Penanggulangan Bencana [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PRINSIP PENANGGULANGAN BENCANA (PRINSIPLE OF DISASTER MANAGEMENT)



DISUSUN OLEH : SARAH JUNIAR ZULI EKO WAHYUDI



0318011065 0618011038



ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS LAMPUNG JUNI 2012



BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah negara dengan kondisi alam dan keanekaragaman penduduk yang berbeda sehingga menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga kaya akan sumber daya alam. Tanah longsor, banjir, gempa bumi hingga tsunami menimpa berbagai daerah dari Indonesia bagian timur sampai barat. Begitu beruntunnya bencana-bencana tersebut sehingga pemulihan suatu daerah yang terkena bencana alam belum selesai atau bahkan belum tertangani dengan baik sudah disusul adanya bencana di daerah lainnya. Begitu banyak korban manusia berjatuhan yang menyebabkan seorang kehilangan keluarga atau sanak sudara, selain itu tak terhitung kerugian material yang terjadi yang menyebabkan suramnya masa depan mereka. Mereka yang masih hidup pastilah mengalami trauma psikis yang tak mudah mereka lupakan atau bahkan menghantui mereka sepanjang hidupnya. Indonesia bila dilihat dari Letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang berada diantara dua benua dan dua samudera terbentang di garis khatulistiwa serta terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia merupakan wilayah teritorial yang sangat rawan terhadap bencana seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, dan kekeringan, serta kebakaran hutan/bencana asap. Namun bencana yang datang silih berganti di berbagai wilayah di Indonesia, tidak juga menyadarkan kita pentingnya melakukan persiapan menghadapi bencana Pada umumnya risiko bencana alam meliputi bencana akibat faktor geologi (gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api), bencana akibat hydrometeorologi (banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan), bencana akibat faktor biologi (wabah penyakit manusia,penyakit tanaman /ternak, hama tanaman) serta kegagalan teknologi (kecelakaan industri, kecelakaan transportasi, radiasi nuklir, pencemaran bahan kimia). Bencana akibat ulah manusia terkait dengan konflik antar manusia akibat perebutan sumberdaya yang terbatas, alasan ideologi,



religius serta politik. Sedangkan kedaruratan kompleks merupakan kombinasi dari situasi bencana pada suatu daerah konflik. Kompleksitas dari permasalahan bencana tersebut memerlukan suatu penataan atau perencanaan yang matang dalam penanggulangannya, sehingga dapat dilaksanakan secara terarah dan terpadu. Penanggulangan yang dilakukan selama ini belum didasarkan pada langkah-langkah yang sistematis dan terencana, sehingga seringkali terjadi tumpang tindih dan bahkan terdapat langkah upaya yang penting tidak tertangani. Guna



menghindarkan



kerancuan



dan



memperoleh



efektifitas



dalam



penanggulangan bencana, kita perlu memiliki wawasan mengenai prinsip penanggulangan bencana. Dalam penanganan bencana selalu muncul adanya permasalahan yang salah satunya dapat disebabkan oleh karena belum optimalnya koordinasi dari instansi yang terkait dalam penanggulangan bencana baik pada tingkat pusat, provinsi, kota atau kabupaten sampai ke tingkat yang lebih rendah (kecamatan, kelurahan, desa). Atau juga dapat disebabkan oleh faktor geografis (faktor alam) pada wilayah atau daerah tersebut, khususnya daerah yang terkena bencana.sayangnya penanggulangan yang dilakukan selama ini belum didasarkan pada langkahlangkah yang sistematis dan terencana, sehingga seringkali terjadi tumpang tindih dan bahkan terdapat langkah upaya yang penting tidak tertangani. Guna menghindarkan kerancuan dan memperoleh efektivitas dalam penanggulangan bencana, kita perlu memiliki wawasan mengenai prinsip penanggulangan bencana. , sehingga penanggulangan bencana dapat dilaksanakan secara terarah dan terpadu. Hal-hal yang perlu diketahui mengenai penanggulangan bencana yaitu : 1.



Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia dan/atau oleh keduanya yang mengakibatkan korban penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana dan prasarana, fasilitas umum, serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.



2. Letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang berada diantara dua benua dan dua samudera terbentang di garis katulistiwa serta terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia merupakan wilayah teritorial yang sangat rawan terhadap bencana seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, dan kekeringan, serta kebakaran hutan/bencana asap. 3. Kondisi alam yang kaya namun disertai beberapa penyimpangan dalam pemanfaatannya, jumlah penduduk yang banyak dengan berbagai latar belakang etnis yang penyebarannya tidak merata, serta adanya ketimpangan sosial-ekonomi lainnya secara potensial dapat memunculkan permasalahan sosial baik yang bersifat horisontal maupun vertikal yang memicu terjadinya eskalasi kerusuhan sosial. 4. Pada hakekatnya bencana baik yang disebabkan oleh alam maupun karena ulah manusia yang mengakibatkan pengungsian adalah merupakan bencana bagi bangsa Indonesia. Selama ini penanggulangannya telah diupayakan melalui berbagai cara dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat melalui koordinasi penanganan sejak di tingkat lokasi bencana di daerah sampai dengan di tingkat nasional. 5. Penanggulangan bencana merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi (penjinakan), kesiapsiagaan pada saat sebelum terjadinya bencana, penyelamatan pada saat terjadinya bencana, serta rehabilitasi dan rekonstruksi pada masa pasca bencana. 6. Selanjutnya yang dimaksud dengan pengungsi dampak dari suatu bencana adalah orang/sekelompok orang yang terusir dan atau atas dasar kemauan sendiri meninggalkan tempat kehidupan semula, karena terancam keselamatan dan keamanannya atau karena adanya rasa ketakutan oleh ancaman dari kelompok/ golongan sosial tertentu sebagai akibat dari konflik atau kekerasan lain yang menyebabkan kekacauan di masyarakat lingkungannya.



7. Penanganan pengungsi diperlukan dalam upaya penyelamatan, perlindungan serta pemberdayaan pengungsi akibat konflik sosial, yang meliputi kegiatan pemberian bantuan darurat, pembinaan, pengembalian, pemindahan/relokasi dan rekonsiliasi.



BAB II ISI A. Definisi Bencana UU No. 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”. Sementara Asian Disaster Preparedness Center (ADPC) mendefinisikan bencana dalam formulasi “The serious disruption of the functioning of society, causing widespread human, material or environmental losses, which exceed the ability of the affected communities to cope using their own resources” (Abarquez & Murshed, 2004). Definisi bencana seperti dipaparkan diatas mengandung tiga aspek dasar, yaitu:  Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard).  Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan, dan fungsi dari masyarakat.  Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka. Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability) masyarakat. Bila terjadi hazard, tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu, sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi peristiwa yang mengancam maka tidak akan terjadi bencana. B. Jenis-Jenis Bencana Bencana terdiri dari berbagai bentuk. UU No. 24 tahun 2007 mengelompokan bencana ke dalam tiga kategori yaitu:







Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.







Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.







Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.



Ethiopian



Disaster



Preparedness



and



Prevention



Commission



(DPPC)



mengelompokkan bencana berdasarkan jenis hazard, yang terdiri dari: •



Natural hazard. Ini adalah hazard karena proses alam yang manusia tidak atau sedikit memiliki kendali. Manusia dapat meminimalisir dampak hazard dengan mengembangkan kebijakan yang sesuai, seperti tata ruang dan wilayah, prasyarat bangunan, dan sebagainya. Natural hazard terdiri dari beragam bentuk seperti dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.1 Natural Hazard







Human made hazard. Ini adalah hazard sebagai akibat aktivitas manusia yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Hazard ini mencakup: o



Technological hazard sebagai akibat kecelakaan industrial, prosedur yang berbahaya, dan kegagalan infrastruktur. Bentuk dari hazard ini adalah polusi air dan udara, paparan radioaktif, ledakan, dan sebagainya.



o



Environmental degradation yang terjadi karena tindakan dan aktivitas manusia sehingga merusak sumber daya lingkungan dan keragaman hayati dan berakibat lebih jauh terganggunya ekosistem.



o



Conflict adalah hazard karena perilaku kelompok manusia pada kelompok yang lain sehingga menimbulkan kekerasan dan kerusakan pada komunitas yang lebih luas.



C. Model Manajemen Bencana Bencana adalah hasil dari munculnya kejadian luar biasa (hazard) pada komunitas yang rentan (vulnerable) sehingga masyarakat tidak dapat mengatasi berbagai implikasi dari kejadian luar biasa tersebut. Manajemen bencana pada dasarnya berupaya untuk menghindarkan masyarakat dari bencana baik dengan mengurangi kemungkinan munculnya hazard maupun mengatasi kerentanan. Terdapat lima model manajemen bencana yaitu: •



Disaster management continuum model. Model ini mungkin merupakan model yang paling popular karena terdiri dari tahap-tahap yang jelas sehingga lebih mudah diimplementasikan. Tahap-tahap manajemen bencana di dalam model ini meliputi emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early warning.







Pre-during-post disaster model. Model manajemen bencana ini membagi tahap kegiatan di sekitar bencana. Terdapat kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana, selama bencana terjadi, dan setelah bencana. Model ini seringkali digabungkan dengan disaster management continuum model.







Contract-expand model. Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada pada manajemen bencana (emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early warning) semestinya tetap dilaksanakan pada daerah yang rawan bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency dan relief) sementara tahap yang lain seperti rehabilitation, reconstruction, dan mitigation kurang ditekankan.







The crunch and release model. Manajemen bencana ini menekankan upaya mengurangi kerentanan untuk mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka bencana akan juga kecil kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.







Disaster risk reduction framework. Model ini menekankan upaya manajemen bencana pada identifikasi risiko bencana baik dalam bentuk kerentanan maupun hazard dan mengembangkan kapasitas untuk mengurangi risiko tersebut.



Pendekatan lain adalah lingkaran manajemen bencana (disaster management cycle) yang terdiri dari dua kegiatan besar. Pertama adalah sebelum terjadinya bencana (pre event) dan kedua adalah setelah terjadinya bencana (post event). Kegiatan setelah terjadinya bencana dapat berupa disaster response/emergency response (tanggap bencana) ataupun disaster recovery. Kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana dapat berupa disaster preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana) dan disaster mitigation (mengurangi dampak bencana). Ada juga yang menyebut istilah disaster reduction, sebagai perpaduan dari disaster mitigation dan disaster preparedness (Makki, 2006). Terkait dengan manajemen penanggulangan bencana, maka UU No. 24 tahun 2007 menyatakan “Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi”.



Rumusan penanggulangan bencana dari UU tersebut mengandung dua pengertian dasar yaitu: •



Penanggulangan bencana sebagai sebuah rangkaian atau siklus.







Penanggulangan bencana dimulai dari penetapan kebijakan pembangunan yang didasari risiko bencana dan diikuti tahap kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.



Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 24 tahun 2007 secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:



D. Kebijakan Manajemen Bencana Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan manajemen bencana mengalami beberapa perubahan kecenderungan seperti dapat dilihat dalam tabel. Beberapa kecenderungan yang perlu diperhatikan adalah: •



Konteks politik yang semakin mendorong kebijakan manajemen bencana menjadi tanggung jawab legal.







Penekanan yang semakin besar pada peningkatan ketahanan masyarakat atau pengurangan kerentanan.







Solusi manajemen bencana ditekankan pada pengorganisasian masyarakat dan proses pembangunan.



Dalam penetapan sebuah kebijakan manajemen bencana, proses yang pada umumnya terjadi terdiri dari beberapa tahap, yaitu penetapan agenda,



pengambilan keputusan, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Di dalam kasus Indonesia, Pemerintah Pusat saat ini berada pada tahap formulasi kebijakan (proses penyusunan beberapa Peraturan Pemerintah sedang berlangsung) dan implementasi kebijakan (BNPB telah dibentuk dan sedang mendorong proses pembentukan BPBD di daerah). Sementara Pemerintah Daerah sedang berada pada tahap penetapan agenda dan pengambilan keputusan. Beberapa daerah yang mengalami bencana besar sudah melangkah lebih jauh pada tahap formulasi kebijakan dan implementasi kebijakan.



Kebijakan manajemen bencana yang ideal selain harus dikembangkan melalui proses yang benar, juga perlu secara jelas menetapkan hal-hal sebagai berikut: •



Pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Daerah.







Alokasi sumberdaya yang tepat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta antara







berbagai fungsi yang terkait.







Perubahan peraturan dan kelembagaan yang jelas dan tegas.







Mekanisme kerja dan pengaturan antara berbagai portofolio lembaga yang terkait dengan bencana.



Sistem kelembagaan penanggulangan bencana yang dikembangkan di Indonesia dan menjadi salah satu fokus studi bersifat kontekstual. Di daerah terdapat beberapa lembaga dan mekanisme yang sebelumnya sudah ada dan berjalan. Kebijakan kelembagaan yang didesain dari Pemerintah Pusat akan berinteraksi dengan lembaga dan mekanisme yang ada serta secara khusus dengan orang-orang yang selama ini terlibat di dalam kegiatan penanggulangan bencana. Melalui UU No. 24 tahun 2007, Pemerintah Indonesia telah memulai proses penyusunan kebijakan menajemen bencana. Beberapa PP yang terkait telah dikeluarkan (PP No. 21, 22, 23 tahun 2008), sementara beberapa PP lain sedang dipersiapkan. E. Pembagian Tanggung Jawab Manajemen Bencana UU No. 24 tahun 2007 telah menetapkan bahwa pemerintah (pusat) memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan pennggulangan bencana. Tanggung jawab tersebut mencakup: 1. pengurangan risiko bencana (PRB) dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; 2. perlindungan masyarakat dari dampak bencana; 3. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum; 4. pemulihan kondisi dari dampak bencana; 5. pengalokasian



anggaran



penanggulangan



bencana



dalam



Anggaran



Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai; 6. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai; dan 7. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana. Sementara tanggung jawab Pemerintah Daerah dirumuskan sebagai berikut: a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum; b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;



c. pengurangan risiko bencana (PRB) dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; dan d. pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai. Pada tataran operasional, UU No. 24 tahun 2007 telah mengamanatkan pembentukan



Badan



Nasional



Penanggulangan



Bencana



(BNPB)



yang



ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 8 tahun 2008. Di dalam Peraturan Presiden tersebut dinyatakan BNPB memiliki tugas sebagai berikut: a. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana b. yang



mencakup



pencegahan



bencana,



penanganan



tanggap



darurat,



rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara; c. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan; d. menyampaikan



informasi



kegiatan



penanggulangan



bencana



kepada



masyarakat; e. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana; f. menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan internasional; g. mempertanggungjawabkan



penggunaan



anggaran



yang



diterima



dari



Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; h. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan i. menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Selain ketiga pihak yang telah disebutkan di atas yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan BNPB, UU No. 24 tahun 2007 juga mengenali peran serta pihak lain, yaitu lembaga usaha dan lembaga internasional. Pasal 28 UU No. 24 tahun 2007 merumuskan peran lembaga usaha dengan “Lembaga usaha



mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik secara tersendiri maupun secara bersama dengan pihak lain.” Lebih jauh lagi diatur



bahwa



lembaga



usaha



yang



terlibat



dalam



penyelenggaraan



penanggulangan bencana perlu “menyesuaikan kegiatan dengan kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana”, “menyampaikan laporan kepada pemerintah dan/atau badan yang diberi tugas…”, “mengindahkan prinsip kemanusiaan”. Peran serta lembaga internasional dan lembaga asing non pemerintah dalam penanggulangan bencana dijamin melalui Pasal 30 ayat (1) UU No. 24 tahun 2007. Tata cara berperan dalam penangulangan bencana telah diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2008. F. Tujuan Penanggulangan Bencana Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan



Bencana



pada



pasal



4



dijelaskan



mengenai



tujuan



penanggulangan bencana, yaitu : 1.



Memberikan pelindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana



2.



Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada



3.



Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh



4.



Menghargai budaya lokal



5.



Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta



6.



Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan



7.



Menciptakan



perdamaian



dalam



kehidupan



bermasyarakat,



berbangsa, dan bernegara. G. Kebijakan Dan Strategi Penanggulangan Bencana Kebijakan dalam penanggulangan bencana mengacu pada kebijakan pemerintah pusat atau BAKORNAS Penanggulangan Bencana, dengan konsep umum penanggulangan bencana dilaksanakan sejak dari pencegahan, kesiap siagaan, tanggap darurat, dan pemulihan. Konsep tersebut harus dilakukan secara berurutan



dan dalam waktu yang cepat dan tepat, dengan langkah-langkah sebagai berikut (Badan Kesbang dan Linmas Prov. Jateng) : a.



Penanganan Lapis Pertama Penanganan oleh bupati atau walikota setempat dalam hal evakuasi penduduk ke tempat yang lebih aman, peningkatan kegiatan dapur umum dan posko penanggulangan bencana, perbaikan saran dan prasaran, pemberian pengobatan massal, pencegahan penyakit yang muncul pasca bencana, dan sebagainya.



b.



Penanganan Lapis Kedua Badan Koordinasi Lingkungan (Bakorlin) yang merupakan ujung tombak Gubernur dalam memberikan langkah awal atau darurat penanganan bencana, antara lain memberikan bantuan awal pada saat kejadian, misalnya berupa bantuan uang yang besarnya sesuai dengan garis kebijakan Gubernur, bantuan bahan sandang dan pangan, memobilisasikan peralatan yang diperlukan termasuk bantuan dari daerah lain, dan penanganan lainnya apabila pemerintah kota atau kabupaten tidak mampu menangani secara internal.



c.



Penanganan Lapis Ketiga Satuan Koordinasi Lapangan (Satkorlak) atau Gubernur yang bertanggung jawab untuk menangani bencana yang tidak dapat ditangani lapis pertama dan kedua. Penanganan bencana lapis ketiga biasanya pada bencana yan memiliki skala dan kategori berat yang memerlukan penangan dan bantuan dari pemerintah provinsi.



d.



Penanganan Lapis Keempat Badan Koordinasi Nasional PB yang bertanggung jawab apabila penanganan bencana membutuhkan biaya, sarana dan prasarana yang ukup besar, dan besifat permanen. Funsi dari Bakornas PB adalah untuk merumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh



Sedangkan menurut Ir. Djoko Kirmanto, Dipl. HE, Direktur Jenderal Perumahan Dan Permukiman, kebijakan dalam penanggulangan bencana, antara lain adalah : 1.



Kebijakan Umum a.



Dalam setiap upaya penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi, perlu adanya persepsi yang sama bagi semua pihak baik jajaran aparat pemerintah maupun segenap unsur masyarakat yang ketentuan langkahnya diatur dalam pedoman umum, petunjuk pelaksanaan dan prosedur tetap yang dikeluarkan oleh instansi yang bersangkutan sesuai dengan bidang tugas unit masing-masing.



b.



Penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinir yang melibatkan seluruh potensi pemerintah dan masyarakat baik sebelum terjadi, saat terjadi maupun setelah terjadi bencana/ pengungsi yang diwujudkan dalam upaya/tindakan preventif, represif dan rehabilitatif.



c.



Penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi merupakan salah satu fungsi pemerintah, oleh karena itu dilakukan oleh pemerintah bersama segenap unsur swasta maupun masyarakat luas dengan memberdayakan sarana dan prasarana yang tersedia serta menempatkan pemerintah sebagai fasilitator dan penanggungjawab utama.



d.



Kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi secara nasional dirumuskan dan ditetapkan oleh Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PBP).



2.



Strategi Umum a. Penanggulangan Bencana 1.



Pada tahap pencegahan, strategi yang ditempuh mengutamakan upaya preventif agar kerusakan dan korban jiwa dapat diminimalkan jika terjadi bencana.



2.



Pada tahap tanggap darurat, dilakukan upaya penyelamatan, tempat penampungan sementara, bantuan pangan dan pelayanan medis bagi korban bencana.



3.



Pada tahap rehabilitasi, dilakukan upaya perbaikan fisik dan non fisik serta pemberdayaan dan mengembalikan harkat hidup terhadap korban bencana secara manusiawi.



4.



Pada tahap rekonstruksi , dilakukan upaya pembangunan kembali sarana/ prasarana serta fasilitas umum yang rusak, agar kehidupan masyarakat dapat dipulihkan kembali.



b.



Penanganan Pengungsi 1.



Pada tahap penyelamatan saat kerusuhan terjadi, dilakukan dengan memberikan



pertolongan,



perlindungan



dan



penampungan



sementara, bantuan pangan, sandang, obat-obatan, air bersih, sanitasi dan pembinaan serta pemberdayaan tanpa membedakan perlakuan. 2.



Pada tahap pemberdayaan dilakukan upaya perbaikan fisik dan non fisik serta pemberdayaan, membina kerukunan dan mengembalikan harkat hidup pengungsi secara manusiawi sebagai warga negara yang memiliki hak hidup di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.



3.



Pada tahap rekonsiliasi dilakukan pembinaan terhadap tokoh masyarakat, pemuka agama dan tokoh adat yang berpengaruh pada masing-masing



pihak



serta



mendamaikan



kembali



dengan



pendekatan sosial budaya, HAM dan hukum. 4.



Pada tahap penempatan, pengungsi diarahkan pada 3 (tiga) alternatif yaitu: diutamakan kembali ke tempat semula, penyisipan pada lokasi/ desa yang terdekat atau ke permukiman baru (resettlement) atau transmigrasi lokal yang aman.



H. Pokok-Pokok Kegiatan Penanggulangan Bencana 1. Kegiatan Operasional a. Penanggulangan Bencana Penanggulangan bencana adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan sejak sebelum, pada saat dan setelah terjadinya bencana yang dimulai dengan pencegahan, mitigasi, kesiap siagaan, tanggap darurat dan pemulihan.



Rangkaian



kegiatan



tersebut



apabila



digambarkan



dalam



siklus



penanggulangan bencana adalah sebagai berikut :



Bencana Kesiap siagaan



Tanggap darurat



Pencegahan dan Mitigasi



Pemulihan



Siklus Penanggulangan Bencana Siklus bencana yang digambarkan di atas, sebaiknya tidak dipahami sebagai suatu pembagian tahapan yang tegas, dimana kegiatan pada tahap tertentu akan berakhir pada saat tahapan berikutnya dimulai. Akan tetapi harus dipahami bahwa setiap waktu semua tahapan dilaksanakan secara bersama-sama dengan porsi kegiatan yang berbeda. Misalnya pada tahap pemulihan, kegiatan utamanya adalah pemulihan tetapi kegiatan pencegahan dan mitigasi juga sudah dimulai untuk mengantisipasi bencana yang akan datang. Kegiatan penanggulangan bencana yang bersifat upaya operasional dan harus dilaksanakan secara koordinatif meliputi: 1. Pencegahan (prevention), adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana dan jika mungkin dengan meniadakan bahaya yang mungkin



terjadi



penyusunan



melalui



prosedur



penyuluhan dan pelatihan.



penyiapan



penanggulangan



peraturan serta



perundang-undangan,



melaksanakan



kegiatan



2. Mitigasi



(mitigation), yakni meminimalkan dampak bencana terhadap



kehidupan manusia, sehingga kerugian jiwa dan material serta kerusakan yang terjadi dapat segera diatasi melalui upaya mitigasi, yang meliputi kesiapsiagaan (preparedness) serta penyiapan kesiapan fisik, kewaspadaan dan kemampuan. Contoh : melalui pembuatan bangunan-bangunan fisik, maupun non fisik-struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan. Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif. Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah: a. Penyusunan peraturan perundang-undangan b. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah. c. Pembuatan pedoman/standar/prosedur d. Pembuatan brosur/leaflet/poster e. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana f. Pengkajian / analisis risiko bencana g. Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan h. Pembentukan satuan tugas bencana i. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat j. Pengarus-utamaan (mainstreaming) PB dalam pembangunan Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain: a.



Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana dsb.



b.



Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana.



c.



Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.



d.



Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang lebih aman.



e.



Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.



f.



Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalurjalur evakuasi jika terjadi bencana.



g.



Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya. Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat non-struktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat struktural (berupa bangunan dan prasarana).



3. Tanggap Darurat, yang dilaksanakan secara terencana, terkoordinir dan terpadu pada kondisi darurat dan segera dengan tujuan untuk menolong, menyelamatkan jiwa/harta benda dan lingkungan serta mengurangi dampak akibat bencana melalui pemberian bantuan moral dan material kepada korban bencana. Contoh : berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain: a.



Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsurpendukungnya.



b. Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap sektor penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum). c.



Penyiapan dukungan / stok logistik.



d. Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna mendukung tugas kebencanaan. e.



Penyiapan peringatan dini (early warning)



f.



Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan)



g.



Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan



h.



Pembuatan standar bantuan dan pelayanan.



4. Pemulihan Upaya pemulihan dilakukan dengan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. a. Rehabilitasi Untuk mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar kehidupan dan



penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi: a. Perbaikan sarana/prasarana yang rusak agar dapat berfungsi kembali sesuai dengan kebutuhan seperti memperbaiki tempat tinggal maupun saran dan prasarana umum. b. Penanggulangan kejiwaan pasca bencana (post traumatic stress) melalui penyuluhan, konseling, terapi kelompok (disekolah) dan perawatan. c. Pemulihan gizi/kesehatan. d. Pemulihan sosial ekonomi sebagai upaya peningkatan ketahanan masyarakat (antara lain: penciptaan lapangan kerja, pemberian modal usaha, dll). b. Rekonstruksi merupakan tahap untuk membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna, serta memerlukan waktu dan perencanaan yang cukup lama, Seperti



perbaikan rumah



korban, perbaikan sekolah yang bersifat permanen. Oleh sebab itu pembangunannya harus dilakukan melalui suatu perencanaan yang didahului oleh pengkajian dari berbagai ahli dan sektor terkait. Kegiatankegiatan yang dilaksanakan: a. Melakukan kajian dan inventarisasi berbagai kerusakan b. Penyusunan rencana pembangunan kembali secara konseptual, agar hasilnya lebih baik dari kondisi semula. c. Melakukan penelitian sebab-sebab kerusakan. d. Menentukan prioritas pelaksanaan pembangunan. e. Melakukan monitoring dan evaluasi. 5. Kesiapsiagaan a. Sosialisasi, kepada msyarakat guna meningkatkan pengetahuan dan kewaspdaan terhadap bahaya bencana. b. Pengkajian Resiko Bencana, meningkatkan kemampuan daerah agar mampu mengidentifikasikan daerah-daerah yang rawanterhadap bencana,



serta mampu membuat peta resiko melalui kerja sama stakeholder dan pakar-pakar. c. Perencanaan Kontinensi, untuk menyiapkan dan memobilisasi sumber daya yang dimiliki yang disusun secara bersama oleh semua pemangku kepentingan. d. Mendorong Sumber Daya, sedekat mungkin dengan daerah yang rawan terhadap bencana. e. Pelatihan, ini diarahkan pada peningkatan pengetahuan kepada masyarakat melalui sekolah dan luar sekolah tentang bencana. Pelatihan diberikan kepada para petugas pelaksana, maupun kepada masyarakat. I. Mekanisme Penanggulangan Bencana 1.



Tahap Pra Bencana a. Memberikan informasi secara dini tentang perubahan cuaca dan iklim sesuai dengan rekomendasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika setempat atau situasi tertentu yang diduga dapat mengakibatkan bencana. b. Menyiapkan masyarakat untuk mengambil langkah-langkah secara umum maupun spesifik. c. Menginventarisir sekaligus menyiapkan bahan-bahan penanggulangan bencana seperti bantuan pangan, obat-obatan, alat berat, dan lain-lain. d. Memberitahukan kepada pemerintah setempat untuk mengambil langkah-langkah secara dini untuk persiapan penanganan bila terjadi bencana.



2.



Tahap Saat Bencana a. Melakukukan evakuasi korban bencana, yang meliputi pencarian, penyelamatan jiwa, dan material. b. Memberikan



bantuan



untuk



korban



bencana



meliputi



tempat



penampungan bagi pengungsi , bahan makanan dan lauk pauk, sandang, dan obat-obatan. c. Melakukan perbaikan sementara atas infrastruktur yang mengalami kerusakan dan yang dapat mengganggu aktivitas penduduk sehari-hari, seperti pembuatan jalan darurat, pembersihan tanah lonsor, pembuatan jamban dan dapur umum, dan sebagainya.



3.



Tahap Pasca Bencana a. melakukan inventarisir kerusakan, kerugian dan mentaksir biaya rehabilitasi atau rekontruksi sesuai dengan tingkat kewenangan, kemampuan daerah dan situasi yang bersifat khusus. b. Melakukan rehabilitasi atau rekontruksi sarana dan prasarana yang bersifat permanen. c. Melakukan relokasi pemukiman penduduk apabila diperlukan.



J. Penanganan Pengungsi Kegiatan penanganan pengungsi meliputi upaya operasional yang bersifat koordinatif dilaksanakan dalam bentuk kegiatan : 1.



Penyelamatan, yakni berupa pemberian pertolongan, perlindungan dan pemberian bantuan tanggap darurat kepada korban kerusuhan/ konflik/ berupa penampungan sementara, bahan makanan pangan/ sandang, pelayanan kesehatan, serta bantuan darurat lainnya.



2.



Pemberdayaan, berupa kegiatan pembinaan kemampuan dan kemandirian para pengungsi agar dapat melaksanakan kegiatan sosial dan ekonomis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.



3.



Penempatan, yakni menempatkan dan mengembalikan pengungsi dari tempat penampungan sementara ke tempat yang tetap berupa pengembalian ke tempat semula, penyisipan pada lokasi pemukiman yang telah ada dan penempatan di lokasi yang baru.



4.



Rekonsiliasi, berupa dukungan upaya untuk menciptakan kedamaian kembali pihak-pihak yang bertikai dengan pendekatan sosial, budaya, Hak Asasi Manusia dan aspek hukum.



DAFTAR PUSTAKA Ir. Djoko Kirmanto. 2001. Pedoman Umum Penanggulangan Bencana Dan Penanganan Pengungsi,Sekretariat Bakornas PBPP. internet. Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB).2002. Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana Di Daerah. http:\\www.bakornaspb.go.id DPR RI. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. http:\\www bapedajabar.go.id.pdf.