PPK THT [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) THT-KL RS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG NOMOR : 565.3/PER/RSISA/V/2019



1



DAFTAR ISI



Halaman Judul .............................................................................................................. 1 Daftar Isi ....................................................................................................................... 2 Penyusun ...................................................................................................................... 3 Peraturan Direktur Nomor : 565.3/PER/RSISA/V/2019 tentang Panduan Praktik Klinis (PPK) THT-KL ........................................................................................... 4 Pendahuluan ................................................................................................................ 7 Panduan Praktik Klinik Faringitis Akut ......................................................................... 8 Panduan Praktik Klinik Otitis Media Supuratif Kronik ................................................. 10 Panduan Praktik Klinik Rhinosinusitis Kronik .............................................................. 12 Panduan Praktik Klinik Tonsilitis Kronik ...................................................................... 15 Panduan Praktik Klinik Karsinoma Nasofaring ............................................................ 17 Panduan Praktik Klinik Fraktur Le Fort ........................................................................ 19 Panduan Praktik Klinik Fraktur Os Nasal ..................................................................... 21 Panduan Praktik Klinik Konka Hipertrofi …………………………………………………………………….24 Disclaimer ..................................................................................................................... 26 Penutup ........................................................................................................................ 27



2



PENYUSUN PANDUAN PRAKTIK KLINIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK – KEPALA LEHER No



Nama



1



dr. H. Agung Sulistyanto, Sp.THT-KL



KSM KSM THT



2



dr. Hj. Andriana,M.Si.Med, Sp.THT-KL



KSM THT



3



dr. H. Dwi Antono, Sp.THT-KL (K)



KSM THT



4



dr. Shelly Tjahyadewi, Sp.THT-KL



KSM THT



5



dr. Kanti Yunika Sp.THT-KL



6



dr. Hesti Dyah Palupi Sp.THT-KL



7



dr. Renny Swasti Wijayanti Sp.THT-KL



8



dr.H. Rochmat Soemadi, Sp.THT-KL



KSM THT



3



KSM THT KSM THT KSM THT



SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG NOMOR : 565.3/PER/RSISA/V/2019 tentang PANDUAN PRAKTIK KLINIS THT-KL DI RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG bismillahirrahmanirrahim DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG MENIMBANG



: a. bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Islam Sultan Agung perlu disusun Panduan Praktik Klinis bagi dokter di Rumah Sakit Islam Sultan Agung b. bahwa dalam Panduan Praktik Klinis bagi dokter di Rumah Sakit Islam Sultan Agung bertujuan untuk memberikan acuan bagi dokter dalam memberikan pelayanan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan sekaligus menurunkan angka rujukan c. bahwa buku panduan praktik klinis tersebut digunakan sebagai bahan acuan kegiatan pelayanan medis d. bahwa untuk kepentingan tersebut diatas perlu ditetapkan dalam surat keputusan



MENGINGAT



: 1.



Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit;



2.



Undang-Undang



Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2009 tentang



Praktik Kedokteran; 3.



Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Umum Di Lingkungan Kementerian Kesehatan;



4.



Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 755 /Menkes/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit;



5.



Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/Menkes/Per/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran;



6.



Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 129/Menker/SK II/2008 tentang



4



Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit; 7.



Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1045/MENKES/PER/XI/2006 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan;



8.



Keputusan



Menteri



Kesehatan



Republik



Indonesia



nomor



631/MENKES/SK/IV/2005 tentang pedoman peraturan internal staf medis (Medical Staff Bylaws) di Rumah Sakit; 9.



Keputusan Kepala Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 445/01/BPMD/07/2014 tentang Perpanjangan Izin Operasional Rumah Sakit Islam Sultan Agung;



10. Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor : 107/DSN-MUI/X/2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Berdasarkan Prinsip Syariah; 11. Surat Keputusan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor :



008.55.09/DSN-MUI/VIII/2017



tentang



Penetapan



Layanan



dan



Manajemen Rumah Sakit Islam Sultan Agung telah memenuhi prinsip syariah; 12. Surat Keputusan Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor : 12/SK/YBW-SA/II/2018 tentang Pengangkatan dr. H. Masyhudi AM, M.Kes sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Islam Sultan Agung Masa Bakti 2018 – 2022; 13. Surat Keputusan Pengurus Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor : 70/SK/YBW-SA/VI/2018 tentang Pengesahan Struktur Oragnisasi RSI Sultan Agung; 14. Surat Keputusan Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung Nomor : 12/SK/YBW-SA/II/2018 tentang Pengangkatan Direktur Utama RSI Sultan Agung Masa Bhakti 2018 – 2022; MEMUTUSKAN : MENETAPKAN



:



KESATU



: Mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Surat Keputusan Nomor : 3422/ PER/RSI-SA/I/2017 tentang Panduan Praktik Klinis (PPK) THT-KL Rumah Sakit



5



6



LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG NOMOR : 565.3/PER/RSISA/V/2019 TANGGAL : 23 Mei 2019 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan medis adalah pelayanan kesehatan perorangan; lingkup pelayanan adalah segala tindakan atau perilaku yang diberikan kepada pasien dalam upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Substansi pelayanan medis adalah pratik ilmu pengetahuan dan teknologi medis yang telah ditapis secara sosio – ekonomi –budaya yang mengacu pada aspek pemerataan, mutu dan efsiensi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat akan pelayanan medis. Untuk menyelenggarakan pelayanan medis yang baik dalam arti efektif, efisien dan berkualitas serta merata dibutuhkan masukan berupa sumber daya manusia, fasilitas, prafasilitas, peralatan, dana sesuai dengan prosedur serta metode yang memadai Saat ini sektor kesehatan melengkapi peraturan perundang-undangannya dengan disahkannya Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada bulan Oktober 2004 yang diberlakukan mulai bulan Oktober 2005. Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter/dokter THT, serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter/dokter THT Panduan praktik klinis (Clinical practice guidelines) merupakan panduan yang berupa rekomendasi untuk membantu dokter atau dokter THT dalam memberikan pelayanan kesehatan. Panduan ini berbasis bukti (berdasarkan penelitian saat ini) dan tidak menyediakan langkah-pendekatan untuk perawatan dan pengobatan, namun memberikan informasi tentang pelayanan yang paling efektif. Dokter atau dokter THT menggunakan panduan ini sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan mereka untuk menentukan rencana pelayanan yang tepat kepada pasien B. Dasar Hukum 1. Undang – Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasal 44 ayat ( 1 ) , pasal 50 dan 51 2. Undang – undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan 3. Undang – undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit 4. Peraturan Menteri Kesehatan No 147 / MENKES / PER / 2010 tentang Perizinan RS 5. PERMENKES No 1438 / MENKES / PER / IX / 2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran 6. PERMENKES No 755 / MENKES / PER / IV /2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik. C. Tujuan 1. Meningkatkan mutu pelayanan pada keadaan klinis dan lingkungan tertentu 2. Mengurangi jumlah intervensi yang tidak perlu atau berbahaya 3. Memberikan opsi pengobatan terbaik dengan keuntungan maksimal 4. Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil 5. Mamberikan tata laksana dengan biaya yang memadai



7



PANDUAN PRAKTIK KLINIK FARINGITIS AKUT 1. PENGERTIAN Faringitis akut adalah peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (60%), bakteri (40%), alergi, trauma, toksin, dan lain-lain 2. ANAMNESIS Gejala - gejala faringitis viral : a.Demam b.Rinorea c. Mual d.Nyeri tenggorok e.Sulit menelan f. Nyeri kepala g.Muntah h.Batuk kadang – kadang 3. PEMERIKSAAN FISIK Tanda - tanda : a. Arkus faring hiperemis b. Faring hiperemis c. Eksudasi faring 4. KRITERIA DIAGNOSTIK 5. DIAGNOSIS KERJA Faringitis akut 6. DIAGNOSIS BANDING 1. Faringitis viral 2. Faringitis bakterial 3. Faringitis fungal 4. Faringitis gonorea 7. PEMERIKSAAN PENUNJANG 8. TERAPI Antivirus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60 – 100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari 9. EDUKASI a. Istirahat dan minum cukup b. Kumur dengan air hangat



8



10. PROGNOSIS a. Quo ad vitam : dubia ad bonam b. Quo ad sanam : dubia ad bonam c. Quo ad fungsionam : dubia ad malam 11. KEPUSTAKAAN 1. Lester DR. Pharyngitis. In : Bailey BJ, Johnson JT, editors. Head & Neck Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2006 2. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. In : Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL. Jakarta : Badan Penerbit FKUI ; 2007 12. INDIKATOR - OUTCOME : gejala klinis hilang setelah terapi kuratif (medikamentosa)



9



PANDUAN PRAKTIK KLINIK OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK



1.



PENGERTIAN Radang kronik telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret telinga lebih dari 2 bulan baik terus menerus atau hilang timbul, sekret mungkin kental, bening, atau berupa nanah Otitis media supuratif kronik (OMSK) dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe jinak (benigna) dan tipe bahaya (maligna)



2.



ANAMNESIS Tipe jinak dan tipe bahaya bisa didapatkan keluar cairan telinga terus menerus atau hilang timbul selama 2 bulan disertai kurang pendengaran, dapat disertai dengan batuk pilek atau nyeri tenggorok, telinga berdenging, pusing berputar, sakit kepala. Pada tipe bahaya dapat disertai komplikasi diantaranya infeksi bersifat progresif, dapat mengenai area intrakranial (abses otak, abses perisinus, tromboflebitis sinus lateral dan meningitis) dan area intratemporal (abses subperiosteal, labirintitis, paresis fasialis, dan petrositis)



3.



PEMERIKSAAN FISIK Pada pemeriksaan otoskopi didapatkan : - Discaj dan/atau granulasi pada canalis auditorius eksternus (CAE). Kadang-kadang discaj tersebut berwarna kemerahan dan berbau. - Perforasi membran timpani (MT) dengan tepi tebal, rata dengan jumlah tunggal maupun multipel, letak perforasi dapat sentral, atik, maupun marginal, dan luasnya perforasi dapat minimal, subtotal, maupun total. Pada tipe bahaya, didapatkan tanda seperti diatas dan didapatkan kolesteatoma (gambaran massa keputihan dan berbau), dapat terjadi demam tinggi, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, kaku kuduk (+), fistel dan/atau abses retroaurikula, paresis n.VI, paresis n.VII perifer.



4.



KRITERIA DIAGNOSTIK Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.



5.



DIAGNOSIS KERJA Otitis media supuratif kronik tipe aman Otitis media supuratif kronik tipe bahaya



6.



DIAGNOSIS BANDING 7. PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Laboratorium : pengecatan gram & jamur



10



b. c. d. e. f. g.



Pemeriksaan pengecatan BTA, kultur, dan uji sensitifitas kuman (atas indikasi) CT scan mastoid tanpa kontras (keperluan operasi) Audiometri Tes fungsi tuba Tes fasialis (atas indikasi) Vestibulometri (atas indikasi)



8. TERAPI 1. Antibiotik sesuai hasil pengecatan gram/uji sensitivitas atau antibiotik empiris : Quinolon : Ciprofloksasin (dewasa), dosis 500 mg tiap 12 jam Penicillin + As.Klavulanat (anak-anak), dosis menggunakan dosis penicillin yaitu 45 mg/kgBB/hari setiap 12 jam atau 40 mg/kgBB/hari setiap 8 jam 2. Simtomatis : Analgesik atau antipiretik (golongan NSAID) : Paracetamol (bila perlu) 3. Cuci telinga peroksida (H2O2 3%) : 3 x 4 tetes (selama 30 detik) 4. Tetes telinga antibiotik golongan Quinolon (Ofloxacin) : 2 x 7-10 tetes (dewasa), 1 x 5 tetes (anak-anak) 5. Terapi bedah : tipe aman : Timpanoplasti dinding utuh Terapi 1, 2, 3, 4 diberikan selama 5 hari, bila ada perbaikan terapi diteruskan sampai dengan 10-14 hari. Bila tidak ada perbaikan terapi diberikan sesuai hasil pemeriksaan uji sensitivitas kuman atau pengobatan secara intravena (bila hasil uji sensitivitas menunjukkan obat-obat hanya dapat diberikan secara intravena). Bila tidak ada perbaikan terapi bedah harus dilakukan. Otitis media supuratif kronik tipe bahaya terapi yang diberikan adalah pembedahan. Konsul saraf dan bedah saraf atas indikasi. 9. EDUKASI a. Telinga jangan kemasukan air b. Obat diminum teratur dan sampai habis c. Menjaga higienitas d. Kontrol secara teratur e. Kemungkinan untuk tindakan operasi bila terapi medikamentosa gagal f. Kurang pendengaran yang terjadi dapat menetap atau menjadi lebih berat 10. PROGNOSIS a. Quo ad vitam : dubia ad bonam b. Quo ad sanam : dubia ad bonam c. Quo ad fungsionam : dubia ad malam 11. KEPUSTAKAAN 1. Helmi, Otitis Media Supuratif Kronis, Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2005 2. Chronic suppurative otitis media. Burden of Illness and Management Options. World Health Organization. Switzerland, 2004. 12. INDIKATOR OUTCOME : gejala klinis hilang setelah terapi kuratif baik medikamentosa maupun operatif



11



PANDUAN PRAKTIK KLINIK RHINOSINUSITIS KRONIK



1. PENGERTIAN Peradangan hidung dan sinus paranasal (maksila, etmoid, frontal, sfenoid) lebih dari 12 minggu Penyebabnya dapat : 1.Rinogen, berupa kelainan anatomi hidung, infeksi jamur/bakteri, alergi, LPR (laringofaringeal reflux) atau hipertrofi adenoid 2.Odontogen (infeksi THT) 2. ANAMNESIS Bila terdapat keluhan lebih dari 12 minggu : a. Sumbatan hidung b. Nasal discharge c. Nyeri wajah/rasa penuh di wajah d. Penurunan penciuman (,pada dewasa) e. Batuk (pada anak) Riwayat sakit THT, riwayat alergi, riwayat LPR 3. PEMERIKSAAN FISIK - Rinoskopi anterior :  Discharge mukopurulen (di cavum nasi/meatus media)  Mukosa edem (di meatus media)  Bisa disertai polip atau tidak - Pemeriksaan faring :  Post nasal drip 4. KRITERIA DIAGNOSTIK Bersasarkan Kriteria EPOS 2012 : a. Anamnesis : keluhan lebih dari 12 minggu Didapatkan salah satu dari : sumbatan hidung/nasal discharge Dapat disertai :  Nyeri wajah/rasa penuh di wajah  Penurunan penciuman (pada dewasa), batuk (pada anak) b. Pemeriksaan fisik a. Rinoskopi Anterior :  Discharge mukopurulen (di cavum nasi/meatus media)  Mukosa edem (di meatus media)  Bisa disertai polip atau tidak b. Pemeriksaan Faring : Post Nasal Drip 5. DIAGNOSIS KERJA Rhinosinusitis kronik



12



6. DIAGNOSIS BANDING 7. PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Endoskopi (nasoendoskopi) b. MSCT scan SPN, coronal/axial, slice 3 mm c. Konsul THT (bila curiga ada kelainan THT) d. Skin Prick Test (bila curiga ada alergi) 8. TERAPI 1. Terapi medikamentosa a. Antibiotika - Antibiotik lini II + terapi tambahan 7 hari - Evaluasi hari ke 7 :  Membaik : antibiotik 7 – 14 hari lagi + terapi tambahan  Tidak membaik : antibiotik alternatif 7 hari serta kultur dan sensitivitas - Evaluasi hari ke 14 :  Sembuh : edukasi  Tidak membaik : operasi BSEF/konvensional b. Terapi tambahan (dekongestan, mukolitik, analgetik) sesuai keluhan c. Kortikosteroid topikal d. Nasal irigasi/cuci hidung dengan larutan salin fisiologis 2. Bila ada faktor predisposisi : a. Rinogen : - Kelainan anatomi : operasi sesuai kelainan - Alergi : terapi sesuai panduan alergi - LPR : terpai sesuai panduan LPR - Hipertrofi adenoid : operasi adenoidektomi b. Odontogen : terapi sesuai konsul THT 9. EDUKASI a. Hindari/tangani alergi, LPR, kelainan THT b. Makan obat teratur c. Banyak istirahat d. Minum hangat dan banyak e. Hindari alkohol f. Selalu konsultasi dengan dokter dalam penggunaan obat (beberapa obat dapat memperberat penyakitnya) 10. PROGNOSIS a. Quo ad vitam : bonam b. Quo ad sanam : bonam c. Quo ad fungsionam : dubia ad bonam



13



11.



KEPUSTAKAAN 1.Fokkens W, Lund V, Mullol J, Bachert C, editors, Chapter Classification and definition of Rhinosinusitis. Eropean Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps; 2012 : Rhinology 2.Sutjipto D, Wardhani RS, editors. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia dalam Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Jakarta; Bristol Meyer Squibb. Indonesia; 2007:h 65



12. INDIKATOR OUTCOME : gejala klinis hilang setelah terapi kuratif baik medikamentosa maupun operatif



14



PANDUAN PRAKTIK KLINIK TONSILITIS KRONIK



1.PENGERTIAN Tonsilitis kronik adalah peradangan berulang pada tonsila palatina dengan gejala menetap selama 4 minggu 2.ANAMNESIS a. Nyeri tenggorok minimal atau rasa mengganjal di tenggorok yang berulang b. Halitosis c. Gejala sistemik (penurunan daya tahan tubuh, kelelahan, pusing, mudah mengantuk, penurunan nafsu makan) 3.PEMERIKSAAN FISIK a. Tenggorok : tonsil ukuran atrofi atau hipertrofi, permukaan tidak rata, kripte melebar, kadang berisi detritus/eksudat b. Kelenjar limfe : pembesaran llnn jugulodigastrikus 4.KRITERIA DIAGNOSTIK a. Anamnesis : Nyeri tenggorok minimal atau rasa mengganjal yang berulang disertai salah satu gejala sistemik (penurunan daya tahan tubuh, kelelahan, pusing, mudah mengantuk, penurunan nafsu makan) b. Pemeriksaan fisik :  Tenggorok : tonsil ukuran atrofi atau hipertrofi, permukaan tidak rata, kripte melebar kadang berisi detritus/eksudat  Kelenjar limfe : pembesaran limfonodi jugulodigastrikus c. Kriteria Indikasi Operasi (berdasar HTA 2004) I. Indikasi Absolut : a. Hipertrofi tonsil yang menyebabkan : 1) OSAS 2) Disfagia berat karena obstruksi 3) Gangguan tidur 4) Gangguan pertumbuhan dentofacial (bila adenoid membesar maka wajah memiliki tampilan yang khas yaitu frog face) 5) Gangguan bicara 6) ASTO positif > 200 7) Komplikasi kardiopulmoner b. Riwayat abses peritonsil c. Tonsilitis yang memerlukan biopsi untuk PA terutama hipertrofi tonsil unilateral d. Tonsilitis kronik berulang yang merupakan fokal infeksi untuk penyakit lain



15



5. 6.



7. 8.



9.



10.



11.



12.



II. Indikasi Relatif : a. Terjadi 7 episode/lebih pada tahun sebelumnya, 5 episode/lebih tiap tahun pada 2 tahun sebelumnya, 3 episode/lebih tiap tahun pada 3 tahun sebelumnya dengan terapi antibiotik adekuat b. Kejang demam berulang yang disertai tonsilitis c. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan terapi medis d. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptococcus beta haemolyticus grup A yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik adekuat DIAGNOSIS KERJA Tonsilitis kronik DIAGNOSIS BANDING a. Tonsil Atrofi b. Tonsil Hipertrofi PEMERIKSAAN PENUNJANG ASTO (atas indikasi) TERAPI 1. Antibiotik empiris c. Penicillin, augmented penicillin (lini I) d. Cefalosporin generasi I (lini II) e. Macrolide (eritromicin, azitromicin) : pada alergi penicillin 2. Simtomatis : Anak : - Analgesik atau antiinflamasi : Paracetamol 10 – 15 mg/kgBB/8 jam Dewasa : - Paracetamol 500 mg – 1 gr/8 jam 3. Operatif bila memenuhi indikasi HTA EDUKASI a. Hindari makanan yang bersifat iritatif b. Obat diminum teratur dan sampai habis c. Kontrol secara teratur d. Kemungkinan untuk tindakan operasi bila terapi medikamentosa tidak berhasil PROGNOSIS a. Quo ad vitam : bona b. Quo ad sanam : bona c. Quo ad fungsionam : bona KEPUSTAKAAN 1. Scottish intercollegiate guidelines network 2010 2. BMJ clinical evidence recurrent throat infections (tonsillitis) 2006 3. Lee KJ. Essential Otolaryngology. 2003 4. Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment. 2008 5. HTA Indonesia 2004. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa INDIKATOR OUTCOME : gejala klinis hilang setelah terapi kuratif baik medikamentosa maupun operatif



16



PANDUAN PRAKTIK KLINIK KARSINOMA NASOFARING 1. PENGERTIAN Karsinoma yang mengenai nasofaring 2. ANAMNESIS Telinga : Gembrebeg, tinitus, kurang dengar, telinga terasa terisi air Hidung : Hidung tersumbat menetap memberat, pilek-pilek, mimisan, ingus berbau busuk kental Mata : Diplopia, oftalmoplegi Leher : Pembesaran kelenjar leher Kepala : Nyeri kepala hebat, gejala parese Nn. craniales 3. PEMERIKSAAN FISIK - Inspeksi : o Rinoskopi anterior :  Tampak massa di nasofaring  Palatal phenomen (-) o Rinoskopi posterior :  Dengan kaca laring  tampak massa di nasofaring o Tampak pembesaran kelenjar leher 4. KRITERIA DIAGNOSTIK c. Stadium I: T1 N0 M0 d. Stadium II : T2 N0 M0 e. Stadium III : T3 N0 M0 T1-3 N1 M0 - Stadium IVa : T4a N0 M0 T4a N1 M0 T1-4a N2 M0 - Stadium IVb : T4b anyN M0 anyT N3 M0 - Stadium IVc : anyT anyN M1 5. DIAGNOSIS KERJA Karsinoma nasofaring WHO.. T.. N.. M.. stadium ... ECOG... 6. DIAGNOSIS BANDING 1. Limfoepitelioma nasofaring 2. Limfoma maligna nasofaring 3. Hipertrofi adenoid nasofaring 7. PEMERIKSAAN PENUNJANG



17



a. Endoskopi nasofaring dan biopsi nasofaring b. Bila perlu fine needle aspiration biopsy pada pembesaran KGB leher c. Pemeriksaan radiologi :  CT scan nasofaring dengan kontras  X-foto thorax AP lateral  USG abdomen 8. TERAPI 1. Stadium I 2. Stadium II 3. Stadium III 4. Stadium IV



: : : :



Radioterapi Radioterapi dan kemoradiasi Radioterapi dan kemoradiasi Radioterapi dan kemoradiasi



9. EDUKASI Hindari faktor resiko 10. PROGNOSIS a. Quo ad vitam b. Quo ad sanam c. Quo ad fungsionam



: Dubia : Dubia : Dubia



11. KEPUSTAKAAN 1. Bailey Byron J, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, third edition, volume two, Nasal Fracture, Lippincot William-Wilkins, Philadelphia, USA, 2001 : 71A : 1637-1654 2. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia, 2007 12. INDIKATOR OUTCOME



:



Gejala klinis hilang setelah terapi kuratif



18



PANDUAN PRAKTIK KLINIK FRAKTUR LE FORT 1. PENGERTIAN Fraktur yang berhubungan dengan sistem pilar vertikal dari sepertiga tengah wajah 2. ANAMNESIS 1. Pembengkakan infraorbital 2. Hipestesi cabang n.V2 3. Maloklusi (Le Fort I – II) 4. Epistaksis (Le Fort II – III) 5. Kebocoran LCS (Le Fort III) 6. Mekanisme trauma : Tentang kekuatan, lokasi, dan arah benturan yang terjadi 7. Cedera di bagian tubuh yang lain 8. Riwayat perubahan status mental dan penurunan kesadaran 9. Adanya defisiensi fungsional lainnya, misalnya berhubungan dengan jalan nafas, penglihatan, syaraf otak ataupun pendengaran 3. PEMERIKSAAN FISIK Secara inspeksi wajah tampak tidak simetris atau tidak proporsional 1. Inspeksi : Kelainan lokal luka, asimetri wajah, adakah gangguan fungsi mata, gangguan oklusi, trismus, paresis facialis, dan lain sebagainya 2. Edema jaringan lunak dan ekimosis 3. Palpasi : Daerah supraorbital, lateral orbital rim, zygoma, infraorbital, hidung, mandibula, sendi temporomandibular, palpasi bimanual (ekstra – intra oral) 4. Le Fort I : 5. Terdapat mobilitas atau pergeseran arkus dentalis, maksila dan palatum 6. Maloklusi gigi 7. Le Fort II : a. Palatum bergeser ke belakang b. Maloklusi gigi 8. Le Fort III : a. Terdapat mobilitas dan pergeseran kompleks zigomatikomaksilaris b. Komplikasi intrakranial, misalnya : kebocoran cairan serebrospinal melalui sel atap etmoid dan lamina cribriformis 4. KRITERIA DIAGNOSTIK Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti tersebut di atas. Klasifikasi : 1. Le Fort I (Processus alveolaris) : Fraktur maksila rendah yang memisahkan maksila setinggi dasar hidung 2. Le Fort II (Fraktur piramidal) : Fraktur pada palatum dan sepertiga tengah wajah yang berakibat terpisahnya bagian sepertiga tengah wajah dari dasar kranium 3. Le Fort III ( Craniofacial disjunction) : Fraktur yang mengakibatkan pemisahan lengkap kompleks zygomaticomaxillaris dari dasar kranium



19



5. DIAGNOSIS KERJA Fraktur maxilla Le Fort 6. DIAGNOSIS BANDING Fraktur multipel wajah 7. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan radiologi baik berupa foto polos maupun CT scan Foto polos : Posisi Waters, foto kepala lateral maupun servikal lateral CT scan baik potongan axial maupun coronal Pemeriksaan untuk persiapan operasi : a. Lab darah : Hb, leukosit, trombosit, BT, CT, bila perlu PT dan aPTT, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, Na, kalium b. Radiologik : Foto thorax c. Lain – lain : EKG bila perlu 8. TERAPI 1. Perbaikan keadaan umum 2. Medikamentosa kausal 3. Tranfusi darah (bila perlu) 4. Operatif : Repair (atau reduksi) fraktur maksila a. Le Fort I : Fiksasi interdental dan intermaksilar selama 4 – 6 minggu b. Le Fort II : Seperti Le Fort I disertai fiksasi dari sutura zigomatikum atau rim orbita c. Le Fort III : Reduksi terbuka dengan fiksasi interdental dan intermaksilar, suspensi dari sutura zigomatikum dan pemasangan kawat dari dari rim orbita d. Dapat digunakan mini/microplate untuk mobilisasi segmen fraktur sebagai pengganti kawat e. Bila dengan teknik diatas tidak didapatkan fiksasi yang adekuat, digunakan alat fiksasi eksterna untuk membuat traksi lateral atau anterior f. Pemasangan splint bila terdapat displacement gigi, fraktur alveolar atau maloklusi 9. PROGNOSIS Quo ad vitam :Ad bonam Quo ad sanam : Dubia ad bonam Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam 10. KEPUSTAKAAN 1. Brendan C. Stack Jr in Bailey Byron J, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, fourth edition, volume one, Maxillary and Periorbital Fractures, Lippincot William-Wilkins, Philadelphia, USA, 2006 : 70 : 975-993 2. Bailey Byron J, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, third edition, volume two, Nasal Fracture, Lippincot William-Wilkins, Philadelphia, USA, 2001 : 71A : 995-1008 3. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia, 2007 11. INDIKATOR Perbaikan kosmetik dan fungsi



20



PANDUAN PRAKTIK KLINIK FRAKTUR OS NASAL



1. PENGERTIAN Trauma yang mengenai kulit, jaringan subkutis, kerangka tulang, septum hidung atau os maksila. Trauma hidung dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kecerobohan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, dan perkelahian serta kecelakaan olah raga. Trauma hidung dapat merupakan trauma sendiri ataupun bagian trauma wajah lainnya. 2. ANAMNESIS 1. Gejala – gejala fraktur os nasal : a. Riwayat trauma hidung dengan perdarahan b. Obstruksi nasi c. Nyeri pada hidung 2. Kerusakan yang dapat terjadi pada trauma hidung bervariasi tergantung dari beberapa faktor sehingga perlu ditanyakan mengenai : a. Usia b. Besar kekuatan trauma c. Arah trauma d. Objek / benda penyebab 3. PEMERIKSAAN FISIK Hidung luar: Deformitas pada hidung luar, palpasi didapatkan os nasal dapat digerakkan dan krepitasi Rinoskopi anterior: Hematoma septum, deviasi septum, dislokasi 4. KRITERIA DIAGNOSTIK Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti tersebut di atas Klasifikasi fraktur hidung berdasarkan arah trauma : 1. Tipe I : Depresi tulang hidung unilateral. Disebabkan trauma dari arah lateral dengan kekuatan yang ringan dan sedang. 2. Tipe II : Fraktur multipel dari piramid hidung akibat trauma tumpul arah frontolateral. Terjadi fraktur pada os nasal dan lamina perpendikularis dengan fragmen eksternak dislokasi ke lateral. 3. Tipe III : Fraktur bilateral dan depresi atau dislokasi os nasal karena trauma langsung dari arah frontal. Fraktur lamina perpendikularis dan kartilago dapat terjadi karena depresi yang hebat. 4. Tipe IV : Kompresi dan fraktur septum disebabkan trauma arah kaudal-kranial 5. DIAGNOSIS KERJA Fraktur os nasal



21



6. DIAGNOSIS BANDING 1. Fraktur multipel wajah 2. Fraktur Le Fort 7. PEMERIKSAAN PENUNJANG X foto polos AP lateral : Gambaran diskontinuitas baik pada tulang dan kartilago Nasoendoskopi : Gambaran hematom septum dan deviasi septum MSCT-scan SPN tanpa kontras (rekonstruksi 3 dimensi) : Diskontinuitas tulang 8. TERAPI Luka terbuka dibersihkan, pinggir luka dan os nasal diperiksa hati-hati. Fragmen fraktur diposisikan kembali dan jaringan lunak dijahit atraumatik. Reposisi fraktur sederhana pada 24 jam pertama, atau paling lambat dalam 48 jam karena fraktur mudah untuk direduksi. Tetapi bila terdapat pembengkakan jaringan yang hebat, reposisi dapat dilakukan dalam 10 hari. Indikasi reduksi tertutup : 1. Fraktur os nasal 2. Nasal bridge yang melebar Indikasi reduksi terbuka : 1. Fraktur – dislokasi os nasal bone and septum 2. Deviasi pyramid hidung lebih dari setengah lebar nasal bridge 3. Fraktur – dislokasi septum bagian kaudal 4. Fraktur septum terbuka 5. Deformitas yang menetap setelah dilakukan reduksi tertutup 9. EDUKASI 1. Penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi 2. Tindakan operasi dan penanganan paska operasi 10. PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad sanam Quo ad fungsionam



: Ad bonam : Dubia ad bonam : Dubia



11. KEPUSTAKAAN 1. Brendan C. Stack Jr in Bailey Byron J, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, fourth edition, volume one, Maxillary and Periorbital Fractures, Lippincot William-Wilkins, Philadelphia, USA, 2006 : 70 : 975-993 2. Bailey Byron J, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, third edition, volume two, Nasal Fracture, Lippincot William-Wilkins, Philadelphia, USA, 2001 : 71A : 995-1008



22



3. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia, 2007 12. INDIKATOR OUTCOME : a. Perbaikan tampilan estetika b. Perbaikan patensi airway hidung c. Perbaikan integritas nasal valve d. Tidak tibul komplikasi yang mungkin terjadi : 1) Komplikasi dini : Edema, ekimosis, epistaksis, hematoma, infeksi, kebocoran serebrospinal 2) Komplikasi lambat : Obstruksi jalan nafas, fibrosis, kontrakatur, deformitas, sinekia, saddle nose, perforasi septum



23



PANDUAN PRAKTIK KLINIK HIPERTROFI KONKA



1. Pengertian Hipertrofi konka adalah pembesaran dari organ atau jaringan mukosa dan tulang pada hidung 2. Anamnesis a. Hidung tersumbat berpindah kanan dan kiri b. Sering pusing c. Riwayat alergi, Rhinithis , riwayat sinusitis 3. Pemeriksaan Fisik a. Pemeriksaan rhinoskopi anterior ukuran konka besar dengan septum nasal deviasi dan dinding lateral rongga hidung merah, b. Pemeriksaan rhinoskopi posterior untuk menilai batas pemisah konka kanan dan kiri serta ujung posterior konka inferior dan media. 4. Pemeriksaan Penunjang a. Endoskopi (nasoendoskopi) b. MSCT scan SPN, coronal/axial, slice 3 mm c. Konsul THT (bila curiga ada kelainan THT) d. Skin Prick Test (bila curiga ada alergi) 5. Kriteria Diagnostik a. Anamnesis : i. Hidung tersumbat berpindah kanan dan kiri ii. Sering pusing iii. Riwayat alergi, Rhinithis , riwayat sinusitis b. Pemeriksaan fisik i. Rinoskopi Anterior : ii. Discharge mukopurulen (di cavum nasi/meatus media) iii. Mukosa edem (di meatus media) iv. Bisa disertai polip atau tidak c. Pemeriksaan Penunjang i. Endoskopi (nasoendoskopi) ii. MSCT scan SPN, coronal/axial, slice 3 mm iii. Konsul THT (bila curiga ada kelainan THT) iv. Skin Prick Test (bila curiga ada alergi) 6. Diagnosis Kerja Konka Hipertrofi 7. Diagnosis Banding Tidak ada



24



8. Terapi a. Medikamentosa i. Anti Histamin ii. Dekongestan topical , decongestan sistemik iii. Nasal irigasi/cuci hidung dengan larutan salin fisiologis b. Pembedahan i. Kauterisasi konka dengan zat kimia ii. Konkotomi inferior total iii. Konkotomi inferior parsial iv. Turbinoplasty inferior v. Reseksi sub mukosa vi. Konka reduksi 9. Edukasi a. Hindari/tangani alergi, LPR, kelainan THT b. Makan obat teratur c. Banyak istirahat d. Minum hangat dan banyak e. Hindari alkohol f. Selalu konsultasi dengan dokter dalam penggunaan obat (beberapa obat dapat memperberat penyakitnya) 10. Prognosis a. Quo ad vitam : bonam b. Quo ad sanam : bonam c. Quo ad fungsionam : dubia ad bonam 11. Kepustakaan Sutjipto D, Wardhani RS, editors. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia dalam Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Jakarta; Bristol Meyer Squibb. Indonesia; 2007:h 65 12. Indikator Outcome Fungsi airway normal



25



DISCLAIMER PANDUAN PRAKTIK KLINIS THT Dokumen tertulis PPK THT serta perangkat implementasinya ini disertai dengan disclaimer (wewanti/penyangkalan) untuk : 1. Menghindari kesalah-pahaman atau salah persepsi tentang arti kata standar, yang dimaknai harus melakukan sesuatu tanpa kecuali 2. Menjaga autonomi dokter bahwa keputusan klinis merupakan wewenangnya sebagai orang yang dipercaya pasien Adapun disclaimer tersebut : 1. Disclamer Utama yaitu : a. PPK dibuat untuk average patient b. PPK dibuat untuk penyakit / kondisi patologis tunggal c. Reaksi individual terhadap prosedur diagnosis dan terapi bervariasi d. PPK dianggap valid pada saat dicetak e. Praktek Kedokteran modern harus lebih mengakomodasi preferensi pasien dan keluarga 2. Disclaimer tambahan, yang dapat disertakan pada disclaimer : a. PPK dimaksudkan untuk tatalaksana pasien sehingga tidak berisi informasi lengkap tentang penyakit b. Dokter yang memeriksa harus melakukan konsultasi bila merasa tidak menguasai atau ragu dalam menegakkan diagnose dan memberikan terapi c. Penyusun PPK tidak bertanggung jawab atas hasil apapun yang terjadi akibat penyalah gunaan PPK dalam tatalaksana pasien



26



PENUTUP Dengan telah tersusunnya Panduan Praktik Klinis ini diharapkan dapat menjadi Standar Prosedur Operasional bagi dokter spesialis THT-KL yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dan fasilitas pelayanan kesehatan di RSI Sultan Agung. Melalui panduan ini diharapkan terselenggara pelayanan medis yang efektif, efisien , bermutu dan merata sesuai sumber daya, fasilitas, pra fasilitas, dana dan prosedur serta metode yang memadai. Semoga bermanfaat.



27