Pengkajian Sistem Imunologi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sistem Imunologi Sistem imunologi terdiri dari sel darah khusus (limfosit dan monosit) dan struktur khusus, termasuk diantaranya nodus limfe, spleen, thymus, bone marrow, tonsil, tonsil, adenoid, dan appendiks. Darah merupakan bagian terpenting dari sistem proteksi ini. Meskipun darah dan sistem imun memiliki perbedaan, keduanya pada dasarnya saling berhubungan karena sel – selnya memiliki asalnya yang sama, yaitu sumsum tulang belakang. Selain itu sistem imun menggunakan aliran darah untuk mentransport komponen sistem imun ke tempat invasinya. 2.2 Imunitas Imunitas mengarah pada kemampuan tubuh untuk melawan invasi organisme dan toksin, sekaligus mencegah kerusakan jariingan dan organ. Untuk melaksanakan fungsi ini secara efisien, sistem imun menggunakan 3 strategi dasar, yaitu : 1. Barier fisik dan kimiawi terhadap infeksi 2. Respon peradangan 3. Respon kekebalan Barier fisik, seperti kulit dan membran mukosa mencegah invasi hampir semua organisme ke dalam tubuh. Organisme yang melakukan penetrasi pada barier yang pertama akan mencetuskan respon peradangan dan kekebalan. Kedua respon meliputi sel – sel (semua variasi dari sel primitif dalam sumsum tulang belakang).



3



Gambar 1. Sel pada sistem imunitas Ada dua tipe umum imunitas, yaitu : alami (natural) dan di dapat ( akuisita). Setiap tipe imunitas meaninkan peranann yang berbeda dalam mempertahankan tubuh terhadap para penyerang yang berbahaya, namun berbagai komponen biasanya bekerja dengan cara yang saling tergantung yang satu dengan yang lain. 1. Imunitas Alami Imunitas alami merupakan kekebalan yang non-spesifik yang di temukan pada saat lahir dan memberikan respon non-spesifik terhadap setiap penyerang asing tampa memperhatikan kompossisi penyerang tersebut. Dasar mekanisme pertahanan aalami semata-mata merupakan kemampuan untuk membedakan antara sahabat dan musuh atau antara diri sendiri dan bukan diri sendiri. Mekanisme alami semacam ini mencakup : a. Sawar (barier) fisik Mencakup kulit serta membrane mukosa yang utuh sehingga mikroorganisme pathogen dapat di cegah agar tidak masuk ke dalam tubuh, dan silia pada traktus respiratorius bersama respon batuk serta bersin yang bekerja sebagai filter dan membersihkan saluran napas atas dari



mikroorganisme



pathogen



sebelum



mikroorganisme



tersebut



menginflasi tubuh lebih lajut. b. Sawar (barier) kimia Mencakup getah lambung yang asam, enzim dalam air mata serta air liur (saliva) dan substansi dalam secret kelenjar sbasea serta lakrimalis, 4



bekerja dengan cara non-spesifik untuk menghancurkan bakteri dan jamur yang menginvasi tubuh. Virus dihadapi dengan cara interferon yaitu salah satu tipe pengubah (modifier) respon biologi yang meruakan substansi non-spesifik yang secara alami yang diproduksi oleh tubuh dan dapat mengaktifkan komponen lainya dari sistem imun. c. Sel darah putih (leukosit) Leukosit granular atau granolosit mencakup neutrofil (leukosit polimorfonuklear atau PMN karena nukleusnya terdiri atas beberapa lobus) merupakan sel pertama yang tiba pada tempat terjadinya inflamasi. Eosinofil dan basofil yaitu tipe leukosit .ain yang neningkat jumlahnya pada saart terjadi reaksi alergi dan respon terhadap stress. Granulosit akan memerangi serbuan benda asing atau toksin dengan



melepaskan



prostaglandin,



dan



mediator akan



sel



seperti



menyerang



histamine,



benda



asing



brandikinin, atau



toksin



tersebut. Leukosit non granuler mencakup monosit yang berfungsi sebagai sel fagosit yang dapat menelan, mencerna, dan menghancurkan benda asing atau toksin dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan granulosit dan limfosit yang terdiri atas sel T dan sel B yang memainkan peranan utama dalam imunitas humoral dan imunitas yang diantarai oleh sel. d. Respon inflamasi Merupakan fungsi utama dari sistem imun alami yang dicetuskan sebagai reaksi terhadap cidera jaringan atau mikroorganisme penyerang. Zat-zat mediator komia turut membantu respon inflamasi untuk mengurangi kehilangan darah, mengisolasi mokro organism penyerang, mengaktifkan sel-sel fagosit, dan meningkatkan pembentukan jaringan parut fibrosa serta regenerasi jaringan yang cedera.



2. Imunitas yang Didapat Imunitas yang didapat (acquired imunity) terdiri atas respon imun yang tidak di jumpai pada saat lahir tetapi diperoleh dalam kehidupan seseorang. Imunitas didapat biasanya terjadi setelah seseorng terjangkit penyakit atau mendapatkan imunisasi yang menghasilkan respon imun yang bersifat protektif.



5



Ada dua tipe imunitas yang di dapat, yaitu aktif dan pasif. Pada imunitas didapat yang aktif, pertahanan imunologi akan dibetuk oleh tubuh orang yang dilindungi oleh imunitas tersebut dan umumnya berlangsung selama bertahun-tahun bahkan seumur hidup. Imunitas didapat yang pasif merupakan imunitas temporer yang di transmisikan dari sumber lain yang sudah memiliki kekebalan setelah menderita sakit atau menjalani imunisasi. 2.2.1 Komponen Sistem Imun Limfosit T dan B merupakan satu-satunya komponen sistem imun yang mempunyai kemampuan pengenalan antigen spesifik, yaitu dengan menimbulkan imunitas adaptif. Sel NK adalah limfosit yang berasal dari sel induk hematopoetik. Sel NK diduga mempunyai peran pertahanan hospes terhadap infeksi virus, pada pengawasan tumor, dan pada pengaturan imun. Manusia memiliki dua jenis yaitu Limfosit B (sel B) dan Limfosit T (sel T). Limfosit mengalir di darah dan limfa, khususnya sistem limfatik. Sistem limfatik terdir dari limfa, nodus limfa, timus dan jaringan limfa lainnya. Limfosit sendiri merenspons mikroba atau molekul asing tertentu yang dinamakan antigen. Antigen meliputi molekul yang dimiliki virus, bakteri, fungi, protozoa dan cacing parasit. Antigen ditemukan di permukaan zat asing. Antigen menimbulkan respons kekebalan dengan cara mengaktifkan sel B untuk mensekresi protein yang disebut dengan antibodi. Antigen memiliki bermacam-macam bentuk molekuler yang merangsang sel B untuk mensekresi antibodi yang berinteraksi dengan antigen tersebut. Sel B dan sel T dapat mengenali antigen yang spesifik karena memiliki reseptor antigen yang terletak di membran plasma. Reseptor antigen pada sel B mrupakan antibodi membran sedangkan pada sel T disebut juga reseptor sel T. Reseptor sel T berikatan dengan antibodi membran dan mengenali antigen tersebut. Limfosit yang mengandung reseptor untuk mengenali antigen. Setelah antigen terdeteksi, maka limfosit akan membelah dan berdiferensiasi serta membentuk 2 klon yaitu sel efektor dan sel memori. Pengklon sel ini disebut dengan seleksi klonal. Setiap antigen berikatan dengan reseptor secara selektif dengan mengaktifkan sel limfosit di tubuh kemudian jumlah sel yang terseleksi akan 6



menghasilkan ribuan sel yang bersifat spesifik untuk menghancurkan antigen tersebut. Kejadian ini dinamakan respons kekebalan. Respons kekebalan terbagi menjadi dua, yaitu respons kekebalan primer dan respons kekebalan skunder. Respons kekebalan primer ketika limfosit memerlukan 10-17 hari untuk menyeleksi limfosit dan memberikan respons terhadap antigen. Sel B dan sel T yang terseleksi akan membangkitkan sel efektor yang menghasilkan antibodi, antibodi ini dinamakan sel plasma dan sel efektor T. Sel efektor akan berkembang, respons yang diterima seseorang yaitu sakit. Lalu gejala tersebut hilang ketika antibodi membersihkan antigen tersebut. Jika individu terserang antigen yang sama, maka respons yang akan terjadi lebih cepat sekitar 2-7 hari. Respons ini dinamakan respons kekebalan sekunder. Jika antigen yang diterima lebih banyak, maka antibodi yang akan dihasilkan dalam respons skunder memiliki afinitas yang lebih besar terhadap antigen. Kemampuan sistem kekebalan dalam sekunder disebut juga memori imunologis. Sel memori disiapkan untuk berproliferasi atau memperbanyak diri dan berdiferensiasi ketika sel limfosit akan berkontak dengan antigen yang sama. Limfosit berasal dari sel induk pluripoten di sumsum tulang. Semua limfosit itu sama lalu akan berkembang menjadi sel B dan sel T tergantung lokasi proses pematangannya. Limfosit yang bermigrasi dari sumsum tulang belakang menju Timus akan menjadi sel T, sedangkan limfosit yang tetap berada di sumsum tulang akan menjadi sel B. Limfosit tidak akan bereaksi terhadap antigen tetapi sel T berinteraksi dengan molekul. Molekul ini merpakan glikoprotein yang berikatan



pada



permukaan



sel



yang



dinamakan



MHC



(Major



Hsitocompability Complex). Glikoprotein MHc disebut juga HMA (Human Leukocyte Antigen). MHC terdiri dari MHC kelas I dan MHC kelas II. MHC kelas I ditemukan di semua sel tubuh yang bernukleus. MHC kelas II terletak di makrofaga; sel B; sel T yang dikatifkan dan sel yang menyusun bagian inferior timus. Tugas moleku MHC yaitu mengikatkan antigen. Masing-masing molekul MHC mengikatkan fragmen antigen protein dalam lekukan yang berbentuk ayunan dan mengikatkannya pada sel T. 7



Sel T terdiri dari 2 jenis yaitu sel T sitotoksik dan sel T helper. Sel T sittotoksik memiliki reseptor antigen yang berikatan dengan fragmen antigen yang mengandung MHC kelas I terletak pada sel sel tubuh bernukleus. Sel T helper memiliki reseptor yang berikatan dengan fragmen antigen yang mengandung MHC kelas II . Sel T yang berkembang di dalam timus yang memiliki reseptor afinitasnya menjadi sel T sitotoksik. Sel T yang mempunyai reseptor afinitas terhadap MHC kelas II menjadi sel Helper. Respons kekebalan limfosit B dan T memiliki ciri khas yakni spesifitas, keanekaragaman, memori dan mampu membedakan diri sendiri dan bukan diri sendiri. (Ethel Sloane, 2003) 2.2.2 Respon Imun Spesifik Secara umum, pertahanan host terhadap substansi asing adalah sama. Sebaliknya, mikroorganisme khusus atau molekul dapat mengaktivasi respon imun spesifik dan mengawali keterlibatan sekumpulan sel – sel imun. Respon spesifik ini diklasifikasikan sebagai kekebalan humoral atau cellmediated. Respon ini diproduksi oleh Lymphocytes (sel B dan sel T). 1. Imunitas Humoral Dalam respon ini, invasi antigen menyebabkan sel B membelah dan berdiferensiasi ke sel plasma. Akibatnya setiap sel plasma memproduksi



dan



mensekresi



sejumlah



besar



antigen



spesifik



imunoglobulin (Ig) ke dalam aliran darah. Immunoglobulin terdiri dari 5 tipe – IgA, IgD, IgE, IgG, dan IgM. Setiap tipe melaksanakan fungsi yang khusus dan berbeda : a. IgA, IgG, dan IgM melindungi terhadap invasi bakteri dan virus b. IgD bertindak sebagai reseptor antigen dari sel B c. IgE menyebabkan respon alergi 2. Imunitas Cell-mediated Kekebalan jenis ini melindungi tubuh dari infeksi bakteri, virus, dan jamur. Juga menolak transplantasi sel dan tumor. Respon imun ini diperankan oleh makrofag yang memproses antigen yang kemudian diarahkan ke sel T. Respon imunitas spesifik dipicu oleh suatu zat yang disebut dengan antigen. Antigen dapat berupa bahan infeksiosa, protein atau molekul lain. Antigen yang melaksanakan kontak dengan sel tertentu akan memicu 8



serangkaian



proses



meliputi



proses



destruksi



(pemusnahan



atau



penghancuran), degradasi (penurunan), dan eliminasi (penghapusan atau penghilangan). Rangkaian proses tersebut merupakan respon imunitas spesifik. Sistem imun humoral dan selular akan terangsang apabila limfosit tertentu menangkap antigen (substansi yang mampu merangsang sistem imun, data berupa (protein, karbohidrat, atau lemak). Ada dua jenis limfosit yang berperan dalam sistem imun, yaitu limfosit T dan B. Keduanya berasal dari sel induk di dalam hati fetus atau sumsum tulang belakang. Sel T memiliki beberapa jenis, yaitu sel T penekan (supresor) dan sel T penolong (helper) yang akan menekan atau menambah respon imun dan mengatur pembentukan antibodi. Kedua sel tersebut juga sebagai penghubung antara sistem imun seluler dan humoral. Respons imun adaptif spesifik adalah serangan selektif yang ditunjukan untuk membatasi atau menetralkan benda tertentu. Respons imun spesifik terbagi ke dalam 2 macam yaitu imunitas yang di perantaai oleh antibodi yaitu humoral dan imunitas yang diprantarai oleh sel atau imunitas selular yang melibatkan pembentukan sel limfosit sel T aktif yang secara langsung menyerang sel yang tidak diinginkan. Limfosit secara spesifik mengenal dan secara spesifik mengenal dan secara selektif merespons hampir semua sel asing atau sel kanker. Kekebalan humoral produksi antibodi oleh limfosit B, dan diikuti oleh produksi antibodi yang beredar di dalam plasma darah dan limfa, yang merupakan cairan yang dulu dikenal sebagai humor. Limfosit B berasal dari sel punca yang berasal di sumsum tulang. Antigen merangsang sel B untuk berubah menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Setelah berikatan dengan antigen yang telah diproses dan disajikan oleh sel penyaji antigen, sebagian sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma aktif sementara yag lain menjadi sel perantara yang dorman. Selama diferensiasi menjadi sel plasma sel B membengkak karena retikulum endoplasma kasar bertambah. Karena sel plasma menghasilkan 2000 molekul antibodi perdetik sehingga sel tersebut tidak dapat mempertahankan



sintesis



protein



untuk



kelangsungan



hidup



dan



pertumbuhannya sendiri karena itu sel plasma mati setelah mengalami masa 9



produktif yang singkat yaitu 5 sampai 7 hari. Sel plasma yang berasal dari transformasi limfosit Sel B. Sel plasma menghasilkan antibodi, antibodi disekresikan ke dalam darah atau limfe, bergantung pada lokasi sel plasma, semua antibodi akhirnya memperoleh akses ke darah. Tempat zat ini dinamakan globulin gama dan imunoglobulin. Kekebalan selular sel T berasal dari sel punca yang sama di sumsum tulang, sel T selama masa janin dan anak-anak dini, sebagian dari limfosit imatur sumsum tulang bernigrasi melalui darah ke timus, tempat sel-sel tersebut mengalami pemosesan lebih lanjut menjadi limfosit. Setelah di lepaskan sel T matang menetap dan membentuk koloni limfosit di jaringan limfoid perifer. Peranan timosin karena sebagian besar migrasi dan deferensiasi sel T terjadi pada tahap awal masa perkembangan maka timus secara bertahap mengalami atrofi dan menjadi kurang penting kerena bertambahnya usia. Timosin meningkatkan poliferasi sel T baru di jaringan limfoid perifer dan memperkuat kemampuan imunologik sel T yang ada. Sel T berperan sangat penting terhadap dalam pertahan terhadap virus kanker. Suatu antigen menginduksi respons imun terhadap dirinya sendiri. Sel B dan sel T harus secara spesifik mengenal sel atau bahan lain yang tidak diperlukan untuk di hancurkan atau dinetralkan karena berbeda dari sel normal



tubuh



sendiri. Antigen



memungkinkan



limosit



melakukan



pembelahan tersebut. Dalam respons yang diperantarai sel T, sel T sitotoksik melawan patogen intraseluler. Limfosit T yang diaktifkan oleh antigen membunuh selsel kanker atau sel-sel yang terinfeksi oleh virus atau patogen intraseluler lainnya. Sebuah sel T sitoksik yang diaktifkan oleh kontak spesifik dengan kompleks MHC kelas I dan antigen pada sel yang terinfeksi atau sel tumor dan dirangsang lebih lanjut oleh IL-2 dari sel T helper, berdiferensiasi menjadi sel pembunuh yang aktif sel ini membunuh sel target terutama dengan cara pembebasan perforin, yaitu protein yang membentuk pori atau lubang pada membran sel target, maka sel itu membengkak dan akhirnya lisis. Dalam respons humoral, sel B membuat antibodi yang melawan patogen ekstraseluler kekebalan humoral diawali ketika sel B mengandung 10



reseptor antigenterseleksi oleh anti spesifik. Dirangsang oleh antigen dan sitoksin sel B memperbanyak diri berpoliferasi dan berdiferensiasi menjadi klon sel plasma yang mensekresikan antibodi dan klon sel B memori yang berumur panjang. Antigen yang memicu jenis respons sel B ini dikenal sebagai antigen yang bergantung pada sel T karena dapat merangsang produksi antibodi hanya dengan bantuan dari sel T. Antigen lain seperti polisakarida dan protein dengan banyak polipeptida identik, berfungsi sebagai antigen yang tidak bergantung pada sel T. Antigen lain seperti polisakarida dan protein dengan banyak polipeptida identik, berfungsi sebagai antigen yang tidak bergantung pada sel T. Antigen jenis itu mencakup polisakaria-polisakarida dari banyak kapsul bakteri dari banyak protein-protein yang menyususn flagela bakteri. Subunit berulang antigen ini berkaitan secara stimulan dengan sejumlah antibodi membran pada permukaan sel B. Struktur dan fungsi antibodi. Antigen yang menghasilkan respons kekebalan



humoral



umumnya



merupakan



protein



dan



permukaan



polisakarida sebagai mikroba, jaringan cangkokan yang tidak kompatibel, dan sel-sel darah yang di transfusikan. Reseptor sel B untuk antigen ataupun antibodi yang disekresikan yang sebenarnya berikatan dengan keseluruhan molekul antigen. Antibodi berinteraksi dengan bagian kecil dari antigen yang dapat dimasuki yang disebut epitop atau determinan antigenetik. Sebuah antigen tunggal seperti permukaan bekteri umumnya mempunyai



beberapa



epitop



efektif



yang



masing-masing



mampu



menginduksi produksi antibodi spesifik. Antibodi terdiri dari sekelompok protein serum globuler yang di sebut sebagai imunoglobin (Ig). Molekul antigen mempunyai 2 tempat pengikatan antigen yang identik dan spesifik untuk epitop yang menyebabkan produksi antibodi tersebut. Masing masing molekul terdiri atas empat rantai polipeptida yaitu dua rantai berat yang identik dan dua rantai ringan yang identik, yang dihubungkan oleh jembatan disulfida untuk membentuk suatu molekul berbentuk Y. Pada kedua ujung molekul berbentuk Y terdapat daerah variabel rantai berat dan rantai ringan. Urutan



11



asam amino pada bagian ini sangat bervariasi dari suatu antibodi ke antibodi lain. Pembuangan antigen yang diperantarai antibodi. Pengikatan antibodi dengan antigen untuk memberi kompleks antigen antibodi merupakan dasar dari beberaapa mekanisme pembuangan antigen. Yang paling sederhana adalah netralisasi, dimana antibodi berikatan berikatan dan menghambat aktivitas antigen tersebut, dalam suatu proses yang disebut oposinasi antibodi yang terikat itu meningkatkan oeraturan ke makrofaga ke miroorganisme sehingga meningkatkan fagositosis. Aglutinasi bakteri atau virus yang diperantarai antibodi secara efektif menetralkan dan mengopsoni mikroba tersebut. Aglutinasi terjadi karena masing masing molekul antibodi mempunyai dua tempat pengikatan antigen. (James, 2002) 2.3 Pengkajian Sistem Imunologi Penilaian fungsi imun dimulai dari hasil anamnesis riwayat kesehatan pasien dan pemeriksaan fisik. Riwayat kesehatan pasien harus mengandung informasi yang rinci mengenai faktor-faktor di masa lalu serta sekarang dan berbagai kejadian yang menunjukkan status sistem imun di samping faktor-faktor dan kejadian yang dapat memepengaruhi fungsi sistem imun. Faktor-faktor dan kejadian ini mencakup infeksi, kelainan alergi, kelainan autoimun, penyakit neoplasma, keadaan sakit yang kronis, riwayat pembedahan, imunisasi, penggunaan obat-obatan, transfusi darah, faktor-faktor lain yang mempengaruhi fungsi imun, dan hasil pemeriksaan laboratorium serta tes diagnostik lainnya. Pengkajian fisik pasien mencakup palpasi nodus limfatikus dan



pemeriksaan



kulit,



membran



mukosa



dan



sistem



respiratorius,



gastrointestinal, urogenital, kardiovaskuler serta neurosensorik (Brunner and Suddart, 2002 : p1701). Berikut beberapa hal yang sangat penting dikaji dalam pengkajian sistem imun menurut Brunner and Suddart (2002) : 1. Riwayat kesehatan a. Infeksi dan imunisasi Kepada pasien ditanya tentang status imunisasi dan penyakit yang lazim diderita dalam masa kanak-kanak. Riwayat kontak dengan penyakit tuberkulosis yang diketahui pada masa lalu dan sekarang harus diperiksa, sementara tanggal serta hasil-hasil tes tuberkulin dan hasil pemeriksaan sinar-x thoraks harus didapat. Kontak yang dialami pasien akhir-akhir ini 12



dengan infeksi apa pun dan tanggal terjadinya kontak tersebut harus ditanyakan. Riwayat infeksi di masa lalu dan sekarang di samping tanggal dan tipe terapi yang pernah dijalani pasien harus diperoleh bersama-sama dengan riwayat infeksi persisten yang multipel, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lesi atau luka-luka atau pun tindakan drainase bentuk apa pun. b. Alergi Kepada psien ditanya tentang riwayat alergi, termasuk tipe alergen (serbuk, debu, tanaman, kosmetika, makanan, obat-obatan, vaksin), gejala yang dialaminya dan variasi cuaca yang berkaitan dengan terjadinya atau beratnya gejala. Riwayat pemeriksaan dan pengobatan yang pernah atau sedang dijalani oleh pasien untuk mengatasi kelainan alergi dan efektivitas pengobatan tersebut harus ditanyakan. Semua riwayat alergi terhadap obat dan makanan harus dicantumkan pada stiker “waspadalah alergi” serta ditempatkandi depan catatan kesehatan atau kartu berobat pasien untuk mengingatkan kepada orang lain mengenai kemungkinan alergi tersebut. Penilaian yang berkelanjutan terhadap reaksi alergi yang berpotensi terjadi pada pasien ini merupakan pemeriksaan sangat penting. c. Kelainan autoimun Kepada pasien ditanya tentang setiap kelainan autoimun seperti lupus eritematosus, artritis reumatoid atau psoriasis. Awitan, keparahan, remisi, eksaserbasi, keterbatasan fungsional, terapi yang pernah atau sedang dijalani oleh pasien, dan efektivitas terapi tersebut harus ditanyakan secara rinci. d. Penyakit neoplasma Riwayat penyakit kanker dalam keluarga harus ditanyakan. Jika terdapat riwayat kanker dalam keluarga, kita harus memperhatikan tipe kanker tersebut, usia pasien pada saat awitannya dan hubungan pasien (maternal atau paternal) dengan anggota keluarga yang menderita kanker. Riwayat kanker pada pasien sendiri juga harus diketahui bersama-sama dengan tipe dan tanggal penegakan diagnosisnya. Semua terapi yang pernah atau sedang dijalani oleh pasien dicatat; bentuk-bentuk terapi seperti radiasi dan kemoterapi akan mensupresi 13



fungsi imun dan menempatkan pasien dalam risiko infeksi. Tanggal dilakukannya pemeriksaan skrining kanker dan hasil pemeriksaan tersebut juga harus ditanyakan. e. Sakit kronik dan pembedahan Pengkajian kesehatan mencakup riwayat sakit kronik seperti diabetes melitus, penyakit renal atau penyakit paru obstruktif menahun. Riwayat awitan dan beratnya sakit di samping terapi yang pernah dijalani oleh pasien harus ditanyakan. Selain itu, riwayat operasi pengangkatan lien, nodus limfatikus atau kelenjar timus atau pun riwayat transplantasi organ harus dicatat mengingat semua kondisi ini dapat menempatkan pasien dalam risiko untuk mengalami gangguan fungsi imun. f. Obat-obatan dan transfusi darah Riwayat penggunaan obat pada masa lalu dan sekarang harus ditanyakan. Dalam dosis yang tinggi, antibiotik kortikosteroid, preparat sitotoksik, salisilat dan NSAID di samping obat-obat anestesi dapat menimbulkan supresi kekebalan. Riwayat transfusi darah yang dilakukan satu kali atau lebih harus ditanyakan mengingat kontak dengan antigen asing melalui transfusi dapat disertai dengan fungsi imun yang abnormal. Di samping itu, walaupun risiko terkena virus HIV sangat rendah bagi pasien-pasien yang melaporkan pernah mendapat transfusi darah sesudah tahun 1985 ketika pemeriksaan darah untuk HIV mulai dilaksanakan di Amerika Serikat, namun risiko tetap ada. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem imun Hal lain yang perlu dikaji adalah riwayat yang rinci mengenai kebiasaan merokok, meminum minuman keras, asupan diet, tingkat stres yang diderita pasien dan pemajanan di tempat kerja atau pun rumah terdapap radiasi atau polutan harus ditanyakan. Status nutrisi yang buruk, kebiasaan merokok, keadaan stres, konsumsi alkohol yang berlebihan dan pemajanan terhadap radiasi serta polutan akan disertai gangguan fungsi imun dan harus dinilai dalam anamnesis riwayat kesehatan pasien. 3. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan jasmani, kondisi kulit dan membran mukosa pasien harus dinilai untuk menemukan lesi, dermatitis, purpura 14



(perdarahan subkutan), urtikaria, inflamasi atau pun pengeluaran sekret. Selain itu, tanda-tanda infeksi perlu diperhatikan. Suhu tubuh pasien dicatat dan observasi dilakukan untuk mengamati gejala menggigil serta perspirasi. Kelenjar limfe servikal anterior serta posterior, aksilaris dan inguinalis harus dipalpasi untuk menemukan pembesaran; jika kelenjar limfe atau nodus limfatikus teraba, maka lokasi, ukuran, konsistensi dan keluhan nyeri tekan saat palpasi harus dicatat. Pemeriksaan sendi-sendi dilakukan untuk menilai nyeri tekan serta pembengkakan dan keterbatasan kisaran gerak. Status respiratorius pasien dievaluasi dengan mamantau frekuensi pernapasan dan menilai adanya gejala batuk (kering dan produktif) serta setiap suara paru yang abnormal (mengi, krepitasi, ronkhi). Pasien juga dikaji untuk menemukan rinitis, hiperventilasi dan bronkospasme. Status kardiovaskuler dievaluasi dengan memeriksa kemungkinan hipotensi,



takikardia,



gastrointestinal



pasien



aritmia, dinilai



vaskulitis, dengan



dan



anemia.



mengecek



Status



kemungkinan



hepatosplenomegali, kolitis dan vomitus serta diare. Status urogenital dinilai dengan mengamati tanda-tanda infeksi saluran kemih (sering kencing atau rasa terbakar saat buang air kecil, hematuria dan pengeluaran sekret dari uretra). Pemeriksaan pasien juga dilakukan untuk menilai perubahan pada status neurosensorik (gangguan fungsi kognitif, gangguan pendengaran, perubahan visual, sakit kepala serta migrain, ataksia, dan tetani). Status nutrisi pasien, tingkat stres dan kemampuan untuk mengatasi masalah juga harus dinilai bersama untuk mengatasi masalah juga harus dinilai bersama dengan usianya dan setiap keterbatasan fungsional (keadaan mudah lelah serta ketahanan tubuh). (Brunner and Suddart, 2002) Efek dari gangguan sistem imun biasanya sulit untuk diidentifikasi dan dapat berdampak pada semua sistem tubuh. Berikan perhatian khusus pada kulit, rambut, kuku, dan membran mukosa. Berikut lanjutan pengkajian dengan teknik inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada pengkajian sistem imun a. Inspeksi 15



1) Observasi terhadap pallor, cyanosis, dan jaundice. Juga cek adanya erithema yang mengindikasi inflamasi lokal dan plethora. 2) Evaluasi integritas kulit. Catat tanda dan gejala inflamasi atau infeksi, seperti kemerahan, pembengkakan, panas, tenderness, penyembuhan



luka



yang



lama,



drainage



luka,



induration



(pengerasan jaringan) dan lesi. 3) Cek adanya rash dan catat distribusinya 4) Observasi tekstur dan distribusi rambut, catat adanya alopecia. 5) Inspeksi kuku terhadap warna, tekstur, longitudinal striations, onycholysis, dan clubbing. 6) Inspeksi membran mukosa oral terhadap plak, lesi, oedem gusi, kemerahan, dan perdarahan 7) Inspeksi area dimana pasien melaporkan pembengkakan kelenjar atau ‘lump’ terutama abnormalitas warna dan pembesaran nodus lymp yang visible 8) Observasi respiratory rate, ritme, dan energi yang dikeluarkan saat melakukan upaya bernafas. Catat posisi pasien saat bernafas. 9) Kaji sirkulasi perifer. Inspeksi adanya Raynaud’s phenomenon (vasospasme arteriol pada jari tangan & kaki –terkadang teling dan hidung- secara intermitten) 10) Inpeksi inflamasi pada anus atau kerusakan permukaan mukosa b. Palpasi 1) Palpasi nadi perifer, dimana seharusnya simetris dan reguler 2) Palpasi abdomen, identifikasi adanya pembesaran organ dan tenderness 3) Palpasi joint, cek pembengkakan, tenderness, dan nyeri 4) Palpasi nodus lymph superfisial di area kepala, leher, axilla, epitrochlear, inguinal dan popliteal. Jika saat palpasi reveals pembesaran nodus atau kelainan lain, catat lokasi, ukuran, bentuk, permukaan,



konsistensi,



kesimetrisan,



mobilitas,



warna,



tenderness, suhu, pulsasi, dan vaskularisasi dari nodus. c. Perkusi Perkusi anterior, lateral, dan posterior dari thorax. Bandingkan satu sisi dengan sisi lainnya. Bunyi dull mengindikasikan adanya konsolidasi yang biasa terjadi pada pneumonia. Hiperesonan



16



(meningkatnya bunyi perkusi) dapat dihasilkan oleh udara yang terjebak seperti pada asthma bronchial. d. Auskultasi 1) Auskultasi diatas paru untuk mengecek suara tambahan yang abnormal. Wheezing bisa ditimbulkan oleh asthma atau respon alergi. Crackles disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan seperti pneumonia. 2) Auskultasi bunyi jantung diatas precordium. Auskultasi normal reveals hanya bunyi jantung 1 dan 2. 3) Auskultasi abdomen untuk bunyi bowel. Gangguan autoimmun yang menyebabkan diare, bunyi bowel meningkat. Scleroderma (pengerasan dan penebalan kuit dengan degenerasi jaringan konektif) dan gangguan autoimmun lainnya yang menyebabkan konstipasi, bunyi bowel menurun 2. Pemeriksaan diagnostik Pemeriksaan Aglutinin, pemeriksaan AIDs Serologi, ACA, Aldolase, AMA, ANA, Complement Assay, CRP, Cyroglobulin, EBV, ESR, HLA, HTLV,



Gamma



Globulin



Electrophoresis,



Lymphocyte



Immunophenotyping, Monocleosis Spot Test dan Rhemathoid Factor.



17