PPK NEFROLOGI New [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Lampiran 1



BAB IV DOKUMENTASI PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK) DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK RSUP.Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG



RSMH PALEMBANG



SINDROM NEFROTIK



ICD 10 1. PENGERTIAN



Sindroma nefrotik merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas: 1. 2. 3. 4. 5.



2. ANAMNESA



3. PEMERIKSAAN FISIK



N04



edema proteinuria massif (> 40 mg/m2/jam atau proteinuria +3 atau lebih ) hipoalbuminemia ( < 2,5 mg) hiperkolesterolemia > 200 mg/dl kadang-kadang hipertensi, hematuria, azotemia



Tentukan adanya edema, gangguan pada urin, serta onset terjadinya gejala Cari gejala lainnya, terutama gejala sindroma nefritis Cari faktor penyebab Cari komplikasi (hipotensi/syok, hipertensi, trombosis, infeksi, gagal ginjal) Pemeriksaan fisik yang cermat terhadap keadaan umum pasien, tekanan    



darah, frekuensi nafas, suhu, edema, asites, efusi pleura, anemia, kelainan jantung, kelainan kulit, dan sebagainya. Penting juga untuk mengukur



4. KRITERIA DIAGNOSIS



5. DIAGNOSIS



diuresis dan menghitung balans cairan setiap harinya.  SN: edema, hipoproteinemia (kadar protein serum  5,5 g/dl), hipoalbuminemia (kadar albumin serum  2,5 g/dl), hiperkolesterolemia (kadar kolesterol serum  200 mg/dl), proteinuri masif (kadar proteinuri  0,05 – 0,1 g/kgBB/ 24 jam atau +++ pada pemeriksaan semi kualitatif)  SNI: bila etiologi SN tidak diketahui  SN kongenital bila gejala-gejala ditemukan 3 bulan pertama dari kehidupan.  SN sekunder bila ditemukan penyebab  Kortikosteroid responsif: urin bebas protein ( 6 tahun atau < 1 tahun, dengan manifestasi sindroma nefritis  C3 menurun secara persisten  Steroid resisten / relaps sering (selama atau pasca terapi steroid) Indikasi Rawat    



I.



SN serangan pertama kali SN relaps dengan edema anasarka atau penyulit (infeksi berat, muntah-muntah, diare, hipovolemia, hipertensi, tromboemboli, GGA). SN steroid resisten SN steroid relaps sering dengan indikasi untuk terapi sitostatika tambahan



Sindroma nefrotik primer Aktivitas Aktivitas disesuaikan dengan kemampuan anasarka, dispneu, hipertensi → tirah baring.



pasien, jika edema



Dietetik  



Protein normal sesuai RDA yaitu 2 g/kg/hr Rendah garam (1-2 g/hr) selama edema/ mendapat terapi steroid. Diuretika Retriksi cairan (30 ml /kgBB/hari) selama ada edema berat dan oliguri. Loop diuretic (furosemid 1–2 mg/kgbb/hr), bila kadar kalium rendah < 3,5 mEq/L dapat dikombinasi dengan spironolakton (1–2 mg/kgbb/hr) diberikan pada edema berat /anasarka. Diuretika lebih dari 1 minggu periksa ulang natrium dan kalium plasma. Bila SN disertai hipovolemia (hipoalbuminemia



berat → kadar 2



albumin ≤ 1,5 gr/dl) berikan infus albumin rendah garam 20-25 % 1 g/ kg BB atau plasma sebanyak 15–20 ml /kg BB dalam 1-2 jam, 15-30 menit setelah infus albumin/plasma selesai diberikan furosemid 1–2 mg/kg BB IV.



Antibiotika/antiviral Antibiotika diberikan bila: Edema anasarka + laserasi kulit → amoksisilin, eritromisin, sefaleksin  Infeksi → beri antibiotika yang disesuaikan beratnya derajat infeksi  Bila terjadi infeksi varicella → asiklovir 80 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis → 7-10 hari, pengobatan kortikosteroid stop sementara. Imunisasi 



Vaksin virus hidup baru diberikan setelah 6 minggu pengobatan steroid selesai.  Kontak dengan penderita varicella → Imunoglobulin varicellazoster dalam waktu < 72 jam Tuberkulostatika 



 



Test Mantoux (+) → beri INH profilaksis TBC aktif → beri OAT



Pengobatan kortikosteroid Pengobatan steroid untuk sementara tidak boleh diberikan bila dijumpai hal-hal sebagai berikut: hipertensi, infeksi berat (viral/ bakteri), azotemia



A. Pengobatan inisial  Dosis inisial prednison atau prednisolon 60 mg/m2/hari atau 2



mg/kgbb/hari sesuai dengan BB ideal (BB/TB) dibagi 3 dosis (maksimal 80 mg/hari) selama 4 minggu  Remisi (+) pada 4 minggu pertama, dosis alternating 40 mg/m2/hr (2/3 dosis initial) selang sehari pada pagi hari sudah makan selama 4 minggu lalu stop. Bila remisi terjadi antara minggu ke 5 sampai dengan akhir minggu ke 8, steroid alternating dilanjutkan 4 minggu lagi.  Remisi (-) sampai akhir minggu ke 8  resisten steroid (Gambar 1)



B. Pengobatan SN Relaps Bila dijumpai proteinuria (≥ +2) setelah pengobatan steroid selesai, perlu dicari faktor pemicunya (biasanya infeksi) dan 3



diobati dengan AB selama 5–7 hari. Bila proteinuria jadi negatif tidak perlu diberi prednison, bila proteinuria masih tetap (≥ +2) atau tidak ditemukan fokus infeksi mulai dengan prednison dosis penuh sampai remisi (proteinuria negatif atau trace 3 hari berturutturut) (maksimal 4 minggu)  dilanjutkan dosis alternating selama 4 minggu  stop. Bila pada FD selama 4 minggu remisi (-), alternating 4 minggu remisi (-)  resisten steroid (Gambar 2).



C. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid Ada 4 pilihan: 1) Dicoba pemberian steroid jangka panjang 2) Pemberian levamisol 3) Pengobatan CPA 4) Pengobatan siklosporin (terakhir) Cari fokus infeksi seperti TB, infeksi di gigi atau kecacingan.



1) Steroid jangka panjang Dimulai dengan prednison atau prednisolon dosis penuh (4 minggu) sampai terjadi remisi. Lanjutkan dengan steroid alternating (4 minggu), kemudian dosis diturunkan perlahan 0,5 mg/kgbb setiap 4 minggu sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1–0,5 mg/kgbb alternating, dapat diteruskan selama 6–12 bulan → coba dihentikan (Gambar 3). Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgbb/AD, tetapi < 1 mg/kgbb/alternating tanpa efek samping yang berat dapat dicoba dikombinasi dengan Levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4 – 12 bulan atau langsung diberi CPA. Bila pasien: 1) relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb/alternating atau 2) meskipun dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai: a) efek samping steroid yang berat b) pernah relaps dengan gejala yang berat antara lain hipovolemia, trombosis, sepsis diberikan CPA dengan dosis 2 – 3 mg/kgbb/hari selama 8 – 12 minggu.



2) Sitostatika 2.1. Siklofosfamid (CPA oral) 2-3 mg/kgbb/hari atau intravena 500 4



mg/m2/hari atau 2.2. Klorambusil 0,2 mg/kgbb/hari selama 8 minggu. Pemantauan dengan pemeriksaan darah tepi: Hb, lekosit, trombosit 1-2 x seminggu. Obat dihentikan bila jumlah lekosit < 3000/ul, Hb < 8 g/dl atau trombosit < 100.000/ul dan diteruskan kembali setelah lekosit > 5000/ul.



3) Siklosporin (CyA) Siklosporin dosis 5 mg/kgbb/hari dipakai pada: 1.Pada SN idiopatik yang tidak respon dengan pengobatan steroid atau sitostatika (Gambar 3). 2.Pada SN relaps sering/dependen steroid



D. Pengobatan SN resiten steroid Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Lakukan biopsi sebelum pengobatan dimulai. Obat-obat yang digunakan bisa siklofosfamid puls 500 mg/m2/bulan + metilprednisolon 40 mg/m2/hari ALT selama 6 bulan atau siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari + metilprednisolon 40 mg/m2/hari ALT selama 36 bulan (Gambar 4). II.



Sindroma nefrotik kongenital  Steroid tidak diberikan.  Pengobatan konservatif lainnya (Dietetik, penanggulangan infeksi, koreksi hipovolemia )  ACE inhibitor: enalapril 0,5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis atau captopril 0,3 mg/kgbb/kali dinagi 2-3 dosis dengan tujuan untuk menghilangkan proteinuria dan menghambat terjadi gagal ginjal terminal.  Transplantasi ginjal III. Sindroma nefrotik sekunder Disamping penanganan terhadap sindroma nefrotiknya, perlu pengobatan terhadap penyakit yang mendasarinya → tergantung pada SP masing-masing dari jenis penyakit yang menimbulkan sindroma nefrotik.



IV. Pengobatan komplikasi  Infeksi (telah dibicarakan di atas)  Tromboemboli 5



Pencegahan tromboemboli pada SN relaps sering/dependen steroid/ steroid resisten: aspirin atau dipiridamol selama pengobatan steroid. Heparin diberikan bila sudah terjadi trombosis. 



Hipovolemia Diatasi dengan infus NaCl fisologis, lalu disusul dengan infus albumin 1 gr/kgbb/ atau plasma 20 ml/kgbb (tetesan lambat→10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi, penderita masih oliguria diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.







Hipokalsemia Suplementasi kalsium 500 mg/hari dan vitamin D. Bila terjadi tetani diobati dengan kalsium glukonas 50 mg/kgbb intravena.



Tindak lanjut Dilakukan pemeriksaan berat badan. intake-output, lingkaran perut, tekanan darah setiap hari. Pemeriksaan darah tepi 1 kali seminggu. Urinalisa dan pemeriksaan protein semikuantitatif 2 kali seminggu (jika sudah trace, diulangi 3 kali berturut-turut). Pemeriksaan kimia darah dan elektrolit selama perawatan sekali dua minggu. Awasi efek samping obat dan komplikasi yang mungkin terjadi selama pasien dirawat. Bila ditemukan, harus ditanggulangi. Indikasi pulang Penderita dipulangkan bila keadaan umum baik, komplikasi teratasi, dalam keadaan remisi. Selama mendapat steroid kontrol sekali seminggu secara berobat jalan. Setelah steroid dihentikan kontrol sekali sebulan selama 3-5 tahun bebas gejala. 9. EDUKASI 10. PROGNOSIS



Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam: dubia ad bonam/malam Ad functionam : dubia ad bonam/malam



11. TINGKAT EVIDENS 12. TINGKAT REKOMENDASI 13. PENELAAH KRITIS 14. INDIKATOR MEDIS 15. KEPUSTAKAAN



Referensi : 6



1. IGN Wila Wirya, Sindroma Nefrotik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002: 381-423 2. Krisni Subandiyah,Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Dalam Naskah Lengkap SINAS dan Workshop Nefrologi IDAI, Bali 2009 3. Alatas H, Tambunan T,Trihono P, Pardede S. Konsensus Tatalaksana Sindroma Nefrotik Idiopatik pada Anak. Jakarta : UKK nefrologi IDAI, 2005: 1-17



Mengetahui/menyetujui



Palembang,



Ka. Departemen Ilmu Kesehatan Anak



Ka. Divisi Nefrologi



dr.Rismarini, Sp.A (K)



Dr. Hertanti Indah L, Sp.A



Lampiran 2



BAB IV DOKUMENTASI



7



PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK) DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK RSMH PALEMBANG



RSUP.Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG SINDROM NEFRITIK AKUT



ICD 10



N00



1. PENGERTIAN



SNA adalah kumpu1an gejala-gejala nefritis yang timbul secara mendadak, terdiri atas hernaturia proteinuria, silinderuria (terutama selinder eritrosit), dengan atau tanpa disertai hipertensi, edema, kongestif vaskuler atau gagal ginjal akut sebagai akibat dari suatu proses peradangan yang lazimnya ditimbulkan oleh reaksi imunologik pada ginjal yang secara spesifik mengenai glomeruli.



2. ANAMNESA



Cari penyebab dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. a. Penyebab SNA dengan hipokomplementemia 1) GNAPS Riwayat ISPA atau infeksi kulit, dengan atau tanpa disertai oliguria. Sembab pada muka sewaktu bangun tidur, kadang-kadang ada keluhan sakit kepala. Bisa juga dijumpai riwayat kontak dengan keluarga yang menderita GNAPS (pada suatu epidemi). 2) Endokarditis bakterialis subakut Riwayat panas lama, adanya penyakit jantung kongenital/didapat, yang diikuti oleh kemih berwarna seperti coca cola (hematuria makroskopis). 3) Shunt nephritis Riwayat pemasangan shunt atrioventrikulo-atrial / peritoneal untuk penanggulangan hidrosefalus, panas lama, muntah, sakit kepala, gangguan penglihatan, kejang-kejang, penurunan kesadaran. 4) SLE Keluhan dapat berupa panas lama, berat badan turun, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, depresi, psikosis, kejang, ruam pada kulit b. SNA dengan normokomplenemia 1) Purpura Henoch-Schonlein (PHS) 8



Riwayat ruam pada kulit, sakit sendi dan gangguan gastrointestinal (mual, muntah, nyeri abdomen, diare berdarah atau melena) dan serangan hematuria. 2) Nefropati IgA



Kecurigaan bila timbulnya serangan hematuria makroskopis secara akut dipicu oleh suatu episode panas yang berhubungan dengan ISPA. Hematuria makroskopis biasanya bersifat sementara dan akan hilang bila ISPA mereda, namun akan berulang kembali bila penderita mengalami panas yang berkaitan dengan ISPA. Diantara 2 episode, biasanya penderita tidak menunjukkan gejala kecuali hematuria mikroskopis dengan proteinuria ringan masih ditemukan pada urinalisis. Edema, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal biasanya tidak ditemukan.



3. PEMERIKSAAN FISIK



a. Penyebab SNA dengan hipokomplementemia 1) GNAPS Edema, hipertensi, kadang-kadang gejala-gejala kongesti vaskuler (sesak, edema paru, kardiomegali), atau gejala-gejala gabungan sistem saraf pusat (penglihatan kabur, kejang; penurunan kesadaran). 2) Endokarditis bakterialis subakut



Panas, rash, sesak, kardiomegali, takikardi, suara bising jantung, hepatosplenomegali artritis/artralgia jarang dijumpai. 3) Shunt nefritis



Hidrosefalus dengan shunt yang terpasang, suhu tubuh meninggi, hipertensi, edema, kadang-kadang dengan asites dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. 4) Lupus eritematosus sistemik (LES)



Alopesia, butterfly rash, lesi discoid, fotosensitivitas, ulkus pada mulut/nasofaring, pleuritis, perikarditis, hepatitis, nyeri abdomen, asites, splenomegali. b. SNA dengan normokomplenemia 1) Purpura Henoch-Schonlein (PHS) Edema, dan hipertensi, ruam pada daerah bokong dan bagian ekstensor dan ekstremitas bawah, arthralgia/arthritis, nyeri abdomen.



2) Nefropati IgA



Demam, infeksi saluran nafas. Edema, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal biasanya tidak ditemukan.



4. KRITERIA DIAGNOSIS a. Anamnesis b. Pemeriksaan fisik c. Pemeriksaan penunjang 9



5. DIAGNOSIS 6. DIAGNOSIS BANDING 7. PEMERIKSAAN PENUNJANG



SINDROM NEFRITIK AKUT SINDROM NEFROTIK a. Penyebab SNA dengan hipokomplementemia 1) GNAPS  Kelainan urinalis minimal atau hematuria, proteinuria, silinderuria  ASTO > 200 IU, titer C3 rendah ( 200 IU. Hematuria, proteinuria dan silinderuria. Kadar CH50 dan C3 merendah (100.000 koloni/ml urin pada pengambilan urin secara pancaran tengah, atau beberapa kuman saja pada pengambilan sampel urin secara SPP ISK asimpmtomatik: bakteriuria bermakna yang ditemukan pada uji tapis pada anak sehat atau tanpa gejala. Keadaan ini bersifat ringan dan biasanya tidak menimbulkan kerusakan ginjal, kecuali pada wanita hamil kalau tidak diobati dapat menimbulkan ISK simtomatik. ISK simtomatis: terdapatnya bakteriuria disertai gejala klinik 17







5. DIAGNOSIS



ISK atas: ISK bagian atas terutama parenkim ginjal, lazim disebut sebagai pielonefritis dengan gejala utama demam dan sakit pinggang.  ISK bawah: bila infeksi di vesika urinaria (sistitis) atau uretra dengan gejala utama berupa gangguan terbatas miksi seperti disuria, polakisuria, kencing mengedan (urgency).  ISK ringan: gejala ringan, panas (-).  ISK berat: gejala berat, panas tinggi, kejang, kesadaran turun, muntah, diare, pada neonatus sesuai dengan tanda-tanda sepsis.  ISK dengan gejala sepsis: ditemukan gejala sepsis sesuai SP-nya.  ISK nonkomplikata/simpleks: ISK yang tanpa kelainan struktural maupun fungsional  ISK komplikata/kompleks: ISK dengan ditemukan juga kelainan anatomik maupun fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun aliran balik (refluks) urin. Kelainan saluran kemih dapat berupa batu saluran kemih, obstruksi, anomali saluran kemih, buli-buli neurogenik dan sebagainya.  ISK berulang/relaps: bakteriuria yang timbul kembali setelah pengobatan dengan jenis kuman yang sama dengan kuman saat biakan urin pertama kalinya. Kekambuhan dapat timbul antara 1 sampai 6 minggu setelah pengobatan awal.  ISK rekuren/reinfeksi: bakteriuria yang timbul setelah selesai pengobatan dengan jenis kuman yang berbeda dari kuman saat biakan pertama. INFEKSI SALURAN KEMIH



6. DIAGNOSIS BANDING 7. PEMERIKSAAN PENUNJANG



Berdasarkan pola pemikiran evidence base dan perhitungan untung-ruginya pemeriksaan pencitraan, Stark (1997) mengajukan alternatif pilihan sebagai berikut: 1.



Anak yang diduga menderita pielonefritis akut dan semua bayi yang menderita ISK perlu pemeriksaan USG dan MSU. Bila ditemukan RVU, pemeriksaan pielografi intravena (PIV) atau sintigrafi DMSA dapat dilakukan, meskipun tidak langsung terkait dengan penanganan pasien. Bila pada pemeriksaan USG dicurigai adanya kelainan anatomik maka PIV lebih disarankan.



2. Anak perempuan dengan ISK bawah (sistitis) berulang sampai 2 atau 3 kali atau ISK pertama dengan adanya riwayat RVU dalam keluarga, diperlakukan seperti pilihan no.1 di atas. 3. Sebagian besar anak perempuan dengan ISK serangan pertama atau ISK bawah saja tidak memerlukan pemeriksaan pencitraan. Kelompok ini cukup dipantau tiap 6-12 bulan dan biakan urin bila ada demam. − Khusus untuk neonatus laki-laki sampai usia 8 minggu disarankan pemeriksaan USG dan MSU rutin pada ISK pertamakalinya. Bila 18



8.TERAPI



ditemukan kerusakan parenkim ginjal ataupun refluks derajat 3 atau lebih, dilanjutkan dengan pemeriksaan skintigrafi radionuklid. Pada anak yang lebih besar USG dipakai sebagai penyaring dan bila dicurigai ada kelainan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan lain seperti PIV, MSU maupun skintigrafi radionuklid. − Pemeriksaan atas indikasi: biakan darah, foto thorax • ISK asimtomatis/simtomatis diobati sesuai hasil uji sensitivitas. • Sementara menunggu hasil kultur datang, tersangka ISK diobati dengan antibiotika oral Amoksisilin 50 mg/kgBB/hari atau Trimetoprim/ Sulfametoksazol (Kotrimoksazol) 8/40mg/kgBB/hari. • Tersangka ISK berat diobati dengan antibiotika parenteral berupa Ampisilin 200 mg/kgBB/hari dibagi atas 4 dosis + Gentamisin 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Setelah kultur datang diobati sesuai dengan hasil tes sensitifitas. Lama pengobatan 10-14 hari. • ISK dengan komplikasi diobati sesuai komplikasi • ISK dengan sepsis diobati sesuai SP • Diupayakan mengoreksi/mengobati faktor predisposisi Indikasi rawat ISK dengan penyulit Tindak lanjut Selama perawatan urinalisa dilakukan 2 kali seminggu. Darah tepi sekali seminggu. Dua hingga tiga hari setelah pengobatan dimulai dilakukan biakan ulang,bila biakan steril obat diteruskan,bila biakan masih positif atau kondisi penderita tidak membaik obat diganti. Untuk mendeteksi infeksi ulangan dilakukan kultur urin setelah 1 minggu pengobatan selesai. Bila positif diobati sesuai dengan hasil tes sensitivitas.Jika hasil kultur urin steril maka kultur urin selanjutnya dilakukan sekali sebulan dalam 6 bulan pertama, kemudian sekali 2 bulan untuk 6 bulan, lalu, sekali 3 bulan untuk tahun ke-2 dan ke-3. ISK simtomatis berat segera dilakukan pemeriksaan radiologi dan faal ginjal. Untuk yang ringan atau simtomatis pemeriksaan radiologi dilakukan 1 bulan setelah pengobatan selesai dengan indikasi: semua anak 4 mg/kgBB/hari atau ratio Ca/kreatinin urin > 0,2. Dari riwayat keluarga ada riwayat serangan kolik ginjal/ureter yang berhubungan dengan batu. c) TBC Ginjal Diagnosis berdasarkan riwayat kontak (+), batuk-batuk kronik, gizi buruk, kelainan paru baik berdasarkan pemeriksaan fisik/radiologi, LED meninggi. Pada urinalisis dijumpai hematuria, piuria steril. PPD (+), Kepastian diagnostik perlu dilakukan biakan urin untuk mencari BTA. d) ISK Diagnosis berdasarkan riwayat panas lama, disuria, polakisuria, nyeri pinggang/sudut kosto vertebra/suprasimfisis. Hasil urinalisis menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, lekosituria. Dan pada biakan urin dijumpai bakteria bermakna. e) Trauma Diagnosis berdasarkan pada riwayat trauma pada daerah pinggang dan ditemukan memar/lebam pada daerah pinggang 23



atau suprasimfisis. Pada pemeriksaan urin tampak gross hematuria dan bekuan darah (+). Untuk mengetahui lokasi/luasnya daerah yang mengalami trauma perlu dilakukan USG/PIV. f)



Batu saluran kemih Diagnosis berdasarkan kolik ureter, kemih tidak lancar dan rasa nyeri saat berkemih. Pada anak laki-laki gejala khas adalah sering menarik penisnya ketika mau berkemih, kadang-kadang disertai keluar batu, Urinalisis hematuria, lekosituria. Diagnosis pasti USG/PIV.



g) Tumor/defek kongenital pada ginjal/saluran kemih Diagnosis berdasarkan teraba massa dalam rongga abdomen. Untuk menentukan jenis tumor atau defek kongenital apakah tumor Wilms, ginjal polikistik atau hidronefritis perlu dilakukan USG/PIV. h) Penyakit pendarahan Diagnosis berdasarkan riwayat gusi mudah berdarah, sering epistaksis, pucat, biru-biru pada kulit, pada darah tepi ditemukan kadar Hb rendah, trombositopenia, waktu pembekuan dan perdarahan memanjang. Bila bentuk non glomeruler dari hematuria hanya berupa darah sedang gambaran darah tepi normal tanpa ditemukan tanda-tanda penyakit darah/perdarahan, perlu dilakukan pemeriksaan USG/PIV untuk mencari faktor penyebab perdarahan. Bila hasilnya normal kemungkinan penyebabnya berasal dari trauma uretra, benda asing di uretra, atau peradangan vesika urinaria. Untuk menentukan asal perdarahan perlu pemeriksaan sitoskopi. Bentuk Glomeruler 1) Hematuria mikroskopis Dapat merupakan salah satu bentuk glomeruler dari hematuri. Diagnosis ditegakkan bila hasil pemeriksaan fisik (+), gambaran darah tepi normal, fungsi ginjal kimia normal, sedang urinalisis memperlihatkan gambaran berupa hematuria mikroskopis dengan sel darah merah yang dismorfik. Pertimbangan penyebab apakah hematuria berhubungan dengan hematuria rekuren benigna, hematuria berhubungan dengan olahraga atau hematuria idiopatik. Lakukan observasi selama 6 bulan. Bila masih menetap perlu dipikirkan nefropati IgA. Diagnosis nefropati IgA dibuat berdasarkan adanya riwayat hematuria makroskopis timbul bersamaan dengan onset panas yang dipicu oleh ISPA. Diluar serangan hematuria hanya bersifat mikroskopis.



24



Perlu dilakukan biopsi ginjal untuk kepastian diagnosis. 2) Glomerulonefritis Diagnosis Glomerulonetritis dapat ditegakkan berdasarkan bentuk glomeruler dari hematuria, disertai proteinuria, silinderuria dengan atau tanpa edema, hipertensi, oliguria atau gangguan faal ginjal. Kelainan ini dapat timbul secara akut atau berlangsung kronik. Bentuk akut dari glomerulonefritis biasanya berhubungan dengan pasca infeksi streptokokus, infeksi sistemik/penyakit multi sistemik seperti Purpura Henoch Schonlein (PHS) dan lupus eritematosus sistemik (LES). Sedang yang kronik biasanya berhubungan dengan sindroma nefrotik dan penyakit ginjal herediter (sindroma Alport). Diperlukan beberapa pemeriksaan tambahan untuk mencari penyebab glomerulonefritis seperti ASTO, C3, ds DNA antibodi, sel LE, biakan, ekokardiografi. 2.1 Dasar diagnosis GNAPS dibuat berdasarkan riwayat ISPA/kulit, yang diikuti kemudian oleh gejala-gejala nefritis akut. Biakan apusan tenggorok/keropeng kulit dapat (+) untuk kuman streptokokus beta hemolitikus grup A atau ASTO (+), C3 menurun. Perlu pengamatan terhadap perjalanan penyakit, karena terjadi penurunan fungsi ginjal secara cepat dan progresif (GN progresif cepat). 2.2 Penyakit infeksi sistemik yang dapat berkaitan dengan GNA antara lain: 2.2.1. Endokarditis bakterialis akut/subakut dan shunt nefritis, sedang penyakit multisistemik antara lain adalah SLE dan PHS. a) Dasar diagnosis dari endokarditis adalah adanya riwayat panas lama, adanya penyakit jantung didapat/kongenital, lalu dikuti hematuria. Penyakit fisik dijumpai ruam pada kulit, kardiomegali, suara bising jantung, hepatosplenomegali. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hematuria, proteinuria, silinderuria. LED meninggi, lekositosis, C3 merendah, fungsi ginjal menurun. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan biakan darah (+) atau pada ekokardiografi ditemukan vegetasi pada katup jantung. Biopsi ginjal perlu dilakukan pada kasuskasus yang mengalami perburukan faal ginjal. b) Diagnosis shunt nefritis dibuat berdasarkan adanya, riwayat pemasangan shunt atrioventrikulo/peritoneal untuk penanggulangan hidrosefalus, panas lama, gejala-gejala peninggian 25



tekanan intrakranial. Pada pemeriksaan fisik dijumpai shunt yang sedang terpasang, hipertensi. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hematuria, proteinuria, silinderuria, kadar C3 merendah, fungsi ginjal dapat menurun. Pada kultur dapat ditemukan kuman penyebab. Biopsi ginjal perlu dilakukan bila fungsi ginjal menurun secara cepat dan progresif. 2.2.2. Beberapa penyakit multisistemik yang berhubungan dengan GNA antara lain adalah PHS dan LES. a) Diagnosis PHS ditegakkan berdasarkan temuan: riwayat ruam pada kulit, nyeri sendi, nyeri perut mendadak, urin berwarna merah gelap. Pada pemeriksaan fisik didapatkan rash pada daerah bokong, dan bagian ekstensor dari ekstremitas bagian bawah, arthritis/arthralgia, kadang-kadang ada hipertensi dan edema. Pada pemeriksaan penunjang dijumpai hematuria, proteinuri, silinderuria. Fungsi ginjal dapat normal atau menurun. Kadar C3 normal. Biopsi ginjal perlu dilakukan pada kasus-kasus dengan hipertensi berat dan perburukan faal ginjal. b) Diagnosis LES ditegakkan berdasarkan riwayat panas lama, sakit sendi, ruam pada kulit, rambut mudah rontok. Pada pemeriksaan fisik dapat dapat dijumpai antara lain alopesia, butterfly rash, diskoid lupus, ulkus pada mulut, arthritis/arthralgia, edema, anemia, efusi pleura/perikarditis/ asites. Pada pemeriksaan penunjang dijumpai anemia hemolitik, trombositopenia, leukopenia, LED meningkat. Urinalisis dan kimia darah dapat menunjukkan gambaran sindroma nefritis akut atau sindroma nefritik dengan atau tanpa disertai penurunan faal ginjal, sel LE (+), ANA (+), ds DNA antibodi (+), C3 merendah. Pada kasus LES biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnostik, pengobatan dan prognosis.



2.3 Diagnosis GNK yang berhubungan dengan sindroma nefritik ditegakkan berdasarkan: riwayat penyakit ginjal yang sudah lama diderita. Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium dijumpai tanda-tanda dari sindroma nefrotik nefritik. Kadar C3 dapat normal atau merendah secara persisten. Perlu biopsi ginjal untuk melihat kelainan morfologi dari glomerular. Diagnosis GNK yang berhubungan dengan nefritis herediter (sindroma Alport) dibuat berdasarkan riwayat sakit ginjal pada 26



beberapa anggota keluarga disertai tuli. Ada riwayat serangan hematuri makroskopis yang hilang timbul, disertai hematuria mikroskopis yang menetap. Hasil urinalisis dari anggota keluarga menunjukkan hematuria mikroskopis. Pada pemeriksaan fisik dijumpai kelainan pada mata berupa lentikonus anterior. Pada pemeriksaan audiometri dijumpai tuli neurosensoris. Biopsi ginjal perlu dilakukan untuk diagnosis. 3) Sindroma uremik hemolitik Diagnosis berdasarkan temuan riwayat diare berlendir/berdarah, Pada pemeriksaan fisik dijumpai anak tampak pucat, ruam pada kulit berupa ptekie/purpura, hepatosplenomegali, anemia hemolitik mikroangiopati, trombositopeni dan penurunan fungsi ginjal.



5. DIAGNOSIS



HEMATURIA



6. DIAGNOSIS BANDING 7. PEMERIKSAAN PENUNJANG



Berdasarkan pola pemikiran evidence base dan perhitungan untung-ruginya pemeriksaan pencitraan, Stark (1997) mengajukan alternatif pilihan sebagai berikut: 1. Anak yang diduga menderita pielonefritis akut dan semua bayi yang menderita ISK perlu pemeriksaan USG dan MSU. Bila ditemukan RVU, pemeriksaan pielografi intravena (PIV) atau sintigrafi DMSA dapat dilakukan, meskipun tidak langsung terkait dengan penanganan pasien. Bila pada pemeriksaan USG dicurigai adanya kelainan anatomik maka PIV lebih disarankan. 2. Anak perempuan dengan ISK bawah (sistitis) berulang sampai 2 atau 3 kali atau ISK pertama dengan adanya riwayat RVU dalam keluarga, diperlakukan seperti pilihan no.1 di atas. 3. Sebagian besar anak perempuan dengan ISK serangan pertama atau ISK bawah saja tidak memerlukan pemeriksaan pencitraan. Kelompok ini cukup dipantau tiap 6-12 bulan dan biakan urin bila ada demam. − Khusus untuk neonatus laki-laki sampai usia 8 minggu disarankan pemeriksaan USG dan MSU rutin pada ISK pertamakalinya. Bila ditemukan kerusakan parenkim ginjal ataupun refluks derajat 3 atau lebih, dilanjutkan dengan pemeriksaan skintigrafi radionuklid. Pada anak yang lebih besar USG dipakai sebagai penyaring dan bila dicurigai ada kelainan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan lain seperti PIV, MSU maupun skintigrafi radionuklid. − Pemeriksaan atas indikasi: biakan darah, foto thorax



8.TERAPI



Disesuaikan dengan SP masing-masing 27



lndikasi rawat Semua penderita dengan hematuria simtomatis



Tindak lanjut Tindak lanjut disesuaikan dengan SP masing-masing 9. EDUKASI 10. PROGNOSIS 11. TINGKAT EVIDENS 12. TINGKAT REKOMENDASI 13. PENELAAH KRITIS 14. INDIKATOR MEDIS 15. KEPUSTAKAAN



Referensi:



1. Syarifuddin Rauf, Hematuria. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:114-125



Mengetahui/menyetujui



Palembang,



Ka. Departemen Ilmu Kesehatan Anak



Ka. Divisi Nefrologi



dr.Rismarini, Sp.A (K)



Dr. Hertanti Indah L, SpA



28



Lampiran 5



BAB IV DOKUMENTASI PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK) DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK RSUP.Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG



RSMH PALEMBANG



HIPERTENSI ICD 10



1. PENGERTIAN



I10.



 TD Normal : TD sistolik atau diastolik < 90 persentil menurut gender, umur dan tinggi badan anak  Pra Hipertensi : TD sistolik atau diastolik 90-95 persentil atau pada anak remaja TD ≥ 120/80 mmHg meskipun < 95 persentil dianggap prahipertensi.  Hipertensi adalah TD sistolik dan atau diastolik ≥ 95 persentil menurut gender, umur dan tinggi badan pada ≥ 3 kali pemeriksaan pada saat yang berbeda.  Hipertensi Stadium 1. TD ≥ 95 persentil sampai 99 persentil plus 5 mmHg  Hipertensi Stadium 2. TD > 99 persentil plus 5 mmHg (Diambil dari National High Blood Pressure Education Program Working on High Blood Pressure in Children and adolescent. The fourth report on the diagnosis, evaluation, and treatment of high blood pressure in children and adolescent. Pediatrics 2004;114 (2 suppl 4th report):555-76). Catatan : Persentil menurut jenis kelamin, umur dan tinggi badan diukur setidak-tidaknya 3 kali pada waktu yang terpisah, jika terdapat perbedaan persentil sistolik dan diastolik, kategorikan berdasarkan nilai yang lebih tinggi. Tabel persentil menurut jenis kelamin, umur dan tinggi badan dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2. Etiologi Usia



Penyebab 29



Infant



Renovaskuler; trombosis a.renalis, penyakit congenital, coartasio aorta, BPD



< 1 tahun Stenosis a.renalis 1 - 6 tahun Penyakit parenkim ginjal; penyakit vaskuler ginjal; penyebab endokrin; coarcatio aorta; hipertensi esensial



6-12 tahun Penyakit parenkim ginjal; hipertensi esensial; penyakit vaskuler ginjal; penyebab endokrin; coartatio aorta; penyakit iatrogenik



12-18 tahun Hipertensi esensial; penyakit iatrogenik; penyakit parenkim ginjal, penyakit vaskuler ginjal; penyebab endokrin; coartatio Aorta



2. ANAMNESA



Hal-hal yang perlu ditanyakan dapat dilihat pada tabel 1 Tabel. 1 Anamnesis Pada Anak dan Remaja Hipertensif INFORMASI RELEVANSI Riwayat hipertensi dalam keluarga, Hipertensi essensial riwayat kehamilan preeklampsi. Komplikasi hipertensi dalam anggota keluarga (stroke infark miokard, gagal ginjal). Penyakit ginjal/tumor ginjal dalam keluarga Penyakit ginjal keturunan Riwayat pemakaian kateter arteri Kelainan renovaskuler umbilikalis pada masa neonatus Sakit kepala, pusing, gangguan penglihatan



epistaksis, Gejala tidak khas dapat menunjukkan derajat hipertensi



Sakit perut/pinggang, disuria, Penyakit parenkim ginjal enuresis hematuria, panas dalam



Palpitasi, sering berkeringat, muka Feokromositoma kemerahan, berat badan turun, poliuria, polidipsia, sering sakit kepala 30



Pembengkakan/nyeri sendi, sembab Bentuk nefritis yang kelopak mata tungkai ruam kulit berhubungan dengan penyakit multi sistemik Kejang otot, lemas, konstsipasi



Hiperaldosteronisme/hipokalemia



Badan lemas, parestesia, retardasi Sindrom Cushing pertumbuhan, perubahan habitus tubuh Teraba masa oleh orang tua dalam rongga abdomen, demam Riwayat trauma di perut/punggung, nyeri hematuria, demam



Tumor ginjal



daerah Trauma perut,



Minum pil kontrasepsi, amfetamin, Hipertensi karena obat kokain, koritkosteroid, pemakaian obat tetes hidung (golongan simpatomimetik)



3. PEMERIKSAAN FISIK



Pemeriksaan fisik perlu dilakukan secara cermat. dan sistematis oleh karena ada beberapa kelainan yang dapat ditemukan dan merupakan tanda-tanda etiologi dari hipertensi (tabel 2). Tabel. 2 Tanda-tanda kelainan yang perlu diamati pada pemeriksaan fisik PEMERIKSAAN FISIK



RELEVANSI



Tensi tungkai rendah dibandingkan Koarktasio aorta dengan tensi lengan. Denyut nadi femoralis tibialis dan dorsum pedis lemah, murmur (+) Edema pada muka atau pretibia



Penyakit ginjal



Pucat, muka kemerahan, banyak keringat, Feokromositoma takikardia Bercak café au lait neurofibroma



Penyakit hausen



vonreekling



Moon facies, buffalo-hump hirsutisme, Sindrom Cushing stria, truncal obesity Weeb neck, dasar rambut rendah, jarak Sindrom Turner 31



PEMERIKSAAN FISIK



RELEVANSI



puting susu melebar



4. KRITERIA DIAGNOSIS



5. DIAGNOSIS



Facies elfin, pertumbuhan terlambat



Sindrom Williams



Pembesaran kelenjer tiroid, eksofthalmus



Hipertiroid



Bruit di daerah epigastrium/punggung



Penyakit renovaskuler



Bruit diatas pembuluh darah besar



Sindrom William/artritis



Tumor abdomen unilateral atau bilateral



Tumor Wilm’s neurofibroma, ginjal polikistik, hidronefrosis



Pembesaran jantung



Hipertensi kronik



Kelainan fundus



Hipertensi kronik derajat berat



Palsi bell



Hipertensi kronik



Hemparesis



Hipertensi kronik/akut berat dengan stroke



dan



 Tentukan apakah anak hipertensi atau tidak, sesuai dengan batasan



hipertensi  Bila anak hipertensi maka langkah yang dilakukan sebagai berikut: a) Cari penyebabnya, tentukan derajat berat dan timbulnya b) Cari komplikasinya c) Pemeriksaan yang dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, penunjang. HIPERTENSI



dan



6. DIAGNOSIS BANDING 7. PEMERIKSAAN PENUNJANG



 Bila anak dengan prahipertensi, maka untuk mencari etiologi dan faktor resikonya cukup dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tahap 1A.  Bila dijumpai hipertensi grade 1 atau grade 2 disamping pemeriksaan tahap 1A adakalanya diperlukan pula pemeriksaan tahap 1 B, 2A, dan 2B  Hipertensi essensial didiagnosis sebagai penyebab hipertensi, bila pada anamnesis ada riwayat hipertensi dalam anggota keluarga, riwayat komplikasi dini hipertensi (stroke, infark myokard, gagal jantung), hubungannya dengan hipertensi ditemukan, obesitas, dan pemeriksaan penunjang tahap 1 A semuanya normal  Penyakit ginjal dicurigai sebagai penyebab hipertensi bila pada anamnesis dan pemeriksaan fisik dijumpai tanda-tanda/gejala yang mencurigakan ke arah penyakit ginjal, sedangkan diagnosis ditegakkan berdasarkan 32



kelainan pada pemeriksaan tahap 1A.  Untuk mendiagnosis jenis-jenis dari penyakit parenkim ginjal lainnya diperlukan bantuan beberapa pemeriksaan tambahan (tahap 1 B). Jenis pemeriksaan yang diperlukan tergantung dari kelainan yang didapatkan pada tahap 1A 1) Pemeriksaan tahap lA, untuk mendeteksi penyakit ginjal:



 Urinalisis, biakan urin  Kimia darah (kolesterol, albumin, globulin, asam urat, ureum, kreatinin, profil lipid, KGD puasa, elektrolit)  EKG/ Echocardiography  Klirens kreatinin dan ureum  Darah lengkap  Foto thorax 2) Pemeriksaan tahap 1 B untuk mendiagnosis jenis-jenis penyakit ginjal  ASTO komplemen (C3)  Sel LE, uji serologi untuk SLE (ANA, ds DNA antibodi)  Pielografi intravena  Miksio sistouretrografi (MSU)  Biopsi ginjal Bila dicurigai penyebab hipertensi berkaitan dengan stenosis arteri renalis atau gangguan endokrin berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan beberapa hasil pemeriksaan tahap lA dan 1 B, untuk menegakkan diagnosis perlu bantuan beberapa pemeriksaan penunjang lain tahap 2A dan 2B yang hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar dimana fasilitasnya lebih lengkap. 3) Pemeriksaan tahap 2A untuk diagnosis ke arah stenosis arteri renalis dan kelainan endokrin (dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas lengkap)  Aktivitas renin plasma dan aldosteron  Katekolamin plasma  Katekolamin urin dan metabolitnya dalam urin  Aldosteron dan metabolit dalam urin (17 ketosterol dan 17 hidroksikortikosteroid) 1) Pemeriksaan tahap 2B untuk diagnosis yang lebih spesifik (dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas lengkap)  Tc 99m DTPA atau DMSA scan  CT scan abdomen  Arteriografi/digital substraction angiografi  Katekolamin vena kava (KVK)  Analisis aldosteron dan elektrolit urin  Uji supresi dengan deksametason  Renin vena renalis (RVR) 33



8.TERAPI



Indikasi rawat inap:  Semua penderita hipertensi sekunder  Hipertensi essensial grade II



Penatalaksanaan I. Terhadap Hipertensi: A. Pengobatan Non Farmakologik: 1. Hipertensi Non Krisis 1.1 Pra-Hipertensi Pengobatan dengan modifikasi gaya hidup. Pengobatan ini ditujukan pada anak remaja dan adolescent dengan hipertensi esensial yang mengalami obesitas, yaitu dengan cara :  Diet rendah garam 1200-1500 mg/hari  Menurunkan berat badan dengan mengatur diet  Olahraga seperti jalan santai, joging atau bersepeda  Kebiasaan merokok dan minum alkohol dihentikan Bila dengan langkah di atas TD tidak turun dan cenderung naik setelah beberapa minggu sampai 6 bulan, maka diberikan obat tambahan farmakoterapi (antihipertensi).



1.2.Hipertensi stadium 1 Pengobatan dengan modifikasi gaya hidup. Bila gagal, baru masuk ke terapi farmakologik.



B. Pengobatan Farmakologik Indikasi pengobatan farmakologik : a. Hipertensi stadium I yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi non farmakologik atau menjadi hipertensi stadium II. Pengobatan farmakologik dimulai dahulu dengan satu obat (diuretik) atau obat antihipertensi seperti beta blocker, ACE inhibitor atau Ca channel blocker, dimulai dengan dosis kecil dahulu. Bila belum respon, dosis dapat dinaikkan secara bertahap sampai mencapai dosis maksimal. Bila masih gagal, berikan terapi kombinasi. Sasaran pengobatan : menurunkan TD < 95 persentil,



kemudian



34



menurunkan TD < 90 persentil. b. Hipertensi sekunder Disamping menurunkan TD, penyebab dan komplikasi yang timbul harus dicari dan ditanggulangi. c. Hipertensi Krisis Pada penderita dengan hipertensi urgensi biasanya digunakan obatobatan oral, sedangkan pada penderita hipertensi emergensi digunakan obat-obatan parenteral.



Adapun obat-obatan yang biasa dipakai di Bagian IKA RSMH dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Kelas ACE inhibitor



Obat-obatan Enalapril



Lisinopril



Captopril



Dosis Awal



Dosis Maksimal



0,08 mg/kgbb/hari



0,6 mg/kgbb/hari



Dibagi 2 dosis



Sampai 40 mg/hari



0,07 mg/kgbb/hari



0,6 mg/kgbb/hari



Dbagi 2 dosis



Sampai mg/hari



0,30,5mg/kgbb/kali



6 mg/kgbb/hari



40



Diberikan 2-3x/hari Beta blocker



Propanolol



0,5-1 mg/kgbb/hari



5 mg/kgbb/hari



Dibagi 2-3 dosis Diuretik



Hidroklortiazid



Furosemid



1 mg/kgbb/hari



3 mg/kgbb/hari



Dibagi 2 dosis



Sampai mg/hari



1-2 mg/kgbb/hari



6 mg/kgbb/hari



50



Dibagi 2 dosis



35



Efek samping yang perlu diperhatikan: Kelas ACE inhibitor



Obat-obatan



Efek Samping



Enalapril



Diare, mual, sakit kepala, rash, batuk, hipotensi



Lisinopril



Diare, mual, muntah, dispepsia, sakit kepala, vertigo, batuk, hipotensi



Captopril



Batuk, diare, sakit kepala, mual, muntah, rash, hiperkalemia, netropenia



Beta blocker



Propanolol



Vertigo, rash, bradikardi



Diuretik



Hidroklortiazid



Hipotensi, konstipasi, anoreksia, rash, purpura, hipokalemia, hipomagnesia.



Furosemid



Hipotensi, pankreatitis, anemia, mual, rash.



akral



dingin,



jaundice,



Pengobatan Hipertensi Krisis (emergensi) Prinsip: tekanan darah harus diturunkan secepatnya dengan menggunakan obat antihipertensi yang poten, guna mencegah kerusakan berlanjut dari organ target. Obat-obat : klonidin (Catapres) dan furosemide. Klonidin diberikan secara infus tetes dengan dosis 0,002 mg/kgBB dilarutkan dalam 100 ml larutan glucosa 5% dengan kecepatan XII tetesan mikro/menit, dinaikkan 6 tetes tiap 30 menit, sampai tekanan darah diastolik < 100 mmHg. Dosis maksimal 36 tetes/menit atau 0,006 mg/kgBB. Bila terdapat over load atau anak tidak dehidrasi diberikan furosemid secara IV dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari. Bila tekanan darah diastolik belum turun, tambah kaptopril, dosis awal 0,3 mg/kg/kali, dosis maksimal 2 mg/kali, diberi 2-3 kali/hari. Bila Td D Turín di bawah 100 mgHg, tetesan klonidin diturunkan secara bertahap, sedangkan kaptopril terus diberikan seperti dosis diatas (gambar 1). Prinsip pengobatan hipertensi kronik hampir sama dengan hipertensi akut, hanya saja perbedaan interval penambahan dosis dan jenis obat lebih panjang yaitu 2-4 minggu. Pengobatan hipertensi akselerasi, penurunan tekanan darah dengan menggunakan obat parenteral tidak boleh terlalu cepat seperti pada hipertensi akut yang mengalami krisis. Tekanan darah diturunkan 30% dalam 6 jam pertama, untuk mencegah iskemia otak, lalu 1/3 36



lagi 12-36 jam dan sisanya 2-4 hari.



II. Pengobatan terhadap penyakit penyebab: Tindakan operasi perlu dilakukan antara lain pada kasus: 1) Koartasio aorta-stenosis arteri renalis/penyakit parenkim ginjal unilateral 2) Tumor ginjal 3) Feokromositoma, adenoma kelenjar adrenal.



Tindak lanjut 



















Pengukuran tekanan darah perlu dilakukan setiap 4-8 minggu pada penderita hipertensi essensial ringan yang berobat jalan. Perlu dijelaskan tentang manfaat pengobatan non farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah. Penderita hipertensi derajat 1 dan 2 yang sedang dirawat perlu dilakukan pengukuran tekanan darah 2-3 kali sehari. Faal ginjal/kimia darah/EKG/foto thoraks/darah tepi umumnya dilakukan saat penderita dirawat dan pada waktu pulang.



Hipertensi stadium 2, pengukuran tekanan darah lebih sering dilakukan, bila perlu setiap 3 jam sekali. Fungsi ginjal/kimia darah/EKG/foto thoraks, darah tepi dilakukan saat penderita dirawat dan saat dipulangkan. Bagi penderita yang tidak menunjukkan tanda kongesti vaskuler saat dirawat, foto thoraks/EKG hanya dilakukan 1 kali saja. Penderita hipertensi berat dengan krisis, pengawasan lebih ketat untuk itu sebaiknya penderita dirawat di ruang ICU anak, agar pemantauan fungsi vital, .jumlah cairan, efek pengobatan terhadap penurunan tekanan darah dapat dilakukan secermat mungkin. perlu pemantauan funduskopi, EKG, darah tepi, gagal ginjal (jumlah diuresis, BUN/kreatinin serum/elektrolit secara berkala). Pemeriksaan foto rontgen dada dilakukan setelah tekanan darah terkontrol. Terhadap penderita ini perlu dicari komplikasi berat yang mungkin timbul seperti ensefalopati, dekompensasio kordis, gagal ginjal atau infeksi. Bila komplikasi ini timbul perlu segera diatasi. Pada penderita ensefalopati hipertensi adakalanya diperlukan pemeriksaan CT scan bila dengan pengobatan antihipertensi tekanan darah sudah turun menjadi normal, akan tetapi kesadaran penderita tidak membaik. Pada penderita dengan ISK, perlu dilakukan pengamanan tentang struktur anatomi dari ginjal dan saluran kemih dengan USG/PIV/MCU.



37



Indikasi pulang 



9. EDUKASI 10. PROGNOSIS



Keadaan umum, tekanan darah normal (< persentile ke-90), penyakit penyebabnya (pada anak-anak) terbanyak penyebab hipertensi adalah GNA, gejala-gejala dari penyakit penyebab cenderung menghilang. Penderita dinasehatkan untuk kontrol berobat ke poli khusus ginjal anak.



Pengaturan pola makan dan melakukan olah raga secara teratur dan lakukan kontrol secara teratur. Prognosis tergantung dari derajat beratnya hipertensi, kecepatan penanganan komplikasi dan penyakit yang mendasarinya.



11. TINGKAT EVIDENS 12. TINGKAT REKOMENDASI 13. PENELAAH KRITIS 14. INDIKATOR MEDIS 15. KEPUSTAKAAN



Referensi :



1. Dahler Bahrun. Hipertensi Sistemik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002: 242-289. 2. Alatas Husein. Ensefalopati Hipertensi. Dalam Simposium dan Workshop Sehari “Kegawatan pada Penyakit Ginjal Anak”; Makasar, 2006: 14-28.



Mengetahui/menyetujui



Palembang,



Ka. Departemen Ilmu Kesehatan Anak



Ka. Divisi Nefrologi



dr.Rismarini, Sp.A (K)



Dr. Hertanti Indah L, SpA



Lampiran 6



38



PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK) DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG



1. Pengertian (definisi)



2. Anamnesis



A. Pemeriksaan Fisik



B. Kriteria Diagnosis



GAGAL GINJAL AKUT (GGA) ICD 10 (N-17) Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindroma yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang mendadak dengan akibat terjadinya penimbunan hasil metabolit senyawa nitrogen seperti ureum dan kreatinin. Tentukan penyebab GGA 1) GGA pra renal: riwayat kekurangan cairan (diare, muntah), kehilangan darah/plasma (trauma, luka bakar), pembedahan, sakit jantung dll. 2) GGA pasca renal: riwayat ISK berulang, nyeri pinggang, hematuria, riwayat batu, bila berkemih sering mengedan dan tidak lancar, terasa nyeri yang hebat pada waktu berkemih, ada riwayat makan jengkol. 3) Bila penyebab GGA pra-renal/paska renal dapat disingkirkan langkah berikutnya adalah mencari etiologi GGA intra renal. − Perlu ditanyakan riwayat yang mengarah ke penyakit tertentu, seperti faringitis/impertigo beberapa hari sebelum munculnya GGA, riwayat kemih berwarna merah gelap. − Riwayat diare berlendir/atau bercampur darah, urine berwarna merah gelap, ruam pada kulit, pucat, gambar darah tepi menunjukkan anemia hemolitik mikroangiopati dan trombositopeni menjurus kearah diagnosis SHU. − Riwayat pemakaian obat-nefrotoksik, demam nyeri sendi, urtikaria, sedang hematuria dan piuria disertai sel epitel tubulus. 1) GGA pra renal: Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan tanda dehidrasi, luka bakar, takikardi, tanda-tanda gagal jantung kongesti (edema paru, kardiomegali, bising jantung). 2) GGA pasca renal Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan retensio urine (kandung kemih penuh), terasa massa di rongga abdomen, atau terlihat ada kristal asam jengkol pada ofisium urethra eksterna. 3) Bila penyebab GGA pra-renal/paska renal dapat disingkirkan langkah berikutnya adalah mencari etiologi GGA intra renal. Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema pada kelopak mata dengan atau tanpa hipertensi mengarah dugaan pada GNAPS. Ruam pada kulit, arthiritis, arthralgia, nyeri perut, mengarah dugaan pada vaskulitis  GGA oliguria Volume urine pada seorang anak 1,3, Na urine < 20, fraksi ekskresi (FE) Na < 1 2) GGA pasca renal: Pada urinalisis dapat ditemukan proteinuria, hematuria, piuria, kristal asam jengkol Pada pemeriksaan USG dapat dijumpai kemungkinan adanya dilatasi sistem pelvicokalises. 1) Ginjal akut pra renal. Tergantung dari penyebab. Pada keadaaan tertentu perlu dilakukan pengukuran tekanan vena sentral (CVP) untuk mengevaluasi hipovolemia CVP normal = 6-10 cm Hg. Bila CVP < 10 cm Hg  hipovelemia Jenis cairan yang digunakan tergantung dari etiologi hipovolemia. Pada GE + dehidrasi berat diberikan Ringer laktat sesuai protokol. Pada syok hemoragik diberikan transfusi darah. Syok pada sindroma nefrotik akibat hipoalbuminemia, diberikan infus low salt albumin atau plasma. Pada dehidrasi yang etiologinya tidak jelas diberikan RL 20 ml/kgBB selama 1 jam. Diuresis biasanya terjadi 2-4 jam pemberian tetapi rehidrasi dilanjutkan dengan diuretika. Terapi cairan secara cepat ini berguna untuk membedakan apakah GGA bersifat pra-renal atau intra renal. Respon terapi dikatakan baik, bila diuresis > 1 –3 ml/kgBB/jam. Cara lain membedakan kedua keadaan ini adalah dengan diuresis paksa dengan catatan penderita sudah lama dalam keadaan hidrasi tetapi masih oliguria. Diberikan furosemid dengan dosis 1 -2 mg/kgBB IV. Bila terjadi peningkatan diuresis 6 – 10 ml/kgBB/jam, GGA bersifat prarenal, bila tidak GGA bersifat intrarenal. Bila penyebabnya gagal jantung, terapi cairan tidak dianjurkan, karena akan menambah beban jantung. Pengobatan yang diberikan adalah furosemid dan inotropik (dopamin, digoksin). Dopamin diberikan dengan dosis (1-3 mikrogram)/kgBB, secara infus tetes guna meningkatkan aliran darah ginjal dan curah jantung 2) Gagal ginjal paska renal Terapi spesifik pada gangguan ini adalah menghilangkan obstruksi, mungkin perlu pemasangan foley kateter, vesikotomi tube nefrostomi. Obstruksi yang telah terkoreksi dapat mengalami piuria dengan 40



kemungkinan hipokalemia, hiponatremia, hipotensi sampai kolaps. Dalam hal ini terapi cairan harus betul-betul diperhatikan 3) Gagal ginjal akut intra renal a. Terapi konservatif 1. Restriksi cairan Jumlah cairan yang diberikan berdasarkan insensible water loss + jumlah urine 1 hari sebelumnya – jumlah cairan yang keluar bersama muntah, berak, slang nasogastric, dll + kenaikan suhu setiap 1 C diatas 37,5 oC sebanyak 12% berat badan. Perhitungan IWL didasarkan pada kalori expenditure, sesuai berat badan:  0 –10 kg : 100 kal/kgBB 11 – 20 kg : 1000 kal + 50 kal/kg/hari diatas 10kg  > 20 kg : 1500 –20 kal/kg/hari diatas 20 kg Jumlah IWL = 25 ml/100 kal. Secara praktis perhitungan yang digunakan anak umur < 5 tahun = 30ml/kgBB/hari, anak umur>5 tahun = 20ml/kg/hari. Cairan sebaiknya diberikan per oral, kecuali bila muntah Jenis cairan yang digunakan: Bi1a anuria: glukosa 10% bila oliguria glukusa 10% 3:1. Kalau menggunakan vena sentralis dapat digunakan glukosa 20-40%. Jumlah kalori minimal yang diberikan untuk mencegah katabolisme 400 kkal/m2/hari. Bila terapi konservatif berlangsung > 3 hari pertimbangkan pemberian emulsi lemak dan protein 0,5 - 1 g/kgbb/hari.. Pemberian protein dilakukan sesuai dengan jumlah diuresis. 2. Pengobatan komplikasi Asidosis melabolik dikoreksi dengan cairan bicnat 7,5 % sesuai dengan hasil analisis gas darah. Yaitu akses basa x berat badan x 0,3 (meq) atau kalau ASTRUP tidak ada dapat dengan koreksi buta 2-3 meq/kg/hari 3. Hiperkalemia Bila kadar kalium serum 5,5 - 7 meq/l perlu diberikan kayexalat 1 gr/kgBB per oral /rektal 4 x sehari Kalium serum > 7 meq/l atau ada kelainan EKG/atau aritmia jantung perlu diberikan glukonas kalsikus 10% 0,5 ml/kgBB IV lambat-lambat dalam 5-10 menit, natrium bikarbonat 7,5 % 2,5 meq/kg BB IV dalam waktu 10-15 menit. Bila hiperkalemia masih ada glukosa 20% (1cc/kgBB atau 0,5 g glukosa/kgBB) + 0,5 U insulin dan siapkan dialisis 4. Hiponatremia Dikoreksi bila kadar natrium < 120 meq/l atau timbul gejala. Dosis yang digunakan adalah 0,6 x BB x (Na yang diharapkan - Na serum yang didapat) meq/l diberikan dalam bentuk larutan NaCl hipertonis (3%) selama 4 jam infus. Koreksi diberikan separohnya untuk mencegah hipertensi atau overload cairan 5. Kejang Diatasi sesuai dengan penatalaksanaan kejang. Koreksi terhadap penyebab kejang (Kejang pada GGA dapat disebabkan gangguan elektrolit, hipertensi atau uremia) 41



Tetapi diatasi dengan injeksi kalsium glukonas 10 % 0,5 cc/kgBB IV lambat-lambat. 6. Hiperfosfatemia Diatasi dengan aluminium hidroksida 60 mg/kgBB dibagai 3 dosis, atau dengan calcium karbonas 500 – 1 gram/hari. 7. Anemia Jika kadar Hb turun di bawah 6 g/dl, diberikan darah segar atau PRC. 8. Kongesti vaskuler Gejala edema paru/gagal jantung kongesti diatasi dengan furosemid IV dosis 1-2 mg/kgBB/kali, oksigen, tourniquet atau plebotomi, pemberian morfin 0,1 mg/kgBB. Bila tidak berhasil dalam waktu 20 menit segera dilakukan dialisis. 9. lnfeksi Harus ditanggulangi. Dosis obat harus disesuaikan dengan derajat penurunan faal ginjal 10. Hipertensi Diatasi sesuai dengan standard profesi 11. Hiperurisemia Kadar asam urat dapat meningkatkan sampai 50 mg/dl. Bila terjadi peningkatan diberikan alopurinol dengan dosis 100-200 mg untuk anak usia < 8 tahun dan 200-300 mg untuk usia diatas 8 tahun, dibagi 2 dosis. b. Terapi pengganti Dialisis: Dilakukan atas indikasi: a. Kadar Ureum darah > 200 mg/dl. b. Hiperkalemia berat (K>7,5 meq/l) yang tidak menunjukkan respon dengan pengobatan konservatif. c. Bikarbonas plasma 12 meq/ l. d. Gejala-gejala kongesti vaskuler yang tidak dapat diatasi dengan terapi medikamentosa. e. Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat seperti pendarahan penurunan kesadaran sampai koma. Fase diuresis: Pada fase ini harus diawasi jumlah diuresis/hari. Bila terjadi diuresis yang masif harus mendapat penggantian cairan dan elektrolit yang sesuai 4. Tindak lanjut 1) Selama perawatan perlu dilakukan pengawasan terhadap tanda-tanda vital: tensi, nadi, pernafasan, ritme jantung, suhu tubuh. 2) Pemeriksaan Hb/Ht/trombosit secara berkala 3) Pemeriksaan ureum/kreatinin dan elektrolit serum secara berkala 4) Analisis gas darah bila ada 5) Masukan cairan dan jumlah diuresis/24 jam 6) EKG secara serial 7) Foto rontgen dada G. Edukasi 42



H. I. J. K.



Prognosis Tingkat Evidens Tingkat Rekomendasi Penelaah Klinis



L. Indikator medis M. Kepustakaan



Tergantung pada penyebab dan kecepatan bertindak I/II/II/IV A/B/C 1. ... 2. ... Referensi : 1. Alatas H, gagal ginjal akut Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:490-508 2. Noer MS, Soemiyarso N, Prasetyo RV, Gagal Ginjal Akut. Dalam Naskah Lengkap SINAS dan Workshop Nefrologi IDAI, Bali,2009



Mengetahui/Menyetujui Ka. Departemen .......................



Palembang, .................................. Ka. Divisi .......................................



Dr. Rismarini SpA (K) NIP.........................................



Dr. .Hertanti Indah L, SpA NIP. ................................................



Lampiran 7 PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK) DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG GAGAL GINJAL KRONIK (GGK) 43



3. Pengertian (definisi)



4. Anamnesis N. Pemeriksaan Fisik



O. Kriteria Diagnosis



ICD 10 (N. 18) GGK adalah suatu keadaan gangguan yang kompleks, baik klinis, kimiawi maupun metabolisme tubuh sebagai akibat menurunnya fungsi ginjal yang kronik dan progresif dalam hal ini kecepatan glomerulus (KFG) Lemah, letargi, penurunan kesadaran somnolen-koma, sesak nafas, anoreksia, mual, muntah, hematemesis, pucat Anemia, purpura Edema, hipertensi Rikets, osteomalasia, hiperfosfatemia. Hipokalsemia, hiperparatiroidisme, pruritis Hiperkalemia, asidosis, metabolik, hiperuriasidemia. Retardasi pertumbuhan, neuropati perifer Perikarditis, kardiomiopati, gagal jantung Ada 3 tingkatan GGK berdasarkan penurunan KFG, yaitu: 1) GGK awal: LFG menurun antara 15-30 ml/men/1,73 m2 2) GGK lanjut: LFG menurun antara 5-15 ml/men/1,73 m2 3) GGK terminal: LFG menurun < 5 ml/men/1,73 m2



P. Diagnosis Q. Diagnosis Banding R. Pemeriksaan Penunjang S. Terapi



1) Pengobatan konservatif Pengobatan ini masih dapat dilakukan bila klirens kreatinin > 5 ml/mnt/1,73 m2 Tujuan pengobatan ini untuk memperbaiki keadaan umum, sehingga bila penderita jatuh dalam stadium terminal dari perjalanan GGK, maka untuk mendapatkan dialisis dan transplantasi ginjal, kondisi fisiknya tetap dalam keadaan optimal. a. Kebutuhan Kalori Anak dengan GGK harus mendapat masukan kalori minimal 40-120 kcal/kgBB/hari. Dapat dipakai patokan minimum RDA seperti terlihat pada tabel 1 Tabel-1. Rekomendasi Pemberian Kalori sehari-sehari pada anak dengan insufesiensi Ginjal Kronik sesuai Umur Usia Tinggi Energi Protein Kalsium Fosfor (Cm) (kcal) (gr) (gr) (gr) 0-2 bln 55 120/kg 2,2/kg 0,4 0,2 2-6 bln 63 110/kg 2/kg 0,5 0,4 6-12 bln 72 100/kg 1,8/kg 0,6 0,5 1-2 th 81 1100 18 0,7 0,7 2-4 th 98 1300 22 0,8 0,8 4-6 th 110 1600 29 0,9 0,9 6-8 th 121 2000 29 0,9 0,9 8-10 th 131 2100 31 1,0 1,0 10-12 th 141 2450 36 1,2 1,2 12-14 th L 151 2700 40 1,4 1,4 12-14 th P 154 2300 34 1,3 1,3 14-16 th L 170 3000 45 1,4 1,4 44



14-16 th P 16-22 th L 16-22 th P



159 175 163



2350 2800 2200



35 42 33



1,3 0,8 0,8



1,3 0,8 0,8



b. Kebutuhan protein Pada anak dengan GGK pembatasan protein dimulai pada klirens kreatinin di antara 15-20 ml/men/1,73 m2. Protein sebaiknya protein hewani. Pembatasan protein dapat disesuaikan dengan usia dan KFG seperti terlihat pada tabel 2. Tabel 2. Anjuran Intake Protein untuk anak dengan insufesiensi ginjal Sesuai dengan Umur dan LFG Usia 50-20 20-10 10-5 (120% (100% (100% RDA) RDA) RDA) 0-2 bln 2,6 g/kg 2,2 g/kg 1,6 g/kg 2-6 bln 2,4 g/kg 2 g/kg 1,5 g/kg 6-12 bln 2,1 g/kg 1,8 g/kg 1,5 g/kg 1-3 th 28 g 28 g 18 g 3-6 th 38 g 30 g 23 g 6-8 th 43 g 36 g 27 g 8-10 th 48 g 40 g 30 g 10-12 th L 54 g 45 g 34 g 12-14 th L 60 g 50 g 38 g 14-18 th L 72 g 60 g 45 g 10-14 th P 60 g 50 g 38 g 14 – 18 th P 66 g 55 g 41 g c. Natrium Pada penderita GGK tanpa hipertensi umumnya diberikan diet rendah garam yaitu natrium 1 meq/kgBB/hari. Retriksi ketat natrium dilakukan bila terdapat hipertensi dan oliguria berat yaitu 0,5 meq/kgBB/hari (1 gram garam dapur mengandung 400 mg natrium atau 17 meq natrium) d. Air Pembatasan cairan dilakulkan bila terdapat edema dan hipertensi atau LFG turun dibawah 10 ml/men/l,73 m2, untuk mencegah intoksikasi air dan hiponatremia. Jumlah air yang diperlukan adalah IWL + volume urin 1 hari sebelumnya e Kalium Bila kadar kalium dalam serum antara 5,5-6,5 meq/L, semua jenis makanan yang mengandung kalium harus dihindari: sayur-mayur yang berwarna hijau, buah-buah, kacang-kacangan, coklat dll. Bila kadar kalium 6,5 meq/l disertai dengan perubahan EKG maka harus segera diatasi seperti pada GGA f . Asidosis Obat yang digunakan adalah natrium bikarbonat dengan dosis 0.5-1 meq/kgBB/hari atau berdasarkan hasil analisa gas darah. g. Osteodistrofi renal Dalam usaha pencegahan osteodistrofi renal pada anak dengan GGK Tindakan yang perlu dilakukan adalah: 45







Pemberian kalsium yang cukup. Dosis kalsium yang dianjurkan adalah 500 – 1000 meq/kgBB/hari  Mengurangi masukan protein dan produk susu yang kaya akan fosfat, menghambat absorbsi fosfat dari dalam usus dengan pemberian aluminium gel. Kadar fosfat dalam serum harus diperiksa dan dipertahankan antara 4 –5 mg/dl. h. Pemberian vitamin D Tergantung pada derajat gagal ginjal dan kecurigaan pada tulang berdasarkan hasil pemeriksaan radiologis. Vitamin D diberikan dengan dosis 4000 – 40.000 U/hari. Selama pemberian obat kadar kalsium harus diperiksa untuk mendeteksi timbulnya hiperkalsemin akibat efek samping vitamin D. i. Hipertensi Pada hipertensi ringan diberikan diuretika seperti furosemid dan membatasi masukan air dan garam. Pada hipertensi moderat-berat diberikan obat antihipertensi secara oral. Bila hipertensi berat sampai menimbulkan kerusakan organ target, diberikan antihipertensi secara intravena. Obat antihipertensi yang digunakan seperti terlihat pada tabel 3. j. Anemia Bila Hb < 6 g/dl dan timbul gejala-gejala anemia. perlu diberikan transfusi darah dengat jumlah 5 - 10 m1/kgBB dalam bentuk "fresh packed cells”. Bila anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi atau asam folat, diberikan zat besi 6 mg/kgBB/hari dan asam folat 0,25- 1 mg/hari. k. Gangguan Pertumbuhan Pengobatan terhadap gangguan pertumbuhan ini sulit karena banyak faktor yang berperan. Faktor yang dapat memberikan respon terhadap pengobatan ini adalah koreksi asidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit. Pengelolaan terhadap malnutrisi harus diusahakan sebaik mungkin, anoreksia harus diberantas, untuk itu perlu bantuan ahli gizi untuk menyusun diet yang cocok untuk selera anak. l. Infeksi Bila ada infeksi harus segera ditanggulangi. Sambil menunggu hasil biakan dan sensitifitas dapat diberikan obat antibiotik yang berspektrum luas. Dosis obat harus disesuaikan dengan derajat kerusakan fungsi ginjal. 2). Pengobatan pengganti: dialisis dan transplantasi ginjal. T. U. V. W. X.



Edukasi Prognosis Tingkat Evidens Tingkat Rekomendasi Penelaah Klinis



Y. Indikator medis Z. Kepustakaan



I/II/II/IV A/B/C 1. 2 Referensi : 1. Nanan Sekarwana,Dedi Rachmadi, Dany Hilmanto, Gagal ginjal Kronik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:50946



530 Mengetahui/Menyetujui Ka. Departemen .......................



Palembang, .................................. Ka. Divisi .......................................



Dr. Rismarini SpA (K) NIP.........................................



Dr Hertanti Indah L SpA NIP. ................................................



Lampiran 8 PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK) DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG



5. Pengertian (definisi)



KERACUNAN JENGKOL ICD 10 (T.62) Keracunan jengkol adalah keracunan yang memakan buah jengkol yang menimbulkan gejala-gejala klinis 47



6. Anamnesis



AA. Pemeriksaan Fisik BB. Kriteria Diagnosis



CC. Diagnosis DD. Diagnosis Banding EE.Pemeriksaan Penunjang



FF. Terapi



Secara klinis keracunan jengkol dapat dibagi dalam 3 tingkatan yaitu: Ringan, bila terdapat keluhan ringan seperti sakit pinggang, kencing berwarna merah Berat, bila disertai oliguria Sangat berat, bila terjadi anuria atau tanda-tanda gagal ginjal akut yang nyata. Dasar diagnosis Adanya riwayat makan jengkol, keluhan sakit perut, muntah, disuria, pernafasan dan urin berbau jengkol yang khas, hematuria, disuria atau anuria, serta ditemukan kristal asam jengkol dalam urin yang merupakan kriteria diagnostik yang cukup spesifik. Langkah diagnosis Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik Pemeriksaan laboratorium/penunjang untuk mendukung diagnosis Cari ada komplikasi



Laboratorium: Pada pemeriksaan urin dengan mikroskop terdapat kristal asam jengkol USG/Pielogravi intravena (PIV): ditemukan pelebaran ureter atau tanda-tanda hidronefrosis akibat obstruksi Penanganan Medis 1. Ringan : diberikan minum yang banyak dengan penambahan air soda atau tablet sodium bikarbonat kira-kira 1-2 meq/kgbb/hari atau sebanyak 1-2 gram/hari . 2. Berat : ditandai dengan oligouria/anuria maka penderita harus dirawat dan ditangani sebagai kasus gagal ginjal akut.  Bila ditandai dengan retensi urin maka dilakukan kateterisasi urin, buli-buli dibilas dengan larutan sodium bikarbonat 1,5%.  Sodium bikarbonat diberikan 2-5 mEq/kgbb, sebaiknya disesuaikan dengan hasil analisis gas darah.  Diuretik diberikan 1-2 mg/kgBB/hari.  Bila cara-cara diatas belum berhasil atau terdapat tanda-tanda perburukan klinis maka perlu dilakukan tindakan dialisis segera. Tindakan Bedah Bila terdapat obstruksi berat di uretra distal, terdapat kesulitan pemasangan katater, pada retensi urin, dilakukan tindakan punksi bulibuli dengan jarum sayap ukuran besar atau jarum sistofik no. l5 F, satu jari diatas simfisis pubis di garis tengah dengan sudut 45°. Selanjutnya dilakukan pembilasan kandung kemih dan sebaiknya dipasang drainase secara tertutup. Bila terdapat edema atau infiltrat urin di daerah batang penis atau skrotum dapat dilakukan tindakan insisi pada bagian skrotum paling bawah 48



GG. HH.



Edukasi Prognosis



II. Tingkat Evidens JJ. Tingkat Rekomendasi KK. Penelaah Klinis LL.Indikator medis MM. Kepustakaan



Prognosis pada umumnya baik, mortalitas dilaporkan sebesar 6% penderita meninggal dunia sebab akibat gagal ginjal akut I/II/II/IV A/B/C 1. 2. Referensi : 1.Taralan Tambunan, Keracunan Jengkol. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:231-241



Mengetahui/Menyetujui Ka. Departemen .......................



Palembang, .................................. Ka. Divisi .......................................



Dr. Rismarini SpA (K) NIP.........................................



Dr Hertanti Indah L SpA NIP. ................................................



Lampiran 9 PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK) DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG



7. Pengertian (definisi) 8. Anamnesis



BATU GINJAL (NEFROLITHIASIS) ICD 10 (N20.0) Terdapat pembetukan batu di ginjal dan saluran kemih Anamnesis yang teliti (saat mulai timbul keluhan, riwayat perjalanan 49



penyakit, pola makanan, pemakaian obat-obatan, riwayat penyakit batu saluran kemih dalam keluarga). Batu ginjal memberikan keluhan bila terjadi obstruksi parsial atau bila batu berubah posisi. Gejala klinik:  Nyeri abdomen umumnya terasa di pinggang  Kolik ginjal  Hematuri makroskopik atau mikroskopik  Piuria  Mual dang muntah  Kembung NN. Fisik



Pemeriksaan



OO. Kriteria Diagnosis



PP. Diagnosis QQ. Diagnosis Banding RR. Pemeriksaan Penunjang



SS. Terapi



 nyeri abdomen  kolik ginjal  hematuri, dll Dapat ditegakkan melalui :  Anamnesis yang teliti (saat mulai timbul keluhan, riwayat perjalanan penyakit, pola makanan, pemakaian obat-obatan, riwayat penyakit batu saluran kemih dalam keluarga).  Pemeriksaan fisik (adakah nyeri abdomen, kolik ginjal, hematuri,dll)  Pemeriksaan Penunjang, antara ialah : a. Urinalisis b. Pemeriksaan radiologis (Foto polos abdomen, USG, Pielografi Intravena) c. Pemeriksaan darah d. Analisis Langkah diagnosis dapat dilihat pada algoritma



a. Urinalisis b. Pemeriksaan radiologis (Foto polos abdomen, USG, Pielografi Intravena) c. Pemeriksaan darah d. Analisis Berhasilnya penatalaksaan batu saluran kemih ditentukan oleh 5 faktor yaitu ketepatan diagnosis, lokasi batu adanya infeksi saluran kemih dan derajat beratnya, derajat kerusakan fungsi ginjal, serta tatalaksana yang tepat. Terapi dinyatakan berhasil bila: keluhan menghilang, kekambuhan batu dapat dicegah, infeksi telah dapat dieradikasi dan fungsi ginjal dapat dipertahankan.  Pengobatan konservatif (lebih ditujukan kepada penyakit/keadaan yang mendasari terbentuknya batu).  Pemakaian obat-obatan (untuk mengurangi rasa sakit yang hebat, mengusahakan agar batu keluar spontan, disolusi batu dan mencegah kambuhnya batu ).  Pengeluaran batu dengan cara ESWL (Extracorporeal shock wave 50



lithoptripsy) menggunakan gelombang untuk meretakkan batu atau dengan cara pembedahan (pielolitotomi atau nefrektomi). TT.Edukasi UU. Prognosis VV. Tingkat Evidens WW. Tingkat Rekomendasi XX. Penelaah Klinis YY. Indikator medis ZZ.Kepustakaan



Prognosis dari batu ginjal tergantung dari diagnosis awal dan terapi yang diberikan, tetapi tingkat berulang kembali biasanya tinggi jika kondisi tersebut tidak diobati. I/II/II/IV A/B/C 1. 2. Referensi : 1.Partini P. Trihono ,Sudung O Pardede, Batu Saluran Kemih. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:212-230



Mengetahui/Menyetujui Ka. Departemen .......................



Palembang, .................................. Ka. Divisi .......................................



Dr Rismarini SpA(K) NIP.........................................



Dr. Hertanti Indah L NIP. ................................................



Lampiran 10 PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK) DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG



9. Pengertian (definisi) 10. Anamnesis



ENURESIS ICD 10 (F98.0 N39.44) Enuresis (mengompol) yang menetap dan paling sedikit satu kali perminggu pada umur di atas 5 tahun untuk anak perempuan dan 6 – 10 tahun untuk anak laki-laki Menentukan tipe dan beratnya enuresis: - Sejak kapan mengompol 51



- Waktu terjadinya (siang atau malam) - Apakah sedang dalam keadaan tidur atau bangun - Pancaran air kemih - Urgensi enuresis - Apakah intermitten atau terus-menerus Riwayat ISK sebelumnya Keadaan psikososial anak dan keluarga Riwayat enuresis pada orangtua atau saudara Apakah pernah mengalami konstipasi atau enkopresis AAA. Fisik



Pemeriksaan



BBB. Kriteria Diagnosis



CCC. Diagnosis DDD. Diagnosis Banding



EEE. Pemeriksaan Penunjang



FFF.



Terapi



Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan abdomen dan alat genital dengan teliti, refleks perifer, sensasi perineal (refleks kremaster dan anal) dan tonus anal, cara berjalan dan tulang belakang (kelainan medula spinalis)   



Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang



 ISK  Kelainan kongenital saluran kemih - Ureter ektopik - Epispadia - Sinus urogenital persisten  Nefropati obstruktif  Kandung kemih neurogenik  Kandung kemih disinergik Laboratorium: - Analisis air kemih, berat jenis air kemih - Biakan urin - Fungsi ginjal Radiologi : - Sonogram - MSU - Foto polos tulang belakang Non farmakologik 1. Latihan menahan miksi Tujuannya untuk memperbesar kapasitas kandung kemih 2. Memberikan motivasi (mengurangi minum pada malam hari, membangunkan anak pada malam hari untuk miksi di kamar mandi, memberikan pujian atau penghargaan bila anak tidak mengompol) 3. Mengubah kebiasaan  bell and pad (beberapa tetes pertama air kemih mnyebabkan alarm berbunyi dan anak terbangun dari tidur, kemudian menyelesaikan miksi di kamar mandi). Farmakologik 1. Anti depresan: imipramin (tofranil) 25 – 100 mg atau 1 – 2 mg/kgBB, dosis tunggal 1 – 2 jam sebelum tidur selama 1 – 2 minggu. 52



Bila belum menunjukkan hasil diteruskan paling sedikit sampai 6 bulan dengan mengurangi dosis setiap 3 – 4 minggu. Tidak dianjurkan untuk anak di bawah 6 – 7 tahun 2. Desmopresin Merupakan vasopresin sintesis DDAVP (1-desamino-8-D-arginine vasopresin), analog dengan AVP (arginine vasopresin). Bekerja dengan cara mengurangi produksi air kemih, sehingga efek sampingnya adalah hiponatremia akibat retensi air. Dosis 10 – 40 μg/intranasal 2 – 4 semprot sebelum tidur atau tablet 0,2 – 0,4 mg. Tiap semprot intranasal mengandung 10μg desmopresin 3. Antikolinergik Oxybutinin (ditropan) atau antikolinergik lainnya menurunkan atau menghilangkan efek kontraksikandung kemih. Dosis yang dipakai untuk anak-anak di atas 6 tahun 2 – 3 x 5 mg GGG. HHH.



Edukasi Prognosis  



III. Tingkat Evidens JJJ.Tingkat Rekomendasi KKK. Penelaah Klinis LLL. MMM.



Indikator medis Kepustakaan



Indikasi pemberian terapi farmakologik/intervensi adalah keinginan orangtua dan anak. Enuresis yang tidak diobati akan sembuh spontan 10 – 20% pertahun I/II/II/IV A/B/C



1. 2. Referensi : 1. Sekarwana Nanan, Enuresis. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:291-307



Mengetahui/Menyetujui Ka. Departemen .......................



Palembang, .................................. Ka. Divisi .......................................



Dr. Rismarini SpA(K) NIP.........................................



Dr. Hertanti Indah L SpA NIP. ................................................



53



54