PICA [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA



LAPORAN KASUS



FAKULTAS KEDOKTERAN



APRIL 2019



UNIVERSITAS HASANUDDIN



REFERAT: PICA (F04)



DISUSUN OLEH: Irma Yulianti C014 18 2227



RESIDEN PEMBIMBING: dr. Sri Purwatiningsih



SUPERVISOR PEMBIMBING: dr. Agus Japari, M.Kes. Sp.KJ



DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2019



ii



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL ............................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. ii DAFTAR ISI ............................................................................................ iii BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................... 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3 2.1



Definisi............................................................................................. 3



2.2



Epidemiologi .................................................................................... 4



2.3



Etiologi............................................................................................. 4



2.4



Temuan Klinis ................................................................................. 7



2.5



Diagnosis ......................................................................................... 8



2.6



Diagnosis Banding ........................................................................... 9



2.7



Penatalaksanaan ............................................................................... 9



2.8



Prognosis .......................................................................................... 12



BAB 3 KESIMPULAN ........................................................................... 13 BAB 4 DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 14



iii



BAB I PENDAHULUAN



Pica adalah gangguan makan yang didefinisikan sebagai konsumsi zat-zat yang tidak bergizi secara terus menerus selama kurang lebih satu bulan. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi kelima (DSM-V), ingesti zat tidak bergizi harus tidak sesuai untuk tingkat perkembangan anak.3 Pica mungkin saja jinak namun bisa juga mengancam nyawa. Pica jauh lebih sering ditemukan pada anak kecil dibandingkan dengan dewasa. Individu yang terdiagnosis pica dilaporkan menelan berbagai macam zat non pangan termasuk tanah liat, kotoran, pasir, batu, kerikil, rambut, es, kuku, kertas, kapur, kayu, bahkan batu bara. Pada orang dewasa, bentuk pica tertentu, termasuk geofagia (makan tanah) dan amilofagia (makan kanji), telah dilaporkan terjadi pada wanita hamil.4 Walaupun pica diamati paling sering terjadi pada anak-anak, gangguan makan ini adalah suatu hal yang paling umum terjadi pada individu dengan retardasi mental. Dalam beberapa masyarakat, pica adalah suatu hal yang bersifat budaya dan tidak dianggap patologis. Pica terjadi di seluruh dunia. Geofagia adalah bentuk paling umum dari pica pada orang yang hidup dalam kemiskinan serta orang yang hidup di daerah tropis dan bersuku-suku. Pica adalah hal yang lazim terjadi di bagian barat Kenya, Afrika Selatan, dan India. Pica juga dilaporkan di Australia, Kanada, Israel, Iran, Uganda, Wales, Turki, dan Jamaika. Di beberapa Negara, bahkan tanah dijual untuk tujuan konsumsi. Di Indonesia sendiri belum ada data dan informasi yang jelas mengenai gangguan makan jenis ini.2 Bayi dan anak sering menelan cat, plester, tali, rambut, dan kain. Anakanak lebih cenderung suka menelan kotoran hewan, pasir, serangga, daun, kerikil, dan punting rokok. Sedangkan remaja dan orang dewasa paling sering menelan tanah liat atau tanah. Pada wanita hamil muda, pica terjadi selama kehamilan pertama pada masa remaja akhir atau dewasa awal. Meskipun pica biasanya berhenti pada akhir kehamilan, namun bisa saja terus berlanjut hingga bertahun-



1



tahun. Pica biasanya terjadi dengan frekuensi yang sama antara laki-laki dan perempuan, namun sangat jarang pada pria remaja dan dewasa.2 Pica menjadi sebuah perhatian karena substansi-substansi yang bukan merupakan makanan itu dikhawatirkan dapat menggantikan nutrisi-nutrisi dari makanan yang sesungguhnya dan hal ini bisa menjadi berbahaya, karena dapat menyebabkan masalah usus mekanik seperti keracunan sembelit, ulserasi, perforasi, dan obstruksi pada usus.2.



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 DEFINISI Nama "pica" berasal dari kata Latin untuk murai, burung yang dikenal karena selera makannya yang besar dan acak. Pica adalah perilaku yang kompleks dan mengacu pada keinginan berlebihan / abnormal untuk makanan normal atau untuk zat lain yang biasanya tidak dianggap sebagai makanan seperti tanah, arang, beras mentah, es dll. Pica adalah keinginan patologis untuk dan memakan makanan yang tidak bergizi ( misalnya, tanah liat, batu bara, kertas, abu, balon, kapur, logam, rumput, krayon, serangga, pasir, sabun, tempel, tali, plastik, bedak bayi, keripik cat, papan dinding, es) atau bahan makanan (tepung, kentang mentah ). Pica adalah perilaku kompleks yang dapat hadir dengan sejumlah variasi, dan berbagai penentu pica mulai dari tuntutan tradisi dan selera yang diperoleh dalam konteks budaya hingga mekanisme dugaan biologis (mis., Kekurangan zat besi, transmisi fisiologis).2 Gangguan pica hanya didiagnosis ketika perilaku dinilai tetap yakni saat berlangsung selama 1 bulan dan tidak tepat dilakukan pada tingkat perkembangan individu.3 Beberapa subtipe pica yang dinamakan sesuai dengan substansi yang dimakan misalnya10: 



Amylophagia (konsumsi pati)







Coprophagy (konsumsi tinja)







Geophagy (konsumsi tanah, tanah liat, atau kapur)







Hyalophagia (konsumsi kaca)







Konsumsi debu atau pasir







Lithophagia (subset dari geophagia, konsumsi kerikil atau batu)







Mucophagia (konsumsi lendir)







Odowa (batu lembut dimakan oleh ibu hamil di Kenya)







Konsumsi cat







Pagophagia (konsumsi patologis es) 3







Self-kanibalisme (kondisi langka di mana bagian tubuh dapat dikonsumsi)







Trichophagia (konsumsi rambut, bulu atau wol)







Urophagia (konsumsi urin)







Xylophagia (konsumsi kayu atau kertas)



2.2 EPIDEMIOLOGI Pica diamati lebih umum selama 2 dan 3 tahun kehidupan dan dianggap tidak sesuai perkembangan pada anak-anak yang lebih tua dari 18-24 bulan. Penelitian menunjukkan bahwa pica terjadi pada 25-33% anak kecil dan 20% anak terlihat di klinik kesehatan mental. Penurunan linear dalam pica terjadi seiring bertambahnya usia. Diantara individu dengan cacat intelektual, pica paling sering terjadi pada mereka yang berusia 10-20 tahun.2 Pica sebagian besar terjadi pada ibu hamil dan anak-anak yang mengalami gangguan psikologis. Prevalensi pada pnelitian di Jerman dari 804 anak ditemukan bahwa 99 anak (12.3%) terlibat dalam perilaku pica dalam hidup mereka. Suatu penelitian meta-analisis terkait prevalensi pica selama kehamilan mengestimasi sekitar 27.8% wanita hamil mengalami pica. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa sampel bersifat heterogen diseluruh dunia, dengan prevalensi tertinggi di Afrika dibanding benua lain di dunia. Prevalensi pica yang tinggi terdapat pada pasien dengan retardasi mental (sekitar 10%); berkorelasi dengan tingkat keparahan retardasi mental.5 .



2.3 ETIOLOGI Etiologi pica secara pasti belum diketahui, namun beberapa ilmuwan telah mengajukan faktor yang dapat terlibat dalam etiologi pica4 : 



Stress. Studi terkait faktor psikososial melaporkan adanya keterkaitan antara pica dan stress, stress bisa disebabkan oleh apapun, termasuk tekanan akibat tindakan pengabaian dan kekerasan terhadap anak, minimnya interaksi orangtua dan anak serta deprivasi orang tua. Sejumlah ilmuwan berpendapat bahwa pica adalah respons "protektif" terhadap stres 4



psikologis. Di bawah hipotesis ini, adalah kebiasaan gugup, analog dengan menggigit kuku, yang menenangkan individu. Mekanisme-mekanisme yang diusulkan bersifat ambigu; misalnya. pica adalah "mediator stres, bertindak melalui sistem kekebalan tubuh" . Sayangnya, beberapa studi hubungan antara pica dan stres psikologis adalah studi kasus individual atau studi tingkat populasi di mana stres diukur dengan cara yang tidak memiliki standar. Dengan demikian, diperlukan lebih banyak penelitian eksplorasi sebelum hipotesis ini dapat dianggap sebagai prioritas penelitian tinggi. 



Faktor budaya. Budaya, secara umum telah diduga sebagai pemicu terjadinya pica. Ilmuwan perilaku modern telah menjelaskan makna pica yang lebih bernuansa dan kurang menghakimi, terutama geofag. Mereka menduga bahwa “masuk akal” jika perempuan memakan tanah di beberapa masyarakat karena, misalnya, peran tradisional mereka sebagai tembikar dan tukang kebun atau adanya kepercayaan “asosiasi budaya makan tanah dengan darah, kesuburan dan feminitas”.







Kelaparan. Memang, bahan tidak lazim seperti tanah telah dimakan selama periode kekurangan makanan dan kelaparan di Cina, Amerika Selatan dan beberapa negara Eropa . Kelaparan terus memotivasi beberapa geofag di abad ke-21. Namun contoh konsumsi bumi ini selama periode kelaparan tidak dapat menjelaskan sebagian besar pica di seluruh dunia. Dalam satu sisi, geofag dalam episode ini sebenarnya bukan pica; tanah bukan makanan yang diidamkan, melainan dimakan sebagai jalan terakhir. Kedua, sejumlah bahan makanan pica dapat memberikan nilai gizi lebih jika dimasak; memasak nasi dan tepung jagung sangat meningkatkan daya cerna mereka. Selain itu, sebagian besar pica dalam laporan etnografi tidak terjadi di antara populasi yang mengalami kekurangan pangan.







Dispepsia. Gangguan pencernaan bagian atas berupa rasa mual dan mulas, dapat menyebabkan dorongan untuk pica. Memang, beberapa praktisi pica yang dapat memberikan penjelasan untuk pica mereka biasanya mengaitkan kebiasaan pica dengan pengurangan rasa mulas atau mual dalam dispepsia. Sebagian besar item pica lebih basa daripada pH lambung



5



dan karenanya akan berfungsi untuk mengurangi keasaman usus yang menyebabkan dispepsia. Selanjutnya, peningkatan pica selama kehamilan konsisten dengan peningkatan dispepsia bersamaan dengan banyak kehamilan. Namun, kebanyakan orang tidak dapat menjelaskan mengapa mereka terlibat dalam pica, dan beberapa secara eksplisit menyatakan bahwa itu bukan respons terhadap kondisi pencernaan tertentu. 



Defisiensi mikronutrien. Hipotesis yang paling sering diajukan adalah hipotesis yang menyatakan bahwa pica merupakan respons terhadap defisiensi mikronutrien seperti defisiensi besi (Fe), seng (Zn), dan kalsium (Ca), namun utamanya disebabkan oleh anemia defisiensi besi. Telah dikemukakan bahwa kekurangan Fe atau anemia menyebabkan individu terlibat dalam pica untuk memperbaiki status Fe rendah mereka. Hipotesis ini didukung oleh bukti perbaikan kekurangan makanan dengan zat nonmakanan pada ternak. Selain itu, mereka yang paling mungkin terlibat dalam pica, wanita hamil dan anak kecil, memiliki kebutuhan Fe per kg yang lebih besar. Namun, data tentang bioavailabilitas Fe dari zat pica tidak memberikan dukungan yang banyak untuk hipotesis ini. Beberapa zat pica jelas mengandung sangat sedikit Fe, misalnya, beras mentah yang tidak difortifikasi, tepung jagung, dan kapur. Kandungan Fe dari bahan lainnya kurang jelas, terutama dari tanah. Dalam satu dari dua penelitian terkontrol double-blind yang melibatkan suplementasi Fe dan pica nonpagophagy, IM Fe atau injeksi saline diberikan kepada 32 anak-anak dengan pica di daerah Washington, DC, Perilaku pica dan hemoglobin mereka (Hb ) dievaluasi kembali pada 2-3 bulan dan lagi pada 9-10 bulan. Tidak ada korelasi yang ditemukan antara perubahan pica dan perubahan Hb. Para penulis menyimpulkan bahwa Fe tidak secara signifikan lebih efektif daripada plasebo dalam "menyembuhkan" pica, yaitu meningkatkan status Fe tidak menyebabkan pica berhenti. Untuk Zn, beberapa penelitian telah menyarankan bahwa sensitivitas rasa dapat diubah oleh defisiensi Zn; ini pada gilirannya dapat menyebabkan zat non-makanan memiliki rasa yang menarik.







Mekanisme proteksi. Salah satu mekanisme dimana zat pica dapat



6



memberikan proteksi adalah melalui reduksi permeabilitas dinding usus. Lapisan mukosa usus bertindak sebagai penghalang fisik antara ingesta dan aliran darah dengan menyaring molekul besar, serta penghalang kimia dengan mempertahankan gradien pH. Erosi lapisan mukosa bersifat berbahaya karena dapat meningkatkan permeabilitas usus dan dapat menyebabkan peningkatan entri oleh racun dan patogen ke dalam aliran darah. Beberapa tanah liat yang ditemukan dalam sampel geofag dapat memperkuat lapisannya. Smectite dan palygorskite (attapulgite) dikenal karena kemampuannya untuk mengikat lendir, sehingga meningkatkan efektivitas penghalang mukosa. Smektit juga dapat memperbaiki integritas mukosa. Mekanisme kedua dimana zat pica dapat memberikan perlindungan adalah dengan mengikat racun dan patogen, sehingga membuatnya tidak dapat diserap oleh usus. Sejumlah tanah liat yang ditemukan di tanah geofagik telah terbukti dapat mengikat patogen, termasuk virus, jamur, dan bakteri. Suspensi montmorillonit dan kaolin, keduanya merupakan mineral tanah liat yang biasa ditemukan di tanah geofag, telah ditunjukkan untuk mengikat retrovirus (famili rotavirus, penyebab utama diare parah di antara bayi dan anak kecil) in Palygorskite,



halloysite,



dan



kaolinite



telah



ditunjukkan



vitro untuk



mengadsorpsi bakteri Staphylococcus aureus. Karena mekanisme ini, tanah liat sangat efektif dalam pengobatan diare.



2.4 TEMUAN KLINIS Temuan fisik yang terkait dengan pica sangat bervariasi dan berhubungan langsung dengan bahan yang tertelan dan konsekuensi medis selanjutnya. Temuan ini seperti berikut: a. Tanda keracunan b. Tanda infeksi atau infestasi dari parasit c. Manifestasi pada Gastrointestinal (GI) d. Manifestasi pada gigi



7



Tanda-tanda keracunan yang paling umum yang terkait dengan pica. Tanda fisiknya tidak spesifik dan tak terlihat, dan kebanyakan anak dengan keracunan timah tidak menunjukkan gejala. Manifestasi fisik dari keracunan dapat seperti gejala neurologis (misalnya: mudah tersinggung, lesu, ataksia, inkoordinasi, sakit kepala, kelumpuhan saraf,



papilledema , ensefalopati, kejang, koma, atau



kematian) dan gejala pada saluran GI (misalnya: sembelit, sakit perut, kolik, muntah, anoreksia, atau diare). Toxocariasis (termasuk larva migrans visceral dan ocular larva migrans) dan ascariasis merupakan infeksi parasit paling sering yang terkait dengan pica yang mengonsumsi feses/kotoran. Gejala Toxocariasis beragam dan tampaknya terkait dengan jumlah larva yang tertelan dan organ mana tempat larva bermigrasi. Temuan fisik yang terkait dengan migrans larva visceral adalah demam, hepatomegali, malaise, batuk, miokarditis , dan encephalitis.9 Manifestasi pada saluran cerna berupa kelainan mekanik usus, sembelit, ulserasi, perforasi, dan obstruksi usus yang disebabkan oleh pembentukan bezoar dan konsumsi bahan yang dicerna ke dalam saluran pencernaan. Kelainan gigi terutama disebabkan karena mengunyah batu dan bata dapat menyebabkan atrisi gigi. Kerusakan gigi dan gingiva karena mengunyah dapat menyebabkan abrasi gigi yang parah, abfraksi, dan erosi permukaan gigi.2,6 2.5 DIAGNOSIS Pasien mungkin menyembunyikan informasi mengenai perilaku pica dan menyangkal adanya pica ketika ditanya. Kerahasiaan ini sering mengganggu diagnosis yang akurat dan pengobatan yang efektif. Kisaran luas komplikasi yang timbul dari berbagai bentuk pica dan keterlambatan diagnosis yang akurat dapat menyebabkan gejala ringan sampai mengancam nyawa. Pedoman diagnostik menurut PPDGJ-III : F98.3 Pika masa bayi dan anak  Gejala pika adalah terus menerus memakan zat yang tidak bergizi (tanah, serpihan cat, dsb).  Pika dapat timbul sebagai salah satu gejala dari sejumlah gangguan psikiatrik



yang



luas



(seperti



autisme)



atau



sebagai



perilaku



psikopatologis yang tunggal; hanya dalam keadaan yang disebut



8



belakangan ini digunakan kode diagnosis ini. Fenomena ini paling sering terdapat pada anak retardasi mental, harus diberi kode diagnosis F70F79. Namun demikian, pika dapat juga terjadi pada anak (biasanya pada usia dini) yang mempunyai intelegensia normal.1 Tabel 1-1 Kriteria Diagnostik DSM-V-TR untuk Pica3 A. Memakan zat bukan makanan, tanpa gizi yang menetap untuk periode sedikitnya 1 bulan. B. Memakan zat tanpa gizi yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan individu. C. Perilaku makan bukan bagian dari praktik yang disetujui budaya. D. Jika perilaku makan ini terjadi hanya selama perjalanan gangguan jiwa lain (misalnya retardasi mental, kelainan spektrum autis skizofrenia), gangguan ini cukup berat sehingga memerlukan perhatian klinis tersendiri.



2.6 DIAGNOSIS BANDING Diagnosis Banding Diagnosis banding pica3,5: a. Retardasi Mental b. Anorexia Nervosa c. Factitious Disorder d. Skizofrenia e. Autis



2.7 PENATALAKSANAAN a. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (Farmakologis) Terapi baru yang kemungkinan bisa digunakan dan telah direkomendasikan karena hasil yang memuaskan saat diuji coba pada pasien pica adalah terapi farmakologis dengan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRi) dan neuroleptic atipikal lain. Terapi baru ini bekerja dengan memblok reuptake atau reabsorpsi serotonin oleh 9



sel-sel saraf di otak. Beberapa jenis SSRi ini antara lain adalah fluvoxamin, zimelidin, paroxetin, fluoxetin, dan citalopram. b. Bupropion (Farmakologis) Bupropion



merupakan



golongan



obat



dari



aminoketone



norepinephrine and dopamine reuptake inhibitor yang terbukti dapat digunakan sebagai terapi pada gangguan pica yang persisten, kronik, dan mengalami ketergantungan nikotin yang parah.Intervensi perilaku pada pasien pica dengan tujuan untuk mengalihkan perhatian, seperti menyusun ulang llingkungannya, konseling, dan terapi-terapi perilaku yang lain tidak berhasil, maka terapi farmakologis merupakan opsi selanjutnya seperti bupropion. Pada penelitian yang telah dikakukan, pemberian bupropion selama 12 bulan, pasien mengalami penurunan episode pica menjadi 6.25 kali setiap bulan, dan penurunan terjadi hingga 0.9 kali episode per bulan dalam 11 bulan pemakaian obat.



c. Response Effort (Pendekatan perilaku) Response effort merupakan salah satu terapi pada pica dengan pendekatan metode perilaku. Pada terapi ini, yang dinilai adalah usaha pasien untuk berusaha memakan sesuatu yang menjadi objek pica dan yang bukan objek pica. Pada penelitian yang dilakukan oleh Piazza et al (2002), penelitian ini menggunakan tiga orang yang mengalami gangguan kejiwaan pica yang datang ke klinik Neurobehavioral di Kennedy Krieger Institute. Pasien pertama memiliki riwayat memakan kunci mobil, batu, kayu, kotoran, sarung tangan, dan baterai. Pasien kedua memiliki riwayat memakan batu, kayu, plastic, dan kotoran. Pasien ketiga memiliki riwayat memakan batu, kayu, kotoran, pakaian, dan sabun.7 Penelitian dilakukan di ruang tertutup yang terbuat dari bahan yang aman jika dimakan, lalu disimpan benda objek yang biasa dimakan (seperti kunci mobil, kotoran, dll) dan benda pengganti lain yang dapat menjadi objeknya, dari kedua benda tersebut akan diletakkan



10



sedemikian caranya sehingga pasien akan menggunakan low effort atau high effort untuk menjangkau benda-benda tersebut. Penelitian dilakukan dengan mengamati response effort pada pica dan benda pengganti lain. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada usaha untuk mendapatkan benda lain itu tinggi (high effort) sedangkan usaha untuk mendapatkan objek pica mudah (low effort) maka pasien akan menjangkau objek pica dan memakannya.. Pada keadaan objek pica mudah dijangkau (low effort) misalnya benda-benda yang didapat bebas ketika sedang bermain; dan benda yang menjadi objek pica disimpan ditempat yang sulit untuk dijangkau maka akan menurunkan kejadian pica. Sehingga kesimpulannya, para orang tua atau yang merawat pasien pica harus bisa menyimpan benda-benda yang berbahaya untuk dimakan di tempat-tempat yang aman, dan meletakkan benda-benda pengalih perhatian di tempat-tempat yang menarik untuk pasien sehingga bisa mengurangi frekuensi pica pada pasien.7 d. Response Blocking Response Blocking merupakan usaha yang dilakukan oleh individu yang merawat atau menjaga pasien pica agar tidak mengambil benda (bukan makanan) untuk dimakan. McCord dan Grosser (2005) melakukan penelitian tentang response blocking pada pasien pica yang dilakukan selama 10 menit selama 3 sampai dengan 5 hari setiap minggu. Pada penelitian ini, pasien ditempatkan di ruangan tertutup yang di dalamnya terdapat kertas segi empat yang dilekatkan ke lantai dan di atas kertas tersebut disimpan benda-benda (bukan makanan) yang bisa dimakan oleh pasien pica. Lalu ada seorang terapis yang ada di ujung ruangan berjarak 3.1 m dari benda yang ada di atas lantai. Pada percobaan pertama, terapis tidak bereaksi apa-apa (tidak mencegah/mem-block) pasien saat akan mengambil benda di atas kertas. Percobaan kedua, terapis mencegah ketika benda sudah berjarak 0.3 m dari mulut pasien, pada percobaan ketiga, terapis mencegah pasien mengambil benda di atas kertas. Pada penelitian ini



11



menunjukan bahwa jika pasien tidak dicegah maka pasien akan dengan leluasa memakan benda-benda bukan makanan tersebut, walaupun dicegah, tetapi jika dicegah saat makanan sudah diambil maka efeknya tidak efektif, pasien tetap tidak mau menjatuhkan makanan tersebut. Hasil dari pencegahan ini akan efektif jika perawat atau seseorang yang menjaga pasien mencegah pasien mengambil benda-benda berbahaya untuk dimakan. Sehingga, kesimpulannya adalah pencegahan tidak efektif jika dilakukan setelah pasien mengambil benda untuk dimakan, tetapi harus dilakukan usaha untuk mencegah pasien menjangkau benda-benda berbahaya untuk dimakan tersebut.8



2.8 PROGNOSIS Prognosis untuk pica beragam, meskipun pada anak dengan intelegensi normal, gangguan ini paling sering bersifat pulih spontan. Pada anak, pica biasanya pulih seiring dengan meningkatnya usia; pada perempuan hamil, pica biasanya terbatas pada masa kehamilan saja. Meskipun demikian, pada beberapa orang dewasa, terutama mereka yang mengalami retardasi mental, pica dapat berlanjut hingga bertahun-tahun. Keberhasilan dalam pengobatan bervariasi, sebagian besar kasus pica berlasung beberapa bulan dan akan sembuh dengan sendirinya, tapi ada beberapa kasus yang berlanjut kemasa remaja dan dewasa terutama ketika terjadi bersamaan dengan gangguan perkembangan.



12



BAB III KESIMPULAN



Pica ialah nafsu makan yang aneh, yaitu penderita menunjukkan nafsu makan terhadap berbagai atau salah satu obyek yang bukan tergolong makan, misalnya tanah, pasir, rumput, bulu, selimut wol, pecahan kaca, kotoran hewan, cat kering, dinding tembok, dan sebagainya. Gejala pada saluran Gastrointestinal (GI) seperti sembelit, sakit perut kronis atau akut yang mungkin menyebar atau terfokus, mual dan muntah, distensi perut, dan kehilangan nafsu makan. Terapi yang dapat diberikan diantaranya dengan farmakologis yaitu Selective Serotonin Reuptake Inhibitors dan Bupropion, serta non farmakologis dengan respons effort dan respons blocking.



13



DAFTAR PUSTAKA



1. Departemen Kesehatan RI, 1998. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi III. Dirjen Pelayanan Medis RI. Jakarta. 2. Richa Wadhawan et al. / International Journal of Advanced Dental Research , 2015;1(1):20-25 3. American Psychiatric Association. DSM-V-TR: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Text Revision. American Psychiatric Press;2015 4. Young, S. L. Pica in Pregnancy: New Ideas About an Old Condition. Annu Rev Nutr. Aug 21 2010;30:403-22. 5. Al Nasser Y, Alsaad AJ. Pica. [Updated 2019 Jan 30]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532242/ 6. Barker D. Tooth wear as a result of pica. Br Dent J 2005;199:271‑3. 7. Piazza, Cathleen., Henry S. Roanne., Kris M. Keeney et al. Varying Response Effort in The Treatment of Pica Maintained by Automatic Reinforcment: Journal Of Applied Behavior Analysis. Vol (35): 233-46 8. McCord, Brandon dan Jason W. Grosser. 2005. An Analysis Of ResponseBlocking Parameters In The Prevention Of Pica: Journal Of Applied Behavior Analysis. Vol (38): 391-4



14



9. Ravinder K. Gupta, Ritu Gupta. 2005. Clinical Profile of Pica in Childhood. Vol. 7 No. 2: From Adval Pediatric Clinic, Nai Basti, Jammu and The Department of Physiology, Government Medical College Jammu. 10. Orozco-González CN, Cortés-Sanabria L, Márquez-Herrera RM, Nú˜nezMurillo GK. Pica en enfermedad renalcrónica avanzada: revisión de la literatura. Nefrologia. 2019. https://doi.org/10.1016/j.nefro.2018.08.001∗



15