Prof. Tjondronegoro Mengantar Saya Pulang Kembali [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

EULOGI UNTUK PROF. DR. SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO MENGENANG DAN MENELADANI SANG GURU



PENYUNTING: Martua Sihaloho Bayu Eka Yulian



Pusat Studi Agraria IPB Ikatan Keluarga Alumni PS. Sosiologi Pedesaan IPB 2020



Eulogi untuk Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro Mengenang dan Meneladani Sang Guru © Penulis masing-masing bab



Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh: Pusat Studi Agraria, Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Baranangsiang, Jl. Raya Pajajaran Bogor Tlp. (0251) 8574532; email: [email protected] Website: http://psa.ipb.ac.id Bekerja sama dengan: Ikatan Keluarga Alumni Program Studi Sosiologi Pedesaan (IKA SPD), Institut Pertanian Bogor



Penyunting: Martua Sihaloho, Bayu Eka Yulian Desain Cover: Mahmudi Siwi Foto Cover: Digambar ulang oleh Arina Rosyada Azka berdasarkan foto Akatiga (dimuat atas seizin Akatiga) Lay Out Isi: Iib Proofreading: Ari Wibowo



Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT) Eulogi untuk Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro Mengenang dan Meneladani Sang Guru Pusat Studi Agraria IPB, Juli 2020 xvi + 132 hlm; 15 cm X 23 cm ISBN: 978-602-51032-2-3







DAFTAR ISI



In Memoriam Prof. Dr. Sediono Mommy Poerwodo Tjondronegoro  v Sambutan Pusat Studi Agraria, Institut Pertanian Bogor  vii Pengantar Penyunting  xi Daftar Isi  xv BAGIAN I PRIBADI SANG GURU: KESAN DAN KENANGAN  1 1. “Scientific Integrity, My Commitment!”  3 MELANI ABDULKADIR-SUNITO 2. Prof. Tjondronegoro dalam “Relung” Hatiku  9 MARTUA SIHALOHO 3. Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro: Ilmuwan Mumpuni, Pendidik yang Santun  13 MUHAMMAD ZID 4. Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro: Sekolah Keilmuan dan Sekolah Kehidupan Kami  23 UNDANG FADJAR 5. Berilmu itu Bersuara Lirih  27 YUDHA HERYAWAN ASNAWI 6. Kenangan Berjumpa Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro: Dari Buku Hingga Perjumpaan di PKA  31 BAYU EKA YULIAN 7. Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro: Konsistensi Perjuangan Maha Guru Sosiologi Pedesaan  39 HERLINA TARIGAN



xv



Daftar Isi 8. Jejak Pak Tjondro di Porto Alegre (In Memoriam: 4 April 1928-3 Juni 2020)  43 USEP SETIAWAN 9. Pak Tjondronegoro Sebagai Dosen Pembimbing  47 FADHIL HASAN 10. Mengenang Prof. Tjondronegoro  49 CAHYO IRIANTO 11. Secangkir Teh dengan Sang Resi Negeri di Pagi Hari  51 ARI WIBOWO BAGIAN II PEMIKIRAN SANG GURU: WARISAN DAN REAKTULIASASI  55 12. Kenangan untuk Sang Guru Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro  57 KEPPI SUKESI 13. Prof. S.M.P. Tjondronegoro Mengantar Saya Pulang Kembali: Sepenggal Perjalanan Intelektual  67 MOHAMAD SHOHIBUDDIN 14. Prof. S.M.P. Tjondronegoro, Rural Sodalities, dan Pancasila  81 P. SETIA LENGGONO 15. Jasa-jasa Intelektual Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro untuk Reforma Agraria Indonesia  97 NOER FAUZI RACHMAN 16. Pak Tjondro, Sang “Guru”: Digugu lan Ditiru  109 EKO CAHYONO 17. Bertani Jagung: Subsistensi, Komersialisasi dan Resistensi (Catatan dari Murid yang Tak Bertemu Sang Maha Guru)  119 MOMY A. HUNOWU



xvi



13 



PROF. S.M.P. TJONDRONEGORO MENGANTAR SAYA PULANG KEMBALI: SEPENGGAL PERJALANAN INTELEKTUAL MOHAMAD SHOHIBUDDIN1



SAYA tidak sempat belajar secara formal kepada Prof. Tjondronegoro di bangku perkuliahan. Saat saya memulai kuliah S2 di IPB pada pertengahan 2000, beliau sudah pensiun beberapa tahun sebelumnya. Oleh karena itu, interaksi personal saya dengan Prof. Tjondronegoro tidaklah sebanding dengan para murid yang beliau didik langsung di kampus IPB. Lebih-lebih, jika dibandingkan mereka yang memperoleh bimbingan langsung dari beliau dalam penulisan tugas akhir akademiknya. Kendati terbatas, namun interaksi personal saya dengan Prof. Tjondronegoro membekas kuat dalam diri saya, bahkan dapat dikatakan turut mewarnai arah perjalanan intelektual saya di belakang hari. Sejak 2005, saya memang sudah beberapa kali berinteraksi dengan beliau, misalnya dalam pertemuan di Sajogyo Institute maupun saat terlibat dalam sejumlah forum diskusi untuk penyusunan kebijakan reforma agraria di awal masa pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla. Namun, interaksi personal dalam arti sebenarnya baru terjadi ketika saya dan beberapa pegiat Sajogyo Institute turut terlibat dalam panitia Peringatan 80 Tahun Prof. Tjondronegoro yang dilaksanakan pada 7 Mei 2008. 1



Alumni Magister Program Studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor; Dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB. 67



Mohamad Shohibuddin Dalam rangka peringatan ini, yang diselenggarakan bersama oleh beberapa lembaga, 2 saya bersama beberapa pegiat Sajogyo Institute secara khusus turut membantu dalam proses penyusunan otobiografi beliau yang berjudul: Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua, Otobiografi Prof. Dr. Sediono M. P. Tjondronegoro (diterbitkan Sajogyo Institute).3 Buku otobiografi ini adalah salah satu dari tiga buku karya Pak Tjondro (demikian sapaan akrab beliau) yang diluncurkan pada acara peringatan ulang tahun ke-80 tersebut. Dua buku yang lain adalah suntingan kumpulan karya tulis beliau, yakni berturut-turut berjudul Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan (diterbitkan oleh Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB) dan Negara Agraris Ingkari Agraria: Pembangunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia (diterbitkan oleh Akatiga: Pusat Analisis Sosial).4 Selama penyiapan buku otobiografi di atas, kami membantu, misalnya, dalam mengumpulkan dan menyeleksi bahan-bahan yang relevan (arsip, foto, sketsa lukisan, dan lain-lain) dari ruang kerja beliau. Secara bergantian, kami juga sempat mewawancarai Pak Tjondro beberapa kali untuk melengkapi episode tertentu sejarah hidup beliau, untuk kemudian menjadi bahan penulisan bab-bab yang relevan. Karena tenggat waktu penerbitan yang sudah mepet sekali (permintaan Prof. Sajogyo untuk menerbitkan otobiografi ini baru disampaikan pada akhir Oktober 2007), maka draft buku ini disusun Pak Tjondro dengan tulisan tangan. Kami lalu mengetikkan draft itu, menyerahkan print out-nya kepada beliau untuk dicek dan dikoreksi kembali, dan kemudian mengedit draft itu sesuai hasil koreksi yang terakhir. Setiap kali berhasil menuntaskan penulisan satu atau dua bab, Pak Tjondro akan mengonsultasikannya kepada Prof. Sajogyo yang meminta penulisan otobiografi ini.5 2



Yakni Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB, Akatiga, Sajogyo Institute, dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. 3 Buku otobiografi tersebut dapat diunduh melalui tautan berikut ini: http://ipb.link/otobiografi-tjondronegoro. 4 Buku terbitan Akatiga ini bisa diunduh melalui tautan sebagai berikut: http://ipb.link/negara-agraris. 5 Jika permintaan penyusunan otobiografi ini bukan berasal dari Prof. Sajogyo, saya yakin, Pak Tjondro tidak akan pernah menuliskan sejarah perjalanan hidup beliau sendiri. 68



Prof. S.M.P. Tjondronegoro Mengantar Saya Pulang Kembali



Gambar 1. Prof. Sajogyo dan Prof. Tjondronegoro (Ilustrasi oleh Arina Rosyada Azka) Kesempatan membantu Pak Tjondro di atas merupakan karunia Allah SWT kepada saya dan para pegiat Sajogyo Institute (lihat foto-foto pada Lampiran 1). Sebab, melalui proses itu kami dapat nyantri secara langsung kepada Pak Tjondro. Bahkan proses nyantri ini tidak berhenti sampai di sini, karena selama beberapa bulan kemudian kami terlibat intens meng-update daftar karya tulis Pak Tjondro, baik yang sudah dipublikasikan maupun belum. Hasilnya adalah dokumen berjudul Kumpulan Judul Karya Tulis 1958-2011 Prof. Dr. Tjondronegoro yang tersedia di Perpustakaan Sajogyo Institute yang beralamat di Jl. Malabar 22 Bogor. *** SEMENJAK itu, banyak jasa yang Prof. Tjondronegoro telah berikan kepada saya. Bahkan saya harus nyatakan bahwa beliaulah guru yang secara pribadi telah “mengantar” saya pada setidaknya tiga “momen” penting yang turut menentukan arah perjalanan intelektual saya di belakang hari. Dua di antaranya ingin saya bagi pada kesempatan ini. Saya tidak berhasil mengingat kapan momen penting yang pertama terjadi: barangkali di awal atau pertengahan 2009. Pak Tjondro mengajak kami, para pengurus Sajogyo Institute, untuk 69



Mohamad Shohibuddin berkunjung ke KITLV perwakilan Indonesia yang waktu itu masih memiliki kantor sendiri di Jl. Prapanca Raya 95A, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (kini bergabung dengan Kedutaan Belanda di Jl. HR. Rasuna Said Kav. S-3 Jakarta). Dalam kesempatan kunjungan itu, kami disambut oleh Dr. Roger Tol, Direktur KITLV di Jakarta, yang merupakan kawan baik Pak Tjondro. Dengan ramah, Dr. Tol mengenalkan kami pada kekayaan koleksi perpustakaan KITLV, baik yang ada di Jakarta maupun di Leiden, kantor pusatnya di Belanda. Saat diantar oleh Pak Tjondro mengunjungi kantor KITLV di daerah Kebayoran Baru itu, saya tidak memiliki bayangan sama sekali bahwa beberapa bulan setelahnya saya dapat mengunjungi dan bahkan melakukan riset di perpustakaan KITLV Leiden. Berkat fellowship yang saya peroleh dari Leiden University, saya dapat tinggal selama empat bulan di negeri Belanda. Sebenarnya, jatah beasiswa saya adalah enam bulan, tetapi hanya empat bulan yang saya ambil terhitung dari awal Juli hingga awal November 2010. Sebab, pada pertengahan November 2010 itu ada kegiatan training internasional yang harus saya ikuti di CIFOR, Bogor. Selama tinggal di Belanda, saya terlebih dulu mengikuti summer course tentang land governance di Utrecht selama dua minggu, lantas melakukan penelitian pustaka di perpustakaan KITLV dan perpustakaan Leiden University.6 Seperti akan ditulis di bawah nanti, keberhasilan saya memperoleh fellowship ke negeri tulip ini tidaklah terlepas dari inspirasi keilmuan dari Pak Tjondro dan, saya yakin, juga berkat kebesaran nama beliau di kalangan ilmuwan sosial di Belanda. Momen penting kedua adalah pada pertengahan April 2011. Saat itu saya bersama Ahmad Nashih Luthfi baru saja menerbitkan buku berjudul Land Reform Lokal a la Ngandagan: Inovasi Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964 (STPN Press dan Sajogyo Institute, November 2010).7 Bahan empiris penulisan buku ini didasarkan pada hasil kegiatan revisit study di desa Ngandagan,



6



Karena efisiensi anggaran yang dilakukan Pemerintah Belanda, kini dua perpustakaan itu telah “di-merger” menjadi satu di bawah pengelolaan yang terakhir. 7 Buku ini dapat diunduh melalui tautan berikut: http://ipb.link/landreform-ngandagan. 70



Prof. S.M.P. Tjondronegoro Mengantar Saya Pulang Kembali Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah selama Juni-Juli 2010 yang dilaksanakan oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Sajogyo Institute.8 Sementara proses penulisannya sendiri bisa dituntaskan berkat studi pustaka dan residensi saya di Leiden. Ketika buku ini dibedah di FISIP Universitas Indonesia, dengan pembedahnya Prof. Robert M.Z. Lawang (sosiolog UI), Dr. M. Iskandar (sejarawan UI), dan seorang birokrat dari BPN Pusat (saya lupa siapa namanya), adalah Pak Tjondro yang, bersama Pak Gunawan Wiradi, berkenan untuk secara khusus mengantar dan memberikan dukungan moral kepada kami berdua (lihat foto-fotonya pada lampiran di bawah). *** DUA momen penting di atas, di mana saya diantarkan secara pribadi oleh Prof. Tjondronegoro (dan juga oleh Pak Wiradi pada momen yang kedua), ternyata merupakan rangkaian peristiwa yang, dalam tilikan retrospektif saat ini, saling terkait satu sama lain. Keduanya bahkan turut memberikan landasan bagi arah perjalanan intelektual saya. Fellowship dari Leiden University yang saya singgung di atas berhasil saya peroleh berkat proposal riset yang saya ajukan dengan judul sebagai berikut: “Democratic Land Governance for Indonesian Sustainable Development”. Bagi mereka yang mengikuti perkembangan studi agraria dan ekologi manusia di IPB, judul proposal tersebut akan mengingatkan kepada tradisi keilmuan lintas disiplin yang dibangun dan dikembangkan oleh Prof. Sajogyo dan Prof. Tjondronegoro di kampus IPB, seperti dapat diikuti dari publikasi beliau berdua sejak dekade 1970-an.9 Tidak heran jika 8



Buku yang saya tulis bersama Ahmad Nashih Luthfi ini merupakan publikasi pertama yang dihasilkan dari kegiatan revisit study di desa Ngandagan. Sebagai rekonstruksi historis dan sosiologis atas kasus land reform berbasis adat selama 1947-1964, buku ini mengawali dan sekaligus mendasari publikasi dua buku berikutnya. Secara berturutturut dua buku itu berjudul Ngandagan Kontemporer: Implikasi Sosial Landreform Lokal (STPN Press, 2011) dan Kondisi dan Perubahan Agraria Desa Ngandagan di Jawa Tengah: Dulu dan Sekarang (STPN Press, 2013). 9 Kepedulian Prof. Tjondronegoro dalam mengembangkan studi ekologi terbukti dari makalah cukup panjang yang beliau tulis pada tahun 1978 71



Mohamad Shohibuddin sejak awal saya mengikuti perkuliahan di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB, karakter lintas disiplin ini kerap ditekankan oleh para dosen. Oleh karena itu, secara keilmuan, proposal saya di atas banyak berhutang budi kepada, dan sekaligus merupakan upaya melanjutkan, tradisi keilmuan sosiologi pedesaan di IPB yang bersifat lintas disiplin ini. Dalam dokumen motivation letter yang dituliskan terpisah, saya juga menyatakan bahwa fokus riset yang saya ajukan dalam proposal di atas akan didalami melalui refleksi keterlibatan saya dalam proses diskusi dan perumusan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional yang saat itu sedang digulirkan oleh pemerintahan SBY-JK.10 Selain itu, juga akan saya dalami dengan merefleksikan hasil riset lapang mengenai pelaksanaan land reform di Indonesia yang sebelumnya telah saya lakukan. Lebih lanjut, dan ini yang terpenting, dalam dokumen itu saya juga menegaskan bahwa upaya melakukan refleksi semacam itu akan mendapatkan rujukan yang melimpah dan lingkungan yang kondusif melalui studi pustaka dan pergaulan ilmiah di KITLV dan Leiden University. Untuk pernyataan terakhir ini, gambaran saya tentu saja dibentuk berkat jasa Pak Tjondro mengantarkan kami ke kantor KITLV di Jakarta serta penjelasan dari Dr. Roger Tol yang saya peroleh pada kesempatan itu. Apa yang saya tulis dalam motivation letter itu memang kemudian terbukti. Sebagai ilustrasi, buku Land Reform Lokal a la dengan judul Human Ecology: An Introduction. Kepedulian yang sama juga ditunjukkan Prof. Sajogyo dengan menyunting buku yang berjudul Ekologi Pedesaan: Sebuah Bunga Rampai. Dipersiapkan oleh Prof. Sajogyo sejak akhir 1970-an, buku ini baru terbit pada 1982 (Jakarta: Rajawali Pers). Hal ini membuktikan bahwa sejak awal studi agraria dan ekologi telah menjadi bagian penting dari ramuan keilmuan sosiologi pedesaan yang bersifat multi-disiplin yang dikembangkan di IPB. 10 Dinamika perdebatan dan proses perumusan kebijakan reforma agraria era pemerintahan SBY ini, terutama pada tahap formatifnya sepanjang 2006-2007, dapat ditelusuri di dalam buku ini: Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007: Bunga Rampai Perdebatan, penyunting Mohamad Shohibuddin dan M. Nazir (STPN Press dan Sajogyo Institute, 2012). Buku ini dapat diunduh melalui tautan sebagai berikut: https://bit.ly/proses-kebijakan-RA. 72



Prof. S.M.P. Tjondronegoro Mengantar Saya Pulang Kembali Ngandagan yang saya sebutkan di atas tidak akan mewujud dalam bentuk seperti yang ada sekarang jika salah satu penulisnya tidak memperoleh kesempatan riset di KITLV dan menjadi peneliti tamu di Van Vollenhoven Institute, Leiden University. Salah satu argumen utama buku ini, bahwa land reform di bawah kepemimpinan Soemotirto (1947-1964) merupakan hasil kombinasi revitalisasi dan sekaligus reinterpretasi atas sistem tenurial adat setempat, hanya dapat dijelaskan setelah memperoleh literatur mengenai sistem tenurial di Jawa dan perubahannya di bawah sistem tanam paksa dan kebijakan liberal pemerintah kolonial. Signifikansi dari inovasi land reform lokal itu hanya dapat dipahami secara tepat dengan menempatkannya dalam konteks proses individualisasi penguasaan tanah yang berlangsung gencar di Kabupaten Purworejo sejak era kolonial. Selanjutnya, “arus balik” atas inovasi land reform lokal ini, yang terjadi semenjak dua tahun sebelum peristiwa yang dijuluki rezim Orde Baru sebagai “G30S/PKI”, hanya bisa dijelaskan secara memadai setelah memahami dampak persaingan politik nasional sejak Pemilu 1955 hingga era Demokrasi Terpimpin pada dinamika sosial-politik di Kabupaten Purworejo, serta kedudukan sulit desa Ngandagan sebagai “desa komunis” di tengah “kandang banteng”. Akhirnya, bagaimana warga desa Ngandagan berhasil selamat dari konsekuensi pahit “G30S/PKI” (berkat “bedol partai” dan “konversi keagamaan” yang diperintahkan Lurah Soemotirto hanya beberapa bulan sebelum tragedi politik itu terjadi), dan bagaimana dampak “arus balik” yang terjadi terhadap perubahan penguasaan lahan pertanian satu dekade kemudian, hanya dapat disajikan secara berimbang berkat pemahaman yang lebih utuh mengenai dinamika politik lokal yang berlangsung di Kabupaten Purworejo serta berkat penemuan tanpa sengaja data survei tata desa di Kecamatan Pituruh yang dilaksanakan oleh Departemen Dalam Negeri pada 1976-1977. *** Pak Gunawan Wiradi, sosok ilmuwan yang pertama kali “menemukan” kasus inovasi land reform lokal di Ngandagan pada 1960 saat melakukan fieldwork untuk penyelesaian tugas akhir



73



Mohamad Shohibuddin sarjananya,11 menjuluki buku yang kami tulis ini sebagai contoh “imajinasi sosiologis” yang berhasil. Di satu sisi, buku itu mampu merekonstruksi inovasi land reform oleh pemerintah desa beserta segala dinamikanya di tingkat lokal. Di sisi lain, buku itu pada saat yang sama berhasil mengaitkannya dengan dinamika pertarungan gagasan, kebijakan dan politik yang berlangsung di tingkat nasional hingga kabupaten. Dengan kata lain, ada interaksi proses mikro dan makro yang berhasil ditunjukkan dalam buku itu yang kemudian memberikan banyak insights baru. Sebagai misal, kendati inisiatif land reform lokal a la Ngandagan ini digerakkan oleh Lurah Soemotirto yang berorientasi kiri, bahkan PKI pada Pemilu 1955 berhasil menang telak di desa ini, akan tetapi pelaksanaan land reform-nya justru didasarkan pada sistem tenurial adat yang kemudian ditafsirkan dan dimodifikasi ulang demi menjalankan agenda pembaruan yang bersifat populis. Yang menarik, inovasi land reform berbasis sistem adat ini bahkan terus dipertahankan oleh desa ini, sekalipun pada 1960 keluar UU Pokok Agraria dan UU Land Reform yang berlaku secara nasional. Hal ini tentu meruntuhkan pandangan monolitik yang biasa dipegangi selama ini bahwa peran PKI dalam sejarah pelaksanaan land reform di Indonesia selalu identik dengan aksi sepihak yang penuh konflik dan kekerasan. Kasus land reform di Ngandagan justru bertolak belakang dari anggapan dominan ini. 11



Penulisan hasil studi lapang untuk tugas akhir kesarjanaan Gunawan Wiradi muda ini dibimbing langsung oleh Pak Sajogyo (saat itu masih bernama Kampto Utomo). Hasil penelitian Pak Wiradi ini baru terbit dua dekade kemudian, namun dalam versi terjemahan bahasa Inggris dengan judul Landreform in a Javanese Village, Ngandagan: A Case Study on the Role of "Lurah" in Decision Making Process (Bogor: SAE-SDP, 1981). Dipicu oleh publikasi ini, kasus yang sama kemudian diteliti ulang oleh tim Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM pada 1981/1982 dan kemudian oleh Bambang Purwanto dari Jurusan Sejarah UGM pada 1985. Penerjemahan kembali publikasi Pak Wiradi tersebut ke dalam bahasa Indonesia baru dilakukan pada akhir 2009 dan diterbitkan sebagai Bab 10 dalam buku suntingan karya tulis Gunawan Wiradi yang berjudul Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian Agraria, penyunting: Mohamad Shohibuddin (STPN Press dan Sajogyo Institute, 2009). Buku ini dapat diunduh melalui tautan sebagai berikut: https://bit.ly/GWR-masalah-agraria. 74



Prof. S.M.P. Tjondronegoro Mengantar Saya Pulang Kembali Sebagai penulis buku, kami berdua tentu saja bangga dengan apresiasi Pak Wiradi ini. Apalagi hal itu juga beliau sampaikan pada forum bedah buku di UI yang saya singgung di atas. Belakangan saya baru menyadari—dan bukannya tanpa rasa terperangah—bahwa apa yang saya gulati dalam studi agraria, ekologi dan gerakan pedesaan selama ini ternyata memang berkutat pada apa yang menjadi inti penilaian Pak Wiradi itu, yaitu interaksi proses makro-mikro di aras desa yang berlangsung di seputar isu agraria dan ekologi. Hal ini tercermin dalam beberapa publikasi saya, terutama yang membahas persoalan agraria dan ekologi serta kontekstualisasinya dalam unit agro-ekosistem yang lebih luas, termasuk implikasinya pada urgensi pembaruan tenurial secara komprehensif dan terpadu.12 12



Lihat, sebagai misal, beberapa publikasi saya berikut ini (sebagiannya ditulis bersama para peneliti lain):  “Kontestasi Devolusi: Ekologi Politik Pengelolaan Hutan Berbasis Komunitas” dalam Hariadi Kartodihardjo, Ed. Kembali ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia (FORCI dan Tanah Air Beta, 2013). Dapat diakses di sini: https://bit.ly/Devolusi.  “Peluang dan Tantangan Undang-Undang Desa dalam Upaya Demokratisasi Tata Kelola Sumber Daya Alam Desa: Perspektif Agraria Kritis,” Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 21(1), tahun 2016. Dapat diakses di sini: http://journal.ui.ac.id/index.php/mjs/article/viewFile/5021/pdf.  “Undang-Undang Desa dan Isu Sumber Daya Alam: Peluang Akses atau Ancaman Eksklusi?” Jurnal Wacana, 19(36), tahun 2017. Dapat diakses di sini: http://ipb.link/desa-dan-agraria.  “Smallholder Bargaining Power in Large-scale Land Deals: A Relational Perspective.” The Journal of Peasant Studies, 44(4), tahun 2017. Dapat diakses di sini: https://bit.ly/smallholder-power.  “Meninjau-ulang Pengelolaan Kolaboratif Sumber Daya Alam: Studi Kritis atas Kesepakatan Konservasi Berbasis Adat di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah” dalam Ismatul Hakim et al, Eds. Hutan untuk Rakyat: Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan (IPB Press dan Sajogyo Institute, 2018). Dapat diakses melalui tautan ini: http://bit.ly/koadaptasi.  Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan, dan Kajian Empiris (STPN Press, Sajogyo Institute, PSA IPB dan KPA, 2018), khususnya Bagian I, II dan III. Dapat diakses di sini: http://ipb.link/perspektif-agraria.  Ketimpangan Agraria di Indonesia: Pendekatan Studi, Kondisi Terkini dan Kebijakan Penanganan (IPB Press, 2020), khususnya Bagian IV. Dapat dipesan melalui tautan ini: http://ipb.link/ketimpangan-agraria. 75



Mohamad Shohibuddin Kini, merenungkan kembali perjalanan intelektual itu, apa yang membuat saya lebih terperangah lagi adalah bahwa muara pergulatan itu ternyata telah mengantarkan saya pulang kembali kepada warisan ilmiah Prof. Tjondronegoro yang paling menonjol, yang tak lain adalah konsep sodality. Sandaran otoritas ilmiah Pak Tjondro inilah yang memberanikan saya untuk memformulasikan usulan kerangka riset (-aksi) seperti disajikan di bawah ini.



Gambar 2. Pro-poor and Democratic Resource Governance for Rural Development: A Framework for (Action-) Research Formulasi kerangka semacam ini tentu saja tidak lahir secara ujug-ujug, namun merupakan buah dari proses dialog dan upaya sintesis atas berbagai literatur yang saya baca maupun keterlibatan praksis yang saya jalani selama ini. Tentu saja, latar belakang teoritis dan praksis ini tidak mungkin diuraikan dalam tulisan ini. Namun, sebagai ilustrasi singkat, perlu dinyatakan bahwa di balik 76



Prof. S.M.P. Tjondronegoro Mengantar Saya Pulang Kembali kerangka di atas terdapat acuan pada berbagai teori seputar statesociety relations (dalam aneka variasinya) serta berbagai praktik demokrasi deliberatif yang dijalankan oleh masyarakat mulai dari Filipina, Indonesia hingga Brazil. Selain itu, di balik kerangka itu sebenarnya juga tercermin kontestasi yang berlangsung keras dewasa ini di seputar isu tata pengurusan sumberdaya alam (resource governance). Di satu sisi, terdapat sejumlah negara dan lembaga donor internasional yang mempromosikan narasi good governance yang sangat hegemonik itu serta penerjemahannya secara teknokratis dan a-politis ke dalam agenda-agenda sektoral semacam land governance, forest governance, dan sebagainya. Di sisi lain, terdapat kontra-narasi dari kalangan penentangnya yang lebih menekankan keharusan tata pengurusan sumberdaya alam yang bersifat demokratis dan memihak kepentingan golongan miskin dan marginal (democratic and pro-poor governance). Melalui kerangka pemikiran yang disajikan dalam gambar di atas, upaya sintesis kebijakan sebenarnya juga sedang diusulkan. Sebagai misal, kerangka itu sebenarnya merupakan sebuah upaya untuk memadukan kerangka tenure reform yang komprehensif dari CAPRi di satu sisi13 dengan tradisi kesarjanaan agraria kritis di sisi yang lain. Sebagai misal, kalangan terakhir ini menggarisbawahi agar setiap bentuk pelaksanaan tenure reform harus benar-benar memastikan terjadinya transfer yang bersifat aktual (bukan sekedar legal-prosedural) dan sekaligus bersifat lintas-kelas atas tanah dan SDA lainnya serta atas berbagai bentuk manfaat sosial-ekonomi yang dihasilkannya. Kepedulian semacam ini, seperti terlihat, juga ditekankan dalam skema di atas. Last but not least, dalam kerangka pemikiran di atas dengan jelas juga dapat dilihat pengaruh yang kuat dari pemikiran Prof. Sajogyo dan Prof. Tjondronegoro. Seperti diketahui, kedua sosok intelektual teladan ini selalu memedulikan golongan miskin dan lemah di pedesaan, sekaligus mengupayakan agar golongan yang marjinal ini dapat menjadi pelaku atau subjek dalam setiap aksi pembaruan/perjuangan sosial. Dengan perkataan lain, partisipasi 13



Kerangka dari CAPRi ini bisa dipejari lebih lanjut melalui tautan sebagai berikut: https://capri.cgiar.org/conceptual-framework. 77



Mohamad Shohibuddin dari golongan marjinal yang diharapkan oleh keduanya—termasuk dalam pelaksanaan land reform—tidak hanya mengandalkan pada desain program dan ruang partisipasi formal yang disediakan dari atas (invited spaces of participation), melainkan harus bertumpu kepada aspirasi perubahan dan kekuatan sosial dari bawah demi mewujudkan claimed spaces of participation. Memang, dibutuhkan satu tulisan tersendiri untuk mengulas seluk beluk kerangka yang saya usulkan di atas.14 Namun, karena tulisan ini harus diakhiri, maka hanya ungkapan tulus berikut yang dapat saya haturkan di penghujung testimoni ini: Terima kasih Pak Tjondro, telah mengantarkan saya pada banyak momen penting dan yang membawa saya dapat pulang kembali ke tradisi Mazhab Bogor. Semoga panjenengan damai di sisi Allah SWT dalam keadaan ridlo dan diridloi (râdliyatan mardliyyah). Âmîn yâ Robbal ‘âlamîn. Al-Fâtihah!



14



Sebenarnya, ada satu kerangka lain yang juga saya usulkan untuk memadukan kepedulian studi agraria dengan ekologi demi mewujudkan analisis sistem agraria secara terpadu. Dalam kerangka ini, yang saya kembangkan dari tulisan Hubert Cochet (2012), pemahaman sistem agraria secara utuh akan menuntut kontekstualisasi proses pemahaman secara progresif yang merentang mulai dari unit pengamatan/analisis paling kecil hingga yang paling luas. Hal ini dimulai dari unit bidang/plot tanah pertanian dalam rangka memahami cropping/livestock system, unit produksi pertanian untuk memahami tenure and livelihood system, unit bentang alam (landscape) untuk memahami agroecological system, hingga unit teritori yurisdiksi dalam rangka memahami governance system yang tatarannya dapat berlapis-lapis. Untuk melakukan ini, maka kerja sama dan cara kerja lintas-disiplin menjadi sebuah keniscayaan. Skema awal dari Cochet dapat dilihat dalam artikelnya: “The Systeme Agraire Concept in Francophone Peasant Studies,” Geoforum, 43(1), hlm. 128-136. Sedangkan upaya pengembangan skema ini dalam bentuk usulan kerangka terpadu dapat dilihat pada Bab 1 Gambar 1.3 beserta penjelasannya dalam buku saya Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan, dan Kajian Empiris serta pada Bab 9 Gambar 9.1 beserta penjelasannya dalam buku saya Ketimpangan Agraria di Indonesia: Pendekatan Studi, Kondisi Terkini dan Kebijakan Penanganan. Untuk memperoleh dua buku ini, lihat catatan kaki no 12 pada bab ini. 78



Prof. S.M.P. Tjondronegoro Mengantar Saya Pulang Kembali Lampiran 1. Foto-foto Kenangan Bersama Prof. Tjondronegoro



Foto 1. Mendiskusikan Bahan-bahan Arsip untuk Penulisan Otobiografi Prof. Tjondronegoro



Foto 2. Bergantian Mewawancarai Prof. Tjondronegoro untuk Melengkapi Bahan Penulisan Otobiografi Beliau 79



Mohamad Shohibuddin



Foto 3. Prof. Dr. Tjondronegoro dan Dr. Gunawan Wiradi Mengantar Penulis Buku Land Reform Lokal a la Ngandagan pada Acara Bedah Buku di FISIP UI, 13 April 2011



Foto 4. Para Pembicara pada Acara Bedah Buku Land Reform Lokal a la Ngandagan



80