Presbes Gina [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN



Diajukan kepada Yth: dr. Wahyu Djatmiko, Sp. PD



Disusun oleh : Gina Rahayu Indriyani



G1A212110



SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2013



LEMBAR PENGESAHAN REFERAT



ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN



Disusun Oleh : Gina Rahayu Indriyani



G1A212110



Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo



Telah disetujui dan dipresentasikan Pada tanggal :



2013



Dokter Pembimbing :



dr. Wahyu Djatmiko, Sp. PD NIP. 197004192008011006



BAB I PENDAHULUAN Anemia hemolitik autoimun (AIHA) merupakan kelainan antibodi di dalam tubuh manusia yang menyerang antigen pada permukaan eritrosit sehingga menyebabkan kematian sel darah merah menjadi lebih cepat, baik eritrosit dalam tubuh itu sendiri maupun eritrosit yang berasal dari proses transfusi. Pembagian jenis dari AIHA dilakukan berdasarkan gejala klinis dan serologis. IgG warm autoantibody (WAIHA) terikat pada eritrosit pada suhu 37oC, cold agglutinin disease (CAD) menggunakan IgM sebagai perantara sehingga terjadi hemolisis. IgG Donath – Landsteiner atau paroxysmal cold hemoglobinuria (PCH) terikat pada sel darah merah pada suhu rendah dan hemolisis terjadi karena aktivasi dari kaskade komplemen pada suhu 37oC. Semua jenis AIHA ini bisa terjadi secara idiopatik (primer) maupun terjadi karena adanya penyakit yang mendasari (sekunder), seperti pada penyakit infeksi yang telah dilaporkan pada sebuah studi di Belgia. AIHA juga bisa terjadi karena efek dari obat-obatan tertentu (Hoffman et al., 2009; Audenhove et al., 2001). PCH adalah jenis AIHA yang pertama kali diketahui karena manifestasi klinis yang menonjol, yaitu munculnya urin berwarna hitam setelah pasien terpapar udara dingin. Pada tahun 1854 dan 1865, pertama kali terjadi pada pasien usia 10 tahun. Hubungan antara PCH dengan sipilis pertama kali juga tercatat pada tahun 1884 oleh Gotze, tetapi penyebab lain yang dapat mengakibatkan PCH belum ditemukan lagi hingga tahun 1904, ketika Donath dan Landsteiner melaporkan penelitian mereka. Mereka menggambarkan tiga kasus PCH di mana autolisin terikat pada eritrosit pasien di suhu dingin kemudian komplemen melisiskan eritrosit tersensitisasi ketika temperatur meningkat mencapai 37oC. Mereka juga membuktikan antigen P pada eritrosit yang menjadi target pada kasus PCH sipilis dan non-sipilis (Hoffman et al., 2009). Pada tahun 1908, Moreschi mengembangkan tes antiglobulin, atau yang sekarang disebut Coombs test. Dia mengembangkan tes ini pada eritrosit hewan. Penelitian pada hewan ini ditolak hampir selama 40 tahun. Tes antiglobulin yang dirancang untuk mendeteksi antibodi nonaglutinasi antieritrosit pada sel manusia dikembangkan oleh Coombs et al pada tahun 1945. Selama 1 tahun sejak penemuan itu, tes Coombs sudah diaplikasikan dalam penegakan diagnosis AIHA, baik yang idiopatik maupun sekunder pada fase awal. Dacie et al melihat secara retrospektif dari



175 kasus yang terjadi, 75% merupakan kasus idiopatik, dan hingga saat ini persentasenya tidak jauh berbeda dengan penelitian terdahulu (Hoffman et al., 2009). Insidensi dari AIHA diperkirakan 1 : 100.000 pada dewasa dan kurang dari 0,2 : 100.000 pada anak-anak. AIHA lebih jarang terjadi daripada immune thrombocytopenia. AIHA pada remaja dan dewasa lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Puncak insidensi terjadi pada anak-anak usia pra sekolah. Anak lakilaki 2,5 kali lebih sering terkena daripada anak perempuan. Kebanyakan kasus pedriatik merupakan kasus akut yang dapat sembuh dengan senidirinya. Seringkali dapat sembuh selama kurang dari 6 bulan tanpa pemberian terapi, sehingga pemberian terapi dilakukan berdasarkan derajat berat ringannya anemia dan fungsi fisiologis yang terganggu. Sekitar 50-70% kasus merupakan kasus yang idiopatik pada semua tingkatan usia tetapi prevalensi tertinggi terdapat pada usia pertengahan. Ada juga penyebab lain seperti yang disebabkan karena pengaruh obat ataupun penyakit imun seperti systemic lupus erythematous (SLE). Terdapat pula kasus yang disebabkan karena B-cell lymphoma atau chronic lymphocytic leukemia (Hoffman et al., 2009). Sebuah penelitian retrospektif menganalisis epidemiologi 83 pasien, 67% AIHA terjadi pada wanita. Warm-reactive antibody merupakan penyebab paling banyak yaitu sekitar 87%, sisanya 13% merupakan cold reactive. Pada kasus WAIHA, 43% kasus yang berperan adalah komplemen dan IgG, 32% IgG saja, serta 25% komplemen saja. 51% kasus merupakan AIHA sekunder, dari keseluruhan penyebab utama terjadinya AIHA sekunder, penyakit SLE dan limfoma non-Hodgkin menempati 38% dari penyebab utama AIHA. Onset hemolisis pada kejadian limfoma non-Hodgkin berkisar antara 22-66 bulan. Tidak ada kasus PCH dilaporkan mulai dari tahun 1980 hingga 2000. Dari 15,6% pasien yang meninggal, 38% meninggal karena infeksi, 38% juga karena limfoma non-Hodgkin nya, tetapi tidak ada kematian yang disebabkan karena penurunan kapasitas transportasi oksigen (Hoffman et al., 2009). Banyak penelitian tentang AIHA pada anak-anak yang telah dilakukan. Penelitian retrospektif melihat 100 kasus AIHA pada anak (berusia 6 bulan-16 tahun), paling banyak terjadi pada usia 4 tahun. Tidak ada predileksi jenis kelamin. Sebagian besar pasien (64%) didiagnosis dengan WAIHA, di mana PCH dan cold agglutinin disease (CAD) memiliki presentasi 6% dan 26% pada anak-anak. AIHA tipe campuran dilihat pula pada penelitian ini. Secara keseluruhan 54% memiliki penyakit yang mendasari seperti kelainan hematologi, penyakit autoimun, infeksi, dan



neoplasia. Semua kasus PCH pada penelitian ini berhubungan dengan infeksi virus (Hoffman et al., 2009).



BAB II ISI



1. Definisi Anemia hemolitik autoimun merupakan terjadinya hemolisis pada eritrosit yang secara struktural dan fungsional normal, tetapi ada faktor ekstrinsik yang menyebabkan hancurnya eritrosit secara prematur. Anemia hemolitik autoimun memperlihatkan eritrosit yang mengalami pemendekkan usia karena mekanisme antibody-mediated. Antibodi yang menghancurkan eritrosit dapat berupa autoantibody (secara langsung menghancurkan eritrosit dalam tubuh sendiri), alloantibody (secara langsung menghancurkan eritrosit milik orang lain), dan antibodi yang menghancurkan obat yang dikonsumsi seseorang atau metabolitnya. Beberapa antibodi mampu mengaktifkan jalur komplemen klasik, yang mengakibatkan komplemen teraktivasi menempel pada membran eritrosit. Eritrosit yang telah terikat oleh komplemen akan disingkirkan dari sirkulasi oleh makrofag. Anemia terjadi apabila hemolisis terlalu banyak sehingga sumsum tulang tidak mampu untuk menggantikan eritrosit yang telah hilang. Derajat anemia bermacam-macam mulai dari yang paling ringan, hingga berat dan membutuhkan penanganan intensif (Rodak et al., 2012).



2. Patogenesis dan Patofisiologi Antibodi yang terikat pada permukaan membran eritrosit menyebabkan hemolisis prematur baik secara ekstravaskular maupun intravaskular. Dua kelas antibodi yang terlibat adalah IgG dan IgM. IgG merupakan monomer dengan struktur seperti huruf Y dengan dua rantai heavy dan light yang identik serta diikat dengan ikatan disulfida. Pada puncak struktur Y terdapat dua domain ikatan antigen (Fab) yang masing-masing berasal dari rantai heavy dan light. IgG juga memiliki satu domain Fc yang merupakan terminal-C dari rantai heavy dan light. Berbeda dengan IgG, IgM merupakan pentamer yang berasal dari lima monomer yang diikat dengan ikatan disulfide pada terminal-C. Oleh karena struktur yang berbeda dari IgG dan IgM maka mekanisme untuk terjadinya hemolisis juga berbeda.



Gambar 1. Mekanisme ekstravaskular hemolisis pada AIHA. A. Makrofag melingkupi eritrosit dengan IgG kemudian terikat pada eritrosit melalui reseptor Fc. Setelah terperangkap, eritrosit kehilangan membrannya sehingga bisa dihancurkan oleh ectoenzyme makrofag. Kemudian eritrosit berubah bentuk menjadi bulat. B. Eritrosit diselimuti oleh IgG kemudian disingkirkan dari sirkulasi lien. C. Eritrosit yang diselimuti oleh IgG kemudian terjadi aktivasi C3b dapat disingkirkan dari sirkulasi lien dan juga hepar (Hoffman et al, 2012). Jalur komplemen klasik adalah mediator utama untuk terjadinya hemolisis. Protein mayor yang berperan adalah C1 - C9. Protein C1 memiliki tiga komponen C1q, C1r, C1s. Setelah antibodi menempel pada permukaan eritrosit, C1q harus berikatan dengan dengan dua Fc untuk mengaktifkan jalur komplemen klasik. Setelah berikatan dengan Fc, C1q bisa mengaktifkan C1r dan C1s. C1s kemudian mengaktifkan C4 dan juga C2 yang akan menghasilkan komplek C4bC2a ke membran sel darah merah. Komplek C4bC2a merupakan enzim konvertase C3 yang mengaktifkan C3 dalam plasma. Hal ini mengakibatkan banyaknya ikatan C3b pada permukaan eritrosit. C3b berikatan pada C4bC2a untuk mengaktifkan C5 ke C5b. Kemudian C5b, C6, C7, C8, C9 membentuk MAC (Membrane Attack Complex). MAC kemudian menyusup ke lipid bilayer, membentuk lubang yang memungkinkan air dan ion kecil masuk ke dalam sel, sehingga menyebabkan lisis intravaskular. Regulasi negatif menghambat berbagai komplemen untuk mencegah aktivasi yang tak terkontrol dan hemolisis yang sangat besar. Ketika IgM menempel pada permukaan eritrosit, aktivasi komplemen menghasilkan C3b yang



terikat pada membrane, tetapi inhibitor komplemen mencegah aktivasi dari jalur tersebut menjadi MAC kompleks. C3b-tersensitisasi pada eritrosit dihancurkan oleh hemolisis ekstravaskuler terutama oleh makrofag pada hepar yang memiliki reseptor C3b, tetapi eritrosit yang hanya memiliki reseptor C3d tidak dapat dihancurkan oleh makrofag karena makrofag pada hepar tidak memiliki reseptor C3d. Pada kasus yang berat yaitu meliputi eritrosit yang tersensitisasi oleh IgM, komplemen juga akan lebih banyak yang aktif dan tidak dapat diatasi oleh inhibitornya sehingga intravaskular hemolisis cepat terjadi. Hemolisis yang diperantarai oleh IgG bisa terjadi dengan atau tanpa melibatkan komplemen dan biasanya mekanisme hemolisis yang terjadi adalah hemolisis ekstravaskular. Eritrosit yang tersensitisasi oleh IgG dipindahkan dari sirkulasi oleh makofag di lien, yang memiliki reseptor Fc yaitu IgG 1 dan IgG3. Antibodi IgG tidak cukup efisien untuk mengaktifkan komplemen, sehingga hemolisis intravaskuler jarang terjadi (kecuali dengan anti P pada paroxysmal cold hemoglobinuria). Apabila ada antigen yang terikat dengan IgG 1 dan IgG 3 pada permukaan eritrosit, maka komplemen bisa teraktivasi dan C3b dapat terikat pula pada membrane eritrosit. Jika pada permukaan eritrosit terdapat IgG dan juga C3b sekaligus akan lebih cepat eritrosit itu dimusnahkan oleh makrofag baik di lien ataupun di hepar. Seringkali eritrosit yang tersensitisasi oleh IgG hanya sebagian saja yang dimusnahkan oleh makrofag sehingga akan memberikan gambaran sperosit yang merupakan ciri khas hemolisis yang disensitisasi oleh IgG. Kemudian sperosit tadi dimusnahkan pada lien (Rodak et al., 2009). 3. Jenis A. Warm Autoimmune Hemolytic Anemia (WAIHA) Patofisiologi Immune clearance of Erythrocyte Autoantibodi spesifik yang menyebabkan hancurnya eritrosit pada pasien dengan AIHA bisa saja sama dengan orang normal pada umumnya. Oleh karena itu patogenesis autoantibodi anti-RBC bergantung pada faktor tambahan seperti jumlah autoantibodi, aviditas pada autoantigen eritrosit, dan komplemen. Masing masing faktor tadi bisa berdiri sendiri ataupun saling



berhubungan untuk menghancurkan eritrosit. Hemolisis berasal dari opsonisasi autoantibodi. Efek akhir dari hal ini adalah hancurnya eritrosit secara langsung di dalam sirkulasi (hemolisis intravaskular) ataupun penghancuran eritrosit oleh makrofag jaringan pada hati dan lien, bahkan keduanya. Interaksi makrofag dengan eritrosit yang telah diselimuti oleh IgG dan atau C3b terjadi melalui spesifik reseptor yaitu Fc pada IgG dan untuk C3b. Kehadiran IgG dan C3b mempercepat pembersihan imun apabila Fc dan C3b pada makrofag bereaksi secara sinergis (Hoffman et al, 2012). Red blood cell destruction Makrofag bisa memakan seluruh bagian eritrosit. Sperosit terjadi apabila proteolitik enzim pada permukaan eritrosit tidak merata, sehingga makrofag tidak menggigit seluruh eritrosit. Sperosit merupakan RBC dengan permukaan sempit dibandingkan dengan rasio volume. Sperosit lebih sulit untuk rusak dan lebih bisa beradaptasi pada lisis osmosis daripada eritrosit normal, dan bisa menghindar dari hemolisis saat melalui sirkulasi yang sempit pada sinusoid lien. Hal inilah yang menjelaskan mengapa mekanisme dominan pada hancurnya eritrosit adalah hemolisis ekstravaskuler pada AIHA. Mekanisme makrofag cukup besar sebagai media dari penyebab AIHA, tetapi partisipasi dari limfosit sitotoksik (NK-cell), yang menyebabkan lisis, tidak bisa dikesampingkan (Hoffman et al, 2012). Isotype influence Antibodi yang melekat pada permukaan RBC mampu menentukan arah terjadinya hemolisis nantinya apakah intravaskular, ekstravaskular, atau tidak ada hemolisis. Derajat beratnya hemolisis bergantung pada antigen dan juga antibodinya. Kepadatan dari antigen juga sangant penting. Begitu pula dengan naik turunnya suhu, komplemen, serta antibody yang terikat pada makrofag jaringan. Kelas dan subkelas dari antibody sangat menentukan arah patologisnya. IgA, IgM, IgG1, dan IgG3 bisa mempengaruhi komplemen. Apabila komplemen teraktivasi melalui C5 ke membrane attack complex (MAC) C9, hemolisis intravaskuler terjadi. Mekanisme regulator pada level C4b/C3b bisa menghentikan kaskade dan mencegah terjadinya hemolisis. IgG1 dan IgG3 dikenali oleh makrofag sehingga mampu menyebabkan



hemolisis ekstravaskular. Eritrosit yang dilingkupi oleh antibodi sederhana dan C3b difagosit oleh makrofag dan secara ekstravaskular dihancurkan di lien dan juga liver. Sel yang diselimuti oleh IgG biasanya dihancurkan di lien, sedangkan sel yang dilingkupi oleh IgM biasanya dihancurkan pada hepar (Hoffman et al, 2012). Tidak menutup kemungkinan juga IgM bisa mengaktivasi komplemen dan menyebabkan hemolisis intravaskular yang berat. Bagaimanapun juga, hemolisis ekstravaskular banyak terjadi karena berkaitan dengan efek patogenik yang diperantarai oleh RBC regulatory proteins decay accelerating factor (CD55) dan membrane inhibitor of reactive lysis (CD59), yang mampu mengeliminasi hemolisis. Hal yang sangat jarang apabila IgM bereaksi optimal pada suhu 37oC. IgM biasanya menyebabkan CAD, tetapi laporan mengenai WAIHA yang diperantarai IgM juga mampu menyebabkan hemolisis yang cukup berat. Pasien yang mampu bertahan dengan kondisi seperti itu tadi diberikan prednisone dosis tinggi, Ig secara intravena, dan juga transfusi darah. IgA juga dilaporkan mampu menyebabkan WAIHA pada 14% dari 21% kasus bila disertai dengan antibody IgG. Apabila hanya IgA saja kasus yang terjadi hanya kurang dari 0.2%. Dalam hal ini walaupun dari hasil tes DAT negatif, tetapi klinis menunjukkan AIHA, kita tidak dapat menyingkirkan diagnosis AIHA. Pemeriksaan lebih lanjut sangat dibutuhkan. Mekanisme IgA sehingga dapat menyebabkan hemolisis intravaskular belum diketahui secara pasti. Aktivasi jalur komplemen bisa disebabkan oleh IgA. Selain itu juga, reseptor Fc untuk IgA telah ditemukan pada limfosit, granulosit, dan monosit manusia sehingga mampu mempengaruhi hemolisis ekstravaskuler (Hoffman et al, 2012). Patofisiologi WAIHA sekunder Polimorfisme ekson ACTLA-4 telah diketahui berhubungan dengan penyakit atoimun dan telah terbukti secara statistik cukup signifikan dalam peningkatan kejadian AIHA, terutama pada kasus CLL. Molekul CTLA-4 sangat penting dalam hal menurunkan respon antigen sel T. Polimorfisme pada kodon nomor 17 sangat berpengaruh pada pasien AIHA dengan imun defisiensi. Seperti pada banyak kasus yang membutuhkan transplantasi sumsum tulang dan juga transplantasi stem cell darah, jumlah kasus hemolisis



postransplantasi cukup meningkat. Penelitian mengenai pasien dewasa yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang, 5% mengalami AIHA dengan survival rate selama 6 bulan. Pada penelitian yang lain lagi disebutkan bahwa kejadian AIHA sebesar 4,44% dari 272 pasien yang diberikan transplantasi hematopoietik stem cell. Perkembangan kasus AIHA pada transplantasi ini terjadi karena donor yang tidak sesuai dan juga terjadinya penyakit kronik akibat graft vs host. Kejadian pada anak-anak hampir serupa, dengan AIHA pada dewasa. Anak-anak yang mengalami AIHA sejumlah 6% setelah dilakukan transplantasi hematopoietic stem cell. Waktu terjadinya AIHA itu sendiri tergantung dari antibody apa yang terlibat. Misalnya IgM yang lebih awal muncul daripada IgG. Pada kasus postransplantasi, mekanisme yang menyebabkan AIHA diduga berasal dari 3 jalur: hemolisis autoimun yang sesungguhnya, hemolisis autoimun yang dipengaruhi oleh limfosit, dan hemolisis autoimun yang disebabkan oleh karena chimerism and major blood group mismatch. Investigasi mengenai penyebab hemolisis akan sangat berpengaruh pada pemberian terapi, perkiraan durasi, dan juga pencegahannya (Hoffman et al, 2012). Clinical finding Gejala klinis dari WAIHA sangat bervariasi. Hal yang berpengaruh antara lain adalah keparahan hemolisis dan kemampuan tubuh untuk memecah produk hasil hemolisis, serta proses retikulositosis. Beberapa gejala berhubungan dengan sirkulasi yang hiperdinamik karena anemia, dan juga terganggunya transportasi oksigen. Sebagai contoh seperti hepatomegali dan yang lebih parah adanya edema paru dan letargia. Penyakit ini bisa terjadi secara akut, dengan gejala anemia yang cukup cepat terlihat, ataupun secara bertahap yang berawal secara asimtomatik. Berdasarkan bank darah, pasien yang direkomendasikan untuk diberikan terapi adalah pasien dengan hasil tes antiglobulin yang positif. limfadenopati, demam, hipertensi, gagal ginjal, kemerahan, ptekiae, atau ekimosis mampu memberikan peringatan pada dokter akan kemungkinan terjadinya AIHA sekunder sehingga penegakkan diagnosis penyakit utama perlu dikaji lebih lanjut (Parjono et al., 2009).



Evaluasi laboratorium Perbedaan AIHA dengan penyakit anemia hemolitik lain berdasarkan data laboratorium saja sangat sulit. DAT yang juga dikenal dengan Coombs test, diketahui patognomonik pada hemolisis yang diperantarai sistem imun. Tes ini mampu mendetaksi keberadaan IgG atau komplemen pada membran eritrosit. Pada pasien dengan AIHA berat, hasil DAT bisa sangat positif, tetapi kekuatan reaksi dan titer autoantibodinya tidak selalu mampu memperkirakan beratnya penyakit. Hasil negatif palsu bisa muncul pada beberapa kasus, termasuk pada kasus dengan autoantibodi afinitas rendah dan pasien dengan perantara antibodi IgA atau IgM. Penghancuran yang cepat dari eritrosit menyebabkan perubahan dari hasil laboratorium lain yang tidak spesifik. Perubahan yang terjadi seperti peningkatan bilirubin indirek dan laktat dehidrogenase serta penurunan haptoglobin plasma. Jarang sekali hemolisis intravaskuler menyebabkan peningkatan haemoglobin bebas plasma dan menyebabkan hemoglobinuria. Pada kondisi seperti ini, hemosiderinuria akan muncul pada sekitar 7 hari ketika epitel ginjal berisi absorbed iron exfoliate yang dikeluarkan melalui urin. DAT positif yang dikonfirmasi dengan reagen spesifik anti IgG bisa ditemukan pada orang sehat. Sekitar 1 : 10000 pendonor darah memiliki hasil positif tanpa anemia atau tanpa bukti hemolisis. Kurang lebih 10% dari kasus AIHA, eritrosit terikat pada C3b tanpa terikat terlebih dahulu dengan IgG. Laporan kasus AIHA dengan hasil DAT negative sangat jarang, tetapi memiliki beberapa alasan, salah satunya kesalahan teknis. Kasus lain yang jarang adalah pada autoantibodi IgM dan IgA atau afinitas yang rendah pada IgG. Hal ini sering terjadi pada limfoma dan CLL (Hoffman et al, 2012). Pada sekitar 80% pasien dengan AIHA, terdapat autoantibodi pada serum seperti juga pada membrane eritrositnya. Pada tes Coombs indirek, mendeteksi adanya antibodi pada serum pasien. Tes Coombs indirek ini juga mendeteksi aloantibodi yang berasal dari transfusi darah atau inkompatibilitas maternal-fetal. Aloantibodi memiliki spesifikasi untuk antigen pada eritrosit yang sebenarnya tidak ada pada eritrosit asli pasien. Oleh karena itu, hasil tes DAT adalah negativf pada kasus aloimun, kecuali pasien yang beru saja diberikan transfusi. Dengan latar belakang yang telah disebutkan tadi,



aloantibodi bisa terikat pada eritrosit yang telah ditransfusikan sehingga menyebabkan hasil yang positif (Rodak et al., 2012). Penemuan



laboratorium



juga



menunjukkan



intensitas



proses



hemolisisnya, kemampuan tubuh untuk memproses penghancuran eritrosit, dan respon sumsum tulang saat terjadi anemia. Pada kasus yang fulminan, dimana masa hidup eritrosit kurang dari 5 hari, anemia terjadi cukup berat, dan eritropoiesis terjadi 8-10 kali. Sebagai hasilnya, hitung retikulositnya cukup meningkat, kadang-kadang mencapai angka yang lebih dari 40%. Jika kemampuan regenerasi sumsum tulang tidak mampu mengkompensasi lagi, anemia berat bisa terjadi. Inspeksi dari apusan darah tepi dapat terlihat polikromatifilia, sperosit, fragmen eritrosit, eritrosit nukleasi, dan seringkali terdapat eritrofagositosis. Pemeriksaan sumsum tulang jarang dilakukan, tetapi bisa menunjukkan hyperplasia eritroid, seringkali tampak gambaran megaloblastoid.



Seringkali



autoantibodi



eritrosit



menyebabkan



retikulositopenia dan diseritropoiesis, tergantung derajat beratnya anemia (Hoffman et al, 2012). Pasien dengan anemia hemolisis yang berat dan peningkatan eritropoiesis yang cukup berat, seringkali muncul defisiensi folat dan megaloblastosis. Pertumbuhan jaringan hematopoietik pada sumsum tulang juga menyebabkan peningkatan pada jumlah sel darah putih dan trombosit. Jika tidak terjadi retikulositosis, diagnosis AIHA belum bisa disingkirkan. jumlah yang rendah dapat terjadi karena eritrosit muda yang dihancurkan oleh autoantibody atau infeksi dari papovirus B19. Retikulositopenia merupakan kompensasi untuk mencegah terjadinya anemia yang lebih berat, dan indikasi transfusi. Terapi Prinsip umum AIHA terjadi mulai dari derajat yang ringan hingga berat. Permulaan terapi dan pemilihan intervensi apa yang diberikan harus diawali dari gejala yang menonjol. Penemuan pertama mengenai terapi pada anemia hemolisis adalah splenektomi pada tahun 1911. Pada tahun 1950, efek kortikotropin pada dua pasien AIHA dengan limfoma dilaporkan oleh Dameshek dan pada anak perempuan berusia 5 tahun oleh Gardnet. Hingga saat ini banyak



perubahan yang terjadi dari pemberian terapi pada pasien AIHA (Hoffman et al, 2012). Anemia yang terjadi secara cepat dengan hematokrit kurang dari 20 membutuhkan tindakan yang cepat pula. Manajemen pemberian terapi pada AIHA juga bergantung dari jenisnya apakah primer ataupun sekunder dari penyakit lain. Sebagai contoh pada limfoma ataupun CLL pemberian kemoterapi dan radioterapi bisa mengontrol AIHA. Selain itu pada penyakit autoantibodi yang biasanya poliklonal yang bukan berasal dari neoplasma sel B tetapi, berasal dari regulasi imun yang tidak baik. Terapi yang tepat adalah agen imunosupresif. Tujuan utama terapi AIHA adalah mengontrol populasi sel B yang mengeluarkan autoantibodi yang patogenik (Hoffman et al, 2012). Transfusi Transfusi diberikan untuk mencegah komplikasi dari anemia berat yang dapat menyebabkan gagal jantung. Pemberian oksigen saja belum cukup apabila dilakukan tanpa transfusi. Pemberian transfusi harus dilakukan secara hati-hati dan butuh pemantauan yang cukup ketat, karena pasien biasanya akan mengalami ”inkompatibel cross-match”. Pada kasus dimana transfusi sangat dibutuhkan, apabila tidak cocok secara penuh, harus tetap diberikan. Jumlah yang diberikan adalah 0,5-1 unit. Pemberian transfusi secara berlebihan dapat menyebabkan peningkatan beban jantung. Pada pasien dengan Rh negative cenderung bertahan lebih lama jika dibandingkan dengan yang memiliki Rh positif (Hoffman et al, 2012). Kortikosteroid Kortikosteroid merupakan terapi pilihan pertama pada banyak pasien dengan AIHA yang tidak stabil baik yang idiopatik maupun yang sekunder karena penyakit lain. Respon klinis dari pemberian prednisone adalah menonaktifkan makrofag, inaktivasi C3b, atau eritrosit yang disemlimuti oleh C3b. Kortikosteroid berefek pada ekspresi dan fungsi dari Fc reseptor makrofag. Hal ini terjadi karena mekanisme prednison yang mengurangi sistem imun. Prednison dapat mengurangi produksi auto antibodi tetapi setelah beberapa minggu pemakaian. Efek samping dari penggunaan prednison sering terjadi karena penggunaan yang jangka panjang dari prednison. Osteoporosis,



miopati, perubahan psikis, imunosupresi, dan risiko perdarahan lambung sering terjadi (Meyer et al., 1997). Intravenous γ-globulin Intravenous γ-globulin telah ditemukan efektif dalam mencegah kasus AIHA. IgG yang terlarut dalam material bisa meningkatkan masa hidup dari eritrosit yang telah terlingkupi oleh IgG dengan mengikat reseptor Fc pada makrofag. Pada sebuah penelitian mengenai pasien AIHA yang berhubungan dengan kelainan limfoproliferatif, efek baik jangka panjang bisa dilihat dengan pemberian IgG intravena yang diberikan setiap 21 hari. Penurunan titer antiglobulin ditemukan pada pasien ini karena respetor Fc pada makrofag telah diblok oleh pemberian IgG. Terapi bisa dimulai dengan dosis 1-2 mg/kg/hari dengan dosis terbagi, tergantung keparahan dari penyakitnya juga. Berhati – hati pada usia lanjut karena bisa menyebabkan osteoporosis dan juga pada pasien yang sedang terinfeksi. Hasil terapi biasanya terlihat dalam 3 minggu dengan kenaikan hematokrit dan penurunan jumlah retikulosit (Hoffman et al, 2012). Splenektomi Pada beberapa tahun ini splenektomi sudah dilakukan untuk terapi AIHA.



Teknik



laparoskopik



splenektomi



telah



dilakukan.



Indikasi



dilakukannya splenektomi termasuk kegagalan terapi dengan prednisone yaitu telah mencapai dosis lebih dari 20mg/hari ataupun munculnya efek samping dari kortikosteroid. Prosedur ini cukup menjanjikan karena dapat mengurangi destruksi dari eritrosit. Pada banyak kasus AIHA yang mengenai dewasa muda, permintaan splenektomi banyak dilakukan. Akan tetapi pada pasien dengan AIHA stabil, terapi dengan prednisone dosis 10mg/hari bisa menjadi pilihan yang baik. Risiko infeksi banyak terjadi pada pasien berusia kurang dari 6 tahun (Hoffman et al, 2012). Terapi imunomodulator Pemberian obat imunosupresan pada pasien AIHA dilakukan dengan memberikan



agen



alkilasi



(cyclophosphamide



dan clorambucil)



dan



thiopurines (azathioprine dan 6-mercaptopurine) mekanisme kerja dari obat ini



adalah menekan sistem imun yakni menyerang sel B dan sel T. Cyclophosphamide dosis tinggi yaitu 50 mg/kg/hari selama 4 hari menginduksi penurunan system imun pada 66% pasien yang diberikan dengan rata-rata follow up pasien selama 15 bulan (Hoffman et al, 2012). Terapi Rituximab Rituximab adalah anti-CD20 chimeric antibody monoclonal dengan tingkat keamanan yang cukup tinggi pada pasien AIHA. Pada penelitian pasien dengan limfoma non-Hodgkin menunjukan hasil yang baik saat diberikan Rituximab. Efek samping yang pernah ditemukan antara lain adalah demam, distress respirasi, hipotensi, pada sebagian kecil populasi. Hal ini terjadi karena pengeluaran masif dari sitokin. Mekanisme kerja rituximab melibatkan banyak faktor dan belum sepenuhnya dipahami. Rituximab menginduksi sel yang telah mati melalui lisis yang diperantarai oleh komplemen, oleh antibody dan juga makrofag. Efek langsung dari antibody yang terikat oleh CD 20 adalah hambatan proliferasi (Ratanatharathorn et al., 2000; Wakim et al., 2004).



B. Cold Aglutinin Disease (CAD) CAD menjelaskan kelompok yang mengalami kelainan antieritrosit autoantibodi yang terjadi pada suhu dingin (4-18oC) dan bisa menyebabkan hemolisis atau tidak menyebabkan hemolisis. Saat diamati dari serum pasien yang



memiliki



titer



cold aglutinin



diklasifikasikan sebagai



benign



autoantibody eritrosit. Pada kasus yang jarang, bentuk CAD muncul karena susunan random dari segmen gen nya dan molekular antigen dari agen yang infeksius. CAD berkembang pada 1.1% sampai 4.9% dari seluruh kasus limfoma non-hodgkin (Hoffman et al, 2012). Patofisiologi Immune Clearance of Erythrocytes Autoantibodi IgM pada CAD memiliki kemampuan yang baik untuk mengaktivasi komplemen pada membrane eritrosit. Bagaimanapun juga



pengaruh suhu sangat berperan dalam efek patogeniknya. Autoantibodi secara cepat mampu mengeliminasi eritrosit pada suhu 37 oC dalam sirkulasi visceral, tetapi pada sirkulasi perifer yang dingin di tangan dan kaki, CAD menyisakan menyisakan membrane eritrosit untuk beberapa detik. Banyak waktu yang dibutuhkan untuk mengaktivasi kaskade komplemen pada stage C3b, yang mengikat eritrosit setelah memasuki sirkulasi sentral. Pada sirkulasi hepatic, C3b yang menyelimuti eritrosit bertemu dengan makrofag yang memiliki reseptor spesifik untuk C3b. Bagaimanapun juga sensitisasi C3b adalah sinyal yang lemah untuk aktivasi fagositosis. Pembersihan eritrosit yang disemlimuti C3b di hepar membutuhkan 500-800 C3b molekul per eritrosit. Banyak pula eritrosit dengan C3b molekul hilang pada sirkulasi sistemik, dimana C3b inaktivator system mendegradasi C3b menjadi C3dg, C3d, ataupun keduanya. Jadi hasil yang muncul adalah eritrosit dengan C3d, tanpa IgM autoantibody, yang memiliki aviditas yang rendah pada makofag. Hasil DAT cenderung positif, tetapi sangat jarang terjadi hemolisis. Keterbatasan pemahaman patofisiologi CAD ini terkait dengan gambaran hematologic dari masingmasing pasien. Apabila inaktivasi dari C3b terganggu, komplemen pada kaskade dapat menyebabkan hemolisis ekstravaskular. Pasien dengan titer IgA yang cukup tinggi mampu menyebabkan CAD (Hoffman et al, 2012). Target CAD Antigen spesifik pada CAD biasanya diidentifikasi berdasarkan reaktivitas terhadap darah orang dewasa (blood group I) dan cord blood (blood group i). CAD pernah terjadi pada kasus inifeksi Mycoplasma pneumonia yang memiliki anti-I spesifik. Di mana antibody seringkali berhubungan dengan infeksi mononuclear, tetapi tidak selalu, memiliki anti-i. Antibody yang menggumplkan sel kelompok O pada dewasa dengan titer 4x/lebih besar daripada CORD RBC pada suhu 4oC adalah anti-I. Hasil kebalikannya menunjukkan anti-i (Hoffman et al, 2012). Temuan klinis Tipe CAD yang paling sering adalah tipe kronis yang sering menyebabkan anemia terus menerus sehingga menyebabkan anemia berat, acracyanosis yang dicetuskan oleh dingin, terjadi pada 1 dari 3 kasus anemia



hemolitik. CAD menyebabkan abnormalitas yang cukup parah pada penyakit dasarnya. Acracyanosis muncul dari aglutinasi eritrosit intraarteriolar yang muncul sebagai gejala adalah ujung tangan, telinga, kaki, hidung terasa dingin. Anemia hemolitik terjadi saat kaskade komplemen telah lengkap. Kebanyakan pasien CAD berusia 50-80 tahun dengan penyakit limfoma neoplasma, makroglobulinemia Waldenstrom, CLL. CAD seringkali monoclonal, hamper selalu IgM-κ, dan bisa bermanifestasi sebagai pita monoclonal pada elektrofosresis serum proteinnya. Dengan ketiadaan dari neoplasma sel B, lien dan limfe nodi jarang membesar, beberapa penelitian menunjukkan komplemen yang mengalami penghentian sementara dari aktivitasnya. Akan tetapi, pada kondisi infeksi bakteri dan juga virus, kadar komplemen cenderung meningkat, sehingga hemolisis juga meningkat (Hoffman et al, 2012). Tipe kedua yang sering muncul merupakan tipe akut dan selalu dapat sembuh sendiri, terjadi pada infeksi M.pneumoniae. Biasanya pada pasien usia muda. Onset nya tidak menentu, dan terkadang menyebabkan anemia berat, sehingga mengobati infeksi M.pneumoniae sangat membantu dalam mencegah anemia yang terjadi (Hoffman et al, 2012).



Gambar 2. Sistem kelompok darah I/i A. Fetus B. Dewasa (Hoffman et al, 2012).



Evaluasi Laboratorium Hasil laboratorium yang seringkali muncul antara lain seperti anemia, retikulositosis, polikromatofilia, spherosit, hyperplasia eritroid pada sumsum tulang, peningkatan bilirubin serum, dan juga level laktat dehidrogenase tidak spesifik selalu ada pada pasien CAD. Hemaglutinasi dapat dilihat dengan mata telanjang pada gambaran darah tepi pada pasien CAD dan bisa dipastikan lagi dengan hitung jenis darah (Hoffman et al, 2012).



Gambar....gambaran Darah tepi pada CAD



Gambar 3. Hemaglutinasi pada CAD Aglutinasi biasanya terlihat pada gambaran darah tepi. Anemianya cenderung ringan dan juga stabil karena inaktivator C3b pada serum membatasi



aktivitas



komplemen



itu



sendiri



dan



juga



fagositosis.



Bagaimanapun juga apabila pasien terpapar pada suhu dingin, kondisinya bisa memburuk yaitu dengan menurunnya kadar hematokrit, terjadi hemolisis intravascular, dan gagal ginjal. Pada kasus CAD kronik, CAD titer sangat tinggi (>1;105 dan seringkali >1:106). Antibodi memang lebih reaktif pada suhu dingin, dan hemaglutinasi muncul apabila suhu mencapai 37oC. Pada beberapa kasus apabila antibody memiliki amplitudo suhu yang tinggi, seringkali reaktif pada suhu 37o juga. Menyadari pasien dengan amplitude suhu yang tinggi cukup penting, terkait dengan respon pemberian Prednison, di mana pasien dengan titer CAD yang tinggi biasanya tidak berespon. DAT biasanya positif karena C3d menempel pada eritrosit, tetapi tes dengan reagen IgG sering negating. Indirek antiglobulin yang diatur pada suhu 37 oC adalah negative. Sebagai tambahan dari aglutinin IgM monoclonal, campuran



IgG/IgM CAD juga ada. Pada beberapa pasien dengan CAD, titer IgG dan IgA seringkali rendah (Hoffman et al, 2012). Terapi Terapi untuk CAD bergantung pada gejala, karakteristik autoantibody, dan penyakit yang mendasarinya. Misalnya pada CAD dengan amplitude suhu yang rendah, menghindari atau tidak tinggal di daerah dingin merupakan sebuah pilihan agar tidak terjadi eksaserbasi. Fludabirine yang merupakan analog purin telah terbukti memberikan manfaat yang cukup signifikan pada pasien dengan CAD kronik. Prednisone bisa diberikan pada pasien CAD dengan amplitude suhu tinggi atau pada pasien dengan IgG cold-reactive antibody. Bagaimanapun juga prednisone tidak terlalu bermanfaat pada pasien dengan IgM CAD. Plasma exchange bisa membantu pada kondisi akut. Karena 95% IgM adalah intravascular dan 80% IgM bisa disingkirkan dengan Plasma exchange, Plasma exchange merupakan pilihan yang efektif dan optimal. Apabila aglutinasi eritrosit terjadi pada suhu normal, terapi harus dilakukan pada suhu yang lebih tinggi. Splenektomi kurang bermanfaat karena penghancuran eritrosit yang diperantarai oleh C3b terutama dilakukan pada hepar. Rituximab juga memiliki efek yang baik jika diberikan pada pasien CAD seperti pada penelitian yang menunjukkan respon sebesar 54% pad 27 pasien yang diterapi dengan Rituximab. Beberapa pasien yang belum berespon dengan pemberian rituximab saja bisa diberikan bersama dengan Interferon α. di antara respon yang muncul pada pasien yang diberikan kombinasi Interferon α, respon cukup baik ditunjukkan dengan tidak adanya remisi pada pasien, setelah 42 bulan, walaupun ada pula pasien yang mengalami relaps pada 11 bulan setelah terapi. Kemungkinan keterlibatan neoplasma sel B harus tetap dicari pada pasien CAD sebelum memulai memberikan terapi. Pemberian agen alkilasi sepertei klorambusil dan siklopospamid banyak membantu karena efek mereka pada sel B (Hoffman et al, 2012).



C. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria Pertama kali PCH dikenal berhubungan dengan penyakit sifilis tersier. Jenis sifilis tersier saat ini sangat jarang sekali ditemukan. PCH saat ini



seringkali terlihat pada anak-anak setelah infeksi virus atau bakteri. Penyebab spesifik apa yang menyebabkan PCH kurang diketahui, hanya saja biasanya muncul pada pasien dengan infeksi saluran napas atas, ada pula yang muncul pada pasien dengan infeksi varisela baik pada anak-anak maupun dewasa. Dalam sebuah review dari 52 kasus PCH selama 37 tahun, median dari usia pasien yang terkena PCH adalah 5 tahun. Pada sebuah penelitian lagi yang melihat 200 anak-anak dengan onset AIHA sebelum usia 16 tahun, 6% merupakan PCH dengan tes Donath-Landsteiner yang positif (Hoffman et al, 2012). Patofisiologi Antibody IgG yang bertanggung jawab pada PCH ditemukan pada serum pasien dengan menginkubasi eritrosit normal, serum normal segar sebagai sumber komplemen, dan juga serum pasien, pertama-tama pada 4 oC dan pada 37oC, dengan control yang sesuai. Target pada umumnya adalah system kelompok darah P, yang mana merupakan tetraglikosil ceramide (globoside), walaupun pada kelompok lain juga ditemukan. DonathLandsteiner melibatkan dua komponen yaitu 2 komplemen pada suhu dingin, sedangkan kaskade yang lengkap dilanjutkan pada suhu 37 oC (Rodak et al., 2012). Gambaran klinis Pada paparan udara dingin, gejala yang sering muncul antara lain demam, nyeri punggung, nyeri tungkai, kram perut, menggigil, disertai hemoglobinuria. Penyakit ini biasanya bisa sembuh dalam 2-3 minggu, walaupun terkadang sering pula menimbulkan perawatan yang maksimal, tergantung dari derajat hemolisis dan anemianya (Rodak et al., 2012). Laboratorium IgG pada PCH ditemukan pada serum pasien dengan cara inkubasi eritrosit normal, normal serum segar sebagai sumber komplemen, dan serum pasien, pertama pada suhu 4oC kemudian pada suhu 37oC dengan control yang sesuai. DAT biasanya negatif. Antiglobulin indirek juga negative. Diagnosis ditegakkan dengan gejala klinis saja karena tes Donath - Landsteiner jarang dilakukan (Rodak et al., 2012). Terapi



Tidak ada terapi untuk PCH yang spesifik. Tidak seperti pada kebanyakan IgG autoimun yang berespon pada steroid, pemberian prednisone pada PCH tidak bermanfaat. Pendekatan yang paling baik adalah dengan terapi suportif, transfusi untuk mengurangi gejala, dan menghindari udara dingin. Pasien harus tetap berada pada udara hangat, dan transfuse yang diberikan harus melalui penghangat. Tidak seperti pada pasien CAD dengan antibody IgM, PCH IgG antibody kurang bermanfaat dengan plasma exchange. Akan terapi ada studi mengenai anak-anak yang dilaporkan dengan hemolisis berat karena antibody Donath – Landsteiner yang mana diberikan Ig intravena, kortikosteroid, dan pasien dijaga pada suhu hangat sudah gagal, tetapi dengan single volume plasma exchange tiap hari selama 3 hari, mampu mengurangi transfusi terus menerus (Rodak et al., 2012). D. Mixed – type AIHA Mixed – type AIHA sangat jarang sekali terjadi. Hal ini diperantarai oleh IgG dengan optimum reaktivitasnya pada suhu 37 oC (WAIHA) dan autoantibody IgM yang bereaksi pada suhu



0-10oC akan tetapi memiliki



amplitude suhu >30 oC (CAD). Hemolisis yang terjadi biasanya kombinasi intravascular maupun ekstravaskular sehingga bisa menyebabkan anemia berat. DAT bisa positif, dengan IgG saja, C3d saja, atau IgG dan C3d. Antibody untuk WAIHA cenderung panreaktif dengan spesifisitas yang kurang jelas, dimana CAD memiliki anti-I yang spesifik. Terapi yang bisa dilakukan sama dengan WAIHA (Rodak et al., 2012).



BAB III KESIMPULAN



Anemia hemolitik autoimun (AIHA) merupakan kelainan antibodi di dalam tubuh manusia yang menyerang antigen pada permukaan eritrosit sehingga menyebabkan kematian sel darah merah menjadi lebih cepat. Pembagian jenis dari AIHA dilakukan berdasarkan gejala klinis dan serologis. IgG warm autoantibody (WAIHA) terikat pada eritrosit pada suhu 37oC, cold agglutinin disease (CAD) menggunakan IgM sebagai perantara sehingga terjadi hemolisis. IgG Donath – Landsteiner atau paroxysmal cold hemoglobinuria (PCH) terikat pada sel darah merah pada suhu rendah dan hemolisis terjadi karena aktivasi dari kaskade komplemen pada suhu 37oC. Semua jenis AIHA ini bisa terjadi secara idiopatik (primer) maupun terjadi karena adanya penyakit yang mendasari (sekunder). Pengobatan yang diberikan biasanya tergantung berat ringannya gejala dan juga dari jenis AIHA primer maupun sekunder.



DAFTAR PUSTAKA



Audenhove A. V., Verhoef G., Peetermans W. E., Boogaerts M., Vandenberghe P. 2001. Autoimmune Haemolytic Anaemia triggered by Bartonella henselae Infection : a Case Report. British Journal of Haematology. Vol. 115: 924-925. Hoffman. R., Benz E. J., Shattil S. J., Furie B., Silberstein L. E., McGlave P., Heslop H. 2009. Haematology Basic Principle and Practice 5 th edition. New York: Elseiver Meyer. O., Stahl D., Beokhove P., Huhn D., Salama A.1997. Pulsed High-dose Dexamethasone in Chronic Autoimmune Haemolytic Anemia of Warm Type. British Journal of Haematology. Vol. 98: 860-862 Parjono E., Widayati K., Hariadi T. 2009. Anemia Hemolitik Autoimun dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. Ratanatharathorn, V., Carson, E., Reynolds, C., Ayash, L.J., Levine, J., Yanik, G., Silver, S.M., Ferrara, J.L. & Uberti, J.P. 2000. Anti-CD20 Chimeric Monoclonal Antibody Treatment of Refractory Immunemediated Thrombocytopenia in a Patient with Chronic Graft-Versus Host Disease. Annals of Internal Medicine. Vol. 133: 275-279. Rodak B. F., Fritsma g. A., Keohara E. M. 2012. Haematology Clinical Principles and Application. New York: Elseiver. Wakim M., Shah A., Arndt P. A., Garatty G., Weinberg K., Hofstra T., Church J. 2004. Successful Anti-CD20 Monoclonal Antibody Treatment of Severe Autoimmune Hemolytic Anemia Due to Warm Reactive IgM Autoantibody in a Child With Common Variable Immunodeficiency. American Journal of Haematology. Vol. 76: 152-155.