Progress Kelompok 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Budaya dan Perilaku Kesehatan di Indonesia



Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikososial dan Budaya dalam Keperawatan Dosen Pengampu: Ns. Tesha Hestyana Sari, M.Kep Disusun Oleh : Kelompok 2 Kelas A 2020 2 1. Calvin Khan Nolip. S



(2011113469)



2. M. Zulpan Rizki



(2011113507)



3. Nadia Azaura Audrey



(2011113242)



4. Najmi Putri Wijanarko



(2011113228)



5. Nur Sukma Puteri



(2011113236)



6. Sheila Reihani Permata R (2011113231) 7. Siti Rohmah Nurul A



(2011113247)



8. Syahnia Aprilia Irvani



(2011113244)



9. Yelly Muthia Sabri



(2011113249)



PRODI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS RIAU 2020/2021



KATA PENGANTAR Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Budaya dan Perilaku Kesehatan di Indonesia” dengan baik tanpa ada halangan yang berarti. Kami sampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing Psikososial dan Budaya dalam Keperawatan yaitu Fathra Annis N, M.Kep., Sp.Kep.J dan semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Aamiin. Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.



LAPORAN PROYEK P3 Budaya dan antropologi dalam pemberian asuhan keperawatan a. Fungsi kebudayaan dalam pemberian asuhan keperawatan yang peka budaya kepada pasien Asuhan Keperawatan Peka Budaya merupakan asuhan keperawatan yang menggunakan kompetensi budaya dalam membantu pasien memenuhi kebutuhan sesuai dengan kebutuhan budayanya (Leininger & McFarland, 2002). Seorang perawat yang memiliki kompetensi kultural diharapkan dapat memberikan asuhan keperawatan yang lebih bermakna bagi kehidupan pasien yang berasal dari beragam kebudayaan dan secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dengan pendekatan budaya yang diberikan oleh perawat. b. Faktor yang mempengaruhi antropologi kesehatan dalam pemberian asuhan keperawatan yang peka budaya kepada pasien Hubungan Antropologi Dengan Kesehatan/Keperawatan Para antropolog kesehatan pada masa kini (khususnya di Amerika) bekerja di fakultas-fakultas kedokteran, sekolah perawat, di bidang kesehatan masyarakat, di rumahsakit-rumahsakit dan depertemen-departemen kesehatan, serta di jurusan-jurusan antropologi pada universitas umum. Mereka melakukan penelitian dalam topik-topik seperti manusia, anatomi, pediatri, epidemiologi, kesehatan jiwa, penyalahguna- an obat, definisi mengenai sehat dan penya-kit, latihan petugas kesehatan,birokasi medis, pengaturan dan pelaksanaan rumahsakit,hubungan dokter-pasien, dan proses mem-perkenalkan sistem kesehatan ilmiah kepada masyarakat masyarakat yang semula hanya mengenal sistem kesehatan tradisional. Konsep-konsep Penting dalam Antropologi Kesehatan dan Ekologi keperawatan c. Enkulturasi dalam pemberian asuhan keperawatan Dalam perspektif ilmu antropologi, pewarisan budaya dikenal dengan istilah enkulturasi atau pembudayaan. Enkulturasi adalah proses penerusan kebudayaan dari generasi satu kepada generasi berikutnya yang dimulai segera setelah lahir ketika kesadaran diri individu akan obyek ruang dan waktu dalam lingkungan sosialnya tumbuh (Haviland, 1985 : 397).



P4 Budaya dan perilaku kesehatan di Indonesia a. Mengidentifikasi budaya di Indonesia Setiap individu memiliki budaya baik disadari maupun tidak disadari, budaya merupakan struktur dari kehidupan. Istilah budaya pertama kali didefinisikan oleh antropolog Inggris Tylor tahun 1871 bahwa budaya yaitu semua yang termasuk dalam pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat dan kebiasaan lain yang dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat. (Brunner dan Suddart, 2001). Sedangkan petter (1993) mendefinisikan budaya sebagai nilai-nilai, kebudayaan sikap dan adat yang terbagi dalam suatu kelompok dan berlanjut dari generasi ke generasi berikutnya. Budaya akan dipakai oleh seseorang atau sekelompok orang dengan nyaman dari wktu ke waktu tanpa memikirkan rasionalisasinya. Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhanbudaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan individu yang mungkin kembali lagi (Leininger, 1985). Pengaruh kebudayaan dalam pemberian ashuan keperawatan adalah apabila pasien me miliki budaya yang berbeda dengan perawat atau pun tenaga kerja kesehatan yang lain agar terjadinya komunikasi. misalnya pasien ada larangan tertentu dari budaya nya yang bertentangan dengan tindakan medis yang akan di lakukan perawat terhadap pasien tersebut. Oleh karena itu perawat harus bertanya terlebuh dahulu kepada pasien itu agar tidak terjadi kesalah pahamaan , atau pun sebelum melakukan tindakan nya perawat harus meminta izin terlebih dulu terhadap pasien tersebut ataupun keluarga pasien. Dikarenakan semua orang memiliki budaya yang berbeda-beda. Kita sebagai perawat juga harus memahami budaya pasien kita . dan apabila pasien tersebut sudah mengizinkan kita melakukan tindakan yang akan di lakukan dan itu tidak melanggar budaya nya maka perawat melakukan tindakannya tersebut. Sehingga perawat harus berkomunikasi terhadap pasien agar tidak terjadi kesalahan atau pun tindakan yang tidak di harapkan dengan tetap menjaga kebudayaan yang di anut pasien tersebut.



b. Menjelaskan dan memahami budaya di Indonesia terhadap perilaku kesehatan a) Pengaruh Suku Sunda Terhadap Kesehatan



Dalam praktik kesehatan, suku Sunda menggunakan orang pintar (dukun). Hal ini masih mendominasi dalam upaya menolong masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan . Bila dukun tidak berhasil atau sakit tidak sembuh-sembuh , biasanya mereka baru pergi ke petugas kesehatan . Selain ke dukun , mereka juga biasanya pergi ke kyai jika mereka menganggap penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan secara medis. Dukun dipercaya mampu mengobati berbagai penyakit dengan menggunakan doa – doa atau mantera. Dosa tersebut dapat diambil dari bahasa Al-quran yang biasanya sering ditulis ppada sehelai kain atau kertas. Keterampilan dukun tersebut biasanya diturunkan kepada anak cucunya. Akan tetapi, ada juga yang berguru di tempat- tempat yang dipercaya sebagai tempat keramat. Biasanya merupakan tempat-tempat para wali dimakamkan, seperti Banten dan Cirebon. Mereka berguru dengan yang melakukan semedi atau bertapa dan kadang disertai puasa. Tempat yang sering dilakukan untuk semedi biasanya di guagua atau di gunung-gunung yang dianggap memiliki kemampuan supranatural. Semedi dilakukan sampai berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun. Suku Sunda percaya bahwa penyakit yang diderita tidak hanya dapat disembuhkan oleh petugas kesehatan, tetapi juga oleh dukun. Bila diantara mereka mengalami gangguan kesehatan, mereka lebih memilih membeli obat di warung atau pergi ke dukun yang dipercayai. Apabila sakit yang dideritanya semakin parah atau tidak sembuh-sembuh, mereka pergi ke puskesmas. Hal tersebut dipraktikan oleh suku Sunda terutama untuk golongan menengah ke bawah. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat suku Sunda yang mencari bantuan dukun sebagian besar karena alasan faktor ekonomi b) Kepercayaan Kuno dan Praktik Pengobatan Sistem pengobatan tradisional merupakan sub unsur kebudayaan masyarakat sederhana, pengetahuan tradisional. Dalam Masyarakat tradisional sistem pengobatan tradasional ini adalah pranata sosial yang harus dipelajari dengan cara yang sama seperti mempelajari pranata sosial umumnya dan bahwa praktek pengobatan asli (tradisional) adalah rasional dilihat dari sudut kepercayaan yang berlaku mengenai sebab akibat. Konsep sehat sakit tidak hanya mencakup aspek fisik saja,tetapi juga bersifat sosial budaya. Istilah lokal yang biasa dipakai oleh masyarakat jawa barat (orang sunda) adalah muriang untuk demam,nyerisirah sakit kepala. Menurut orang sunda,orang sehat adalah mereka yang makan terasa enak walaupun dengan lauk seadanya,dapat tidur nyenyak dan tidak ada yang dikeluhkan,sedangkan sakit adalah apabila badan terasa sakit,panas atau makan terasa pahit.Dalam bahasa sunda orang sehat disebut cageur,sedangkan orang sakit disebut gering. Ada beberapa perbedaan antara sakit ringan dan sakit berat.Orang disebut sakit ringan apabila masih dapat berjalan kaki,masih dapat bekerja,masih dapat makan dan minum dan dapat sembuh dengan minum obat atau obat tradisional yang dibeli diwarung.



Orang disebut sakit berat, apabila badan terasa lemas, tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari, sulit tidur, harus berobat kedokter/puskesmas, apabila menjalani rawat inap memerlukan biaya mahal.Konsep sakit ringan dan sakit berat bertitik tolak pada keadaan fisik penderita melakukan kegiatan sehari-hari, dan sumber pengobatan yang digunakan. Salah satu contoh sakit dengan penyebab, pencegahan dan serta pengobatan dalam budaya sunda: Keluhan demam (bahasa sunda-meriang atau panas tiris) ditandai dengan badan terasa pegal-pegal, menggigil, kadang-kadang bibir biru. Penyebab demam adalah udara kotor, menghisap debu kotor, pergantian cuaca, kondisi badan lemah,kehujanan,kepanasan cukup lama,dan keletihan. Pencegahan demam adalah dengan menjaga kebersihan udara yang dihisap,makan teratur, olahraga cukup, tidur cukup,minum cukup,kalau badan masih panas/berkeringat jangan langsung mandi,jangan kehujanan dan banyak makan sayuran atau buah. Pengobatan sendiri demam dapat dilakukan dengan obat tradisional, yaitu kompres badan dengan tumbukan daun melinjo,daun cabe atau daun sin gkong,atau dapat juga dengan obat warung yaitu paramek atau puyer bintang tujuh nomor 16. c) Kebiasaan masyarakat sunda yang bertentangan dengan kesehatan 1. Ibu hamil dilarang melilitkan handuk di leher agar anak yang dikandungnya tak terlilit tali pusat. Fakta: Ini pun jelas mengada-ada karena tak ada kaitan antara handuk di leher dengan bayi yang berada di rahim. Secara medis, hiperaktivitas gerakan bayi, diduga dapat menyebabkan lilitan tali pusat karena ibunya terlalu aktif. 2. Ibu hamil tidak boleh makan pisang yang dempet, nanti anaknya jadi kembar siam. Fakta: Secara medis-biologis, lahirnya anak kembar dempet / kembar siam tidak dipengaruhi oleh makanan pisang dempet yang dimakan oleh ibu hamil. Jelas ini hanyalah sebuah mitos. 3. Amit-amit” adalah ungkapan yang harus diucapkan sebagai "dzikir"- nya orang hamil ketika melihat peristiwa yang menjijikkan, mengerikan, dan sebagainya dengan harapan janin terhindar dari kejadian tersebut. Fakta: Secara psikologis, perilaku tersebut justru dapat berujung pada ketakutan yang tidak bermanfaat. 4. Dipakaikan gurita agar tidak kembung. Fakta: Mitos ini tak benar, karena organ dalam tubuh malah akan kekurangan ruangan. Jika bayi menggunakan gurita, maka ruangan untuk pertumbuhan organ-organ seperti rongga dada dan perut serta organ lain akan terhambat. Kalau mau tetap memakaikan gurita, boleh saja. Asal ikatan bagian atas dilonggarkan, sehingga jantung dan paru-paru bisa berkembang. 5. Dibedong agar kaki tidak pengkor. Faktanya: Bedong bisa membuat peredaran darah bayi terganggu lantaran kerja jantung memompa darah menjadi sangat berat. Yang jelas, pemakaian bedong sama sekali tak ada kaitannya dengan pembentukan kaki.



6. Timbulnya penyakit sebagai pertanda Demam atau diare yang terjadi pada bayi dianggap pertanda bahwa bayi tersebut akan bertambah kepandaiannya, seperti sudah bisa untuk berjalan. 7. Nafsu makan hilang, cekok saja dengan vitamin. Fakta: Pemberian vitamin yang berlebihan justru bisa membuat anak kehilangan nafsu makan P5 Aplikasi konsep Transkultural dalam keperawatan a. Pengertian keperawatan transkultural Bila ditinjau dari makna kata , transkultural berasal dari kata trans dan culture,Trans berarti aluar perpindahan , jalan lintas atau penghubung.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia; trans berarti melintang , melintas , menembus , melalui. Culture berarti budaya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kultur berarti: a. kebudayaan, cara pemeliharaan, pembudidayaan. b. Kepercayaan, nilai – nilai dan pola perilaku yang umum berlaku bagi suatu kelompok dan diteruskan pada generasi berikutnya, sedangkan cultural berarti: Sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan. Budaya sendiri berarti: akal budi, hasil dan adat istiadat. Dan kebudayaan berarti: a. Hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. b. Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk menjadi pedoman tingkah lakunya.Jadi, transkultural dapat diartikan sebagai: a. Lintas budaya yang mempunyai efek bahwa budaya yang satu mempengaruhi budaya yang lain b. Pertemuan kedua nilai – nilai budaya yang berbeda melalui proses interaksi social c. Transcultural Nursing merupakan suatu area kajian ilmiah yang berkaitan dengan perbedaan maupun kesamaan nilai– nilai budaya (nilai budaya yang berbeda, ras, yang mempengaruhi pada seorang perawat saat melakukan asuhan keperawatan kepada klien / pasien). Menurut Leininger (1991). b. Konsep yang mendasari keperawatan transkultural Transcultural Nursing adalah sebuah teori yang berpusat pada keragaman budaya dan juga keyakinan tiap manusia. Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa semua



interaksi di dalam Transcultural mengandung makna dan perbedaan dalam nilai-nilai dan keyakinan dari tiap kelompok dalam masyarakat. Konsep Transcultural Nursing Leninger (1995) berfokus pada analisa komparatif dan budaya yang berbeda, nilai-nilai kesehatanpenyakit, perilaku kepedulian dan pola keperawatan (Roman et al., 2013).



Kazier Barabara (1983) dalam bukuya yang berjudul Fundamentals of Nursing Concept and Procedures mengatakan bahwa konsep keperawatan adalah tindakan perawatan yang merupakan konfigurasi dari ilmu kesehatan dan seni merawat yang meliputi pengetahuan ilmu humanistic, philosopi perawatan, praktik klinis keperawatan, komunikasi dan ilmu sosial. Konsep ini ingin memberikan penegasan bahwa sifat seorang manusia yang menjadi target pelayanan dalam perawatan adalah bersifat bio – psychosocial – spiritual. Oleh karenanya, tindakan perawatan harus didasarkan pada tindakan yang komperhensif sekaligus holistik. Budaya merupakan salah satu dari perwujudan atau bentuk interaksi yang nyata sebagai manusia yang bersifat sosial. Budaya yang berupa norma, adat istiadat menjadi acuan perilaku manusia dalam kehidupan dengan yang lain. Pola kehidupan yang berlangsung lama dalam suatu tempat, selalu diulangi, membuat manusia terikat dalam proses yang dijalaninya. Keberlangsungaan terus – menerus dan lama merupakan proses internalisasi dari suatu nilai – nilai yang mempengaruhi pembentukan karakter, pola pikir, pola interaksi perilaku yang kesemuanya itu akan mempunyai pengaruh pada pendekatan intervensi keperawatan (cultural nursing approach) Keperawatan transkultural merupakan suatu area utama dalam keperawatan yang berfokus pada studi komparatif dan analisis tentang budaya dan sub-budaya yang berbeda di dunia yang menghargai perilaku caring, layanan keperawatan, nilai-nilai, keyakinan tantang tentag sehatsakit, serta pola-pola tingkah laku yang bertujuan yang mengembangkan body of knowledge yang ilmiah dan humanistic guna memberi tempat praktik keperawatan pada budaya tertentu dan budaya universal (Marriner- Tomey, 1994). Teori keperawatan transkultural ini menekankan pentingnya peran perawat dalam memahami budaya klien. Pemahaman yang benar pada diri perawat mengenai budaya klien baik individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat, dapat mencegah terjadinya cultural shock maupun culture imposition. Culture shock terjadi saat pihak luar (perawat) mencoba mempelajari atau beradaptasi secara efektif dengan kelompok keluarga budaya tertentu (klien). Klien akan merasakan perasaan tidak akan merasakan perasaan tidak nyaman, gelisah dan disorientasi karena perbedaan nyaman, gelisah dan diorientasi karena perbedaan nilai budaya, keyakinan dan kebiasaan. Sedangkan culture imposition adalah kecenderungan tenaga kesehatan perawat, baik secara diam-diam maupun terangterangan, memaksakan nilai-nilai budaya, keyakinan dan budaya, keyakinan dan



kebiasaan/perilaku yang dimilikinya kepada individu, keluarga atau kelompok dari budaya lain karena mereka meyakini bahwa budayanya lebih tinggi daripada kelompok lain.



c. Konsep dalam Transcultural Nursing 1. Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil keputusan. Budaya adalah sesuatu yang kompleks yang mengandung pengetahuan,keyakinan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan kecakapan lain yang merupakan kebiasaan manusia sebagai anggota kemunitas setempat. Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keselurahan hasil budi dan karyanya dan sebuah rencana untuk melakukan kegiatan tertentu (Leininger, 1991). Menurut konsep budaya Leininger (1978, 1984), karakteristik budaya dapat digambarkan sebagai berikut : 1) Budaya adalah pengalaman yang bersifat universal sehingga tidak ada dua budaya yang sama persis 2) budaya yang bersifat stabil, tetapi juga dinamis karena budaya tersebut diturunkan kepada generasi berikutnya sehingga mengalami perubahan 3) budaya diisi dan ditentukan oleh kehidupan manusianya sendiri tanpa disadari. 2. Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi tindakan dan keputusan. 3. Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal daei pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan individu yang mungkin kembali lagi (Leininger, 1985). 4. Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain. 5. Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim. Etnik adalah seperangkat kondisi spesifik yang dimiliki oleh kelompok tertentu (kelompok etnik). Sekelompok etnik adalah sekumpulan individu yang mempunyai budaya dan sosial yang unik serta menurunkannya ke generasi berikutnya (Handerson, 1981).



6. Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada mendiskreditkan asal muasal manusia. Ras merupakan sistem pengklasifikasian manusia berdasarkan karakteristik fisik pigmentasi, bentuk tubuh, bentuk wajah, bulu pada tubuh dan bentuk kepala. Ada tiga jenis ras yang umumnya dikenal, yaitu Kaukasoid, Negroid, Mongoloid. Budaya adalah keyakinan dan perilaku yang diturunkan atau diajarkan manusia kepada generasi berikutnya (Taylor, 1989). 7. Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling memberikan timbal balik diantara keduanya. 8. Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk memenuhi kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi dan kualitas kehidupan manusia. 9. Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing, mendukung dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan yang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia. 10. Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai, kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung atau memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai. 11. Culturtal imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada kelompok lain d. Perspektif Transkultural dalam Keperawatan Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada abad ke-21, termasuk tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas akan semakin besar. Dengan adanya globalisasi, dimana perpindahan penduduk antar negara (imigrasi) dimungkinkan, menyebabkan adaya pergeseran terhadap tuntutan asuhan keperawatan. Keperawatan sebagai profesi memiliki landasan body of knowledge yang kuat, yang dapat dikembangkan serta dapat diaplikasikan dalam praktek keperawatan. Perkembangan teori keperawatan terbagi menjadi 4 level perkembangan yaitu metha theory, grand theory, midle range theory dan practice theory.



Salah satu teori yang diungkapkan pada midle range theory adalah : Transcultural Nursing Theory. Teori ini berasal dari disiplin ilmu antropologi dan dikembangkan dalam konteks keperawatan. Teori ini menjabarkan konsep keperawatan yang didasari oleh pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-nilai kultural yang melekat dalam masyarakat. Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural shock. Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi. Salah satu contoh yang sering ditemukan adalah ketika klien sedang mengalami nyeri. Pada beberapa daerah atau negara diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa nyerinya dengan berteriak atau menangis. Tetapi karena perawat memiliki kebiasaan bila merasa nyeri hanya dengan meringis pelan, bila berteriak atau menangis akan dianggap tidak sopan, maka ketika ia mendapati klien tersebut menangis atau berteriak, maka perawat akan memintanya untuk bersuara pelanpelan, atau memintanya berdoa atau malah memarahi pasien karena dianggap telah mengganggu pasien lainnya. Kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada penurunan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan. c. Teori Culture Care Leininger Teori Leininger adalah tentang culture care diversity dan universality, atau yang lebih dikenal dengan transcultural nursing. Berfokus pada nilai-nilai budaya, kepercayaan, dan pelayanan kesehatan berbasis budaya, serta di dalam teorinya membahas khusus culture, culture care, diversity, universality, ethnohistory. Konsep utama dan definisi teori Leininger: 1) “Care” mengacu pada suatu fenomena abstrak dan kongkrit yang berhubungan dengan pemberian bantuan, dukungan atau kemungkinan pemberian pengalaman maupun perilaku kepada orang lain sesuai dengan kebutuhannya dan bertujuan untuk memperbaiki kondisi maupun cara hidup manusia. 2) “Caring” mengacu pada suatu tindakan dan aktivitas yang ditunjukkan secara langsung dalam pemberian bantuan, dukungan, atau memungkinkan individu lain dan kelompok didalam memenuhi kebutuhannya untuk memperbaiki kondisi kehidupan manusia atau dalam menghadapi kematian 3) “Culture” kebudayaan merupakan suatu pembelajaran, pembagian dan transmisis nilai, keyakinan norma-norma dan gaya hidup dalam suatu kelompok tertentu



4) “Culture Care” mengacu pada pembelajaran subjektif dan objektif dan tranmisi nilai, keyakinan, pola hidup yang membantu individu lain maupun kelompok untuk mempertahankan kesejahteraan mereka 5) “Culture Care Diversity” mengacu kepada suatu pengertian umum yang memiliki kesamaan ataupun pemahaman yang paling dominan, pola-pola, nilai-nilai, atau simbolsimbol perawatan di dalam maupun diantara suatu perkumpulan 6) “Culture Care Universality” mengacu kepada suatu pengertian umum yang memiliki kesamaan ataupun pemahaman yang paling dominan, pola-pola, nilai-nilai, atau simbolsimbol yang dimanifestasikan diantara kebudayaan 7) Keperawatan mengacu pada suatu pembelajaran humanistik dan profesi keilmuan serta disiplin yang difokuskan pada aktivitas dan fenomena keperawatan kebudayaan 8) “World View” mengacu pada cara pandang manusia dalam memelihara dunia atau alam semesta 9) “Culture and social Strukture Demensions” mengacu pada suatu pola dinamis dan gambaran hubungan struktural serta faktor-faktor organisasi dari bentuk kebudayaan 10) Lingkungan mengacu pada totalitas dan suatu keadaan, situasi atau pengalamanpengalaman yang memberikan arti bagi perilaku manusia dan interaksi sosial 11) “Environment Contect, Languange & Etnohistory” mengacu pada keseluruhan faktafakta pada waktu yang lampau, kejadian-kejadian dan pengalaman individu, kelompok, kebudayaan serta institusi yang difokuskan kepada manusia 12) “Generic Care System” sistem perawatan pada masyarakat tradisional mengacu pada pembelajaran kultural dan transmisi dalam masyarakat trandisional dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan 13) Kesehatan mengacu pada keadaan kesejahteraan yang didefinisikan secara kultural memiliki nilai dan paktek serta merefleksikan kemampuan individu 14) “Culture Care Amodation” teknik negosiasi atau akomodasi perawatan kultural mengacu pada semua bantuan, dukungan, fasilitas atau pembuatan keputusan dan tindakan kreativitas profesional 15) “Culture Care Preservation” mempertahankan perawatan kultural mengacu pada semua bantuan yang memungkinkan dapat menolong orang lain 16) “Culture Care Reppatering” restruktisasi perawatan transkultural membantu klien untuk mengubah cara hidup mereka agar lebih baik 17) Curturally Congruent Care for Health perawatan kultural yang kongruen mengacu pada kemampuan kognitif mengacu kepada kemampuan kognitif untuk membantu. Analisa Teori Leininger a) Kelebihan 1. Teori ini bersifat komprehensif dan holistik yang dapat memberikan pengetahuan kepadaperawat dalam pemberian asuhan dengan latar belakang budaya yang berbeda.



2. Teori ini sangat berguna pada setiap kondisi perawatan untuk memaksimalkan pelaksanaanmodel-model teori lainnya (teori Orem, King, Roy, dll). 3. Penggunakan teori ini dapat mengatasi hambatan faktor budaya yang akan berdampak terhadappasien, staf keperawatan dan terhadap rumah sakit. 4. Penggunanan teori trancultural dapat membantu perawat untuk membuat keputusan yangkompeten dalam memberikan asuhan keperawatan. 5. Teori ini banyak digunakan sebagai acuan dalam penelitian dan pengembangan praktekkeperawatan b) kelemahan 1. Teori transcultural bersifat sangat luas sehingga tidak bisa berdiri sendiri dan hanya digunakansebagai pendamping dari berbagai macam konseptual model lainnya. 2. Teori transcultural ini tidak mempunyai intervensi spesifik dalam mengatasi masalahkeperawatan sehingga perlu dipadukan dengan model teori lainnya Sunrise Model Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (sunrise model). Geisser menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien. Pengelolaan dalam keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi Matahari terbit sebagai lambang atau symbol perawatan. Suatu kekuatan untuk memulai pada puncak dari model ini dengan pandangan dunia dan keistimewaan struktur sosial untuk mempertimbangan arah yang membuka pikiran yang mana ini dapat mempengaruhi kesehatan dan perawatan atau menjadi dasar untuk menyelidiki berfokus pada keperawatan profesional dan sistem perawatan kesehatan secara umum. Anak panah berarti mempengaruhi tetapi tidak menjadi penyebab atau garis hubungan. Garis putu-putus pada model ini mengindisikan sistem terbuka. Model ini menggambarkan bahwa tubuh manusia tidak terpisahkan dari budaya mereka Suatu hal yang perlu diketahui bahwa masalah dan intervensi keperawatan tidak tampak pada teori dan model ini. Tujuan yang hendak dikemukakan oleh Leininger adalah agar seluruh terminologi tersebut dapat diasosiasikan oleh perawatan lainnya. Intervensi keperawatan ini dipilih tanpa menilai cara hidup klien atau nilai-nilai yang akan dipersepsikan sebagai suatu gangguan, demikian juga masalah keperawatan tidak selalu sesuai dengan apa yang menjadi pandangan klien. Model ini merupakan suatu alat yang produktif untuk memberikan panduan dalam pengkajian dan perawatan yang sejalan dengan kebudayaan serta penelitian ilmiah. e. Penerapan konsep transkultural sepanjang daur kehidupan manusia



1. Perawatan Kehamilan dan Kelahiran Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek sosial dan budaya dalam suatu masyarakat. Dalam ukuran-ukuran tertentu, fisiologi kelahiran secara universal sama. Namun proses kelahiran sering ditanggapi dengan cara-cara yang berbeda oleh aneka kelompok masyarakat (Jordan, 1993). Berbagai kelompok yang memiliki penilaian terhadap aspek kultural tentang kehamilan dan kelahiran menganggap peristiwa itu merupakan tahapan yang harus dijalani didunia. Dalam adat Sunda, ada kebiasaan yang masih cukup dipercaya banyak orang ketika ingin menolak bala sewaktu hamil. Mereka akan menggunakan bawang putih, bawang merah, dan cabai merah yang ditusuk ke tusukan sate, kemudian akan meletakkannya di depan pintu rumah. Cara ini dipercaya bisa menolak bala agar ibu hamil serta janin di dalam kandungan tidak diganggu oleh makhluk halus. Selain itu, Dalam adat Sunda, ibu hamil diusahakan tidak boleh makan menggunakan piring yang besar. Lebih disarankan untuk makan menggunakan piring kecil yang sering disebut pisin. Mitosnya, ibu hamil yang makan menggunakan piring besar hanya akan berdampak buruk pada calon anaknya. Bayi yang lahir akan memiliki wajah yang besar seperti piring. Pantangan dan simbol yang terbentuk dari kebudayaan hingga kini masih dipertahankan dalam komunitas dan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini, pelayanan kompeten secara budaya diperlukan bagi seorang perawat untuk menghilangkan perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya berbeda, serta berupaya mencapai pelayanan yang optimal bagi klien dan keluarga. Menurut Meutia Farida Swasono salah satu contoh dari masyarakat yang sering menitikberatkan perhatian pada aspek krisis kehidupan dari peristiwa kehamilan dan kelahiran adalah orang jawa yang di dalam adat adat istiadat mereka terdapat berbagai upacara adat yang rinci untuk menyambut kelahiran bayi seperti pada upacara mitoni, procotan, dan brokohan. Perbedaan yang paling mencolok antara penanganan kehamilan dan kelahiran oleh dunia medis dengan adat adalah orang yang menanganinya, kesehatan modern penanganan oleh dokter dibantu oleh perawat, bidan, dan lain sebagainya tapi penangana dengan adat dibantu oleh dukun bayi. Proses pendidikan atau rekrutmen untuk menjadi dukun bayi bermacam macam. Ada dukun bayi yang memperoleh keahliannya melalui proses belajar yang diwariskan dari nenek atau ibunya, namun ada pula yang mempelajari dari seorang guru karena merasa terpanggil. Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses semata mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, namun tempat melahirkan pun harus terhindar dari berbagai kotoran tapi “kotor” dalam arti keduniawian, sehingga kebudayaan menetapkan bahwa proses mengeluarkan unsur unsur yang kotor atau keduniawian harus dilangsungkan di tempat yang sesuai keperluan itu. Jika dokter memiliki obat obat medis maka dukun bayi punya banyak ramuan untuk



dapat menangani ibu dan janin, umumnya ramuan itu diracik dari berbagai jenis tumbuhan, atau bahan bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar proses persalinan. Menurut pendekatan biososiokultural dalam kajian antropologi, kehamilan dan kelahiran dilihat bukan hanya aspek biologis dan fisiologis saja, melainkan sebagai proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal seperti; pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran berlangsung, cara pencegahan bahaya, penggunaan ramuan atau obat-obatan tradisional, cara menolong kelahiran, pusat kekuatan dalam pengambilan keputusan mengenai pertolongan serta perawatan bayi dan ibunya. Berdasarkan uraian diatas, perawat harus mampu memahami kondisi kliennya yang memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut untuk memiliki keterampilan dalam pengkajian budaya yang akurat dan komprehensif sepanjang waktu berdasarkan warisan etnik dan riwayat etnik, riwayat biokultural, organisasi sosial, agama dan kepercayaan serta pola komunikasi. Semua budaya mempunyai dimensi lampau, sekarang dan mendatang. Untuk itu penting bagi perawat memahami orientasi waktu wanita yang mengalami transisi kehidupan dan sensitif terhadap warisan budaya keluarganya. 2. Perawatan Dan Pengasuhan Anak Disepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa transisi dari awal masa kelahiran hingga kematiannya. Kebudayaan turut serta mempengaruhi peralihan tersebut. Dalam asuhan keperawatan budaya, perawat harus paham dan bisa mengaplikasikan pengetahuannya pada tiap daur kehidupan manusia. Salah satu contohnya yaitu aplikasi transkultural pada perawatan dan pengasuhan anak. Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan standar kesehatan, yaitu sehat jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur yang terlibat dalam proses perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan secara sinergis. Menurut Urie Bronfenbrenner (1990) setidaknya ada terhadap tumbuh kembang anak,yaitu:



5 (lima)



sistem



yang berpengaruh



1) sistem mikro yang terkait dengan setting individual di mana anak tumbuh dan berkembang yang meliputi : keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan sekitar tetangga.



2) sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro sistem, misalnya hubungan pengalaman-pengalaman yang didapatkan di dalam keluarga dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman sebaya. 3) sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh dalam setting sosial yang berada di luar kontrol aktif tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan anak,seperti,pekerjaan orang tua dan media massa. 4) sistem makro yang merupakan budaya di mana individu hidup, seperti : ideologi, budaya, sub-budaya atau strata sosial masyarakat. sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis transisional (kondisi sosio-historik). Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan, pola pembelajaran, pola pergaulan termasuk penggunaan media massa, dan pola kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling mendukung. Proses sosialisasi pada anak secara umum melalui 4 fase, yaitu: a) Fase Laten (Laten Pattern), pada fase ini proses sosialisasi belum terlihat jelas. Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase ini anak masih dianggap sebagai bagian dari ibu,dan anak pada fase ini masih merupakan satu kesatuan yang disebut “two persons system”. b) Fase Adaptasi (Adaption), pada fase ini anak mulai mengenal lingkungan dan memberikan reaksi atas rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Orangtua berperan besar pada fase adaptasi, karena anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan orangtuanya. c) Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment), pada fase ini dalam sosialisasinya anak tidak hanya sekadar memberikan umpan balik atas rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya, tapi sudah memiliki maksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari lingkungannya. d) Fase Integrasi (Integration), pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi hanya sekadar penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan penghargaan, tapi sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu dengan dirinya sendiri. Interaksi anak dengan lingkungannya secara tidak langsung telah mengenalkan dirinya pada kultural atau kebudayaan yang ada di sekelilingnya. Lingkungan dan keluarga turut berperan serta dalam tumbuh kembang anak. Hal ini pun tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh budaya yang ada di sekitarnya. Sebagai perawat, dalam memberikan pengasuhan dan perawatan perlu mengarahkan anak pada perilaku perkembangan yang normal, membantu dalam memaksimalkan kemampuannya dan menggunakan kemampuannya



untuk koping dengan membantu mencapai keseimbangan perkembangan yang penting. Perawat juga harus sangat melibatkan anak dalam merencanakan proses perkembangan. Karena preadolesens memiliki keterampilan kognitif dan sosial yang meningkat sehingga dapat merencnakan aktifitas perkembngan. Dalam lingkungannya, anak diharuskan bekerja dan bermain secara kooperatif dalam kelompok besar anak-anak dalam berbagai latar belakang budaya. Dalam proses ini, anak mungkin menghadapi masalah kesehatan psikososial dan fisik (misalnya meningkatnya kerentanan terhadap infeksi pernapasan, penyesuaian yang salah di sekolah, hubungan dengan kawan sebaya tidak adekuat, atau gangguan belajar). Perawat harus merancang intervensi peningkatan kesehatan anak dengan turut mengkaji kultur yang berkembang pada anak. Agar tidak terjadi konflik budaya terhadap anak yang akan mengakibatkan tidak optimalnya pegasuhan dan perawatan anak. f. Aplikasi keperawatan transcultural dalam berbagai masalah kesehatan pasien Dengan adanya keperawatan transkultural dapat membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatannya. Perawat juga dapat membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan status kesehatan. Misalnya, jika klien yang sedang hamil mempunyai pantangan untuk makan-makanan yang berbau amis seperti ikan, maka klien tersebut dapat mengganti ikan dengan sumber protein nabati yang lainnya. Seluruh perencanaan dan implementasi keperawatan dirancang sesuai latar belakang budaya sehingga budaya dipandang sebagai rencana hidup yang lebih baik setiap saat. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut. Konsep budaya dan Tumbuh Kembang a. Review Konsep budaya dan tumbuh kembang a) Budaya Sunda  Budaya sunda adalah budaya yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat Sunda. Budaya Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat Sunda adalah periang, ramah-tamah (soméah, seperti dalam falsafah soméah hadé ka sémah), murah senyum, lemah-lembut, dan sangat menghormati orang tua. Itulah cermin budaya masyarakat Sunda. Kebudayaan Sunda juga merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dilestarikan. Sistem kepercayaan spiritual tradisional Sunda adalah Sunda Wiwitan yang mengajarkan keselarasan hidup dengan alam. Kini, hampir sebagian besar masyarakat Sunda



beragama Islam, tetapi ada beberapa yang tidak beragama Islam, walaupun berbeda namun pada dasarnya seluruh kehidupan ditujukan untuk kebaikan di alam semesta b) Etos budaya Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan tertua di Nusantara. Kebudayaan Sunda yang ideal kemudian sering kali dikaitkan sebagai kebudayaan masa Kerajaan Sunda. Ada beberapa ajaran dalam budaya Sunda tentang jalan menuju keutamaan hidup. Etos dan watak Sunda itu diantaranya adalah: 1) Cageur, artinya adalah sehat, yang mana sehat secara jasmani serta rohani, sehat dalam berpikir, sehat dan mempunyai pendirian, sehat secara moral, sehat dalam bekerja dan bertutur kata. 2) Bageur, artinya adalah baik, baik terhadap sesama, banyak memberikan bantuan berupa pikiran, moral yang baik maupun materi, tidak pelit terhadap sesama, tidak emosianal hatinya, penolong serta ikhlas menjalankan dan mengamalkan tidak hanya dibaca atau diucapkan saja. 3) Bener artinya benar atau tidak bohong, tidak asal-asalan dalam melaksanakan pekerjaan, amanat, lurus dalam menjalankan agama, memimpin dengan baik, serta tidak merusak alam. 4) Singer, artinya adalah mawas diri, teliti dalam bekerja, mendahulukan orang lain sebelum diri sendiri, menghargai pendapat orang lain, penuh kasih sayang, tidak marah saat dikritik namun diterima dengan lapang dada. 5) Pinter, artinya cerdas, mengerti ilmu agama sampai ke dasar, bisa menyesuaikan diri dengan sesamanya, bisa menyelesaikan masalah dengan bijaksana, serta tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. c) Nilai – Nilai Budaya Sunda Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari kebudayaan–kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Sunda, dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo silih asih, silih asah dan silih asuh; saling mengasihi (mengutamakan sifat welas asih), saling menyempurnakan atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi (saling menjaga keselamatan). Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah nilai-nilai lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua, dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan magis dipertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan keseimbangan sosial masyarakat Sunda melakukan gotong-royong untuk mempertahankannya



a. Contoh perilaku budaya yang berhubungan dengan kesehatan di kaitkan dengan tumbuh kembang Permainan anak-anak tradisional Sunda atau kaulinan urang lembur dapat menjadi sarana stimulasi perkembangan fisik- motorik, kognitif, bahasa, dan sosial-emosional anak usia dini. Hal ini terlihat dari beberapa permainan yang dapat menjadi stimulant dominan dari setiap perkembangan dan menyebabkan perkembangan lain menjadi terstimulasi. Diantaranya pada usia 0-