Rangkuman Bab 10 Sampai 19 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RANGKUMAN BAB 10 –BAB 19



BAB 10 KEMISKINAN



Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir di tengahtengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Kemiskinan senantiasa menarik perhatian berbagai kalangan, baik para akademisi maupun para praktisi. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan untuk menyibak tirai dan "misteri" kemiskinan ini. Di Indonesia, masalah kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji terus menerus. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama dan masih hadir di tengah-tengah kita saat ini, melainkan pula karena kini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Bab ini mendiskusikan pendekatan pekerjaan sosial dalam menangani kemiskinan sebagai salah satu bentuk masalah sosial yang serius dan krusial dalam konteks pemberdayaan masyarakat di Indonesia



pefinisi dan Dimensi Kemiskinan Kemiskinan merupakan konsep clan fenomena yang berwayuh wajah, bermatra multidimensional. SMERU, misalnya, menunjukkan bahwa kemiskinan memiliki beberapaciri (Suharto et.al., 2004:7-8): 1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandangdan papan). 2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi). 3. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). 4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. 5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam. 6 . Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat. 7. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang



berkesinambungan. 8 . Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacatfisik maupun mental. 9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil). Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas lagi, D avid Cox



Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas lagi, David Cox (2004:1-6) membagi kemiskinan ke dalam beberapa dimensi: 1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi 2..



Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan.



3. Kemiskinan sosial. 4. Kemiskinan konsekuensial



Potret Kemiskinan di Indonesia Masalah kemiskinan merupakan isu sentral di Tanah Air, terutama setelah Indonesia dilanda krisis multidimensional yang memuncak pada periode 1 g97-i 999. Setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakulerdari 40,1 persen menjadi 11,3 persen, jumlah orang miskin meningkat kembali dengan tajam, terutama selama krisis ekonomi. Studi yang dilakukan BPS, UNDP dan UNSFIR menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada periode 1996-1998, meningkat dengan tajam dari 22,5 juta jiw a (11,3%) menjadi 49,5 juta jiw a (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa (BPS, 1999). Sementara itu, International Labour Organisation (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhirtahun 1999 mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3 persen dari seluruh jumlah penduduk (BPS, 1999).



Paradigma Kemiskinan Kemiskinan pada hakekatnya merupakan persoalan klasik yangtelah ada sejak umat manusia ada. Hingga saat ini belum ditemukan suatu rumusan maupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling jitu dan sempurna. Tidak ada konseptunggal tentang kemiskinan. Strategi penanganan kemiskinan masih harus terus menerus dikembangkan. Terdapat banyak sekaliteori dalam memahami kemiskinan. Biladipetakan, literaturmengenai



kebijakan sosial dan pekerjaan sosial menunjukkan dua paradigma atau teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan.



Teori Neo-liberal Teori neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes, John Lock dan John Stuart M ill. Intinya menyerukan bahwa komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith, The Wealth of Nation (1776), dan Frederick Hayek, The Road to Serfdom (1944), dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang mengedepankan azas



Teori D em o k ra s i-s o s ia l K eyakinan yang berlebihan tehadap keunggulan mekanisme pasar dan pertumbuhan ekonomi yang secara alamiah dianggap akan mampu mengatasi kemiskinan dan ketidakdilan sosial mendapat kritik dari kaum demokrasi-sosial. Teori demokrasi-sosial memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakad ilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumbersumber kemasyarakatan



Pekerjaan Sosial dan Kemiskinan Sejak kelahirannya sekian abad lalu, pekerjaan sosial (social work) telah terlibatdalam penanggulangan kemiskinan. Perkembangan pekerjaan sosial berikutnya, khususnya dari kegiatan karitatif menjadi sebuah profesi, juga tidak dapatdilepaskan dari penanganan kemisikinan. Penerapan the Elizabeth Poor /.awdi Inggris sebagai strategi menghadapi kemiskinan akibat the Great Depression tahun 1930-an tercatat sebagai salah satu momentum pentingdalam sejarah perkembangan profesi pekerjaan sosial. Secara konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomisosial dan individual-struktural. Berdasarkan perspektif ini, ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusatperhatian pekerjaan sosial, yaitu: 1.Kelompok yang paling miskin (destitute) 2. Kelompok miskin (poor)agai fakir miskin 2. Kelompok miskin (poor)



BAB II PERLAKUAN SALAH TERHADAP ANAK Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, sebagian besar program pengembangan masyarakat mencakup penguatan ekonomi kecil yang umumnya berbentuk sektor informal, karena memang masalah utama masyarakatnya masih berkaitan dengan rendahnya pendapatan. Namun demikian, di negara-negara maju, terutama yang masih menganut sistem negara kesejahteraan (welfare state), hampir jarang ditemukan program pengembangan masyarakat yang berbentuk penguatan ekonomi kecil dan informal, karena negara memberikan jaminan sosial bagi semua orang, termasuk mereka yang miskin, cacat, jompo terlantar dan kelompok rentan lainnya.. p e rm a s a la h a n An a k P e r m a s a l a h a n anak umumnya dikategorikan ke dalam tiga konsep, yaitu perlakuan salah terhadap anak atau PSTA (child abuse atau child maltreatm ent), penelantaran anak (child neglect), dan eksploitasi anak (child exploitation). Dalam buku ini akan digunakan istilah yangsama, yakni PSTA untukkonsep-konsepyangbersangkutan. PSTAmeliputi (Suharto, 1997:365366): 1. PSTA secara fisik (physical abuse) adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak 2. PSTA secara psikis (mental abuse) meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film pornografi pada anak. 3. PSTA secara seksual (sexual abuse) dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata-kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung 4. PSTA secara sosial (social abuse) dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak.



Hambatan Kasus PSTA sulit diuangkap ke permukaan (fenomena gunung es). Bahkan meskipun kasusnya sudah teridentifikasi, proses penyelidikan dan peradilan sering sangat terlambat \■ Penolakan korban sendiri ■ Manipulasi dari si pelaku. ■ Keluarga yang mengalami kasus menganggap PSTA sebagai aib yang memalukan jika diungkap secara umum. ■ Keluarga yang mengalami kasus menganggap PSTA sebagai aib yang memalukan jika diungkap secara umum. ■ Anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan urusan keluarga (hubungan orang tua-anak, ■Masyarakat luas tidak mengetahui secara jelas "tanda-tanda" pada diri anak yang mengalami PSTA * Sistem dan prosedur pelaporan yang belum diketahui secara pasti dan jelas oleh masyarakat luas.



Model Pertolongan Pekerjaan sosial adalah profesi yang senantiasa menempatkan sasaran pelayanan (klien) dalam konteks situasi dan lingkungannya (person-insituation dan person-in-environment). Oleh karena itu, model pelayanan sosial bagi anak secara umum meliputi tiga aras, mikro, messo, dan messo seperti diperlihatkan Tabel 11.2 (lihat Suharto, 1997:327-330). Misalny^" pada model pelayanan mikro, anak dijadikan sasaran utama pelayanan. Anak yang mengalami luka-luka fisik dan fisik segera diberikan pertolongan v v - n iL D A B U S E ) 1 6 3 164MembangunMasyarakatmemberdayakankakyat y mg bersifat segera, seperti perawatan medis, konseling atau dalam keadaan yangsangat membahayakan, anak dipisahkan dari keluargadan lingkungan yang mengancam kehidupannya. Sistem pelayanan yang diberikan, baik model A, B, maupun C, dapat berbentuk pelayanan kelembagaan di mana anak yang mengalami masalah ditempatkan dalam lembaga (panti). Pelayanan konseling, pendidikan atau rehabilitasi sosial diberikan secara menetap dalam kurun waktu tertentu. Bila pelayanan bersifat non-kelembagaan, maka beragam jenis pelayanan diberikan di keluarga atau komunitas di mana anak menetap. Di sini anak



juga dapat diberikan dukungan sosial. Cameron dan Vanderwoerd (1997:19) mengklasifikasikan dukungan sosial (social support) ke dalam 4 kategori: (a) concrete support: pemberian uang, barang, pakaian, akomodasi, transportasi yang dapat membantu atau meringankan beban klien atau pelaksanaan tugas-tugas klien terutama pada saat krisi, (b) educational support: pemberian informasi, pengetahuan dan keterampilan sehingga klien mampu menangani masalah, (c) emotional support: pemberian dukungan interpersonal, penerimaan, kehangatan, dan pengertian pada saat klien menghadapi kejadian-kejadian yang menekan (stress and shocks), dan (d) social integration: pemberian akses terhadap atau kontak positif dengan jaringan sosial yang bermanfaat bagi pelaksanaan peran klien, termasuk sense of affiliation and personal validation dari klien tersebut.



program Konseling Sebagai contoh, bagian ini akan membahas program terapi untuk anak yang m e n g a la m i sexual abuse. Program konseling untuk kategori ini cukup bervariasi, tergantung pada usia dan kemampuan kognitifnya. Perlu dicatat bahwa bantuan pekerja sosial dalam kontek child abuse tidak terbatas hanya pada korban saja, melainkan juga pada pelakunya. beberapa model program konseling yang dapat diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse: 1) The dynamics o f sexual abuse. Konseling difokus kan pada pengembangan konsepsi bahwa kejadian sexual abuse, termasuk kesalahan dan tanggungjawabnya 2) Protective behaviors counseling. Anak-anak dilatih untuk menguasai keterampilan mengurangi "kerentanannya" sesuai dengan usianya. Untuk anak-anak pra-sekolah, 3) Survivor/self-esteem counseling. Menyadarkan anak-anak yang menjadi "korban" bahwa mereka sebenarnya bukan korban, melainkan "orang yang mampu bertahan" (survivor) menghadapi masalah sexual abuse.



BAB 3 ALIANSI STRATEGIS DALAM PEMBERDAYAAN KELUARGA



Pembangunan nasional memandang penting keluarga sebagai unit analisis maupun fokus pemberdayaan. Tidak sedikit departemen dan kementrian dalam kabinet sekarang ini yang memfokuskan perhatiannya pada pemberdayaan keluarga. Di Departemen Sosial saja, keluarga menjadi pusat perhatian beberapa direktorat. Perannya yang strategis membuat keluarga laksana sang primadona yang 'diperebutkan' oleh banyak kalangan. Dengan mengambil setting keluarga, bab ini akan membahas beberapa isu yang berkaitan dengan pengembangan aliansi strategis dalam pemberdayaan keluarga. Setelah mendiskusikan mengapa banyak pihak tertarik pada pemberdayaan keluarga, bab ini membahas aliansi strategis, tugas aliansi, prinsip aliansi, dan proses pembentukan aliansi.



Pemberdayaan Keluarga *■ Keluarga memiliki makna sentral dalam sebuah realitas sosial. Hampir semua disiplin ilmu memandang keluarga sebagai entitas terkecil yang sangatfokal. Dalam ilmu ekonomi dikenal domestic economy dan subsistence economy yang kajiannya terpusat pada keluarga. Antropologi . lam a m e n c e rm a t i livelihood strategies d a n household mechanisms sebagai s is tem p e n a n g a n a n m a s a la h y a n g berbasis keluarga. P e k e r ja a n sosial juga te la h banyak berjasa dalam mengembangkan berbagai pelayanan sosial untuk keluarga.



Aliansi Strategis Aliansi (alliance) atau 'persekutuan' dapat diartikan sebagai kumpulan perseorangan, kelompok atau organisasi yang memiliki sumberdaya (sarana, prasarana, dana, keahlian, akses, pengaruh, informasi) yang bersedia dan kemudian terlibat aktif mengambil peran atau menjalankan fungsi dan tugas tertentu dalam suatu rangkaian kegiatan yang terpadu (lihat Topatimasangef.a/., 2000)/ Di lihat darikedekatan visi dan fungsi dari masing-masing anggota aliansi, maka dapat dibedakan Aliansi Strategis dan Aliansi Taktis. 1. Aliansi Strategis menunjuk pada 'sekutu dekat' atau 'lingkar inti'. Mereka tergabung dalam Kelompok Kerja (Pokja) Garis Depan yang



bertugas sebagai penggagas, pemrakarsa, pendiri, penggerak utama, 2. Aliansi Taktis menunjuk pada 'sekutu jauh' atau 'lingkar luar' seringkali tidak terlibat langsung dalam kegiatan aliansi. Mereka umumnya tergabung dalam Pokja Pendukung (supporting unit) dan Pokja Basis (ground work) yang bertugas membantu penyediaan sarana, logistik, data dan kader yangdibutuhkan oleh lingkar inti.



Tugas Aliansi Dalam wacana pemberdayaan keluarga, sedikitnya ada tiga tugas utama yang dapat dilakukan oleh sebuah aliansi: 1. Menganalisis isyu-isyu strategis yang berkaitan dengan permasalahan dan peran keluarga dalam konteks global dan nasional .2. Merumuskan grand design dan grand strategy program-program pemberdayaan keluarga. 3.Melakukan advokasi terhadap kebijakan-kebijakan publik pada tingkat makro. Advokasi dapat dilakukan baik terhadap kebijakan yang dianggap menunjang maupun menghambat proses pemberdayaan keluarga. Waspada Aliansi dapat menjadi wahana strategis dalam mencapai agenda dan tujuan tertentu. Akan tetapi, aliansi bukanlah sebuah kumpulan dan gerakan yang hampa dari berbagai resiko (lihat Topatimasang et.al., 2000:28). Karenanya, anggota-anggota aliansi harus tetap memiliki kewaspadaan terha



BAB IV PERMASALAHAN PEKERJAAN MIGRAN Permasalahan pekerja migran belakangan ini banyak mendapat perhatian. Kasus-kasus eksploitasi ekonomi, kekerasan fisik, pelecehan seksual dan bahkan pembunuhan yangdialami pekerja migran Indonesia di luarnegeri menunjukkan betapa persoalan ini memerlukan penanganan yangefektif. Lembaga-lembaga pemerintah dan swadaya masyarakat (LSM) telah terlibat dalam penanganan masalah ini. Namun, mengingat kasus-kasus yang dialami pekerja migran seakan tidak pernah tuntas, pendekatan dalam penanganan masalah bukan saja relevan, melainkan pula sangat mendesak dilakukan. Bab ini membahas beberapa permasalahan yangdialami pekerja migran dan strategi penanggulangannya Pekeija Migran Per definisi, pekerja migran (migrant workers) adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap. Pekerja migran mencakup sedikitnya dua tipe: pekerja migran internal dan pekerja migran internasional. Pekerja migran internal berkaitan dengan urbanisasi, sedangkan 177 pekerja migran internasional tidak dapat dipisahkan dari globalisasi. Pekerja migran in te rn a l (dalam negeri) adalah orang yang bermigrasi dari tempat asalnya u n tu k bekerja di tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah Indonesia. Urbanisasi dan Pekerja Migran Internal Urbanisasi adalah "proses pengkotaan" atau proses perubahan suatu desa menjadi kota. Secarastatistik/operasional, urbanisasi bisadilihatdari proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan dan proporsi orang yang bekerja d' sektor non-pertanian. Sebagai contoh, pada tahun 1998, sebesar 31,5 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan dan sebanyak 49,2 persen bekerja di sektor non-pertanian (Suharto, 2002:149).



Globalisasi dan Pekerja Migran Internasional Globalisasi adalah proses menyatunya negara-negara di seantero dunia. Dalam globalisasi, perdagangan barang dan jasa, perpindahan modal, jaringan transportasi, serta pertukaran informasi dan kebudayaan bergerak secara bebas ke seluruh dunia seiring dengan meleburnya batas-batas negara. Globalisasi ternyata juga mendorong perpindahan tenaga kerja antar negara. Dewasa ini, penduduk dunia bergerak meninggalkan tanah



airnya menuju negara lain yang menawarkan pekerjaan dengan upah lebih tinggi. Di wilayah Asia saja pada tahun 1994, tenaga kerja asing (sesama Asia) yang mengisi sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut mencapai jutaan. jumlah terbanyakdatangdari Indonesia (800 ribu), diikuti Filipina (600 ribu), Bangladesh (400 ribu) dan Thailand (sekitar 400 ribu)



Penanganan Penanganan terhadap pekerja migran internal dan pekerja migran internasional tentunya harus dibedakan. Namun demikian, pendekatan pekerjaan sosial terhadap masalah keduanya memiliki prinsip yang sama: bahwa penanganan tersebut harus menyentuh akar permasalahan di tempat asal dan gejala permasalahan yang muncul di tempat tujuan. Penanganan pekerja migran internal selama ini lebih banyak menyentuh aspek h ilir ketimbang hulu. Padahal, menyentuh persoalan di hilir saja seperti halnya kegiatan "menyapu sampah di halaman rumah". Sedangkan, membersihkan penyebab yang mengotori halaman tersebut tidak tersentuh. Dengan demikian, penanganan persoalan pekerja migran internal perlu dilakukan secara terpadu, baik di wilayah hulu (pedesaan) maupun hilir (perkotaan). Ekoturisme, pengembangan agroindustri, dan penciptaan lapangan kerja di pedesaan, antara lain, dapat memperbaiki kemakmuran desa yang pada gilirannya membantu membatasi laju migrasi desa-kota yangterlalu berlebih. Di perkotaan, pemberian pelatihan bagi peningkatan produktivitas ekonomi kecil, bantuan permodalan, dan pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan kiranya masih tetap diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas pekerja migran ini. Sejalan dengan desentralisasi, persoalan pekerja migran internal sebenarnya merupakan tantangan PEMDA, baik di daerah asal maupun daerah penerima. PEMDA sudah seharusnya menghadapi persoalan ini dengan peningkatan ekonomi regional dan pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Sementara itu, permasalahan yang timbul dari pekerja migran internasional antara lain disebabkan oleh belum maksimalnya perlindungan buruh, terutama yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kedutaan Besar Indonesia di Singapura, misalnya, hanya memberi penyuluhan soal migran.



BAB V MANAJEMEN LEMBAGA PELAYANAN SOSIAL Program pemberdayaan masyarakat umumnya tidak dilakukan dalam setting lembaga pelayanan sosial. Namun demikian, sebagaimana pembahasan mengenai pengembangan masyarakat pada bab tiga, pemahaman mengenai karakteristik dan dinamika lembaga pelayanan sosial merupakan piranti penting dalam proses pengembangan masyarakat. Bab ini mengulas mengenai manajemen standar mutu pelayanan lembaga sosia Total Quality Management Pelayanan panti kesejahteraan sosial di Indonesia cenderung masih konvensional dalam arti pelayanan yang diberikan masih bersifat "rutin" dan belum dapat disesuaikan dengan tuntutan kekinian. Pada lembaga atau panti pelayanan anak, misalnya, masalah yang ditangani umumnya masih berkisar pada isu penelantaran anak (child neglect). Sementara itu isu-isu sepeti anak jalanan, pekerja anak (khususnya bentuk-bentuk terburuk pekerja anak atau the worst forms o f child labour), serta berbagai bentuk perlakuan salah terhadap anak (child abuse) masih belum mendapat perhatian memadai Strategi Pengembangan Pelayanan Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: setelah karakteristik lembaga, proses dan keluaran pelayanan, dan tugas-tugas manajemen diketahui, strategi apa yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan lembaga? Mengacu pada Sheafor, Horejsi dan Horejsi (2000), sedikitnya ada tiga strategi yang layak digunakan:



BAB VI PEKERJAAN SOSIAL DI DUNIA INDUSTRI Sejalan dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, sasaran, bidanggarapan dan intervensi pekerjaan sosial juga semakin luas. Globalisasi dan industrialisasi membuka kesempatan bagi pekerjaan sosial untukterlibat dalam bidangyang relatif baru, yakni dunia industri. Seperti halnya pekerja sosial medik (medical social worker) yang bekerja di rumah sakit, para pekerja sosial industri (PSI) atau industrial social worker bekerja pada setting dunia industri, khususnya di perusahaan, baik negeri maupun swasta. Definisi Pekeijaan Sosial IndustrI Di Indonesia, dunia bisnis dan industri merupakan sektor yang masih jarang melibatkan pekerjaan sosial. Namun demikian, di negara-negara maju seperti AS, Inggris, Australia dan New Zealand, pemberian pelayanan sosial dalam perusahaan telah meningkat secara dramatis belakangan ini (Suharto, 2003). Di negara-negara tersebut, setting pekerjaan sosial tidak terbatas pada arena tradisional, seperti panti sosial atau lembaga-lembaga 193 rehabilitasi sosial. Para pekerja sosial telah bekerja di rumah sakit (menjadi pckerja sosial atau sosiawan medis), di sekolah (menjadi pekerja sosial atau sosiater sekolah), atau di lembaga-lembaga peradilan (menjadi pekerja sosial koreksional)



Sejarah Seperti diungkapkan Freud di awal tulisan, fokus profesi pekerjaan sosial sejatinya harus menyentuh dunia kerja, karena ia memberi sebuah tempat aman bagi seseorang dalam realitas sebuah komunitas manusia (human community). Pada tahun 1975, salah seorang pioneer pekerjaan sosial, Bertha Reynolds, memberi komentar atas pendapat Freud yang dikemukakan tahun 1930 itu. Menurut Reynolds, "tempat kerja yang merupakan sebuah persimpangan kehidupan (the crossroads of life) seringkali diabaikan sebagai sebuah komunitas manusia." Pernyataan Reynolds tidak lagi berlaku sekarang ini. Dewasa ini kita telah menyaksikan peningkatan yang luar biasa dalam hal perhatian dan kehadiran profesi pekerjaan sosiai di dunia kerja. Semenjak tahun 1970an, pekerjaan sosial telah menemukan bahwa tempat kerja bukanlah untuk bekerja saja, tetapi merupakan sebuah tempat yang penting dan unik di mana para pegawainya perlu diberi informasi mengenai pelayananpelayanan yang tidak selalu terkait dengan pekerjaan. Tempat kerja juga merupakan tempat di mana diagnosis aktual mengenai kebutuhan dan



Bentuk-bentuk Program dan Lembaga Naungan Beberapa permasalahan yang umumnya ditangani PSI adalah masalah sosial, terutama yang terkait dengan dampak negatif industrialisasi yang oleh Johnson (1984) disingkat menjadi 5A: 1. Alienation: perasaan keterasingan dari diri, keluarga dan kelompok sosial yang dapat m enimbulkan apatis, marah, dan kecemasan. 2. Alcoholism atau addiction: ketergantungan terhadap alkohol, obatobatterlarangatau rokok yang dapat menurunkan produktivitas, merusak kesehatan fisik dan psikis, dan kehidupan sosial seseorang. 3. Absenteeism: kemangkiran kerja atau perilaku membolos kerja dikarenakan rendahnya motivasi pegawai, perasaan-perasaan malas, tidak berguna, tidak merasa memiliki perusahaan, atau sakit fisik dan psikis. 4. Accidents: kecelakaan kerja yang diakibatkan oleh menurunnya konsentrasi pegawai atau oleh lemahnya sistem keselamatan dan kesehatan lingkungan kerja. 5. Abuse: bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap anak-anak atau pasangan dalam keluarga (suami terhadap istri atau sebaliknya), seperti memukul dan menghardik secara berlebihan yang ditimbulkan oleh frustrasi, kebosanan dan kelelahan di tempat pekerjaannya. Tipoiogi Pelayanan Pekerjaan Sosial Industri Satu cara untuk mengkonseptualisasikan beragam pelayanan sosial yang diberikan pekerja sosial beserta peranan dan keterampilan yang dijalankannya adalah dengan membuat sebuah tipoiogi model setting PSI (lihat Straussner, 1989:8-13), yaitu: 1. Model pelayanan sosial bagi pegawai (the employee service model)-, 2. Model pelayanan sosial bagi majikan atau organisasi perusahaan (the employer-work organization service model); 3. Model pelayanan sosial bagi konsumen (the consumer service model); 4. Model tanggungjawab sosial perusahaan (the corporate social responsibility model) atau model investasi sosial perusahaan (the corporate social investment); 5. Model kebijakan publik di bidang pekerjaan (work related public policy model). Model Pelayanan Sosial Bagi Pegawai Model ini meliputi perancangan dan pengimplementasian program-program dan pelayanan-pelayanan sosial yang tamtam a ditujukan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai suatu perusahaan secara individual. Selain bermanfaat bagi pegawai yang bersangkutan, model ini juga sangat



bermanfaat bagi perusahaan, karena dapat meningkatkan kepuasan kerja, produktivitas dan kesetiaan pegawai terhadap perusahaannya. Berbagai program dan pelayanan langsung umumnya diarahkan untuk membantu para pegawai dalam menghadapi gangguan fisik, mental, masalah keluarag dan masalah sosial yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan peranannya sebagai pegawai. Di AS, beberapa program yang termasuk dalam kategori ini umumnya dimasukan dalam domain Program-program Bantuan bagi Pegawai yang dikenal dengan istilah "EAPs", kepanjangan dari "Employee Assistance Programs" atau MAPs, singkatan dari Member Assistance Programs (Program-program Bantuan Anggota) Konselor Sebagai konselor, PSI memberikan asesmen dan konseling terhadap individu, keluarga atau kelompok Konfrontator Konstruktif Ini merupakan peranan unik yang biasanya dilakukan untuk membantu individu yang mengalami kecanduan obat atau alkohol. Para pecandu obat atau alkohol seringkali menyangkal perbuatannya. Karenanya, penerapan konseling secara biasa tidak akan mampu memecahkan masalah jni secara efektif. Diperlukan pendekatan konfrontatif yang secara khusus dikembangkan untuk menghadapi kenyataan ini. Misalnya, pekerja sosial memanggil supervisor, perwakilan serikat buruh, dan anggota keluarga pecandu tersebut untuk bersama-sama menghadapi si pecandu itu sambil membeberkan berbagai masalah yangdiakibatkannya secara komprehensif. Broker Ketika menjalankan peranan broker, pekerja sosial menghubungkan pegawai yang dibantunya dengan sumber-sumber yang ada di dalam maupun di luar perusahaan. Sebagai contoh, dalam membantu pegawai yang mengalami kecanduan alkohol, pekerja sosial memberikan referal (rujukan) kepada lembaga rehabilitasi alkohol, kepada bagian medis perusahaan atau kepada LSM atau kelompok kemasyarakatan yang menangani permasalahan ini. Beberapa keahlian yang perlu dimiliki guna menjalankan peran ini meliputi: 1) Keterampilan melakukan rujukan; 2) Pemahaman mengenai penolakan atau resistensi individu dan organisasi; 3) Pengetahuan mengenai sumber-sumber lembaga dan masyarakat; 4) Keterampilan dalam memberi rekomendasi dan pengembangan sumber; 5) Pengetahuan dalam membangun dan memanfaatkan jaringan. Pembela Sebagai pembela, pekerja sosial membantu pegawai memperoleh pelayanan dan sumber yang karena sesuatu sebab tidak bisa diperolehnya sendiri.



Dipinjam dari profesi di bidang hukum, peranan ini memerlukan tugas dan kegiatan yang sangatdinamis dan aktif Mediator Tugas utama pekerja sosial dalam menjalankan peran ini adalah menjembatani konflik antara dua atau lebih individu atau sistem serta memberikan jalan keluar yang dapat memuaskan semua pihak berdasarkan prinsip "menang-menang" (win-wiri solution). Pendidik atau Pelatih Pekerja sosial memberikan informasi dan penjelasan-penjelasan mengenai opini dan sikap-sikap tertentu yang diperlukan pegawai. Termasuk dalam peranan ini adalah memberi pelatihan mengenai manajemen stress, caracara berhenti merokok atau menunjukkan contoh-contoh perilaku positif yang dapat ditiru oleh pegawai. Model Kebijakan Publik di Bidang Kepegawaian Model ini mencakup formulasi, identifikasi, analisis, dan advokasi bagi kebijakan, program dan pelayanan-pelayanan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi dunia kerja. Peran pekerja sosial yang penting adalah menjadi perencana dan pengembang kebijakan, analis kebijakan, dan advokat kebijakan. Sebagai perencana dan pengembang kebijakan, pekerja sosial merancang kebijakan sosial ya n g d a p a td ia ju ka n kepada pemerintah dan DPR untuk disahkan dan ditindaklanjuti. Misalnya, kebijakan yang terkait upah kerja m in im um , jaminan sosial bagi pegawai atau pelayanan sosial bagi pegawai dan keluarganya (misalnya, pelayanan penitipan anak, h a k cu ti melahirkan bagi pegawai perempuan). Peran sebagai analis kebijakan menunjuk pada tugas-tugas pekerja sosial untuk menelaah konsekuensi-konsekuensi kebijakan sosial, baikyang akan maupun telah diterapkan oleh pemerintah. Sedangkan sebagai advokat kebijakan, pekerja sosial menjalankan peran 'mendesakkan' kebijakan kepada pemangku kepentingan (stakeholders) dan sasaran kebijakan (p o lic y 2 1 2 M em b a n g u n M a s y a r a k a t M em b e rd a y a k a n R a k y a t audience). Advokasi ini padadasarnyadimaksudkan untuk menyebarluaskan makalah kebijakan yang ia buat, baik melalui media cetak maupun media lainnya (radio, TV, public hearing, kampanye, testimoni, seminar, dan sebagainya)..



BAB VII DAMPAK SOSIAL KOMERSIALISASI PENDIDIKAN



Saat ini, lebih dari 38 juta atau 23 persen dari penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Selain kemiskinan, Indonesia juga masih d ililit problema pengangguran yang mencapai 38,3 juta jiw a angkatan kerja. Sebanyak 30,2 juta jiw a di antaranya adalah pengangguran terbuka yang mencapai 78,85 persen (Republika, 21 Agustus 2003). Pada tahun 2000, jumlah anak rawan-terlantar di Indonesia adalah 10,1 juta anak. Dalam laporannya, A Country Strategy for Children and Women, 2001-2005, pemerintah Indonesia dan UNICEF memperkirakan jumlah pekerja anak sebesar 1,8 juta dan anak yang terlibat pelacuran sebanyak 40.000-70.000 jiwa (Suharto, 2003a). Komersialisasi Pendidikan Menguatnya liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi di Indonesia memberi legitimasi pada pemerintah untuk melakukan privatisasi pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang pada mulanya merupakan tanggungjawab pemerintah, kemudian diserahkan kepada pihak swasta. Motif utama pihak swasta adalah mencari keuntungan. Karenanya, mereka seringkali menyulap pendidikan menjadi lahan bisnisdan investasi. Pendidikan menjadi "barang" mewah yang sulit dijangkau masyarakat bawah. Biaya pendidikan, mulai dari tingkatdasar sampai PT, semakin tinggi dan cenderungtidakterkendali. Di Jakarta dan Tangerang, misalnya, biaya masuk SD negeri tertentu adalah sekitar Rp.600.000 - Rp.1,1 juta per murid. Sedangkan untuk tingkat SLTP dan SLTA negeri di atas Rp.2 juta per murid. Jumlah tersebut belum termasuk biaya untuk buku pelajaran, uang seragam, lencana, dan pakaian olah raga yang jumlahnya bervariasi (Fauzi, 2002). Sejalan dengan perubahan status menjadi Badan Hukum M ilik Negara (BHMN), sejumlah PTN juga berlomba membuka jalur khusus penerimaan mahasiswa baru dengan memasang tarif Rp.1 5 juta sampai Rp. 150 juta. Mengapa Komersialisasi Pendidikan Privatisasi pendidikan dapat dilihat dari seberapa besaranggaran pendidikan yangdialokasikan dari pengeluaran pemerintah {government expenditures) secara total (Ranis dan Stewart, 1999; Suharto, 2003b). Seperti diperlihatkan Tabel 1, pada periode 1990-1995, misalnya, Indonesia adalah negara yang memiliki pengeluaran pemerintah yang relatif besar, yakni 17,3 persen dari GDP, jika dibandingkan dengan Thailand (14,9%) dan Korea Selatan (17,0). Namun, pengeluaran pemerintah Indonesia yangdialokasikan untuk anggaran pendidikan lebih kecil, yakni 10,5 persen, dibandingkan Thailand (19,8%) dan Korea Selatan (17,7).



Dampak Sosial Lemahnya perangkat kebijakan dan penegakan hukum dapat mendistorsi swastanisasi pendidikan yang sebelumnya bertujuan mulia. Privatisasi pendidikan juga dapat membawa dampak sosial yang tidak diharapkan jika tidak disertai aturan main yang jelas dan etika sosial yang benar. 1) Pendidikan menjadi mahal. 2) Cap dalam kualitas pendidikan



3) Diskriminasi 4) Stigmatisasi 5).



Perubahan misi pendidikan



6) Memacu konsumerisme dan gaya hidup "besar pasak daripada tiang". Banyak anak-anak sekolah gedongan yang membawa mobil mahal (miiik orang tuanya) ke sekolah 7) Memperburuk kualitas SDM dan kepemimpinan masa depan 8) Rantai kemiskinan semakin mustahil diputuskan oleh pendidikan. Secara sederhana,



BAB VIII KONFLIK SOSIAL MASYARAKAT MULTIKULTURAL DAN MODAL KEDAMAIAN SOSIAL



Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, Miangas hingga Rote mengguratkan ribuan pulau yang berserak dan ratusan bahasa serta kebudayaan yang beragam. Apakah konflik sosial yang seringkali terjadi di Indonesia terjadi karena keberagaman ini? Bersandar pada pcndekatan pluralisme budaya dari pekerjaan sosial, makalah ini berargumen bahwa jika tidak dikelola dengan baik, keragaman budaya dap'at menjadi benih konflik social



Konflik Sosial dan Masyarakat Multikultural Konflik dapat diartikan sebagai benturan atau perseteruan yang terjadi antara dua pihak atau lebih sebagai akibat adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan keterbatasan sumberdaya (Prasodjo dan Tonny, 2003). Konflik cenderung diartikan negatif sebagai lawan kata dari kerjasama, harmoni dan perdamaian. Konflik sering pula diidentikan dengan kekerasan atau peperangan yang berdarah-darah. Padahal konflik merupakan keniscayaan dalam masyarakat sejalan dengan proses pemenuhan kebutuhan komunitas dan perubahan sosial. Konflik selalu terjadi dalam setiap komunitas karena perbedaan nilai, status, kekuasaan dan keterbatasan sumberdaya senantiasa dijumpai dalam masyarakat, terlebih dalam masyarakat multikultural. Dalam masyarakat multikultural, konflik tidak perlu dihindari atau disembunyikan. Melainkan diakui keberadaannya, lantas dikelola atau diubah menjadi "energi positif" bagi perubahan sosial yang dinamis dan maju. Yang terpenting adalah masyarakat multikultural memiliki dan menyepakati nilai-nilai multikulturalisme. Multikulturalisme adalah ideyang menekankan pentingnya saling penghormatan antara berbagai kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan berbeda; penghormatan yang memungkinkan setiap kelompok, termasuk kelompok minoritas, untuk mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa mengalami prasangka buruk dan permusuhan (DuBois dan Miley, 1992)



Penyebab Konflik Sosial Ada pendapat bahwa konflik sosial sangatdipengaruhi oleh naluri nativistik yang ada pada manusia. Artinya, dalam diri manusia telah ada dorongan



yang bersifat naluriah untuk berkonflik. Menurut pendapat ini, manusia memiliki dorongan untuk menyerang dan menguasai orang lain. Konsep nativistik dapat ditinjau dari perspektif teori nature maupun nurture (lihat Budiman, 1982). Menurut teori nature (alam), dorongan biologis merupakan faktor pendorong perilaku manusia. Misalnya, secara naluriah, 222MembangunMasyarakatMemberdayakanRakyat memiliki dorongan positif dan negatif dalan, berinteraksi dengan sesamanya yangdapat mengarah pada kerjasama atau konflik Konflik sosial sesungguhnya tidak hanya terjadi karena naluri nativistik, baik berdasarkan perspektif nature maupun nurture. Melainkan, terjadi karena adanya ketimpangan sosial luar biasa akibat peminggiran. Peminggiran budaya dapat terjadi secara etnis (dominasi suku mayoritas terhadapsuku minoritas), maupun secara kelas sosial (dominasi kelompok kaya terhadap kaum miskin) Di Indonesia, kelas sosial yang kuat yang memiliki multi power mendominasi hampir semua relung kehidupan.



Konflik Sosial dan Modal Kedamaian Sosial Modal kedamaian sosial sangat berkaitan dengan konflik. Indonesia adalah negara yang memiliki modal kedamaian sosial rendah. Akibatnya, salah satu negara yang saat ini paling tidak menikmati perdamaian adalah Indonesia (Salusu, 2000:120). Konflik sosial yang berkepanjangan yang terjadi di Kalimantan, Ambon dan Poso, serta aksi-aksi teorisme yang melanda Jakarta, Bandung dan terakhir di Bali adalah beberapa kasus yang menunjukkan rendahnya modal kedamaian sosiasumber utama terjadinya konflik dalam masyarakat adalah adanya ketidakadilan sosial, adanya diskriminasi terhadap hak-hak individu dan kelompok, serta tiadanya penghargaan terhadap keberagaman. Ketiga faktor tersebut sangat berkaitan dengan sikap-sikap dan perilaku masyarakat yang ditandai dengan akhiran "ism": racism, elitism, sexism, ageism, dan handicapism.l. 1. Racism. Rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. 2. Elitism. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi 3 S e x i sm . Isme ini merupakan keyakinan bahwa jenis kelamin tertentu memiliki kelebihan atas jenis kelamin lainnya 4. Ageism. Usiaisme menunjuk pada sikap-sikap negatif terhadap proses ketuaan.



5. Handicapism. Prasangka atau sikap-sikap negatif terhadap orangyang memiliki kecacatan adalah manifestasi dari handicapism atau cacatisme.



Potensi dan Hambatan Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang selaras dengan E Pluribus Unum Amerika Serikat, jelas merupakan potensi dasaryang hams terus diperkokoh. Ke-Bhinekaan merupakan eksplisitas kemasyarakatan (das Sein) dari pluralisme Indonesia. Ke-Tunggal Ikaan adalah wujud dari abstraksi budaya (das Sollen) dalam mencapai cita-cita negara bangsa. Semakin meluasnya Bab17-Kon.l.kSos.al,MasyarakatMult,kultural&ModalKe oama.anSos.al231 penerimaan masyarakat Indonesia terhadap nilai-nilai universal seperti HAM dan demokrasi juga merupakan potensi yang aka„ memperkuat pengembangan masyarakat multikultural. Pemilu yangcukup demokratis dan pemilihan langsung presiden dan wakilnya menumbuhkan harapan lahirnya pemimpin nasional yang iebih kuat secara politik dan bertanggungjawab terhadap rakyat banyak. Kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang pada berbagai etnis merupakan guideline bagi masyarakat setempat dalam berinteraksi dan memaknai kehidupan bermasyarakat yang heterogen. Kearifan lokal sesungguhnya dapat menjadi modal kedamaian sosial (Wardhana dan Probokusumo,



BAB IX GLOBALISASI PERMASALAHAN DAN PENANGANANNYA



Bab ini mengkaji pembangunan kesejahteraan sosial (PKS) dan peran pekerjaan sosial dalam konteks globalisasi dan permasalahan sosial yang d itim bulkann ya. Dengan menempatkan globalisasi sebagai muara permasalahan sosial, peran pekerjaan sosial (social work) dalam arena pembangunan kesejahteraan sosial pada skala nasional dan internasional menjadi mudah dipetakan. Selain itu, pandangan ini sejalan dengan paradigma bam pekerjaan sosial yang memandang bahwa respon pekerja sosial tidak lagi harus bersifat reaktif-simptomatif yang hanya berperan sebagai "tukang sapu" sampah sosial. Melainkan, harus pula terlibat dalam perancangan kebijakan sosial strategis menghadapi perubahan sosial yang terjadi dalam matra globa Globalisasi dan Permasalahannya Sejalan dengan hadirnya era milenium baru, perubahan sosial berlangsung secara cepat dan massif, menyentuh setiap sisi kehidupan umat manusia di belahan bumi manapun. Berakhirnya Perang Dingin (The Cold War) ditandai dengan berakhirnya era konflik ideologis yang telah sekian lama membagi dunia ke dalam dua kubu yang berlawanan. Kemenangan demokrasi atas totalitarianisme serta keunggulan kapitalisme atas sosialisme telah menawarkan peningkatan interaksi dan kolaborasi antar peradaban yang kemudian memperkuat hegemoni globalisasil Tulisan ini bersandar pada argumen pokok sebagai berikut: globalisasi ekonomi adalah ibarat pedang bermata dua; mata yang satu menorehkan kemakmuran ekonomi, sementara mata yang lainnya menggoreskan lukaluka kemanusiaan. Transformasi global ini kemudian mengguratkan tantangan sekaligus kesempatan pada para pekerja sosial, tidak hanya dalam skala nasional, melainkan pula pada aras internasional. Realitas baru yang terbentang memberi pesan jelas bahwa globalisasi menuntut re d e fin is i dan reposisi peran peke rjaan sosial serta p embangunan kesejahteraan sosial di Tanah A ir yang berdimensi internasional. G lo b a lis a s i sering d ip a h am i sebagai proses in te rn a s io n a lisa s i perekonomian yangditandai dengan semakin terbukanya perdagangan dan peredaran uang antar negara. Dalam bahasa Ramesh Mishra (1999:3-4), " G lo b a liza tio n refers to a process through w h ich n atio na l economies are b ecomin g more open and thus more subject to supranational e con om ic influences and less amenable to n atio na l c o n t r o l" Globalisasi dibentuk



oleh p o litik dan ideologi neoliberalisme. Sehingga dalam kenyataannya, antara g lo ba lism e dan n eo lib eralism e adalah dw itu n g g a l yang su lit dipisahkan. Neoliberalisme sendiri berakar pada ekonomi neo-klasik. Dua tokoh utama pemikiran ini adalah Frederick von Hayek dan muridnya M ilto n Friedman. Inti ajarannya menekankan pentingnya kebebasan, khususnya kebebasan e konom i dari camp ur tangan negara. Negara d ip a n d a n g sebagai p e n g h am b a t meka nism e pasar dan karenanya mengganggu pertumbuhan ekon omi. Dengan kata lain, neoliberalisme sangat anti terhadap welfare state dan developmental state (Mishra, 1999; Suharto, 2001a, 2001b, 2002). K em a km u ran v e r su s K e se n g s a ra a n Dengan dukungan neoliberalisme, kekuatan globalisasi tidak ada yang meragukan. Bermula dari sekte kecil di Universitas Chicago, hembusan globalisasi kini menguasai jaringan internasional, lembaga penelitian, pers, dan penerbitan. Sebagian besar ilmuwa n dan kepala pemerintahan akan merasa "rendah d iri" kalau tidak mengutip doktrin-doktrin neoliberalisme. TINA (There Is N o Alternative) adalah jargonnya yang begitu membahana mengisi setiap relung pemikiran ekonom dan ilm uw a n sosial. Seakan2 40MembangunMasvarakatMemberdayakanRakyat akan, pembangunan dunia ini tidak memiliki alternatif lain, selain mengikuti pendekatan neoliberalisme. Dalamtataran pral