Potret Industri Farmasi Di [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Sutri
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Potret industri farmasi di Indonesia             3 Votes



Sejarah industri farmasi di Indonesia diawali dengan berdirinya pabrik farmasi pertama yang didirikan di Hindia Timur pada tahun 1817, yaitu NV. Chemicalien Rathkamp & Co dan NV. Pharmaceutische Handel Vereneging J. Van Gorkom & Co. pada tahun 1865. Sedangkan industri farmasi modern pertama kali di Indonesia adalah pabrik kina di Bandung pada tahun 1896. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1957-1959 setelah perang kemerdekaan usai perusahaan-perusahaan farmasi milik Belanda yaitu Bovasta Bandoengsche Kinine Fabriek yang memproduksi pil kina dan Onderneming Jodium yang memproduksi Iodium dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia yang pada perkembangan selanjutnya menjadi PT Kimia Farma (persero). Sementara pabrik pembuatan salep dan kasa, Centrale Burgelijke Ziekeninrichring yang berdiri pada tahun 1918 menjadi perum Indofarma yang saat menjadi PT Indofarma (persero). Namun demikian, perkembangan yang cukup signifikan bagi perkembangan industri farmasi di Indonesia adalah dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tahun 1968 yang mendorong perkembangan industri farmasi Indonesia hingga saat ini. Dewasa ini, industri farmasi di Indonesia merupakan salah satu industri yang berkembang cukup pesat dengan pasar yang terus berkembang dan merupakan pasar farmasi terbedar di kawasan ASEAN. Dari data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI, 2005), pertumbuhan industri farmasi Indonesia rata-rata mencapai 14,10% per tahun lebih tinggi dari angka pertumbuhan nasional yang hanya mencapai 5-6% per tahun. Total angka penjualan tahun 2004 mencapai lebih kurang Rp 20 triliun (untuk tahun 2005 sebesar Rp 22,8 triliun, dan tahun 2006 sebesar Rp 26 triliun). Namun jika dilihat dari omzet penjualan secra global (all over the world), pasar farmasi Indonesia tidak lebih dari 0,44% dari total pasar farmasi dunia. Demikian pula jika dilihat dari angka konsumsi obat per kapita yang hanya mencapai kurang dari US$ 7,2 per kapita/tahun (IMS, 2004) dan merupakan salah satu angka terendah di kawasan ASEAN (sedikit di atas Vietnam). Konsumsi obat tertinggi adalah Singapura, disusul oleh Thailand, Malaysia, dan Filipina. Powered by wordads.co



Seen ad many times Not relevant



Offensive Covers content Broken REPORT THIS AD



Pasar farmasi Indonesia merupakan pasar yang terbesar di ASEAN. Ke depan pasar farmasi Indonesia diprediksikan masih mempunyai pertumbuhan yang cukup tinggi mengingat konsumsi obat per kapita Indonesia paling rendah di antara negara-negara ASEAN. Rendahnya konsumsi obat per kapita Indonesia tidak hanya disebabkan karena rendahnya daya beli tapi juga pola konsumsi obat di Indoneisa berbeda dengan di negara-negara ASEAN lainnya. Di Malaysia misalnya, pola penggunaan obat lebih mengarah pada obat paten. Harga obat paten jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga obat branded generic. Dengan makin membaiknya pendapatan per kapita dan sistem jaminan kesehatan Indonesia di masa mendatang, maka nilai peredaran obat di Indonesia akan besar. Keadaan ini tentu akan mempunyai korelasi postif dengan pertumbuhan industri farmasi Indonesia di masa mendatang. Berdasarakan gambar di atas, total penjualan industri farmasi Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Berbeda dengan negara-negara ASEAN lainnya, pangsa pasar industri farmasi domestik Indonesia dibandingkan dengan PMA/MNC (Multi National Company) jauh lebih besar. Pada tahun 2005 diperkirakan pangsa pasar industri domestik sekitar 75% sedangkan MNC sekitar 25%. Di Malaysia dan Filipina market share produk MNC lebih dari 50% atau lebih besar dibandingkan dengan pangsa pasar industri domestiknya. Ekpor obat Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan meskipun nilainya relatif belum besar yaitu sekitar 5% dari total penjualan industri farmasi Indonesia. Dengan diberlakukannya harmonisasi regulasi farmasi ASEAN selambat-lambatnya tahun 2010 maka akan tercipta pasar tunggal ASEAN di bidang farmasi, dalam arti tidak ada lagi hambatan tarif maupun nontarif dalam perdagangan farmasi di region ASEAN. Ini berarti terbuka peluang bagi industri farmasi untuk mengembangkan ekspor di pasar ASEAN, tetapi pada saat yang sama pasar domestik Indonesia akan terancam masuknya produk-produk farmasi ASEAN dengan lebih leluasa di Indonesia.



Tabel Data ekspor obat Indonesia 2001-2004 Tahun 2001 2002 2003 2004



Nilai Ekspor (US $) 71,64 97,98 98 101,56



Jumlah negara 59 71 89 62



Jumlah industri 26 31 29 37



Dari data BPOM RI tahun 2005 menyebutkan bahwa terdapat 205 industri farmasi di Indonesia. Namun demikian yang aktif tinggal 188 industri terdiri dari 4 BUMN, 30 PMA dan 154 industri farmasi swasta nasional. Jika dilihat dari penguasaan pasar, sebesar 54,5% dikuasai oleh 20 industri farmasi dan 70% dikuasai oleh 60 industri farmasi, sedangkan sisanya (118 industri) memperbutkan pasar sebesar 16%. Jika dilihat lebih jauh, ternyata tidak ada satupun industri yang mendominasi pasar. Sanbe Farma yang notabene indutsri ranking pertama hanya menguasai 7,25%, disusul Kalbe menguasai 5,99% pasar, sehingga pasar farmasi Indonesia terpecah-pecah menjadi pasar yang kecil-kecil (terfragmentasi). Hal ini tentu suatu kondisi yang tidak menguntungkan tatkala berhadapan dengan pasar bebas (AFTA/WTO) yang sebentar lagi akan tiba.



Di samping pasar yang terfragmentasi, masalah lain yang dihadapi industri farmasi nasional antara lain: 1. Tidak adanya industri bahan baku. Hal ini mengakibatkan 95% bahan baku masih harus diimpor (harga bahan baku produksi dalam negeri tidak lebih murah ketimbang impor). Ketergantungan impor belum diimbangi dengan upaya pengembangan bahan baku lokal. Selain karena memerlukan biaya investasi yang tingi, daya dukung perlatan juga masih belum memadai.



2. Idle kapasitas produksi industri farmasi nasional mencapai 50% karena belum adanya solusi yang tepat untuk menanggulanginya, termasuk alternatif melalui toll manufacturing maupun konsep production house. 3. Penerapan aturan internasional terhadap standardisasi industri farmasi terutama menyangkut c-GMP, registrasi dan belum adanya koordinasi yang baik antara pemerintah (BPOM) denga industri farmasi. 4. Kondisi industri farmasi nasional yang tidak merata. Di satu sisi terdapat sejumlah kecil industri farmasi yang sudah siap menghadapi pasar bebas, baik dari segi hardware, software maupun brainware (SDM), di sisi lain masih banyak industri yang belum memenuhi tuntutan persyaratan internasional. Dari data pemetaan (mapping) industri farmasi Indonesia yang dilakukan BPOM tahun 20042005 terlihat bahwa tingkat pemenuhan terhadap persyaratan c-GMP masih jauh dari harapan. No Aspek CPOB 1



Sistem manajemen mutu 2 Dokumentasi 3 Validasi 4 HVAC/AHS 5 Water system 6 Sistem penanganan bahan 7 Produk steril 8 Pengemasan dan penandaan 9 Pengawasan mutu 10 Stabilitas Rata-rata



Jumlah industri farmasi Total > 0,9 0,7-0,9 0,5-0,7 0,3-0,5 < 0,3 188 47 23 34 32 52 188 58 26 37 68 70



48 21 21 26 51



27 15 11 30 26



25 29 18 17 19



30 97 101 47 22



188 188 188 188 188



21 77



15 53



12 23



8 22



2 13



58 188



49 49 49



40 19 32



28 34 24



39 24 23



32 62 46



188 188



Menghadapi harmonisasi pasar ASEAN pada tahun 2008 mendatang, BPOM selaku regulator industri farmasi nasional telah menerapkan berbagai strategi untuk meningkatkan kemampuan industri farmasi nasional, diantaranya: 1. Penerapan c-GMP untuk peningkatan compliance terhadap persyaratan dan standar pharma global 2. Mendorong industri farmasi nasional agar lebih efisien dan fokus dalam pelaksanaan produksi obat termasuk pemilihan fasilitas produksi yang paling feasible untuk dikembangkan 3. Penerapan CPOB terkini (c-GMP) sesuai standar internasional (batas penerapan Desember 2007). Referensi Priyambodo, B., 2007, Manajemen Farmasi Industri, Global Pustaka Utama, Yogyakarta, hal: 30-35