Proposal Kelompok 5 - C - Karotenoid [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Rian
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL TEKNOLOGI STANDARISASI BAHAN ALAM Isolasi dan Uji Daya Hambat Fukosantin dari Alga Cokelat Padina australis Hauck Terhadap Pertumbuhan Bakteri Methicillin Resistent Staphylococcus aureus (MRSA)



Putri Maharani



1041811100



Rika Ayu Aryani



1041811106



Silvi Andriyani



1041811122



Yohana Lilian Ismaya Handayani



1041811137



SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI YAYASAN PHARMASI SEMARANG 2021



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI ............................................................................................................ i BAB 1 ..................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 1.1



Latar Belakang ......................................................................................... 1



1.2



Rumusan Masalah .................................................................................... 2



1.3



Batasan Masalah ....................................................................................... 2



1.4



Tujuan Penelitian ...................................................................................... 2



1.5



Manfaat Penelitian .................................................................................... 3



BAB II ..................................................................................................................... 4 TIJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 4 2.1



Tinjauan Tentang Tanaman Padina australis .......................................... 4



2.2



Kandungan Senyawa Padina australis..................................................... 6



2.3



Morfologi Staphylococcus aureus ............................................................ 8



2.5



Epidemiologi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus ..................... 9



2.6



Klasifikasi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus ....................... 10



2.7



Mekanisme Resistensi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus ..... 10



2.8



Tinjauan Tentang Antibakteri................................................................. 11



2.9



Mekanisme Kerja Antibakteri ................................................................ 12



2.10



Tinjauan Tentang Uji Aktivitas Antibakteri ........................................... 13



2.11



Tinjauan Tentang Media ........................................................................ 15



2.12



Kontrol Positif ........................................................................................ 16



2.13



Kontrol Negatif....................................................................................... 17



BAB 3 ................................................................................................................... 18 METODE PENELITIAN ...................................................................................... 18 3.1



Variabel Penelitian ................................................................................. 18



3.2



Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 18



3.3



Alat dan Bahan ....................................................................................... 18



3.4



Rancangan Penelitian ............................................................................. 19



DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 21



i



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Infeksi nosokomial atau disebut juga Hospital Acquired Infection (HAI) adalah infeksi yang didapatkan dan berkembang selama pasien di rawat di rumah sakit (WHO, 2004). Infeksi nosokomial sangat berpengaruh kepada pasien yang membutuhkan perawatan khusus resiko tinggi, seperti unit perawatan intensif atau sering dikenal dengan Intensive Care Unit (ICU). Salah satu patogen utama yang bertanggung jawab atas infeksi nosokomial di seluruh dunia adalah patogen MRSA (Afhami et al., 2019). Infeksi Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah infeksi nosokomial yang menjadi masalah dunia dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi (Møller et al., 2016). Asia adalah kawasan dengan prevalensi > 50% infeksi MRSA yang merupakan tertinggi di seluruh dunia (Sit et al., 2017). Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) memiliki kemampuan untuk menghambat ikatan beta laktam di dinding sel bakteri (Thakuria dan Lahon, 2013). Proses ini terjadi akibat mutasi gen mecA yang mengkode penicillin binding protein (PBP) menjadi PBP2A yang memiliki afinitas rendah terhadap gugus beta laktam antibiotik (Shahkarami et al., 2014). Vankomisin dan antibiotik glikopeptida lainnya adalah terapi andalan saat ini untuk infeksi serius yang disebabkan oleh MRSA (Appelbaum, 2007). Namun, prevalensi MRSA yang tinggi telah menyebabkan peningkatan penggunaan Vankomisin pada pasien kronis dan sakit parah dan dengan demikian mengakibatkan munculnya MRSA dengan penurunan kerentanan atau resistensi terhadap glikopeptida (Tiwari dan Sen, 2006). Sehingga diperlukan senyawa lain yang memiliki aktivitas antibakteri untuk dijadikan sebagai kandidat obat baru yang dapat mengatasi infeksi MRSA.



1



Salah satu senyawa yang diduga memiliki aktivitas sebagai antibakteri adalah fukosantin. Fukosantin merupakan karotenoid utama yang terdapat dalam rumput laut coklat dan warna coklat pada rumput laut ini berasal dari fukosantin (Wehr, 2003). Penelitian Limantara dan Heriyanto (2010) menunjukkan bahwa Padina australis Hauck memiliki kandungan fukosantin tertinggi. Peng et al. (2011) menyatakan bahwa struktur fukosantin memiliki ikatan alenik (C-7’), 5,6-monoepoxida, dua gugus hidroksil, gugus karbonil dan gugus asetil di cincin fukosantin. Menurut Xie et al. (2015) gugus fungsi hidroksil, rantai alkil, rantai alkil amina dan nitrogen atau oksigen merupakan gugus fungsi yang aktif sebagai antibakteri. Pengembangan pemanfaatan fukosantin sebagai antibakteri dalam bidang farmasi saat ini belum banyak dilakukan. Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan eksplorasi pemanfaatan fukosantin sebagai kandidat antibiotika yang dapat mengobati penyakit infeksi MRSA. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1



Apakah rumput laut cokelat Padina australis Hauck memiliki kandungan fukosantin?



1.2.2



Apakah fukosantin dalam rumput laut cokelat Padina australis Hauck memiliki aktivitas antibakteri terhadap MRSA?



1.3 Batasan Masalah 1.3.1



Ekstraksi fukosantin dilakukan dengan metode maserasi



1.3.2



Isolasi fukosantin dilakukan kromatografi kolom



1.3.3



Identifikasi fukosantin dilakukan dengan Kromatografi Lapis Tipis.



1.3.4



Uji aktivitas antibakteri Fukosantin terhadap pertumbuhan bakteri MRSA digunakan metode difusi sumuran



1.4 Tujuan Penelitian



2



1.4.1 Mengetahui kandungan fukosantin dalam rumput laut cokelat Padina australis Hauck. 1.4.2 Mengetahui aktivitas antibakteri fukosantin yang terdapat dalam rumput laut cokelat Padina australis Hauck terhadap MRSA. 1.5 Manfaat Penelitian Dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang aktivitas antibakteri fukosantin dalam rumput laut cokelat Padina australis Hauck terhadap MRSA.



3



BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Tanaman Padina australis Rumput laut tergolong tumbuhan tingkat rendah. Umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati, tetapi hanya menyerupai batang yang disebut thallus. Rumput laut tumbuh di alam dengan melekatkan dirinya di karang, lumpur pasir, batu, dan benda keras lainnya. Selain benda mati, rumput laut pun dapat melekat pada tumbuhan lain secara epifitik (Davidson, 1980). Secara taksonomi, rumput laut dikelompokkan ke dalam divisio Thallophyta.



Berdasarkan



kandungan



pigmennya,



rumput



laut



dikelompokkan menjadi empat kelas yaitu : 1. Rhodophyceae (ganggang merah) 2. Phaeophyceae (ganggang coklat) 3. Chlorophyceae (ganggang hijau) 4. Cyanophyceae (ganggang biru-hijau) Indonesia kaya dengan berbagai makroalgae, antara lain adalah jenis Gracilaria sp., Gelidium sp., Eucheuma sp. (Rhodophyta), Sargassum sp., Turbinaria sp., Padina sp. (Phaeophyta), dan Ulva sp. (Chlorophyta) merupakan jenis-jenis yang banyak ditemukan dan cukup melimpah (Rachmaniar, 2005). Rumput laut jenis Padina sp. merupakan spesies rumut laut dari filum Phaeyophyta (ganggang coklat) yang pada umumnya tersebar di perairan laut, mulai perairan laut dangkal hingga perairan dalam. Ganggang ini memiliki bentuk lembaran atau filament yang lebar yang berwarna coklat transparan. Ganggang ini berwarna coklat karena di dalam talusnya terkandung pigmen fikosantin (coklat) dan xantofil. Selain fukosantin, ganggang ini juga memiliki klorofil a dan c, fikosantin dan klorofil itu terdapat di dalam plastid talusnya (Sergiana, 2009). Klasifikasi Padina australis menurut Hauck (1887) adalah sebagai berikut :



4



Genom



: Eukariot



Kingdom



: Chromista



Filum



: Heterokontophyta



Kelas



: Phaeophyceae



Suku



: Dictyotales



Famili



: Dictyotaceae



Genus



: Padina



Spesies



: Padina australis



Menurut (Nontji, Anugrah, 1993), ciri-ciri Padina australis. adalah berbentuk tali seperti kipas, membentuk segment lembaran tipis, substansinya gelatinous, warna coklat kekuningan, bagian atas lobus agak melebar, holfast berbentuk cakram kecil berserabut. Menurut (Karmana, 1987) Padina australis. adalah alga berdevisi Phaeophyta yang bisa dibedakan dari sisi – sisi sebagai berikut : a. Morfologi Padina sp memiliki berbentuk seperti batang, berdaun banyak atau seperti pedang, berbentuk seperti kipas dan mempunyai warna cokelat. Akarnya berbentuk serabut yang disebut holdfast untuk menempel kuat pada substrat sehingga dapat digunakan untuk beradaptasi terhadap gerakan ombak pada daerah intertidal. b. Anatomi



5



Kromatofora berwarna cokelat pada Padina australis karena banyak mengandung pigmen fotosintetik fukosantin, disamping klorofil a. selnya berflagel dua, tidak sama panjang. Di bagian yang menyerupai kipas terdapat garis-garis horisontal yang disebut garis konsentris. Di ujung daun terdapat penebalan yang disebut



penebalan



gametangia



yang



berfungsi



sebagai



reproduksi gamet dan pelindung daerah pinggiran daun agar tidak sobek karena ombak besar pada zona pasang-surut (Hoek, 1995). c. Reproduksi Padina sp mempunyai bulu cambuk dan sporangium beruang satu dan transparan, biasanya berkembangbiak secara aseksual dengan oogonium. Satu oogonium merupakan satu sel telur dan gamet jantan mempunyai satu bulu cambuk yang terdapat pada sisinya. Fase hidup yang dilalui Padina adalah fase gametofit dan sporofit yang bergilir dan beraturan. Menurut (Juliana, 2010), dinding selnya mengandung selulosa dan pectin. Padina sp. dapat bereproduksi secara seksual dengan cara oogami. Mula-mula gametofit jantan dan betina akan membentuk gamet jantan dan betina yang sama bentuk dan ukuranya. Gamet jantan dibentuk di dalam gametangium jantan yang disebut spermatangium. Sementara itu, gametanium betina disebut karpogonium yang mengasilkan gamet betina (ovum). d. Habitat Habitat ganggang ini kebanyakan di air laut. Padina sp. biasanya ditemukan di pingiran pantai, dan biasanya jumlahnya paling banyak. Ukuranya



lebih



besar



dari



gangang coklat lainnya. Ganggang ini berwarna transparan, dan berbentuk seperti jamur yang saling menyatu (Juliana, 2010). 2.2 Kandungan Senyawa Padina australis Padina australis juga mengandung senyawa steroid, terpenoid, polifenol, dan saponin, sedang menurut Wijaya (2014), dalam Padina 6



australis terdapat kandungan senyawa kelompok alkaloid, flavonoid, triterpenoid,



saponin,



fenolhidrokuinon



dan



tanin.



Senyawa



ini



memungkinkan Padina australis untuk dikembangkan sebagai anti bakteri alami karena senyawa bioaktif yang dikandungnya dapat menghambat partumbuhan bakteri (Saloso dkk, 2011). Pigmen penyusun pada rumput laut coklat berasal dari golongan klorofil dan turunannya, golongan karotenoid polar (ksantofil), serta golongan karotenoid non polar (karoten). Klorofil a, pigmen berwarna hijau kebiruan, merupakan pigmen utama dalam proses fotosintetik dari tumbuhan, termasuk didalamnya rumput laut coklat, sedangkan karotenoid hanya sebagai pigmen pelengkap. Haugan et al. (1995) dan Matsuno (2001) menyatakan bahwa fukosantin merupakan karotenoid utama yang terdapat dalam rumput laut coklat dan warna coklat pada rumput laut ini berasal dari fukosantin (Wehr, 2003). Fukosantin bermanfaat bagi kesehatan manusia. Fukosantin memiliki kemampuan sebagai anti karsinogenik, anti peradangan, melindungi sel terhadap bahan-bahan berbahaya (misal: H2O2) (Heo et al., 2008) dan penangkal radikal bebas atau sebagai antioksidan (Sachindra et al., 2007; Sukoso et al., 2010). Fukosantin berperan dalam menghambat pertumbuhan sel kanker pada hati, payudara, usus besar, prostat, paru-paru, kelenjar getah bening, lambung dan sel darah putih atau leukimia melalui pengaruh mekanisme kematian sel terprogram (apoptosis). Fukosantin juga berfungsi sebagai antiobesitas dalam menghambat akumulasi lemak dan anti-diabetes. Lebih lanjut, fukosantin merupakan suplemen makanan kesehatan yang sangat baik dan sebagai kandidat obat potensial dalam pencegahan kanker (Wang et al., 2005). Sebagai suplemen makanan kesehatan, fukosantin telah terbukti tidak memiliki sifat toksik (Kadekaru et al., 2008). Peranan Padina australis ini juga banyak digunakan untuk bahan kosmetik dan obat-obatan. Beberapa aspek potensial dari rumput laut jenis Padina australis yang pernak diteliti antara lain kajian potensi antibakteri dan antioksidan (Hongayo, et al, 2012)



7



Eksplorasi aktivitas biologis fukosantin sebagai antibakteri masih belum banyak dikembangkan. Menurut (Peng et al, 2011) menyatakan bahwa struktur fukosantin memiliki ikatan alenik (C-7’), 5,6-monoepoxida, dua gugus hidroksil, gugus karbonil dan gugus asetil di cincin fukosantin. Menurut (Xie et al, 2015) gugus fungsi hidroksil, rantai alkil, rantai alkil amina dan nitrogen atau oksigen merupakan gugus fungsi yang aktif sebagai antibakteri. Fukosantin diduga memiliki potensi sebagai agen antibakteri karena memiliki gugus hidroksil dan rantai alkil. 2.3 Morfologi Staphylococcus aureus Dinding S. aureus adalah pelindung yang kuat, tidak terbentuk, dengan tebal 20-40 nm. Di bawah dinding sel terdapat sitoplasma yang dilapisi oleh membran plasma. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri. Polisakarida ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi fagositosis In Vitro (Thakker,1998; Sulaiman, 2012). Staphylococcus aureus termasuk bakteri Gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan Staphylococcus aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri. Berbagai derajat hemolisis disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan kadang oleh spesies stafilokokus lainnya. (Jawetz et al., 2008). Bakteri Methicillin-resistant Staphylococcus aureus disajikan pada gambar 6.



8



Gambar 6. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus 2.4 Tinjauan tentang Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Menurut (Nurkusuma, 2009), Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik jenis metisilin. Resistensi ini terjadi karena perubahan genetik yang disebabkan oleh paparan terapi antibiotik yang tidak rasional. Alat medis yang tidak diperhatikan sterilitasnya merupakan salah satu transmisi bakteri untuk berpindah dari satu pasien ke pasien lainnya Transmisinya lainnya dapat pula melalui udara maupun fasilitas ruangan, misalnya selimut atau sprai tempat tidur. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan salah satu agen penyebab infeksi nosokomial yang utama. Bakteri Methicillin-resistant Staphylococcus aureus berada di peringkat keempat sebagai agen penyebab infeksi nosokomial setelah Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Enterococcus (Tim Mikrobiologi FKUB, 2003). 2.5 Epidemiologi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus Metisilin merupakan penisilin modifikasi yang diperkenalkan pada tahun 1960-an. Antibiotik ini digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus yang resisten terhadap sebagian besar penisilin. Tahun 1961 strain S. aureus yang resisten terhadap metisilin



9



ditemukan yang biasa disebut dengan MRSA (Juuti, 2004). Terdapat kekhawatiran baru pada tahun 1996 karena telah ditemukan penyebaran MRSA yang menurun kepekaannya terhadap vankomisin (Yuwono, 2010). Community-Acquired Methicillin-resistant Staphylococcus aureus terjadi pada penderita dengan riwayat rawat inap rumah sakit maupun tidak. Tempat pelayanan umum, sekolah, penjara dan tempat yang penduduknya padat mudah ditemukan bakteri tersebut. Infeksi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus yang terjadi pada kulit dan jaringan lunak adalah sekitar 75% (Biantoro, 2008). 2.6 Klasifikasi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus Genus Staphylococcus memiliki sedikitnya 30 spesies, tetapi terdapat 3 yang paling penting di kedokteran salah satunya S. aureus. Berikut klasifikasi Staphylococcus aureus dari yaitu : Tabel 1. Klasifikasi dari S.aureus Domain



Bacteria



Kingdom



Eubacteria



Phylum



Firmicutes



Class



Bacilli



Ordo



Bacillales



Family



Staphylococcaceae



Genus



Staphylococcus



Species



S. aureus (Lowy, 2014)



2.7 Mekanisme Resistensi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus Mekanisme resistensi bakteri dapat terjadi melalui beberapa cara. Pertama, organisme memiliki gen pengkode enzim, seperti β-laktamase, yang menghancurkan agen antibakteri sebelum agen antibakteri dapat bekerja. Kedua, bakteri dapat memiliki pompa penembus yang menghambat agen antibakteri sebelum dapat mencapai tempat perlekatan target dan memberikan efeknya. Ketiga, bakteri memiliki beberapa gen yang



10



mempengaruhi jalur metabolisme yang pada akhirnya menghasilkan perubahan pada dinding sel bakteri yang tidak lagi mengandung tempat perlekatan agen antibakteri, atau bakteri bermutasi yang membatasi akses dari agen antimikroba ke tempat perlekatan target intraseluler melalui down regulation gen Porin (Tenover, 2006). Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang dapat memproduksi enzim β-laktamase. Enzim ini akan menghilangkan daya antibakteri terutama golongan penisilin seperti metisilin, oksasilin, penisilin G dan ampisilin. Adanya enzim tersebut akan merusak cincin β-laktam sehingga antibiotik menjadi tidak aktif (Sulistyaningsih, 2010). Mekanisme resistensi Staphylococcus aureus terhadap metisilin dapat terjadi melalui pembentukan Penicillin-Binding Protein (PBP) lain yang sudah dimodifikasi, yaitu PBP2a yang mengakibatkan penurunan afinitas antibiotik golongan β-laktam. Suatu strain yang resisten terhadap metisilin juga akan resisten juga terhadap semua derivat penisilin, sefalosporin dan karbapenem. Penisilin bekerja dengan berikatan pada beberapa PBP dan membunuh bakteri dengan mengaktivasi enzim autolitiknya sendiri. Pembentukan PBP2a ini menyebabkan afinitas terhadap penisilin menurun sehingga bakteri tidak dapat diinaktivasi (Salmenlina, 2002). 2.8 Tinjauan Tentang Antibakteri Antibakteri merupakan zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba yang merugikan. Mekanisme kerja dari senyawa antibakteri diantaranya yaitu menghambat sintesis dinding sel, menghambat keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri, menghambat kerja enzim, dan menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Dwidjoseputro, 1980). Istilah yang sering digunakan sehubungan dengan bahan antibakteri dan penggunaannya adalah : 1. Bakteriostatik



11



Bahan kelompok ini memiliki kemampuan untuk menghambat perkembangbiakan bakteri. Jika bahan ini dihilangkan, perkembangbiakan bakteri berjalan seperti semula. 2. Bakterisidal Bahan kelompok ini memiliki kemampuan untuk membunuh bakteri. Daya bakterisidal berbeda dengan bakteriostatik oleh karena prosesnya hanya berjalan searah, yaitu bakteri yang telah mati tidak dapat berkembang biak kembali meskipun bahan bakterisidal dihilangkan (Lay dan Hastowo, 1992). 2.9 Mekanisme Kerja Antibakteri Mekanisme kerja obat antibakteri dikelompokkan menjadi 4 kelompok utama, yaitu : 1. Penghambatan terhadap sintesis dinding sel. Sel bakteri dikelilingi oleh suatu struktur kaku yang disebut dinding sel. Dinding sel bakteri melindungi membran protoplasma dari trauma mekanik maupun non mekanik. Setiap zat yang mampu merusak dinding sel atau mencegah sintesisnya akan menyebabkan terbentuknya sel-sel yang peka terhadap tekanan osmotik (Waluyo, 2007). Langkah awal penghambatan dinding sel bakteri oleh obat berupa ikatan obat pada reseptor sel (Brooks et al., 2005). 2. Penghambatan terhadap fungsi membran sel. Membran sel memegang peranan vital dalam sel, yakni sebagai penghalang



dengan



permeabilitas



selektif,



melakukan



pengangkutan aktif, dan mengendalikan susunan dalam sel. Membran sel mempengaruhi konsentrasi metabolit dan nutrisi dalam sel dan merupakan tempat berlangsungnya pernafasan dan aktivitas biosintetik tertentu (Waluyo, 2007). Bila fungsi membran terganggu, makromolekul dan ion akan keluar dari sel kemudian sel rusak atau terjadi kematian (Brooks et al., 2005). 3. Penghambatan terhadap sintesis protein.



12



Sintesis protein merupakan hasil akhir dari dua proses utama, yakni transkripsi dan translasi. Antibakteri ini bekerja dengan mengganggu sintesis protein yang dilakukan oleh mRNA dan tRNA yang berlangsung di ribosom (Waluyo, 2007). 4. Penghambatan terhadap sintesis asam nukleat. Beberapa antibiotik yang mampu menghambat sintesis asam nukleat antara lain rifampisin, sulfonamid, dan quinolon. Rifampisin menghambat pertumbuhan bakteri dengan berikatan kuat pada enzim DNA Dependent RNA Polymerase bakteri, sehingga sintesis RNA bakteri terhambat (Brooks et al., 2005). 5. Penghambatan terhadap kerja enzim. Sel menghasilkan enzim dan protein yang membantu kelangsungan proses-proses metabolisme, banyak zat kimia telah diketahui dapat mengganggu reaksi biokimia misalnya logam-logam berat, golongan tembaga, perak, air raksa dan senyawa logam berat lainnya umumnya efektif sebagai bahan antibakteri pada konsentrasi relatif rendah. Logam-logam ini akan mengikat gugus enzim sulfihidril yang berakibat terhadap perubahan protein yang terbentuk. Penghambatan ini dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme atau matinya sel (Pelczar dan Chan, 1998). Beberapa senyawa yang mampu menghambat kerja enzim antara lain adalah nitrit dapat menghambat enzim fosfat dehidrogenase, sulfit akan menginaktifkan enzim yang memiliki ikatan disulfida, asam benzoat dapat menghambat



aktivitas



a-ketoglutarat



dehidrogenase



dan



suksinat



dehidrogenase (Parhusip et al., 2006). 2.10



Tinjauan Tentang Uji Aktivitas Antibakteri Pemeriksaan daya antibakteri dapat dilakukan dengan beberapa metode



antara lain menggunakan metode dilusi dan metode difusi. Metode dilusi terdiri dari 2 jenis yaitu dilusi padat dan dilusi cair, sedangkan metode difusi terdiri dari 3 jenis yaitu metode cylinder cup, metode cawan kertas (Paper disc Method) dan metode sumuran agar (Ditch Method).



13



1. Metode Dilusi Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan dilusi padat (solid dilution). a. Metode dilusi cair/broth dilution test Metode ini mengukur MIC (minimum inhibition concentration atau kadar hambat minimum, KHM) dan MBC (minimum bacterisidal concentration atau kadar bunuh miminum, KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba dengan medium cair yang ditambahkan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang dengan media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008). b. Metode dilusi padat atau solid dilution test Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun, menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008). 2. Metode Difusi Disc diffusion test atau uji difusi disk dilakukan dengan mengukur diameter zona bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak. Syarat jumlah bakteri untuk uji kepekaan/sensitivitas yaitu 105-108 CFU/mL (Hermawan dkk., 2007). Beberapa modifikasi dari metode ini adalah sebagai berikut : a. Metode Cylinder cup Media yang telah diinokulasi bakteri, silinder diletakkan dalam media tersebut kemudian dimasukkan zat antibakteri, diinkubasi



14



pada suhu 370C selama 18-24 jam dan diamati ada tidaknya daerah hambatan disekeliling silinder. b. Metode Cawan Kertas (Paper Disc Method) Bakteri ditanamkan media agar kemudian kertas yang telah dibentuk menjadi lingkaran ditetesi dengan ekstrak dengan konsentrasi tertentu dan diletakkan dalam media. c. Metode Sumuran Agar (Disch Method) Bakteri ditanamkan media agar, kemudian dibuat lubang dengan alat tertentu untuk menampung ekstrak dengan kadar tertentu yang akan ditentukan potensinya (Lay and Hastowo, 1992). 2.11



Tinjauan Tentang Media Media merupakan suatu bahan yang terdiri atas campuran nutrisi



yang dipakai untuk menumbuhkan mikroorganisme baik dalam mengkultur bakteri, jamur, dan mikroorganisme lain (Benson, 2002). Suatu media dapat menumbuhkan mikroorganisme dengan baik diperlukan persyaratan antara lain: Media diinkubasikan pada suhu tertentu, kelembapan harus cukup, pH sesuai, dan kadar oksigen cukup baik, media pembenihan harus steril, media tidak mengandung zat-zat penghambat, dan media harus mengandung semua nutrisi yang mudah digunakan mikroorganisme (Jutono, 1980; Radji, 2010). Nutrisi yang dibutuhkan mikroorganisme untuk pertumbuhan meliputi karbon, nitrogen, unsur non logam seperti sulfur dan fosfor, unsur logam seperti Ca, Zn, Na, K, Cu, Mn, Mg, dan Fe, vitamin, air, dan energi (Cappucino, 2014). Penggolongan media mati berdasarkan konsistensinya yaitu: 1. Media padat Pada medium padat ditambah dengan agar yang berasal dari alga/ganggang untuk membuat media menjadi padat. Medium padat biasanya digunakan untuk mengamati penampilan atau morfologi koloni dan untuk isolasi. 2. Media setengah padat



15



Medium ini ditambahkan dengan agar namun bahannya berbeda dengan yang digunakan pada medium padat. Media ini digunakan untuk mengamati gerak kuman secara mikroskopik. 3. Media cair Media ini berbentuk cair. Media ini digukana untuk berbagai tujuan seperti pembiakan mikroba dalam jumlah besar, penelaahan fermentasi dan berbagai macam uji (Waluyo, 2008). Penggolongan media mati berdasarkan susunan kimianya: a. Medium non sintetik Merupakan medium yang susunan kimianya tidak dapat ditentukan secara pasti, contohnya : bahan – bahan yang terdapat pada kaldu nutrien. b. Medium sintetik Merupakan medium yang susunan kimianya sudah dapat diketahui secara pasti, contohnya : cairan Hanks, Locke, Thyrode, Eagle (laboratorium virologi). c. Medium semi sintetik Merupakan medium campuran anatar medium sintetik dan medium non sintetik, contohnya: cairan Hanks yang ditambah serum pada laboratorium virologi. d. Medium anorganik Merupakan medium yang terdiri dari bahan – bahan anorganik. e. Medium organik Merupakan medium yang terdiri dari bahan-bahan organik (Waluyo, 2008).



2.12



Kontrol Positif Kontrol positif yang digunakan pada penelitian ini adalah



ciprofloxacin. Ciprofloxacin dipilih sebagai kontrol positif dengan pertimbangan ciprofloxacin merupakan antibiotik spektrum luas golongan florokuinolon



yang



umum



digunakan



16



dengan



mekanisme



kerja



menghambat DNA girase (topoisomerase II dan IV) yang terdapat dalam bakteri. Penghambatan terhadap enzim yang terlibat dalam replikasi DNA tersebut mengakibatkan penghambatan terhadap pertumbuhan sel bakteri (Kaharapet et al., 2016).



2.13



Kontrol Negatif Kontrol negatif berfungsi untuk mengetahui apakah pelarut yang



digunakan mempunyai efek dalam menghambat bakteri. Kontrol negatif yang digunakan adalah MSA. Media MSA mengandung bacto ekstrak daging, bacto pepton, NaCl, bacto phenol red, manitol dan bacto agar. Media MSA mengandung nutrisi atau protein bahan dasar bacto ekstrak daging dan bacto pepton (Safitri, 2010).



17



BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian 3.1.1 Variabel bebas Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu konsentrasi fukosantin yang diisolasi. 3.1.2 Variabel terikat Variabel terikat pada penelitian ini yaitu pertumbuhan bakteri MRSA. 3.1.3 Variabel terkontrol Variabel terikat pada penelitian ini yaitu metode pembuatan, metode pengujian, alat serta bahan yang digunakan. 3.2 Teknik Pengumpulan Data 3.2.1 Jenis data yang digunakan bersifat kuantitatif 3.2.2 Metode pengumpulan data menggunakan eksperimen laboratorium 3.2.3 Metode analisis data menggunakan SPSS 23 3.3 Alat dan Bahan 3.3.1 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alatalat gelas, autoclave, bunsen, cawan petri, cawan porselen, coloni counter, cylinder cup, inkubator, jangka sorong, laminar air flow, tabung reaksi, , dan rotary evaporator. 3.3.2 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rumput laut coklat Padina australis, Bakteri Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), media Manitol Salt Agar, Siprofloksasin, Ampisilin, Amoksisilin, aseton, methanol, aquadest.



18



3.4 Rancangan Penelitian 3.4.1 Ekstraksi dan Isolasi Fukosantin Sebanyak 1 kg sampel dicuci dengan air tawar lalu dikering bekukan dengan freeze drier. Rumput laut kering selanjutnya dimaserasi dengan pelarut aseton-metanol dengan perbandingan 7:3 (v/v) selama 24 jam kemudian disaring. Proses maserasi dilakukan sebanyak 3 kali. Filtrate yang diperoleh dievaporasi dengan rotavapor vakum hingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental dipartisi dalam corong pisah dengan menggunakan methanol-air : nheksana dengan perbandingan 1:1. Fraksi methanol yang diperoleh dievaporasi dengan rotavapor vakum. Sisa pelarut yang terdapat dalam ekstrak kental dikeringkan dengan gas nitrogen. Selanjutnya isolasi fukosantin dilakukan dengan kromatografi kolom SiO2. Pelarut yang digunakan sebagai fase gerak yaitu n-heksana 100% lalu dilanjutkan secara isokratik dengan n-heksana : aseton dengan perbandingan 6:4 (v/v) secara berulang sampai fukosantin terelusi. Fraksi fukosantin dapat ditandai dengan warna oranye. Fukosantin yang diperoleh dikeringan dengan menguapkan pelarutnya menggunakan rotavapor vakum (Muhammad, N, dkk. 2016).



3.4.2 Identifikasi Fukosantin Plat KLT dipanaskan terlebih dahulu selama 7 jam kemudian ditandai dengan garis menggunakan pensil sebagai penanda dengan batas atas plat dengan jarak 0,5 cm dan batas bawah 1 cm dari pinggir plat. Sampel ditotolkan pada batas bawah garis KLT dengan menggunakan pipa kapiler. Plat KLT kemudian dimasukkan ke dalam chamber yang terlebih dahulu dijenuhkan dan berisi fase gerak n-heksana : aseton (6:4 v/v), ditutup cawan dan biarkan pelarut bergerak hingga batas atas plat KLT. Amati di bawah lampu UV 254 nm, dan hitung nilai Rf nya. Rf sampel dibandingkan dengan Rf baku fukosantin (Rizka, A, dkk, 2020).



19



3.4.3 Uji



Resistensi



Antibiotik



Bakteri



Methicillin-resistant



Staphylococcus aureus (MRSA) Uji resistensi antibiotic bakteri MRSA yang digunakan dilakukan dengan menggunakan ampisilin dan amoksisilin dengan konsentrasi 1; 1,5; dan 2 %. (Endang, D.W, dkk. 2020). Metode yang digunakan untuk pengujian ini yaitu metode sumuran dengan media Manitol Salt Agar (MSA) yang sudah diinokulasi bakteri MRSA. Konsentrasi bakteri menggunakan standar ½ Mc Farland yang mempunyai kekeruhan setara dengan 1,5 × 108 CFU/ml. Media yang telah diberi perlakuan kemudian diinkubasi pada suhu 37ᵒC selama 24 jam. Diamati media yang telah diinkubasi.



3.4.4 Uji Aktivitas Antibakteri Fukosantin metode Difusi Sumuran Metode yang digunakan untuk pengujian antibakteri metode sumuran dengan media Manitol Salt Agar (MSA) yang sudah diinokulasi bakteri MRSA. Konsentrasi bakteri menggunakan standar ½ Mc Farland yang mempunyai kekeruhan setara dengan 1,5 × 108 CFU/ml. Sampel uji berupa isolat fukosantin dengan konsentrasi 110; 115; 120; 125; 130; 135 µg/ml dalam pelarut DMSO. Siprofloksasin 0,05% digunakan sebagai kontrol positif dan DMSO sebagai kontrol negatif. Media yang telah diberi perlakuan kemudian diinkubasi pada suhu 37ᵒC selama 24 jam. Hasil pengujian aktivitas antibakteri ditunjukan berupa diameter zona bening yang diukur menggunakan jangka sorong (Endang, D.W, dkk. 2020).



20



DAFTAR PUSTAKA Afhami S, Seifi A, Hajiabdolbaghi M, Bazaz NE, Hadadi A, Hasibi M, Rezaie P, Mohamadnejad E, Ghahan A, Hajinoori M, Veyceh F. Assessment of deviceassociated infection rates in teaching hospitals in Islamic Republic of Iran. East Mediterr Health J. 2019. 25(2):90-7. Angga D. Kaharap., Christi Mambo., Edward Nangoy. 2016. Uji Efek Antibakteri Ekstrak Batang Akar Kuning (Arcangelisia flava Merr.) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Manado : Universitas Sam Ratulangi Manado. Appelbaum, PC. 2007. Reduced glycopeptide susceptibility in methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Int J Antimicrob Agents. 30: 398-408. Biantoro I, 2008. Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). (Tesis). Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Hlm.21. Benson, Harold J. 2002. Micrpbiological Apllications Laboratory Manual in General Microbiology. New York: McGraw-Hill. Brooks, G. F., Butel, J. S., Morse, S. A., & Mudihardi, E. 2005. Jawetz, Melnick, & Adelberg's mikrobiologi kedokteran. Salemba Medika. Cappuccino, J. G., & Sherman, N. 1998. Experiment 53: Microbial populations in soil : Enumeration. Microbiology: A Laboratory Manual. Davidson, R.L., 1980, Handbook of Water-Soluble Gums and Resins, Mc. GrawHill, Inc, New York. Dwidjoseputro. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi.Yogjakarta: Djambatan Endang Dwi Wulansari, Dewi Lestari, Mujahidah Asma Khoirunissa. 2020. Kandungan Terpenoid Dalam Daun Ara (Ficus carica L.) Sebagai Agen Antibakteri Terhadap Bakteri Methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Pharmacon. Vol 9 (2): 219-225



21



Hermawan, A., 2007, Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherichia coli Dengan Metode Difusi Disk, Artikel



Ilmiah, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas



Airlangga Surabaya. Heo, S.-J., Ko, S.-C., Kang, S.-M., Kang, H.-S., Kim, J.-P., Kim, S.-H., Lee, K.W., Cho, M.- G., & Jeon, Y.-J. 2008. Cytoprotective effect of fucoxanthin isolated from brown algae Sargassum siliquastrum against H2O2-induced cell damage. Eur. Food Res. Technol., 228: 145-151. Hoek, et al. 1995. Algai in Introduction to Phycology. New York. Cambridge University Press. Hongayo, Menelo C ; Larino, C Ranel; Malingin, Daisy L. 2012. Antibacterial and Antioxidant effects of Brown Alga Padina australis Hauck Crude Extract. IAMURE Multidisciplinary Research Publications. Jawetz, E., Melnink, J., Adelberg, E.A., Brooks, GF., Butel, J.S., and Ornston, L. N. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. 20th ed. Jakarta: Salemba Medika Juliana, R. 2010. Ciri-Ciri Cyanobacteria.http://rullyj.blogspot.com/. Diakses 20 April 2021. Kadekaru, T., Toyama, H., & Yasumoto, T. 2008. Safety Evaluation of Fucoxanthin purified from Undaria pinnatifida. Nippon Shokuhin Kagaku Kogaku Kaishi, 55(6): 304-308. Karmana, 1987. Biologi . Bandung, Ganeca Exact. Lay, B. W dan S. Hastowo. 1992. Mikrobiologi. Jakarta: Rajawali Press. Limantara, L., & Heriyanto. 2010. Studi Komposisi Pigmen dan Kandungan Fukosantin Rumput Laut Coklat dari Perairan Madura dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Ilmu Kelautan, 15(1): 23-32. Matsuno, T. 2001. Aquatic animal carotenoids. Fisheries Science, 67: 771-783. Moller, J.K., Larsen, A.R., Østergaard, C., Møller, C.H., Kristensen, M.A. and Larsen, J. 2016. International travel as source of a hospital outbreak with



22



an unusual meticillin-resistant Staphylococcus aureus clonal complex 398, Denmark, Eurosurveillance, 24(42), p.1800680Journal of Lampung University. Muhammad Nursid, Dedi Noviendri, Lestari Rahayu, Virza Novelita. 2016. Isolasi Fukosantin dari Rumput Laut Coklat Padina australis dan Sitotoksisitasnya Terhadap Sel MCF7 dan Sel Vero. JPB Kelautan dan Perikanan. Vol 11 (1): 83-90 Nontji, Anugrah. 1993. Laut Nusantara. Jakarta Djambatan. Parhusip, A. J. N., Sitanggang, A. B. 2011. Antimicrobial Activity of Melinjo Seed and Peel Extract (Gnetum gnemon) Against Selected Pathogenic Bacteria. Microbiology Indonesia. Volume 5, No.3. September 2011, p 103-112 Peng J, Yuan JP, Wu CF, Wang JH. 2011. Fucoxanthin, a marine carotenoid present in brown seaweeds and diatoms: metabolism and bioactivities relevant to human health. Marine Drugs. 9: 1806- 1828. Pelczar, M. J. & Chan, E.C.S. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Elements of Microbiology, 89. Poncomulyo;



Taurino;



Maryani,



Herti;



Kristiani,



Lusi;,



2006. Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut. AgroMedia Pustaka, Jakarta. Pratiwi, S. T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga Sachindra, N.M., Sato, E., Maeda, H., Hosokawa, M., Niwano, Y., Kohno, M., & Miyasitha, K. 2007. Radical Scavenging and Singlet Oxygen Quenching Activity of Marine Carotenoid Fucoxanthin and Its Metabolites. J. Agric. Food Chem., 55: 8516-8522. Rizka Aisyah, Rachmaniar Rachmat, Deni Rahmat, Dedi Nobiendri. 2020. Pembuatan Fukosantin Nanospare Dengan Metode Gelasi Ionik dan Uji Efektivitas Antioksidan. Jurnal Ilmiah Kesehatan. Vol. 19 (2): 59-63 Safitri, R., Novel, S. S., 2010., Medium Analisis Mikrorganisme (Isolasi dan Kultur)., Jakarta : Trans Info Media. p. 29-34.



23



Shahkarami, F., Rashki, A. &Ghalehnoo, Z.R. 2014. Microbial susceptibility and plasmid profiles of methicillin-resistant Staphylococcus aureus and methicillin-susceptible S. aureus. Jundishapur journal of microbiology. 7(7) Salmenlina,



S.



2002.



Staphylococcus



Molecular aureus



in



Epidemiology Finland.PhD



of



Methicillin-Resistant



Dissertation.University



of



Helsinki.The National Public Health Institute. pp. 88-92. Salosso, Y; Prajitno, A. ; Abadi, A.L. ; Aullanni’am. 2011, Kajian Potensi Padina australis Sebagai Antibakteri Alami dalam Pengendalian Bakteri Vibrio alginolitycus



Pada



Budidaya



Ikan



Kerapu



Tikus



(Cromeleptus



altivelis), Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, Malang. Serigana. 2009. Ganggang Hijau Biru (Cyanophyta). Ganggang Hijau (Cyanophyta) 10.1. Diakses 20 April 2021. Sit, P.S ., Teh, C.S.J., Idris, N., Sam, I.C., Omar, S.F.S., Sulaiman, H., Thong, K.L., Kamarulzaman, A. and Ponnampalavanar, S. 2017. Prevalence of methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection and the molecular characteristics of MRSA bacteraemia over a two-year period in a tertiary teaching hospital in Malaysia. BMC infectious diseases. 17(1), p.274. Sukoso, Zaelanie, K., Setiyawan, D.A., Heriyanto, & Limantara, L. 2010. Antioxidant activity



study of fucoxanthin and crude pigment extracts from



three species of brown algae. Editors: L. Limantara, Heriyanto & E. Sadtono. Proceedings of Natural Pigmentsa Conference for South East Asia, Ma Chung University, Malang, p: 244-249. Tenover, 2006, Mechanisms of Antimicrobial Resistance in Bacteria, The American Journal of Medicine, 119 (6), 3-10. Tim Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. 2003. Bakteriologi Medik. Malang : Banyumedia Publishing. Thakuria, B., & Lahon, K. 2013. The Beta Lactam Antibiotics as an Empirical Therapy in a Developing Country: An Update on Their Current Status and



24



Recommendations to Counter the Resistance against Them. Journal of clinical and diagnostic research : JCDR. . 7(6), 1207–1214. Tiwari HK, Sen MR. 2006. Emergence of vancomycin resistant Staphylococcus aureus (VRSA) from a tertiary care hospital from northern part of India. BMC Infect Dis. 6: 156 Waluyo, L. 2007. Mikrobiologi Umum. Revisi. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang. Wang, W.-J., Wang, G.-C., Zhang, M., & Tseng, C.K. 2006. Isolation of Fucoxanthin from the Rhizoid of Laminaria japonica Aresch. J. Integrative Plant Biology, 47(8): 1009-1015. Wardhani., Lilis Kusuma., dan Sulistyani., Nanik. 2012. Uji Aktivitas Antibakteri ekstrak Etil Asetat Daun Binahong (Anredera scandens (L.) Moq.) Terhadap Shigella flexneri. Yogyakarta : Jurnal Ilmiah Kefarmasian. 2. (1) : 5. Wehr, J.D. 2003. Brown Seaweed. In: Wehr, J.D., & Sheath, R.G. Freshwater Algae of North America. p. 757-773. Academic Press, San Diego. WHO. 2004. Prevention of Hospital Acquired Infection, A Practical Guide, 2 MAJORITY : Medical Wijaya, Bayu, Juliansyah. 2014. Uji Fitokimia Padina australis Di Pantai Bayah, Kabupaten



Lebak, Banten. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan



Alam: Universitas Pakuan Bogor Xie Y, Yang W, Tang F, Chen X, Ren L. 2015. Antibacterial activities of flavonoids:



structure-activity relationship and mechanism. Current



Medicinal Chemistry. 22: 132 -149 Yuwono, 2010, Pandemi Resistensi Antimikroba: Belajar dari MRSA, Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 1 (42), 2837–2850.



25