Proposal Karya Tulis Ilmiah-1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENERAPAN TERAPI MENGHARDIK PADA PASIEN SKIZOFRENIA DENGAN MASALAH KEPERAWATAN HALUSINASI PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT JIWA SAMBANG LIHUM BANJARMASIN



KARYA TULIS ILMIAH



Oleh: FEBBY AYU LESTARI NPM. 2014401110006



UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN BANJARMASIN, 2022



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Kesehatan mental merupakan aspek penting dalam mewujudkan kesehatan secara menyeluruh. Kesehatan mental yang baik memungkinkan orang untuk menyadari potensi mereka, mengatasi tekanan kehidupan yang normal. Kesehatan mental dapat dialami oleh individu yang memasuki usia remaja dan dewasa muda (Hertati et al., 2022). Menurut World Health Organization (WHO), terdapat sekitar 450 juta orang didunia yang mengalami gangguan jiwa. Sekitar 35 juta orang di dunia terkena depresi, 60 juta bipolar, 21 juta skizofrenia, 47,5 juta terkena dimensia (Hapsaria & Azhar, 2020). Angka kejadian skizofrenia di Indonesia mencapai sekitar mencapai sekitar 400.000 orang atau kurang lebih 7% dari jumlah penduduk; jumlah ini menunjukkan secara umum terjadi peningkatan proporsi yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan Riskesdas tahun 2013 yang hanya 1,7% jumlah penduduk (Hertati et al., 2022). Penelitian yang di lakukan Ellina (2019) mengatakan bahwa pada penderita skizofrenia dapat timbul halusinasi karena didapatkan data pasien yang mengatakan sering mendengar bisikan-bisikan suara yang menyuruhnya untuk marah-marah, pasien sering tertawa sendiri, pasien berbicara ngelantur, serta pasien lebih senang menyendiri dan sikap pasien yang pemalu (Syahdi & Pardede, 2019). Halusinasi



merupakan



hilangnya



kemampuan



seseorang



untuk dapat



membedakan rangsangan yang muncul dari dalam pikiran maupun luar pikiran. Halusinasi dibagi menjadi 5 jenis yaitu, halusinasi pendengaran, halusinasi



penglihatan, halusinasi penciuman, halusinasi perabaan, halusinasi pengecapan. Salah satu jenis halusinasi yaitu halusinasi pendengaran. Halusinasi pendengaran adalah seseorang yang mendengar suara yang tidak jelas maupun yang



jelas,



suara



tersebut



biasanya



mengajak



bicara



dan



kadang



memerintahkan klien untuk melakukan sesuatu. Apabila keadaan ini dibiarkan secara terus menerus pasien cenderung akan mengikuti perintah dari halusinasi itu sendiri sehingga dapat menciderai diri sendiri maupun orang lain apabila mengikuti isi dari halusinasinya. Halusinasi yang paling banyak diderita adalah halusinasi pendengaran mencapai kurang lebih 70%, sedangkan halusinasi penglihatan menduduki peringkat kedua dengan rata-rata 20%. Sementara jenis halusinasi yang lain yaitu halusinasi pengecapan, penghidu, perabaan, kinesthetic, dan cenesthetic hanya meliputi 10% (Hertati et al., 2022). Dilengkapi data di RSJ Sambang Lihum di Ruang Perawatan Jiwa Wanita pada bulan Januari sampai Desember 2021, kasus pada rawat inap ditemukan data terbanyak adalah Halusinasi sebanyak 42%, Resiko Perilaku Kekerasan 32%, Resiko Bunuh Diri 16%, Defisit Perawatan Diri 4%, Harga Diri Rendah 2,5%, Waham 2,5% dan Isolasi Sosial 1% (Ruangan Perawatan Jiwa Wanita RSJ Sambang Lihum, 2021). Perawat dalam melakukan asuhan keperawatan mampu memberikan cara untuk mengontrol halusinasi melalui strategi pelaksanaan yang dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu, mengajarkan teknik menghardik, mengajarkan bercakapcakap dengan orang lain, mengajarkan minum obat dengan benar dan teratur, dan melakukan kegiatan terjadwal untuk mencegah halusinasi terjadi kembali. Teknik menghardik adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan tingkat halusinasi dengar (Hapsaria & Azhar, 2020).



Menghardik adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat mengendalikan halusinasi dengar dengan menolak halusinasi apabila halusinasi muncul. Pasien akan dilatih untuk untuk mengatakan tidak terhadap isi halusinasi yang muncul dan tidak mempercayai atau tidak memperdulikan isi halusinasinya, apabila pasien mampu untuk mengendalikan pikirannya maka pasien akan mampu untuk dapat mengontrol halusinasinya dengan cara menghardik (Hapsaria & Azhar, 2020). Menghardik dapat bermanfaat untuk mengendalikan diri dan tidak mengikuti suara atau halusinasi yang muncul. Kemungkinan halusinasi muncul masih tetap ada tetapi dengan dilakukannya terapi ini diharapkan klien tidak akan larut untuk mengikuti isi dari halusinasi tersebut (Hapsaria & Azhar, 2020). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Karina Anggraini, dkk,yaitu terapi mengardik dilakukan dengan dua cara yaitu menutup telinga dan tidak menutup telinga. Setelah dilakukan terapi menghardik dengan menutup telinga yaitu dari kategori sedang sebanyak 26 (65%) dan kategori berat sebanyak 14 (35%) dan kategori berat sebanyak 14 (35%), menjadi kategori ringan pada seluruh responden yang berjumlah 40 (100%). Kemudian setelah dilakukan terapi menghardik tanpa tutup telinga dengan kategori sedang sebanyak 18 (54,5%), kategori berat 14 (42,4%), dan kategori ringan sebanyak 1 (13,0%), menjadi kategori sedang sebanyak 22 (66,7%), kategori ringan 11 (33,3%). Hasil dari penelitian yang dilakukan tersebut dapat membuktikan bahwa terapi menghardik dapat menurunkan tingkat halusinasi pada pasien (Hapsaria & Azhar, 2020). Berdasarkan beberapa penelitian di atas yang menunjukkan bahwa dengan dilakukannya terapi menghardik dapat menimbulkan pengaruh terhadap kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan studi kasus yang berjudul “Penerapan Terapi Menghardik Pada Pasien Skizofrenia Dengan



Masalah Keperawatan Halusinasi Pendengaran Di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin.” 1.2



Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah di jelaskan, maka rumusan masalah dalam studi kasus ini adalah bagaimanakah pengaruh penerapan terapi menghardik pada pasien skizofrenia dengan masalah keperawatan halusinasi pendengaran di RSJ Sambang Lihum Banjarmasin setelah 1 minggu dilakukan intervensi keperawatan?



1.3



Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan Umum Adapun tujuan studi kasus ini adalah penulis mampu menerapkan terapi menghardik pada pasien skizofrenia dengan masalah keperawatan halusinasi pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Mampu mengkaji gejala halusinasi pada pasien dengan halusinasi pendengaran. 1.3.2.2 Mampu merumuskan diagnosis keperawatan pada pasien dengan halusinasi pendengaran. 1.3.2.3 Mampu menyusun rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan halusinasi pendengaran. 1.3.2.4 Mampu melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan halusinasi pendengaran. 1.3.2.5 Mampu mengevaluasi efektivitas terapi menghardik pada pasien dengan halusinasi pendengaran. 1.3.2.6 Mampu melakukan pendokumentasian pada pasien dengan halusinasi pendengaran.



1.4



Manfaat 1.4.1 Bagi Pasien dan Keluarga Manfaat penelitian bagi pasien dan keluarga adalah menambah pengetahuan pasien tentang pengaruh terapi menghardik terhadap kemampuan dalam mengontrol halusinasi pendengaran. Tindakan terapi menghardik ini dapat dijadikan sebagai salah satu pengobatan non farmakologi bagi pasien. 1.4.2 Manfaat Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi atau sebagai dasar dalam pengembangan model terapi lainnya khususnya dalam menangani pasien halusinasi pendengaran dalam asuhan keperawatan. 1.4.3 Bagi Penulis Menjadi pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan dalam merawat pasien dengan halusinasi pendengaran.



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Halusinasi 2.1.1 Pengertian Halusinasi Halusinasi adalah merupakan distorsi persepsi palsu yang terjadi pada respon neurobiologis maladaptive, penderita sebenarnya mengalami distorsi sensori sebagai hal yang nyata dan meresponnya. Isi suarasuara tersebut mengancam dan menghina, sering kali suara tersebut memerintah klien untuk melakukan tindakan yang akan melukai klien atau orang lain (Syahdi & Pardede, 2019). Halusinasi adalah distorsi persepsi palsu yang terjadi pada respon neurobiologis maladaptif tanpa stimulus eksternal atau internal yang terjadi saat kesadaran penuh dan dapat terjadi pada semua pancaindra (Hertati et al., 2022). Halusinasi



adalah



kehilangan



kemampuan



seseorang



dalam



membedakan rangsangan dari luar maupun dari dalam. Halusinasi merupakan suatu tanda atau gejala gagguan jiwa dimana seseorang mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu antara lain suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penciuman, seseorang mampu merasakan rangsangan yang sebenarnya tidak ada (Hapsaria & Azhar, 2020). Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa halusinasi merupaakan gangguan persepsi sensori dimana seseorang merasakan adanya sensasi baik dari luar maupun dari dalam yang mana sensasi tersebut ternyata tidak ada atau palsu.



2.1.2 Etiologi Halusinasi Faktor predisposisi klien halusinasi menurut Oktiviani, (2020) yaitu: 2.1.2.1 Faktor Predisposisi a. Faktor perkembangan tugas Tugas



perkembangan



klien



terganggu



misalnya



rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien



tidak



mampu



mandiri



sejak



kecil,mudah



frustasi,hilang percaya diri. b. Faktor sosiokultural seseorang Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungan sejak bayi akan merasa disingkirkan,kesepian,dan tidak percaya pada lingkungan. c. Biologi Faktor biologis mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa.adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogen neurokimia.Akibat stress berkepanjangan



menyebabkan



teraktivitasnya



neurotransmitter otak. d. Psikologis Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanngung jawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan psien dalam mengambil



keputusan



yang



tepat



demi



masa



depannya,klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal. e. Sosial budaya Meliputi klien mengalami interaksi social dalam fase awal dan comfortin, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan



tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi social, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. 2.1.2.2 Faktor Presipitasi Menurut Stuart dan Sudeen faktor presipitasi dapat meliputi Prabowo, (2015): a. Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan. b. Stress lingkungan Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap



stressor



lingkungan



untuk



menentukan



terjadinya gangguan perilaku. c. Sumber koping sumber Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor. 2.1.3 Manifestasi Klinik Halusinasi Menurut Karsa & Karsa, (2022) tanda dan gejala halusinasi diantaranya yaitu: 2.1.3.1 Menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindar diri dari orang lain. 2.1.3.2 Tersenyum sendiri, tertawa sendiri. 2.1.3.3 Duduk terpukau (berkhayal). 2.1.3.4 Bicara sendiri. 2.1.3.5 Memandang satu arah, menggerakan bibir tanpa suara, penggerakan mata yang cepat, dan respon verbal yang lambat.



2.1.3.6 Menyerang, sulit berhubungan dengan orang lain. 2.1.3.7 Tiba-tiba marah,curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungan) takut. 2.1.3.8 Gelisah, ekspresi muka tegang, mudah tersinggung, jengkel. 2.1.3.9 Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah. 2.1.4 Jenis-jenis Halusinasi Menurut (Yusuf, 2015) klasifikasi halusinasi dibagi menjadi 5 yaitu: No 1.



Jenis-jenis Halusinasi Halusinasi Pendengaran



Data Objektif 1. Bicara sendiri



atau



Data Subjektif



tertawa 1. Mendengar suara



tanpa



lawan



bicara 2. Marah-marah



atau kegaduhan 2. Mendengar suara



tanpa



yang



mengajak



sebab mencondongkan



bercakap-cakap



telinga ke arah tertentu



3. Mendengar suara



3. Menutup telinga



yang



menyuruh



melakukan sesuatu yang berbahaya 2.



Halusinasi Penglihatan



1. Menunjuk-nunjuk



ke 1. Melihat bayangan,



arah tertentu 2. Ketakutan pada objek yang tidak jelas



sinar,



bentuk



geometris, bentuk kartun,



melihat



hantu atau monster 3.



Halusinasi penciuman



1. Mencium seperti bau- 1. Mencium



bau-



bauan tertentu



bauan seperti bau



2. Menutup hidung



darah, urine, feses, 2. Terkadang bau itu menyenangkan



4.



Halusinasi



1. Sering meludah



1. Merasakan



rasa



pengecepan



seperti 2. Muntah



5.



Halusinasi



urine, feses



1. Menggaruk-garuk



Perabaan



darah,



1. Mengatakan



permukaan kulit



ada



serangga



di



permukaan kulit 2. Merasa



seperti



tersengat listrik



2.1.5 Rentang Respon



Respon Adaptif Berfikir logis



Respon Maladaptif Pikiran menyimpang



Gangguan proses pikir: waham



Persespsi akurat



Ilusi



Emosi konsisten



Respon



Halusinasi emosi



berlebihan Perilaku sesuai stimulus Kadang



kadang Ketidakmampuan mengelola emosi



menunjukkan Perilaku aneh



perilaku aneh Berinteraksi sosial



Menarik diri



Isolasi sosial



(Damaiyanti & Iskandar 2014) menjelaskan tentang respon halusinasi sesuai bagan di atas, yakni: 2.1.5.1 Respon Adaptif Respon adaptif respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu



tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut, responadaftif : a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan. b. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman. c. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran. d. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan. 2.1.5.2 Respon Maladaptif Respon



maladaptif



adalah



respon



individu



dalam



menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan, adapun respon maladaptif meliputi: a. Kelainan pikiran adalah keyakianan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertetangan dengan kenyataan sosial. b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang tidak realita atau tidak ada. c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati. d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur. e. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain



dan



sebagai



mengancam. 2.1.6 Fase Halusinasi



suatu



kecelakaan



yang



negatif



Menurut Karsa & Karsa, (2022) yang mengemukakan bahwa halusinasi terbagi atas beberapa fase, yaitu sebagai berikut: 2.1.5.1 Fase I (Sleep Disorder) Fase ini adalah fase dimana pasien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut diketahui oleh orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah semakin terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi, misalnya terlibat narkoba, drop out dari kampus, putus cinta. Masalah terasa semakin menekan dan persepsi terhadap masalah semakin buruk, mengalami sulit tidur berangsur terus-menerus hingga terbiasa menghayal. Pasien menganggap lamunan-lamunan awal sebagai pemecahan masalah. 2.1.5.2 Fase II (Comforting) Fase dimana pasien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya



perasaan



cemas,



kesepian,



perasaan



berdosa,



ketakutan dan memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan, beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat dikontrol bila kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada kecenderungan pasien merasa nyaman dengan halusinasi. 2.1.5.3 Fase III (Condemnig) Fase dimana pengalaman sensori pasien menjadi sering datang dan mengalami bias atau prasangka. Pasien merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan mulai menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang dipersepsikan, pasien mulai menarik diri dari orang lain dengan intensitas waktu yang lama. 2.1.5.4 Fase IV (Controlling) Fase dimana pasien mencoba melawan suara-suara atau sensory abnormal yang datang. Pasien dapat merasakan



kesepian bila halusinasinya berakhir, disinilah dimulai gangguan pyschotic. 2.1.5.5 Fase V (Conquering) Fase



dimana



pasien



merasa



pengalaman



sensorinya



terganggu, pasien mulai merasa terancam dengan datangnya suara-suara terutama bila pasien tidak dapat menuruti ancaman atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung 4 jam atau seharian bila pasien tidak mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat. 2.1.7 Mekanisme Koping Halusinasi Menurut (Munith, 2015) mekanisme koping yang sering digunakan pasien dengan halusinasi, antara lain : 2.1.7.1



Regresi: menjadi malas beraktivitas sehari-hari.



2.1.7.2



Proyeksi: mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.



2.1.7.3



Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.



2.1.7.4



Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh pasien.



2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Pasien Halusinasi 2.2.1 Pengkajian Pengkajian



adalah



langkah



awal



dalam



pelaksanaan



asuhan



keperawatan. Pengkajian dapat dilakukan dengan cara observasi dan wawancara pada pasien dan keluarga pasien (O'Brien, 2014). Pengkajian awal mencakup: 2.2.1.1



Keluhan atau masalah utama



2.2.1.2



Status kesehatan fisik, mental, dan emosional.



2.2.1.3



Riwayat penyakit pribadi dan keluarga.



2.2.1.4



Sistem dukungan keluarga, kelompok sosial, komunitas.



2.2.1.5



Kegiatan sehari-hari.



2.2.1.6



Kebiasaan dan keyakinan kesehatan.



2.2.1.7



Pemakaian obat yang diresepkan.



2.2.1.8



Pola koping.



2.2.1.9



Keyakinan dan nilai spiritual.



2.2.1.10



Jenis Halusinasi Data yang didapatkan dari wawancara untuk mengetahui jenis halusinasi bertujuan untuk mengetahui tipe halusinasi yang dialami psaien. Penulis menanyakan jenis halusinasi kepada pasien dengan bertanya seperti: a. Saya perhatikan dari tadi, Bapak/Ibu seperti sedang berbicara, kalau boleh sedang berbicara dengan siapa?



2.2.1.11



Isi Halusinasi Data yang didapatkan dari wawancara untuk mengetahui isi halusinasi bertujuan untuk mengetahui halusinasi yang dialami pasien. Penulis menanyakan isi halusinasi kepada pasien dengan bertanya seperti: a. Bapak/Ibu mendengar apa? b. Suara yang Bapak/Ibu dengarkan seperti apa?



2.2.1.12



Waktu Halusinasi Data yang didapatkan dari wawancara untuk mengetahui waktu halusinasi bertujuan untuk mengetahui kapan saja halusinasi



itu



datang.



Penulis



menanyakan



waktu



halusinasi kepada pasien dengan bertanya seperti: a. Sudah sejak kapan Bapak/Ibu mendengar suara-suara suara itu? b. Biasanya, kapan saja suara itu datang? 2.2.1.13



Frekuensi Halusinasi Data yang didapatkan dari wawancara untuk mengetahui frekuensi halusinasi bertujuan untuk mengetahui frekuensi



atau seberapa sering halusinasi itu datang. Penulis menanyakan frekuensi halusinasi kepada pasien dengan bertanya seperti: a. Seberapa sering suara itu datang? b. Berapa kali dalam sehari Bapak/Ibu mendengar suarasuara itu? 2.2.1.14 Situasi Munculnya Halusinasi Data yang didapatkan dari wawancara untuk mengetahui situasi pencetus halusinasi bertujuan untuk mengetahui keadaan yang terjadi saat halusinasi itu datang. Penulis menanyakan situasi pencetus halusinasi kepada pasien dengan bertanya seperti : a. Suara-suara itu datang dalam situasi seperti apa? 2.2.1.15



Respon terhadap Halusinasi Data yang didapatkan dari wawancara untuk mengetahui respon terhadap halusinasi bertujuan untuk mengetahui dampak dari halusinasi yang didengarkan dan mengetahui upaya yang dilakukan saat mendengar halusinas. Penulis menanyakan respon terhadap halusinasi kepada pasien dengan bertanya seperti : a. Bagaimana perasaan Bapak/Ibu saat mendengar suarasuara itu? b. Apa yang Bapak/Ibu lakukan saat mendengar suarasuara



itu?



Dalam proses pengakajian dapat dilakukan secara observasional dan wawancara. Data pengakajian memerlukan data yang dapat dinilai secara observasional. Menurut Videbeck dalam Yosep (2014) data pengkajian terhadap pasien halusinasi. 2.2.2 Diagnosis



Keperawatan



Menurut (PPNI, 2017), diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis



dari kepekaan respon manusia terhadap penyakit kesehatan/proses kehidupan atau respon individu, keluarga, kelompok atau komunitas. Dalam proses keperawatan tindakan selanjutnya yaitu menentukan diagnosa keperawatan. Adapun pohon masalah untuk mengetahui penyebab, masalah utama dan dampak yang ditimbulkan. Menurut (Yosep, 2014) yaitu: Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan gangguan halusinasi menurut (Yosep, 2014) yaitu:



a. Resiko Perilaku Kekerasan b. Perubahan persepsi sensori: halusinasi c. Isolasi



Sosial



2.2.3 Intervensi Intervensi keperawatan mengacu pada semua perlakuan yang dilakukan oleh perawat berdasarkan pengetahuan dan penilaian untuk mencapai hasil yang diharapkan. Tindakan keperawatan merupakan perilaku atau aktivitas khusus yang dilakukan oleh perawat untuk melaksanakan intervensi keperawatan (PPNI, 2019). Menurut Syahdi (2022), adapun pelaksanaan tindakan keperawatan jiwa dilakukan berdasarkan Strategi Pelaksanaan (SP) yang sesuai



dengan masing-masing masalah utama. Pada masalah Halusinasi Pendengaran: Halusinasi terdapat 4 macam SP, yaitu : Intervensi/Strategi SP 1: Menghardik Pelaksana (SP) Pada  Bina hubungan saling percaya. Pasien Halusinasi  Identifikasi halusinasi ( isi, frekuensi,waktu terjadi, situasi pencetus, perasaan dan respon).  Jelaskan cara yang dapat dilakukan pasien untuk mengontrol halusinasi (menghardik, kepatuhan minum obat, bercakap-cakap dan melaukan kegiatan terjadwal).  Latih mengontrol halusinasi dengan cara menghardik.  Masukkan latihan menghardik dalam jadwal SP 2: Meminum Obat dengan Teratur  Evaluasi tanda dan gejala halusinasi.  Validasi kemampuan pasien melakukan latihan Menghardik serta berikan pujian.  Latih cara mengontrol halusinasi dengan mengenal obat (jelaskan prinsip 8 benar minum obat: benar nama, benar obat, benar manfaat, benar dosis, benar frekuensi, benar cara, benar tanggal kadaluarsa dan benar dokumentasi).  Masukkan latihan menghardik halusinasi dan kepatuhan minum obat dalam jadwal. SP 3: Bercakap-cakap  Evaluasi tanda dan gejala halusinasi.  Validasi kemampuan pasien sesuai SP 1 dan SP 2 serta berikan pujian.  Latih pasien cara bercakap-cakap dengan orang lain untuk mengontrol halusinasi.  Masukkan latihan bercakap-cakap dalam jadwal. SP 4: Melakukan Aktivitas  Evaluasi tanda dan gejala halusinasi.  Evaluasi hasil kegiatan harian pasien sesuai



SP 1, SP 2, dan SP 3.  Latih cara mengontrol halusinasi dengan melaksanakan aktivitas terjadwal.  Masukkan pasien menyusun kegiatan aktivitas terjadwal pada jadwal dan berikan pujian. Intervensi untuk Keluarga Pasien dengan Halusinasi SP 1:  Identifikasi masalah yang dihadapi dalam menghadapi pasien.  Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang dialami pasien, gejala halusinasi dan cara merawat pasien dengan halusinasi.  RTL keluarga/jadwal keluarga untuk merawat pasien SP 2  Evaluasi kemampuan SP 1  Latih (langsung ke pasien)  RTL keluarga/jadwal keluarga merawat pasien



untuk



SP 3  Evaluasi kemampuan SP 2  Membuat perencanaan pulang bersama keluarga



2.2.4 Implementasi Implementasi atau pelaksanaan merupakan langkah keempat dari proses keperawatan yang telah direncanakan oleh perawat untuk di kerjakan



dalam



mengurangi,



dan



rangka



membantu



menghilangkan



pasien



dampak



untuk atau



mencegah,



respon



yang



ditimbulkan oleh masalah keperawatan dan kesehatan (Zaidin, 2014).



Selain itu, salah satu hal yang penting dalam pelaksanaan adalah teknik komunikasi terapeutik. Teknik ini dapat digunakan dengan verbal; kata pembuka, informasi, fokus serta teknik non verbal seperti; kontak mata, mendekati kearah pasien, tersenyum, berjabatan tangan, dan



sebagainya.



(Yusuf,



2019).



2.2.5 Evaluasi Evaluasi adalah langkah terakhir dalam proses perawatan, digunakan untuk menentukan apakah tujuan dari rencana perawatan telah tercapai sampai sejauh mana. Evaluasi dengan membandingkan hasil yang diamati dengan tujuan atau kriteria hasil yang ditetapkan selama tahap



perencanaan



(Paryantie,



2019).



Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir, dimana masing-masing huruf tersebut akan diuraikan



sebagai



berikut



(Dalami,



dkk,



2014)



:



S: Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Dapat diukur dengan menayakan pertanyaaan sederhana terkait dengan tindakan keperawatan seperti “Coba Bapak/Ibu sebutkan kembali cara mengontrol halusinasi yang benar?” O: Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku pasien pada saat tindakan dilakukan. A: Analisa ulang terhadap data subjektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada yang kontradiksi dengan masalah yang ada. Dapat pula membandingkan hasil dengan tujuan.



P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon pasien yang terdiri dari tindak lanjut klirn dan tindak lanjut perawat. Rencana tindak lanjut berupa: a. Rencana diteruskan, jika masalah tidak berubah. b. Rencana dimodifikasi jika masalah tetap, semua tindakan sudah dijalankan tetapi hasil masih belum memuaskan. c. Rencana dihentikan. Jika ditemukan masalah baru dan bertolak belakang dengan masalah yang ada serta diagnosis sudah hilang. Hasil yang diharapkan pada asuhan keperawatan dengan pasien halusinasi adalah : a. Pasien mampu mengetahui tentang halusinasinya. b. Pasien mampu menggunakan obat dengan benar. c. Pasien mampu memutuskan halusinasi dengan berbagai cara yang telah diajarkan. d. Pasien mampu meminta bantuan atau partisipasi keluarga. e. Pasien mampu berhubungan dengan orang lain. f. Keluarga mampu mengidentifikasi gejala halusinasi. g. Keluarga mampu merawat pasien di rumah dan mengetahui cara mengatasi halusinasi serta dapat mendukung kegiatan-kegiatan pasien. Dalam asuhan keperawatan jiwa, untuk mempermudah melakukan tindakan keperawatan, perawat perlu membuat strategi pelaksanaan tindakan keperawatan yang meliputi SP pasien. SP dibuat dengan menggunakan komunikasi terapeutik yang terdri dari fase orientasi, fase kerja, dan terminasi (Yusuf, dkk, 2015)



2.3 Konsep Menghardik 2.3.1 Definisi Terapi Menghardik



Terapi Menghardik adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat mengendalikan halusinasi dengar dengan menolak halusinasi apabila halusinasi muncul. Terapi menghardik juga dapat membantu pasien untuk dapat mengendalikan diri dan tidak mengikuti suara atau halusinasi yang muncul. Pasien akan dilatih untuk mengatakan tidak terhadap isi halusinasi yang muncul dan tidak mempercayai atau tidak memperdulikan isi halusinasinya, apabila pasien mampu untuk mengendalikan pikirannya maka pasien akan mampu untuk dapat mengontrol halusinasinya dengan cara menghardik (Hapsaria & Azhar, 2020). 2.3.2 Tujuan Terapi Menghardik Tujuan diberikan teknik menghardik adalah agar pasien mampu mengenali jenis halusinasi yang terjadi dan dapat mengontrol setiap kali pemicu halusinasi muncul dan pada akhirnya pasien mampu melakukan aktivitasnya secara optimal (Hapsaria & Azhar, 2020). 2.3.3 Manfaat Terapi Menghardik Menghardik dapat bermanfaat untuk mengendalikan diri dan tidak mengikuti suara atau halusinasi yang muncul. Kemungkinan halusinasi muncul masih tetap ada tetapi dengan dilakukannya terapi ini diharapkan klien tidak akan larut untuk mengikuti isi dari halusinasi tersebut (Hapsaria & Azhar, 2020). 2.3.4 Teknik Prosedur Terapi Menghardik SP 1 Pasien Halusinasi: Ajarkan pasien untuk mengontrol halusinasinya dengan cara menghardik. Ketika pasien dilatih cara menghardik maka pasien mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti suara atau halusinasi yang muncul. Adapun strategi pelaksana menghardik pada pasien dengan gangguan halusinasi pendengaran yaitu:



A. Orientasi: "Assalamualaikum Ibu. Perkenalkan saya perawat yang akan merawat Ibu. Nama Saya Febby. Nkalau boleh tau nama Ibu siapa? Ibu biasanya senang dipanggil apa?" B. Kontrak "Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Apakah ada keluhan bu?" "Baiklah, bagaimana kalau hari ini kita berbicara tentang suara yang selama ini Ibu dengar tapi tak tampak wujudnya? Ibu mau duduk dimana? Untuk waktunya mau berapa lama bu? Bagaimana kalau 30 menit?" C. Tahap Kerja "Apakah Ibu mendengar suara tanpa ada wujudnya? Apa yang dikatakan suara itu?" "Apakah suara itu terus-menerus terdengar atau pada waktu tertentu saja? Diwaktu kapan paling sering Ibu mendengar suara itu? Berapa kali sehari Ibu mengalaminya? Pada keadaan apa suara itu terdengar? Apakah pada waktu sedang sendiri?" Apa yang Ibu rasakan pada saat mendengar suara itu?" "Apa yang Ibu lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan cara seperti itu suarasuaranya hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara-cara untuk mencegah suara-suara itu muncul? "Jadi bu ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul. Pertama, dengan menghardik atau mengusir suara tersebut. Kedua, dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain. Ketiga, melakukan kegiatan yang sudah terjadwal, dan yang ke empat minum obat dengan teratur," "Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu yaitu dengan menghardik atau mengusir".



"Caranya sebagai berikut: saat suara-suara itu muncul, Ibu bisa menutup telinga Ibu lalu mengatakan pergi, pergi kamu tidak nyata, kamu suara palsu. Bagus Ibu sudah bisa menerapkan cara yang pertama seperti yang saya ajarkan tadi”. D. Terminasi "Bagaimana perasaan Ibu setelah saya ajarkan teknik menghardik tadi?" Kalau suara-suara itu muncul lagi, silakan Ibu coba cara tersebut! bagaimana kalau kita buat jadwal latihannya. Ibu mau jam berapa saja latihannya? (Saudara masukkan kegiatan latihan menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian pasien). Bagaimana kalau kita bertemu lagi untuk belajar dan latihan mengendalikan suara-suara dengan cara yang kedua? Ibu maunya jam berapa? Bagaimana kalau dua jam lagi? Berapa lama kita akan berlatih? Dimana tempatnya bu?" "Baiklah, sampai jumpa nanti ya bu. Assalamu'alaikum”.



BAB 3 METODOLOGI 3.1 Rancangan/Desain KTI Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan case study research (study kasus). Studi kasus merupakan suatu metode untuk menyelidiki atau mempelajari suatu kejadian mengenai perseorangan. Case study adalah bagian dari metode kualitatif untuk suatu kasus tertentu secara lebih mendalam dengan mengumpulkan beraneka sumber informasi. Jenis studi kasus ini adalah upaya mengontrol halusinasi dengan terapi menghardik pada pasien dengan Halusinasi Pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum, Kalimantan selatan (Semiawan dalam Wulandari et al, 2019). Penelitian deskriptif memiliki tujuan untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifatsifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki, dalam penelitian ini dilakukan dengan tujuan menggambarkan penerapan asuhan keperawatan pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum, Kalimantan Selatan tahun 2022. 3.2 Subyek Studi Kasus dan Fokus Studi 3.2.1 Subyek Studi Subyek dalam penelitian ini adalah satu orang pasien halusinasi pendengaran di Ruang Tenang Wanita Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin. Kriteria subyek : 1.



Satu orang pasien yang mengalami gangguan halusinasi pendengaran.



2. Isi pembicaraan dapat dipahami dengan jelas. 3. Pasien tidak mengalami gangguan pendengaran.



4. Pasien belum pernah mendapat terapi menghardik sebelumnya. 3.2.2 Fokus Studi Fokus studi dalam penelitian ini yaitu pasien dapat menyebutkan penyebab dan dapat mengontrol halusinasinya dengan cara menghardik saat terjadi halusinasi pendengaran. 3.3 Definisi Operasional Definisi operasional adalah suatu sifat atau nilai dari obyek atau kegiatan yang terdapat variasi tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian dapat ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2015). Definisi operasional pada studi kasus ini adalah melihat perubahan aktivitas seharihari yang terjadi pada pasien halusinasi setelah pemberian terapi menghardik, pasien dapat menyebutkan penyebab dan dapat mengontrol saat halusinasinya terjadi serta dapat berkomunikasi dengan baik dengan perawat, keluarga dan orang lain. 3.3.1 Halusinasi pendengaran (audiotorik) merupakan gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara aneh terutama suara orang. Biasanya mendengar suara orang yang sedang membicarakan sesuatu yang sedang dipikirkannya dan memerintah pasien untuk melakukan suatu hal. 3.3.2 Asuhan Keperawatan pada pasien Halusinasi Pendengaran yang komprehensif dimana kegiatan asuhan keperawatan diberikan secara langsung kepada pasien Halusinasi Pendengaran dalam tatanan pelaksanaan pelayanan kesehatan meliputi: pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi guna mengatasi masalah Halusinasi serta pendokumentasin. 3.3.3 Penerapan terapi menghardik: Ketika pasien diminta untuk menutup telinga dan mengatakan tidak atau seakan-akan mengusir suara tersebut maka pasien akan terstimulus bahwa suara yang di dengarnya tidak nyata. Upaya terapi menghardik merupakan salah satu Strategi



Pelaksanaan terhadap penurunan gejala halusinasi pada pasien dengan halusinasi pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin. 3.4 Tempat



dan



Waktu



Studi



Kasus



Pengambilan kasus dalam tugas akhir ini dilakukan pada pasien halusinasi yang di rawat di Ruang Tenang Wanita, Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin. Proses penelitian studi kasus dimulai pada tanggal 18 Februari 2023 sampai dengan Maret 2023. 3.5 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data 3.5.1 Teknik



Pengumpulan



Data



Cara pengumpulan data antara lain adalah wawancara, observasi, pengukuran dan dokumentasi (Supardi, 2013). 3.5.1.1 Wawancara adalah cara pengumpulan data penelitian melalui pertanyaan yang diajukan secara lisan kepada responden untuk menjawabnya. Wawancara bisa dilakukan secara tatap muka antara peneliti dengan pasien atau cara lain, misalnya telepon (Supardi, 2013). 3.5.1.2 Observasi adalah cara pengumpulan data penelitian melalui pengamatan terhadap suatu objek atau proses, baik secara visual maupun alat. Kelebihan observasi adalah mudah, murah dan langsung. Kekurangan observasi adalah memerlukan pedoman pengamatan (Supardi, 2013). 3.5.1.3 Pengukuran adalah cara pengumpulan data penelitian dengan mengukur objek menggunakan alat ukur tertentu, misalnya berat badan dengan timbangan badan, tensi darah degan tensimeter, dan sebagainya (Supardi, 2013). 3.5.1.4 Dokumentasi adalah cara pengumpulan data penelitian dengan menyalin data tersedia ke dalam form isian yang telah disusun



dokumentasi dapat berupa rekam medik hasil rumah singgah atau buku stasus pasien (Supardi, 2013). 3.5.1.5 Instrumen



Studi



Kasus



Instrumen yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah format asuhan keperawatan (pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan, evaluasi dan SP 1 Menghardik). 3.5.2 Proses Keperawatan (Pengkajian, Diangnosa Keperawatan, Intervensi Keperawatan, Implementasi Keperawatan, Evaluasi) dan format skrining pengambilan sampel untuk pasien halusinasi. 3.5.2.1 Format pengkajian keperawatan terdiri dari: identitas pasien, factor predisposisi, fisik, psikososial, status mental, mekanisme koping, masalah psikososial dan lingkungan, pengetahuan, aspek medik, analisa data, daftar masalah, pohon masalah. 3.5.2.2 Format



diagnosa



keperawatan



terdiri



dari:



diagnosa



keperawatan, tanggal munculnya masalah, tanggal teratasi masalah dan tanda tangan. 3.5.2.3 Format rencana tindakan keperawatan terdiri dari: diagnosa keperawatan, rencana tindakan yang terdiri dari tujuan, kriteria evaluasi dan intervensi. 3.5.2.4 Format implementasi dan evaluasi keperawatan terdiri dari: hari, tanggal, jam, diagnosa keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi keperawatan. 3.5.3 Langkah Pengumpulan Data 3.5.3.1 Data Subjektif Data subjektif adalah data yang didapatkan dari pasien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. Informasi tersebut tidak bisa ditentukan oleh perawat, mencakup persepsi, perasaan, ide pasien tentang status kesehatannya.



Misalnya



tentang



nyeri,



perasaan



lemah,



ketakutan,



kecemasan, frustrasi, mual dan perasaan malu (Potter, 2012). 3.5.3.2 Data Objektif Data objektif adalah data yang dapat diobservasi dan diukur, dapat diperoleh menggunakan panca indera (lihat, dengar, cium, raba dan rasa) selama pemeriksaan fisik. Misalnya frekuensi nadi, pernafasan, tekanan darah, edema, berat badan, tingkat kesadaran (Potter, 2012). 3.5.3.3 Sumber Data a. Data Primer Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti langsung dari sumber data atau responden (Supardi, 2013). Seperti pengkajian kepada pasien, meliputi: Identitas pasien, riwayat kesehatan pasien, pola aktifitas sehari-hari dirumah, dan pemeriksaan fisik terhadap pasien. Data primer dari penelitian ini, diperoleh di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang telah tersedia, hasil pengumpulan data untuk keperluan tertentu yang dapat digunakan sebagian atau seluruhnya sebagai sumber data penelitian (Supardi, 2013). Data sekunder umumnya berupa bukti, data penunjang, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip yang tidak dipublikasikan. Data sekunder yang diperoleh yaitu dari Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin. 3.6 Pengolahan dan Penyajian Data 3.6.1 Pengolahan Data Pengelolaan data menggunakan analisa deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan data



yang terkumpul untuk membuat suatu kesimpulan (Sugiyono, 2015). Pengelolaan data ini dilakukan untuk mengetahui adanya perubahan mengontrol halusinasi. 3.6.2 Penyajian Data Setelah dilakukan pengelolaan data dan didapatkan hasil penelitian, maka data/hasil penelitian akan di sajikan dalam bentuk narasi, tabel, gambar ataupun bagan. 3.7 Etika Studi Kasus Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia. Etika penelitian adalah bentuk tanggung jawab moral peneliti dalam penelitian keperawatan. Menurut (Susilo et al, 2015) masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia, maka dari segi etika penelitian harus diperhatikan. Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain: Pertimbangan etik dalam studi kasus ini dilaksanakan dengan memenuhi prinsip-prinsip the Five Rights of Human Subjects in Research, yang terdiri dari: 3.7.1 Hak untuk self determination Pasien memiiki otnomi dan hak untuk membuat keputusan secara sadar dan dipahami dengan baik, bebas dari paksaan untuk berpartisipasi atau tidak dalam studi kasus ini, atau untuk mengundurkan diri dari studi kasus ini. 3.7.2 Hak



terhadap



privacy



and



dignity



Pasien memiliki hak untuk dihargai tentang apa yang mereka lakukan dan apa yang dilakukan terhadap mereka serta untuk mengontrol kapan dan bagaimana informasi tentang mereka dibagi dengan orang lain.



3.7.3 Hak



anonimity



and



confidentiality



Semua informasi yang didapat diri pasien harus dijaga dengan sedemikan rupa sehingga informasi individual tertentu tidak bisa langsung dikaitkan dengan pasien, dan pasien juga harus dijaga kerahasiaannya atas keterlibatannnya dalam studi kasus ini. Untuk menjamin kerahasian, maka peneliti menyimpan seluruh dokumen hasil pengumpulan data dalam tempat khusus yang hanya bisa diakses oleh peneliti. Dalam menyusun laporan studi kasus, peneliti menguraikan data tanpa mengungkap identitas pasien. 3.7.4 Hak justice Memberikan individu hak yang sama untuk dipilih atau terlibat dalam studi kasus tanpa diskriminasi dan diberikan penangan yang sama dengan menghormati seluruh persetujuan yang disepakati, dan untuk memberikan penanganan terhadap masalah yang muncul selama partisipasi dalam studi kasus. 3.7.5 Hak



beneficience



and



nonmaleficience



Pasien dilindungi dari eksploitasi dan peneliti harus menjamin bahwa semua usaha dilakukan untuk meminimalkan bahaya (nonmaleficience) atau kerugian dari suatu studi kasus, serta memaksimalkan manfaat (beneficience)



dari



studi



kasus.