Plasenta Akreta Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

0



REFERAT



PLASENTA AKRETA



dr. Naeny Fajriah



Pembimbing : Dr. dr. Deviana Soraya Riu, Sp. OG(K)



DIVISI FETOMATERNAL PROGRAM STUDI ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2019



1



DAFTAR ISI DAFTAR ISI ............................................................................................................1 BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 2 BAB II A. Definisi ........................................................................................................ 4 B. Epidemiologi ...............................................................................................4 C. Faktor Risiko ................................................................................................5 D. Patogenesis & Patofisiologi ....................................................................... 6 E. Klasifikasi ..................................................................................................11 F. Gejala Klinis dan Diagnosis .......................................................................13 G. Penatalaksanaan ........................................................................................24 H. Prognosis ....................................................................................................47 BAB III KESIMPULAN .....................................................................................................48 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................49



1



BAB I PENDAHULUAN Spektrum plasenta akreta dianggap sebagai komplikasi kehamilan yang parah yang dan dikaitkan dengan permasalahan intrapartum yang masif dan berpotensi mengancam jiwa serta berdampak dalam perdarahan postpartum. Keadaan telah menjadi penyebab utama emergency cesarean hysterectomy. Morbiditas ibu telah dilaporkan terjadi hingga 60% dan mortalitas pada hingga 7% wanita dengan plasenta akreta. Selain itu, kejadian komplikasi perinatal yang meningkat terutama karena kelahiran prematur dan kecil masa kehamilan bagi janin. Seri kasus plasenta akreta pertama kali dipublikasikan pada tahun 1973 oleh Irving dan Hertig. Seri kasus ini melibatkan 18 kasus, dengan deskripsi klinis sebagai “kelainan perlekatan setelah persalinan pada seluruh atau sebagian dinding uterus” dan secara histologi sebagai “hilangnya desidua basalis secara komplit atau parsial”. Pada tahun 1973, angka kejadian plasenta akreta sekitar 1 dari 30,000 kelahiran. Tetapi, pada tahun 2005, insiden plasenta akreta terjadi sekitar 1 dari 533 kelahiran. Insiden ini meningkat 8 kali lebih besar dari tahun 1970 dan 5 kali lebih besar dari tahun 1980. Peningkatan angka kejadian ini terjadi secara paralel dengan peningkatan angka cesarean delivery.(1,2) Plasenta akreta menjadi komplikasi kehamilan yang semakin umum, terutama karena meningkatnya tingkat cesarean delivery selama 50 tahun terakhir. Mengingat fakta bahwa indikasi untuk cesarean delivery tampaknya terus berkembang, termasuk cesarean delivery berdasarkan permintaan ibu, kejadian plasenta akreta kemungkinan akan terus meningkat. Wu et al. melaporkan kejadian 1: 533 kelahiran untuk periode 1982 hingga 2002, jauh lebih besar dari laporan sebelumnya mulai dari 1: 4027 hingga 1: 2510 kelahiran pada 1970-an hingga 1980-an, menunjukkan bahwa peningkatan ini terutama disebabkan oleh peningkatan tingkat cesarean delivery. Beberapa faktor risiko untuk plasenta akreta telah dilaporkan, termasuk cesarean delivery sebelumnya terutama bila disertai dengan plasenta previa yang terjadi secara bersamaan.



2



Peningkatan jumlah cesarean delivery sebelumnya secara eksponensial meningkatkan risiko plasenta akreta. Patogenesis pasti dari plasenta akreta tidak diketahui. Hipotesis yang saat ini digunakan adalah mencakup pengembangan desidua, invasi trofoblastik yang berlebihan, atau kombinasi keduanya.(1) Plasenta akreta terjadi ketika vili korionik menginvasi miometrium secara tidak normal. Keadaan ini dibagi menjadi tiga kelas berdasarkan histopatologi plasenta akreta di mana vili korionik berhubungan dengan miometrium, plasenta inkreta di mana vili korionik menginvasi miometrium, dan plasenta perkreta di mana vili korionik menembus serosa uterus. Karena dampak morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga penanganan yang tepat dibutuhkan untuk menurunkan angka morbiditas tersebut. Selama lebih dari setengah abad sejak kasus pertama plasenta akreta dilaporkan, cesarean hysterectomy menjadi satu-satunya penangan yang dapat dilakukan pada plasenta akreta. Tetapi, selama lebih dari dua dekade, beberapa pilihan penanganan konservatif telah dikembangkan dengan tingkat kesuksesan dan komplikasi yang bervariasi. Di negara berpendapatan rendah-sedang dengan kemampuan diagnostik, pemantauan, dan terapi tambahan yang terbatas, histerektomi menjadi terapi pembedahan definitif pada spektrum plasenta akreta, terutama cesarean hysterectomy elektif. Tetapi, penanganan optimal untuk kondisi ini masih belum jelas karena kurangnya data penelitian melalui uji klinis acak.(1,2)



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Plasenta akreta didefinisikan sebagai invasi trofoblas abnormal dari sebagian atau seluruh plasenta ke dalam miometrium dinding rahim. Spektrum plasenta akreta, sebelumnya dikenal sebagai perlengketan plasenta yang tidak sehat, mengacu pada rentang perlengketan patologis plasenta, termasuk plasenta inkreta, plasenta perkreta, dan plasenta akreta.(3) Spektrum ini menjelaskan kelainan implantasi, invasif, atau adhesi dari plasenta. Akreta berasal dari Bahasa Latin ac- dan crescere yaitu berkembang dari adhesi, melekat, atau menyatu dengan. Spektrum plasenta akreta merupakan salah satu masalah terberat pada kasus obstetrik. Kelainan ini berhubungan dengan riwayat operasi pada uterus sebelumnya. Seiring dengan meningkatnya angka persalinan sesar di Amerika Serikat, frekuensi spektrum plasenta akreta juga meningkat dengan proporsi yang serupa(1).



B. Epidemiologi Penelitian oleh Irving dan Hertig yang dipublikasikan pada tahun 1973 mengungkapkan estimasi insiden plasenta akreta sekitar 1 dari 30,000 kelahiran di Amerika Serikat. Pada penelitian kohort tersebut, hanya satu wanita dengan riwayat persalinan sesar yang ditemukan dari 18 kasus yang disertakan dalam penelitian tersebut. Sedangkan penelitian kasus-kontrol yang dipublikasikan pada tahun 2005, dengan menyertakan 111 kasus spektrum plasenta akreta yang didiagnosis dengan pemeriksaan histopatologi, menemukan bahwa insiden spektrum plasenta akreta terjadi sekitar 1 dari 533 kelahiran. Insiden ini meningkat 8 kali lebih besar dari insiden pada tahun 1970 dan meningkat 5 kali lebih besar



4



dari insiden pada tahun 1980. Insiden ini berhubungan dengan peningkatan angka persalinan dengan sesar di Amerika Serikat dari 12.5% pada tahun 1982 menjadi 23.5% pada tahun 2002(2). Karena tingginya angka kejadian tersebut, plasenta akreta menjadi salah satu masalah terberat pada kasus obstetrik. Selain itu, plasenta akreta juga menjadi salah satu penyebab perdarahan pasca persalinan dan histerektomi peripartum darurat(1). Sebuah analisis yang menggunakan data persalinan sesar di Amerika Serikat dari tahun 1995 hingga 2005 menunjukan estimasi peningkatan persalinan sesar pada tahun 2020 mencapai 56.2%, dan peningkatan angka tersebut akan disertai dengan peningkatan kasus plasenta previa sebesar 6236 kasus, spektrum plasenta akreta sebesar 4504 kasus, dan kematian maternal sebanyak 130 kasus pertahun, bahkan hingga 88% wanita memiliki plasenta previa bersamaan(2). Plasenta akreta terjadi pada sekitar 1: 1000 persalinan dengan perkiraan yang dilaporkan dari 0,04% meningkat menjadi 0,9%. Perbedaan dalam definisi dan studi populasi dapat menjelaskan perkiraan yang luas ini. Kandung kemih adalah organ ekstrauterin yang paling sering terlibat ketika terjadi plasenta perkreta. Plasenta perkreta yang menginvasif kandung kemih berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang substansial.Usia rata-rata ibu adalah sekitar 34 tahun dan paritas rata-rata adalah 2,5(1).



C. Faktor Risiko Secara teori, setiap kelainan atau kerusakan pada struktur dinding uterus dapat menyebabkan spektrum plasenta akreta. Kelainan ini telah dilaporkan terjadi pada wanita primigravid tanpa kelainan uterus, tetapi kasus tersebut sangat jarang terjadi(2). Peningkatan prevalensi spektrum plasenta akreta dihubungkan dengan peningkatan angka persalinan sesar di sebagian besar negara berpendapatan tinggi dan sedang, hal ini didukung dengan data epidemiologi yang ada(2). Kelainan



5



tersebut disebabkan oleh kelainan pembentukan desidua pada daerah bekas luka histerotomi, hal ini juga dapat terjadi pada trauma miometrium seperti pada kuretase(1). Faktor risiko selain riwayat persalinan sesar sebelumnya termasuk mioma submukosa, riwayat kuretase sebelumnya, sindrom Asherman, usia ibu lanjut, grande multiparitas, merokok, dan hipertensi kroni. Selain itu, Alanis et al. meninjau 72 kasus plasenta akreta yang dirawat secara konservatif. Di antara 15% wanita yang memiliki kehamilan berikutnya, 18% mengalami plasenta akreta berulang, sehingga plasenta akreta sebelumnya mungkin merupakan faktor risiko utama juga.(1) Kelainan ini juga telah dilaporkan pada wanita tanpa riwayat operasi uterus sebelumnya, tetapi dengan kelainan uterus seperti uterus bikornuata, adenomiosis, fibroid submukosa, dan distrofi miotonik. Kasus ini menunjukan implantasi vili intramiometrium tidak hanya terjadi pada pasien dengan riwayat pembedahan uterus. Prevalensi kondisi ini pada populasi umum, terutama fibroid dan adenomiosis, dan kurangnya data yang mendukung hubungan kondisi tersebut dengan plasentasi invasif menunjukan bahwa kondisi tersebut tidak termasuk dalam faktor risiko mayor dari kelainan plasenta akreta(2). Nordic Obstetric Surveillance Study, yang meneliti komplikasi obstetrik berat dari tahun 2009 dan 2012, menemukan bahwa usia maternal lebih dari 35 tahun meningkatkan kemungkinan terjadinya plasenta akreta sebesar 4.5 (risiko absolut: 7.5 per 10,000). Hubungan ini mungkin disebabkan oleh faktor pendukung seperti multiparitas, risiko previa, dan riwayat operasi uterus sebelumnya(2). Salah satu risiko penting terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa. Sebuah penelitian kohort di Amerika Serikat menemukan bahwa wanita dengan plasenta previa dan riwayat persalinan sesar sebelumnya memiliki risiko plasenta akreta sebesar 3% untuk persalinan sesar pertama, 11% untuk persalinan sesar kedua, 40% untuk persalinan sesar ketiga, 61% untuk persalinan sesar keempat, 6



dan 67% untuk persalinan sesar kelima. Risiko ini tidak berhubungan dengan karakteristik maternal lain seperti jumlah paritas, indeks massa tubuh, konsumsi tembakau, dan hipertensi atau diabetes. Wanita dengan plasenta previa dan memiliki riwayat persalinan sesar sebanyak tiga kali atau lebih memiliki risiko 1520 kali lebih besar untuk mengalami plasenta akreta(2).



D. Patogenesis & Patofisiologi Patogenesis pasti dari plasenta akreta tidak diketahui. Secara umum, plasenta akreta telah didiagnosis pada spesimen histerektomi ketika area akresi menunjukkan vili korionik dalam kontak langsung dengan miometrium dan tidak adanya desidua. Temuan ini mungkin fokus dalam beberapa kasus sementara desidua yang ditemukan di daerah yang berdekatan dengan area akreta. Perkembangan desidua dalam plasenta akreta ini biasanya dikaitkan dengan instrumentasi sebelumnya seperti dalam kasus riwayat seksio sesarea sebelumnya atau kuretase uterus. Hipotesis yang diajukan mencakup pengembangan desidua, invasi trofoblastik yang berlebihan, atau kombinasi keduanya. Tseng dan Chou berhipotesis bahwa ekspresi abnormal pertumbuhan, angiogenesis, dan faktorfaktor terkait invasi dalam populasi trofoblas adalah faktor utama yang bertanggung jawab atas terjadinya plasenta akreta.(1) Beberapa konsep telah diusulkan sebagai patofisiologi dari spektrum plasenta akreta. Konsep yang lama didasari pada teori yang menyatakan defek primer dari trofoblast menyebabkan invasi berlebihan hingga mencapai miometrium. Hipotesis terbaru yang digunakan menyatakan bahwa adanya defek sekunder pada hubungan antara endometrium-miometrium menyebabkan gagalnya desidualisasi pada daerah uterus yang mengalami luka, sehingga terjadi kelainan infiltrasi dari vili dan trofoblast plasenta(3).



7



1. Implantasi pada daerah luka(3) Pada fase sekresi dalam siklus menstruasi, endometrium akan mendapatkan vaskularisasi yang banyak, yang ditandai dengan proliferasi dan diferensiasi sel stroma menjadi sel desidua, infiltrasi sel imun maternal, dan perombakan pembuluh darah endometrium. Desidualisasi stroma endometrium mendahului perlekatan blastosis dan infiltrasi trofoblast. Proses ini cukup kompleks dan melibatkan berbagai komponen uterus dan sel eksternal maternal serta melibatkan berbagai hormon. Proses ini sangat penting untuk implantasi dan pembentukan plasenta yang normal. Pembentukan plasenta akreta dihubungkan dengan kerusakan akibat pembedahan yang mengganggu integritas endometrium uterus dan lapisan otot halus pada miometrium. Peningkatan angka persalinan sesar berdampak pada insiden plasenta akreta, tetapi kelainan ini juga terjadi pada uterus yang mengalami kerusakan minimal dan superfisial akibat kuretase, manual plasenta, atau endometritis pasca persalinan. Kelainan ini juga ditemukan pada wanita primigravida tanpa riwayat pembedahan uterus sebelumnya, tetapi dengan kelainan uterus seperti uterus bikornuata, adenomiosis, fibroid submukosa, atau distrofi miotonik. Hal ini menunjukan bahwa defek mikroskopik pada endometrium atau adanya kelainan fungsi dari endometrium dapat menyebabkan kelainan adhesi atau invasi vili. Luka pada uterus dapat berupa defek kecil pada desidua dan hanya melibatkan miometrium superfisial hingga defek miometrium yang besar dan dalam dengan bagian endometrium yang hilang di bawah serosa uterus. Pada wanita dengan riwayat persalinan sesar sebelumnya, defek miometrium yang ditemukan berkisar 20-65% pada pemeriksaan ultrasound transvagina. Wanita yang memiliki ketebalan daerah miometrium < 50% dibandingkan daerah sekitarnya



cenderung



mengalami



komplikasi



kronik



seperti



bercak



intermenstruasi. Serat miometrium di sekitar luka akan mengalami hialinisasi atau degenerasi, dengan peningkatan jaringan fibrosa lokal dan infiltrasi sel 8



inflamasi. Perbandingan antara gambaran ultrasound dengan histopatologi pada bekas luka sesar di uterus menunjukan bahwa defek miometrium yang besar dan dalam seringkali tidak disertai dengan re-epitelisasi daerah luka. Sebukan leukosit pada endometrium saat fase sekresi juga dapat disebabkan oleh adanya luka bekas persalinan sesar. Sebuah penelitian terbaru mengenai sirkulasi uterus pada wanita dengan riwayat persalinan sesar menunjukan bahwa resistensi pembuluh darah uterus meningkat sedangkan aliran darah menurun, dibandingkan dengan wanita dengan riwayat persalinan pervaginam. Hal ini menunjukan bahwa sirkulasi darah terganggu di sekitar daerah luka. Vaskularisasi yang buruk pada daerah sekitar luka dapat menyebabkan degenerasi miometrium fokal permanen, serta re-epitelisasi luka yang kurang atau tidak sama sekali. Kehamilan pada luka bekas persalinan sesar merupakan implantasi kantung gestasi pada bekas luka di uterus. Hal ini menunjukan adanya hubungan antara bekas luka pada uterus dan kejadian plasenta akreta. Pada beberapa kasus, defek yang ada cukup besar untuk menampung kantung gestasi tanpa implantasi vili plasenta hingga ke miometrium atau serosa uterus. Hal ini juga menunjukan bahwa jika implantasi kantung gestasi terjadi di sekitar bekas luka maka hal ini dapat menyebabkan akreta fokal. 2. Plasentasi pada daerah luka(3) Setelah implantasi, sel sitotrofoblast mononuklear akan berproliferasi di puncak vili, dan membentuk sel kolumna yang bergabung untuk membentuk pelindung sitotrofoblast untuk melapisi hasil konsepsi. Sel pada bagian luar yang bersentuhan dengan desidua mengalami transisi epitel-mesenkim parsial, kehilangan potensi proliferasi, dan menginvasi stroma desidua. Sel ini disebut sebagai extravillous trophoblast (EVT). Sel ini selanjutnya berdiferensiasi menjadi jaringan interstisial dan endovaskuler yang bermigrasi melalui stroma desidua dan turun hingga ke lumen arteri spiralis. EVT interstisial menginvasi 9



dinding uterus hingga sepertiga dalam miometrium uterus, kemudian berfusi menjadi multinucleated trophoblast giant cell (MNGC). Daerah ini juga disebut sebagai junctional zone (JZ). Migrasi EVT dipengaruhi oleh sekresi matrix metalloproteinase yang terdiri dari kolagenase, gelatinase, dan stromelysin. Pada migrasi normal, enzim ini akan menghancurkan matriks ekstraseluler antara sel desidua, juga dapat menghancurkan jaringan parut jika implantasi bertumpang tindih dengan lesi miometrium. Pada plasentasi akreta, sel EVT yang menginvasi dinding uterus lebih dalam mengalami hipertrofi dan bertambah banyak, sedangkan jumlah MNGC akan menurun. Invasi trofoblast yang lebih dalam pada miometrium dan infiltrasi vili korionik pada pembuluh darah miometrium telah ditemukan pada plasenta inkreta dan plasenta perkreta. Hal ini menyebabkan hilangnya ruang kosong di atas desidua basalis, sehingga pemisahan plasenta setelah persalinan akan sulit dilakukan. Invasi jaringan plasenta yang lebih dalam mungkin tidak disebabkan oleh invasi EVT ke dinding uterus. Hal ini mungkin disebabkan oleh kerja matrix metalloproteinase sehingga vili korionik akan masuk lebih dalam ke dinding uterus, dan memberikan akses bagi EVT ke miometrium yang lebih dalam. Kerusakan superfisial, seperti akibat dari kuretase atau distorsi lapisan desidua-miometrium dapat menyebabkan kelainan perlekatan plasenta. 3. Perombakan pembuluh darah(3) Arteri uterina memberikan suplai darah bagi uterus. Arteri ini akan berlanjut menjadi arteri arkuata kemudian memberikan suplai darah bagi arteri radial yang mengarah langsung ke dalam lumen uterus. Pada saat arteri ini mencapai JZ, masing-masing arteri radialis akan memberikan percabangan di daerah lateral, arteri basalis, yang memberikan suplai darah bagi miometrium dan bagian basal dari endometrium. Pembuluh darah ini kemudian berlanjut menjadi arteri spiralis yang memberikan suplai darah bagi pleksus kapilaris di sekitar kelenjar uterus. Pada saat wanita tidak hamil, dinding arteri spiralis dan 10



radialis sebagian besar terdiri dari otot polos dan kaya akan inervasi otonom sehingga pembuluh darah ini sangat berespon terhadap stimulus adrenergik eksogen dan endogen. Pada plasenta normal, sel EVT akan menembus JZ dengan menghasilkan protease dan memengaruhi mekanikal serta elektrofisiologi JZ. Struktur dinding arteri spiralis juga berubah. Perombakan arteri ditandai dengan hilangnya miosit secara progresif dari lamina elastic internal dan lamina media kemudian diganti dengan materi fibrinoid. Hal ini menyebabkan pembuluh darah tersebut tidak berespon terhadap vasoaktif dan mengalami dilatasi sehingga resistensi pembuluh darah berkurang. Perubahan fisiologis ini menyebabkan arteri spiralis mengalami distensi dengan dilatasi 5 hingga 10 kali pada pangkal pembuluh darah. Sekitar 30-50 arteri spiralis mengalami perubahan pada trimester pertama dan kedua. Pada kehamilan normal, perubahan arteri uteroplasenta ini akan komplit pada pertengahan gestasi. Invasi trofoblast fisiologis terbatas pada daerah di bawah JZ dan arteri radialis serta arteri arkuata masih cenderung vasoreaktif selama kehamilan. Jika jumlah EVT interstisial meningkat pada plasenta akreta, maka perubahan arteri spiralis akan terbatas. Pada daerah akreta sering tidak dijumpai adanya desidua, hal ini mungkin disebabkan oleh atrofi sirkulasi uterus di daerah lesi pada wanita tidak hamil dengan riwayat persalinan sesar sebelumnya. Tidak ada bukti klinis yang menunjukan adanya insufisiensi uteroplasenta dan gangguan pertumbuhan fetus pada spektrum plasenta akreta. Hal ini menunjukan kelainan adhesi serta plasentasi invasif arteri spiralis yang abnormal hanya terbatas pada daerah akreta tanpa memengaruhi fungsi seluruh plasenta. Hipotesis lain menyatakan bahwa pada kondisi tidak adanya desidua, protease dan sitokinsitokin tidak dihasilkan oleh sel imun maternal aktif sehingga mengganggu perubahan arteri secara fokal.



11



Gambar 1. Kotiledon plasenta dalam A, normal dan B, plasentasi inkreta mencapai sirkulasi miometrium yang dalam. Perhatikan distorsi anatomi kotiledon normal pada plasentasi inkreta dengan hilangnya septa interkotiledon dan pembentukan lakuna (L).



E. Klasifikasi Spektrum plasenta akreta diklasifikasikan berdasarkan kedalaman pertumbuhan trofoblast. Plasenta akreta menunjukan bahwa vili melekat pada miometrium. Plasenta inkreta yaitu vili menginvasi ke dalam miometrium, sedangkan plasenta perkreta yaitu penetrasi vili melalui miometrium dan menunju ke serosa. Secara praktik klinis, jenis kelainan ini terjadi dengan rasio 80:15:5. Pada semua jenis kelainan, perlengketan abnormal dapat melibatkan semua lobulus – plasenta akreta total. Jika seluruh atau sebagian dari satu lobulus mengalami perlekatan, maka disebut sebagai plasenta akreta parsial. Diagnosis histologi tidak dapat dilakukan pada plasenta saja, dan kuretase uterus atau dengan miometrium mungkin diperlukan untuk konfirmasi histopatologi(1).



12



Gambar 2. Plasenta previa anterior pada bekas luka persalinan sesar dan derajat plasenta previa akreta: kreta dimana vili melekat ke miometrium tanpa melibatkan jaringan desidua (D); inkreta dimana vili menginvasi miometrium; dan perkreta dimana vili menginvasi seluruh lapisan miometrium hingga ke serosa uterus(3).



Gambar 3. Plasenta previa akreta serta kelainan perlekatan dan invasi plasenta ke dinding uterus(3).



13



F. Gejala Klinis dan Diagnosis 1. Anamnesis Kebanyakan pasien dengan plasenta akreta tidak menunjukkan gejala. Gejala yang berhubungan dengan plasenta akreta biasanya berupa perdarahan vaginal dan kram. Spektrum plasenta akreta harus dicurigai pada wanita yang memiliki plasenta previa bilateral, terutama anterior, dan riwayat persalinan sesar atau operasi uterus lainnya. Meskipun jarang, kasus dengan nyeri akut abdomen dan hipotensi karena syok hipovolemik dari ruptur uteri sekunder bisa karena plasenta perkreta. Skenario kritis ini dapat terjadi setiap saat selama kehamilan dari trimester pertama hingga kehamilan aterm dengan tidak adanya tandatanda persalinan. Faktor terpenting yang mempengaruhi hasil adalah diagnosis prenatal untuk kondisi ini. Ini memberikan kesempatan untuk membuat rencana pengiriman yang mengantisipasi dengan tepat kehilangan darah yang diperkirakan dan potensi komplikasi pengiriman lainnya. Selain itu, hal ini memberikan kesempatan untuk menentukan waktu prosedur secara elektif karena pencegahan komplikasi idealnya memerlukan kehadiran tim bedah multidisiplin. Tanda-tanda dari plasenta akreta dapat dilihat secara dini sejak pada trimester pertama. 2. Ultrasonografi (USG) Comstock secara retrospektif meninjau pemeriksaan ultrasonografi yang dilakukan hingga 10 minggu kehamilan pada wanita yang kemudian terbukti memiliki plasenta akreta pada pemeriksaan patologis. Semua memiliki kantung kehamilan rendah yang jelas melekat pada bekas luka uterus. Miometrium tipis di area bekas luka tempat kantung tersebut melekat dibandingkan dengan kantung kehamilan awal normal.(1) Spektrum plasenta akreta pada trimester pertama dan kedua biasanya memberikan gejala perdarahan disertai dengan



14



plasenta previa. Perdarahan tersebut membutuhkan evaluasi dan penanganan yang tepat. Pada wanita yang tidak disertai previa, akreta biasanya sulit diidentifikasi hingga kala ketiga persalinan, yaitu ketika ditemukan plasenta yang sulit dilepaskan(1). Ultrasonografi transvaginal dan transabdominal merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk diagnosis plasenta akreta. Ultrasound transvaginal aman untuk pasien dengan plasenta previa dan memudahkan pemeriksaan yang lebih lengkap pada segmen bawah rahim. Perlekatan plasenta normal biasanya terlihat sebagai hipoechoic yang terletak di antara plasenta dan kandung kemih. Gambaran plasenta akreta pada pemeriksaan ultrasonografi seperti lakuna plasenta dengan bentuk ireguler dalam plasenta, miometrium yang tipis, hilangnya ruang kosong di retroplasenta, protrusi plasenta ke kandung kemih, peningkatan vaskularisasi pada serosa uterus hingga ke permukaan kandung kemih, dan aliran darah turbulen yang melewati lakuna yang terlihat pada ultrasonografi Doppler. Adanya lakuna dalam plasenta dengan jumlah yang meningkat pada usia gestasi 15-20 minggu merupakan tanda dari plasenta akreta, dengan sensitivitas 79% dan nilai prediksi positif sebesar 92%. Lakuna ini akan memberikan gambaran “moth-eaten” atau “Swiss cheese” pada plasenta(4). Meskipun nilai prediktif USG trimester pertama untuk diagnosis ini masih belum diketahui, karena sebagian besar laporan didasarkan pada laporan kasus yang masih terisolasi, wanita dengan tanda-tanda akreta pada trimester pertama harus menjalani radiologi lanjutan pada trimester kedua dan ketiga dengan perhatian. untuk potensi keberadaan plasenta akreta(1). 1) Diagnosis pada trimester I Ditemukan pada usia kehamilan 7 minggu dan paling sering pada pasien yang pernah mengalami riwayat pembedahan uterus. Adanya implantasi yang rendah



15



dari kantung gestasi pada uterus terutama pada pasien dengan riwayat pembedahan pada uterus menunjukkan adanya kemungkinan suatu plasenta akreta.



Gambar 4. Implantasi dari kantung gestasi normal(1)



Gambar 5. Implantasi dari kantung gestasi pada segmen bawah(1)



Beberapa ruang pembuluh darah yang tidak teratur pada placental bed pada trimester pertama berkorelasi dengan plasenta akreta. Implantasi GS pada parut bekas luka sesar merupakan temuan yang penting.



16



Gambar 6. Segmen bawah Rahim dengan implantasi kantung kehamilan pada luka bekas operasi sesar. Terdapat ruang vaskularisasi ireguler yang muultipel pada plasenta yang ditunjukkan oleh panah.(1) Meskipun ada laporan kasus plasenta akreta yang didiagnosis pada trimester pertama atau pada saat abortus usia kehamilan < 20 minggu, nilai prediktif trimester pertama USG untuk diagnosis ini masih belum diketahui. USG pada trimester pertama tidak boleh digunakan secara rutin untuk menegakkan diagnosis plasenta akreta 2) Diagnosis pada trimester II dan trimester III Parameter-parameter USG yang dilihat pada trimester kedua untuk mendeteksi adanya plasenta akreta meliputi lokasi dari plasenta, hilangnya zona retroplasenta, hubungan antara vesika urinaria dan uterus yang tipis dan iregular, mengukur ketebalan dari lapisan miometrium, adanya pulau-pulau lakuna di dalam plasenta, adanya pembuluh darah yang menyeberang dari plasenta ke vesika urinaria yang nampak dengan menggunakan color Doppler.



17



Gambar 7. Garis Echolucent yang merupakan desidua basalis dengan pembuluh darah yang meluas ke seluruh bagian tepi plasenta. Tanda panah ditengah menunjukkan daerah dari invasi plasenta. kedua panah lainnya menunjukkan ruang retroplacental normal.(18)



Gambar 8. Tanda panah menunjukkan gambaran dot and dash pada uteruskandung kemih. Ketidakteraturan ini disebabkan oleh pembuluh darah abnormal yang menyeberang (bridging vessels) yang dilihat dengan Doppler velocimetry.(18)



18



Gambar 9. Penipisan miometrium akibat penipisan uterus pada defek bekas luka. A, ultrasound longitudinal transabdominal menunjukan plasenta (P) previa pada usia gestasi 36 minggu dengan defek miometrium (panah) di bawah kandung kemih (B). Tidak ada ruang kosong dan miometrium pada daerah tersebut. B. temuan pada pembedahan menunjukan “jendela uterus” (panah)(3).



Gambar 10. Ultrasound longitudinal transabdominal menunjukan plasenta (P) previa akreta pada usia gestasi 36 minggu. A, daerah “moth-eaten” disertai lakuna dengan berbagai ukuran dan bentuk yang berbeda; dan B, aliran darah turbulen dengan kecepatan yang tinggi dalam lakuna di samping kandung kemih (B) dengan menggunakan Doppler.



19



Gambar 11. Tampakan ultrasonik transvaginal dari plasenta previa inkreta pada kehamilan 20 minggu. Tampak “Moth-eaten” dari plasenta dengan banyak lakuna dari berbagai ukuran dan bentuk sekunder (panah); dan B, highvelocity, aliran darah turbulen dalam lakuna pada USG Doppler warna. Tabel 1. Temuan USG yang menunjukkan adanya plasenta akreta(18) Hilangnya zona 1 retroplasenta hipoekhoik normal Lakuna dengan 2 vaskularisasi multipel (ruang vascular ireguler) di plasenta, memberikan gambaran “keju Swiss” Pembuluh 3darah atau jembatan jaringan plasenta-tepi plasenta, gambaran myometrium-kandung kemih atau serosa uterus menyilang Ketebalan myometrium 4 retroplasenta < 1 mm Gambaran pembuluh 5 koheren yang beragam dengan Doppler 3D di basal



20



3) Magnetic Resonance Imaging (MRI) Jika temuan USG tidak dianggap definitif, atau plasenta terletak di bagianposterior, pencitraan magnetic resonance imaging (MRI) dapat dilakukan menggunakan kontras gadolinium secara intravena. Temuan pencitraan resonansi magnetik yang dianggap mencurigakan untuk keberadaan plasenta akreta termasuk heterogenitas plasenta, efek massa plasenta yang invasive ke dalam kandung kemih atau meluas ke lateral atau posterior di luar kontur uterus normal, hilangnya zona miometrium yang terlihat pada pengambilan awal gadolinium, dan terdapat nodul dalam plasenta(1). Pemeriksaan dengan MRI membutuhkan biaya yang lebih besar dan pengalaman ahli untuk menilai invasi plasenta yang abnormal. Pemeriksaan ini dianggap sebagai pemeriksaan tambahan untuk diagnosis plasenta akreta. Tetapi, pemeriksaan tambahan dibutuhkan jika adanya temuan yang tidak pasti pada pemeriksaan ultrasound atau adanya kecurigaan plasenta akreta posterior, dengan atau tanpa plasenta previa. MRI dapat menunjukan gambaran anatomi dari invasi serta anastomosis sistem pembuluh darah plasenta. Penggunaan kontras gadolinium pada MRI dapat menunjukan secara jelas permukaan plasenta bagian luar yang berhubungan dengan miometrium. Tetapi penggunaan kontras ini masih belum jelas karena adanya risiko kemungkinan efeknya pada fetus karena kontras tersebut dapat menembus plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi fetus(4). 4) Pemeriksaan Laboratorium Selain metode radiologi, peningkatan penanda biokimiawi dalam serum ibu seperti peningkatan kadar alfa fetoprotein dan human chorionic gonadotropin dalam triple screening test telah dilaporkan dikaitkan dengan peningkatan risiko plasenta akreta. Meskipun mekanismenya tidak jelas,



21



kelainan plasenta-uterus yang dapat menyebabkan kebocoran ke sirkulasi ibu dapat menjelaskan peningkatan ini. Pada saat ini tidak ada teknik diagnostik antenatal yang memberi dokter jaminan 100% untuk memutuskan atau menolak keberadaan plasenta akreta. 5) Patologi Anatomi Diagnosis definitif plasenta akreta biasanya dibuat postpartum pada spesimen histerektomi (Gambar 12) ketika area akresi menunjukkan vili korionik dalam kontak langsung dengan miometrium dan tidak adanya desidua.(1)



Gambar 12. Tampakan mikroskopis alas plasenta dari spesimen histerektomi pada kehamilan 34 minggu dengan komplikasi plasenta previa inkreta (hematoxylin-eosin stain 4) menunjukkan gangguan desidua (D) oleh vili plasenta (PV) dan miometrium sangat tipis (M).



6) Penilaian Terjadinya Plasenta Akreta dengan Placenta Accreta Index (PAI)



Sebuah studi kohort retrospektif dari 184 wanita dengan satu atau lebih kelahiran sesar sebelumnya dan diagnosis USG dengan plasenta previa atau



22



plasenta letak rendah menggunakan regresi logistik linier dan analisis multiparametrik untuk menghasilkan persamaan prediksi. Analisis dilakukan dengan menggunakan kurva receiver operating characteristic (ROC), yang menunjukkan bahwa kombinasi dari ketebalan miometrium sagital terkecil, lakuna intraplasental, dan pembuluh darah terhubung, di samping jumlah kelahiran sesar sebelumnya dan lokasi plasenta, menghasilkan area di bawah kurva 0,87 (95% CI 0,80-0,95). Kombinasi parameter yang memberikan area terbesar di bawah kurva digunakan untuk menghasilkan persamaan prediktif, yang diistilahkan dengan “Placenta Accreta Index” (PAI). Setiap parameter kemudian diberi nilai berdasarkan koefisien dari estimasi persamaan regresi untuk memberikan skor PAI dari 0-9, dengan plasenta yang mengalami adesi lebih mungkin pada skor indeks yang lebih tinggi.14,15 Nilai pada masing-masing parameter sonografi yang digunakan dalam indeks ini ditunjukkan pada Tabel 2. Probabilitas invasi sesuai dengan nilainilai tersebut termasuk sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif (PPV), dan nilai prediksi negatif (NPV) untuk setiap nilai indeks disajikan pada Tabel 3. Dari tabel tersebut, dapat dihitung skor dari indeks plasenta akreta dengan menjumlahkan masing-masing parameter yang ditemui, dengan nilai maksimal 9. Seperti terlihat pada tabel tersebut bahwa kemungkinan invasi akan meningkat seiring dengan meningkatnya skor IPA, dimana skor > 8 meningkatkan kemungkinan invasi plasenta hingga 96%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi skor IPA, maka akan semakin tinggi juga kemungkinan terjadi plasenta akreta.(14,15)



23



Tabel 2. Nilai setiap parameter ditambahkan bersama-sama untuk menghasilkan skor Placenta Accreta Index14,15 Parameter Operasi sesar > 2



Nilai 3.0



Lakuna Grade 3



3.5



Grade 2



1.0



Letak sagittal terkecil dari ketebalan myometrium < 1 mm



1.0



1-3 mm



0.5



3-5 mm



0.25



Plasenta previa anterior



1.0



Bridging vessel



0.5



Jika parameter tidak ada, maka nilainya adalah 0. PPV menggambarkan nilai prediksi skor indeks dibandingkan dengan kemungkinan invasi, yang didasarkan pada karakteristik individu pasien berasal dari populasi. Dengan menambahkan variabel USG untuk karakteristik pasien pada pengamatan yang berasal dari populasi berisiko tinggi, IPA dapat menetapkan probabilitas invasi dinilai untuk evaluasi setiap pasien.(14,15) 24



Tabel 3. Sensitivitas, spesifisitas, dan nilai-nilai prediksi positif dan negatif pada setiap skor IPA pada penelitian Rac dkk.(14,15) IPA



N Probabilitas invasi,%



Sensitifitas (95% CI)



Spesifisitas (95% CI)



PPV



NPV



(95% CI) (95% CI) (95% CI) >0



1



5 (1-15)



100 (88-100)



19 (10-31)



38 (27-49)



100 (72100)



>1



1



10 (4-22)



97 (82-100)



47 (34-61)



47 (34-61)



97 (82100)



>2



2



19 (10-32)



93 (77-99)



58 (44-70)



52 (38-66)



94 (81-99)



>3



4



33 (22-47)



86 (68-96)



68 (54-79)



57 (41-72)



91 (78-97)



>4



6



51 (36-66)



72 (53-87)



85 (73-93)



70 (51-85)



86 (75-94)



>5



6



69 (50-83)



52 (33-71)



92 (81-97)



75 (51-91)



79 (68-88)



>6



2



83 (63-93)



31 (15-51)



100 (94-100)



100 (66100)



75 (64-84)



>7



2



91 (73-97)



24 (10-44)



100 (94-100)



100 (59100)



73 (62-82)



>8



5



96 (81-99)



17 (6-36)



100 (94-100)



100 (48100)



71(61-81)



G. Penatalaksanaan 1. Konservatif(5) Penanganan konservatif pada kelainan adhesi (plasenta kreta) dan invasif plasenta (plasenta inkreta dan perkreta) merupakan semua prosedur yang 25



bertujuan untuk mencegah histerektomi peripartum serta morbiditas dan komplikasi yang dapat terjadi. Lima penanganan konservatif yang digunakan: (1) teknik ekstirpasi (manual plasenta); (2) meninggalkan plasenta in situ; (3) pembedahan konservatif dengan satu langkah (mengangkat daerah akreta); dan (4) prosedur Triple-P (jahit sekitar daerah akreta setelah reseksi); dan (5) jahitan kompresi uterus. Metode ini digunakan secara tunggal atau dikombinasikan, dan pada beberapa kasus disertai dengan prosedur tambahan seperti intervensi radiologi. 1. Teknik ekstirpasi(5) Prosedur ini dilakukan dengan mengeluarkan plasenta secara manual untuk mengosongkan uterus pada persalinan. Tujuan dari prosedur ini untuk mencegah adanya sisa jaringan plasenta dalam kavitas uterus, dan prosedur ini merupakan salah satu langkah untuk menangani perdarahan pasca persalinan. Tetapi pada kasus plasenta akreta, prosedur ini dapat menyebabkan perdarahan masif. Perdarahan akan berkurang lebih dari 50%, serta kebutuhan akan transfusi darah akan berkurang jika daerah akreta tidak ‘dikacaukan’. Sebuah penelitian retrospektif yang membandingkan dua periode tatalaksana plasenta akreta menemukan bahwa kebutuhan transfusi sel darah merah, kejadian disseminated intravascular coagulation (DIC), histerektomi, dan infeksi sekunder akan berkurang ketika plasenta ditinggalkan in situ dibandingkan dengan dilakukannya manual plasenta. Sebagian besar ahli menyatakan bahwa manual plasenta harus dihindari pada pasien dengan plasenta akreta. 2. Teknik “meninggalkan plasenta in situ” (5) Teknik ini dilakukan dengan meninggalkan plasenta in situ dan menunggu hingga resorpsi spontan plasenta komplit. Teknik ini didasari pada beberapa konsep klinis, yaitu:



26



 Cesarean hysterectomy merupakan penanganan baku emas untuk akreta invasif tetapi memiliki angka morbiditas yang cukup tinggi (40-50%), dan pada kasus plasenta perkreta dapat meningkatkan mortalitas hingga 7% dengan risiko kerusakan organ pelvis dan pembuluh darah.  Metode ekstirpasi dapat meningkatkan morbiditas maternal karena teknik ini dapat menyebabkan sisa jaringan plasenta tertinggal dalam miometrium yang berhubungan dengan pembuluh darah besar sehingga dapat menyebabkan perdarahan masih yang sulit terkontrol. Dengan meninggalkan plasenta akreta in situ setelah melahirkan fetus, diharapkan sirkulasi darah dalam uterus, parametrium, dan plasenta akan menurun. Hal ini akan menyebabkan nekrosis pada jaringan vili dan secara teori plasenta akan terlepas dari uterus serta vili perkreta akan terlepas dari organ pelvis sekitar. Jika plasenta akreta terdiagnosis pada masa prenatal, posisi plasenta perlu dinilai dengan menggunakan ultrasound preoperatif dan perlengkapan untuk histerektomi emergensi harus tersedia di ruang operasi. Insisi kulit transversal pada bagian bawah memudahkan akses ke setengah uterus bagian bawah jika batas anterior plasenta tidak dapat dicapai dari segmen atas uterus. Jika plasenta terletak di anterior dan berjalan hingga setinggi pusat, insisi kulit pada garis tengah tubuh dapat dilakukan untuk memudahkan insisi uterus segmen atas secara transversal di atas tepi dari plasenta. Membuka uterus harus dilakukan dengan insisi transversal dan jauh dari tempat implantasi plasenta. Setelah melahirkan fetus, dan jika tidak ada bukti adanya plasenta perkreta (jaringan plasenta terlihat menginvasi permukaan uterus), operator dapat mengeluarkan plasenta secara hati-hati dengan traksi tali pusat terkontrol serta dengan pemberian uterotonika. Jika prosedur ini gagal dilakukan, maka diagnosis plasenta akreta dapat dipikirkan, dan pada kasus ini tali pusat harus



27



dipotong dekat dengan insersi plasenta dan kavitas uterus harus ditutup. Pemberian antibiotik pasca pemebdahan dapat diberikan sebagai profilaksis untuk meminimalkan risiko infeksi. 1) Prosedur tambahan Prosedur tambahan (seperti ligasi atau embolisasi pembuluh darah, oklusi balon arteri iliaka interna sementara, metotreksat, reseksi histeroskopik jaringan sisa) telah digunakan pada pendekatan konservatif dengan plasenta in situ untuk mengurangi morbiditas atau mempercepat resorpsi plasenta. a) Mengeluarkan plasenta secara hati-hati Pada kasus dengan diagnosis positif palsu pada masa prenatal dan tidak ada bukti adanya plasenta akreta pada saat pembedahan sesar, plasenta dapat dilepaskan secara hati-hati. Pada kasus plasenta akreta dengan ukuran kecil pada dinding uterus, pelepasan plasenta “nonakreta” dapat dilakukan untuk mengurangi jaringan vili yang tertinggal in situ. Tetapi, jika plasenta mengalami perlengketan (akreta), prosedur ini dapat meningkatkan risiko perdarahan masif dan membutuhkan histerektomi emergensi. b) Terapi ajuvan metotreksat Beberapa peneliti mengusulkan pemberian metotreksat untuk mempercepat resolusi plasenta. Observasi kasus yang dilakukan pada 24 wanita dengan spektrum plasenta akreta menjalani prosedur plasenta in situ dengan pemberian metotreksat. Penelitian ini melaporkan kelahiran plasenta pada 33.3% kasus (55% secara spontan dan 45% dengan dilatasi dan kuretase). Rendahnya laju turnover sel trofoblast pada kehamilan lanjut dibandingkan pada awal kehamilan menunjukan rendahnya efektivitas metotreksat pada kehamilan lanjut. Selain itu, metotreksat dapat menyebabkan neutropenia atau aplasia medular dan hal ini telah dilaporkan setelah pemberian dosis tunggal 28



untuk penanganan kehamilan ektopik. Tong, dkk memelopori metode konservatif dengan memberikan metotreksat sistemik. Hasilnya sangat bervariasi mulai dari 7 hari hingga proses penyerapan dalam waktu sekitar 6 bulan. Telah dihipotesiskan bahwa tindakan metotreksat dengan menginduksi nekrosis plasenta dan mempercepat involusi plasenta yang lebih cepat. Ini bertentangan dengan keyakinan bahwa metotreksat bekerja pada sel-sel yang membelah dengan cepat, mengingat bahwa proliferasi trofoblas gagal terjadi pada saat aterm. Ada kurangnya konsensus mengenai dosis, frekuensi, atau rute optimal. Kurangnya consensus yang membahas mengenai dosis, frekuensi, atau rute pemberian yang optimal. Pada sebuah laporan studi, pasien diberikan dalam dosis 1 mg / kg berat badan pada hari 1, 3, 5 dan 7 dan tindak lanjut untuk memastikan resolusi jaringan plasenta dilakukan dengan kombinasi penilaian klinis, pemeriksaan USG dan serum β -HCG assay(13). c) Devaskularisasi uterus secara radiologi atau pembedahan sebagai tindakan preventif Devaskularisasi preventif dapat dilakukan dengan pembedahan atau dengan prosedur radiologi intervensi. Tindakan ini juga dapat digunakan untuk menangani perdarahan berat pasca persalinan, devaskularisasi pembedahan pada uterus, ligasi arteri hipogastrik atau arteri uterina bilateral, embolisasi arteri iliaka, atau oklusi dengan balon. Embolisasi sebelum dilakukan histerektomi dapat menurunkan risiko perdarahan intraoperatif dan devaskularisasi profilaksis dapat mencegah terjadinya perdarahan sekunder serta dapat mempercepat resorpsi plasenta. Tetapi tindakan ajuvan ini kurang efektif pada spektrum plasenta akreta.



29



d) Reseksi histeroskopik sisa jaringan akreta Pada sebuah seri kasus yang melibatkan 23 wanita dengan spektrum plasenta akreta yang menjalani plasenta in situ, 12 histeroskopik dilakukan dengan bantuan ultrasound. Penggunaan energi bipolar dibatasi untuk mencegah kemungkinan perforasi uterus. Median ukuran sisa plasenta sekitar 54 mm (13-110 mm). Tidak ada komplikasi yang terjadi dari prosedur ini. Hal ini menunjukan reseksi histeroskopik dapat mempercepat waktu pemulihat tanpa efek samping. High-intensity focused ultrasound (HIFU) merupakan teknik ultrasound heat yang digunakan untuk menangani kanker prostat. HIFU telah digunakan untuk penanganan spektrum plasenta akreta setelah persalinan pervaginam, tetapi keamanan dan efektivitas prosedur ini perlu diuji dengan penelitian yang lebih besar.



3. Pembedahan konservatif satu langkah Prosedur pembedahan ini dilakukan dengan reseksi daerah akreta invasif (reseksi miometrium parsial) dilanjutkan dengan rekonstruksi uterus dan penguatan kandung kemih. Strategi ini bertujuan untuk menggabungkan keuntungan dari prosedur “meninggalkan plasenta in situ” dan cesarean hysterectomy dengan risiko perdarahan atau infeksi yang minimal. Pembedahan pada uterus dapat dilakukan dengan insisi pada garis tengah atau insisi modifikasi Pfannenstiel. Langkah pembedahan konservatif satu langkah untuk spekturm plasenta akret.  Hubungan pembuluh darah dihentikan dari pembuluh darah besar dan pemisahan jaringan uterus dari jaringan kandung kemih.  Histerotomi pada segmen atas dan lahirkan fetus.



30



 Reseksi semua jaringan miometrium yang terinvasi dan seluruh plasenta dalam satu potongan, kontrol perdarahan lokal sebelum tindakan.  Jamin hemostasis.  Rekonstruksi miometrium.  Perbaikan pada kandung kemih jika perlu. Hemostasis dilakukan dengan ligasi retrovesika pada pembuluh darah vesikouterina dan jahitan oklusi pada pembuluh darah kolpouterina yang terletak di hubungan antara serviks-vagina. Devaskularisasi selektif dilakukan pada pembuluh darah yang memberikan suplai untuk daerah yang terinvasi (pedikel subperitoneal pelvis). Prosedur ini secara umum kurang efektif dibandingkan dengan penanganan konservatif lain karena hemostasis yang efisien bergantung pada operator. Mengangkat daerah yang terinvasi oleh jaringan plasenta dan rekonstruksi uterus menggunakan jaringan miometrium sekitar yang sehat dapat mencegah kekambuhan pada kehamilan selanjutnya.



4. Prosedur Triple-P Prosedur Triple-P merupakan prosedur baru yang digunakan untuk menangani spektrum plasenta akreta. Tujuan dari prosedur ini untuk mencegah insisi yang melalui sinus vena plasenta, dan untuk melakukan eksisi pada miometrium dengan jaringan plasenta akreta dan untuk memperbaiki kerusakan pada uterus. Langkah pertama pada prosedur ini yaitu: (1) lokalisasi tepi superior plasenta dengan menggunakan ultrasound plasenta perioperatif; (2) devaskularisasi pelvis dengan menggunakan kateter balon intraarteri preoperatif (pada bagian anterior arteri iliaka interna); dan (3) usaha untuk mengeluarkan seluruh plasenta dengan eksisi miometrium yang besar dan perbaikan uterus tidak



31



dilakukan. Jika dinding posterior kandung kemih terlibat, maka jaringan plasenta yang menginvasi kandung kemih ditinggalkan in situ untuk mencegah sistotomi.



5. Jahitan Kompresi Uterus Pada tahun 1997, B-Lynch et al. memperkenalkan jahitan kompresi uterus B-Lynch. Sejak itu, berbagai jahitan kompresi uterus telah dijelaskan, dengan nama penemu yang digunakan, seperti Hayman, Cho, Pereira, Ouahba atau jahitan Hackethal. Sebuah penelitian juga menemukan jahitan kompresi uterus yang terbaru yaitu jahitan Matsubara-Yano (MY). Jahitan kompresi ini membutuhkan laparotomi tetapi dianggap tidak invasif seperti prosedur bedah yang disebutkan di atas. Sejauh ini belum ada percobaan terkontrol acak (RCT), atau bahkan percobaan terkontrol, pada kemanjuran, komplikasi, dan hasil kehamilan di masa depan tentang penggunaan masing-masing teknik jahitan kompresi uterus diatas. a. Jahitan B-lynch(9,10,12) Prosedur B-Lynch pertama yang bertujuan untuk mengontrol perdarahan melalui kompresi uterus, dilakukan pada tahun 1989 pada perdarahan postpartum parah pada pasien yang menolak histerektomi. Prosedur penurunan perfusi termasuk prosedur nonsurgical dan bedah. Prosedur BLynch merupakan prosedur yang melibatkan penggunaan jahitan kompresi uterus. Langkah dari prosedur ini yaitu: (1) pasien dengan anestesi umum dikateterisasi dan ditempatkan di posisi Lloyd Davies; (2) Insisi Pfannenstiel dengan ukuran yang sesuai atau jika pasien telah menjalani operasi sesar yang diikuti perdarahan, insisi yang sama dibuka kembali; (3) rongga uterus dievakuasi, diperiksa, dan diusap; (4) uterus luar diperiksa ulang untuk mengidentifikasi titik perdarahan. Jika perdarahan menyebar seperti dalam kasus atonia uteri atau koagulopati, perdarahan plasenta yang banyak, 32



plasenta akreta atau inkreta di mana tidak ada titik perdarahan yang jelas diamati maka kompresi bimanual pertama kali dicoba untuk menilai potensi peluang keberhasilan teknik penjahitan B-Lynch. Vagina diambil untuk memastikan kontrol perdarahan yang memadai; (5) Jika perdarahan vagina dikontrol, untuk ahli bedah tangan kiri atau ahli bedah yang memilih untuk berdiri di sisi kiri pasien, prosedurnya adalah sebagai berikut: 1. jarum bulat 70 mm di mana jahitan catgut No. 2 chromic dipasang dan digunakan untuk menusuk rahim 3 cm dari tepi kanan bawah insisi uterus dan 3 cm dari perbatasan lateral kanan. 2. catgut chromic No. 2 yang dipasang diulir melalui rongga rahim untuk muncul di margin insisi atas 3 cm di atas dan sekitar 4 cm dari perbatasan lateral (karena uterus melebar dari bawah ke atas). 3. catgut chromic yang sekarang terlihat dilewatkan untuk mengompres fundus uterus sekitar 34 cm dari batas cornual kanan. 4. catgut diumpan ke arah posterior dan vertikal untuk memasuki dinding posterior rongga rahim pada tingkat yang sama dengan titik masuk anterior atas. 5. catgut chromic ditarik di bawah tekanan sedang dibantu oleh kompresi manual yang diberikan oleh asisten pertama. Panjang catgut dilewatkan kembali ke posterior melalui permukaan yang sama untuk sisi kanan, jahitan berbaring secara horizontal. 6. catgut diumpankan melalui posterior dan vertikal di atas fundus untuk berbaring di depan dan secara vertikal menekan fundus di sisi kiri seperti yang terjadi di kanan. Jarum dilewatkan dengan cara yang sama di sisi kiri melalui rongga rahim dan keluar sekitar 3 cm di bagian depan dan di bawah margin insisi yang lebih rendah di sisi kiri; (6) dua panjang catgut ditarik diajarkan dibantu oleh kompresi bimanual untuk meminimalkan trauma dan untuk mencapai atau membantu kompresi. Selama kompresi tersebut, vagina diperiksa apakah perdarahannya terkontrol; (7) ketika hemostasis yang baik diamankan dan sementara uterus dikompres oleh asisten yang berpengalaman, ahli bedah utama melempar simpul (lemparan ganda) diikuti oleh dua atau tiga 33



lemparan selanjutnya untuk mengamankan ketegangan; (8) Insisi uterus transversal bawah sekarang ditutup dengan cara normal, dalam dua lapisan, dengan atau tanpa penutupan peritoneum segmen uterus bawah; (9) Untuk plasenta previa mayor, kami menyarankan agar angka delapan jahitan independen diletakkan di awal anterior atau posterior atau keduanya sebelum penerapan teknik penjahitan B-Lynch seperti dijelaskan di atas jika perlu. Penanganan dengan prosedur B-Lynch saja dilaporkan memiliki kegagalan 2-9% sehingga pada sebuah tudi disarankan dikombinasi dengan ligase arteri uterina memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik.



Gambar 13. Gambar 1. Bagian (a) dan (b) menunjukkan tampakan uterus dan posterior uterus yang menunjukkan aplikasi jahitan B-Lynch Brace. Bagian (c) menunjukkan penampilan anatomi setelah aplikasi yang kompeten. (Ilustrasi oleh Mr Philip Wilson FMAA, AIMI, berdasarkan rekaman video operasi penulis.)



34



b.



Ligasi Arteri Uterina Bilateral(9,11) Prosedur penurunan perfusi termasuk prosedur nonsurgical dan bedah. Sebelumnya, embolisasi arteri uterin digunakan, sedangkan pendekatan bedah melibatkan ligasi arteri uterina bilateral dan prosedur ligasi arteri hipogastrik bilateral. Ligasi arteri uterina bilateral adalah penutupan bersifat sementara yang secara signifikan mengurangi aliran sistem arteri. Rekanalisasi pembuluh terjadi, menghasilkan aliran darah yang sebelumnya mempertahankan fungsi fertilitas. Ligasi arteri uterina disukai dalam 92% kasus, dengan tingkat komplikasi sekitar 1%. Sebuah studi tindak lanjut (O'Leary) mempresentasikan 90 pasien dari ligasi arteri uterina, termasuk 84 kinerja yang berhasil menghindari histerektomi. Dalam laporan lain, 14 pasien menjalani ligasi arteri uterina bilateral untuk mengontrol perdarahan postpartum. Dalam beberapa kasus, ahli bedah mengangkat bagian-bagian plasenta yang secara spontan terpisah dari rahim, tanpa pemisahan aktif. Menggunakan eksisi yang tidak banyak, ahli bedah mencapai pengurangan massa plasenta.



Gambar 14. Ligasi O’Leary



35



c. Jahitan Hayman (Penjepit Sederhana)(12) Hayman et al. melaporkan jahitan baru, yang digunakan pada tiga pasien, masing-masing menerima jahitan yang sedikit berbeda. Menurut Hayman et al., jahitan B-Lynch memiliki dua kelemahan: (i) memerlukan histerotomi; dan (ii) sulit untuk diingat dalam keadaan darurat. Dalam jahitan Hayman, jarum mencakup seluruh ketebalan kedua dinding rahim pada tingkat segmen uterus yang lebih rendah, dengan benang dilewatkan untuk menekan fundus, dan benang diikat pada fundus. Hal yang sama dilakukan di sisi yang berlawanan. Jika perdarahan dari segmen uterus bagian bawah terjadi secara bersamaan, dua jahitan serviks transversal harus dibuat, membuat transiks baik dinding ismik serviks anterior dan posterior. Hayman et al. membuat pengamatan penting dalam kasus ketiga mereka. Meskipun wanita itu awalnya menerima jahitan B-Lynch, “jahitan (B-Lynch) memiliki risiko tergelincir keluar dari fundus uterus, seperti kawat gigi dari seorang pria berbahu bundar.” Karena itu mereka menambahkan empat jahitan vertikal yang saling menempel. Laporan asli oleh Hayman et al. mendeskripsikan beberapa teknik, masing-masing sedikit berbeda dari yang lain, tetapi prosedur dasar sekarang dianggap sebagai jahitan kompresi uterus menggunakan dua benang longitudinal dan mencampurkan seluruh dinding uterus. Jahitan ini lebih sederhana daripada jahitan B-Lynch, kadang-kadang disebut sebagai "penjepit sederhana."



36



Gambar 15. Jahitan Hayman (Penjepit Sederhana) d. Jahitan Cho (Beberapa Jahitan Persegi)(12) Sebuah jarum memfikasi uterus dari anterior ke posterior (titik a) dan kemudian dari posterior ke anterior (titik b). Hal yang sama dilakukan (titik c dan d) untuk mendekati dinding rahim anterior dan posterior dengan cara "persegi". Dalam keadaan atoni uteri, empat hingga lima jahitan persegi harus dibuat. Jika titik perdarahan jelas, penjahitan harus dilakukan untuk mengompres tempat perdarahan. Cho et al. melakukan jahitan ini untuk 23 wanita, semuanya mencapai hemostasis dan melanjutkan aliran menstruasi yang normal. Dari 10 wanita yang menginginkan kehamilan berikutnya, empat melahirkan bayi dalam satu tahun setelah prosedur ini. Menurut Cho et al., kompresi jahitan Cho lebih ketat dan tekniknya lebih mudah daripada jahitan B-Lynch. Cho et al. menyatakan, "tujuan dari teknik ini adalah untuk memperkirakan dinding uterus sampai tidak ada ruang yang tersisa di rongga uterus." Meskipun tidak ada data pasti yang tersedia, komplikasi yang mungkin disebabkan oleh kompresi "ketat" ini tampaknya sering dilaporkan.



37



Gambar 16. Jahitan Cho. Huruf a-d menunjukkan titik di mana jarum mentransfiksasi seluruh dinding uterus.



e. Jahitan Pereira (Jahitan Multipel Transversal dan Longitudinal yang Tidak Menembus Banyak)(12) Jahitan melintang terendah di sisi dorsal (titik a). Permukaan uterus diambil secara longitudinal di sekitar fundus uterus dan diselesaikan pada sisi ventral menggunakan simpul lain (titik b). Dua atau tiga jahitan longitudinal harus dibuat. Pereira et al. melakukan jahitan ini untuk tujuh wanita dengan perdarahan postpartum, semuanya mencapai hemostasis yang stabil. Mereka menyatakan bahwa: (1) kurangnya penetrasi dapat mengurangi kemungkinan infeksi, (2) banyak jahitan dapat menekan rahim "lebih merata," (3) jahitan kecil dapat mencegah organ sekitarnya masuk antara uterus dan jahitan dan dengan demikian dapat mengurangi kemungkinan kompresi mereka. Meskipun Pereira et al. tidak menyebutkan berapa lama jahitan ini diperlukan, kemungkinan diperlukan waktu lebih lama daripada yang dijelaskan di atas. Jahitan ini belum banyak digunakan. f. Jahitan Ouahba (Empat Jahitan Transversal)(12) Transfikasi uterus oleh empat jahitan yang menembus. Dua jahitan transversal harus dibuat, satu di segmen bawah uterus (a) dan yang lain di tengah-tengah corpus uterus (b). Kemudian, jahitan transfiksing 38



harus dibuat 2-3 cm medial ke ujung uterus (c dan d). Prosedur ini dilakukan pada 20 wanita dengan perdarahan postpartum, 19 di antaranya mencapai hemostasis. Dari 19 ini, delapan wanita berharap untuk kehamilan dan enam kemudian menjadi hamil, semua memiliki persalinan prematur. Ouahba et al. mengklaim bahwa jahitan ini, modifikasi dari jahitan Cho, lebih mudah dan kurang invasif daripada jahitan Cho. Jahitan ini belum banyak digunakan. g. Jahitan Hackethal (Beberapa Jahitan Transversal)(12) Sebanyak 6-16 jahitan transfiksasi transversal 2- ke 4-cm (jahitan U) dibuat. Hackethal et al. melakukan jahitan ini pada tujuh wanita dengan perdarahan postpartum, semuanya mencapai hemostasis dan tidak menunjukkan efek samping. Tidak ada pasien yang hamil pada saat pelaporan. Hackethal et al. mengklaim bahwa penjahitan "berganda" dapat memberikan jaminan jika salah satu penjahitan dilonggarkan. Karena kurangnya penelitian, prosedur ini belum dievaluasi secara memadai. h. Jahitan Makino-Takeda (Jahitan kompresi vertikal ganda)(12) Teknik ini digunakan untuk tiga wanita dengan atoni uteri setelah persalinan sesar untuk plasenta previa, semuanya mencapai hemostasis. Jarum mentransfiksasi situs serviks-ismus dari anterior ke posterior, dan kemudian posterior ke anterior, dengan benang diikat ke anterior. Hal yang sama dilakukan pada sisi yang berlawanan, menekan area serviks-ismus dengan dua jahitan vertikal. Kemudian, jahitan Hayman (dua jahitan kompresi vertikal untuk tubuh rahim) dilakukan. Sedangkan Hayman et al. juga melakukan jahitan transversum servikalismusik untuk mencapai hemostasis pada pasien dengan plasenta previa akreta, Makino et al. dilakukan secara vertikal, dan bukan transversal, jahitan serviks ismus. Jahitan vertikal dapat mencegah penutupan saluran serviks. "Ganda" berarti bahwa jahitan vertikal harus dilakukan 39



baik di segmen bawah (untuk previa) dan corpus uterus (untuk perdarahan atonik). Penentuan kemanjuran dan keamanan jahitan baru ini menunggu laporan lebih lanjut. i. Jahitan Matsubara-Yano (MY)(12) Jahitan B-Lynch mungkin memiliki beberapa kelemahan. Pertama, jahitan B-Lynch membutuhkan insisi uterus atau membuka kembali bekas luka operasi sesar. Jika jahitan B-Lynch diperlukan segera setelah melahirkan plasenta saat persalinan sesar, itu harus dilakukan sebelum menutup insisi operasi. Meskipun membuat insisi atau membuka kembali insisi dapat memberi kita kesempatan untuk mengkonfirmasi kondisi di dalam rongga uterus, prosedur ini invasif. Selain itu, dalam persalinan sesar, penutupan insisi biasanya meningkatkan kontraksi uterus dan oleh karena itu harus dilakukan sesegera mungkin. Jahitan B-Lynch menunda penutupan insisi. Kedua, jahitan longitudinal kadang-kadang “slide off,” seperti yang dijelaskan oleh Hayman et al. Sebaliknya, jahitan longitudinal dapat bermigrasi ke tengah fundus uterus, “slide in” dan tidak menyebabkan kompresi di bagian perifer. Kejadian "sliding in" ini diamati oleh Mondal et al. dengan jahitan Hayman tetapi tidak dengan jahitan B-Lynch; namun, karena “brace” adalah sama pada jahitan B-Lynch dan Hayman, “sliding in” mungkin juga merupakan kelemahan dari jahitan B-Lynch. Ketiga, jahitan B-Lynch yang diikat terlalu ketat dapat menyebabkan “uterin folding”: badan uterus dapat “bow” di depan, membuat kompresi tidak cukup. Keempat, jahitan longitudinal dapat mendorong fundus uterus dari cephalad ke arah caudal, mungkin mengakibatkan fundus uterus terbalik. Jahitan MY dapat mengatasi empat kelemahan dari jahitan B-Lynch ini. Jarum mentransfiksasi segmen bawah uterus dari anterior ke posterior dan kemudian transfiksasi tepi fundus uterus dari posterior ke 40



anterior, dengan benang diikat (jahitan longitudinal). Hal yang sama dilakukan tiga kali (awalnya) atau dua kali (baru-baru ini). Dua jahitan melintang dibuat seperti yang ditunjukkan. Yang penting, jahitan melintang menembus area "lateral" ke jahitan longitudinal. Mengambil fundus uterus dengan jahitan longitudinal dan penyebaran jahitan transversal secara lateral ke jahitan longitudinal mencegah jahitan longitudinal dari “sliding off,” “sliding in” , “bowing”, dan reinversi. Bekas luka operasi sesar tidak boleh dihilangkan atau harus ditutup sebelum membuat jahitan kompresi. Sebuah penelitian melakukan jahitan MY untuk delapan kasus perdarahan postpartum, semuanya mencapai hemostasis lengkap. Komplikasi jangka pendek tidak diamati. Meskipun tidak mengikuti semua wanita, dua kemudian menjadi hamil. Meskipun B-Lynch et al. mengklaim bahwa jahitan B-Lynch mudah dilakukan, prosedurnya tidak mudah bagi dokter yang tidak berpengalaman, mengingat situasi yang muncul membutuhkan jahitan kompresi. Hayman et al. menggambarkan kualifikasi yang sama. Jika seseorang mengingat prinsip “to compress the uterus,” jahitan MY lebih mudah dilakukan daripada jahitan B-Lynch.



41



Gambar 17. Jahitan Matsubara-Yano (MY). Panah menunjukkan rute, "jahitan transversal harus menembus lateral ke jahitan longitudinal." j. Jahitan Marasinghe (Modifikasi Jahitan B-Lynch)(12) Marasinghe et al. memodifikasi jahitan B-Lynch untuk mencegah mudah



terlepas,



kelemahan



dari



jahitan



B-Lynch.



Jarum



mentransfiksasi dinding uterus di bawah tempat insisi operasi sesar dari anterior ke posterior, dengan jarum mengelilingi fundus, dan memperbaiki kembali bagian fundus uterus. Ia berputar di sekitar fundus sekali lagi, dan diikat. Hal yang sama dilakukan di sisi lain. Uterus ditransfiksasi dan histerotomi baru tidak diperlukan. Teknik ini terlihat seperti modifikasi dari jahitan Hayman dan bukan dari jahitan B-Lynch. Mostfa dan Zaitoun juga menggambarkan teknik ini dan menamakannya "safety pin suture" juga berhubungan dengan “anchored suture” oleh Marasinghe et al. k. Jahitan Meydanli(12) Sebuah jarum mentransfiksasi uterus di bagian bawah insisi operasi sesar dari anterior ke posterior (titik a), naik ke fundus, dan mentransmisikan kembali rahim dari posterior ke anterior di fundus (b). Jarum kemudian bergerak secara transversal dan mentransfiksasi fundus uterus dari anterior ke posterior (c), turun ke tingkat insisi



42



operasi sesar, dan kemudian mentransfiksasi uterus (d), dengan benang diikat ke depan. Jahitan Meydanli terlihat seperti jahitan kotak tunggal yang besar, mirip dengan kotak Cho besar, yang telah dilakukan sekali. Tujuh pasien menerima jahitan ini, enam mencapai hemostasis. l. Jahitan Zheng (Dua Jahitan Longitudinal yang Tidak Menembus)(12) Jarum dimasukkan ke dalam lapisan miometrium bagian dalam dari dinding anterior segmen kanan bawah (titik a) dan jarum, melewati fundus, mengambil miometrium lapisan fundus (b). Jarum kemudian dimasukkan ke dalam lapisan miometrium dari dinding posterior segmen bawah (c). Benang diikat pada fundus. Hal yang sama dilakukan di sisi yang berlawanan. Inti dari prosedur ini adalah “tidak menembus” rongga rahim, mirip dengan jahitan Pereira. Sembilan wanita dengan perdarahan postpartum menerima prosedur ini, semuanya mencapai hemostasis. m. Jahitan Hwu (Jahitan Kompresi Vertikal Paralel)(16,17) Hwu et al. melakukan penelitian pada empat belas wanita dengan plasenta previa (termasuk satu yang juga memiliki plasenta akreta) yang menjalani operasi caesar mengalami perdarahan masif setelah pengangkatan plasenta. Untuk menjaga uterus, dua jahitan kompresi vertikal paralel ditempatkan di segmen bawah untuk menekan dinding anterior dan posterior segmen bawah rahim.



43



Gambar 18. (a) Jarum ditempatkan melalui dinding anterior segmen bawah. (B) Dari dalam rongga rahim, jahitan ditempatkan di lapisan tengah dinding posterior segmen bawah.



Gambar 19. Jahitan ditarik dari belakang ke depan melalui rongga Rahim dan dinding anterior segmen bawah.



44



Gambar 20. Tampak depan segmen anterior bawah setelah simpul (panah putih) diikat.



Gambar 21. Simpul diikat untuk menekan dinding anterior dan posterior segmen bawah.



2. Non-konservatif(6) Cesarean hysterectomy merupakan penanganan utama pada plasenta akreta sejak kasus pertama dilaporkan pada tahun 1937. Pendekatan ini dapat menurunkan risiko perdarahan berat akibat plasentasi akreta pada saat tidak ada akses untuk transfusi darah. Histerektomi merupakan penanganan bedah definitif untuk spektrum plasenta akreta, terutama bentuk yang invasif, dan



45



cesarean hysterectomy elektif merupakan penanganan yang paling aman dan menjadi pilihan penanganan pada negara berpendapatan rendah-sedang karena tidak tersedianya alat diagnostik, pemantauan, dan terapi tambahan. a. Persiapan pembedahan pada plasenta invasif(6) Cesarean hysterectomy pada spektrum plasenta akreta cukup menantang karena beberapa persalinan sesar biasanya disertai dengan perlengketan pada pelvis, hipervaskularisasi dengan pembuluh darah yang tipis pada segmen bawah rahim, plasenta in situ yang tebal, dan neovaskularisasi pada bagian dalam pelvis, serta kemungkinan invasi ke kandung kemih, usus, serviks, dan parametrium (pada kasus plasenta perkreta). Risiko utama yang dapat terjadi pada spektrum plasenta akreta yaitu perdarahan masih, yang dapat menyebabkan komplikasi sekunder seperti koagulopati, kegagalan multi organ, dan kematian. Risiko pembedahan meningkat seiring dengan kedalaman invasi plasenta. Wanita dengan plasenta perkreta cenderung membutuhkan lebih banyak darah, mengalami cedera pada sistem urologi, dan membutuhkan perawatan intensif dibandingkan dengan wanita dengan plasenta kreta (vera atau adherent). Diagnosis, penanganan, dan komunikasi yang baik pada masa prenatal sangat penting untuk memberikan terapi yang tepat pada pasien dengan plasenta akreta. 1) Waktu persalinan Beberapa penelitian menunjukan bahwa waktu persalinan yang tepat pada pasien dengan kecurigaan plasenta akreta masih belum jelas. Beberapa pusat kesehatan mempublikasikan protokol dengan rekomendasi waktu persalinan berkisar 34-36 minggu hingga 36-38 minggu gesatasi. Sebagian besar kasus spektrum plasenta akreta disertai dengan plasenta previa, sehingga semakin tinggi usia gestasi maka risiko perdarahan prepartum akan meningkat. Menjadwalkan persalinan non-emergensi dapat menurunkan morbiditas maternal akibat plasenta akreta. 46



Komplikasi kehilangan darah dalam jumlah besar cukup rendah pada persalinan yang dijadwalkan dibandingkan dengan persalinan emergensi. Hal ini menyebabkan penjadwalan intervensi bedah dapat dilakukan pada akhir preterm (35-36 minggu) atau awal term (37 minggu) untuk menghindari perlunya pembedahan emergensi. 2) Memaksimalkan hemoglobin preoperatif Optimalisasi hemoglobin sebelum pembedahan sangat penting untuk mencegah risiko perdarahan saat persalinan. Prevalensi anemia dalam kehamilan cukup tinggi yaitu sekitar 38%, defisiensi besi merupakan salah satu penyebab terbesar anemia dalam kehamilan. Wanita di negara berpendapatan rendah memiliki risiko yang lebih tinggi akibat malnutrisi dan/atau adanya penyakit terdahulu seperti malaria atau anemia sel sabit. Koreksi defisiensi besi pada masa prenatal sangat penting untuk penanganan plasenta akreta. Terapi besi yang diberikan secara oral atau intravena harus diberikan jika pasien terdiagnosis dengan anemia defisiensi besi. Terapi besi intravena aman diberikan pada ibu hamil dan dapat mengoreksi anemia lebih baik dibandingkan dengan besi oral. 3) Meminimalkan cedera pada sistem urologi Pada tinjauan sistematik terhadap teknik yang digunakan untuk plasenta akreta, angka kejadian cedera traktus urinarius pada histerektomi peripartum sekitar 29% (83/285), lebih tinggi dari histerektomi untuk indikasi ginekologi lainnya. Modifikasi teknik pembedahan dapat menurunkan cedera traktus urinarius dibandingkan dengan histerektomi standar. Penggunaan stent ureterik preoperatif dapat menurunkan risiko cedera traktus urinarius dari 33% menjadi 6%. Pada penggunaan stent ureterik, sistoskopi dapat dilakukan untuk menilai invasi plasenta ke kandung kemih.



47



Invasi plasenta ke kandung kemih sangat jarang memberikan gejala klinis. Pada sebuah literatur dengan 20 kasus invasi kandung kemih, hanya seperempat yang mengalami hematuri makroskopik. Dalamnya invasi plasenta berhubungan dengan risiko cedera sistem urologi. Pada plasenta perkreta dengan keterlibatan kandung kemih, beberapa peneliti menyarankan sistotomi, identifikasi jaringan vili perkreta, dan eksisi kandung kemih yang terinvasi. Pentingnya menghindari cedera pada traktus urinarius yaitu untuk mencegah perdarahan masif intraoperatif yang akan menyulitkan pembedahan dan membutuhkan diseksi urgensi pada kandung kemih. b. Penanganan intraoperatif(6) 1) Anestesi Pemilihan teknik anestesi untuk persalinan sesar dengan kecurigaan adanya plasenta akreta disertai besarnya risiko perdarahan perlu ditentukan secara tepat oleh ahli anestesi. Sebagian besar pasien dengan plasenta akreta ditangani secara konservatif dengan anestesi umum. Tetapi, beberapa ahli membolehkan anestesi epidural dengan atau tanpa anestesi spinal. Jika ditangani dengan baik dan dalam situasi elektif, sebagian besar pasien dapat melalui pembedahan yang lama dengan kehilangan darah yang signifikan dengan menggunakan teknik tersebut. Literatur internasional melaporkan adanya risiko sebesar 8-45% untuk mengubah dari anestesi regional menjadi anestesi umum pada kasus plasenta akreta. Hal ini terjadi pada kasus dimana tidak ada kecurigaan terhadap plasenta akreta dan diagnosis ditegakan saat intraoperatif. Angka tertinggi perubahan teknik anestesi tersebut terjadi di negara berpendapatan rendah yang juga memiliki angka kehilangan darah yang tinggi; sehingga anestesi umum merupakan pilihan pada kondisi tersebut.



48



Kondisi neonatus, terutama komplikasi respiratorik, dapat membaik dengan menggunakan anestesi regional dibandingkan dengan anestesi umum, terutama dengan mencegah agen volatil menembus plasenta. 2) Jenis insisi Menghindari plasenta saat melakukan cesarean hysterectomy dapat mengurangi jumlah darah yang hilang; sehingga insisi abdomen harus dibuat dengan tujuan memudahkan akses ke uterus untuk menentukan lokasi historotomi di atas tepi plasenta. Ultrasound preoperatif atau intraoperatif dapat memudahkan visualisasi tepi atas plasenta, sehingga memudahkan penentuan insisi abdomen dan uterus. Insisi kulit bagian bawah secara transversal yang memudahkan akses ke setengah bawah dari uterus mungkin adekuat jika tepi atas plasenta tidak berjalan hingga ke segemen atas rahim dan histerektomi tidak akan dilakukan. Tetapi, insisi ini mungkin tidak memberikan akses yang cukup pada kasus plasenta perkreta. Jika plasenta terletak di anterior dan berjalan hingga setinggi umbilicus, dan/atau histerektomi akan dilakukan, insisi pada garis tengah kulit memudahkan insisi transversal pada segmen atas uterus di atas tepi atas plasenta atau histerotomi transversal di fundus untuk melahirkan bayi. Insisi pada garis tengah direkomendasikan oleh sebagian besar peneliti untuk kasus plasenta akreta yang terdiagnosis saat prenatal atau pada saat persalinan sesar. Insisi Joel-Cohen (lebar 4-5 cm di atas simpisis pubis) atau insisi transversal Cherney (transeksi otot rektus pada insersi otot di simpisis pubis atau insisi vertical pada fasia abdominalis) dapat digunakan untuk menghindari insisi vertical atau memudahkan visualisasi, tetapi belum ada data yang mendukung penggunaan insisi tersebut pada kasus plasenta akreta.



49



3) Teknik konservasi darah a) Asam traneksamat Asam traneksamat merupakan agen antifibrinolitik yang menghambat pemecahan enzimatik pada fibrinogen dan fibrin oleh plasmin. Obat ini cukup murah dan tersedia dalam bentuk tablet oral dan injeksi yang bertahan pada suhu di bawah 30oC. Beberapa penelitian dilakukan untuk menilai penggunaan asam traneksamat pada trauma obstetrik dan perdarahan pasca persalinan. Belum ada penelitian yang menilai peran asam traneksamat pada pembedahan terhadap plasenta akreta. Tetapi peran asam traneksamat dalam



menangani



perdarahan



pasca



persalinan



menunjukan



keuntungan penggunaannya dalam menangani plasenta akreta yang terdiagnosis saat prenatal atau pada saat persalinan. b) Balloon occlusion catheter Sebuah penelitian besar menguji peran pemasangan balon kateter profilaksis untuk mengatasi perdarahan pada saat



cesarean



hysterectomy pada plasenta akreta. Alat ini biasanya diinsersi oleh ahli radiologi intervensi ke dalam aorta, arteri iliaka komunis, arteri iliaka interna, atau arteri uterina dengan bantuan fluoroskopik dan dikembangkan



saat



terjadi



perdarahan.



Beberapa



peneliti



menyarangkan penggunaan alat tersebut dengan tujuan menurunkan jumlah darah yang hilang dan kebutuhan transfusi, serta membantu visualisasi saat pembedahan. Tetapi beberapa penelitian lain gagal menunjukan manfaat dari alat ini. Peneliti tersebut menyatakan bahwa balon oklusi tidak dapat mencegah perdarahan masif karena pelvis mendapatkan suplai darah dari kolateral yang terbentuk saat kehamilan. Komplikasi ruptur pembuluh darah dan tromboemboli akibat penggunaan



kateter



telah



dilaporkan



sehingga



menimbulkan 50



pertanyaan mengenai rasio perbandingan antara risiko dan keuntungan kateter tersebut. c) Ligasi arteri iliaka interna Keuntungan ligasi arteri iliaka interna mirip dengan keuntungan yang diberikan oleh balon kateter oklusi. Tetapi dengan tenaga ahli yang tepat, ligasi arteri iliaka interna dapat dilakukan di negara berpendapatan rendah-sedang dimana akses untuk radiologi intervensi masih terbatas. Penelitian yang menguji keamanan dan efektivitas ligasi arteri iliaka interna pada kasus plasenta akreta masih sedikit. Pada penelitian yang dilakukan oleh Grace Tan et al., 44% pasien menjalani ligasi arteri iliaka interna bilateral sebelum histerektomi untuk plasenta akreta; tetapi, transfusi darah yang dibutuhkan sama dengan pasien yang tidak menjalani ligasi. 4) Teknik histerektomi a) Histerektomi total dan subtotal Histerektomi



total



merupakan



metode



pembedahan



yang



direkomendasikan untuk histerektomi peripartum emergensi karena adanya risiko terjadinya keganasan pada serviks, perlunya sitologi serviks, dan masalah lain seperti perdarahan atau discharge. Histerektomi subtotal dilaporkan dapat menurunkan jumlah darah yang



hilang,



transfusi



darah,



komplikasi



perioperatif,



dan



meminimalkan waktu pembedahan. Tetapi histerektomi subtotal tidak efektif sebagai penanganan plasenta inkreta atau perkreta jika melibatkan serviks dan histerektomi total menjadi pilihan pada kasus ini. b) Penundaan histerektomi Penundaan histerektomi atau histerektomi sekunder merupakan alternatif definitif dalam menangani plasenta akreta. Penundaan 51



histerektomi dapat dilakukan pada invasi plasenta yang luas (perkreta) pada struktur sekitar sehingga cesarean hysterectomy sulit dilakukan. Membiarkan plasenta untuk mengalami resorpsi, menurunkan vaskularisasi dan involusi uterus dapat memudahkan pembedahan selanjutnya. Tetapi hal ini dapat meningkatkan risiko koagulopati, perdarahan, dan sepsis. Penundaan histerektomi dilakukan antar 3 hingga 12 minggu pasca persalinan dan beberapa kasus melibatkan embolisasi arteri uterina pasca persalinan atau ligasi arteri iliaka interna serta efek samping dan komplikasi sekunder yang dapat terjadi. Penundaan histerektomi pada kasus kompleks dapat menurunkan morbiditas pembedahan.



3. Prognosis Laporan yang menjelaskan kondisi pasien dengan spektrum plasenta akreta terbatas dengan jumlah pasien yang sedikit. Dua penelitian besar menyediakan data mengenai observasi yang dilakukan. Pertama, kelainan ini dapat membahayakan kondisi ibu dan bayi. Meskipun kedalaman invasi plasenta tidak berhubungan dengan kondisi perinatal, tetapi kelainan ini dapat membahayakan kondisi maternal. Plasenta akreta dapat menyebabkan komplikasi seperti perdarahan, cedera traktus urinarius, membutuhkan perawatan di unit perawatan intensif, dan membutuhkan prosedur pembedahan sekunder. Kedua, usaha untuk mengeluarkan plasenta dapat meningkatkan morbiditas hingga 67% dibandingkan dengan tidak ada usaha untuk mengeluarkan plasenta sebelum histerektomi. Beberapa bukti menunjukan wanita dengan spektrum plasenta akreta memiliki risiko yang tinggi untuk rekurensi, ruptur uterus, histerektomi, dan plasenta previa(1).



52



BAB III KESIMPULAN Spektrum plasenta akreta merupakan istilah histopatologi yang menjelaskan kelainan perlekatan dan invasi plasenta. Kedua hal tersebut terjadi akibat kelainan desiduomiometrium, dan perubahan trofoblastik pada plasenta akreta yang mungkin disebabkan oleh migrasi melalui JZ dan terpapar dengan lingkungan biologis yang berbeda(3). Wanita yang berisiko tinggi mengalami plasenta akreta yaitu wanita yang memiliki kerusakan pada miometrium akibat persalinan sesar dengan plasenta previa anterior atau posterior yang bertumpang tindih dengan bekas luka. Pemeriksaan dengan grayscale ultrasound memiliki sensitivitas (77-87%) dan spesifisitas (96-98%) untuk diagnosis plasenta akreta, peningkatan penanda biokimiawi juga dapat membantu dalam menunjang diagnosis. Diagnosis definitif plasenta akreta biasanya dibuat postpartum pada spesimen histerektomi Jika terdapat kecurigaan adanya kelainan invasi plasenta, maka perencanaan penanganan pada pasien perlu dilakukan dengan tepat untuk meningkatkan kondisi maternal. Penanganan yang diberikan dapat berupa penanganan konservatif dan penanganan nonkonservatif. Pemilihan penanganan ini harus didasari pada kondisi pasien masingmasing.



53



DAFTAR PUSTAKA 1. Gali Garmi and Raed Salim, “Epidemiology, Etiology, Diagnosis, and Management of Placenta Accreta,” Obstetrics and Gynecology International, vol. 2012, Article ID 873929, 7 pages, 2012. https://doi.org/10.1155/2012/873929. 1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS, Hoffman BL, et al. Williams Obstetrics. 24 ed2014. 2. Jauniaux E, Chantraine F, Silver RM, Langhoff-Roos J. FIGO consensus guidelines on placenta accreta spectrum disorders: Epidemiology. Int J Gynecol Obstet. 2018(140):265-73. 3. Jauniaux E, Collins S, Burton GJ. Placenta accreta spectrum: Pathophysiology and evidence-based anatomy for prenatal ultrasound imaging. American Journal of Obstetrics & Gynecology. 2018:75-87. 4. Practice CoO. Placenta Accreta. American College of Obstetricians and Gynecologists. 2012 (2017)(529):1-5. 5. Sentilhes L, Kayem G, Chandraharan E, Palacios-Jaraquemada J, Jauniaux E. FIGO consensus guidelines on placenta accreta spectrum disorders: Conservative management. Int J Gynecol Obstet. 2018(140):291-8. 6. Allen L, Jauniaux E, Hobson S, Papillon-Smith J, Belfort MA. FIGO consensus guidelines on placenta accreta spectrum disorders: Nonconservative surgical management. Int J Gynecol Obstet. 2018(140):281-90.



2. 3. Abdel-Fattah, I., Tharwat, A., Mohammad, W., Ahmed, M., Maaty, A. Vaginal Misoprostol versus Bilateral Uterine Artery Ligation in Decreasing Blood Loss in Trans-Abdominal Myomectomy: A Randomized Controlled Trial. The Egyptian Journal of Hospital Medicine, 2017; 67(2): 614-627. doi: DOI : 10.12816/0037813 4. Matsubara S, Yano H, Ohkuchi A, Kuwata T, Usui R, Suzuki M. Uterine compression sutures for postpartum hemorrhage: an overview. Acta Obstet Gynecol Scand 2013; 92:378–385. 5. Das SS, Devi LS, Singh LR, Singh R. Conservative management of placenta accreta with injection methotrexate to preserve fertility. J Med Soc 2014;28:1257. 6. Rac MWF, Dashe JS, Wells CE, et al. Ultrasound predictors of placental invasion: the Placenta Accreta Index. Am J Obstet Gynecol 2015;212:343.e1-7.



54



7. Jauniaux, E. , Bhide, A. , Kennedy, A. , Woodward, P. , Hubinont, C. , Collins, S. and , (2018), FIGO consensus guidelines on placenta accreta spectrum disorders: Prenatal diagnosis and screening,. Int J Gynecol Obstet, 140: 274-280. doi:10.1002/ijgo.12408 8. Hussein, Ali & A. Abdelaleem, Ahmed & Abbas, Ahmed & Salah, Maher. (2018). Uterine sparing approaches in management of placenta accreta: a summarized review. International Journal of Reproduction, Contraception, Obstetrics and Gynecology. 8. 349. 10.18203/2320-1770.ijrcog20185451. 9. Hwu, Y. , Chen, C. , Chen, H. and Su, T. (2005), Parallel vertical compression sutures: a technique to control bleeding from placenta praevia or accreta during caesarean section. BJOG: An International Journal of Obstetrics & Gynaecology, 112: 1420-1423. doi:10.1111/j.1471-0528.2005.00666.x 10. Eliza and Alfred, Prenatal Diagnosis of Placenta Accreta, The American Institute of Ultrasound in Medicine, 2013, USA.



55