranial-Pressure Monitoring in Traumatic brain injury. J Neurotrauma 2012; 367; 26; 2471-81. Wilkins RH and Rengachary SS (Eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd Ed MC Graw Hill Comp New York.



VII.2 Manajemen Tekanan Intra Kranial Standard



: Belum ada data yang mendukung



Guideline



: Belum ada data yang mendukung



Option



: Beberapa option dalam penanganan ICP



66



Penjelasan rekomendasi : Pada beberapa jurnal sudah disusun guideline penanganan peningkatan TIK beserta Beberapa pilihan yang didapatkan dari penelitian.: 



Pemasangan ICP Monitor







Menjaga CPP>70 mmHg







Drainase Cairan Serebrospinal(CSF)







Manitol 0,25 - 1,0 gr/KgBB







Hyperventilation PaCO2 30-35 mmHg







Terapi tersier: barbiturat dosis tinggi, hyperventilation PaCo270mmHg



Hipertensi TIK



CT Scan ulang



Pertahankan terapi TIK



Manitol 0.25-1.0 g/KgBB



ya a



Hipertensi TIK?



tidak j



Hiperventilasi sampai PaCO2 30-35mmHg



ya



Hipertensi TIK?



tidak



Terapi tersier penanganan TIK



Dikutip dari Guidelines For the Management of Severe Head Injury (Journal of Neurotrauma November 1996)



68



Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan II



Sedasi dan analgesik



Penggunaan Ventilator (PaCO2 30-35 mmHg, PEEP sampai 10 cmH2O)



Head Up 30° dengan leher yang lurus Terapi Dasar Terapi Lanjutan Manitol



THAM



Cairan hipertonik



Drainase CSF



Decompressive Craniectomy



Koma dengan barbiturat



Dikutip dari Valadka AB, Andrews BT. Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Questions. 2004



69



Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan III



Sedasi



Drainase CSF



Manitol



Mild Hiperventilasihipothermi 32



Hiperventilasi agresif



Barbiturat



Dikutip dari Head Injury Pathofiology and management of Severe Closed Injury,Peter Reilly 1997



70



Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1



2



3



Pengarang



Diskripsi



Bullock



Jalur kritis



et al., 1996



penanganan TIK



Peter Reilly,



Algoritma



1997



penanganan TIK



Valadka



Algoritma



et al., 2004



penanganan TIK



TP/DR



Kesimpulan



III/C



Sesuai skema I, drainase CSF setelah itu manitol



III/C



Skema III,drainase CSF dulu baru pemberian manitol



III/C



Sesuai skema II, pemberian manitol setelah itu drainase CSF



Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research



Referensi Bullock RM, Povlishock JT. Guidelines for the management of Severe Head Injury, Journal of Neurotrauma,November 1996. Reilly P,Head Injury : Pathophysiology and management of Severe Closed Injury, 1997 Valadka, Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Question,2004



71



VIII. ACUAN TATALAKSANA CEDERA OTAK TRAUMATIK PADA ANAK



VIII.1 Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi Standard



: Belum ada data yang cukup



Guideline



: Hipotensi harus segera diatasi dengan cairan resusitasi



Option



: Kontrol terhadap jalan nafas harus dilakukan pada anak dengan GCS ≤8



Penjelasan Rekomendasi



:



Pada anak, hipotensi didefenisikan sebagai penurunan tekanan darah dibawah 5 persentil sesuai usia atau menunjukkan tanda-tanda syok. Batas bawah TDS (persentil kelima) sesuai usia dapat diperkirakan dengan formula : 70 mmHg + (2 x Usia dalam tahun). Oksigenasi dan ventilasi diawasi ketat dengan pulse oxymetri dan End-tidal CO2 monitoring atau pemeriksaan Gas Darah (BGA) secara berkala. Hipoksia didefenisikan sebagai : apnea, Cyanosis, PaO2 < 60-65 mmHg, atau saturasi oksigen 90%. Cyanosis sentral bukan indikator yang awal dan tepat adanya hipoksia pada anak-anak.



Hipoventilasi didefenisikan sebagai pernafasan yang tidak adekuat sesuai usianya, pernafasan yang tidak teratur dan dangkal, periode apnea yang sering, atau didapatkan tanda hiperkarbia. Hipoventilasi adalah indikasi untuk dilakukan kontrol jalan nafas dan assisted ventilation dengan oksigen 100%.



Pada anak, resusitasi cairan merupakan indikasi bila didapatkan tanda-tanda penurunan perfusi meskipun tekanan darah sudah adekuat. Syok biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, evaluasi adanya cedera spinal atau cedera lainnya harus dilakukan. Restriksi cairan untuk membatasi edema otak merupakan kontraindikasi pada penanganan cedera otak. Jika akses vaskuler perifer sulit didapatkan, infus intraosseus dan obat-obatan harus dilakukan.



Mortalitas pada anak-anak lebih rendah dibandingkan dengan dewasa. Pada anak hanya hipotensi yang berhubungan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi, 72



sedangkan pada dewasa faktor hipotensi dan hipertensi. Hasil akhir yang jelek berhubungan dengan : GCS < 8, abnormalitas pupil, defisit motorik, hipoksia, hipotensi dan cedera ekstrakranial. Hipotensi dengan atau tanpa hipoksia meningkatkan angka mortalitas secara signifikan Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1



Penulis



Deskripsi Penelitian



TP/DR



Kesimpulan



Fisher



Penelitian double-blind cross



III/C



et al, 1992



over membandingkan



3% dapat menurunkan



penggunaan cairan saline



TIK dan mengurangi



3% (1025 mOsm/L) dan



intervensi yang lain



0,9% (308 mOsm/L) pada



( thiopental dan



anak dengan cedera otak



hiperventilasi). Kadar



berat



Serum sodium



Cairan hipertonis saline



meningkat sekitar 7 mEq/L setelah pemberian saline 3% 2



Khanna



Studi prospektif tentang



III/C



Terjadi penurunan yang



et al., 2000



penggunaan cairan



signifikan pada TIK dan



hipertonis saline 3% (1025



peningkatan CPP selama



mOsm/L)



pemberian cairan saline 3% Timbulnya hipernatremi dan hiperosmoler dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-anak



3



Peterson



Penelitian retrospektif untuk



III/C



Cairan hipertonis Saline



et al., 2000



mengetahui efek cairan



3%efektif dalam



hipertonis Saline 3% dalam



menurunkan TIK



menurunkan TIK 4



Simma



Penelitian prospektif random



III/C



Pasien yang diterapi



et al., 2000



terbuka membandingkan



dengan salin hipertonis



penggunaan saline



memerlukan intervensi 73



hipertonis (598 mOsm/L)



tambahan yang lebih



dengan ringer laktat yang



sedikit dibandingkan



diberikan lebih dari 3 hari



dengan pemberian



pada 35 anak dengan



dengan ringer laktat



cedera otak berat



dalam mengatur TIK. Group dengan pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat, lebih sedikit komplikasi dibandingkan dengan penggunaan ringer laktat



5



Sakellaridis



Penelitian prospektif untuk



II/B



Tidak ada perbedaan



et al., 2011



membandingkan efek dari



diantara kedua terapi



mannitol dan saline



baik dalam hal



hipertonis terhadap



penurunan ICP dan



hipertensi intrakranial pada



durasi kerjanya



pasien dengan cedera otak berat Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research



Referensi : Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial pressure in children after head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992; 4 : 4-10 Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the treatment of severe refractory posttraumatic intracranial hypertension in pediatric traumatic brain injury. Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151



74



Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al . Prolonged hypernatremia controls elevated intracranial pressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143 Sakellaridis N, Pavlou E, Karatzas S, et al : Comparison of mannitol and hypertonic saline in the treatment of severe brain injury. J Neurosurg 2011; 114 : 545-548 Simma B, Burger R, Falk M, et al : A prospective, randomized and controlled study of fluid management in children with severe head injury : Lactated Ringer’s solution versus hypertonic saline. Crit Care Med 1998; 26 : 1265-1270



VIII.2 Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial Standard



: Belum ada data yang cukup



Guidelines



: Belum ada data yang cukup



Option



: ICP Monitor dapat dilakukan pada bayi dan anak dengan cedera otak berat



Penjelasan Rekomendasi: ICP monitor diindikasikan pada penderita COB dengan CT Scan abnormal. Penderita COB dengan CT Scan normal dipasang ICP monitor bila didapatkan minimal 2 dari keadaan berikut : 1)



Motor posturing



2)



Hipotensi sistemik



Fontanela mayor dan atau sutura yang masih terbuka pada bayi tidak dapat menyingkirkan



kemungkinan



terjadinya TIK yang



tinggi atau



menyingkirkan



penggunaan ICP monitor



ICP monitor tidak dianjurkan rutin pada COS dan COR. Belum ada penelitian RCT untuk mengevaluasi terhadap hasil akhir pengaruh penanganan COB dengan atau tanpa pemasangan ICP monitor. TIK > 20 mmHg berhubungan dengan peningkatan resiko kematian. TIK > 35 mmHg dan CPP < 55 mmHg (dewasa) dan 45 mmHg (anak) merupakan faktor prediktif untuk hasil akhir yang jelek 75



Anak-anak dengan Cedera pada brain stem dengan TIK > 40 mmHg berhubungan dengan kematian dan vegetative state yang tinggi. Tujuan terapi pasien anak dengan cedera otak berat adalah normalisasi TIK (< 20 mmHg), optimalisasi CPP dan CBF, mencegah terjadinya cedera otak sekunder dan menghindari terjadinya komplikasi berkaitan dengan modalitas terapi yang bervariasi Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1



Penulis



Deskripsi Penelitian



TP/DR



Eder



Studi retrospektif pada



et al., 2000



anak dengan cedera



cedera pada batang otak



otak berat.



dan TIK > 40 mm



Membandingkan



berhubungan dengan



beberapa faktor dan TIK



kematian dan kondisi



monitor terhadap



vegetatif yang tinggi.



III/C



Kesimpulan Anak-anak dengan



outcome 2



Peterson



Penelitian retrospektif



III/C



Cairan hipertonis Saline



et al., 2000



untuk mengetahui efek



3% efektif dalam



cairan hipertonis Saline



menurunkan TIK.



3% dalam menurunkan TIK 3



4



5



Downard



Penelitian retrospektif



III/C



et al., 2000



pada anak yang



berhubungan dengan



dilakukan pemasangan



peningkatan resiko



TIK



kematian III/C



TIK > 20 mmHg



Chambers



Penelitian observational



et al., 2001



pada pada anak-anak



merupakan prediktif



dan dewasa yang



faktor untuk hasil akhir



dilakukan TIK dan CPP



yang jelek pada anak



monitor



dan dewasa III C



TIK > 35 mm



White



Penelitian retrospektif



14% survivor pada



et al., 2001



dan observasional



kelompok 1 dan 41%



terhadap 136 pasien di



nonsurvivor pada



NICU dan PICU dengan



kelompok 2 memiliki ICP 76



ICP monitor



> 20mmHg pada 72 jam pertama. ICP pada 6 jam, 12 jam dan 24 jam pertama yang rendah berhubungan secara signifikan dengan outcome yang baik.



6



Cruz



Penelitian retrospektif



III C



ICP yang tinggi pada



et al., 2002



mengenai efek dari



hari 1-5 pertama,



pemasangan ICP pada



berhubungan dengan



pasien pediatric



penurunan ekstraksi oksigen otak dan prognosis yang buruk.



7



Pfenninger,



Penelitian retrospektif



III C



Hipertensi intrakranial



Santi, 2002



mengenai hubungan



sebanding dengan



pengukuran ICP dan



prognosis buruk.



monitoring tekanan vena jugular dengan outcome pada pasien pediatric 8



Adelson



Penelitian rondomized



IIIC



ICP > 20 adalah



et al, 2005



controlled trial terapi



prediktor buruk untuk



hyptotermi dan



prognosis yang paling



normotermi pada terapi



sensitif. Rerata ICP yang



peningkatan TIK pada



rendah berhubungan



pasien pediatric



dengan prognosis yang baik



9



Wahlstrom




Penelitian observasional



et al, 2005



mengenai terapi



terbukti adanya



monitoring ICP



hubungan signifikan



menggunakan protokol



antara ukuran ICP dan



III C



Pada penelitian ini tidak



77



Lund pada pasien



outcomen pasien.



pediatri 10



Stiefel M,



Penelitian retrospektif



III/C



Pemasangan monitor



et al, 2006



pada pasien anak-anak



PO2jaringan merupakan



yang dilakukan



tambahan yang berguna



pemasangan monitor



dan aman pada



TIK dan PO2 jaringan



pemasangan monitor TIK



11



Grinkeviciute



Penelitian observasional



III C



Pada penelitian ini tidak



et al, 2008



satu senter mengenai



ada perbedaan outcome



hubungan beberapa



pada kelompok dengan



terapi TIK tinggi pada



tekanan ICP rerata baik



pasien pediatri



(22.2mmHg) dan buruk (24.6mmHg)



12



Jagannathan



Penelitian observasional



III C



Outcome yang baik



et al, 2008



mengenai terapi



berhubungan dengan



pemasangan ICP dalam



manajemen kenaikan



hubungannya dengan



TIK yang baik.



tindakan craniektomy dekompresi pada pasien pediatric Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research



Referensi : Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate hypothermia



after severe traumatic brain injury in children.



Neurosurgery 2005; 56:740 –754; discussion 740 –754 Chambers IR, Treadwell L, Mendelow AD : Determination of treshold levels of cerebral perfusionpressure and intracranial pressure in severe brain injury



by



using



receiver



operatingcharacteristic



curves



:



An



observational study in 291 patients. J Neurosurg 2000; 94 :412-416 Cruz J, Nakayama P, Imamura JH, et al: Cerebral extraction of oxygen and 78



intracranial hypertension in severe, acute, pediatric brain trauma: Preliminary novel management strategies. Neurosurgery 2002; 50: 774 –779; discussion 779 –780 Downard C, Hulka F, Mullins R, et al : Relationship of cerebral perfusion pressure and survival in pediatric brain-injured patients. J Trauma 2000; 49: 654-659 Elder HG, Legat JA, gruber W : Traumatic brain stem lesion in children. Childs Nerv Syst 2000;16: 21-24 Grinkeviciute DE, Kevalas R, Matukevicius A, et al: Significance of intracranial pressure and cerebral perfusion pressure in severe pe- diatric traumatic brain injury. Medicina (Kaunas, Lithuania) 2008; 44:119 –125 Jagannathan J, Okonkwo DO, Yeoh HK, et al: Long-term outcomes and prognostic factors in pediatric patients with severe traumatic brain injury and elevated intracranial pressure. J Neurosurg Pediatr 2008; 2:240 –249 Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls elevated intracranialpressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143 Pfenninger J, Santi A: Severe traumatic brain injury in children—Are the results improving? Swiss Med Wkly 2002; 132:116 –120 Stiefel M, Joshua D, Storm P, et al : Brain tissue oxygen monitoring in pediatric patients with severe traumatic brain injury. J Neurosurg 2006; 105:281-286 White JR, Farukhi Z, Bull C, et al: Predictors of outcome in severely headinjured children. Crit Care Med 2001; 29:534 –540 Wahlstrom MR, Olivecrona M, Koskinen LO, et al: Severe traumatic brain injury in pediatric patients: Treatment and outcome using an intracranial pressure targeted therapy— The Lund concept. Intensive Care Med 2005; 31:832– 839



79



VIII.3 Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat Standard



: Belum ada data yang cukup



Guidelines



: Belum ada data yang cukup



Option



1. Hipertensi intrakranial didefenisikan sebagai peningkatan patologis pada TIK 2. Tatalaksana segera dimulai bila TIK ≥ 20 mmHg 3. Interpretasi dan terapi hipertensi intrakranial didasarkan pada titik kritis TIK yang dikaitkan dengan : pemeriksaan klinis, pemantauan variabel fisiologis misal CPP dan foto serial



Penjelasan Rekomendasi : Pengaruh hipertensi intrakranial atau peningkatan TIK yang patologis terhadap outcome COB pada anak-anak berkaitan dengan nilai puncak TIK dan durasi peningkatan tersebut. Outcome yang jelek bila TIK > 30 mmHg dibandingkan TIK < 20 mmHg. Batas tertentu TIK untuk memulai pengobatan pada anak-anak dengan COB belum dapat ditegakkan



Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No



Penulis



Deskripsi Penelitian



TP/DR



Kesimpulan



1



Shapiro and



Studi prospektif non random



III/C



Peningkatan TIK >20



Marmarou,



menentukan hubungan



mmHg berbanding



1982



antara TIK dan PVI (Pressure



terbalik dengan PVI



Volume Index)



(Pressure Volume Index)



2



3



Cho



Penelitian retrospektif pada



et al., 1995



shaken baby syndrome pada



bila TIK > 30 mmHg



pasien < 2 tahun, yang



dibandingkan TIK




dengan ICP monitor



20mmHg pada 72 jam pertama. ICP pada 6 jam, 12 jam dan 24 jam pertama yang rendah berhubungan secara signifikan dengan outcome yang baik.



5



Cruz



Penelitian prospektif pada



III C



Rerata ICP 15-21



et al., 2002



terapi monitoring ICP pada



mmHg pada hari ke 2-



pasien pediatri.



5 didapatkan pada kelompok pasien pasien dengan outcome yang baik. Rerata ICP 19-26 mmHg pada hari ke 25 didapatkan pada kelompok pasien dengan outcome yang buruk.



6.



Pfenninger,



Penelitian retrospektif



III C



Hipertensi intrakranial



Santi, 2002



mengenai hubungan



dengan tinggi > 20



pengukuran ICP dan



mmHg sebanding



monitoring tekanan vena



dengan prognosis



jugular dengan outcome



buruk.



pada pasien pediatric 7



Adelson



Penelitian rondomized



et al., 2005



controlled trial terapi



IIIC



Rerata ICP pada anak-anak dengan



81



hyptotermi dan normotermi



prognosis baik (11.9



pada terapi peningkatan TIK



+ 4.7 mm Hg) vs



pada pasien pediatri



prognosis buruk (24.9 + 26.3 mm Hg). Ukuran ICP > 20 mmHg sebanding dengan prognosis buruk



8



9



Kan



Penelitian prospektif untuk



et al., 2006



mengetahui mortalitas dan



kraniektomi



morbiditas pada pasien anak-



dekompresi hanya



anak dengan cedera otak



untuk peningkatan



berat yang dilakukan



TIK memiliki



kraniektomi dekompresi



mortalitas yang tinggi



Grinkeviciute Penelitian observasional satu et al., 2008



III/C



III C



Pasien yang dilakukan



Tidak ada perbedaan



senter mengenai hubungan



outcome pada



beberapa terapi TIK tinggi



kelompok dengan



pada pasien pediatri



tekanan ICP rerata baik (22.2mmHg) dan buruk (24.6mmHg)



Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research



Referensi : Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate hypothermia



after



severe



traumatic



brain



injury



in



children.



Neurosurgery 2005; 56:740 –754; discussion 740 –754 Cho D, Wang Y, Chi C : Decompressive craniotomy for acute shaken/impact baby syndrome. Pediatr Neurosurg 1995; 23: 192-198 Cruz J, Nakayama P, Imamura JH, et al: Cerebral extraction of oxygen and intracranial hypertension in severe, acute, pediatric brain trauma: Preliminary novel management strategies. Neurosurgery 2002; 50: 774 –779; discussion 779 –780 82



Grinkeviciute DE, Kevalas R, Matukevicius A, et al: Significance of intracranial pressure and cerebral perfusion pressure in severe pe- diatric traumatic brain injury. Medicina (Kaunas, Lithuania) 2008; 44:119 –125 Kan P, Amini A, Hansen K, et al : Outcome after decompressive craniectomy for severe traumatic brain injury in children. Journal Neurosurgery: Pediatrics 2006; 105:337-342 Pfenninger J, Santi A: Severe traumatic brain injury in children—Are the results improving? . Swiss Med Wkly 2002; 132:116 –120 Shapiro K, Marmarou A : Clinical applications of the pressure-volume index on treatment of pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819825 Sharples PM, Stuart AG, Matthews Ds, et al : Cerebral blood flow and metabolism in children with severe head injury. Part I : Relation to age, Glasgow Coma Score, outcome, intracranial pressure, and time after injury. JNNP 1995; 58 : 145 -152 White JR, Farukhi Z, Bull C, et al: Predictors of outcome in severely headinjured children. Crit Care Med 2001; 29:534 –540



VIII.4 Penggunaan Terapi Hiperosmolar Untuk Mengendalikan Tekanan Intrakranial Standard



: Pemberian manitol lebih baik dibandingkan dengan pemberian pentobarbital dan kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan pemberian cairan hipertonik saline.



Guidelines



: Tidak ada perbedaan diantara mannitol dan saline hipertonis terhadap hipertensi intrakranial pada pasien dengan cedera otak berat dalam hal penurunan ICP dan durasi kerjanya



Option



: Cairan hipertonis NaCl 3% dan manitol dapat digunakan untuk mengendalikan TIK



Penjelasan Rekomendasi



:



Manitol merupakan pilihan dalam manajemen peningkatan TIK dan cedera otak. Manitol dapat menurunkan TIK melalui 2 mekanisme : 83



1. Menurunkan TIK dengan menaikkan viskositas darah dengan mengurangi resultante diameter pembuluh darah → Penurunan volume darah otak dan TIK ( bersifat sementara < 75 menit ) 2. Efek Osmotik yang berkembang secara perlahan 15-30 menit, mengikuti pergerakan air secara graduil dari parenkim (ICF) ke sirkulasi (IVF) → efek timbul sekitar > 6 jam dan memerlukan Blood Brain Barrier yang intak Manitol efektif dalam dosis bolus antara 0,25 gr/kgBB -1 gr/kgBB. Persyaratan penggunaan manitol : 1. Euvolemia harus dipertahankan dengan terapi cairan 2. Pemasangan kateter urethra diwajibkan untuk mencegah ruptur buli 3. Osmolalitas serum dipertahankan di bawah 320 mOsm/L



Cairan hipertonis salin 3% efektif dalam menurunkan TIK dan mengurangi intervensi yang lain ( Thiopental dan hiperventilasi ) → me↓ TIK dan me↑ CPP. Group dengan pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat, dan komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan penggunaan RL. Dosis efektif dalam infus kontinyu salin 3% adalah 0,1 ml/kgBB/jam-1,0 ml/kgBB/jam. Osmolalitas serum dipertahankan pada 320 mOsm/L. Kadar serum sodium meningkat sekitar 7 mEq/L setelah pemberian salin 3%. Timbulnya hipernatremia dan hiperosmolar dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-anak. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1



Penulis



Deskripsi penelitian



TP/DR III/C



Kesimpulan



Fisher



Penelitian double-blind



Cairan hipertonis saline



et al., 1992



cross over



3%dapat menurunkan



membandingkan



TIK danmengurangi



penggunaan cairan saline



intervensi yanglain



3% (1025 mOsm/L) dan



(thiopental



0,9% (308 mOsm/L) pada



danhiperventilasi).



anak dengan cedera otak



Kadar Serum



berat.



sodiummeningkat sekitar 84



7 mEq/Lsetelah pemberian saline3% 2



Khanna



Studi prospektif tentang



III/C



Terjadi penurunan yang



et al., 2000



penggunaan cairan



signifikan pada TIK dan



hipertonis saline 3%



peningkatan CPP selama



(1025mOsm/L)



pemberian cairan saline 3%Timbulnya hipernatremia dan hiperosmoler dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-anak.



3



Peterson



Penelitian retrospektif



III/C



Cairan hipertonis Saline



et al., 2000



untuk mengetahui efek



3% efektif dalam



cairan hipertonis Saline



menurunkanTIK.



3% dalam menurunkan TIK. 4



Simma



Penelitian prospektif



III/C



Pasien yang diterapi



et al., 2000



random terbuka



dengan salin hipertonis



membandingkan



memerlukan intervensi



penggunaan saline



tambahan yang lebih



hipertonis (598 mOsm/L)



sedikit dibandingkan



dengan ringerlaktat yang



dengan pemberian



diberikan lebih dari 3 hari



dengan ringer laktat



pada 35 anak dengan



dalam mengatur TIK.



cedera otak berat



Groupdengan pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat, lebih sedikit komplikasi dibandingkan dengan 85



penggunaan ringer laktat 5



Wakai, 2013



Randomized control trial



I/A



Pemberian manitol lebih



dengan pemberian manitol



baik dibandingkan



pada pasien trauma akut



dengan pemberian



cedera otak sedang dan



pentobarbital dan kurang



berat



menguntungkan jika dibandingkan dengan pemberian cairan hipertonik saline.



6



Sakellaridis



Penelitian prospektif untuk



II/B



Tidak ada perbedaan



et al., 2011



membandingkan efek dari



diantara kedua terapi



mannitol dan saline



baik dalam hal



hipertonis terhadap



penurunan ICP dan



hipertensi intrakranial



durasi kerjanya



pada pasien dengan cedera otak berat Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research



Referensi : Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial pressure in childrenafter head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992; 4 : 4-10 Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the treatment of severerefractory posttraumatic intracranial hypertension in pediatric traumatic brain injury.Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151 Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls elevated intracranialpressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143 Sakellaridis N, Pavlou E, Karatzas S, et al : Comparison of mannitol and hypertonic saline in the treatment of severe brain injury. J Neurosurg 2011; 114 : 545-548 Simma B, Burger R, Falk M, et al : A prospective, randomized and controlled study of fluidmanagement in children with severe head injury : Lactated 86



Ringer’s solution versushypertonic saline. Crit Care Med 1998; 26 : 1265-1270



VIII.5 Peran pengeluaran LCS Pada pengendalian TIK Standard



: Belum ada data yang cukup



Guidelines



: Drainase cairan serebrospinal (3 ml) secara signifikan mengurangi ICP dan meningkatkan CPP selama setidaknya 10 menit.



Option



: Pengeluaran atau drainase dapat dilakukan melalui kateter ventrikulostomi atau dikombinasi dengan drainase lumbal



Penjelasan Rekomendasi: Ditemukan studi kelas III pada anak dengan penggunaan darinase ventrikuler pada TBI. Sahpiro dan marmarou melakukan studi retrospektif pada anak dengan TBI berat, didapat score ≤ 8 pada Glasgow Coma Scale (GCS), yang mana semuanya dilakukan ventrikel drainase. Variabel terukur termasuk TIK, pressure-volume index, dan angka kematian.



Drainase LCS akan meningkatkan Pressure Volume Index (PVI) dan penurunan TIK, kematian



hanya



terjadi



pada



pasien



dengan



hipertensi



intrakranial



tak



terkendali/refrakter. Drainase LCS tidak terbatas dari rute ventrikel. Drainase lumbal sebagai kombinasi perlu dipertimbangkan pada kasus : 1) Hipertensi



intrakranial



yang



membandel



setelah



pamasangan



kateter



ventrikulostomi yang berfungsi baik, 2) Sisterna basal yang terbuka 3) Dan tidak ada gambaran lesi massa yang besar atau pergeseran kompartemen pada foto



Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1



Penulis



Deskripsi penelitian



TP/DR III/C



Kesimpulan



Shapiro,



Penelitian retrospektif,



Drainage meningkatkan



Marmaron, 1982



22 pasien dengan EVD



PVI, menurunkan TIK,



ditentukan TIK/PVI



kematian hanya pada 87



pasien dengan TIK tak terkendali 2



3



Baldwin and



laporan serial klinis, lima



III/C



Tiga dari lima selamat



rekate, 1991-



pasien dengan drain



1992



lumbar



Levy



Penelitian retrospektif,



et al., 1995



16 pasien dengan



kematian pada dua



lumbar drain



pasien dengan TIK tak



setelah penurunan TIK



III/C



Penderita dari 16 orang ,



terkendali 4



Kerr E Mary,



Case control, untuk



II/B



Drainase cairan



et al., 2001



mengetahui efek



serebrospinal (3 ml)



drainase LCS pada ICP



secara signifikan



monitor terhadap



mengurangi ICP dan



perfusi otak



meningkatkan CPP selama setidaknya 10 menit.



Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research



Referensi : Baldwin HZ, Rekate HL : Preliminary experience wih controlled external lumbar drainage in diffuse pediatric head injury. Pediatry Neurosurg 1991-2; 17: 115-120 Kerr ME, et al : Dose response to cerebrospinal fluid drainage on cerebral perfusion in traumatic brain-injured adult, Neurosurg Focus 11 (4):Article 1; 1-6. 2001 Levy DI, Rekate HL, Cherny WB, et al : Controlled lumbar drainage in pediatric head injury. J Neurosurg 1995; 83 : 452-460. Shapiro K, Marmarou A : Clinical application of the pressure-volume index on treatment of pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819825



88



VIII.6



Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan COB



Standard



: Belum ada data yang cukup



Guidelines



: Belum ada data yang cukup



Option



: Hiperventilasi ringan atau profilaksis (PaCO2 35, 25-35 dan < 25torr 3



Diringer



Penelitian kohort



II/B



Hiperventilasi pada awal



et al.,2002



prospektif, 13 pasien



cedera otak tidak terbukti



dengan cedera otak berat,



menyebabkan iskemia



dibagi dalam 2 grup, membandingkan grup yang diterapi dengan hiperventilasi sedang, dan berat Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research



Referensi : Diringer MN, Videen TO, Yundt K, et al. Regional Cerebrovascular and Metabolic Effects of Hyperventilation after Severe Traumatic Brain Injury. J Neurosurg 2002;96:103-108 90



Skippen P, Seear M, Poskitt K, et al. Effect of hyperventilation on regional cerebral blood flow inhead-injured children. Crit Care Med 1997; 25: 1402-1409 Stringer WA, Hasso AN, Thompson JR, et al. Hyperventialtion-induced cerebral ischemia inpatients with acute brain lesions : Demonstration by Xenon -enhanced CT.AJNR 1993;14: 475-484



VIII.7 Pembedahan Untuk Hipertensi Intrakranial Pada Pediatri Standard



: Belum ada data yang cukup



Guidelines



: Belum ada data yang cukup



Option



1. Kraniektomy dekompresi perlu dipertimbangkan pada pasien pediatri dengan: a. Cedera Otak Berat (COB) b. Edema serebri (brain swelling) c. Hipertensi intrakranial yang membandel terhadap terapi medis intensif d. COB dengan hipertensi intrakranial yang tampaknya akan mengalami perbaikan dari cedera otaknya. 2. Kraniektomy dekompresi tampaknya kurang efektif pada pada pasien cedera otak sekunder yang berat 3. Outcome yang baik dapat diharapkan pada kasus penurunan GCS sekunder dan atau sindroma herniasi otak yang masih dalam proses dalam waktu 48 jam pertama setelah cedera 4. Pasien dengan GCS 3 dan tidak membaik adalah kelompok dengan outcome yang tidak baik



Penjelasan Rekomendasi



:



Tindakan pembedahan secara umum bertujuan kontrol terhadap hipertensi intrakranial yang berat. Tindakan kraniektomy dekompresi untuk kasus traumatic brain injury pada anak-anak menurunkan TIK secara



signifikan (rata-rata



penurunan 9 mmHg). Outcome yang baik didapatkan pada : usia muda, operasi lebih awal dan TIK tidak pernah > 40 mmHg 91



Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No. Penuls 1.



Deskripsi Penelitian



Cho et al., 1995 Penelitian retrospektif pada



TP/DR Kesimpulan III/C



Pasien yang dioperasi



pada anak-anak dengan



survivalnya lebih baik



shaken baby syndrome yang



dibandingkan yang



dilakukan operasi



hanya mendapat



dekompresi atau terapi



terapi medis



medis 2.



Polin



Penelitian case control, 35



III/C



Outcome yang baik



et al., 1997



pasien cedera otak berat



didapatkan pada usia



yang dilakukan dekompresi



muda, operasi lebih



kraniektomi dengan pre dan



awal dan TIK tidak



post operatif TIK monitor



pernah >40 mmHg



dan terapi medis 3.



4.



Taylor



Single center PRCT, 27



III/C



et al., 2001



cedera otak berat pada anak



dekompresi secara



dengan hipertensi



nyata menurunkan



intrakranial yang membandel



TIK dalam 48 jam



dengan terapi medis dan



setelah dirandomisasi



drainase ventrikel yang



dan hasilnya tidak



dirandom antara bitemporal



terlalu bermakna



dekompresi kraniotomi vs



terhadap perbaikan



tanpa pembedahan



klinis III/C



Kraniotomi



Hejazi



Penelitian retrospektif 7



Semua pasien



et al., 2002



kasus serial pada pasien



mengalami perbaikan



pediatri yang mengalami



komplit pada



brain swelling dengan ICP



monitoring selama 8



inisial>45mmHg telah



bulan post operasi.



dilakukan craniektomi dekompresi 5.



Figaji



Studi pada 5 kasus pasien



et al., 2003



pediatri yang mengalami



III/C



Semua pasien mengalami perbaikan 92



6.



Ruf et al., 2003



deteriorisasi neurologis (GCS



dan skor GOS 4 – 5



15 menit



2. Amnesia post trauma > 30 menit Berat



1. penurunan kesadaran ≥ 5 menit atau



Tiap ada penurunan kesadaran



2. Amnesia post trauma ≥ 24 jam



Kontraindikasi untuk kembali bermain olahraga yang memerlukan kontak fisik : 1. Gejala post concussion yang persisten 2. Sisa gejala trauma kepala pada sistem saraf pusat yang menetap ( dementia organik, hemiplegia, hemianopsia homonym) 3. Hidrosefalus 4. SAH spontan 5. Gejala abnormal dari foramen magnum (malformasi chiari)



Pedoman untuk atlit bisa kembali bermain (AAN guideline) Grade AAN Ringan



Rekomendasi penanganan concussion pada olahraga 



keluar dari kontes







periksa setiap 5 menit untuk gejala amnesia dan post concussive







Dimungkinkan bisa kembali bermain jika gejala menghilang dalam 15 menit



Sedang







Keluar dari kontes







Tidak disarankan kembali bermain pada hari itu







Periksa secara berkala untuk tanda-tanda berkembangnya gangguan intrakranial







Periksa kembali pada hari berikutna 100







CT atau MRI jika nyeri kepala atau gejala lain memburuk atau lebih dari 1 minggu



Berat







Latihan kembali setelah 1 minggu bebas gejala







Transportasi ambulans dari lapangan ke UGD RS jika belum sadar ( pasang stabilisator C-Spine)







Segera lakukan pemeriksaan neurologi.



neuroimaging yang



sesuai 



Dapat kembali ke rumah dengan instruksi “cedera kepala” jika pada pemeriksaan tidak didapatkan kelainan







Segera ke RS setiap ada tanda kelainan atau mental status tidak normal yang berkelanjutan.







Periksa status neurologi tiap hari sampai semua gejala membaik atau stabil







Adanya



penurunan



kesadaran



yang



berlangsung



lama,



perubahan mental status yang persisten, perburukan gejala post concussion atau pemeriksaan neurologi yang tidak normal evaluasi neurosurgical segera atau transfer ke trauma center. 



Setelah penurunan kesadaran < 1 menit pada concussion derajat 3, jangan kembali latihan sampai bebas gejala selama satu minggu







Setelah penurunan kesadaran > 1 menit pada concussion derajat 3, jangan kembali latihan sampai bebas gejala selama dua minggu.







CT scan atau MRI jika nyeri kepala atau keluhan memberat atau lebih dari dua minggu.



Concussion berulang pada periode waktu yang pendek merupakan suatu kondisi yang berpotensi membahayakan. Perlunya pemeriksaan neuroimaging (misal CT scan) pada atlet dengan gejala yang membaik bersifat kontroversi, dan tergantung penilaian dari dokter yang menangani. Indikasi pemerikasaan neuroimaging yang disarankan adalah : 1. Concussion berat 101



2. Gejala yang menetap > 1 minggu, meskipun ringan 3. Sebelum kembali berkompetisi setelah concussion yang kedua dan ketiga pada musim kompetisi yang sama.



Rekomendasi pada concussion berulang pada satu musim kompetisi Concussion No 2



Panduan sebelum kembali bermain



Tingkat keparahan Ringan



1 minggu*



Sedang atau Berat 1 bulan* dengan CT scan atau MRI normal † 3



Ringan



Disarankan untuk tidak bermain lagi pada musim ini, CT scan atau MRI†



2



Sedang



Disarankan tidak bermain lagi pada musim ini,dan hindari



Berat



olahraga yang memerlukan kontak fisik



*



tanpa gejala-gejala pada saat istirahat dan aktivitas







jika didapatkan abnormalitas akut pada CT/MRI: akhiri musim kompetisi. Pertimbangkan untuk tidak ikut berpartisipasi pada olahraga yang bersifat kontak fisik



Referensi Bradley, et al. 2013. Sport related concussion. Division of pediatric sports medicine rainbow babies and children hospital. Elsevier. Vol 14 : 4 Victoroff, et al. 2012. Diagnosis dan treatment of sport related traumatic brain injury. Psychiatric annals. 42 : 10 Sahler, et al. 2012. Traumatic brain injury in sports : A review. Hindawi rehabilitation research and practice. Greenberg, Mark. 2010. Handbook of neurosurgery 7 ed. Thieme : Hal 850.



102



PENUTUP Pedoman ini akan selalu dilakukan evaluasi dan secara sistematis dilakukan penelitian yang mendukung, sehingga mendapat tingkat kepercayaan klinis (clinical certainty) yang tertinggi yaitu gold standard / standard. Namun, pada dasarnya pedoman ini sudah dapat digunakan sebagai acuan atau rekomendasi, baik untuk tatalaksana yang bersifat medik maupun intervensi pembedahan di bidang cedera otak.



Besar harapan kami untuk menyempurnakan perdoman ini dengan mendapatkan saran dan kritik yang datang dari manapun dan siapapun terutama yang berkecimpung



pada



pelayanan



dan



pendidikan



serta



penelitian



dibidang



neurotrauma.



Rasanya tak ada gading yang tak retak. Kesempurnaan selalu menjadi harapan kami namun berbagai keterbatasan membuat kami tidak dapat menyusun pedoman ini secara sempurna, sehingga kekurangan dan ketidak sesuaian selalu ada.



103