Peranan - Intelegensi - Dalam - Belajar [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS KETIGA PSIKOLOGI PENDIDIKAN “PERANAN INTELEGENSI DALAM BELAJAR”



DOSEN PEMBIMBING : Dr. Marjohan, M.Pd., Kons



NAMA



: MUTIARA SUKMA



NIM / BP : 17035029 / 2017 PRODI



: PENDIDIKAN KIMIA



JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGRI PADANG 2017



PERANAN INTELEGENSI DALAM BELAJAR A. Konsep Intelegensi/ Kecerdasan 1. Pengertian Intelegensi Secara Etimologis Intelegensi berasal dari bahasa Inggris “Intelligence” yang juga berasal dari bahasa Latin yaitu “Intellectus dan Intelligentia atau Intellegere”. Teori tentang intelegensi pertama kali dikemukakan oleh Spearman dan Wynn Jones Pol pada tahun 1951. Spearman dan Wynn mengemukakan adanya konsep lama mengenai suatu kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia tunggal pengetahuan sejati. Kekuatan tersebut dalam bahasa Yunani disebut dengan “Nous”, sedangkan penggunaan kekuatannya disebut “Noeseis”. Intelegensi berasal dari kata Latin, yang berarti memahami. Jadi intelegensi adalah aktivitas atau perilaku yang merupakan perwujudan dari daya atau potensi untuk memahami sesuatu. 2. Definisi Intelegensi Menurut Para Ahli a. Alfred Binet (1857-1911) & Theodore Simon Inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau tindakan, kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan itu telah dilaksanakan, dan kemampuan untuk mengritik diri sendiri (autocriticism). b. Lewis Madison Terman (1916) Mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan seseorang untuk berpikir secara abstrak. c. H. H. Goddard (1946) Mendefinisikan intelegensi sebagai tingkat kemampuan pengalaman seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang. d. V.A.C. Henmon Mengatakan bahwa intelegensi terdiri atas dua faktor, yaitu kemampuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengetahuan yang telah diperoleh. e. Baldwin(1901) Mendefinisikan intelegensi sebagai daya atau kemampuan untuk memahami.



f. Edward Lee Thorndike (1913) Mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan dalam memberikan respon yang baik dari pandangan kebenaran atau fakta. g. Walters dan Gardber (1986) Mendefinisikan intelegensi sebagai suatu kemampuan atau serangkaian kemampuan-kemampuan yang memungkinkan individu memecahkan masalah, atau produk sebagai konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu. B. Klasifikasi IQ Dalam proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan peran Intelectual Question (IQ), namun persoalannya justru karena seringkali IQ hanya digunakan sebagai peran tunggal dalam sekolah. IQ hanya digunakan dalam proses penyeleksian masuk siswa baru atau sebagai bantuan untuk satu program tertentu yang seringkali tidak bersentuhan dengan kebijakan-kebijakan sekolah lainnya. Disinilah porsi IQ yang kurang berfungsi dalam memberikan kontribusi pendidikan. Peran IQ yang semestinya dalam proses pendidikan adalah: 1. Membantu penyeleksian siswa yang diharapkan oleh suatu lembaga pendidikan. 2. Membantu pengklasifikasian siswa agar memudahkan guru mengontrol keragaman siswa dalam satu kelas, dan tujuannya dapat mengatur kompetisi belajar, tutoring peer education dsb. 3. Membantu guru memberikan porsi tugas tambahan sesuai tingkat kesulitan yang berbeda antara IQ rata-rata dan tinggi. 4. Membantu guru dalam menentukan metode belajar yang tepat bagi siswa. 5. Membantu guru memahami setiap perilaku siswa dan memberikan intervensi yang tepat sesuai potensi yang sebenarnya ada pada diri mereka. Misal anak slowlearner (lamban belajar) sehingga ia sering tertinggal pelajaran, tidak naik kelas dan terkadang berkompensasi yang salah dengan melakukan perilaku nakal di kelas yang mereka anggap kelebihan mereka, bagi seorang guru yang tahu peran IQ maka yang akan dilakukannya adalah terus melibatkan siswa ini dalam kegiatan belajarnya dan tidak membuatnya semakin terjauhkan dari teman-teman sejajarnya.



6. Membantu sekolah membuat kebijakan terkait kegiatan-kegiatan ekstra apa yang sesuai dengan siswa-siswanya. 7. Membantu guru untk memberi pemahaman pada siswa gaya belajar mana yang sesuai dengan diri mereka. Hal-hal inilah yang seharusnya dilakukan sesuai Intelectual Question (IQ) yang dimiliki siswa, sehingga segala upaya sekolah yang dilakukan justru semakin mendekatkan siswa untuk mengenal diri mereka sendiri bukan sebaliknya menjauhkan siswa untuk tidak mengenal diri mereka. Salah satu konsep intelligensi yang dipaparkan oleh para ahli menyatakan bahwa keberhasilan siswa dalam belajar dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersumber dari dalam diri siswa (intern) maupun dari luar diri siswa (ekstern), yang tertera pada table berikut : Fisik Internal Eksternal



Psikologis Fisik Sosial



Panca indera, kondisi fisik umum Var. Non kognitif : minat, motivasi, kepribadian Kemampuan kognitif : bakat, IQ Kondisi tempat belajar, fasilitas, lingkungan Dukungan Sosial, budaya



Melalui konsep ini juga dapat dilihat bahwa IQ hanya merupakan salah satu faktor untuk mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar sehingga bukan berarti segala-galanya dalam menentukan keberhasilan siswa tapi harus ditempatkan secara proporsional guna menunjang proses belajar yang optimal bagi siswa. Wechsler salah seorang ahli yang memperkenalkan klasifikasi inteligensi (IQ) manusia dalam rentangan skala yang dimulai dari 0 (nol) sampai dengan 200, di mana bilangan 100 merupakan titik tengah dinyatakan untuk kelompok average (rata-rata). Menurutnya kalau semua orang di dunia diukur inteIigensinya, maka akan terdapat orang-orang yang sangat pandai sama banyaknya dengan orang-orang yang sangat bodoh. Bila test inteligensi yang telah dibakukan dipakai, maka ternyata separuh dari jumlah anggota masyarakat (populasi) termasuk antara IQ 90 - 100. Sekitar 2/3 dari kelompok dengan IQ antara 85 dan 115. Diperkirakan ada sekitar 95 % mempunyai IQ antara 130 dan 70.



Perhatikan tabel berikut ini:



Diatas 140



Genius



130 – 140



Sangat Superior (Gifted)



120 – 130



Superior (Rapid Learniing)



110 – 120



Cerdas ( diatas rata-rata)



90 – 110



Normal (Average)



80 – 90



Dull Normal (kurang Cerdas)



70 – 80



Borderline (Slow Learning)



50 – 70



Debil (Educable)



25 – 50



Imbisil (Trainable)



Di bawah 25



Idiot (Dependent)



Berdasarkan klasifikasi inteligensi di atas tadi kita dapat mengetahui inteligensi (IQ) seseorang dengan melalui tes, yang disebut dengan tes inteligensi. Tes inteligensi ini banyak jenisnya yang dikembangkan oleh para ahli psikologi. Di antaranya, Wechsler mengembangkan tes inteligensi individual seperti: 1. Wechsler Bellevue Intelligence Scale (WIBS) 2. Wechsler Intelligence Scale For Children (WISC) 3. Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS) 4. Wechsler Preschool And Primary Scale Of Intelligence (WPPSI) Rumus kecerdasan umum, atau IQ yang ditetapkan oleh para ilmuwan adalah: Usia Mental Anak x 100 = IQ Usia Sesungguhnya Contoh: Misalnya anak pada usia 3 tahun telah punya kecerdasan anak-anak yang rata-rata baru bisa berbicara seperti itu pada usia 4 tahun. Inilah yang disebut dengan Usia Mental. Berarti IQ si anak adalah 4/3 x 100 = 133.



C. Konsep Multiple Intelligences (Kemajemukan Intelegensi)



Howard Gardner adalah seorang Guru Besar yang menggagas tentang teori Multiple



Intelligence



(Kecerdasan



Majemuk).



Teori



tersebut



mencoba



memperbaiki pandangan umum di dunia psikologi dan dunia pendidikan yang mengatakan bahwa semua anak adalah sama, sehingga semua anak harus dididik dengan cara yang sama, mata pelajaran yang sama dan harus memiliki cita-cita yang sama. Semua serba seragam itulah nuansa pembelajaran Mono Intelligence. Sebaliknya Howard Gardner melihat bahwa setiap anak adalah unik, karena uniknya itulah maka setiap anak (setiap orang) itu berbeda, karena berbeda itulah maka sebaiknya pendidikan dan pelatihan yang (efektif) diberikan pun harus berbeda-beda pula. Dengan demikian bidang keahlian dan bidang ketrampilannya pun berbeda-beda dan itu adalah fakta. Howard Gardner berpendapat bahwa setiap anak adalah cerdas pada bidangnya masing-masing, dan tidak ada anak yang cerdas pada semua bidang. Inteligensi, menurut Gardner, merupakan kemampuan untuk memecahkan masalah dalam situasi budaya atau komunitas tertentu, yang terdiri dari tujuh macam inteligensi. Meskipun demikian, Gardner menyatakan bahwa jumlah tersebut bisa lebih atau kurang, tapi jelas bukan hanya satu kapasitas metal. Pertanyaan tentang kenapa individu memilih berada dalan peran-peran yang berbeda (ahli fisika,petani, penari), memerlukan kerja berbagai kecerdasan sebagai suatu kombinasi, dalam penjelasannya. Kecerdasan menurutnya, merupakan kemampuan untuk menangkap situasi baru serta kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu seseorang. Kecerdasan bergantung pada konteks, tugas serta tuntutan yang diajukan oleh kehidupan kita, dan bukan tergantung pada nilai IQ, gelar perguruan tinggi atau reputasi bergengsi. Teori Gardner berdasar pada sintesa berbagai macam bukti dari sumber-sumber yang berbeda: 1. Studi terhadap orang normal yang mengalami kerusakan otak karena trauma atau stroke, yang mendukung pendapat tentang inteligensi terpisah yang mengatur pemikiran spasial dan bahasa. 2. Dukungan profil intelektual dari populasi-populasi khusus, seperti prodigies dan idiot savants, yang mengindikasikan bahwa inteligensi merupakan kemampuan-kemampuan yang terpisah. 3. Bukti dari mekanisme pemprosesan informasi. 4. Dukungan dari psikologi eksperimental dan psikologi kognitif. 5. Penemuan-penemuan psikometris.



6. Arah perkembangan karakteristik dari manifestasi umum dan mendasar, menuju kondisi akhir berupa keahlian yang memungkinkan. 7. Penemuan dalam bidang biologi evolusioner. 8. Dukungan dari konsep-konsep yang ada pada sistem simbol. Gardner menekankan dalam jenis inteligensinya bahwa inteligensi hanya merupakan konstrak ilmiah yang secara potensial berguna. Multiple intelligences menurut Gardner, meliputi: 1. Kecerdasan matematika-logika Kecerdasan matematika-logika menunjukkan kemampuan seseorang dalam berpikir secara induktif dan deduktif, berpikir menurut aturan logika, memahami dan menganalisis pola angka-angka, serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir. Peserta didik dengan kecerdasan matematika-logika tinggi cenderung menyenangi kegiatan menganalisis dan mempelajari sebab akibat terjadinya sesuatu. Ia menyenangi berpikir secara konseptual, misalnya menyusun hipotesis dan mengadakan kategorisasi dan klasifikasi terhadap apa yang dihadapinya. Peserta didik semacam ini cenderung menyukai aktivitas berhitung dan memiliki kecepatan tinggi dalam menyelesaikan problem matematika. Apabila kurang memahami, mereka akan cenderung berusaha untuk bertanya dan mencari jawaban atas hal yang kurang dipahaminya tersebut. Peserta didik ini juga sangat menyukai berbagai permainan yang banyak melibatkan kegiatan berpikir aktif, seperti catur dan bermain teka-teki. 2. Kecerdasan bahasa Kecerdasan bahasa menunjukkan kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-kata, baik secara tertulis maupun lisan, dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya. Peserta didik dengan kecerdasan bahasa yang tinggi umumnya ditandai dengan kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan suatu bahasa seperti membaca, menulis karangan, membuat puisi, menyusun kata-kata mutiara, dan sebagainya. Peserta didik seperti ini juga cenderung memiliki daya ingat yang kuat, misalnya terhadap nama-nama orang, istilah-istilah baru, maupun hal-hal yang sifatnya detail. Mereka cenderung lebih mudah belajar dengan cara mendengarkan



dan verbalisasi. Dalam hal penguasaan suatu bahasa baru, peserta didik ini umumnya memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik lainnya. 3. Kecerdasan musikal Kecerdasan musikal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap suara-suara nonverbal yang berada di sekelilingnya, termasuk dalam hal ini adalah nada dan irama. Peserta didik jenis ini cenderung senang sekali mendengarkan nada dan irama yang indah, entah melalui senandung yang dilagukannya sendiri, mendengarkan tape recorder, radio, pertunjukan orkestra, atau alat musik dimainkannya sendiri. Mereka juga lebih mudah mengingat sesuatu dan mengekspresikan gagasan-gagasan apabila dikaitkan dengan musik. 4. Kecerdasan visual-spasial Kecerdasan visual-spasial menunjukkan kemampuan



seseorang untuk



memahami secara lebih mendalam hubungan antara objek dan ruang. Peserta didik ini memiliki kemampuan, misalnya, untuk menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya atau kemampuan untuk menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi seperti dijumpai pada orang dewasa yang menjadi pemahat patung atau arsitek suatu bangunan. Kemampuan membayangkan suatu bentuk nyata dan kemudian memecahkan berbagai masalah sehubungan dengan kemampuan ini adalah hal yang menonjol pada jenis kecerdasan visual-spasial ini. Peserta didik demikian akan unggul, misalnya dalam permainan mencari jejak pada suatu kegiatan di kepramukaan. 5. Kecerdasan kinestetik Kecerdasan kinestetik menunjukkan kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah. Hal ini dapat dijumpai pada peserta didik yang unggul pada salah satu cabang olahraga, seperti bulu tangkis, sepakbola, tenis, renang, dan sebagainya, atau bisa pula dijumpai pada peserta didik yang pandai menari, terampil bermain akrobat, atau unggul dalam bermain sulap. 6. Kecerdasan interpersonal



Kecerdasan interpersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain. Mereka cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya. Kecerdasan semacam ini juga sering disebut sebagai kecerdasan sosial, yang selain kemampuan menjalin persahabatan yang akrab dengan teman, juga mencakup kemampuan seperti memimpin, mengorganisir, menangani perselisihan antar teman, memperoleh simpati dari peserta didik yang lain, dan sebagainya. 7. Kecerdasan intrapersonal Kecerdasan intrapersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan dirinya sendiri. Ia cenderung mampu untuk mengenali berbagai kekuatan maupun kelemahan yang ada pada dirinya sendiri. Peserta didik semacam ini



senang



melakukan



instropeksi



diri,



mengoreksi



kekurangan



maupun



kelemahannya, kemudian mencoba untuk memperbaiki diri. Beberapa diantaranya cenderung menyukai kesunyian dan kesendirian, merenung, dan berdialog dengan dirinya sendiri. 8. Kecerdasan naturalis Kecerdasan naturalis menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap lingkungan alam, misalnya senang berada di lingkungan alam yang terbuka seperti pantai, gunung, cagar alam, atau hutan. Peserta didik dengan kecerdasan seperti ini cenderung suka mengobservasi lingkungan alam seperti aneka macam bebatuan, jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna, benda-benda angkasa, dan sebagainya. Melalui konsepnya mengenai multiple intelligences atau kecerdasan ganda ini Gardner mengoreksi keterbatasan cara berpikir yang konvensional mengenai kecerdasan dari tunggal menjadi jamak. Kecerdasan tidak terbatas pada kecerdasan intelektual yang diukur dengan menggunakan beberapa tes inteligensi yang sempit saja, atau sekadar melihat prestasi yang ditampilkan seorang peserta didik melalui ulangan maupun ujian di sekolah belaka, tetapi  kecerdasan juga menggambarkan kemampuan peserta didik pada bidang seni, spasial, olah-raga, berkomunikasi, dan cinta akan lingkungan.



D. Usaha Guru Membantu Siswa Dalam Belajar Sesuai Dalam Belajar Sesuai Dengan Potensinya Guru berusaha membimbing siswa agar dapat menemukan berbagai potensi yang dimilikinya, membimbing siswa agar dapat mencapai dan melaksanakan tugastugas perkembangan mereka, sehingga dengan ketercapaian itu siswa akan tumbuh dan berkembang menjadi seseorang sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Siswa adalah individu yang unik. Artinya, tidak ada dua individu yang sama. Walaupun secara fisik mungkin individu memiliki kemiripan, akan tetapi pada hakikatnya mereka tidaklah sama, baik dalam bakat, minat, kemampuan dan sebagainya. Di samping itu setiap individu juga adalah makhluk yang sedang berkembang. Irama perkembangan mereka tentu tidaklah sama juga. Perbedaan itulah yang menuntut guru harus berperan sebagai pembimbing.Seorang guru tidak dapat memaksa agar siswanya menjadi ”itu” atau menjadi ”ini”. Tugas guru adalah menjaga, mengarahkan dan membimbing agar siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya.



KEPUSTAKAAN Dalyono. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Soemanto, Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta Uno, Hamzah. 2008. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. http://belajarpsikologi.com/multiple-intelligences-atau-kecerdasan-ganda/ http://esqsmartplus.com/konsep-multiple-intelligence/



http://jimmyandrio.blogspot.co.id/2013/09/makalah-psikologi-pendidikan.html